Anda di halaman 1dari 22

INFEKSI NASUS EXTERNUS

1. SELULITIS
 Sering mengenai puncak dan batang hidung, perluasan furunkel pada
vestibular nasi
 Penyebab: Streptococcus, staphylococcus
 Infeksi: edema, kemerahan, sangat nyeri
 Terapi: antibiotic dosis tinggi (sistemik)
2. VESTIBULITIS
 Infeksi pada kulit vestibulum nasi
 Karena Iritasi:  Secret dari rongga hidung (rhinitis, sinusitis, benda asing) 
Trauma (dikorek-korek)
 Furunkel – potensial berbahaya menyebar ke v. facialis & v. oftalmica –
tromboflebitis sinus cavernosum
 Jangan dipencet/insisi, kecuali sudah terbentuk abses
 Infeksi spesifik: lepra, sifilis, tuberculosis
 Terapi: antibiotic dosis tinggi

INFEKSI CAVUM NASI

1.    Rhinitis akut
 Rhinitis simpleks (pilek, salesma, common cold, coryza)
2. Rhinitis kronis
a) Rhinitis hipertrofi
b) Rhinitis Sicca
c) Rhinitis spesifik :
 Rhinitis Difteri
  Rhinitis Atrofi
  Rinitis Sifilis
   Rhinitis Tuberkulosa
   Rhinitis akibat Jamur.
1.             RHINITIS AKUT
RHINITIS SIMPLEKS
Penyakit ini merupakan penyakit virus yang paling sering ditemukan pada manusia.
Mengingat frekuensi dan fakta bahwa penyakit ini tidak memberi kekebalan post infeksi.
Rhinitis simpleks ini sering disebut sebagai selesma, common cold dan flu.(4,12)
o  Etiologi
Beberapa jenis virus dan yang paling penting adalah rhinovirus. Virus-virus lainnya
adalah myxovirus, virus coxsackie dan virus ECHO.(4) Infeksi ini ditularkan melalui jalur
udara (droplet infection). Paparan dingin dan faktor lingkungan lainnya dapat meningkatkan
kerentanan host terhadap infeksi. Masa inkubasi 3 – 7 hari.(12)
o  Manifestasi klinis
Penyakit ini sangat menular dan gejala dapat timbul sebagai akibat tidak adanya
kekebalan, atau menurunnya daya tahan tubuh (kedinginan, kelelahan, adanya penyakit
menahun, dan lain-lain.(4)
Pada stadium prodromal yang berlangsung beberapa jam, didapatkan rasa panas,
kering dan gatal di dalam hidung. Kemudian akan timbul bersin berulang-ulang, hidung
tersumbat dan ingus encer, yang biasanya disertai demam dan nyeri kepala. (4) Stadium
pertama biasanya terbatas 3 – 5 hari. Sekret hidung mula-mula encer dan banyak, kemudian
menjadi mukoid, lebih kental dan lengket. Hal ini dikarenakan virus merusak sistem
transportasi mukosiliar, yang menghambat sekresi pembersihan normal. Dengan nasal
discharge yang melimpah, perubahan inflamasi sering melibatkan vestibulum nasi.
Kerusakan epitel akibat virus menyebabkan kolonisasi bakteri, yang mengubah konsistensi
yang jelas dari nasal discharge. Hal ini mengakibatkan sekret menjadi mukopurulen
(gambar 2). Gejala lokal dan sistemik biasanya akan reda dalam waktu sekitar
seminggu. (12,13)
o  Diagnosis
Pada pemeriksaan fisik ditemukan mukosa hidung tampak merah, membengkak dan
ditutupi sekret yang mudah diamati intranasal. Bila terjadi infeksi sekunder dari bakteri,
ingus menjadi mukopurulen.(4,13)
Gambar 2. Gambaran Rhinitis akut (12)
o  Terapi
Tidak ada terapi spesifik untuk rhinitis simpleks, selain istirahat dan pemberian obat-
obat simptomatis, seperti analgetika, antipiretika dan obat dekongestan. (4) Terapi terdiri dari
tindakan suportif untuk meredakan obstruksi hidung dan mencegah sinusitis dan sekuele
lainnya dengan penggunaan dekongestan tetes hidung. Obat tetes hidung harus digunakan
tidak lebih lama daripada waktu yang benar-benar diperlukan (umumnya tidak lebih dari 1
minggu karena resiko takiplaksis) dengan rebound pembengkakan dari mukosa
hidung. Antibiotik mungkin juga akan diresepkan pada pasien dengan superinfeksi bakteri
atau keterlibatan sinus paranasal.(12)

