Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH IMUNOLOGI

INFEKSI IMUNOLOGI TERHADAP INFEKSI DAN VIRUS

Disusun Oleh :

1. Risnawati 170106040
2. Rokhimatul Maula 170106041
3. Sarah zulfa S 170106042
4. Sindi Widia 170106043
5. Sintia 170106044
6. Siti Mariyah 170106045
7. Sri Handayani 170106046
8. Tias Kurniawati 170106047
9. Widya Dwi Apriyani 170106048
10. Yunita Rahmawati N 170106050
11. Zahra Noval D 170106051

PROGRAM STUDI FARMASI


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANDUNG
Jl. Soekarno-Hatta No, 752 RT 01 RW 01 Kelurahan Cipadung kidul,
Kecamatan Panyileukan, Kota Bandung, 40614
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr wb
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini
dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda
tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-natikansyafa’atnya di
akhirat nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-
Nya, baik itu berupa sehar fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk
menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas mata kuliah Immunologi.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu,
penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya
makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Demikian, dan
apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang
sebesar-besarnya.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada dosen
Immunologi.
Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Bandung, 15 Desember 2019

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................i
DAFTAR ISI.................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................1
1.1 Latar Belakang.....................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................................2
1.3 Tujuan..................................................................................................................2
BAB II ISI.....................................................................................................................3
2.1 Infeksi Bakteri.....................................................................................................3
2.2 Bakteri Ekstraseluler............................................................................................3
2.2.1 Imunitas Non-Spesifik Terhadap Bakteri Ekstraselular..............................4
2.2.2 Imunitas Spesifik Terhadap Bakteri Ekstraselular..................................5
2.2.3 Respons Imun Terhadap Bakteri Intraselular..........................................7
2.3 Imunitas Alamiah Terhadap Bakteri Intraselular...............................................8
2.3.1 Respons Imun Spesifik Terhadap Bakteri Intraselular............................8
2.4 Infeksi Virus......................................................................................................10
2.3.1 Respon Imun Nonspesifik Terhadap Infeksi Virus...............................14
2.3.2 Respon Imun Spesifik Terhadap Infeksi Virus.........................................15
BAB III PENUTUP.....................................................................................................19
3.1 Kesimpulan.......................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................20

ii
iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sistem kekebalan tubuh sangat mendasar peranannya bagi kesehatan,
tentunya harus disertai dengan pola makan sehat, cukup berolahraga, dan
terhindar dari masuknya senyawa beracun ke dalam tubuh.Tubuh manusia tidak
mungkin terhindar dari lingkungan yang mengandung mikroba patogen
disekelilingnya, akan selalu terancam oleh paparan bakteri, virus, parasit,
radiasi matahari, dan polusi. Mikroba tersebut dapat menimbulkan penyakit
infeksi pada manusia. Mikroba patogen yang ada bersifat poligenik dan
kompleks. Oleh karena itu respon imun tubuh manusia terhadap berbagai
macam mikroba patogen juga berbeda. Umumnya gambaran biologic spesifik
mikroba menentukan mekanisme imun mana yang berperan untuk ptoteksi.
Begitu juga respon imun terhadap bakteri khususnya ekstraseluler atau
intraseluler mempunyai karakteristik tertentu pula. Biasanya kita dilindungi
oleh system pertahanan tubuh, sistem kekebalan tubuh, system pertahanan
tubuh, terutama makrofag, dan cukup lengkap kebutuhan gizi untuk menjaga
kesehatan.Respon imun yang alamiyah terutama melalui fagositosis oleh
neutrofil, monosit serta makrofag jaringan. Kerusakan jaringan yang terjadi ini
adalah akibat efek samping dari mekanismepertahanan tubuh untuk
mengeleminasi bakteri. Sitokin juga merangsang demam dan sintesis protein.
Respon imun selular dan humoral sama penting dalam pembentukan kekebalan
terhadap infeksivirus, dimana tujuan utama respon imun terhadap infeksi virus
HIV ialah eliminasi terhadap virus yang menginfeksisel dan sel-sel yang
mengandung virus atau tempat replikasi virus.

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana respon imunitas terhadap virus dan bakteri?
2. Apa saja tahapan atau mekanisme respon imun terhadap virus dan bakteri?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui repon imunitas terhadap virus dan bakteri.
1. Mengetahui tahapan atau mekanisme respon imun terhadap virus dan bakteri

2
BAB II

ISI

2.1 Infeksi Bakteri


Bakteri dari luar yang masuk ke tubuh akan segera diserang sistem imun
nonspesifik berupa fagosit, komplemen, APP (AcutePhase Protein) atau
dinetralkan antibody spesifik yang sudah ada di dalam darah. Imunologi bakteri
dapat dibedakan menjadi 2, yaitu imunologi bakteri intraseluler dan ekstraseluler
(Munasir, 2001).

