Anda di halaman 1dari 13

TUMOR SINONASAL

Etiologi

Riwayat sinusitis kronis, polip hidung, penggunaan sediaan obat


hidung, merokok, riwayat pekerjaan kayu, kulit dan pemurnian nikel
dilaporkan sebagai faktor- faktor untuk perkembangan tumor tersebut.
Sebuah hubungan yang kuat antara kanker sinonasal dengan paparan debu
kayu, debu kulit, dan senyawa nikel telah ada hubungannya sejak lama dan
baru-baru ini dikonfirmasi. Faktor penyebab atau diduga yang lain juga
baru dikonfirmasi termasuk hexavalent chromium , asap las, arsenik,
minyak mineral, pelarut organik, dan debu tekstil.

Karsinogenik lainnya yang diduga menjdi penyebab kanker


sinonasal adalah formaldehida, diisopropil sulfat dan sulfida dichloroethyl.
Hubungan yang relatif lemah (resiko relatif dalam kisaran 2-5), tetapi
asosiasi konsisten telah ditunjukkan antara merokok tembakau dan kanker
sinonasal, pada karsinoma sel skuamosa tertentu. Terpapar thorotrast,
salah satu agen kontras radioaktif, merupakan faktor risiko tambahan.

Gejala dan Tanda

Gejala dan tanda dari asal primer tumor serta arah dan
perluasannya. Tumor di dalam sinus maksila biasanya tanpa gejala. Gejala
timbul setelah tumor membesar, mendorong atau hingga menembus
dinding tulang dan meluas ke rongga hidung, rongga mulut, pipi atau
orbita. Tergantung dari perluasan tumor, gejala dapat dikatagorikan
sebagai berikut.

1. Gejala Nasal, gejala nasal berupa obstuksi hidung unilateral dan


rinorea. Sekretnya sering bercampur darah atau terjadi epistaksis. Tumor
yang membesar dapat mendorong tulang hidung hingga terjadi deformitas
hidung. Pada tumor ganas khas pada sekret yang berbau karena
mengandung jaringan nekrotik.
2. Gejala Orbital, meluasnya tumor ke arah orbita akan
menimbulkan gejala seperti; diplopia, proptosis atau penonjolan bola mata,
oftalmoplegia, gangguan visus dan epifora.
3. Gejala Oral, perluasan tumor ke rongga mulut menyebabkan
penonjolan atau ulkus di palatum atau prosessus alveolaris. Pasien sering
datang ke dokter gigi karena nyeri di gigi, tetapi tidak sembuh meskipun
gigi yang sakit telah dicabut.
4. Gejala Fasial, perluasan tumor ke depan akan menyebabkan
penonjolan di pipi. Disertai nyeri, anastesia atau parestesia muka jika
mengenai nervus trigeminus.

5. Gejala Intrakranial, perluasan tumor ke intrakranial, akan


menyebabkan sakit kepala hebat, oftalmoplegia dan gangguan visus. Dapat
disertai dengan likuorea, yaitu cairan otak yang keluar melalui hidung. Jika
perluasan hingga ke fossa kranii media maka saraf- saraf kranial lainnya
juga terkena. Jika tumor meluas ke belakang, akan terjadi trismus akibat
terkenanya muskulus pteroigoideus disertai anestesia dan parestesi daerah yang
diper-syarafi nervus maksilaris dan mandibularis.
Biasanya pasien akan datang dengan kondisi tumor sudah dalam
fase lanjut. Hal lain yang juga menyebabkan diagnosis terlambat adalah
karena gejala dininya mirip dengan rinitis atau sinusitis kronis sehingga
sering diabaikan pasien maupun dokter. (Roezin, 2007)
Diagnosis
Anamnesis

Anamnesis adalah hal yang sangat penting untuk dilakukan. Hal


yang perlu ditanyakan adalah hiperestesia atau anestesia di daerah pipi,
adanya massa atau radang di daerah muka, mati rasa (kebas) atau keluhan
gigi goyang, adakah gigi palsu yang tidak terfiksasi dengan baik lagi,
penglihatan ganda, kesulitan membuka mulut, keluhan hidung tersumbat,
sekret atau mengeluarkan darah, keluhan nyeri kepala, perubahan
keperibadian, gangguan penciuman atau keluarnya air mata terus menerus.
Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara seksama, dengan


