Anda di halaman 1dari 37

REFERAT LAPAROSKOPI

INFLAMATORY BOWEL DISEASE

Pembimbing:

Dr. dr. Agung Ary Wibowo, Sp. B-KBD

Oleh:
Rosfi F. Huzaima

DIVISI DIGESTIF
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2020
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN SAMPUL.................................................................................. i
DAFTAR ISI ................................................................................................. ii
BAB 1. PENDAHULUAN.......................................................................... 1
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA................................................................ 2
2.1 Anatomi ................................................................................ 2
2.2 Definisi................................................................................... 6
2.3 Epidemiologi.......................................................................... 7
2.4 Etiopatogenesis...................................................................... 8
2.5 Gejala Klinis ......................................................................... 10
2.6 Diagnosis................................................................................ 13
2.7 Penatalaksanaan..................................................................... 20
2.8 Komplikasi............................................................................. 29
2.9 Prognosis................................................................................ 30
BAB 3. KESIMPULAN............................................................................... 31
DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 32

ii
1

BAB 1. PENDAHULUAN

Istilah Inflammatory Bowel Disease biasanya digunakan pada dua penyakit


dengan penyebab yang tidak diketahui, yang memiliki ciri-ciri yang mirip, yaitu
Kolitis Ulseratif dan Penyakit Chron. Meskipun keduanya mirip, terdapat
perbedaan di keduanya, baik klinis ataupun patologis, termasuk perjalanan
penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiologis dan endoskopik, gross
appearance, maupun secara histologi. Namun, sekitar 10-15% pasien dengan
peradangan pada kolon, perbedaan keduanya tidak dapat ditegaskan, keadaan ini
disebut sebagai indeterminate colitis. Penanganan medikamentosa maupun bedah
dapat sangat berbeda pada kolitis ulseratif dan penyakit Chron (Robert et al,
2012).

Kolitis ulseratif terjadi pada 8-15 per 100.000 orang pada amerika serikat
dan eropa utara. Angka kejadian penyakit chron lebih rendah yaitu 1-5 per
100.000 orang. Tidak ada data khusus tentang inflammatory bowel disease di
indonesia secara keseluruhan. Data endoskopi di Sub-bagian Gastroenterologi
RSUPN Cipto Mangunkusumo tahun 2002, terdapat 5.2% kasus pada semua
tindakan kolonoskopi (Firmansyah, 2013).

Prinsip tatalaksana medikamentosa pada IBD yaitu: (1) Mengobati


kedarangan aktif IBD dengan cepat sampai tercapai remisi; (2) Mencegah radang
berulang dengan mempertahankan remisi selama mungkin; (3) Mengobati serta
mencegah terjadinya komplikasi (Friedman et al, 2015). Tindakan bedah
dipertimbangkan pada tahap akhir jika medikamentosa gagal atau jika terjadi
komplikasi yang tidak teratasi Dalam perjalanan penyakit ini, dapat terjadi
komplikasi: (1) Perforasi usus yang terlibat, (2) Terjadinya stenosis usus akibat
proses fibrosis, (3) Megakolon toksik (terutama pada KU), (4) Perdarahan, (5)
Degenerasi maligna. Diperkirakan resiko terjadinya kanker pada IBD lebih kurang
13% (Robert et al, 2012).
2

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. ANATOMI
2.1.1. Colon
a. Katup Ileosekal
Adalah katup yang menjadi perbatasan antara Ileum dan Kolon. Fungsi
utama katup ileosekal adalah untuk mencegah kembalinya isi fekal dari kolon ke
dalam usus halus.

b. Colon Asendens
Struktur :
 Panjang : 5 inchi (13 cm)
 Letak : kuadran kanan bawah, membentang ke atas dari caecum sampai
permukaan inferior lobus hepatis dextra lalu membelok ke kiri,
membentuk flexura coli dextra.
Vaskularisasi :
 Arteriae : a.ileocolica dan a.colica dextra (cabang a.mesenterika superior)
 Venae : mengikuti vena yang sesuai, bermuara ke vena mesenterika superior.
Innervasi :
Berasal dari cabang saraf simpatis dan parasimpatis dari pleksus mienterikus
superior.

c. Colon Transversum
Struktur :
 Panjang : 15 inchi ( 38 cm )
 Menyilang abdomen, menempati regio umbilikalis
 Mulai dari flexura coli dextra (di bawah lobus hepatis dextra) → menggantung
ke bawah oleh karena adanya mesocolon transversum → berjalan ke atas
sampai flexura coli sinistra (di bawah lien).
Vaskularisasi :
 Arteriae :
3

 2/3 proksimal : a.colica media (cabang a.mesenterica superior)


 1/3 distal : a.colica sinistra (cabang a.mesenterica inferior)
 Venae : bermuara ke v.mesenterica superior et inferior.
Innervasi :
 2/3 proksimal : saraf simpatis dan n.vagus, melalui pleksus mientericus
superior.
 1/3 distal : saraf simpatis dan parasimpatis n.splanchnici pelvici, melalui
pleksus mientericus inferior.

d. Colon Descendens
Struktur :
 Panjang : 10 inchi ( 25 cm )
 Letak : kuadran kiri atas dan bawah, berjalan ke bawah flexura coli sinistra
sampai pinggir pelvis → di sini colon descendens melanjutkan diri jadi colon
sigmoideum.
Vaskularisasi :
 Arteriae : a.colica sinistra dan a.sigmoidea (cabang a.mesenterica inferior)
 Venae : bermuara ke vena mesenterica inferior.
Innervasi :
 Saraf simpatis dan parasimpatis n.splanchnici pelvici,melalui pleksus
mientericus inferior.

2.1.2. Rectum

Rectum merupakan saluran pencernaan yang merupakan bagian dari usus


besar. Panjangnya 12 sampai 13 cm. Pada bagian cranial diameternya sana dengan
diameter colon, tetapi bagian caudal diameternya mengalami pelebaran yang
disebut ampula. Bentuk rektum seperti huruf S. Mempunyai 3 buah lipatan yang
terproyeksi ke dalam lumen rektum yaitu 2 lipatan kecil yang terletak di sebelah
kiri dan lipatan besar pada sisi kanan dengan posisi terletak diantara kedua lipatan.
Rektum dibagi menjadi 2 bagian yaitu:
4

a. Pars Ampularis recti ( pars sacralis recti ); panjangnya kira-kira 12 cm.


Terdapat struktur: plica transversalis recti ( Houston’s valve)
b. Pars Analis recti (Anal Canal); panjangnya kira-kira 4 cm.
Terdapat struktur:
- Columna rectalis Morgagni dan sinus rectalis
- Sphincter ani internus ( otot polos involunter)
- Sphincter ani eksternus (otot polos volunteer)
- Annulus Haemorhoidalis
Vaskularisasi :
 Arteri :
1. A.haemorhoidalis superior ( cabang a. messenterica inferior).
2. A.haemorhoidalis medius ( cabang dari a. iliaka interna).
3. A.haemorhoidalis inferior ( cabang dari a. pudenda interna)
 Vena :
1. V.Haemorhoidalis superior---V.messenterica superior---vena porta
hepatica.
2. V.haemorhoidalis medius--- v. iliaca interna---v. cava inferior.
3. V.haemorhoidalis inferior--- v. pudenda interna --- vena cava inferior.

