Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN

ISOLASI SOSIAL PADA LANSIA

Disusun Oleh:

Nafilah Azmi Yaswar

131811133073

PROGRAM STUDI S1-KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS AIRLANGGA

2020
Isolasi Sosial

1. Tinjauan Teori
1.1. Definisi Lansia

Menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia yang


dimaksud dengan lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Lebih
lanjut Maryam (2008) juga mendefinisikan lansia sebagai seseorang yang telah berusia lanjut dan
telah terjadi perubahanperubahan dalam sistem tubuhnya.

1.2. Batasan Lansia

WHO dalam Kunaifi (2009) membagi lansia menurut usia ke dalam empat kategori, yaitu:

1. Usia pertengahan (middle age) : 45-59 tahun


2. Lansia (elderly) : 60-74 tahun
3. Usia tua (old) : 75-89 tahun
4. Usia sangat lanjut (very old) : lebih dari 90 tahun

1.3. Definisi Isolasi Sosial

Isolasi sosial adalah suatu gangguan hubungan interpersonal yang terjadi akibat adanya
kepribadian yang tidak fleksibel yang menimbulkan perilaku maladaptif dan menggangu fungsi
seseorang dalam hubungan sosial (Depkes RI, 2000).

Isolasi sosial juga merupakan kesepian yang dialami oleh individu dan dirasakan saat
didorong oleh keberadaan orang lain dan sebagai pernyataan negatif atau mengancam. Isolasi
sosial adalah keadaan dimana seseorang individu mengalami penurunan atau bahkan sama sekali
tidak mampu berinteraksi dengan orang lain di sekitarnya. Pasien mungkin merasa ditolak, tidak
diterima, kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain (Nanda,
2012).
Isolasi sosial merupakan upaya menghindari komunikasi dengan orang lain karena merasa
kehilangan hubungan akrab dan tidak mempunyai kesempatan untuk berbagi rasa, pikiran, dan
kegagalan. Pasien mengalami kesulitan dalam berhubungan secara spontan dengan orang lain
yang dimanifestasikan dengan mengisolasi diri, tidak ada perhatian dan tidak sanggup berbagi
pengalaman.

Isolasi sosial adalah keadaan dimana seorang individu mengalami penurunan atau bahkan
sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya. Pasien mungkin merasa
ditolak, tidak diterima, kesepian dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang
lain (Trimelia, 2011). Menarik diri adalah percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang
lain, menghindari hubungan dengan orang lain (Kowlin, 1993).
1.4. Etiologi
Berbagai faktor dapat menimbulkan respon yang maladaptif. Menurut Stuart dan Sundeen
(2007) dalam Damaiyanti dan Iskandar (2012), belum ada suatu kesimpulan yang spesifik
