Anda di halaman 1dari 8

Pengertian Sunnah

Secara etimologis (bahasa) kata sunan adalah jamak dari kata sunnah.
Sunnah sesuatu berarti jalan sesuatu, sunnah Rasulallah saw. berarti Jalan
Rasulallah saw. yaitu jalan yang ditempuh dan ditunjukkan oleh
beliau.Sunnatullah dapat diartikan Jalan hikmah-Nya dan jalan mentaati-Nya.
Contoh firman Allah swt. dalam surat Al-Fatah : 23 :
‘Sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu. Kalian tidak akan menemukan
perubahan pada Sunnatullah itu’ .
Artinya, bahwa cabang-cabang hukum syari’at sekalipun berlainan bentuknya,
tetapi tujuan dan maksudnya tidak berbeda dan tidak berubah, yaitu
membersihkan jiwa manusia dan mengantarkan kepada keridhoan Allah swt.
Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya mengatakan: ‘Sunnah Jahiliyah adalah adat
kebiasaan yang berlaku dikalangan masyarakat jahiliyyah. Jadi kata sunnah dalam
hal itu berarti adat kebiasaan yaitu jalan atau cara yang berulang-ulang dilakukan
oleh orang banyak, baik mengenai permasalahan yang dianggap sebagai
peribadatan maupun yang tidak dianggap sebagai peribadatan’.
Demikian juga dikatakan oleh Ibnu Hajar al-Asqolani mengenai makna
kata Fithrah. Ia mengatakan, bahwa beberapa riwayat hadits menggunakan kata
sunnah sebagai pengganti kata fithrah, dan bermakna thariqah atau jalan. Imam
Abu Hamid dan Al-Mawardi juga mengartikan kata sunnah dengan thariqah
(jalan).
Adapun sunnah secara terminologis (istilah) yang disimpulkan oleh para
ulama ialah: segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhamad saw baik berupa
ucapan (hadits), aksi (perbuatan) maupun determinasi atau pengakuannya.
Untuk bisa mentafsirkan dan menterjemahkan sunnah Nabi saw, kita harus
memahaminya secara konprehensip baik dari kaidah bahasa arab yang berurusan
dengan hadits maupun asbabul wurud yang berkaitan dengan perbuatan dan
determinasinya. Sunnah tidak bisa diartikan dan ditafsirkan dengan kemampuan
otak manusia. Sunnah merupakan wahyu, terkandung didalamnya hikmah yang
terkadang tidak mampu dijangkau oleh otak manusia. Manusia hanya bisa
menjangkau apa yang bisa dicerna oleh indra dan diukur dengan ruang dan waktu
di mana manusia itu berpijak. Ketika sunnah diartikan secara harfiah, maka akan
timbul ketimpangan dalam mengimplementasikannya. Oleh karena itu sunnah
harus diinterpretasikan sesuai dengan kaidah dan asbabul wurud yang telah
dirumuskan oleh para ulama yang memiliki kaliber dalam menpresentasikannya,
sebagai barometer dari permasalahan-permasalah yang berkembang, tidak
dilakukan, tidak diucapkan dan tidak diperintahkan oleh Nabi saw, tetapi
dipahami dan dilakukan oleh orang-orang yang berijtihad mulai dari kurun
sahabat dan kurun-kurun setelahnya dengan tetap berpedoman pada Kitab Allah
dan Sunnah Rasulallah saw. Dengan demikian, kita akan dapat memahami sunnah
Nabi saw sesuai dengan ruang dan waktu sholih likulli zaman wa makan.