2.1.3. Anus

Merupakan bukaan dari rectum kelingkungan luar tubuh. Fungsi untuk


pembungan feses dari tubuh melalui proses defekasi
Terdapat 2 otot, yaitu:
1. Sphincter aniinternus yang merupakan otot polos
2. Sphincter aniexternus yang merupakan otot lurik.
5

Gambar 1 dan 2. Vaskularisasi colon dan rectum (arteri)


6

Gambar 3. Vaskularisasi colon dan rectum (vena)

2.2. DEFINISI

Istilah Inflammatory Bowel Disease biasanya digunakan pada dua penyakit


dengan penyebab yang tidak diketahui, yang memiliki ciri-ciri yang mirip, yaitu
Kolitis Ulseratif dan Penyakit Chron. Meskipun keduanya mirip, terdapat
perbedaan di keduanya, baik klinis ataupun patologis, termasuk perjalanan
penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiologis dan endoskopik, gross
appearance, maupun secara histologi. Namun, sekitar 10-15% pasien dengan
peradangan pada kolon, perbedaan keduanya tidak dapat ditegaskan, keadaan ini
disebut sebagai indeterminate colitis. Penanganan medikamentosa maupun bedah
dapat sangat berbeda pada kolitis ulseratif dan penyakit Chron (Robert et al,
2012).
7

Kolitis ulseratif adalah suatu proses yang melibatkan mukosa, dimana sel-
sel radang menginfiltrasi lapisan mukosa dan submokosa kolon. Pada endoskopi,
terlihat mukosa rapuh dan bisa terdapat pseudopolip akibat inflamasi. Pada kasus
kronis mukosa dapat digantikan oleh jaringan parut, sedangkan pada fase awal
gambaran mukosa kolon akan tampak normal. Kolitis ulseratif dapat mengenai
rektum (proctitis), rektum dan sigmoid (proctosigmoiditis), rektum dan kolon kiri
(left sided colitis), atau rektum dan seluruh kolon (pancolitis). Kolitis ulseratif
tidak mengenai usus halus, namun akan terdapat gambaran “backwash ileitis”
yaitu perubahan akibat peradangan pada ileum terminalis. Kunci dari kolitis
ulseratif adalah lesi yang bersifat kontinyu. Gejala berkaitan dengan tingkat
keparahan inflamasi mukosa, dan luasnya area yang terkena. Pasien biasanya
mengeluh diare berdarah dan nyeri abdomen (crampy abdominal pain). Proctitis
dapat menyebabkan tenesmus. Apabila nyeri abdomen hebat dan demam, maka
harus dipikirkan adanya fulminant colitis atau toxic megacolon. Penemuan pada
pemeriksaan fisik tidak spesifik mulai dari nyeri abdomen ringan, sampai distensi
dan tanda-tanda peritonitis yang jelas. Pada kasus non emergensi, diagnosis
biasanya ditegakkan dengan kolonoskopi dan biopsi (Kelli et al, 2015).

Penyakit Chron merupakan inflamasi transmural dan bisa mengenai semua


tempat saluran pencernaan mulai mulut sampai anus. Skip lessions dan rectal
sparing merupakan tanda khas pada penyakit chron. Inflamasi kronik dapat
menyebabkan fibrosis, striktur, dan fistula, baik pada kolon maupun usus halus.
Pada fase akut gejala penyakit Chron mulai dari diare, nyeri abdomen, dan
demam. Striktur dapat menyebabkan gejala dan tanda obstruksi. Penurunan berat
badan, baik karena obstruksi maupun dari kehilangan protein. Penyakit Chron
Perianal dapat timbul sebagai nyeri, edema, dan keluar cairan dari fistula atau
abses (Kelli et al, 2015).

2.3. EPIDEMIOLOGI

Kolitis ulseratif terjadi pada 8-15 per 100.000 orang pada amerika serikat
dan eropa utara. Angka kejadian ini lebih rendah pada asia, afrika dan amerika
8

selatan, juga pada populasi nonwhite pada amerika serikat. Puncak insidensi
kolitis ulseratif yaitu pada usia dekade ke 3 atau ke 7. Angka kejadian penyakit
chron lebih rendah yaitu 1-5 per 100.000 orang. Lebih sering pada orang amerika
dan eropa utara. Juga memiliki insidensi bimodal, yaitu 15-30 tahun dan 55-60
tahun (Kelli et al, 2015).

Tidak ada data khusus tentang inflammatory bowel disease di indonesia


secara keseluruhan. Data endoskopi di Sub-bagian Gastroenterologi RSUPN
Cipto Mangunkusumo tahun 2002, terdapat 5.2% kasus pada semua tindakan
kolonoskopi. Terdapat kesan bahwa kasus IBD berkisar 12.2% kasus yang dikirim
dengan diare kronik, 3.9% kasus hematoschezia, 25.9% kasus diare kronik,
berdarah dan nyeri perut, sedangkan pada kasus nyeri perut didapatkan sekitar
2.8%. Data ini juga menyebutkan bahwa secara umum, kejadian kolitis ulseratif
lebih banyak daripada kasus penyakit chron (Firmansyah, 2013).

2.4. ETIOPATOGENESIS

Hingga saat ini, etiologi pasti IBD belum sepenuhnya dimengerti. Banyak
teori diajukan namun belum ada kausa tunggal yang diketahui sebagai penyebab
IBD. Salah satu teori yang diyakini adalah peranan mediasi imunologi pada
individu yang memang rentan secara genetis. Pada IBD, kaskade inflamasi
muncul karena predisposisi genetik yang berkaitan dengan respon imun dan
respon epitelial yang tidak wajar terhadap bakteri komensal. Respon tidak wajar
tersebut menghasilkan mediator inflamasi dengan regulasi yang tidak wajar juga,
mengaktifkan sel CD4 dan CD8 T cells pada epitel dan lamina propria, sehingga
menghasilkan sitokin proinflamasi yang relatif banyak, dibadingkan dengan
sitokin antiinflamasi. Sitokin ini mengaktifkan sel-sel inflamasi lain seperti
makrofag, sel B, limfosit lain, untuk bergabung dan melanjutkan proses inflamasi
(Friedman et al, 2015).

Ada 3 tipe CD4 T Helper (TH) berkaitan dengan kolitis pada studi hewan
dan diharapkan juga hal ini sama pada manusia. TH1 mensekresikan INF gamma
9

yang menginduksi inflamasi transmural granulomatous yang menggambarkan


penyakit Chron. Sel TH2 mensekresi IL-4, IL-5, IL-13, bersama-sama dengan
natural T killer, menginduksi inflamasi pada superfisial mucosa yang
menggambarkan kolitis ulseratif. Tipe sel ke tiga adalah sel TH17 yang berperan
sebagai rekrutmen netrofil. Sitokin inflamasi yang dihasilkan menyebabkan
fibrogenesis, produksi kolagen, aktivasi metalloproteinase jaringan, dan
memproduksi mediator inflamasi lainnya. Sitokin ini secara normal diproduksi
sebagai respon terhadap infeksi, dan diregulasi dan dikontrol ataupun diinhibisi
pada waktu yang tepat oleh sel T regulatory untuk membatasi kerusakan jaringan.
Pada IBD aktivitas regulasi ini hilang, sehingga tidak ada yang membatasi respon
inflamasi ini. Hal ini yang mendasari penggunaan terapi seperti 5-aminosalicylic
acid (5 ASA) dan glukokortikoid yang merupakan inhibitor poten sebagai terapi
pada IBD (Friedman et al, 2015).