tentang penyebab gangguan yang mempengaruhi hubungan interpersonal. Faktor yang mungkin
mempengaruhi isolasi sosial adalah faktor predisposisi dan faktor presipitasi.
1. Faktor Predisposisi
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan isolasi sosial.
- Faktor perkembangan
Pada masa dewasa akhir, kehidupan seseorang akan mengalami banyak perubahan,
baik saat akibat penurunan kemampuan fisik, perubahan status individu, kehilangan
pasangan hidup, kehilangan komunikasi dengan anak, sehingga menyebabkan
peningkatan ketergantungan dengan orang lain.
- Faktor komunikasi dalam keluarga
Gangguan komunikasi dalam keluarga merupakan faktor pendukung untuk terjadinya
gangguan hubungan sosial, seperti adanya komunikasi yang tidak jelas (double bind)
yaitu suatu keadaan dimana individu menerima pesan yang saling bertentangan dalam
waktu bersamaan, dan ekspresi emosi yang tinggi di setiap berkomunikasi.
- Faktor sosial budaya
Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan merupakan faktor pendukung
terjadinya gangguan berhubungan. Dapat juga disebabkan oleh karena norma-norma
yang salah yang dianut oleh satu keluarga, seperti anggota tidak produktif diasingkan
dari lingkungan social.
- Faktor biologis
Genetik merupakan salah satu faktor pendukung gangguan jiwa. Insiden tertinggi
skizofrenia ditemukan pada keluarga yang anggota keluarganya ada yang menderita
skizofrenia. Berdasarkan hasil penelitian pada kembar monozigot apabila salah
diantaranya menderita skizofrenia adalah 58%, sedangkan bagi kembar dizigot
perentasenya 8%.
2. Faktor Presipitasi
Stressor presipitasi terjadinya isolasi sosial dapat ditimbulkan oleh faktor internal maupun
eksternal.
- Stressor sosial budaya
Stressor sosial budaya dapat memicu kesulitan dalam berhubungan, terjadinya
penurunan stabilitas keluarga seperti perceraian, berpisah dengan orang yang dicintai,
kehilangan pasangan pada usia tua, dipenjara. Semua ini dapat menimbulkan isolasi
sosial.
- Stressor biokimia
Teori dopamin: kelebihan dopamin pada mesokortikal dan mesolimbik serta tractus
saraf dapat merupakan indikasi terjadinya skizofrenia.
Menurunnya MAO (Mono Amino Oksidasi) di dalam darah akan meningkatkan
dopamine dalam otak. Karena salah satu kegiatan MAO adalah sebagai enzim yang
menurunkan dopamine, maka menurunnya MAO juga dapat merupakan indikasi
terjadinya skizofrenia.
- Faktor endokrin: jumlah FSH dan LH yang rendah ditemukan pada klien skizofrenia.
Demikian pula prolactin mengalami penurunan karena dihambat.
1.5. Patofisiologi