penekanan pada regio sinonasal, orbita dan syaraf-syaraf kranial, juga
harus dilakukan endoskopi nasal. Meskipun bukan patognomonik, mati
rasa (kebas) atau hypesthesia syaraf infraorbital (V2) atau supraorbital
(V3) secara kuat merupakan sangkaan invasi keganasan. Temuan-temuan
lain seperti proptosis, kemosis, kelemahan otot ekstraokular, dan adanya
massa di pipi, gingival atau sulkus gingivobuccal juga sangkaan adanya
tumor sinonasal.
Pada waktu memeriksa, perhatikan wajah pasien apakah ada
asimetri atau distorsi. Jika ada proptosis, perhatikan arah pendorongan
bola mata. Jika mata terdorong ke atas berarti tumor berasal dari sinus
maksila dan jika ke bawah dan lateral berarti tumor berasal dari sinus
frontal atau etmoid. Selanjutnya periksa dengan seksama kavum nasi dan
nasofaring melalui rinoskopi anterior dan posterior. Deskripsi massa
sebaik mungkin, apakah permukaanya licin, merupakan pertanda tumor
jinak atau permukaan berbenjol, rapuh dan mudah berdarah, merupakan
pertanda tumor ganas. Jika dinding lateral kavum nasi terdorong ke medial
berarti tumor berada di sinus maksila. Untuk memeriksa
rongga oral, disamping inspeksi lakukanlah palpasi dengan memakai
sarung tangan, palpasi gusi rahang atas dan palatum, apakah ada nyeri
tekan, penonjolan atau gigi goyah.
Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan radiologi modern memainkan peranan penting


dalam evaluasi tumor sinonasal.
Screening computed tomography (CT) scan lebih akurat daripada
foto polos untuk menilai struktur tulang sinus paranasal. Pasien dengan
riwayat terpapar karsinogen, nyeri persisten berat, neuropati kranial,
eksoftalmus, kemosis, penyakit sinonasal dan dengan simtom persisten
setelah pengobatan medis yang adekuat seharusnya dilakukan dengan
pemeriksaan CT-scan axial dan coronal dengan kontras atau magnetic
resonance imaging ( MRI ). CT-scan merupakan pemeriksaan superior
untuk menilai batas tulang traktur sinonasal dan dasar tulang tengkorak.
Untuk menilai tumor, vaskularisasi dan hubungannya dengan arteri karotid
maka penambahan kontras perlu dilakukan.
MRI dipergunakan untuk membedakan sekitar tumor dengan
jaringan lunak, membedakan sekresi di dalam nasal yang tersumbat dari
space occupying lesion, menunjukkan penyebaran perineural,
membuktikan keunggulan gambaran pada potongan sagital, dan tidak
melibatkan paparan terhadap radiasi ionisasi. Gambaran potongan coronal
menggunakan MRI terdepan untuk mengevaluasi foramen rotundum,
vidian canal, foramen ovale dan optic canal. Potongan sagital berguna
untuk menunjukan replacement signal berintensitas rendah yang normal
dari Meckel cave signal berintensitas tinggi dari lemak di dalam
pterygopalatine fossa oleh signal tumor yang mirip dengan otak.
Positron emission tomography (PET) sering dignakan untuk
keganasan kepala dan leher untuk staging dan surveillance. Kombinasi
PET/CT scan ditambah dengan anatomic detail membantu perencnaan
pembedahan dengan cara melihat luasnya tumor. Meskipun PET ini
banyak membantu dalam menilai keganasan kepala dan leher tetapi sangat
sedikit kegunaannya untuk menilai keganasan pada nasal dan sinus
paranasal.
Pemeriksaan Patologi

Diagnosis dari tumor ganas sinonasal ini dapat ditegakkan


berdasarkan pemeriksaan histopatologi. Jika tumor tampak di rongga
hidung atau rongga mulut, maka biopsi mudah dan harus segera dilakukan.
Biopsi tumor sinus maksila, dapat dilakukan melalui tindakan sinoskopi
atau melalui operasi Caldwell-Luc yang inisiasinya melalui sulkus
ginggivo-bukal. Jika dicurigai tumor vaskuler, misalnya hemangioma atau
angiofibroma, jangan lakukan biopsi karena akan sangat sulit
menghentikan pendarahan yang terjadi. Diagnosis dapat ditegakkan
dengan pemeriksaan angiografi. (Roezin, 2007)

Tumor Jinak Regio Sinus dan Nasal (Sinonasal)