2.2 Bakteri Ekstraseluler


Bakteri ekstraseluler adalah bakteri yang mampu membelah diri di luar sel
host, contohnya pada sirkulasi, jaringan ikat ekstraseluler dan berbagai macam
ruang antara jaringan seperti saluran gastrointestinal dan saluran genitourinaria
(Munasir, 2001).

Contok bakteri yang ekstraseluler yang bersifat patogen:

- Bakteri gram positif atau pyogeniccocci (Staphilococcis, Streptococcus)


- Gram negativecocci (meningococcus, Gonococcus, Neisseria)
- Basil gram negatif (organisme dalam usus: E. coli)
- Basil gram negatif (bakteri anaerob: Clostridium sp.)

Banyak diantaranya merupakan bakteri patogenik. Penyakit yang ditimbulkan


bakteri ekstraseluler dapat berupa inflamasi yang menimbulkan destruksi
jaringan di tempat infeksi dengan membentuk nanah/infeksi supuratif seperti
yang terjadi pada infeksi streptococcus.

Menurut Munasir, 2001 Bakteri ekstraselular dapat menimbulkan penyakit


melalui beberapa mekanisme yaitu:

3
1. Merangsang reaksi inflamasi yang menyebabkan destruksi jaringan di tempat
infeksi. Sebagai contoh misalnya kokus piogenik yang sering menimbulkan
infeksi supuratif yang hebat.
2. Produksi toksin yang menghasilkan berbagai efek patologik. Toksin dapat
berupa endotoksin dan eksotoksin. Endotoksin yang merupakan kom- ponen
dinding bakteri adalah suatu lipopolisakarida yang merupakan stimulator
produksi sitokin yang kuat, suatu adjuvan serta aktivator poliklonal sel
limfosit B. Sebagian besar eksotoksin mempunyai efek sitotoksik dengan
mekanisme yang belum jelas benar. Sebagai contoh toksin difteri
menghambat sintesis protein secara enzimatik serta menghambat faktor
elongasi-2 yang diperlukan untuk sintesis semua peptida. Toksin kolera
merangsang sintesis AMP siklik (cAMP) oleh sel epitel usus yang
menyebabkan sekresi aktif klorida, kehilangan cairan serta diare yang hebat.
Toksin tetanus merupakan suatu neurotoksin yang terikat motor endplate pada
neuro muscular junction yang menyebabkan kontraksi otot persisten yang
sangat fatal bila mengenai otot pernapasan. Toksin klostridium dapat
menyebabkan nekrosis jaringan yang dapat menghasilkan gas gangren.
Respons imun terhadap bakteri ekstraselular ditujukan untuk eliminasi bakteri
serta netralisasi efek toksin.

2.2.1 Imunitas Non-Spesifik terhadap Bakteri Ekstraselular


Respons imun alamiah terhadap bakteri ekstraselular terutama melalui
mekanisme fagositosis oleh neutrofil, monosit serta makrofag jaringan.
Resistensi bakteri terhadap fagositosis dan penghancuran dalam makrofag
menunjukkan virulensi bakteri. Aktivasi komplemen tanpa adanya antibodi
juga memegang peranan penting dalam eliminasi bakteri ekstraselular.
Lipopolisakarida (LPS) dalam dinding bakteri gram negatif dapat
mengaktivasi komplemen jalur alternatif tanpa adanya antibodi. Salah satu
hasil aktivasi komplemen ini yaitu C3b mempunyai efek opsonisasi bakteri
serta meningkatkan fagositosis. Selain itu terjadi lisis bakteri melalui

4
membrane attack complex (MAC) serta beberapa hasil sampingan aktivasi
komplemen dapat menimbulkan respons inflamasi melalui pengumpulan
(recruitment) serta aktivasi leukosit (Munasir, 2001).

Endotoksin yang merupakan LPS merangsang produksi sitokin oleh


makrofag serta sel lain seperti endotel vaskular. Beberapa jenis sitokin
tersebut antara lain tumor nekrosis factor (TNF), IL-1, IL-6 serta beberapa
sitokin inflamasi dengan berat molekul rendah yang termasuk golongan IL-8.
Fungsi fisiologis yang utama dari sitokin yang dihasilkan oleh makrofag
adalah merangsang inflamasi non-spesifik serta meningkatkan aktivasi
limfosit spesifik oleh antigen bakteri. Sitokin akan menginduksi adhesi
neutrofil dan monosit pada endotel vaskular pada tempat infeksi yang diikuti
migrasi, akumulasi lokal serta aktivasi sel inflamasi. Kerusakan jaringan yang
terjadi adalah akibat efek samping mekanisme pertahanan untuk eliminasi
bakteri tersebut. Sitokin juga merangsang demam dan sintesis protein fase
akut. Banyak fungsi sitokin yang sama yaitu sebagai ko-stimulator sel limfosit
T dan B yang menghasilkan mekanisme amplifikasi untuk imunitas spesifik.
Sitokin dalam jumlah besar atau produknya yang tidak terkontrol dapat
membahayakan tubuh serta berperan dalam menifestasi klinik infeksi bakteri
ekstraselular. Yang paling berat adalah gejala klinis oleh infeksi bakteri
Gram-negatif yang menyebabkan disseminate dintravascular coagulation
(DIC) yang progresif serta syok septik atau syok endotoksin. Sitokin TNF
adalah mediator yang paling berperan pada syok endotoksin ini (Munasir,
2001).