2.             RHINITIS KRONIS
a)             RHINITIS HIPERTROFI
Istilah hipertrofi digunakan untuk menunjukkan perubahan mukosa hidung pada
konka inferior yang mengalami hipertrofi karena proses inflamasi kronis yang disebabkan
oleh infeksi bakteri primer atau sekunder. Konka inferior dapat juga mengalami hipertrofi
tanpa terjadi infeksi bakteri, misalnya sebagai lanjutan dari rhinitis alergi dan vasomotor.(4)
o  Gejala klinis
Gejala utama adalah sumbatan hidung atau gejala di luar hidung akibat hidung yang
tersumbat, seperti mulut kering, nyeri kepala dan gangguan tidur. Sekret biasanya banyak
dan mukopurulen.(4)
o  Diagnosis
Pada pemeriksaan ditemukan konka yang hipertrofi, terutama konka inferior.
Permukaannya berbenjol-benjol karena mukosa yang juga hipertrofi. Akibatnya pasase
udara dalam rongga hidung menjadi sempit. Sekret mukopurulen dapat ditemukan di antara
konka inferior dan septum dan  juga di dasar rongga hidung.(4)
o  Terapi
Tujuan terapi adalah mengatasi faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya rhinitis
hipertrofi. Terapi simptomatis untuk mengurangi sumbatan hidung akibat hipertrofi konka
dapat dilakukan kaustik konka dengan zat kimia (nitras argenti atau trikloroasetat) atau
dengan kauter listrik (elektrokauterisasi). Bila tidak menolong, dapat dilakukan luksasi
konka, frakturisasi konka multipel, konkoplasti atau bila perlu dilakukan konkotomi parsial.
(4)

b)            RHINITIS SICCA
Rhinitis Sicca atau secara umum disebut ‘dry nose’ adalah masalah yang agak sering
melibatkan banyak orang. Ahli THT sering menggunakan istilah ‘Rinitis Sicca’ atau
‘Rhinitis kering’, meskipun tidak ada definisi yang jelas.(14)
Rhinitis Sicca terutama terjadi pada orang tua, dengan faktor yang memicu seperti
bekerja pada lingkungan berdebu, panas dan kering, juga pada penderita anemia, peminum
alkohol dan gizi buruk.(11)
o  Gejala klinis
Banyak gejala selama hidung kering yang dapat ditemui, mulai dari sensasi subjektif
hidung kering dan gatal hingga rasa terbakar ringan, hidung tersumbat, krusta yang terkait
dengan bau tidak sedap, epistaksi dan penciuman berkurang. Rhinitis Sicca anterior berarti
peradangan kronis di daerah bagian anterior hidung, mempengaruhi bagian anterior dan
kaudal septum dan atau vestibulum hidung lateral. Faktor mekanik serta iritasi lingkungan
menyebabkan pembentukkan krusta. Dalam kasus yang jarang terjadi, terdapat bau karena
kolonisasi bakteri dari formasi krusta.(14)
o  Pengobatan
Pengobatan Rhinitis Sicca melibatkan terutama untuk mengeliminasi faktor pencetus,
melembabkan, minum dalam jumlah yang cukup tiap harinya, pembersihan krusta,
perawatan mukosa dan menghambat terjadinya infeksi atau dalam kasus yang jarang
eliminasi ruang endonasal yang overlarge. Pengobatan utama untuk Rhinitis Sicca terdiri
dari humadifikasi dari hidung, terutama lendir, terfokus pada mencuci kemungkinan pemicu
inflamasi dan penerapan lapisan pelindung pada lendir. Irigasi hidung dan semprotan saline
nasal mencuci pemicu inflamasi secara langsung dan mencapai
peningkatan clearance mukosiliar dengan meningkatkan frekuensi denyut silia.
Salep hidung sebagian besar termasuk gliserol mengembangkan efek melembabkan
dan proteksi hidung dari kehilangan air. Minyak konsentrasi rendah juga memiliki efek
menguntungkan pada frekuensi denyut silia. Efektivitas dexpanthenol, analog alkohol asam
pantotenat dalam pengobatan Rhinitis Sicca tersebar luas dan telah terbukti secara klinis.
Penggunaan ectoine dalam saline berbasis semprot hidung bisa menjadi pendekatan
terapi yang berguna untuk pasien yang menderita sindrom hidung kering. Selain
itu pendekatan kombinasi dapat
diterapkan, misalnya, dari ectoine dan dexpanthenol. Efek gabungan
dari ectoine dan  atau dexpanthenol sudah digunakan
dalam bidang dermatologi dan menjanjikan efek kombinasi yang berguna untuk
pengobatan Rhinitis Sicca. Dengan menggunakan ectoine dan dexpanthenol nasal
spray, efek pelembab dan regenerasi pendukung dari
kedua senyawa bisa membantu kemungkinan penyembuhan luka dan mencegah sumbatan
hidung selain pengurangan gejala primer.(14)
c)             RHINITIS SPESIFIK
v   RHINITIS DIFTERI
Penyakit ini disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae, dapat terjadi primer pada
hidung atau sekunder dari tenggorok, dapat ditemukan dalam keadaan akut atau kronik.
Dugaan adanya Rhinitis Difteri harus dipikirkan pada penderita dengan riwayat imunisasi
yang tidak lengkap. Penyakit ini semakin jarang ditemukan, karena cakupan program
imunisasi yang semakin meningkat.(4)