Pengertian Bid’ah
Membahas tentang bid’ah cukup rumit dan panjang dalam sejarah
pemikiran Islam. Pelabelan ahli bid’ah terhadap kelompok Islam tertentu mulai
marak dan muncul, pada saat munculnya polemik dan konflik pemikiran dalam
dunia Islam. Merespon polemik pemikiran Islam tersebut, Abu Hasan Al-Asy’ari
(wafat 304 H) menulis buku "Alluma’ fi al-radd ‘ala Ahlil Zaighi wal Bida’"
(Catatan Singkat untuk menentang para pengikut aliran sesat dan bid’ah). Setelah
itu muncullah kajian-kajian yang makin marak dan gencar dalam mengulas
masalah bid’ah
Ada dua kelompok dalam mendefinisikan kata bid’ah yaitu kelompok
pertama menggunakan pendekatan etimologis dan kelompok kedua menggunakan
pendekatan terminologis.
Kelompok pertama mencoba mendefinisikan bid’ah dengan mengambil akar
derivatif kata bid’ah yang artinya penciptaan atau inovasi yang sebelumnya belum
pernah ada. Maka semua penciptaan dan inovasi dalam agama yang tidak pernah
ada pada zaman Rasulullah saw disebut bid’ah, tanpa membedakan antara yang
baik dan buruk dan tanpa membedakan antara ibadah dan lainnya. Argumentasi
untuk mengatakan demikian karena banyak sekali ditemukan penggunakan kata
bid’ah untuk sesuatu yang baik dan kadang kala juga digunakan untuk hal tercela.
Banyak ulama yang menganut metode pendefinisan bid’ah dengan pendekatan
etimologis antara lain Izzuddin bin Abdussalam dan Imam Nawawi, mereka
mengatakan bahwa ulama membagi bid’ah menjadi lima bagian, yaitu bid’ah
wajib, bid’ah mandub, bid’ah mubah, bid’ah makruh dan bid’ah haram. Bid’ah
wajib contohnya adalah mencantumkan dalil-dalil pada ucapan-ucapan yang
menentang kemungkaran, contoh bid’ah mandub (mendapat pahala bila dilakukan
dan tak mendapat dosa bila di tinggalkan) adalah membuat buku-buku ilmu
syariah, membangun majelis ta’lim dan pesantren. Contoh bid’ah mubah adalah
bermacam-macam dari jenis makanan dan bid’ah makruh dan haram sudah jelas
diketahui, demikianlah makna pengecualian dan kekhususan dari makna yang
umum, sebagaimana ucapan Umar ra atas jama’ah tarawih bahwa "inilah sebaik-
baik bid’ah”. 
Menurut Imam Syafi’i tentang pemahaman bid’ah ada dua riwayat yang
menjelaskannya.
1-Riwayat Abu Nu’aim;
‫ بدع===ة محم===ودة وبدع===ة مذموم===ة= فم===ا واف===ق الس===نة فه===و محم===ود وم===ا خالفه===ا فه===و‬: ‫البدع===ة ب===دعتان‬
‫مذموم‬                    
"Bid’ah itu ada dua macam, bid’ah terpuji dan bid’ah tercela. Bid’ah yang sesuai
dengan sunnah, maka itulah bid’ah yang terpuji sedangkan yang menyalahi
sunnah, maka dialah bid’ah yang tercela".
2-Riwayat Al-Baihaqi dalam Manakib Imam Syafi’i :
‫قال المحدثات ضربان ما أحدث يخالف كتابا أو سنة أو أث=را أو إجماع=ا فه=ذه بدع=ة الض=الل وم=ا أح=دث من‬
‫الخير ال يخالف شيئا من ذلك فهذه محدثة غير مذمومة انتهى‬ 
"Perkara-perkara baru itu ada dua macam. Pertama, perkara-perkara baru yang
menyalahi Al-Qur’an, Hadits, Atsar atau Ijma’. Inilah bid’ah dholalah/ sesat.
Kedua, adalah perkara-perkara baru yang mengandung kebaikan dan tidak
bertentangan dengan salah satu dari yang disebutkan tadi, maka bid’ah yang
seperti ini tidaklah tercela".
Imam Al-Qurtubiy berkata: “Menanggapi ucapan ini (ucapan Imam Syafi’i), maka
kukatakan (Imam Qurtubi berkata) bahwa makna hadits Nabi saw yg berbunyi:
‘seburuk buruk permasalahan adalah hal yg baru, dan semua Bid’ah adalah
dhalalah’ (wa syarrul umuuri muhdatsaatuha wa kullu bid’atin dhalaalah), yang
dimaksud adalah hal-hal yang tidak sejalan dengan Alqur’an dan Sunnah Rasul
saw., atau perbuatan Sahabat radhiyallahu ‘anhum, sungguh telah di perjelas
mengenai hal ini oleh hadits lainnya: "Barangsiapa membuat buat hal baru yang
baik dalam islam, maka baginya pahala dan pahala orang yang mengikutinya dan
tak berkurang sedikit pun dari pahalanya, dan barang siapa membuat buat hal baru
yang buruk dalam islam, maka baginya dosa dan dosa orang yg mengikutinya"
(Shahih Muslim hadits no.1017-red) dan hadits ini merupakan inti penjelasan
mengenai bid’ah yang baik dan bid’ah yang sesat”.
Imam Ghozali menegaskan: "Betapa banyak inovasi dalam agama yang baik,
sebagaimana dikatakan oleh banyak orang, seperti sholat Tarawih berjamaah, itu
termasuk inovasi agama yang dilakukan oleh Umar r.a.. Adapun bid’ah yang sesat
adalah bid’ah yang bertentangan dengan sunnah atau yang mengantarkan kepada
merubah ajaran agama". Bid’ah yang tercela adalah yang terjadi pada ajaran
agama, adapun urusan dunia dan kehidupan maka manusia lebih tahu urusannya,
meskipun diakui betapa sulitnya membedakan antara urusan agama dan urusan
dunia, karena Islam adalah sistem yang komprehensif dan menyeluruh. Ini yang
menyebabkan sebagian ulama mengatakan bahwa bid’ah itu hanya terjadi dalam