Gambar 4. Etiopatogenesis IBD (Friedman et al, 2015).


10

2.5. GEJALA KLINIS


Secara umum, keluhan IBD berupa diare kronik dengan atau tanpa darah,

dan nyeri perut. Selain itu, kerap dijumpai manifestasi di luar saluran cerna

(ekstraintestinal), seperti artritis, uveitis, pioderma gangrenosum, eritema

nodosum, dan kolangitis. Sedangkan secara sistemik, dapat dijumpai gambaran

sebagai dampak keadaan patologis yang ada seperti anemi, demam, gangguan

nutrisi. Satu hal yang penting diingat adalah pola perjalanan klinis IBD bersifat

kronik-eksaserbasi-remisi atau secara umum ditandai oleh fase aktif dan fase
remisi (Bernstein et al, 2010).
Perbedaan gambaran klinis dan patologis antara KU dan PC disajikan
dalam tabel 1. Namun perlu diingat bahwa terkadang sulit membedakan gambaran
IBD dengan penyakit lain yang kerap ditemukan di negara-negara berkembang
termasuk Indonesia yakni kolitis infeksi dan tuberkulosis usus (Firmansyah,
2013).

KLINIS KOLITIS PENYAKIT CROHN


ULSERATIF (KU) (PC)
Diare kronik ++ ++
Hematochezia ++ +
Nyeri perut + ++
Massa abdomen - ++
Fistulasi  ++
Stenosis/ striktur + ++
Keterlibatan usus halus  ++
Keterlibatan rectum 95% 50%
Ekstra-intestinal + +
Megatoksik kolon + 
Keterangan: ++: sering; +: kadang; : jarang; -: tidak ada

Tabel 1. Perbedaan gambaran klinis (Firmansyah, 2013)

2.5.1. Kolitis Ulseratif


11

Pada umumnya gejala utama dari Kolitis Ulseratif berupa diare,


perdarahan rektum, nyeri perut, tenesmus ani dan tinja berdarah yang terjadi
secara perlahan (insidious) tanpa disertai gejala sistemik, berat badan turun, atau
hipoalbuminemia. Meskipun KU dapat muncul secara akut, gejala umumnya telah
ada selama beberapa minggu hingga bulan. Pada beberapa keadaan, diare dan
perdarahan cukup jarang dan ringan sehingga pasien sering tidak mencari
pertolongan medis. (Friedman et al, 2015).
Ketika penyakitnya meluas melewati rektum, feses atau diare umumnya
tercampur dengan darah dapat ditemukan. Mobilitas kolon berubah oleh karena
inflamasi dengan transit cepat melalui intestinal. Diare umumnya nokturnal
dan/atau setelah makan. Meskipun nyeri hebat bukan merupakan gejala yang
paling menonjol, beberapa pasien dengan penyakit aktif dapat mengalami rasa
tidak nyaman pada perut bagian bawah atau kram perut bagian tengah. Pada
penyakit derajat berat dapat muncul kram berat dan nyeri perut. Gejala lain pada
penyakit derajat sedang-berat termasuk anoreksia, mual, muntah, demam, dan
penurunan berat badan (Friedman et al, 2015).

Pada Kolitis Ulseratif, setidaknya terdapat 3 bentuk gejala dan tanda klinis
yang berhubungan dengan derajat peradangan mukosa dan gangguan sistemik.

Klinis Ringan Sedang Berat


Pergerakan usus < 4x /hari 4-6x /hari > 6x /hari
Darah pada feses Sedikit Sedang Berat
Demam Tidak ada < 37,5C > 37,5C
Takikardi Tidak ada < 90x /menit > 90x /menit
Anemia Ringan > 75% <75%

Tabel 2. Derajat Gejala Klinis Kolitis Ulseratif (Friedman et al, 2015).

2.5.2. Penyakit Crohn


Pada Penyakit Crohn, diare, nyeri perut (sering dirasakan setelah makan),
kram periumbilikal, demam, dan penurunan berat badan adalah gejala klinis yang
paling umum dan menandakan adanya inflamasi di usus halus. Perdarahan rektum
terjadi jika mengenai kolon. Gejala klinis ekstraintestinal atau gagal tumbuh
mungkin sebagai gejala awal dari Penyakit Crohn (Danese et al, 2011).
12

Diare yang terjadi terutama disebabkan oleh malabsorbsi akibat inflamasi


pada mukosa, obstruksi parsial yang menyebabkan stasis dan pertumbuhan
berlebih dari bakteri, atau dengan adanya fistula enteroenteral atau enterokolika.
Diduga prevalens malabsorbsi pada anak dengan penyakit Crohn sekitar 17%
terhadap laktosa, 29% terhadap lemak, 70% terhadap protein. Diare berdarah yang
menandakan keterlibatan kolon, biasanya disertai nyeri perut dan urgensi untuk
defekasi karena terjadi peningkatan kecepatan transit di kolon dan distensi dari
bagian kolon yang mengalami inflamasi.

Kriteria derajat gejala klinis Penyakit Crohn, yaitu:

Ringan - Sedang Rawat jalan, tanpa abdominal tenderness, masa yang


nyeri, atau obstruksi.
Sedang – Berat Tidak respon terhadap pengobatan untuk stadium ringan-
sedang atau demam yang menonjol, penurunan berat
badan, anemia, nyeri perut, atau mual-muntah.
Berat - Fulminan Gejala yang persisten dengan kortikosteroid dengan
demam tinggi, kaheksia atau abses.
Remisi Asimtomatik, tanpa inflamasi sequelae, tidak
membutuhkan kortikosteroid sistemik.

Tabel 3. Derajat Gejala Klinis Penyakit Crohn (Hanauer et al, 2001).

2.5.3. Ekstraintestinal
Sepertiga pasien IBD minimal disertai satu manifestasi penyakit
ekstraintestinal. Gejala Klinis ekstraintestinal yang sering terjadi berupa:
Tempat Manifestasi
Kulit Eritema nodusum, pioderma gangrenosum
Hati Infiltrasi lemak, sclerosing cholangitis, hepatitis kronis,
kolelitiasis
Tulang Osteopenia, aseptik nekrosis
Sendi Artritis, ankylosing spondilitis, sakro-ilitis
Mata Uveitis, episkleritis, kerastitis
Ginjal/urologi Nefrolitiasis, hidronefrosis obstruktif, fistula enterovesikal,
glomerulonefritis
Hematologi Anemia (defisiensi zat besi, folat, vitamin B12)
13

Vaskular Tromboflebitis, vaskulitis, trombosis vena portal


Pankreas Pankreatitis
Lain-lain Gagal tumbuh, terlambat maturasi seksual

Tabel 4. Gejala Klinis Ekstraintestinal (Friedman et al, 2015).

Pada Kolitis Ulseratif terjadi gejala klinis ekstraintestinal. Gejala


ekstraintestinal yan sering dijumpai seperti artritis sendi besar, lesi kulit pioderma
gangrenosum atau eritema nodusum (lebih sering pada Penyakit Crohn) dan gagal
tumbuh. Selain itu, insidens kelainan hepatobilier pada Kolitis Ulseratif mencapai
5-10% dan kelainan yang sering ditemukan adalah sclerosing cholangitis
(Friedman et al, 2015).