2.2.2 Imunitas Spesifik terhadap Bakteri Ekstraselular


Kekebalan humoral mempunyai peran penting dalam respons kekebalan
spesifik terhadap bakteri ekstraselular. Lipopolisakarida merupakan
komponen yang paling imunogenik dari dinding sel atau kapsul
mikroorganisme serta merupakan antigen yang thymusindependent. Antigen
ini dapat langsung merangsang sel limfosit B yang menghasilkan imunoglobin

5
IgM spesifik yang kuat. Selain itu produksi IgG juga dirangsang yang
mungkin melalui mekanisme perangsangan isotypes witching rantai berat oleh
sitokin. Respons sel limfosit T yang utama terhadap bakteri ekstraselular
melalui sel TCD4 yang berhubungan dengan molekul MHC kelas II yang
mekanismenya telah dijelaskan di atas. Sel TCD4 berfungsi sebagai sel
penolong untuk merangsang pembentukan antibodi, aktivasi fungsi fagosit
dan mikrobisid makrofag.

Ada 3 mekanisme efektor yang dirangsang oleh IgG dan IgM serta
antigen permukaan bakteri (Munasir, 2001)

1. Opsonisasi bakteri oleh IgG serta peningkatan fagositosis dengan


mengikat reseptor Fc pada monosit, makrofag dan neutrofil. Antibodi IgG
dan IgM mengaktivasi komplemen jalur klasik yang menghasilkan C3b
dan iC3b yang mengikat reseptor komplemen spesifik tipe 1 dan tipe 3
dan selanjutnya terjadi peningkatan fagositosis. Pasien defisiensi C3
sangat rentan terhadap infeksi piogenik yang hebat.
2. Netralisasi toksin bakteri oleh IgM dan IgG untuk mencegah penempelan
terhadap sel target serta meningkatkan fagositosis untuk eliminasi toksin
tersebut.
3. Aktivasi komplemen oleh IgM dan IgG untuk menghasilkan mikrobisid
MAC serta pelepasan mediator inflamasi akut.

6
Gambar 1. Respon imun spesifik terhadap mikroba ekstraseluler. Respon imun
adaptif/ spesifik terhadap mikroba ekstraseluler seperti bakteri dan
toksinya yang mempengaruhi produksi antibody dan aktivasi CD4+
sel Th. Antibody menetralisasi dan mengeliminasi mikroba dan
toksinnya melalui beberapa mekanisme. Sel Th memproduksi sitokin
yang menstimulasi sel B untuk berespon, mengaktivasimakrofag dan
mempengaruhi inflamasi, dan antigen presenting cell.

2.2.3 Respons Imun terhadap Bakteri Intraselular


Karakteristik utama bakteri intraseluler adalah kemampuannya untuk hidup
dan bereplikasi didalam sel-sel fagosit. Dimana mikroba ini berhasil
memnemukan tempat yang tidak dapat dijangkau antibodi. Untuk
mengeliminasinya membutuhkan mekanisme respon imun seluler yang berbeda
dengan mekanisme respon imun terhadap bakteri ekstrasel. Sejumlah bakteri dan

7
semua virus serta jamur dapat lolos dan mengadakan replikasi di dalam sel
pejamu. Yang paling patogen di antaranya adalah yang resisten terhadap
degradasi dalam makrofag. Sebagai contoh adalah mikrobakteria serta Listeria
monocytogenes. Contoh bakteri intraseluler adalah Mycobacterium, Listeria
monocytogenes, Legionellepneumophilia (Munasir, 2001).

2.3 Imunitas Alamiah terhadap Bakteri Intraselular


Mekanisme terpenting imunitas alamiah terhadap mikroorganisme intraselular
adalah fagositosis. Akan tetapi bakteri patogen intraselular relatif resisten
terhadap degradasi dalam sel fagosit mononuklear. Oleh karena itu mekanisme
kekebalan alamiah ini tidak efektif dalam mencegah penyebaran infeksi sehingga
sering menjadi kronik dan eksaserbasi yang sulit diberantas (Munasir, 2001).