1. Papiloma Skuamosa

Tumor jinak tersering adalah papiloma skuamosa. Secara makroskopis


mirip dengan polip, tetapi lebih vaskuler, padat dan tidak mengkilap.
Etiologinya mungkin disebabkan oleh virus, namun perubahan epitel
pada papiloma skuamosa dapat bervariasi dalam berbagai derajat
diskeratosis. Lesi seringkali diamati pada sambungan mukoutaneus
hidung anterior, terutama pada batas kaudal anterior dan septum.
Untuk kepentingan diagnosis ataupun pengobatan, eksisi lesi dilakukan
dengan anestesi lokal dan di periksakan untuk biopsi.

2. Papiloma Inversi

Papiloma inversi ini membalik ke dalam epitel permukaan. Jarang


ditemukan pada hidung dan sinus paranasalis, seringkali berasal dari
dinding lateral hidung dan secara makroskopis terlihat hanya seperti
gambaran polip. Tumor ini bersifat sangat invasif, dapat merusak
jaringan sekitarnya. Tumor ini sangat cenderung untuk residif dan
dapat berubah menjadi ganas (pada 10% kasus). Lebih sering dijumpai
pada laki-laki usia tua. Terapi pada tumor ini adalah bedah radikal
misalnya rinotomi lateral atau maksilektomi media.

3. Displasia Fibrosa

Displasa fibrosa sering mengacu pada tumor fibro-oseus tak berkapsul


yang melibatkan tulang-tulang wajah dan sering mengenai sinus
paranasalis. Etiologinya tidak diketahui, tumor ini merupakan tumor
yang tumbuh lambat, jarang disertai nyeri dan cenderung timbul sekitar
waktu pubertas dimana pasien datang dengan alasan kosmetik akibat
asimetri wajah. Karena pertumbuhan tumor kembali melambat dengan
bertambahnya usia, maka kebutuhan akan pengobatan bergantung pada
derajat deformitas atau ada tidaknya nyeri. Meskipun reseksi total
diperlukan pada terapi tumor ini tapi pada mayoritas kasus hanya
dilakukan pengangkatan sebagian tumor saja untuk memulihkan kontur
dan fungsi wajah.8 d. Angiofibroma Nasofaring Juvenil Tumor jinak
angiofibroma nasofaring sering bermanifestasi sebagai massa yang
mengisi rongga hidung bahkan juga mengisi seluruh rongga sinus
paranasal dan mendorong bola mata keanterior.

Tumor Ganas Regio Sinus dan Nasal ( Sinonasal )

Tipe histologi utama yang sering ditemukan pada tumor ganas


sinonasal terdiri dari karsinoma sel skuamosa atau karsinoma epidermoid,
disusul oleh karsinoma tanpa diferensiasi (undifferentiated carcinoma),
limfoma maligna, adenokarsinoma terutama berasal dari kelenjar salivari
minor atau disebut juga Schneiderian carcinoma dan melanoma maligna.
(Roezin, 2007)
1. Karsinoma Sel Skuamosa

Sebuah neoplasma ganas yang berasal dari epitel epitel mukosa


rongga hidung atau sinus paranasal yang mencakup keratinisasi dan jenis
non- keratinisasi. Karsinoma sel skuamosa sinonasal jarang, terhitung
<1% dari tumor ganas dan hanya sekitar 3% dari keganasan kepala dan
leher. Penyakit ini tampaknya lebih umum terjadi di Jepang daripada di
Barat hal ini sangat jarang terjadi pada anak-anak, dan laki-laki lebih
sering terkena (sekitar 1,5 kali) dibandingkan wanita. (Barnes, 2005)
Sinus maksila adalah yang paling sering terkena (65%-80%), disusul
sinus etmoid (15%-25%), nasal cavity / rongga hidung (24%), sedangkan
sinus sfenoid dan frontal jarang terkena. (Roezin, 2007) Gejala termasuk
seperti hidung terasa penuh, hidung tersumbat, atau obstruksi;
epistaksis;rinorea;
rasa nyeri;parestesia;kepenuhan atau pembengkakan pada hidung
atau pipi atau tonjolan palatal; yang terus-menerus atau non-
penyembuhan hidung sakit atau ulkus; massa hidung; atau, pada kasus
lanjut, proptosis, diplopia, atau lakrimasi. Studi Radiologi seperti CT
scan atau MRI dapat menggambarkan luasnya lesi, kehadiran invasi
tulang, dan ekstensi untuk struktur tetangga seperti orbit, pterygopalatine
atau ruang infratemporal.
Secara makroskopik, karsinoma sel skuamosa kemungkinan berupa
exophytic, fungating atau papiler. Biasanya rapuh, berdarah, terutama
berupa nekrotik, atau indurated, demarcated atau infiltratif.
2. Keratinizing Squamous Cell Carcinoma