o  Gejala klinis
Gejala rhinitis difteri akut adalah demam, toksemia, terdapat limfadenitis dan
mungkin ada paralisis otot pernapasan. Pada hidung ada ingus yang bercampur darah,
mungkin ditemukan pseudomembran putih yang mudah berdarah, dan ada krusta coklat di
nares anterior dan rongga hidung. Jika perjalanan penyakitnya menjadi kronik, gejala
biasanya lebih ringan dan mungkin dapat sembuh sendiri, tetapi dalam keadaan kronik,
masih dapat menulari.(4)
o  Diagnosis
Pada pemeriksaan hidung didapatkan ingus bercampur darah, mungkin ditemukan
pseudomembran putih yang mudah berdarah di konka inferior dan sekitarnya, krusta coklat
di nares dan cavum nasi. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan kuman dari sekret
hidung.(4)
o  Terapi
Sebagai terapi diberikan ADS, penisilin lokal dan intramuskuler. Pasien harus diisolasi
sampai hasil pemeriksaan kuman negatif.(4)
v   RHINITIS ATROFI
Rhinitis atrofi merupakan infeksi hidung kronik, yang ditandai oleh adanya atrofi
progresif pada mukosa dan tulang konka. Secara klinis mukosa hidung menghasilkan sekret
yang kental dan cepat mengering sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk.(4)
o  Epidemiologi
Wanita lebih sering terkena, terutama usia dewasa muda. Sering ditemukan pada
masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah dan sanitasi lingkungan yang buruk.
(4)

o  Etiologi
Banyak teori mengenai etiologi dan patogenesis rhinitis atrofi dikemukakan, antara
lain:
1)        Infeksi oleh kuman spesifik, yang tersering ditemukan adalah spesies Klebsiella,
terutama Klebsiella ozaena. Kuman lainnya yang juga sering ditemukan
adalah Stafilokokus, Streptokokus dan Pseudomonas aeruginosa.
2)        Defisiensi Fe
3)        Defisiensi vitamin A
4)        Sinusitis kronik
5)        Kelainan hormonal
6)        Penyakit kolagen, yang termasuk penyakit autoimun
Mungkin penyakit ini terjadi karena kombinasi beberapa faktor penyebab.(4)
o  Gejala klinis
Keluhan biasanya berupa napas berbau, ada ingus kental berwarna hijau, ada kerak
(krusta) hijau, gangguan penghidu, sakit kepala dan hidung terasa tersumbat.(4)
o  Diagnosis
Pada pemeriksaan hidung didapatkan rongga hidung sangat lapang, konka inferior dan
media menjadi hipertrofi atau atrofi, ada sekret purulen dan krusta yang berwarna hijau.(4)
Pemeriksaan penunjang untuk membantu menegakkan diagnosis adalah pemeriksaan
histopatologik yang berasal dari biopsi konka media didapatkan mukosa hidung tipis, silia
hilang, metaplasia epitel torak bersilia menjadi epitel kubik atau gepeng berlapis dan
kelenjar berdegenerasi dan atrofi (jumlahnya berkurang dan bentuknya kecil), pemeriksaan
mikrobiologi dan uji resistensi kuman dan tomografi komputer (CT scan) sinus paranasal.
(4,11)