2.3.1 Respons Imun Spesifik terhadap Bakteri Intraselular


Respons imun spesifik terhadap bakteri intraselular terutama diperankan
oleh cell mediate dimmunity (CMI). Mekanisme imunitas ini diperankan oleh
sel limfosit T tetapi fungsi efektornya untuk eliminasi bakteri diperani oleh
makrofag yang diaktivasi oleh sitokin yang diproduksi oleh sel T terutama
interferon α (IFN α). Respons imun ini analog dengan reaksi hipersensitivitas
tipe lambat. Antigen protein intraselular merupakan stimulus kuat sel limfosit
T. Beberapa dinding sel bakteri mengaktivasi makrofag secara langsung
sehingga mempunyai fungsi sebagai ajuvan. Misalnya muramil dipeptida pada
dinding sel mikrobakteria.

Telah disebutkan di atas bahwa fungsi sel limfosit T pada CMI adalah
produksi sitokin terutama IFN α. Sitokin INF α ini akan
mengaktivasimakrofag termasuk makrofag yang terinfeksi untuk membunuh
bakteri. Beberapa bakteri ada yang resisten sehingga menimbulkan stimulasi
antigen yang kronik. Keadaan ini akan menimbulkan pengumpulan lokal
makrofag yang teraktivasi yang membentuk granuloma sekeliling
mikroorganisme untuk mencegah penyebarannya.

8
Reaksi inflamasi seperti ini berhubungan dengan nekrosis jaringan serta
fibrosis yang luas yang menyebabkan gangguan fungsi yang berat. Jadi
kerusakan jaringan ini disebabkan terutama oleh respons imun terhadap
infeksi oleh beberapa bakteri intraselular. Contoh yang jelas dalam hal ini
adalah infeksi mikobakterium. Mikobakterium tidak memproduksi toksin atau
enzim yang secara langsung merusak jaringan yang terinfeksi.

Paparan pertama terhadap Mycobacterium tuberculosis akan merangsang


inflamasi selular lokal dan bakteri mengadakan proliferasi dalam sel fagosit.
Sebagian ada yang mati dan sebagian ada yang tinggal dormant. Pada saat
yang sama, pada individu yang terinfeksi terbentuk imunitas sel T yang
spesifik. Setelah terbentuk imunitas, reaksi granulomatosa dapat terjadi pada
lokasi bakteri persisten atau pada paparan bakteri berikutnya. Jadi imunitas
perlindungan dan reaksi hipersensitif yang menyebabkan kerusakan jaringan
adalah manifestasi dalam respons imun spesifik yang sama.

9
Gambar 2. Proses infeksi bakteri ekstraseluler dan intraseluler.

(Bhavsar AP, Guttman J a dan Finlay BB, 2007)

2.4 Infeksi Virus


Respon imun terhadap protein virus melibatkan sel T dan sel B. Antigen virus
yang menginduksi antibody dapat menetrlkan virus dan sel T sitotoksik yang
spesifik merupakan imunitas paling efisien pada imunitas proteksi terhadap virus.

Infeksi virus secara langsung merangsang produksi IFN oleh sel-sel terinfeksi.
IFN berfungsi menghambat replikasi virus. Sel NK melisiskan berbagai jenis sel
terinfeksi virus. Sel NK mampu melisiskan sel yang terinfeksi virus walaupun
virus menghambat presentasi antigen dan ekspresi MHC I,  karena sel NK
cenderung diaktivasi oleh sel sasaran yang MHC negatif. Untuk membatasi
penyebaran virus dan mencegah reinfeksi, sistem imun harus mampu

10
menghambat masuknya virion ke dalam sel dan memusnahkan sel yang
terinfeksi. Antibodi spesifik mempunyai peran penting pada awal terjadinya
infeksi, dimana ia dapat menetralkan antigen virus dan melawan virus sitopatik
yang dilepaskan oleh sel yang mengalami lisis. (Kawai T dan Akira S, 2006)