Gambaran ekstraintestinal yang dapat timbul sebagai gejala awal dan


petunjuk pada Penyakit Crohn adalah kelainan perianal, stomatitis, eritema
nodusum, eritema sendi besar, uveitis, dan jari tabuh serta gagal tumbuh. Kelainan
perianal lebih sering terjadi pada penyakit Crohn dibanding Kolitis Ulseratif
berupa skin tags, abses perianal, atau fisura dan fistula yang tidak nyeri. Artritis
dapat terjadi pada 11% kasus dan bersifat monoartikular terutama pada lutut dan
pergelangan kaki atau poliartritis migran tanpa disertai kerusakan sendi atau
deformitas. Eritema nodusum terjadi pada 5% kasus dan berhubungan dengan
aktivitas penyakit terutama inflamasi pada kolon (Friedman et al, 2015).

2.6. DIAGNOSIS
Untuk membantu menegakkan diagnosis KU atau PC, dibutuhkan
beberapa pemeriksaan penunjang. Diagnosis Kolitis Ulseratif dan penyakit Crohn
berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologi,
gambaran mukosa dengan endoskopi, dan patologi.
2.6.1. Anamnesa dan Pemeriksaan Fisik
Anamnesis yang lengkap tentang gejala gastrointestinal, gejala sistemik,
riwayat keluarga, gagal tumbuh, adanya keterlambatan perkembangan dan
kematangan seksual serta manifestasi ekstraintestinal. Pemeriksaan fisik tanda-
tanda dehidrasi, status nutrisi dan gejala ekstraintestinal. Adanya hipotensi
14

ortostatik, takikardia, distensi abdomen dan adanya massa merupakan indikasi


parahnya penyakit dan memerlukan perawatan (Friedman et al, 2015).
2.6.2. Pemeriksaan Laboratorium
Sampai saat ini belum ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk
IBD. Pemeriksaan laboratorium dapat membantu dalam menilai keberhasilan
pengobatan, petanda inflamasi, petanda gejala klinis ekstraintestinal dan status
nutrisi. Penyakit aktif dapat dihubungkan dengan peningkatan fase reaktan akut
[C-reactive protein (CRP)], jumlah platelet, rasio sedimen eritrosit [Erythrocyte
Sedimentation Rate (ESR)], dan penurunan hemoglobin. Pada pasien-pasien
dengan penyakit berat, level albumin serum akan turun secara cepat. Leukositosis
dapat dijumpai namun bukan merupakan indikator spesifik terhadap aktivitas
penyakit (Friedman et al, 2015).
Pemeriksaan feses rutin dan biakan mikroorganisme feses dilakukan untuk
membantu penentuan apakah peradangan disebabkan oleh infeksi atau non-
infeksi.
Dua petanda antibodi spesifik IBD telah diketahui antibodi tersebut adalah
perinuclear antineutrophil cytoplasmic antibody (pANCA) dan antibodi anti
saccharomyces cervisiae (ASCA). Antibodi pANCA ditemukan pada 80% Kolitis
Ulseratif dan 45% pada Penyakit Crohn. Sedangkan antibodi ASCA ditemukan
pada 60-70% Penyakit Crohn dan 14% pada Kolitis Ulseratif. Pada 2 penelitian
seroepidemiologi menunjukkan bahwa kombinasi pANCA positif dan ASCA
negatif mempunyai prediksi positif Kolitis Ulseratif sebesar 88-92%. Sedangkan
kombinasi pANCA negatif dan ASCA positif mempunyai nilai prediksi positif
Penyakit Crohn 95-96% (Friedman et al, 2015).

2.6.3. Pemeriksaan Radiologi


Pemeriksaan radiologi abdomen posisi tegak dan terlentang untuk
mengevaluasi dilatasi kolon dan eksklusi obstruksi yang berhubungan dengan
ileus, obstruksi, pneumoperitonium karena perforasi. Barium enema dapat menilai
karakteristik dan luas kelainan kolon, akan tetapi tidak boleh dilakukan pada
penyakit akut (active disease), yaitu kolitis aktif karena dapat menyebabkan
dilatasi toksik. Pada kolitis ringan dan sedang tanpa distensi abdomen, barium
15

enema dengan double contrast dapat mendeteksi kelainan mukosa berupa


karakteristik lesi, deformitas sekum, kelainan segmental/seluruh kolon.
Pemeriksaan barium enema dapat menentukan adanya pemendekan vili, hilangnya
haustrae, pseudopoli, striktur dan spasme pada IBD. Pemeriksaan radiologi traktus
gastrointestinal atas dengan follow trough sampai dengan usus halus dapat
menentukan ada/tidaknya kelainan pada usus halus. Pada Penyakit Crohn, ileum
terminal tampak rigid, konstriksi, dan nodular dengan deformitas akibat proses
inflamasi transmural. Pada Kolitis Ulseratif dapat ditemukan backwash-ileitis,
berupa gambaran mukosa yang menghilang dan ileum terminal dilatasi tanpa
disertai penebalan dinding. Selain itu, tidak ditemukan kelainan lain dari usus
halus pada Kolitis Ulseratif.
Kelainan yang dapat dilihat pada pemeriksaan barium enema dengan
double contrast kolon penderita IBD adalah Gambaran stove-pipe, Gambaran
rectal sparing, Gambaran thumbprinting, Gambaran skip lesion, Gambaran string
sign, Gambaran collar button.

Gambar 5. Gambaran stove-pipe Gambar 6. Gambaran string sign


16

Gambar 8. Gambaran collar button

Gambar 7. Gambaran thumb-printing

Gambar 9. Gambaran cooble


stooning.

Pemeriksaan lain yang dapat membantu adalah ultrasonografi dan CT


scan. Pemeriksaan tersebut terutama untuk menentukan adanya abses intra
abdomen.

2.6.4. Pemeriksaan Endoskopi


Pemeriksaan endoskopi memainkan peranan paling penting dalam
penegakan diagnosis dan terapi IBD. Akurasi diagnostik kolonoskopi pada IBD
adalah 89% dengan 4% kesalahan dan 7% hasil meragukan. Kontra-indikasi
kolonoskopi yaitu pada kolitis yang berat, karena resiko perforasi, perdarahan dan
menginduksi megakolon toksik (Firmansyah, 2013).
17

Penilaian karakteristik dan aktivitas KU relatif mudah degan menilai


gradasi patologis IBD melalui berat-ringannya lesi mukosa dan luasnya bagian
usus yang terkena. Sedangkan per-endoskopik pada PC lebih sulit, terlebih bila
ada keterlibatan usus halus (tidak terjangkau oleh tehnik pemeriksaan
kolonoskopik biasa), sehingga dipakai kriteria yang lebih spesifik disebut Crohn’s
Disease Activity Index (C-DAI) yang didasari oleh adanya penilaian demam, data
laboratorium, manifestasi ekstra-intestinal, frekuensi diare, nyeri perut, fistula,
penurunan berat badan, teraba massa intra-abdomen dan rasa rehat pasien.
Pada Kolitis Ulseratif, kelainan mukosa difus dan kontinyu dengan edema,
eritema, dan erosi mukosa serta pseudopolyp. Kelainan mukosa pada Penyakit
Crohn berupa lesi diskret atau aphthae pada mukosa dengan eksudat sentral dan
eritema dan gambaran cobblestone-like appearance. Diantara daerah lesi terdapat
daerah mukosa yang normal (skip area)
Kolonoskopi pada penderita IBD dapat digunakan untuk tindakan terapi.
Tindakan yang sering dilakukan berupa dilatasi striktur pada Penyakit Crohn dan
injeksi intralesi kortikosteroid (triamnisolon 5 mg pada 4 kuadran) dapat
membantu untuk mencegah pembentukan striktur berulang.