masalah ibadah, dan sebagian ulama yang lain mengatakan bid’ah terjadi di semua
sendi kehidupan.
Kelompok kedua mendefinisikan bid’ah adalah semua kegiatan baru di
dalam agama, yang diyakini itu bagian dari agama padahal sama sekali bukan dari
agama. Atau semua kegiatan agama yang diciptakan berdampingan dengan ajaran
agama, dan disertai keyakinan bahwa melaksakan kegiatan tersebut merupakan
bagian dari agama. Kegiatan tersebut mencakup bidang agama dan lainnya.
Sebagian ulama dari golongan ini mengatakan bahwa bid’ah hanya berlaku di
bidang ibadah. Dengan definisi seperti ini, semua bid’ah dalam agama dianggap
sesat dan tidak perlu lagi dikategorikan dengan wajib, sunnah, makruh dan
mubah. Golongan ini mengimplementasikan hadist yang artinya "setiap bid’ah
adalah sesat", terhadap semua bid’ah yang ada sesuai definisi tersebut. Mereka
mengatakan "Barang siapa melakukan inovasi dalam agama Islam dengan sebuah
amalan baru dan menganggapnya itu baik, maka sesungguhnya ia telah menuduh
Muhammad saw. menyembunyikan risalah, karena Allah swt. telah menegaskan
dalam surah al-Maidah:3 yang artinya "Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk
kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-
ridhai Islam itu jadi agama bagimu", adalah dalam konteks definisi bid’ah di atas.
Adapun pernyataan Umar r.a. dalam masalah sholat Tarawih bahwa "itu sebaik-
baik bid’ah" adalah bid’ah dalam arti bahasa (etimologis). 
Pendekatan bid’ah seperti ini tidak dapat diterima karena, bila semua bid’ah
(masalah yang baru) adalah dholalah sesat atau haram, maka sebagian amalan-
amalan para sahabat serta para ulama yang belum pernah dilakukan atau
diperintahkan Rasulallah saw. semuanya dholalah atau haram, misalnya:  
1- Pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an, penulisannya serta pengumpulannya
(kodifikasinya) sebagai Mushhaf  (Kitab) yang dilakukan oleh sahabat Abubakar,
Umar bin Khattab dan Zaid bin Tsabit ra adalah haram. Padahal tujuan mereka
untuk menyelamatkan dan melestarikan keutuhan dan keautentikan ayat-ayat
Allah. Mereka khawatir kemungkinan ada ayat-ayat Al-Qur’an yang hilang karena
orang-orang yang menghafalnya meninggal.
2- Perbuatan khalifah Umar bin Khattab ra yang mengumpulkan kaum muslimin
dalam shalat tarawih berma’mum pada seorang imam adalah haram. Bahkan
ketika itu beliau sendiri  berkata : "itu sebaik-baik bid’ah". 
3-  Pemberian gelar atau titel kesarjanaan seperti; doktor dan sebagai- nya pada
universitas Islam adalah haram, yang pada zaman Rasulallah saw. cukup banyak
para sahabat yang pandai dalam belajar ilmu agama, tapi tak satupun dari mereka
memakai titel dibelakang atau di depan namanya.
3-  Mengumandangkan adzan dengan pengeras suara, membangun rumah sakit,
panti asuhan untuk anak yatim piatu dan sebagainya adalah haram. Sebab di
zaman Nabi saw tidak ditemukan. 
4- Tambahan adzan sebelum khotbah Jum’at yang dilaksanakan pada zamannya
khalifah Usman ra. Sampai sekarang bisa kita lihat dan dengar pada waktu sholat
Jum’at baik di Indonesia, di masjid Haram Mekkah dan Madinah dan negara-
negara Islam lainnya. Hal ini dilakukan oleh khalifah Usman karena bertambah
banyaknya ummat Islam.   
5-  Menata ayat-ayat Al-Qur’an dan memberi titik pada huruf-hurufnya, memberi
nomer pada ayat-ayatnya. Mengatur juz dan rubu’nya dan tempat-tempat dimana
dilakukan sujud tilawah, menjelaskan ayat Makkiyyah dan Madaniyyah pada kof
setiap surat dan sebagainya.
6- Begitu juga masalah menyusun kekuatan yang diperintahkan Allah swt. kepada
ummat Nabi saw. Kita tidak terikat harus meneruskan cara-cara yang biasa
dilakukan oleh kaum muslimin pada masa hidupnya Nabi saw., lalu menolak atau
melarang penggunaan pesawat-pesawat tempur, tank-tank raksasa, peluru-peluru
kendali, raket-raket dan persenjataan modern lainnya.           
Dan masih banyak lagi yang lainnya. Dari dua pendekatan ini, maka kita harus
mengikuti dan menelusuri persoalan-persoalan itu agar kita dapat memahami jalan
atau sunnah yang ditempuh Rasulallah saw. dalam membenarkan, menerima atau
menolak sesuatu yang dilakukan orang lain. Dengan mengikuti dan menelusuri
persoalan-persoalan itu kita dapat mempunyai keyakinan yang benar dalam
memahami sunnah Nabi saw, mengenai soal-soal baru  yang terjadi sepeninggal
Rasulallah saw. Mana yang baik dan sesuai dengan Sunnah beliau saw., itulah
yang kita namakan Sunnah, dan mana yang buruk, tidak sesuai dan bertentangan
dengan Sunnah Rasulallah saw., itulah yang kita namakan Bid’ah. Ini semua baru
dapat kita ketahui setelah kita dapat membedakan lebih dahulu mana yang sunnah
dan mana yang bid’ah.