Menurut Stuart and Sundeen (1998). Salah satu gangguan berhubungan sosial diantaranya
perilaku menarik diri atau isolasi social yang disebabkan oleh perasaan tidak berharga, yang bisa
dialami klien dengan latar belakang yang penuh dengan permasalahan, ketegangan, kekecewaan
dan kecemasan.
Perasaan tidak berharga menyebabkan klien makin sulit dalam mengembangan hubungan
dengan orang lain. Akibatnya klien menjadi regresi atau mundur, mengalami penurunan dalam
aktifitas dan kurangnya perhatian terhadap penampilan dan kebersihan diri.
Klien semakin tenggelam dalam perjalanan dan tingkah laku masa lalu serta tingkah laku
primitive antara lain pembicaraan yang autistic dan tingkah laku yang tidak sesuai dengan
kenyataan, sehingga berakibat lanjut menjadi halusinasi. (Dalami,2009).
1.6. WOC

Faktor Presdisposisi dan


Faktor Presipitasi

Gangguan
Perkembangan: Tahap
Dewasa Akhir

Internal Stressor dan


Eksternal Stressor

Koping Individu Tidak


Efektif

Perubahan Perilaku
Psikososial

Menarik Diri dari Sosial

(D.0085) Gangguan Persepsi (D.0121) Isolasi (D.0109) Defisit


Sensori: Halusinasi Sosial Perawatan Diri
1.7. Manifestasi Klinis

Menurut Purba, dkk. (2008) tanda dan gejala isolasi sosial yang dapat
ditemukan dengan wawancara, adalah:
- Pasien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain
- Pasien merasa tidak aman berada dengan orang lain
- Pasien mengatakan tidak ada hubungan yang berarti dengan orang lain
- Pasien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu
- Pasien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan
- Pasien merasa tidak berguna
- Pasien tidak yakin dapat melangsungkan hidup
- Kontak mata kurang atau tidak mau mentap lawan bicara.
Perilaku ini biasanya disebabkan karena seseorang menilai dirinya rendah, sehingga
timbul perasaan malu untuk berinteraksi dengan orang lain. Bila tidak diberikan intervensi
lebih lanjut, maka akan menyebabkan perubahan persepsi sensori : halusinasi dan resiko
tinggi menyederai diri sendiri, orang lain bahkan lingkungan. Perilaku yang tertutup
dengan orang lain juga bisa menyebabkan intoleransi aktivitas yang akhirnya bisa
berpengaruh terhadap ketidakmampuan untuk melakukan perawatan secara mandiri.
Seseorang yang mempunyai harga diri rendah awalnya disebabkan oleh ketidakmampuan
untuk menyelesaikan masalah dalam hidupnya, sehingga orang tersebut berperilaku tidak
normal (koping individu tidak aktif).
1.8. Pemeriksaan Diagnosik
1. Minnesolla Multiphasic Personality Inventory (MMPI)
Adalah suatu bentuk pengujian yang dilakukan oleh psikiater dan psikolog dalam
menentukan kepribadian seseorang yang terdiri dari 556  pernyataan benar atau salah.
2. Elektroensefalografik (EEG)
Suatu pemeriksaan dalam psikiatri untuk membantu membedakan antara etiologi
fungsional dan organik dalam kelainan mental.
3. Test laboratorium kromosom darah untuk mengetahui apakah gangguan jiwa disebabkan
oleh genetik.
4. Rontgen kepala untuk mengetahui apakah gangguan jiwa disebabkan kelainan struktur
anatomi tubuh.
1.9. Penatalaksanaan
1. Obat anti psikotik
a. Clorpromazine (CPZ)

Indikasi: Untuk syndrome psikosis yaitu berdaya berat dalam kemampuan menilai


realitas,    kesadaran diri terganggu, daya nilai norma sosial dan tilik diri terganggu,
berdaya berat dalam fungsi -fungsi mental: waham, halusinasi, gangguan perasaan dan
perilaku yang aneh atau, tidak terkendali, berdaya berat dalam fungsi kehidupan sehari
-hari, tidak mampu bekerja, hubungan sosial dan melakukan kegiatan rutin.

Efek samping: Sedasi, gangguan otonomik (hipotensi, antikolinergik/


parasimpatik,mulut kering, kesulitan dalam miksi, dan defikasi, hidung tersumbat,mata
kabur, tekanan intra okuler meninggi, gangguan irama jantung),gangguan ekstra
piramidal (distonia akut, akatshia, sindromaparkinson/tremor, bradikinesia rigiditas),
gangguan endokrin, metabolik, hematologik, agranulosis, biasanya untuk pemakaian
jangka panjang.

b. Haloperidol (HLD)

Indikasi: Berdaya berat dalam kemampuan menilai realita dalam fungsi netral serta
dalam fungsi kehidupan sehari-hari. Efek samping: Sedasi dan inhibisi psikomotor,
gangguan otonomik (hipotensi,   antikolinergik/parasimpatik, mulut kering, kesulitan
miksi dan defikasi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan intraokuler meninggi,
gangguan irama jantung).

c. Trihexy phenidyl (THP)


Indikasi:Segala jenis penyakit parkinson,termasuk paska ensepalitis dan
idiopatik,sindrom parkinson akibat obat misalnya reserpin dan fenotiazine. Efek
samping:  Sedasi dan inhibisi psikomotor Gangguan otonomik (hypertensi, anti
kolinergik/ parasimpatik, mulut kering, kesulitanmiksi dan defikasi, hidung tersumbat,
mata kabur, tekanan intra oluker meninggi, gangguan irama jantung).
1.10. Komplikasi