2.6.5. Patologi
Pada Kolitis Ulseratif, proses inflamasi terbatas pada lapisan mukosa
rektum dan kolon. Inflamasi terbatas pada mukosa dan dan secara kontinyu
sepanjang kolon dengan berbagai macam derajat ulserasi, perdarahan, edema, dan
regenerasi epitel. Selain itu pada Kolitis Ulseratif, terjadi kriptitis, abses kripta,
dan terjadi distorsi kripta serta hilangnya sel goblet. Kelainan pada rektum hampir
terjadi pada seluruh penderita Kolitis Ulseratif. Inflamsai dapat terjadi sampai
daerah sekum dan mungkin terjadi pada ileum terminal (backwash ileitis).
Pada Kolitis Ulserati yang berat, setelah epitel mukosa dihancurkan,
proses inflamasi melibatkan daerah submukosa selanjutnya ke bawah menuju
daerah muskularis daerah yang terlibat akan membentuk jaringan pulau-pulau
yang dinamakan Pseudopolyps. Penebalan dan fibrosis dari dinding usus besar
sangat jarang terjadi, namun dapat terjadi pemendekan kolon dan striktur fokal
18

dikolon pada penyakit yang berlangsung lama. Tidak terjadi pembentukan


granuloma dan fibrosis.
Inflamasi pada Penyakit Crohn ditandai dengan karakteristik area
inflamasi diskret, ulserasi fokal, aphtae, atau striktur disertai area mukosa yang
normal (skip area). Jika mengenai kolon, sering mengenai kolon ascendens dan
jika mengenai daerah anal sering timbul skin tags, fisura anal, abses serta fistula
dan terjadi pada 25% penderita Penyakit Crohn.
Pada Penyakit Crohn terjadi proses inflamasi transmural yang dapat
meluas keseluruh lapisan dinding traktus gastrointestinal dan menyebabkan
fibrosis, adhesi striktur, dan fistula. Perubahan pada mukosa traktus
gastrointestinal berupa kriptitis, dan/atau distorsi striktur kripta. Granuloma
nonkaseosus pada lamina propria atau submukosa dapat ditemukan pada lebih dari
50% penderita. Ditemukannya fibrosis dan proliferasi histiosit di submukosa
spesifik untuk Penyakit Crohn, walaupun perubahan mukosa tersebut dapat terjadi
pada penyakit inflamasi usus yang lain (Danese et al, 2011).

PEMERIKSAAN KOLITIS PENYAKIT


ULSERATIF CROHN
LABORATORIUM
ANCA-positif Sering Jarang
ASCA-positif Jarang Sering
Keterangan: ANCA: Anti Neutrophil Cytoplasm Antibody, ASCA: Anti
Saccharomyces Cerevisiae Antibody
RADIOLOGI
Usus halus abnormal Tidak Ya
Ileum terminal abnormal Terkadang Ya
Kolitis segmental Tidak Ya
Kolitis asimetris Tidak Ya
Striktura Terkadang Sering
KOLONOSKOPI
Distribusi Kontinyu Diskontinyu
Keterlibatan Rektum ++++ +
Rapuh ++++ +
Ulkus Afta - ++++
Ulkus Longitudinal dan dalam - ++++
Cobblestoning - ++++
Pseudo Polip ++ ++

TERAPI OPERATIF
19

Total Proctocolectomy Kuratif Keterlibatan


kolon + rektum
Reseksi segmental Jarang Apabila tidak ada
keterlibatan
anorektal
Ileal pouch Sebagian besar Kontra indikasi
diterima
KOMPLIKASI
Rekurensi post operasi - ++++
Fistula Jarang ++++
Sclerosing chlangitis + Jarang
Kolelitiasis - ++
Nefrolitiasis - ++
Keterangan: (-) = Tidak ada; (++++) = Sangat diagnostik (karakteristik)

Tabel 5. Perbedaan laboratorium, radiologi, dan kolonoskopi IBD (Robert et al,


2012)

Gambar 10. Gambaran kolonoskopi pada (a) usus normal, (b) penyakit Crohn
dengan gambaran “Cobblestoning”, (c) gambaran pseudopolyps, (d) kolitis
ulseratif berat. (Robert et al, 2012)
20

2.7. PENATALAKSANAAN
2.7.1. Terapi Medikamentosa
Prinsip tatalaksana medikamentosa pada IBD yaitu: (1) Mengobati
kedarangan aktif IBD dengan cepat sampai tercapai remisi; (2) Mencegah radang
berulang dengan mempertahankan remisi selama mungkin; (3) Mengobati serta
mencegah terjadinya komplikasi. Tidak semua lini kesehatan memiliki fasilitas
endoskopi sehingga diperlukan suatu alogaritma penatalaksanaan terutama pada
lini kesehatan primer. Tindakan bedah dipertimbangkan pada tahap akhir jika
medikamentosa gagal atau jika terjadi komplikasi yang tidak teratasi (Tamboli,
2007).

a. Obat golongan asam amino salisilat 5-aminosalicylic acid (5-asa)


Terapi utama untuk KU dan PC ringan ke sedang adalah sulfasazine
dengan agen 5-ASA lainnya. Agen ini efektif dalam menginduksi remisi pada
kedua KU dan PC, juga mempertahankan remisi pada KU, namun masih belum
jelas apakah dapat mempertahankan remisi pada PC. Baik sulfasalazine maupun
5-ASA mempunyai efektivitas yang relative sama dalam pengobatan IBD, hanya
efek samping lebih rendah pada 5-ASA. Sekitar 50-70% pasien dengan KU dan
PC ringan sampai sedang membaik ketika diterapi dengan 2 g/hari dari 5-ASA;
respon dosis dapat dinaikkan hingga 4,8 g/hari. Dosis 1,5-4 g/hari untuk
mempertahankan remisi pada 50-75% pasien KU, dosis yang disarankan untuk
fase akut adalah 3-6 gr/hari, dan untuk fase rumatan adalah 2-4 gr/hari (Friedman
et al, 2015).

b. Obat golongan kortikosteroid


Sampai saat ini obat golongan glukokortikoid merupakan obat pilihan
untuk PC semua derajat dan KU derajat sedang dan berat. Pasien dengan keluhan
KU sedang sampai berat umumnya mengalami perbaikan setelah mendapatkan
terapi glukokortikoid oral maupun parental. Prednisolon biasanya dimulai dari
dosis 40-60 mg/hari untuk KU aktif yang tidak berespon terhadap terapi 5-ASA.
Sebuah studi melaporkan bahwa oral prednisolone (dimulai dari 40 mg per hari)
21

dapat menginduksi remisi pada 77% dari 118 pasien dengan penyakit ringan
sampai sedang dalam 2 minggu, bila dibandingkan 48% diterapi 8gr/hari dari
sulfasalazine. Glukokortikoid parental dpat diberikan sebagai hidrokortison
intravena, 300mg/hari, atau metilprednisolon 40-60 mg/ha

ri (Friedman et al, 2015).