Peran antibodi dalam menetralkan virus terutama efektif untuk virus yang
bebas atau virus dalam sirkulasi. Proses netralisasi virus dapat dilakukan dengan
beberapa cara, diantaranya dengan cara menghambat perlekatan virus pada
reseptor yang terdapat pada permukaan sel, sehingga virus tidak dapat menembus
membran sel. Dengan demikian replikasi virus dapat dicegah. Antibodi dapat
juga menghancurkan virus dengan cara aktivasi komplemen melalui jalur klasik
atau menyebabkan agregasi virus sehingga mudah difagositosis dan dihancurkan
melalui proses yang sama seperti diuraikan diatas.
Antibodi dapat mencegah penyebaran virus yang dikeluarkan dari sel yang
telah hancur. Tetapi sering kali antibodi tidak cukup mampu untuk
mengendalikan virus yang telah mengubah struktur antigennya dan yang
melepaskan diri (buddingof) melalui membran sel sebagai partikel yang
infeksius, sehingga virus dapat menyebar ke dalam sel yang berdekatan secara
langsung. Jenis virus yang mempunyai sifat seperti ini, diantaranya adalah virus
oncorna (termasuk didalamnya virus leukemogenik), virus dengue, virus herpes,
rubella dan lain-lain. Walaupun tidak cukup mampu menetralkan virus secara
langsung, antibodi dapat berfungsi dalam reaksi ADCC.
Disamping respons antibodi, respons imun selular merupakan respons yang
paling penting, terutama pada infeksi virus yang non-sitopatik respons imun
seluler melibatkan T-sitotoksik, sel NK, ADCC dan interaksi dengan MHC kelas
I. Peran IFN sebagai anti virus cukup besar, khususnya IFN-α dan IFN-β.
Dampak antivirus dari IFN terjadi melalui :
1 Peningkatan ekspresi MHC kelas I
2 Aktivasi sel NK dan makrofag
3 Menghambat replikasi virus.

11
Ada juga yang menyatakan bahwa IFN menghambat  penetrasi virus ke dalam
sel maupun budding virus dari sel yang terinfeksi. Seperti halnya pada infeksi
dengan mikroorganisme lain, sel T-sitotoksik selain bersifat protektif juga dapat
merupakan penyebab kerusakan jaringan, misalnya yang terlihat pada infeksi
dengan virus LCMV (lympocytechoriomeningitis virus) yang menginduksi
inflamasi pada selaput susunan saraf pusat.
Pada infeksi virus makrofag juga dapat membunuh virus seperti halnya ia
membunuh bakteri. Tetapi pada infeksi dengan virus tertentu, makrofag tidak
membunuhnya bahkan sebaliknya virus memperoleh kesempatan untuk replikasi di
dalamnya. Telah diketahui bahwa virus hanya dapat berkembang biak intraselular
karena ia memerlukan DNA-pejamu untuk replikasi. Akibatnya ialah bahwa virus
selanjutnya dapat merusak sel-sel organ tubuh yang lain terutama apabila virus itu
bersifat sitopatik. Apabila virus itu bersifat non sitopatik ia menyebabkan infeksi
kronik dengan menyebar ke sel-sel lain.
Pada infeksi sel secara langsung di tempat masuknya virus (portd’entre),
misalnya di paru, virus tidak sempat beredar dalam sirkulasi dan tidak sempat
menimbulkan respons primer, dan antibody yang dibentuk seringkali terlambat
untuk mengatasi infeksi. Pada keadaan ini respons imun selular mempunyai peran
lebih menonjol, karena sel T-sitotoksik mampu mendeteksi virus melalui reseptor
terhadap antigen virus sekalipun struktur virus telah berubah. Sel T sitotoksik
kurang spesifik dibandingkan antibody dan dapat melakukan reaksi silang dengan
spectrum yang lebih luas. Namun ia tidak dapat menghancurkan sel sasaran yang
menampilkan MHC kelas I yang berbeda.
Beberapa jenis virus dapat menginfeksi sel-sel system imun sehingga
mengganggu fungsinya dan mengakibatkan imunodepresi, misalnya virus
influenza, polio dan HIV. Sebagian besar infeksi virus membatasi diri sendiri
(selflimiting) pada sebagian lagi menimbulkan gejala klinik atau subklinik.
Penyembuhan dari infeksi virus umumnya diikuti imunitas jangka panjang.
Untuk mencapai organ sasaran, virus menempuh 2 cara :
1. Virus memasuki tubuh pada suatu tempat, kemudian ikut peredaran darah