Komplikasi yang mugkin di timbulkan pada klien dengan isolasi sosial


1. Gangguan Persepsi Sensori: halusinasi
2. Defisit perawatan diri.
2. Konsep Asuhan Keperawatan

2.1. Pengkajian

Untuk mengkaji pasien isolasi sosial, kita dapat menggunakan wawancara dan
observasi kepada pasien dan keluarga
1. Faktor Predisposisi
Faktor-faktor predisposisi terjadinya gangguan hubungan sosial, adalah :
- Faktor Perkembangan
Pada setiap tahapan tumbuh kembang individu ada tugas perkembangan yang harus
dilalui individu dengan sukses agar tidak terjadi gangguan dalam hubungan sosial.
Apabila tugas ini tidak terpenuhi, akan mencetuskan seseorang sehingga mempunyai
masalah respon sosial maladaktif.
System keluarga yang terganggu dapat menunjang perkembangan respon social
maladaktif. Norma keluarga yang tidak mendukung hubungan keluarga dengan pihak
lain diluar keluarga
- Faktor Biologis
Genetic merupakan salah satu faKtor pendukung gangguan jiwa. Berdasarkan hasil
penelitian, pada penderita skizofrenia 8% kelainan pada struktur otak, seperti atrofi,
pembesaran ventrikel, penurunan berat dan volume otak serta perubahan struktur
lmbik diduga dapat menyebabkan skizofrenia.
- Faktor Sosial Budaya
Isolasi sosial merupakan faktor dalam gangguan berhubungan. Ini akibat dan norma
yang tidak mendukung pendekatan terhadap orang lain, atau tidak menghargai
anggota masyarakat yang tidak produktif, seperti lansia, orang cacat, dan penyakit
kronik.
- Faktor Komunikasi Dalam Keluarga
Dalam teori ini termasuk masalah komunikasi yang tidak jelas yaitu suatu
keadaan dimana seseorang anggota keluarga menerima pesan yang saling
bertentangan dalam waktu bersamaan, ekspresi emosi yang tinggi dalam keluarga
yang menghambat untuk berhubungan dengan lingkungan di luar keluarga.
2. Stressor Presipitasi
Stressor presipitasi umumnya mencakup kejadian kehidupan yang penuh stress seperti
kehilangan, yang mempengaruhi kemampuan individu untuk berhubungan dengan
orang lain dan menyebabkan ansietas. Stressor presipitasi dapat dikelompokkan dalam
kategori:
- Stressor Sosial Budaya
Stress dapat ditimbulkan oleh beberapa faktor antara faktor lain dan faktor
keluarga seperti menurunnya stabilitas unit keluarga dan berpisah dari orang yang
berarti dalam kehidupannya, misalnya dirawat di rumah sakit.
- Stressor Psikologi
Tingkat kecemasan yang berat akan menyebabkan menurunnya kemampuan
individu untuk berhubungan dengan orang lain. Intensitas kecemasan yang
ekstrim dan memanjang disertai terbatasnya kemampuan individu mengatasi
masalah diyakini akan menimbulkan berbagai masalah gangguan berhubungan
(isolasi sosial).
3. Perilaku
Adapun perilaku yang bisa mucul pada isolasi sosial berupa : kurang spontan, apatis
(kurang acuh terhadap lingkungan), ekspresi wajah kurang berseri (ekspresi sedih), afek tumpul.
Tidak merawat dan memperhatikan kebersihan diri, komunikasi verbal menurun atau tidak ada.
Klien tidak bercakap-cakap dengan klien lain atau perawat, mengisolasi diri (menyendiri). Klien
tampak memisahkan diri dan orang lain, tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitar.
Pemasukan makanan dan minuman terganggu, retensi urine dan feses, aktivitas menurun, kurang
energi (tenaga), harga diri rendah, posisi janin saat tidur, menolak hubungan dengan orang lain.
Klien memutuskan percakapan atau pergi jika diajak bercakap-cakap.
4. Sumber Koping
Sumber koping yang berhubungan dengan respon sosial maladaktif termasuk :
keterlibatan dalam berhubungan yang luas di dalam keluarga maupun teman, menggunakan
kreativitas untuk mengekspresikan stress interpersonal seperti kesenian, music, atau tulisan.
5. Mekanisme Defensif