Tumor ini secara histologis identik dengan karsinoma sel


skuamosa dari lokasi mukosa lainnya di kepala dan leher. Ada bukti
histologis diferensiasi skuamosa, dalam bentuk keratin ekstraseluler atau
keratin intraseluler (sitoplasma merah muda, sel dyskeratotic) atau
intercellular bridge. Sel tumor umumnya berikatan satu sama lainnya dan
membentuk seperti susunan ubin mozaik. Tumor disusun dalam suatu
sarang, massa, atau kelompok kecil dari sel-sel atau sel-sel individual.
Invasi terjadi sebagai proyeksi tumpul atau compang-camping, helai
teratur. Sering kali ada reaksi stromal demoplastik. Karsinoma ini dinilai
berupa differensiasi baik, sedang dan buruk.
3. Non- Keratinizing Squamous Cell Carcinoma

Tumor ini adalah tumor yang khas dari saluran sinonasal,


ditandai dengan plexiform atau ribbon-like pattern. Tumor ini menginvasi
ke jaringan bagian bawah secara halus dengan batas yang tegas. Tumor ini
dinilai dengan differensiasi sedang atau buruk. Differensiasi buruk sulit
dikenali sebagai skuamosa, dan harus dibedakan dari olfactory
neuroblastoma atau karsiomna neuroendokrin.
4. Undifferentiated Carcinoma

Undifferentiated carcinoma merupakan karsinoma yang jarang


ditemukan, perkembangannya sangat agresif di daerah lokal, regional,
metastasis jauh dan tingkat kelangsungan hidup yang buruk bagi
penderita . Undifferentiated carcinoma berupa massa yang cepat
memperbesar sering melibatkan beberapa tempat (saluran sinonasal) dan
melampaui batas-batas anatomi dari saluran sinonasal. Pasien biasanya
memiliki beberapa gejala pada hidung/ sinus paranasal. Durasi yang relatif
singkat, termasuk sumbatan hidung, epitaksis, proptosis, pembengkakan
periorbital, diplopia, nyeri wajah, dan gejala pada saraf cranial.

Gambaran mikroskopik berupa proliferasi hiperselular dengan


pola pertumbuhan yang bervariasi, termasuk trabekular, pola seperti
lembaran, pita, lobular, dan organoid. Sel-sel tumor berukuran sedang
hingga besar dan bentuk bulat hingga oval dan memiliki inti sel
pleomorfik dan hiperkromatik, anak inti menonjol, sitoplasma eosinofilik,
rasio inti dan sitoplasma tinggi, aktivitas mitosis meningkat dengan
gambaran mitosis atipikal, nekrosis tumor dan apoptosis. Pemeriksaan
tambahan seperti imunohistokimia, mikroskop elektron dan biologi
molekuler seringkali diperlukan dalam diagnosis undifferentiated
carcinoma dan dapat membedakan keganasan ini dari neoplasma ganas
lainnya.
5. Limfoma Maligna
Limfoma maligna ini dikarakteristikkan dengan adanya infiltrat
limfomatosa difus yang meluas ke mukosa nasal dan sinus paranasal,
dengan pemisahan yang luas dan destruksi mukosa kelenjar sehingga
memperlihatkan adanya clear cell change. Nekrosis koagulatif luas dan
apoptotic bodies selalu ditemukan. Dinding pembuluh darah angiosentrik,
angiodestruksi dan deposit fibrinoid. Ukuran sel-sel limfoma berbeda-beda
mulai dari kecil, sedang hingga berukuran besar. Sel-sel memiliki
sitoplasma pucat dan granul azurofilik pada sitoplasmanya yang dapat
dilihat dengan pewarnaan Giemsa Beberapa kasus berhubungan dengan
infiltrat inflamatori yang mengandung limfosit kecil, histiosit, sel-sel
plasma dan eosinofil. Terkadang hiperplasia pseudoepiteliomatosa pada
pelapis epitel skuamosa dapat ditemukan, menyerupai karsinoma sel
skuamosa berdiferensiasi baik
6. Adenokarsinoma