12
mencapai organ. Infeksi virus melalui peredaran darah ini dapat diatasi
dengan anti toksin dalam titer yang rendah. Dengan kata lain titer anti toksin
yang rendah di dalam darah sudah cukup untuk mengikat toksis yang berada
dalam perjalanan ke sumsum syaraf pusat, sehingga tidak lagi dapat berikatan
dengan reseptor sel sasaran. Penyakit virus dengan pola penyebaran melalui
peredaran darah mempunyai periode inkubasi yang panjang. Contoh lain dari
pola penyebaran yang sama dengan virus polio adalah virus penyebab
penyakit morbili dan varicella.
2. Virus langsung mencapai organ sasaran, tidak melalui peredaran darah jadi
tempat masuk saluran pernafasan yang sekaligus merupakan tempat masuknya
virus. Pada jenis infeksi ini, titer antibody yang tinggi di dalam serum relative
tidak efektif terhadap virus penyebab  penyakit bila dibandingkan dengan
virus penyebab penyakit yang penyebarannya melalui peredaran darah. Hal ini
disebabkan karena selaput lendir saluran nafas tidak terlalu permiabel bagi Ig
G dan Ig M. Imunoglobulin yang terdapat dalam titer tinggi pada selaput
lendir saluran nafas adalah Ig A, karena Ig A dihasilkan oleh sel plasma yang
terdapat dalam lamina propria selaput lendir setempat. Ig A dalam secret
hidung inilah yang menetralisir aktivitas virus pada penyakit influenza.
Kekebalan terhadap penyakit virus seringkali bertahan lama, malah ada
yang seumur hidup. Contohnya penyakit morbili dan parotitis epidemika. Hal
ini terjadi karena virus yang sudah berada di dalam jaringan terlindung
terhadap antibody. Sewaktu-waktu ada virus yang keluar dari sel
persembunyiannya yang segera dikenali oleh limfosit B pengingat. Sel
limfosit kemudian akan bereaksi memperbanyak diri, menghasilkan sel-sel
plasma dan memproduksi antibody. Semuanya terjadi dalam waktu singkat
sehingga kekebalan dengan cepat ditingkatkan. Pada beberapa penyakit virus
antara lain influenza serangan penyakit dapat kembali terjadi dalam waktu
relative singkat setelah kesembuhan. Hal ini bukan disebabkan rendahnya
kekebalan, tapi karena virus influenza mengalami mutasi sehingga didapatkan
strain baru yang tidak sesuai dengan antibody yang telah ada.

13
Pada penyakit-penyakit influenza dan pilek yang mempunyai masa
inkubasi pendek yang dihubungkan dengan kenyataan bahwa organ sasaran
akhir bagi virus itu adalah sama dengan jalan masuk sehingga tidak terdapat
stadium antara yang terpengaruh pada perjalanan memasuki tubuh. Hanya ada
sedikit sekali waktu bagi suatu reaksi antibody primer dan dalam segala
kemungkinan pembentuk interferon yang cepat adalah cara yang paling tepat
untuk mengatasi infeksi virus itu.pada penyelidikan terlihat bahwa setelah
produksi interferon mulai menanjak, maka titer virus yang masih hidup dalam
paru-paru tikus yang telah di infeksi influenza cepat turun. Titer antibody
yang diukur dari serum, nampaknya sangat lambat untuk mencukupi nilai
yang diperlukan bagi penyembuhan.
Walaupun begitu, beberapa penyelidik akhir-akhir ini telah melihat
bahwa kadar antibody pada cairan local yang membasahi permukaan jaringan
yang terinfeksi mungkin meningkat, misalnya pada selaput lendir hidung dan
paru-paru, meskipun titer serum rendah dan ini merupakan antibody antivirus
(terutama Ig A) oleh sel-sel yang telah menjadi kebal dan tersebar ditempat itu
yang dapat membuktikan manfaatnya yang besar sebagai pencegahan bagi
infeksi berikutnya, tampakn infeksi berikutnya mungkin disebabkan oleh
virus yang secara antigenic sama sehingga kekebalan umum terhadap pilek ini
sukar dikendalikan.

2.3.1 Respon imun nonspesifik terhadap infeksi virus


Secara jelas terlihat bahwa respons imun yang terjadi adalah timbulnya
interferon dan sel natural killler (NK) dan antibodi yang spesifik terhadap
virus tersebut. Pengenalan dan pemusnahan sel yang terinfeksi virus sebelum
terjadi replikasi sangat bermanfaat bagi pejamu. Permukaan sel yang
terinfeksi virus mengalami modifikasi, terutama dalam struktur karbohidrat,
menyebabkan sel menjadi target sel NK. Sel NK mempunyai dua jenis
reseptor permukaan. Reseptor pertama merupakan killeractivatingreceptors,

14
yang terikat pada karbohidrat dan struktur lainnya yang diekspresikan oleh
semua sel. Reseptor lainnya adalah killerinhibitoryreceptors, yang mengenali
molekul MHC kelas I dan mendominasi signal dari reseptor aktivasi. Oleh
karena itu sensitivitas sel target tergantung pada ekspresi MHC kelas I. Sel
yang sensitif atau terinfeksi mempunyai MHC kelas I yang rendah, namun sel
yang tidak terinfeksi dengan molekul MHC kelas I yang normal akan
terlindungi dari sel NK. Produksi IFN-α selama infeksi virus akan
mengaktivasi sel NK dan meregulasi ekspresi MHC pada sel terdekat
sehingga menjadi resisten terhadap infeksi virus. Sel NK juga dapat berperan
dalam ADCC bila antibodi terhadap protein virus terikat pada sel yang
terinfeksi. (Kawai T dan Akira S, 2006)