Mekanisme yang digunakan klien sebagai usaha mengatasi kecemasan yang merupakan
suatu kesepian nyata yang mengancam dirinya. Mekanisme yang sering digunakan pada isolasi
sosial adalah regresi, represi, dan isolasi.
- Regresi adalah mundur kemasa perkembangan yang telah lain
- Represi adalah perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran yang tidak dapat diterima,
secara sadar dibendung supaya jangan tiba di kesadaran.
- Isolasi adalah mekanisme mental tidak sadar yang mengakibatkan timbulnya
kegagalan defensif dalam menghubungkan perilaku dengan motivasi atau
pertentangan antara sikap dan perilaku (Mukhripah Damaiyanti dan Iskandar,2012).
6. Tanda dan Gejala
- Gejala Subjektif :
1. Klien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain.
2. Klien merasa tidak aman berada dengan orang lain.
3. Respons verbal kurang dan sangat singkat.
4. Klien mengatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang lain.
5. Klien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu.
6. Klien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan.
7. Klien merasa tidak berguna
8. Klien tidak yakin dapat melangsungkan hidup.
9. Klien merasa ditolak.
- Gejala Objektif :
1. Klien banyak diam dan tidak mau bicara.
2. Tidak mengikuti kegiatan.
3. Banyak berdiam diri dikamar.
4. Klien menyendiri dan tidak mau berinteraksi dengan orang yang terdekat.
5. Klien tampak sedih, ekspresi datar dan dangkal.
6. Kontak mata kurang.
7. Kurang spontan.
8. Apatis (acuh terhadap lingkungan).
9. Ekspresi wajah kurang berseri.
10. Tidak merawat diri dan tidak memperhatikan kebersihan diri.
11. Mengisolasi diri.
12. Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitarnya.
13. Masukan makan dan minuman terganggu.
14. Aktivitas menurun.
15. Kurang energy (tenaga).
16. Rendah diri.
17. Postur tubuh berubah, misalnya sikap fectus/janin (khususnya pada posisi tidur)
(Yosep,2011).
2.2. Riwayat Kesehatan Dahulu dan Sekarang
Perlu dikaji terkait penyakit yang pernah diderita untuk memprediksi apakah lansia
tersebut dapat terserang penyakit yang sama lagi dikemudian hari atau justru menderita
komplikasi akibat penyakit primernya terdahulu.
2.3. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik secara komprehensif (head to toe/per sistem) wajib dilakukan meski
tidak ada keluhan berarti yang dirasakan lansia guna mengantisipasi penyakit
degeneratif.
2.4. Diagnosis Keperawatan
1. Isolasi Sosial (D.0121) b.d perubahan status mental.
2. Defisit Perawatan Diri (D.0109) b.d penurunan motivasi/minat.
3. Gangguan Persepsi Sensori: Halusinasi (D.0085) b.d usia lanjut.
2.5. Intervensi Keperawatan
No Diagnosis Tujuan, kriteria hasil (SLKI) Intervensi (SIKI)
Keperawatan
1. Isolasi Sosial Setelah dilakukan tindakan Terapi Aktivitas
(D.0121) b.d keperawatan selama … × 24 jam, Observasi:
perubahan status klien diharapkan dapat - Identifikasi defisit tingkat aktivitas
mental. meningkatkan hubungan sosial - Identifikasi kemampuan
dengan kriteria hasil: berpartisipasi dalam aktivitas
tertentu
Keterlibatan Sosial: - Monitor respon emosional, fisik,
a. Minat interaksi meningkat social, dan spiritual terhadap
b. Minat untuk aktivitas aktivitas
meningkat
c. Perilaku menarik diri menurun Terapeutik:
d. Kontak mata membaik - Fasilitasi fokus pada kemampuan,
bukan defisit yang dialami
- Fasilitasi memilih aktivitas dan
tetapkan tujuan aktivitas yang
konsisten sesuai kemampuan fisik,
psikologis, dan sosial
- Libatkan keluarga dalam aktivitas
- Fasilitasi mengembangkan
motivasi dan penguatan diri
- Fasilitasi pasien dan keluarga
memantau kemajuannya sendiri
untuk mencapai tujuan
- Berikan penguatan positif atas
partisipasi dalam aktivitas