Sinonasal adenokarsinoma dikenal sebagai tumor glandular


maligna dan tidak menunjukkan gambaran spesifik. Adenokarsinoma
dijumpai 10 hingga 14% dari keseluruhan tumor ganas nasal dan sinus
paranasal. Secara klinis merupakan neoplasma agresif lokal, sering
ditemukan pada laki-laki dengan usia antara 40 hingga 70 tahun. Tumor ini
timbul di dalam kelenjar salivari minor dari traktus aerodigestivus bagian
atas. Sering ditemukan pada sinus maksilaris dan etmoid. Simtom primer
berupa hidung tersumbat, nyeri, massa pada wajah dengan deformasi
dan/atau proptosis dan epistaksis, bergantung pada lokasinya
Adenokarsinoma menunjukkan tiga pola pertumbuhan yaitu sessile,
papilari dan alveolar mucoid. Adenokarsinoma menyebar dengan
menginvasi dan merusak jaringan lunak dan tulang di sekitarnya dan
jarang bermetastasis. Prognosis jelek dan biasanya penderita meninggal
dunia disebabkan penyebaran lokal tanpa adanya metastasis.
7. Melanoma Maligna
Biasanya ditemukan pada usia 50 tahun. Tidak ada perbedaan yang
signifikan antara pria dan wanita, dapat ditemukan pada kedua jenis
kelamin. Secara makroskopik, massa polipoid berwarna keabu-abuan atau
hitam kebiru- biruan pada 45% kasus. Di dalam kavum nasi, lokasi yang
sering ditemukan melanoma maligna ini adalah daerah posterior septum
nasal diikuti dengan turbinate medial dan inferior. Tumor menyebar
melalui aliran darah atau limfatik. Metastasis nodul servikal dapat
ditemukan pada pemeriksaan awal.
a. Klasifikasi TNM dan Sistem Staging

Bermacam-macam klasifikasi untuk menentukan stadium tumor


ganas yang digunakan di Indonesia, klasifikasi UICC (Union for
International Cancer) dan AJCC (American Joint Committee on Cancer)
yang hanya berlaku untuk karsinomadi sinus maksila, etmoid dan rongga
hidung sedangkan untuk sinus sfenoid dan frontal tidak termasuk dalam
klasifikasi ini karena sangat jarang ditemukan.(Roezin, 2007) Cara
penentuan stadium tumor ganas hidung dan sinus paranasal yang terbaru
adalah menurut American Joint Committee on Cancer (AJCC) 2006 yaitu:
Tumor Primer (T)

Sinus maksilaris

TX Tumor primer tidak dapat ditentukan

T0 Tidak tampak tumor primer

Tis Karsinoma in situ

T1 Tumor terbatas pada mukosa sinus maksilaris tanpa erosi dan destruksi
tulang

T2 Tumor menyebabkan erosi dan destruksi tulang hingga palatum dan


atau meatus media tanpa melibatkan dinding posterior sinus maksilaris dan
fossa pterigoid
T3 Tumor menginvasi dinding posterior tulang sinus maksilaris, jaringan
subkutaneus, dinding dasar dan medial orbita, fossa pterigoid, sinus
etmoidalis T4a Tumor menginvasi bagian anterior orbita, kulit pipi, fossa
pterigoid, fossa infratemporal, fossa kribriformis, sinus sfenoidalis atau
frontal
T4b Tumor menginvasi salah satu dari apeks orbita, duramater, otak, fossa
kranial medial, nervus kranialis selain dari divisi maksilaris nervus
trigeminal V2, nasofaring atau klivus .
Metastasis ke kelenjar limfa leher regional dikatagorikan dengan :

N0 Tidak ditemukan metastasis ke kelenjar limfa leher regional

N1 Metastasis ke kelenjar limfa leher dengan ukuran diameter terbesar


kurang atau sama dengan 3 sentimeter
N2 Diameter terbesar lebih dari 3 sentimeter dan kurang dari 6 sentimeter

N3 Diameter terbesar lebih dari 6 sentimeter

M0 Tidak ada metastasis

M1 Ada metastasis

Berdasarkan TNM ini dapat ditentukan stadium yaitu stadium


dini (stadium I dan II), stadium lanjut (stadium III dan IV). Lebih dari 90%
pasien datang dalam keadaan stadium lanjut dan sulit untuk menentukan
asal tumor primernya karena hampir seluruh hidung dan sinus paranasal
sudah terkena tumor. (Roezin, 2007)
Penatalaksanaan

1. Pembedahan

Drainage/Debriment

Drainage adekuat (seperti nasoantral window) seharusnya dibuka pada


pasien dengan sinusitis sekunder dan pada pasien yang mendapat terapi
radiasi sebagai pengobatan primer.
Resection

Surgical resection selalu direkomendasikan dengan tujuan kuratif.