o  Pengobatan
Oleh karena etiologinya multifaktorial, maka pengobatannya belum ada yang baik.
Pengobatan ditujukan untuk mengatasi etiologi dan menghilangkan gejala. Pengobatan yang
diberikan dapat bersifat konservatif, atau kalau tidak dapat menolong dilakukan
pembedahan.(4)
1)        Pengobatan konservatif
       Diberikan antibiotika spektrum luas atau sesuai dengan uji resistensi kuman, dengan
dosis yang adekuat. Lama pengobatan bervariasi tergantung hilangnya tanda klinis berupa
sekret purulen kehijauan.
       Untuk membantu menghilangkan bau busuk akibat hasil proses infeksi serta sekret
purulen dan krusta, dapat dipakai obat cuci hidung. Larutan yang dapat digunakan adalah
larutan garam hipertonik.
R/ NaCl
Na4Cl
NaHCO3                            aaa9
Aqua ad             cc 300
Larutan tersebut harus diencerkan dengan perbandingan 1 sendok makan larutan
dicampur 9 sendok makan air hangat. Larutan dihirup (dimasukkan) ke dalam rongga
hidung dan dikeluarkan lagi dengan menghembuskan kuat-kuat atau yang masuk ke
nasofaring dikeluarkan melalui mulut, dilakukan 2 kali sehari. Jika sukar mendapatkan
larutan di atas dapat dilakukan pencucian rongga hidung dengan 100 cc air hangat yang
dicampur dengan 1 sendok makan (15cc) larutan betadine atau larutan garam dapur
setengah sendok teh dicampur segelas air hangat. Dapat diberikan vitamin A 3 x 50.000 unit
dan preparat Fe selama 2 minggu.(4)
2)        Pengobatan operatif
       Jika dengan pengobatan konservatif tidak ada perbaikan, maka dilakukan operasi.
Teknik operasi antara lain operasi penutupan lubang hidung atau penyempitan lubang
hidung dengan implantasi atau dengan jabir osteoperiosteal. Tindakan ini diharapkan akan
mengurangi turbulensi udara dan pengeringan sekret, inflamasi mukosa berkurang, sehingga
mukosa akan kembali normal. Penutupan rongga hidung dapat dilakukan pada nares anterior
atau pada koana selama 2 tahun. Untuk menutup koana dipakai flat palatum.
       Akhir-akhir ini bedah sinus endoskopik fungsional (BSEF) sering dilakukan pada kasus
rhinitis atrofi. Dengan melakukan pengangkatan sekat-sekat tulang yang mengalami
osteomielitis, diharapkan infeksi tereradikasi, fungsi ventilasi dan drainase sinus kembali
normal, sehingga terjadi regenerasi mukosa.(4)
v   RHINITIS SIFILIS
          Penyakit ini sudah jarang ditemukan. Penyebab rhinitis sifilis ialah
kuman Treponema pallidum. Pada Rhinitis Sifilis yang primer dan sekunder, gejalanya
serupa dengan Rhinitis Akut lainnya, hanya mungkin dapat terlihat adanya bercak atau
bintik pada mukosa. Keterlibatan hidung dengan sifilis terutama terjadi pada tahap tersier.
Manifetasi ini dengan adanya gambaran infiltrasi gummata atau dengan penyebaran
infiltrasi gummata pada rongga hidung. Pada rhinitis sifilis tersier dapat ditemukan gumma
atau ulkus, yang terutama mengenai septum nasi dan dapat mengakibatkan perforasi septum.
(4)
 Jika tidak diobati, penyakit ini menyebabkan kerusakan progresif dari jaringan
sekitarnya, dan kerusakan tulang akhirnya dapat terjadi.(12)
o  Diagnosis
Pada pemeriksaan klinis didapatkan sekret mukopurulen yang berbau dan krusta.
Mungkin  terlihat perforasi septum atau hidung pelana. Diagnosis pasti ditegakkan dengan
pemeriksaan mikrobiologik dan biopsi.(4)
o  Terapi
Sebagai pengobatan diberikan Penisilin dan obat cuci hidung. Krusta harus
dibersihkan secara rutin.(4)
v   RHINITIS TUBERKULOSA
          Rhinitis tuberkulosa merupakan kejadian infeksi tuberkulosa ekstra pulmoner. Seiring
dengan peningkatan kasus tuberculosis (new emerging disease) yang berhubungan dengan
kasus HIV-AIDS, penyakit ini harus diwaspadai keberadaanya. (4) Tuberkulosis dapat
melibatkan mukosa hidung sebagai infeksi primer setelah menghirup droplet infeksi,
membentuk kompleks primer sekitar 6 minggu setelah infeksi.(12) Tuberkulosis pada hidung
berbentuk noduler atau ulkus, terutama mengenai tulang rawan septum dan dapat
mengakibatkan perforasi.(4)
o  Gejala klinis dan Diagnosis
Pada pemeriksaan klinis terdapat sekret mukopurulen dan krusta, sehingga
menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya basil
tahan asam (BTA) pada sekret hidung. Pada pemeriksaan histopatologi ditemukan sel datia
Langhans dan limfositosis.(4)

o  Terapi
Pengobatannya diberikan antituberkulosis dan obat cuci hidung.(4)
v   RHINITIS JAMUR
          Dapat terjadi bersama dengan Sinusitis dan bersifat invasif atau non-invasif. Rhinitis
jamur non-invasif dapat menyerupai Rinolit dengan inflamasi mukosa yang lebih berat.
Rinolit ini sebenarnya adalah gumpalan jamur (fungus ball). Biasanya tidak terjadi destruksi
kartilago dan tulang.
          Tipe invasif ditandai dengan ditemukannya hifa jamur pada lamina propria. Jika
terjadi invasi jamur pada submukosa dapat mengakibatkan perforasi septum atau hidung
pelana. Jamur sebagai penyebab dapat dilihat dengan pemeriksaan histopatologi,
pemeriksaan sediaan langsung atau kultur jamur, misalnya Aspergillus, Candida,
Histoplasma, Fussarium dan Mucor.(4)
o  Diagnosis
Pada pemeriksaan hidung terlihat adanya sekret mukopurulen, mungkin terlihat ulkus
atau perforasi pada septum disertai dengan jaringan nekrotik berwarna kehitaman (black
eschar).(4)
o  Terapi
Untuk rhinitis jamur non-invasif, terapinya adalah mengangkat seluruh gumpalan
jamur. Pemberian obat jamur sistemik maupun topical tidak diperlukan. Terapi untuk
rhinitis jamur invasif adalah mengeradikasi agen penyebabnya dengan pemberian anti jamur
oral dan topikal. Cuci hidung dan pembersihan hidung secara rutin dilakukan untuk
mengangkat krusta. Untuk infeksi jamur invasif, kadang-kadang diperlukan debridement
seluruh jaringan yang nekrotik dan tidak sehat. Kalau jaringan nekrotik sangat luas, dapat
terjadi destruksi yang memerlukan tindakan rekonstruksi.(4)
PENYAKIT AKIBAT TRAUMA PADA HIDUNG