2.3.2 Respon imun spesifik terhadap infeksi virus


Mekanisme respons imun spesifik ada dua jenis yaitu respons imunitas
humoral dan selular. Respons imun spesifik ini mempunyai peran penting
yaitu :
 Menetralkan antigen virus dengan berbagai cara antara lain menghambat
perlekatan virus pada reseptor yang terdapat pada permukaan sel sehingga
virus tidak dapat menembus membran sel, dan dengan cara mengaktifkan
komplemen yang menyebabkan agregasi virus sehingga mudah difagositosis
 Melawan virus sitopatik yang dilepaskan dari sel yang lisis.
Molekul antibodi dapat menetralisasi virus melalui berbagai cara. Antibodi
dapat menghambat kombinasi virus dengan reseptor pada sel, sehingga
mencegah penetrasi dan multiplikasi intraseluler, seperti pada virus influenza.
Antibodi juga dapat menghancurkan partikel virus bebas melalui aktivasi jalur
klasik komplemen atau produksi agregasi , meningkatkan fagositosis dan
kematian intraseluler.
Kadar konsentrasi antibodi yang relatif rendah juga dapat bermanfaat
khususnya pada infeksi virus yang mempunyai masa inkubasi lama, dengan
melewati aliran darah terlebih dahulu sebelum sampai ke organ target, seperti

15
virus poliomielitis yang masuk melalui saluran cerna, melalui aliran darah
menuju ke sel otak. Di dalam darah, virus akan dinetralisasi oleh antibodi
spesifik dengan kadar yang rendah, memberikan waktu tubuh untuk
membentuk resposn imun sekunder sebelum virus mencapai organ target.
Infeksi virus lain, seperti influenza dan commoncold, mempunyai
masa inkubasi yang pendek, dan organ target virus sama dengan pintu masuk
virus. Waktu yang dibutuhkan respons antibodi primer untuk mencapai
puncaknya menjadi terbatas, sehingga diperlukan produksi cepat interferon
untuk mengatasi infeksi virus tersebut. Antibodi berfungsi sebagai bantuan
tambahan pada fase lambat dalam proses penyembuhan. Namun, kadar
antibodi dapat meningkat pada cairan lokal yang terdapat di permukaan yang
terinfeksi, seperti mukosa nasal dan paru. Pembentukan antibodi antiviral,
khususnya IgA, secara lokal menjadi penting untuk pencegahan infeksi
berikutnya. Namun hal ini menjadi tidak bermanfaat apabila terjadi perubahan
antigen virus.
Virus menghindari antibodi dengan cara hidup intraseluler. Antibodi
lokal atau sistemik dapat menghambat penyebaran virus sitolitik yang
dilepaskan dari sel pejamu yang terbunuh, namun antibodi sendiri tidak dapat
mengontrol virus yang melakukan budding dari permukaan sel sebagai
partikel infeksius yang dapat menyebarkan virus ke sel terdekat tanpa terpapar
oleh antibodi, oleh karena itu diperlukan imunitas seluler.
Respons imunitas seluler juga merupakan respons yang penting
terutama pada infeksi virus nonsitopatik. Respons ini melibatkan sel T
sitotoksik yang bersifat protektif, sel NK, ADCC dan interaksi dengan MHC
kelas I sehingga menyebabkan kerusakan sel jaringan. Dalam respons infeksi
virus pada jaringan akan timbul IFN (IFN-a dan IFN-b) yang akan membantu 
terjadinya respons imun yang bawaan dan didapat. Peran antivirus dari IFN
cukup besar terutama IFN-a dan IFN-b.
Kerja IFN sebagai antivirus adalah :
1. Meningkatkan ekspresi  MHC kelas I

16
2. Aktivasi sel NK dan makrofag
3. Menghambat replikasi virus
4. Menghambat penetrasi ke dalam sel atau budding virus dari sel yang
terinfeksi.
Limfosit T dari pejamu yang telah tersensitisasi bersifat sitotoksik
langsung pada sel yang teinfeksi virus melalui pengenalan antigen pada
permukaan sel target oleh reseptor αβ spesifik di limfosit. Semakin cepat sel T
sitotoksik menyerang virus, maka replikasi dan penyebaran virus akan cepat
dihambat.
Sel yang terinfeksi mengekspresikan peptida antigen virus pada
permukaannya yang terkait dengan MHC kelas I sesaat setelah virus masuk.
Pemusnahan cepat sel yang terinfeksi oleh sel T sitotoksik αβ mencegah
multiplikasi virus. Sel T sitotoksik γδ menyerang virus (nativeviralcoat protein)
langsung pada sel target.
Sel T yang terstimulasi oleh antigen virus akan melepaskan sitokin seperti
IFN-γ dan kemokinmakrofag atau monosit. Sitokin ini akan menarik fagosit
mononuklear dan teraktivasi untuk mengeluarkan TNF. Sitokin TNF bersama
IFN-γ akan menyebabkan sel menjadi non-permissive, sehingga tidak terjadi
replikasi virus yang masuk melalui transfer intraseluler. Oleh karena itu, lokasi
infeksi dikelilingi oleh lingkaran sel yang resisten. Seperti halnya IFN-α, IFN-γ
meningkatkan sitotoksisitas sel NK untuk sel yang terinfeksi.
Antibodi dapat menghambat sel T sitotoksik γδ melalui reaksi dengan antigen
permukaan pada buddingvirus yang baru mulai, sehingga dapat terjadi proses
ADCC. Antibodi juga berguna dalam mencegah reinfeksi.
Beberapa virus dapat menginfeksi sel-sel sistem imun sehingga mengganggu
fungsinya dan mengakibatkan imunodepresi, misalnya virus polio, influenza dan
HIV atau penyakit AIDS. Sebagian besar virus membatasi diri (self-limiting),
namun sebagian lain menyebabkan gejala klinik atau subklinik. Penyembuhan
infeksi virus pada umumnya diikuti imunitas jangka panjang. Pengenalan sel
target oleh sel T sitotoksik spesifik virus dapat melisis sel target yang