Glikokortikoid tidak memiliki peranan dalam terapi rumatan baik pada KU


maupun PC. Sekali sudah terjadi remisi, sebaiknya obat dilakukan tapering dose
sesuai dengan aktivitas klinis, normalnya tidak lebih dari 5 mg/minggu. Dapat
juga diturunkan sampai 20 mg/hari dalam 4-5 minggu namun sering memerlukan
beberapa bulan untuk menghentikan seluruhnya (Friedman et al, 2015).

c. Antibiotik
Antibiotik tidak memiliki peranan dalam pengobatan KU aktif maupun
tenang. Namun, pouchitis yang muncul pada sepertiga pasien KU setelah
kolektomi, umumnya respon terhadap pengobatan metronidazole ataupun
ciprofloxacin. Metronidazole efektif pada inflamasi aktif, fistula, dan PC perianal
dan dapat mencegah kekambuhan setelah reseksi ileum. Dosis paling efektif
adalah 15-20 mg/kg/hari dibagi dalam tiga dosis; biasanya dilanjutkan sampai
beberapa bulan. Coprofloxacin (500 mg 2x/hari) juga bermanfaat untuk PC
inflamasi, perianal, dan fistula. Kedua antibiotic ini sebaiknya digunakan sebagai
obat lini pertama pada PC perianal dan fistula,dan sebagai obat lini kedua untuk
PC aktif setelah agen 5-ASA (Friedman et al, 2015).

d. Obat Golongan Imunosupresif


 Azathioprine dan 6-Mercaptopurine
Azathioprine dan 6-Mercaptopurine (6-MP) adalah analog purin yang
umumnya digunakan dalam penangan glucocorticoid-dependent IBD.
Azathioprine (2-3 mg/kg/hari) atau 6-MP (1-1,5 mg/kg/hari) telah digunakan pada
dua per tiga pasien KU dan PC yang sebelumnya tidak dapat menghentikan
penggunaan glikokortikoid. Peranan imunomodulator ini sebagai terapi rumatan
pada KU dan PC juga sebagai pengobatan aktif perianal dan fistula cukup
22

menjanjikan. Sebagai tambahan, Azathioprine dan 6-MP efektif untuk profilaksis


pada pasien post operasi dari PC (Friedman et al, 2015).
 Methotrexate
Methotrexate (MTX) menghambat dihidrofolat reduktase, yang
menghasilkan sintesis DNA terganggu. Dosis 25 mg/minggu intramuscular atau
subkutaneus efektif dalam menginduksi remisi dan menurunkan dosis
glukokortikoid; 15 mg/minggu efektif dalam remisi rumatan PC aktif. Belum ada
uji coba mengenai peranan MTX dalam menginduksi datau mempertahankan
remisi pada KU (Friedman et al, 2015).
 Cyclosporine
Cyclosporine (CSA) bekerja lebih cepat bila dibandingkan azathioprine
dan 6-MP. CSA paling efektif bila diberikan pad adosis 2-4 mg/kg/hari secara
intravena pada KU berat yang tidak dapat disembuhkan dengan glukokortikoid
intravena. Oral CSA saja hanya efektif pada dosis yang lebih tinggi (7,5
mg/kg/hari) pada penyakit aktif namun tidak efektif untuk rumatan tanpa
azathioprine / 6-MP (Friedman et al, 2015).
 Antibodi Anti-TNF
TNF adalah sitokin inflamasi dan meditor dari inflamasi intestinal.
Ekspresi TNF mengikat pada IBD. Pada pasien PC aktif yang tidak sembuh
dengan glukokortikoid, 6-MP/ 5-ASA, 65% akan respon terhadap infliximab
(INF) dengan dosis 5mg/hari intravena, sepertiga akan mengalami remisi komplit.
Dari pasien yang awalnya respon, 40% akan remisi selama 1 tahun dengan
pengulangan infus infliximab setiap 8 minggu (Friedman et al, 2015).
INF efektif pada pasien KU dapat mempertahankan remisi setelah 30 dan
54 minggu. INF diberikan pada minggu 0, 2, dan 6 dan selanjutnya setiap 8
minggu.(carter lobo)
INF juga efektif pada pasien PC dengan fistula perianal dan
enterokutaneus yang tidak sembuh, dengan angka respon 68% dan 50%
mengalami remisi komplit. Pemasangan infus kembali, setiap 8 minggu penting
untuk melanjutkan manfaat terapi (Friedman et al, 2015).
23

Gambar 11. Alogaritma rencana terapeutik Kolitis Ulseratif di Pelayanan


Kesehatan Lini Pertama (Firmansyah, 2013).

Gambar 12. Alogaritma rencata terapeutik Penyakit Crohn di Pelayanan


Kesehatan Lini Pertama (Firmansyah, 2013).

2.7.2. Terapi Pembedahan


a. Terapi pembedahan pada kolitis ulseratif
24

Indikasi pembedahan untuk kolitis ulseratif adalah penyakit yang


intractabel, terjadi displasia atau karsinoma, megakolon toksika, perdarahan
masif, atau pada pasien pediatri terjadi malnutrisi dan retardasi pertumbuhan
(Robert et al, 2012).
Pasien dengan toksik megakolon biasanya mengalami demam tinggi,
nyeri perut sekali, takikardia, dan leukositosis. Pasien seperti ini membutuhkan
penanganan di rumah sakit dengan hidrasi IV, dekompresi nasogastrik, dan
kortikosteroid IV dosis tinggi apabila pasien tergantung kepada kortikosteroid,
dan antibiotik spektrum luas. Pasien tetap di observasi dengan pemeriksaan
abdomen dan leukosit serial. Penurunan kondisi atau tidak adanya perkembangan
dalam 48-72 jam setelah inisiasi medikasi diatas memerlukan tindakan
pembedahan urgent, karena apabila sampai terjadi perforasi kolon, angka
mortalitas meningkat menjadi 4 kali lipat. Toksik megakolon adalah sebuah
keadaan decompensated, dimana pada keadaan ini dinding kolon menjadi nekrosis
dan tipis, terjadi dilatasi dari kolon, dan sampai pada suatu titik immenent
perforation (Robert et al, 2012).
Perdarahan masif yang membutuhkan pembedahan terjadi sekitar 5%
pada pasien kolitis ulseratif. Pasien memerlukan resusitasi dan stabilisasi sebelum
pembedahan. Tindakan subtotal colectomy merupakan procedure of choice.
Namun apabila tetap terjadi perdarahan dari mukosa rektal, cito proctectomy dapat
diperlukan (Kelli et al, 2015).

Kolitis ulseratif dengan gejala yang memburuk dan refrakter terhadap


terapi medikamentosa merupakan indikasi paling banyak untuk dilakukan
pembedahan. Gejala yang sering mengganggu seperti, nyeri perut, stool urgency,
anemia, pergerakan usus yang sering, ataupun komplikasi dari penggunaan
kortikosteroid jangka panjang, seperti katarak, osteoporosis, peningkatan berat
badan, dan diabetes melitus. Telah disebutkan bahwa reseksi secara pembedahan
dapat meningkatkan kualitas hidup penderita, tanpa mempertimbangkan prosedur
yang dilakukan. Pasien seperti ini dapat dijadwalkan operasi secara elektif (Kelli
et al, 2015).
25

Tujuan pada pembedahan berbeda pada setting pembedahan elektif dan


urgent seperti toksik megakolon. Tujuan pembedahan pada setting elektif adalah
untuk menghilangkan semua mukosa yang terkena, sedangkan pada setting
emergensi adalah menyelamatkan nyawa. Pembedahan restorasi untuk kolitis
ulseratif adalah proctocolectomy with ileal pouch anal anastomose (IPAA) yang
dapat dilakukan dengan 1 tahap, namun pada setting emergensi, tindakan ini
menyebabkan mortalitas tinggi karena angka leakage dari anastomosis primer
sangat tinggi. Oleh karena itu pada setting emergensi lebih dipilih dilakukan total
abdominal colectomy with ileostomy dan menyisakan rectum, sehingga ileorectal
anastomosis bisa dikerjakan di lain waktu (Kelli et al, 2015).