Dalil adanya Bid’ah yang baik


Banyak sekali dalil yang menyebutkan bahwa tidak semua bid’ah adalah
sesat, tetapi ada pula yang baik. Beberapa dalil yang dapat diajukan di sini adalah
sebagai berikut:

1. Al-Qur’an
ِ ْ‫َو َج َع ْلنَا فِ ْي قُلُو‬
‫ب الَّ ِذ ْينَ اتَّبَعُوْ هُ َرافَةً َو َرحْ َمةً َو َر ْهباَ= نِيَّةً ا ْبتَ َد ُعوْ هَا َما َكتَ ْبنَا هَا َعلَ ْي ِه ْم‬
‫ق َرعَايَتِهَا‬َّ ‫اِاَّل ا ْبتِغَا َء ِرضْ َوا ِن هللاِ فَ َما َر َءوْ هَا َح‬
“...dan kami jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya rasa
santun dan kasih sayang. Dan mereka mengada-adakan rahbahiyyah
padahal kami tidak mewajibkanyan kepada mereka tetapi (mereka
sendirilahyang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu
mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya...”
(Q.S. Al-Hadid/57:27)

Dalam ayat tersebut, Allah menyebut kerahiban Ahli Kitab sebagai


bid’ah yang mereka karang sendiri, namun Allah tidak mencela kebid’ahan
itu. Celaan justru terjadi bagi orang yang tidak mempertahankan kerahiban
itu sebagaimana mestinya. Kerahiban dilarang di dalam syariat bukan
karena kerahiban itu bid;ah, tetapikarena ada dalil lain yang melarang hal
itu.