1. DEVIASI SEPTUM NASI

Definisi

Deviasi septum ialah suatu keadaan dimana terjadi peralihan posisi dari septum
nasi dari letaknya yang berada di garis medial tubuh.
Deviasi septum dibagi atas beberapa klasifikasi berdasarkan letak deviasi, yaitu:
1. Tipe I; benjolan unilateral yang belum mengganggu aliran udara.
2. Tipe II; benjolan unilateral yang sudah mengganggu aliran udara, namun masih
belum menunjukkan gejala klinis yang bermakna.
3. Tipe III; deviasi pada konka media (area osteomeatal dan turbinasi tengah).
4. Tipe IV, “S” septum (posterior ke sisi lain, dan anterior ke sisi lainnya).
5. Tipe V; tonjolan besar unilateral pada dasar septum, sementara di sisi lain masih
normal.

6. Tipe VI; tipe V ditambah sulkus unilateral dari kaudal-ventral, sehingga


menunjukkan rongga yang asimetri.
7. Tipe VII; kombinasi lebih dari satu tipe, yaitu tipe I-tipe VI.

Bentuk-bentuk dari deformitas


hidung ialah deviasi, biasanya
berbentuk C atau S; dislokasi,
bagian bawah kartilago septum ke
luar dari krista maksila dan masuk
ke dalam rongga hidung;
penonjolan tulang atau tulang
rawan septum, bila memanjang
dari depan ke belakang disebut
krista, dan bila sangat runcing dan
pipih disebut spina; sinekia, bila
deviasi atau krista septum bertemu
dan melekat dengan konka
dihadapannya.

Etiologi
Penyebab deviasi septum nasi antara lain trauma langsung, Birth Moulding
Theory (posisi yang abnormal ketika dalam rahim), kelainan kongenital, trauma sesudah
lahir, trauma waktu lahir, dan perbedaan pertumbuhan antara septum dan palatum.
Faktor resiko deviasi septum lebih besar ketika persalinan. Setelah lahir, resiko
terbesar ialah dari olahraga, misalnya olahraga kontak langsung (tinju, karate, judo) dan
tidak menggunakan helm atau sabuk pengaman ketika berkendara.

Diagnosis
Deviasi septum biasanya sudah dapat dilihat melalui inspeksi langsung pada
batang hidungnya. Namun, diperlukan juga pemeriksaan radiologi untuk memastikan
diagnosisnya. Dari pemeriksaan rinoskopi anterior, dapat dilihat penonjolan septum ke
arah deviasi jika terdapat deviasi berat, tapi pada deviasi ringan, hasil pemeriksaan
bisa normal.
Deviasi septum yang ringan tidak akan mengganggu, akan tetapi bila
deviasi itu cukup berat, menyebabkan penyempitan pada satu sisi hidung. Dengan
demikian, dapat mengganggu fungsi hidung dan menyebabkan komplikasi.

Gejala yang sering timbul biasanya adalah sumbatan hidung yang unilateral
atau juga bilateral. Keluhan lain ialah rasa nyeri di kepala dan di sekitar mata.
Selain itu, penciuman juga bisa terganggu apabila terdapat deviasi pada bagian atas
septum.

Penatalaksanaan
 Analgesik. Digunakan untuk mengurangi rasa sakit.
 Dekongestan, digunakan untuk mengurangi sekresi cairan hidung.
 Pembedahan.
o Septoplasti.
o SMR (Sub-Mucous Resection).
Komplikasi
Deviasi septum dapat menyumbat ostium sinus, sehingga merupakan faktor
predisposisi terjadinya sinusitis. Selain itu, deviasi septum juga menyebabkan
ruang hidung sempit, yang dapat membentuk polip.

2. ABSES SEPTUM NASI

ETIOLOGI DAN PATOGENESIS

Penyebab abses septum nasi tersering adalah trauma hidung akibat


kecelakaan, perkelahian, olah raga ataupun trauma yang sangat ringan sehingga
tidak dirasakan penderita seperti mengorek kotoran hidung atau mencabut bulu
hidung. Pada supurasi septum akibat trauma sebagai abses septum primer,
sedangkan penyebab lainnya dianggap sebagai abses septum nasi sekunder. Abses
septum nasi dapat terjadi secara spontan pada pasien sindrom imunodefisiensi
didapat. Abses septum nasi dapat terjadi akibat furunkel intranasal, peradangan
sinus, akibat komplikasi operasi hidung dan penyakit sistemik. Abses septum nasi
hampir selalu didahului oleh hematoma septum nasi yang terinfeksi.