Pada setting elektif, teknik pembedahan berkembang mulai dari total


proctolectomy with end ileostomy, total proctolectomy with continent ileostomy
(Kock’s pouch), dan yang terbaru adalah total proctocolectomy with ileal pouch
anal anastomose (IPAA) (Robert et al, 2012).

Total proctolectomy memiliki keuntungan mengangkat semua mukosa,


sehingga mengurangi resiko terjadi inflamasi lagi dan potensi menjadi keganasan.
Kerugiannya adalah membutuhkan ileostomy permanen (Kelli et al, 2015).

Total procolectomy dengan continent ileostomy memungkinkan pasien


mampu mengkontrol evakuasi pada ileostomy, dengan membuat kantong (Kock
Pouch) yang terbuat dari beberapa ileum dijahit menjadi satu, saluran keluarnya
diintususespsikan kedalam reservoar untuk membuat suatu katup. Selama kantong
terisi, tekanannya akan menutup katup, sehingga dapat menampung feces. Tiap 2
sampai 4 jam, pasien memasukkan tube kedalam katup untuk mengevakuasi feses.
Jadi pasien dapat menggunakan simpel bandage tanpa kantong stoma di luar
tubuh. Masalah utama dari tindakan ini adalah tingginya angka komplikasi dan
angka reoperasi pada pasien adalah 50%. Sebagian besar karena katubnya
mengalami eversi sehingga fungsi kontrol feses akan hilang. Selain itu dilaporkan
juga terjadi peradangan pada kantong (pouchitis) 15-30%, fistula 10%, dan
striktur stoma 10% (Robert et al, 2012).
26

Pembedahan restoratif dengan total proctocolectomy with ileal pouch


anal anastomose (IPAA) menjadi pilihan. Prosedur ini meliputi near-total
proctolectomy dengan menyisakan kompleks anal sfingter. Kantong dibentuk dari
30cm distal ileum, biasanya berbentuk J (J pouch), lalu dianastomosis dengan
anus. Biasanya dilakukan juga dengan mendiversi fesses terlebih dahulu
menggunakan loop ileostomy. Tujuannya adalah memberikan waktu anastomosis
ileal pouch dan anal sudah sembuh dengan baik, dan mengurangi kejadian leakage
yang berujung pada pelvic sepsis. Komplikasi yang dilaporkan adalah obstruksi
usus halus 27% dan hampir 50% memerlukan pembedahan ulang, pelvic sepsis,
leakage pada kantong, terjadi fistula pada kantong (pouch-vaginal fistula terjadi
pada 7% wanita yang menjalani prosedur ini), dan peradangan pada kantong atau
pouchitis 7-33% (Robert et al, 2012).

b. Terapi pembedahan pada penyakit chron


Pembedahan pada penyakit Chron merupakan suatu tindakan yang
bersifat meringankan gejala ketika pengobatan medikamentosa gagal, mengoreksi
komplikasi yang terjadi, dan mencegah progresi menjadi keganasan. Perlu diingat
lagi bahwa penyakit ini bersifat menyerang semua saluran pencernaan, jadi
pembedahan tidak dapat menyembuhkan pasien. Indikasi Pembedahan pada
penyakit Chron adalah sebagai berikut:

 Penyakit yang intractabel


 Obstruksi intestinal, baik akibat striktura ataupun abses yang
memberikan efek massa.
 Abses intra abdominal
 Fistula, antara usus dengan organ abdominal lain, seperti vesica
urinaria, usus lain, vagina, uterus, dan gaster, ataupun dengan kilit.
 Colitis fulminan dan Megakolon toksika, hampir sama dengan kolitis
ulseratif, baik gejala klinis, seperti demam, nyeri abdomen hebat,
takikardia, dan leukositosis. Resusitasi cairan IV, puasa, antibiotik, dan
kortikosteroid harus diberikan, apabila ada tanda-tanda perburukan dan
27

tidak ada perbaikan dalam 48-72 jam, disarankan subtotal colectomy


with end ileostomy.
 Perdarahan masif, terjadi pada 13% pasien penyakit Chron, paling
banyak pada terminal ileum.
 Keganasan
 Retardasi pertumbuhan pada pediatri (Robert et al, 2012).

Teknik pembedahan pada umumnya untuk mereseksi usus secukupnya


sehingga mendapatkan tepi yang bebas dari penyakit secara gross inspection.
Ileocecal resection biasanya diindikasikan pada proses penyakit di terminal ileum
sehingga menyebabkan obstruksi atau perforasi. Total proctocolectomy with end
ileoustomy diindikasikan pada pasien dengan penyakit Chron yang melibatkan
hampir semua kolon dan rektum, tindakan ini memiliki kerugian penyembuhan
daerah perineal yang terlambat dan masalah malabsorbsi. Total abdominal
colectomy dengan ileorectal anastomosis atau end ileostomy diindikasikan apabila
rektum masih belum terlibat, keuntungannya pasien mampu mempertahankan
continuitas usus (tidak menggunakan stoma), kerugiannya adalah rekurensi
sehingga memerlukan proctectomy dan ileostomy lagi, kejadiannya 50% dalam 10
tahun. Hampir 10-20% pasien dengan penyakit Chron memiliki penyakit hanya
terbatas pada beberapa segmen kolon, segmental colon resection diindikasikan
apabila terdapat striktur atau obstruksi, kerugiannya adalah tingginya angka
rekurensi yaitu 30-50% dalam 5 tahun, dan 60% dalam 10 tahun (Robert et al,
2012).
28

Gambar 13. A) Proctocolectomy B) End ileostomy C) Continent ileostomy D)


ileoanal anastomose

Gambar 14. Kock’s Pouch


29

Gambar 15. Total Proctocolectomy dengan Ileal Pouch Anal Anastomose.

2.8. KOMPLIKASI
Dalam perjalanan penyakit ini, dapat terjadi komplikasi: (1) Perforasi usus yang
terlibat, (2) Terjadinya stenosis usus akibat proses fibrosis, (3) Megakolon toksik
30

(terutama pada KU), (4) Perdarahan, (5) Degenerasi maligna. Diperkirakan resiko
terjadinya kanker pada IBD lebih kurang 13% (Kelli et al, 2015).

Komplikasi Kolitis Ulseratif dengan gejala berat dapat mengakibatkan


diare persisten, pedarahan anus, dan nyeri. Perforasi usus kronis dapat
mengakibatkan melemahnya dinding usus.(3) Komplikasi yang mengancam jiwa
adalah megakolon toksik dan merupakan kasus kegawatan medis dan kegawatan
bedah. Anak dengan megakolon toksik mempunyai risiko tinggi untuk perforasi
kolon, sepsis akibat bakteri gram negatif dan perdarahan masif. Selain itu,
komplikasi yang dapat terjadi berupa striktur dan keganasan (Friedman et al,
2015).