2. Hadis Rasulullah

)‫ْس ِم ْنهُ فَهُ َو َر ٌّد (رواه مسلم‬


َ ‫َث فِ ْي اَ ْم ِرنَا هَ َذا َما لَي‬
َ ‫َم ْن اَ َحد‬

“Siapa yang membuat hal baru dalam urusankami ini yang tidak termasuk
darinya, maka tertolak.” (H.R. Muslim)

َ ‫ َم==ا لَي‬bukan ُ‫ْس ِم ْن==ه‬


Dalam redaksi lain disebutkan kata ‫ْس فِيْ== ِه‬ َ ‫ َم==ا لَي‬,
namun keduanya semakna. Menurut hadis tersebut, hal yang baru tertolak
(dilarang) hanya jika memenuhi dua kondisi. Pertama, hal baru tersebut
merupakan perkara agama. Kedua, hal baru tersebut sama sekali tidak
mempunyai landasan dalil-dalil agama, baik dalil yang khusus maupun
umum. Dengan kata lain, jika hal baru tersebut bukan merupakan urusan
agama semisal bersepeda, naik mobil, internet, dan sebagainya, maka tidak
ditolak. Dengan alasan inilah, kalangan Salafi-wahabi membagi bid’ah
menjadi dua, yakni bid’ah duniawi (lughawi/nisbi) dan bid’ah ukhrawi
sandaran dalil, baik dalil khusus maupun umum, maka hal baru tersebut
menjadi tidak ditolak. Sayangnya bagian kedua dari hadis itu biasanya
diabaikan oleh kalangan salafi-wahabi sehingga mengesankan bahwa
semua bid’ah adalah sesat tanpa mempertimbangkan adanya sandaran dalil
atau tidak. Padahal sudah menjadi maklum bahwa semua bid’ah hasanah
tergolong tindakan-tindakan yang dianjurkan secara syariat, semisal Al-
Qur’an, zikir, dan sebagainya.

3. Amalia Sahabat Rasulullah


Bilal ‫ رض=====ي هللا ءنه‬pernah mengkhususkan waktu tertentu untuk
mengerjakan shalat sunah tanpa adanya petunjuk dari Rasulullah.
‫ "ي==ا بالل‬: ‫ ان النبي صلى هللا ءليه وسلم قال لبالل ءند صالة الفخر‬: ‫ءن ابي هريرة رضي هللا ءنه‬
‫ " م==ا‬: ‫ ف=اني س==معت دف نعلي==ك بين ي==دي فى الجن==ة" ق==ال‬،‫حدثني بارجى ءمل ءملت==ه فى االس==الم‬
‫ اني لم اتطهر طهورا في سا عة ليل او نه==ار اال ص=ليت ب==ذلك الطه==ور‬: ‫عملت عمال ارجى عندي‬
)‫ما كتب لي ان اصلي" (رواه البخاري‬
“Dari Abu Hurayrah, bahwa Nabi bersabda kepada Bilal ketika waktu
shalat subuh: ‘Wahai Bilal, ceritakan padaku tentang perbuatanmu yang
paling diharapkan selama memeluk Islam. Sesungguhnya aku mendengar
suara sandalmu di depanku di surga.’Bilal berkata: ‘Saya tidak
melakukan perbuatan yang paling bisa saya harapkan, di mana saya tidak
bersuci di waktu siang atau malam kecuali aku mengerjakan shalat
(sunah) atas kesucian itu pada shalat yang diwajibkan padaku’.” ( H.R.
Al-Bukhari).

Imam Syafi’i membagi bid’ah menjadi dua, yakni bid’ah hasanah


(bid’ah yang baik) dan bid’ah madzmumah (bid’ah yang buruk). Beberapa
orang yang anti bid’ah hasanah mencoba untuk mengelabui orang awam
dengan mengesankan bahwa pembagian bid’ah yang asy-Syafi’i sendiri
ْ =‫ْث فَهُ َو َم‬
yang mengatakan :" ‫=ذهَبِ ْي‬ ُ ‫ص َّح ْال َح ِدي‬
َ ‫( اِ َذا‬kalau hadisnya telah sahih,
maka itulah mazhabku).” Mereka lalu membaca hadis “kullu bid’atin
dhalalah”, dan mengatakan bahwa hadis itu sahih serta tidak ada
pengecualiannya sehingga hadis itulah yang menjadi mazhab Imam asy-
Syafi’i yang sebenarnya, bukan pendapatnya yang membagi bid’ah
menjadi dua.

Anda mungkin juga menyukai