Edukasi:
- Jelaskan metode akivitas fisik
sehari-hari
- Ajarkan cara mlakukan akivitas
yang dipilih
- Anjurkan melakukan aktivitasfisik,
social, spiritual, dan kognitif dalam
menjaga fungsi dan Kesehatan
- Anjurkan keluarga untuk memberi
penguatan positif atas partisipasi
dalam aktivitas.
2. Defisit Perawatan Setelah dilakukan tindakan Dukungan Perawatan Diri
Diri (D.0109) b.d keperawatan selama … × 24 jam, Observasi:
penurunan klien diharapkan dapat - Identifikasi kebiasaan aktivitas
motivasi/minat. meningkatkan perawatan diri perawatan diri sesuai usia
dengan kriteria hasil: - Monitor tingkat kemadirian
- Identifikasi kebutuhan alat bantu
Perawatan Diri: kebersihan diri, berpakaian,
a. Verbalisasi keinginan berhias, dan makan
melakukan perawatan diri
meningkat. Terapeutik:
b. Minat melakukan perawatan - Fasilitasi kemandirian, bantu jika
diri meningkat. tidak mampu melakukan perawatan
c. Mempertahankan kebersihan diri
diri meningkat. - Jadwalkan rutinitas perawatan diri

Edukasi:
- Anjurkan melakukan perawatan
diri secara konsisten sesuai
kemampuan.
3. Gangguan Persepsi Setelah dilakukan tindakan Manajemen Halusinasi
Sensori: Halusinasi keperawatan selama … × 24 jam, Observasi:
(D.0085) b.d usia diharapkan dapat memperbaiki - Monitor perilaku yang
lanjut. perubahan persepsi dengan mengindikasi halusinasi
kriteria hasil: - Monitor dan sesuaikan tigkat
aktivitas dan stimulasi lingkungan
Persepsi Sensori: - Monitor isi halusinasi
a. Verbalisasi mendengar bisikan
menurun Terapeutik:
b. Verbalisasi melihat bayangan - Pertahankan lingkungan yang aman
menurun - Diskusikan perasaan dan respon
c. Perilaku halusinasi menurun terhadap halusinasi
d. Menarik diri menurun - Hidari perdebatan tentang validitas
e. Orientasi membaik halusinasi
Edukasi:
- Anjurkan memonitor sendiri situasi
terjadinya halusinasi
- Anjurkan bicara pada orang yang
dipercaya untuk memberi
dukungan dan umpan balik korektif
terhadap halusinsi
- Anjurkan melakukan distraksi
(mis. Mendengarkan music,
melakukan aktivitas dan Teknik
relaksasi)
- Ajarkan pasien dan keluarga cara
mengontrol halusinasi

Kolaborasi:
- Kolaborasi pemberian obat
antipsikotik dan antiansietas, jika
perlu

Daftar Pustaka
Carpenito, L. (2009). Dagnosis Keperawatan (Aplikasi pada Praktik Klinis Edisi 9). Jakarta:
EGC.

Damaiyanti, M. & Iskandar. (2012). Asuhan Keperawatan Jiwa. Jakarta: Refika Aditama.

Depkes, RI. (2012). Riset Kesehatan Dasar. Retrieved from http:/www.depkes.go.id

Handoyo, L. (2018). LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA


KLIEN LANJUT USIA (LANSIA) DENGAN MASALAH IMPECUNITY/POVERTY
(PENURUNAN/TIADA PENGHASILAN). Universitas Airlangga, 3, 18-19.

Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Purba, dkk. (2008). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Masalah Psikososial dan
Gangguan Jiwa. Medan: USU Press.

Anda mungkin juga menyukai