17
mengekspresikan peptida antigen yang homolog dengan region berbeda dari
protein virus yang sama, dari protein berbeda dari virus yang sama atau bahkan
dari virus yang berbeda. Aktivasi oleh virus kedua tersebut dapat menimbulkan
memori dan imunitas spontan dari virus lain setelah infeksi virus inisial dengan
jenis silang.
Demam dengue dan demam berdarah dengue merupakan infeksi virus
akut yang disebabkan oleh empat jenis virus dengue. Imunitas yang terjadi cukup
lama apabila terkena infeksi virus dengan serotipe yang sama, tetapi bila dengan
serotipe yang berbeda maka imunitas yang terjadi akan berbeda. Gangguan pada
organ hati pada demam berdarah dengue telah dibuktikan dengan ditemukannya
RNA virus dengue dalam jaringan sel hati dan organ limfoid. Virus dengue
ternyata menyerang sel kupffer dan hepatosit sehingga terjadi gangguan di hati.

Gambar 3. Mekanisme respon imun terhadap infeksi virus. Diunduh dari:


http://www.austincc.edu/apreview/NursingPics/ImmunoPics/Picture14.jpg

18
19
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Tubuh manusia tidak mungkin terhindar dari lingkungan yang mengandung
mikroba patogen disekelilingnya, akan selalu terancam oleh paparan bakteri,
virus, parasit, radiasi matahari, dan polusi. Mikroba tersebut dapat menimbulkan
penyakit infeksi pada manusia.
Bakteri dari luar yang masuk ke tubuh akan segera diserang sistem imun
nonspesifik berupa fagosit, komplemen, APP (AcutePhase Protein) atau
dinetralkan antibody spesifik yang sudah ada di dalam darah. Imunologi bakteri
dapat dibedakan menjadi 2, yaitu imunologi bakteri intraseluler dan ekstraseluler.

Respon imun terhadap protein virus melibatkan sel T dan sel B. Antigen virus
yang menginduksi antibody dapat menetrlkan virus dan sel T sitotoksik yang
spesifik merupakan imunitas paling efisien pada imunitas proteksi terhadap virus.

Infeksi virus secara langsung merangsang produksi IFN oleh sel-sel


terinfeksi. IFN berfungsi menghambat replikasi virus. Sel NK melisiskan
berbagai jenis sel terinfeksi virus. Sel NK mampu melisiskan sel yang terinfeksi
virus walaupun virus menghambat presentasi antigen dan ekspresi MHC I, 
karena sel NK cenderung diaktivasi oleh sel sasaran yang MHC negatif.

Antibodi dapat mencegah penyebaran virus yang dikeluarkan dari sel yang
telah hancur. Tetapi sering kali antibodi tidak cukup mampu untuk
mengendalikan virus yang telah mengubah struktur antigennya dan yang
melepaskan diri (buddingof) melalui membran sel sebagai partikel yang
infeksius, sehingga virus dapat menyebar ke dalam sel yang berdekatan secara
langsung.

20
DAFTAR PUSTAKA

Abbas Abul K., Lichtman; AH, Pillai S. Cellular and Molecular Immunology. Vol. 8 a
ed., Elsevier. 2014. 544 p.

Bhavsar AP, Guttman J a, Finlay BB. Manipulation of host-cell pathways by bacterial


pathogens. Nature. 2007;449(7164):827–34.

Kawai T, Akira S. Innate immune recognition of viral infection. Nat Immunol.


2006;7(2):131–7.

Munasir Z. Respons Imun Terhadap Infeksi Bakteri. Sari Pediatr. 2001;2(4):193–7.

21

Anda mungkin juga menyukai