Palliative excision dipertimbangkan untuk mengurangi nyeri yang parah,
untuk dekompresi cepat dari struktur-struktur vital, atau untuk debulking lesi
massif, atau untuk membebaskan penderita dari rasa malu. Pembedahan
merupakan penatalaksanaan tunggal untuk tumor maligna traktus sinonasal dengan
angka ketahanan hidup 5 tahun sebesar 19% hingga 86%.
Dengan kemajuan-kemajuan terbaru dalam preoperative imaging,
intraoperative image-guidance system, endoscopic instrumentation dan
material untuk hemostasis, teknik sinonasal untuk mengangkat tumor nasal
dan sinus paranasal mungkin merupakan alternatif yang dapat dilakukan
untuk traditional open technique. Pendekatan endoskopik dapat dipakai
untuk melihat tumor dalam rongga nasal, etmoid, sfenoid, medial frontal
dan sinus maksilaris medial. Frozen section harus digunakan untuk melihat
batas bebas tumor.
2. Rehabilitasi

Tujuan utama rehabilitasi post operasi adalah penyembuhan luka


primer, memelihara atau rekonstruksi bentuk wajah dan pemulihan
oronasal yang terpisah kemudian memperlancar proses bicara dan
menelan. Rehabilitasi setelah reseksi pembedahan dapat dicapai dengan
dental prosthesis atau reconstructive flap seperti flap otot temporalis
dengan atau tanpa inklusi tulang kranial, pedicled atau microvascular free
myocutaneous dan cutaneous flap.
3. Terapi Radiasi
Respon dari tumor sinonasal tract terhadap terapi radiasi dapat
berbeda- beda tergantung dari jenis tumornya. Terapi radiasi bisa menjadi
modalitas tunggal, sebagai kombinasi dengan kemoterapi, membantu
terapi setelah operasi maupun dalam faliatif terapi . Sel-sel tumor yang
sedikit dapat dibunuh, pinggir tumor non radiasi dapat dibatasi sepanjang
pembedahan dan penyembuhan luka post operasi lebih dapat diperkirakan.
Kemoterapi

Peran kemoterapi untuk pengobatan tumor traktus sinonasal


biasanya paliatif, penggunaan efek cytoreductive untuk mengurangi rasa
nyeri dan penyumbatan, atau untuk mengecilkan lesi eksternal massif.
Penggunaan cisplatin intrarterial dosis tinggi dapat digunakan secara
bersamaan dengan radiasi pada pasien dengan karsinoma sinus paranasal.
Angka ketahanan hidup 5 tahun sebesar 53%. Pasien yang menunjukkan
resiko pembedahan yang buruk dan yang menolak untuk dilakukan operasi
dipertimbangkan untuk mendapatkan kombinasi radiasi dan kemoterapi.
Prognosis

Pada umumnya prognosis kurang baik. Banyak sekali faktor yang


mempengaruhi prognosis keganasan hidung dan sinus paranasal, cara tepat
dan akurat. Faktor-faktor tersebut seperti, perbedaan diagnosis histologi,
asal tumor primer, perluasan tumor, pengobatan yang diberikan
sebelumnya, status batas sayatan, terapi ajuvan yang diberikan, status
imunologis, lamanya follow up dan banyak lagi faktor lain yang dapat
berpengaruh juga terhadap prognosis penyakit ini. Walaupun demikian
pengobatan yang agresif secara multimodalitas akan memberikan hasi
yang terbaik dalam mengontrol tumor primer dan akan meingkatkanangka
bertahan hidup selama 5 tahun sebesar 75% untuk seluruh stadium tumor.
(Roezin, 2007).

DAFTAR PUSTAKA

Roezin, A., Anida, S., 2007, Karsinoma Nasofaring, dalam ; Elfiaty, A.S.,
Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok : FK UI, 149-153

Anda mungkin juga menyukai