Hematoma septum nasi terjadi akibat trauma pada septum nasi yang
merobek pembuluh darah yang berbatasan dengan tulang rawan septum nasi.
Darah akan terkumpul pada ruang di antara tulang rawan dan mukoperikondrium.
Hematoma ini akan memisahkan tulang rawan dari mukoperikondrium, sehingga
aliran darah sebagai nutrisi bagi jaringan tulang rawan terputus, maka terjadilah
nekrosis.

Tulang rawan septum nasi yang tidak mendapatkan aliran darah masih dapat
bertahan hidup selama 3 hari, setelah itu kondrosit akan mati dan resorpsi tulang
rawan akan terjadi. Bila tidak segera ditanggulangi, maka tulang septum nasi dan
triangular kartilago dapat ikut terlibat dan perforasi septum nasi dapat terjadi. Pada
akhirnya sedikit atau banyak akan terjadi parut dan hilangnya penyangga pada 2/3
kaudal septum, ini akan menghasilkan hidung pelana, retraksi kolumella, dan
pelebaran dasar hidung. Jika ada fraktur tulang rawan, maka darah akan mengalir
ke sisi kontralateral dan terjadilah hematom septum bilateral. Hematom yang
terjadi dapat besar sehingga dapat menyumbat kedua nares. Akibat keadaan yang
relatif kurang steril di bagian anterior hidung, hematoma septum nasi dapat
terinfeksi dan akan cepat berubah menjadi abses septum nasi yang mempercepat
resorpsi tulang rawan yang nekrotik. Staphylococcus aureus merupakan organisme
yang paling sering ditemukan pada hasil kultur abses septum nasi. Begitu pula
Streptococcus pneumoniae, streptococcus milleri, Streptococcus viridians,
Staphylococcus epidermis, Haemophillus influenza dan kuman anaerob juga
ditemukan pada abses septum nasi.

Tidak semua hematom septum nasi berkembang menjadi abses, bila sembuh
dengan terapi antibiotik akan terbentuk jaringan ikat, sehingga akan terjadi
penebalan jaringan septum nasi yang dapat menyebabkan obstruksi saluran nafas
dan retraksi yang menimbulkan kontraktur septum nasi.Bila keadaan ini terjadi
pada masa anak-anak, akan mempengaruhi pertumbuhan 2/3 bagian wajah yang
dapat menyebabkan hipoplasia maksila. Infeksi pada septum nasi dapat masuk ke
dalam sinus kavernosus sehingga akan terjadi trombosis dan atau meningitis

DIAGNOSIS

Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.


Sebagian besar abses septum nasi biasanya mempunyai riwayat trauma, kadang-
kadang penderita tidak menyadari terjadinya trauma tersebut. Trauma septum nasi
dan mukosa dapat terjadi tanpa adanya cedera hidung luar. Abses septum nasi
sering timbul 24-48 jam setelah trauma, terutama pada dewasa muda dan anak.

Gejala abses septum nasi adalah hidung tersumbat yang progresif disertai rasa
nyeri. Rasa nyeri terutama dirasakan di daerah dorsum nasi terutama di puncak
hidung. Juga terdapat keluhan demam dan sakit kepala. Perlu ditanyakan riwayat
operasi hidung sebelumnya, gejala peradangan hidung dan sinus paranasal,
furunkel intra nasal, penyakit gigi dan penyakit sistemik. Akibat trauma hidung,
terkadang pada inspeksi masih tampak kelainan berupa eskoriasi, laserasi kulit,
epistaksis, deformitas hidung, edema dan ekimosis. Pemeriksaan sebaiknya tanpa
menggunakan spekulum hidung. Tampak pembengkakan septum berbentuk bulat
dengan permukaan licin pada kedua sisi. Identifikasi abses septum nasi sangat
mudah bagi para ahli, tetapi tidak jarang dokter gagal dalam mengamati keadaan
ini. Karena kegagalan dalam mengidentifikasi hematoma atau abses septum nasi
cukup banyak, maka diperlukan pemeriksaan intra nasal yang teliti. Jika penderita
tidak kooperatif, misalnya pada anak-anak, pemeriksaan dapat dilakukan dengan
anestesi umum. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior, seluruh septum nasi harus
diperiksa dari kaudal septum nasi sampai nasofaring. Tampak pembengkakan
unilateral ataupun bilateral, mulai tepat di belakang kolumella meluas ke posterior
dengan jarak bervariasi. Perubahan warna menjadi kemerahan atau kebiruan pada
daerah septum nasi yang membengkak menunjukkan suatu hematoma. Daerah
yang dicurigai dipalpasi dengan forsep bayonet atau aplikator kapas untuk
memeriksa adanya fluktuasi dan nyeri tekan. Pada palpasi dapat ditemukan nyeri
tekan. Untuk memastikan abses septum nasi cukup dengan aspirasi pada daerah
yang paling fluktuasi. Pada aspirasi akan didapatkan pus pada abses septum nasi,
sedangkan dari hematoma septum nasi akan keluar darah. Beberapa penulis
menyarankan tindakan rutin berupa aspirasi sebelum diberikan tindakan operatif.
Pus yang diperoleh sebaiknya diperiksakan di laboratorium untuk menentukan
jenis kuman dan tes sensitifitas terhadap antibiotik. Selain bernilai diagnostik,
aspirasi juga berguna untuk mengurangi ketegangan jaringan di daerah abses
septum nasi dan mengurangi kemungkinan komplikasi ke intrakranial.
Pemeriksaan laboratorium darah akan menunjukkan leukositosis. Pemeriksaan foto
rontgen sinus paranasal atau CT scan harus dilakukan untuk mencari etiologi
ataupun komplikasi.
PENATALAKSANAAN

Hematoma atau abses septum nasi harus dianggap sebagai kasus darurat dalam
bidang THT dan tindakan penanggulangannya harus segera dilakukan untuk
mencegah komplikasi. Penatalaksanaan abses septum nasi yang dianjurkan saat ini
yaitu drainase, antibiotik parenteral dan rekonstruksi defek septum. Tujuan dari
rekonstruksi adalah untuk menyangga dorsum nasi, memelihara keutuhan dan
ketebalan septum, mencegah perforasi septum yang lebih besar dan mencegah
obstruksi nasal akibat deformitas. Insisi dan drainase abses septum nasi dapat
dilakukan dalam anestesi lokal atau anestesi umum. Sebelum insisi terlebih dahulu
dilakukan aspirasi abses dan dikirim ke laboratorium untuk pemeriksaan kultur dan
tes sensitifitas. Insisi dilakukan 2 mm dari kaudal kartilago kira-kira perbatasan
antara kulit dan mukosa (hemitransfiksi) atau caudal septal incision (CSI) pada
daerah sisi kiri septum nasi. Septum nasi dibuka secara perlahan-lahan tanpa
merusak mukosa. Jaringan granulasi, debris dan kartilago yang nekrosis diangkat
dengan menggunakan kuret dan suction. Sebaiknya semua jaringan kartilago yang
patologis diangkat. Dilakukan pemasangan tampon anterior dan pemasangan salir
untuk mencegah rekurensi. Drainase bilateral merupakan kontraindikasi karena
dapat menyebabkan perforasi septum nasi. Pada abses bilateral atau nekrosis dari
tulang rawan septum nasi dianjurkan untuk segera melakukan eksplorasi dan
rekonstruksi septum nasi dengan pemasangan implan tulang rawan.

KOMPLIKASI

Deformitas dan gangguan fungsi hidung akibat abses septum nasi dapat dibedakan
dalam tiga proses di bawah ini. 1.Hilangnya sanggahan mekanik dari kartilago
piramid dan lobul 2.Retraksi dan atrofi jaringan ikat 3.Gangguan pertumbuhan
hidung dan muka bagian tengah. Selain kosmetik, abses septum nasi dapat juga
menimbulkan komplikasi yang berat dan berbahaya bila terjadi penjalaran infeksi
ke intrakranial berupa meningitis,abses otak dan empiema subaraknoid. Penjalaran
ke intrakranial dapat melalui berbagai jalan. Pertama melalui pembuluh-pembuluh
vena dari segitiga berbahaya, yaitu daerah di dalam garis segitiga dari glabela ke
kedua sudut mulut. Vena-vena tersebut melalui vena angularis, vena oftalmika,
vena etmoidalis, yang akan bermuara di sinus kavernosus. Kedua, infeksi masuk
melalui mukosa hidung kemudian melalui pembuluh limfe atau pembuluh darah
bermuara di sinus longitudinal dorsalis dan sinus lateralis. Ketiga, melalui saluran
limfe dari meatus superior melalui lamina kribriformis dan lamina perpendikularis
os etmoid yang bermuara ke ruang subaraknoid. Keempat, invasi langsung dapat
terjadi pada saat operasi, erosi lokal diduga dapat juga merupakan jalan atau
kebetulan ada kelainan kongenital. Kelima, selubung perineural diduga dapat juga
merupakan jalannya penjalaran infeksi, dalam hal ini selubung olfaktorius yang
menuju intrakranial melalui lamina kribriformis. Penjalaran infeksi ke organ-organ
di sekitar hidung dapat juga melalui saluran limfe dan selubung saraf olfaktorius
sehingga terjadi infeksi ke orbita dan sinus paranasal. Keterlambatan diagnosis
dapat menyebabkan destruksi tulang rawan dan tulang hidung sehingga terjadi
deformitas yang berupa hidung pelana,retraksi kolumella,dan pelebaran dasar
hidung. Nekrosis pada setiap komponen septum nasi dapat menyebabkan
terjadinya perforasi septum nasi
1. Kalogjera L. Rhinitis in Adults. 2011 ; 65(2):181-7. Diunduh
dari: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22359885
2.      Angier Elizabeth, Jenny Willington, Glenis Scadding, Steve Holmes, Samantha
Walker. Management of Allergic and Non-Allergic: A Primary Care Summary of
BSACI Guidelines. Primary Care Respiratory Journal (2010); 19(3): 217-222
3.      Nguyen Tran, John Vickery, Michael Blaiss. Management of Rhinitis: Allergic and
Non-Allergic. Allergy Asthma Immunol Res. 2011 July ; 3(3):148-156.
4.      Soepardi Efiaty, Nurbaiti Iskandar, Jenny Bashiruddin, Ratna Dwi Restuti. Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 2007. Edisi Keenam. Hal 139-142
5.      Centers for Disease Controls and Prevention. Common Colds: Protect Yourself  and
Others. Last Updated on February 24 2014. Diunduh
dari: http://www.cdc.gov/features/rhinoviruses/
6.      Regan Elizabeth. Diagnosing Rhinitis: Viral and Allergic Characteristic. September
2008. Vol. 33, No. 9. Diunduh dari: www.nursingcenter.com
7.      Balasubramanian. Rhinitis Classification and Management. Otolaryngology online.
Diunduh dari: otolaryngology.wdfiles.com
8.      Scadding Glenis. The Different Faces of Non-Allergic Rhinitis. World Allergy
Forum: Non-Allergic Rhinitis and Polyposis. Diunduh
dari: http://www.worldallergy.org/educational_programs/world_allergy_forum/sydne
y/scadding.php
9.      Common Cold FactSheet. The Texas Department of Insurance, Division of
Workers’ Compensation (TDI, DWC). Diunduh
dari: www.tditexas.gov/pubs/videoresource/fscommoncold.pdf
10.  Bryan Charles. Upper Respiratory Tract Infections and Other Infection of The Head
and Neck. 2011. University of South Carolina School of Medicine. Diunduh
dari: http://pathmicro.med.sc.edu/infectious%20disease/upper%20respiratory
%20tract.htm
11.  Penyakit Hidung. Sub Bagian Rinologi THT. Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara. 2001. Diunduh
dari: ocw.usu.ac.id/course/.../111.../sss20102011_slide_penyakit_hidung.pdf
12.  Rudolf Probst, Gerhard Grevers, Heinrich Iro. Basic Othorhinolaryngology. 2006.
Thieme. Hal 49-51
13.  Adams, Boies, Higler. Buku Ajar Penyakit THT. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
1997. Edisi 6. Jakarta. Hal 206-207
14.  Sonnemann Uwe, Olaf Scherner, Nina Werkhauser. Treatment of Rhinitis Sicca
Anterior With Ectoin Containing Nasal Spray. Journal of Allergy Volume 2014.
Diunduh dari: http://www.hindawi.com/journals/ja/2014/273219/
E.            KOMPLIKASI
1.             Sinusitis
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa Sinus Paranasal. Umumnya
disertai atau dipicu oleh Rhinitis sehingga sering disebut Rhinosinusitis. Penyebab
utamanya ialah Selesma (common cold) yang merupakan infeksi virus, yang
selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri.(4)
Sinusitis virus biasanya terjadi selama infeksi saluran napas atas; virus yang
lazim menyerang hidung dan nasofaring juga menyerang sinus. Mukosa sinus
paranasalis berjalan kontinu dengan mukosa hidung, dan penyakit virus yang
menyerang hidung perlu dicurigai dapat meluas ke sinus.(13)
Edema dan hilangnya fungsi silia normal pada infeksi virus menciptakan suatu
lingkungan yang ideal untuk perkembangan infeksi bakteri. Infeksi ini seringkali
melibatkan lebih dari satu bakteri. Yang sering ditemukan dalam frekuensi yang
makin menurun adalah Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenza, bakteri
anaerob, Branhamella catarrhalis, Streptokok alfa, Staphilococcus aureus dan
Streptococcus pyogenes.(13)
Keluhan utama Rhinosinusitis Akut ialah hidung tersumbat disertai nyeri/ rasa
tekanan pada muka dan ingus purulen, yang seringkali turun ke tenggorok (post nasal
drip). Dapat disertai gejala sistemik seperti demam dan lesu. Keluhan nyeri atau rasa
tekanan di daerah sinus yang terkena merupakan ciri khas sinusitis akut.(4)
2.             Infeksi telinga tengah
Secara normal, tuba Eustachius berfungsi untuk ventilasi, drainase sekret dan
menghalangi masuknya sekret dari nasofaring ke telinga tengah. Jika terjadi sumbatan
pada tuba Eustachius, maka dapat terjadi penyebaran infeksi dari nasofaring ke
telinga tengah dan terjadi peradangan.(4)
Infeksi virus dan bakteri dari traktus respiratori bagian atas, yang lebih sering
pada anak-anak, dapat juga secara langsung mempengaruhi mukosa telinga tengah.
Mereka memiliki kecenderungan untuk naik melalui tuba eustachius ke telinga bagian
tengah. Dengan perforasi membran timpani, bakteri gram negatif dapat juga masuk ke
telinga tengah melalui kanal eksternal, mendorong terjadinya otitis media akut atau
berlanjut terus menjadi inflamasi kronis.(12)

Gambar 3. Patofisiologi proses disfungsi tuba eustachius dihubungkan dengan


inflamasi kronik pada mukosa telinga tengah. (12)

Anda mungkin juga menyukai