Inflamasi transmural dari lapisan mukosa hingga serosa merupakan


penyebab komplikasi intestinal tersering pada Penyakit Crohn, sehingga terjadi
adhesi, striktur, dan abses, yang meningkatkan resiko obstruksi serta pertumbuhan
bakteri yang berlebihan dan fistula. Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa
keganasan, malnutrisi dan gagal tumbuh. Fistula dapat terjadi enterokutan,
enteroenteral, enterokolika, perirektal, labial, enterovaginal, dan enterovesikal
(Friedman et al, 2015).

2.9. PROGNOSIS
Pada dasarnya, penyakit IBD merupakan penyakit yang bersifat remisi
dan eksaserbasi. Cukup banyak dilaporkan adanya remisi yang bersifat spontan
dan dalam jangka waktu yang lama. Prognosis banyak dipengaruhi oleh ada
tidaknya komplikasi atau tingkat respon terhadap pengobatan konservatif.
Sebagian besar (70%) dengan Kolitis Ulseratif mengalami remisi dalam
3 bulan setelah terapi inisial dan kurang lebih 50% remisi dalam 2 tahun.
Kolektomi dalam 5 tahun setelah diagnosis terjadi pada 26% kasus derajat berat
dibanding 10% kasus derajat ringan. Hanya 1% pasien dengan penyakit Crohn
tidak mengalami relaps setelah didiagnosis dan terapi inisial. Pasien dengan
ileokolitis cenderung untuk mengalami respon buruk terhadap terapi
31

medikamentosa. Sekitar 70% pasien dengan Penyakit Crohn akan mengalami


tindakan bedah dalam 10-20 tahun setelah diagnosis (Friedman et al, 2015).
Selain itu, pada IBD cenderung untuk terjadi keganasan pada kolorektal.
Resiko keganasan kolorektal pada penyakit Crohn (kolitis) sama dengan Kolitis
Ulseratif. Dalam 8-10 tahun setelah didiagnosis, risiko keganasan kolorektal
meningkat 0,5-1% setiap tahun. Dua faktor resiko utama untuk adenokarsinoma
adalah lama/durasi colitis (terutama lebih dari 10 tahun) dan luas colitis (Kelli et
al, 2015).
2.10 SCOORING SISTEM IBD
 Skoring Montreal
Klasifikasi Montreal diperkenalkan pada tahun 2005.
Merupakan penyempurnaan dari klasifikasi Vienna, pada
klasifikasi baru, tidak ada perubahan dalam tiga kategori
utama, tetapi modifikasi dibuat dalam masing-masing
kategori. Subkelompok usia tambahan memungkinkan usia
anak anak untuk menggunakan system skoring ini (di bawah
usia 16 tahun). Dalam kategori lokasi, penyakit Upper-GI
(L4) sekarang dapat ditambahkan ke masing-masing subkelas
L1–3, seperti yang telah dicatat bahwa keterlibatan Upper-GI
atas relative umum, dan bisa hidup berdampingan dengan
penyakit ileum dan kolon.

 Skoring Harvey–Bradshaw Index (1980)


32

 Truelove and witts

 Skoring Mayo
33

BAB 3. KESIMPULAN

Istilah Inflammatory Bowel Disease biasanya digunakan pada dua


penyakit dengan penyebab yang tidak diketahui, yang memiliki ciri-ciri yang
mirip, yaitu Kolitis Ulseratif dan Penyakit Chron
Penanganan medikamentosa maupun bedah dapat sangat berbeda pada
kolitis ulseratif dan penyakit Chron Prinsip tatalaksana medikamentosa pada IBD
yaitu: (1) Mengobati kedarangan aktif IBD dengan cepat sampai tercapai remisi;
(2) Mencegah radang berulang dengan mempertahankan remisi selama mungkin;
(3) Mengobati serta mencegah terjadinya komplikasi (Friedman et al, 2015).
Tindakan bedah dipertimbangkan pada tahap akhir jika medikamentosa
gagal atau jika terjadi komplikasi yang tidak teratasi. Indikasi pembedahan untuk
kolitis ulseratif adalah penyakit yang intractabel, terjadi displasia atau karsinoma,
megakolon toksika, perdarahan masif, atau pada pasien pediatri terjadi malnutrisi
dan retardasi pertumbuhan Pada setting elektif, teknik pembedahan berkembang
mulai dari total proctolectomy with end ileostomy, total proctolectomy with
34

continent ileostomy (Kock’s pouch), dan yang terbaru adalah total


proctocolectomy with ileal pouch anal anastomose (IPAA).
Pembedahan pada penyakit Chron merupakan suatu tindakan yang
bersifat meringankan gejala ketika pengobatan medikamentosa gagal, mengoreksi
komplikasi yang terjadi, dan mencegah progresi menjadi keganasan. Indikasi
Pembedahan pada penyakit Chron adalah penyakit yang intractabel, obstruksi
intestinal, abses intra abdominal, fistula, colitis fulminan dan megakolon toksika,
perdarahan masif, keganasan, dan retardasi pertumbuhan pada pasien pediatri.
Sebagian besar (70%) dengan Kolitis Ulseratif mengalami remisi dalam
3 bulan setelah terapi inisial dan kurang lebih 50% remisi dalam 2 tahun.
Kolektomi dalam 5 tahun setelah diagnosis terjadi pada 26% kasus derajat berat
dibanding 10% kasus derajat ringan. Hanya 1% pasien dengan penyakit Crohn
tidak mengalami relaps setelah didiagnosis dan terapi inisial.

DAFTAR PUSTAKA
Robert D, Fry. Najjia, Mahmoud. David, Maron J. 2012. Colon and Rectum.

Sabiston Textbook of Surgery 19th Ed. Philadelphia:Elsevier Saunders.

52:1294-1380

Kelli, M. Bullard, Dunn. Rothenberger, David A. 2015. Colon, Rectum, and

Anus. Schwartz’s Principles of Surgery 10th Ed. McGraw-Hill

Education:29:1175-1240

Firmansyah MA. 2013. Perkembangan Terkini Diagnosis dan Penatalaksanaan

Inflammatory Bowel Disease. CDK-203; 40(4): 247-52.

Bernstein CN, Fried M, Krabshuis JH, Cohen H, Eliakim R, Fedail S, et al. 2010
35

World gastroenterology organization practice guidelines for the

diagnosis and management of IBD. Inflamm Bowel Dis 16(1): 112-24.

Friedman S, Blumberg RS. 2015. Inflammatory Bowel Disease. Dalam: Longo


DL, Fauci AS, penyunting. Harrison, Gastroentrology and Hepatology.
18th edition. United States: The McGraw-Hill Companies; 16: 174-95.

Danese S, Fiocchi C, Rutgeerts P. 2011. Ulcerative Colitis. The New England J of


Medicine; 365: 1713-25.

Hanauer SB, Sandborn W. 2001. Management of Crohn’s Disease in Adult. The


American J of Gastroenterology; 96: 635-43.

Tamboli CP. 2007. Current medical therapy for chronic inflammatory bowel
disease. Surg Clin N Am; 87: 697 – 725.

Putz R. dan Pabst. 2007. Jilid I Atlas Anatomi Manusia Sobotta Edisi 22. Jakarta:
EGC
Putz R. dan Pabst. 2007. Jilid II Atlas Anatomi Manusia Sobotta Edisi 22. Jakarta:
EGC
Faiz, Omar & David Moffat. 2004. At a Glance Anatomi. Jakarta: Erlangga
Snell S. 2000. Anatomi Klinik . Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai