Dosen Pengampu: Ns. Santi Herlina, S.Kep, M.Kep, Sp. Kep MB.
Disusun oleh:
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat
dan karunia-Nya yang telah diberikan kepada kami sehingga dapat menyelesaikan makalah
ini yang berjudul Kasus I PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik).
Dengan terselesaikannya makalah ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak.
Oleh karena itu, kami menyampaikan rasa terima kasih kepada Ibu Ns. Santi Herlina, S.Kep,
M.Kep, Sp. Kep MB. selaku dosen Keperawatan Medikal Bedah I yang telah membimbing
kami selama pembuatan makalah ini. Dan juga kepada teman-teman yang telah memberikan
masukan serta mendukung terselesaikannya makalah ini.
Terlepas dari itu semua kami menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini
terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya
kritik dan saran yang membangun. Kami berharap semoga makalah ini dapat dipahami bagi
siapapun yang membacannya.
Kelompok 1 PPOK
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ......................................................................................................2
DAFTAR ISI .....................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ........................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................................4
1.5 Tujuan .....................................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Prevelensi PPOK (Usia, Kelamin, Wilayah, Negara, dan Pekerjaan) ....................6
2.2 Pengertian dan Klasifikasi ......................................................................................8
2.3 Etiologi dan Faktor Risiko.......................................................................................11
2.4 Patofisiologis...........................................................................................................14
2.4 Tanda dan Gejala.....................................................................................................18
2.5 Komplikasi...............................................................................................................19
2.6 Pemeriksaan Penunjang...........................................................................................21
2.7 Penatalaksanaan Medis............................................................................................24
2.8 Asuhan Keperawatan PPOK....................................................................................29
2.9 Telaah Jurnal............................................................................................................41
2.10 Materi Edukasi PPOK............................................................................................45
BAB III PENUTUP
3.1 Simpulan .................................................................................................................47
3.2 Saran .......................................................................................................................47
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................48
3
BAB I
PENDAHULUAN
Data Badan Kesehatan Dunia (WHO), menunjukkan pada tahun 2002 PPOK
telah menempati urutan kelima penyebab utama kematian setelah penyakit
kardiovaskuler (WHO, 2002). Diperkirakan pada tahun 2030 akan menjadi penyebab
kematian ketigadi seluruh dunia. Menurut American Lung Association (ALA), PPOK
merupakan penyebab utama keempat kematian di Amerika Serikat. Hasil survei penyakit
tidak menular oleh Direktur Jendral PPM & PL di 5 Rumah Sakit di Indonesia (Jawa
Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung dan Sumatera Selata) pada tahun 2004,
PPOK menempati urutan pertama penyumbang angka kesakitan (35%) (Depkes RI,
2004).
1. Apa yang dengan Prevelensi PPOK (Usia, Kelamin, Wilayah, Negara, dan
Pekerjaan)?
2. Apa Pengertian dan Klasifikasi dari PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik)?
3. Apa saja Etiologi dan Faktor Risik dari PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik)?
4. Apa saja Tanda dan Gejala dari PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik)?
5. Komplikasi apa saja yang dapat terjadi dari PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik)?
6. Pemeriksaan Penunjang apa saja yang digunakan untuk pasien PPOK (Penyakit Paru
Obstruktif Kronik)?
7. Apa saja Penatalaksanaan Medis yang digunakan untuk pasien PPOK (Penyakit Paru
Obstruktif Kronik)?
8. Bagaimana Asuhan Keperawatan PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik)?
9. Telaah Jurnal PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik)?
4
10. Apa saja Materi Edukasi yang dapat diberikan untuk pasien PPOK (Penyakit Paru
Obstruktif Kronik)?
1.3 Tujuan
5
BAB II
PEMBAHASAN
6
7
Angka penderita PPOK memang tidak begitu tinggi, namun berpotensi
menjadi meningkat setiap tahunnya, mengingat prevalensi kebiasaan merokok yang
dimiliki oleh penduduk Indonesia masih terbilang tinggi, yaitu 28,8% pada penduduk
dengan usia ≥10 tahun (Riskesdas 2018), dan mengalami peningkatan pada penduduk
usia 10-18 tahun dari 8,8% (Sinkernas 2016) menjadi 9,1% (Riskesdas 2018).
8
pernapasan yang dapat terjadi pada saluran pernapasan maupun pada parenkim paru
(Darmanto, 2009).
Penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) merupakan suatu keadaan penyakit yang
ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang tidak bersifat reversible sepenuhnya.
Keterbatasan aliran udara biasanya progresif dan berkaitan dengan respons inflamasi
abnormal pada paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya (Patricia, 2011).
GOLD (the Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease) 2018,
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit umum, dapat dicegah dan
diobati yang ditandai dengan gejala pernapasan persisten dan keterbatasan aliran udara
yang disebabkan karena kelainan saluran napas dan/atau alveolus. PPOK biasanya
disebabkan oleh paparan signifikan terhadap partikel atau gas berbahaya. Hambatan jalan
napas pada PPOK disebabkan oleh obstruksi saluran napas kecil (obstruksi bronkiolitis)
dan kerusakan parenkim paru (emfisema).
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa penyakit paru obstruksi kronik
(PPOK) merupakan penyakit paru yang disebabkan karena adanya obstruksi atau
penyumbatan aliran udara pada saluran pernapasan yang ditandai dengan adanya gejala
sesak napas dan dalam waktu yang lama akan semakin memburuk yang disebut dengan
eksaserbasi.
Berdasarkan kesepakatan para pakar (PDPI/ Perkumpulan Dokter Paru Indonesia) tahun
2005 maka PPOK dikelompokkan ke dalam:
a. PPOK ringan adalah pasien dengan atau tanpa batuk. Dengan atau tanpa produksi
sputum dan dengan sesak napas derajad nol sampai satu. Sedangkan pemeriksaan
Spirometrinya menunjukkan VEP ≥ 80% prediksi (normal) dan VEP/KVP < 70 %
9
b. PPOK sedang adalah pasien dengan gejala klinis dengan atau batuk. Dengan atau
produksi sputum dan sesak napas dengan derajad dua. Sedangkan pemeriksaan
Spirometrinya menunjukkan VEP ≥ 70% dan VEP/KVP < 80% prediksi
c. PPOK berat adalah pasien dengan gejala klinis sesak napas derajat tiga atau empat
dengan gagal napas kroniki. Eksaserbasi lebih sering terjadi. Disertai komplikasi
kor pulmonum atau gagal jantung kanan. Adapun hasil spirometri menunjukkan
VEP/KVP < 70 %, VEP< 30 % prediksi atau VEP> 30% dengan gagal napas kronik.
Hal ini ditunjukkan dengan hasil pemeriksaan analisa gas darah dengan kriteria
hipoksemia dengan normokapnia atau hipoksemia dengan hiperkapnia.
Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) 2011,
PPOK diklasifikasikan berdasarkan derajat berikut:
a. Derajat 0 (berisiko)
Gejala klinis: Memiliki satu atau lebih gejala batuk kronis, produksi sputum, dan
dispnea. Ada paparan terhadap faktor resiko. Spirometri: Normal.
b. Derajat I (PPOK ringan)
Gejala klinis: Dengan atau tanpa batuk. Dengan atau tanpa produksi sputum.
Spirometri: FEV/FVC < 70%, FEV ≥ 80%.
c. Derajat II (PPOK sedang)
Gejala klinis: Dengan atau tanpa batuk. Dengan atau tanpa produksi sputum. Sesak
napas derajat sesak 2 (sesak timbul pada saat aktivitas). Spirometri: FEV/FVC <
70%; 50% < FEV < 80%.
d. Derajat III (PPOK berat)
Gejala klinis: Sesak napas ketika berjalan dan berpakaian. Eksaserbasi lebih sering
terjadi Spirometri: FEV/FVC < 70%; 30% < FEV < 50%.
e. Derajat IV (PPOK sangat berat)
Gejala klinis: Pasien derajat III dengan gagal napas kronik. Disertai komplikasi
korpulmonale atau gagal jantung kanan. Spirometri: FEV/FVC < 70%; FEV < 30%
atau < 50%.
a. Asma
Asma adalah openyakit inflamasi (radang) kronik saluran nafas yang menyebabkan
peningkatan hiperesponsif jalan nafas yang menimbulkan gejala episodik berulang
10
berupa mengi, sesak nafas, dada terasa berat, dan batuk-batuk terutama pada malam
hari menjelang dini hari. Gejala tersebut terjadi berhubungan dengan obstruksi jalan
nafas yang luas, bervariasi, dan sering kali bersifat reversible denagan atau tanpa
pengobatan.
b. Bronkitis kronik
Bronkitis kronik didefinisikan sebagai adanya batuk produktif yang berlangsung 3
bulan dalam setahun dalam 2 tahun berturut-turut. Kondisi ini berkaitan dengan
perokok sigaret atau pemajan terhadap polutan. Pasien mengalami peningkatan
kerentanan terhadap terjadinya infeksi saluran pernafasan bawah.
c. Emfisema
Emfisema adalah keadaan paru yang abnormal, yaitu adanya pelebaran rongga udara
pada asinus yang sifatnya permanen. Pelebaran ini terjadi karena adanya kerusakan
dinding asinus. Asinus adalah bagian paru yang terletak di bronkiolus terminalis
distal.
terjadinya PPOK terkait dengan jumlah partikel gas yang dihirup oleh seorang
individu selama hidupnya serta berbagai faktor dalam individu itu sendiri, yaitu:
1. Asap Rokok
Dari berbagai partikel gas yang noxius atau berbahaya, asap rokok merupakan salah
satu penyebab utama, kebiasaan merokok merupakan faktor resiko utama dalam terjadinya
PPOK. Asap rokok yang dihirup serta merokok saat kehamilan juga berpengaruh pada
kejadian PPOK karena mempengaruhi tumbuh kembang paru janin dalam uterus. Sejak lama
telah disimpulkanbahwa asap rokok merupakan faktor risiko utama dari bronkitis kronis dan
emfisema. Serangkaian penelitian telah menunjukkan terjadinya percepatan penurunan
volume udara yang dihembuskan dalam detik pertama dari manuver ekspirasi paksa (FEV1)
dalam hubungan reaksi dan dosis terhadap intensitas merokok, yang ditunjukkan secara
spesifik dalam bungkus-tahun (rata-rata jumlah bungkus rokok yang dihisap per hari
dikalikan dengan jumlah total tahun merokok). Walaupun hubungan sebab akibat antara
11
merokok dan perkembangan PPOK telah benar-benar terbukti, namun reaksi dari merokok ini
masih sangat bervariasi. Merokok merupakan prediktor signifikan yang paling besar pada
FEV1, hanya 15% dari variasi FEV1 yangdapat dijelaskan dalam hubungan bungkus-tahun.
Temuan ini mendukung bahwa terdapat faktor tambahan dan atau faktor genetik sebagai
kontributor terhadap dampak merokok pada perkembangan obstruksi jalan nafas.
2. Paparan Pekerjaan
3. Polusi Udara
Infeksi saluran respirasi telah diteliti sebagai faktor risiko potensial dalam
perkembangan dan progresivitas PPOK pada orang dewasa, terutama infeksi saluran nafas
bawah berulang. Infeksi saluran respirasi pada masa anak-anak juga telah dinyatakan sebagai
faktor predisposisi potensial pada perkembangan akhir PPOK.
12
merupakan variasi dari dasar penyakit yang sama, yang dimodulasi oleh faktor lingkungan
dan genetik untuk menghasilkan gambaran patologis yang nyata.
Defisiensi α1AT yang berat merupakan faktor risiko genetik terjadinya PPOK.
Walaupun hanya 1-2% dari pasien-pasien PPOK yang mewarisi defisiensi α1AT, pasien-
pasien ini menunjukkan bahwa faktor genetik memiliki pengaruh terhadap kecenderungan
untuk berkembangnya PPOK. α1AT adalah suatu anti-protease yang diperkirakan sangat
penting untuk perlindungan terhadap protease yang terbentuk secara alami oleh bakteri,
leukosit PMN, dan monosit
Faktor penyebab dan faktor resiko menurut Neil F Gordan (2002) yaitu:
13
3. Jenis kelamin pria lebih beresiko diibanding wanita
4. Berkurangnya fungsi paru paru
5. Keterbukaan terhadap polusi seperti asap rokok dan debu
6. Polusi udara
7. Infeksi saluran pernafasan akut seperti pnemonia dan bronkitus
8. Kurangnya alfa anti tripsin ini merupakan kekurangan suatu enzim yang
normalnya meliindungi paru-paru dari kerusakan peradangan.
Fungsi paru menentukan jumlah kebutuhan oksigen yang masuk ke tubuh seseorang,
yaitu jumlah oksigen yang diikat oleh darah dalam paru-paru untuk digunakan oleh
tubuh. Kebutuhan oksigen sangat erat hubungannya dengan aliran darah ke paru-paru.
Berkurangnya fungsi paru-paru juga disebabkan oleh berkurangnya fungsi sistem
respirasi seperti fungsi ventilasi paru. Faktor resiko merokok dan polusi udara
14
menyebabkan proses inflamasi bronkus dan juga dapat menimbulkan kerusakan pada
dinding bronkiolus terminalis.
15
menyebabkan hipoksemia dan hiperkapnia. Ketidakseimbangan asio ventilasi-perfusi
adalah kekuatan pendorong dibelakang hipoksemia pada pasien PPOK, tanpa
memerhatikan stadium penyakit. Hiperkapnia kronis biasanya mengindikasikan disfungsi
otot inspirasi dan hipoentilasi alveolar. Ketika hipoksemia dan hiperkapnia berkembang
lambat pada PPOK, hipertensi pulmonal sering terjadi, yang menyebabkan hipertrofi
ventrikel kanan , lebih dikenal sebagai korpulmonal . gagal jantung kanan menyebabkan
stasis vena lebih lanjut dan trombosis yang dapat berpotensi menyebabkan embolisme
paru dan lebih lanjut menggangu sirkulasi paru. Terakhir, PPOK berkaitan dengan
inflamasi sistemik dan disfungsi oto rangka yang dapat menyebabkan keterbatasan
kapasitas aktivitas fisik dan penurunan status kesehatan (Patricia Gonce Morton et al.,
2012).
16
17
2.4 Tanda dan Gejala
1. Batuk berdahak yang tak kunjung sembuh
2. Sesak napas dan tersengal-sengal
3. Mengi
4. Lemas
5. Penurunan berat badan
6. Demam
7. Sering berkeringat
8. Letarghi
9. Bibir dan kuku berwarna kebiruan
18
2.5 Komplikasi
a. Hipoksia
Terbatasnya aliran udara yang masuk ke dalam tubuh akan membuat paru-paru
mengalami kesulitan dalam mengambil oksigen dan melepaskan karbondioksida.
Akibatnya, oksigen yang masuk ke dalam tubuh menjadi lebih sedikit. Hipoksia
adalah kondisi kurangnya oksigen bagi sel dan jaringan tubuh. Kondisi ini dapat
menyebabkan sejumlah komplikasi serius lainnya yang terkadang bisa mengancam
nyawa.
b. Infeksi pernapasan
Orang dengan PPOK cenderung lebih mudah terserang pilek, flu, dan pneumonia.
Infeksi pernapasan apa pun cenderung menyebabkan sesak napas dan kerusakan pada
jaringan paru-paru yang lebih parah. PPOK merupakan faktor risiko penting yang
dapat memperburuk keadaan orang dengan infeksi influenza.
Infeksi influenza diketahui merupakan salah satu penyebab umum pneumonia.
Oleh karena itu, ketika pertahanan tubuh di sistem pernapasan melemah akibat PPOK,
Infeksi influenza yang mungkin menyerang cenderung lebih mudah mengakibatkan
pneumonia.
PPOK dan pneumonia saling berhubungan karena kondisi PPOK menyebabkan
melemahnya pertahanan sistem pernapasan. Akibatnya, pasien lebih berisiko kena
pneumonia. Orang dengan PPOK yang kena pneumonia juga memiliki risiko lebih
tinggi untuk meninggal dunia akibat lebih lemahnya sistem imun tubuh.
Pasien PPOK lebih rentan mengalami pneumonia karena kondisi medis yang
mereka miliki. Menurut jurnal Tuberculosis and Respiratory Disease, kondisi-kondisi
itu meliputi produksi lendir dan peningkatan jumlah bakteri selama eksaserbasi
(ketika gejala PPOK dirasa semakin parah).
c. Gagal jantung
Salah satu komplikasi yang paling fatal dari PPOK adalah gagal jantung. Hal ini
terjadi karena fungsi paru-paru sangat berkaitan dengan fungsi jantung. Ketika paru-
paru bermasalah, jantung juga akan terpengaruh seiring berjalannya waktu. Dikutip
dari American Thoracic Society, gagal jantung terjadi pada 5-10% orang dengan
19
PPOK parah. Selain itu, PPOK juga dapat meningkatkan penyakit jantung lainnya,
seperti serangan jantung.
d. Kanker paru-paru
Orang dengan PPOK memiliki risiko lebih tinggi untuk terkena kanker paru-paru.
Mereka juga cenderung mendapatkan hasil buruk setelah didiagnosis dan melalui
pengobatan kanker. PPOK dan kanker paru sama-sama disebabkan oleh merokok dan
telah banyak bukti yang menyebutkan bahwa kedua penyakit tersebut saling
berhubungan.
Kanker paru-paru biasanya merupakan kondisi yang berakibat fatal. Itu sebabnya,
penting untuk melakukan pencegahan komplikasi PPOK agar penyakit tak meluas dan
semakin merusak paru-paru. Salah satu cara utama untuk melakukan pencegahan
PPOK adalah berhenti merokok.
e. Osteoporosis
Banyak orang dengan PPOK mengalami kekurangan asupan oksigen. Hal ini
kemudian dapat menyebabkan gangguan pada asupan oksigen dan nutrisi pada sel-sel
tulang. Hal ini kemudian menyebabkan menurunnya kepadatan mineral tulang.
Studi yang disebutkan dalam International Journal of Chronic Obstructive
Pulmonary Disease menyatakan bahwa penurunan kepadatan mineral tulang dan
penurunan kualitas tulang dapat menyebabkan kerapuhan tulang, serta mengakibatkan
patah tulang pada pasien PPOK.
Risiko komplikasi osteoporosis dapat terjadi pada pasien PPOK yang berusia lebih
tua, terlalu kurus, kurang aktivitas fisik, dan kurang vitamin D. Dokter perlu
memeriksa risiko osteoporosis pada pasien PPOK untuk mencegah risiko patah
tulang.
f. Demensia
Orang dengan PPOK diketahui punya risiko lebih tinggi dalam hal penurunan
kognitif. Mereka juga memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk mengalami
kerusakan saraf. PPOK merupakan salah satu faktor risiko terjadinya demensia.
Penurunan kognitif pada mereka yang menderita demensia, terutama pada orang
lanjut usia, membuat penanganan gejala PPOK semakin sulit.
20
g. Depresi
Secara khusus, gangguan suasana hati, seperti depresi berat, distrofia (gejala
depresi kronis dengan tingkah keparahan ringan), depresi ringan, dan gangguan
kecemasan (gangguan kecemasan umum, fobia, dan gangguan panik) adalah
komplikasi yang sering terjadi pada pasien dengan PPOK.
Merokok meningkatkan risiko dan keparahan PPOK, sehingga menyebabkan
aktivitas sehari-hari menjadi berat dan membuat stres. Hal ini kemudian dapat
meningkatkan risiko depresi atau kecemasan pada orang dengan PPOK. Gangguan
kecemasan dan depresi pada orang dengan PPOK yang tidak diobati dapat membuat
kondisi semakin parah.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada diagnosis PPOK antara lain
21
penurunan dari FEV1 dan FVC serta nilai FEV1/FVC < 70%. Pemeriksaan post-
bronchodilator dilakukan dengan memberikan bonkodilator inhalasi sebanyak 8
hisapan, dan 15-20 menit kemudian dilihat perubahan nilai FEV1. Bila perubahan
nilai FEV1 <20%, maka ini menunjukkan pembatasan aliran udara yang tidak
sepenuhnya reversibel. Uji ini dilakukan saat PPOK dalam keadaan stabil (di luar
eksaserbasi akut). Dari hasil pemeriksaan spirometri setelah pemberian bronkodilator
dapat digunakan untuk menentukan klasifikasi penyakit PPOK berdasarkan derajat
obstruksinya. Klasifikasi berdasarkan GOLD kriteria adalah:
a. Stage I: Ringan
Pemeriksaan spirometri post-bronchodilator menunjukan hasil rasio FEV1/FVC <
70% dan nilai FEV1 ≥ 80% dari nilai prediksi.
b. Stage II: Sedang
Rasio FEV1/FVC < 70% dengan perkiraan nilai FEV1 diantara 50-80% dari nilai
prediksi.
c. Stage III: Berat
Rasio FEV1/FVC < 70%, dan nilai menunjukkan FEV1 diantara 30-50% dari nilai
prediksi.
d. Stage IV: Sangat Berat
Rasio FEV1/FVC < 70%, nilai FEV1 diperkirakan kurang dari 30% ataupun
kurang dari 50% dengan kegagalan respirasi kronik.
2. Pemeriksaan Radiologi
Foto torak PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit paru
lain. Pada penderita emfisema dominan didapatkan gambaran hiperinflasi, yaitu
diafragma rendah dan rata, hiperlusensi, ruang retrosternal melebar, diafragma
mendatar, dan jantung yang menggantung/penduler (memanjang tipis vertikal).
Sedangkan pada penderita bronkitis kronis dominan hasil foto thoraks dapat
menunjukkan hasil yang normal ataupun dapat terlihat corakan bronkovaskuler yang
meningkat disertai sebagian bagian yang hiperlusen.
Pemeriksaan CT scan toraks dapat membantu dalam mendiagnosis berbagai tipe dari
PPOK. CT Scan lebih spesifik dalam mendiagnosa emfisema jika dibandingkan foto
thoraks polos.
22
3. Pemeriksaan Laboratorium
a) Pemeriksaan Analisa Gas Darah (AGD)
Pada PPOK tingkat lanjut, pengukuran analisa gas darah sangat penting dilakukan
dan wajib dilakukan apabila nilai FEV1 pada penderita menunjukkan nilai < 40%
dari nilai dan prediksi secara klinis tampak tanda-tanda kegagalan respirasi dan
gagal jantung kanan seperti sianosis sentral, pembengkakan ekstermitas, dan
peningkatan jugular venous pressure. AGD arteri menunjukan gambaran yang
berbeda pada pasien dengan bronkhitis kronis menunjukan hipoksemi yang
sedang sampai berat pada pemberian oksigen 100%. Dapat juga menunjukan
hiperkapnia yang sesuai dengan adanya hipoventilasi alveolar, serta asidosis
respiratorik kronik yang terkompensasi. Gambaran seperti ini disebabkan karena
pada bronkitis kronis terjadi gangguan rasio ventilasi/perfusi (V/Q ratio) yang
nyata. Sedangkan pada emfisema, rasio V/Q tidak begitu terganggu oleh karena
baik ventilasi maupun perfusi, keduanya menurun disebabkan berkurangnya
jumlah unit ventilasi dan capillary bed. Oleh karena itu pada emfisema gambaran
analisa gas darah arteri akan memperlihatkan normoksia atau hipoksia ringan, dan
normokapnia. Analisa gas darah berguna untuk menilai cukup tidaknya ventilasi
dan oksigenasi, dan untuk memantau keseimbangan asam basa
b) Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan bakteriologi Gram pada sputum diperlukan untuk mengetahui pola
kuman dan memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulang
merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia
23
2.7 Penatalaksanaan Medis
Tujuan penatalaksanaan PPOK adalah untuk mengurangi risiko gejala dan eksaserbasi akut.
Indikator penurunan gejala adalah gejala membaik, memperbaiki toleransi terhadap aktivitas,
dan memperbaiki status kesehatan. Sedangkan indikator penurunan risiko adalah mencegah
perburukan penyakit, mencegah dan mengobati eksaserbasi, menurunkan mortalitas. Secara
umum, pengobatan PPOK menggunakan beberapa golongan obat, seperti:
1. Bronkodilator
1. Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator
juga mengurangi sekresi lendir (maksimal 4 kali perhari).
2. Golongan β2 Agonist
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah penggunaan
dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan
sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat
digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan
24
jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi
berat.
3. Kombinasi antikolinergik dan β2 Agonist
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena
keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat
kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita.
4. Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang,
terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk
mengatasi sesak (pelega napas), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi
eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar
aminofilin darah.
2. Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena,
berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau
prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji
kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat >
20% dan minimal 250 mg.
3. Antibiotik
Gejala eksaserbasi:
25
1. Sesak bertambah
2. Produksi sputum meningkat
3. Perubahan warna sputum
Terapi Farmakologi:
1. Bronkodilator
2. Glukokortikoid
26
3. Antibiotik
27
4. Terapi oksigen
Pada eksaserbasi akut terapi oksigen merupakan hal yang pertama dan utama,
bertujuan untuk memperbaiki hipoksemi dan mencegah keadaan yang mengancam
jiwa. Terapi oksigen merupakan suatu terapi yang diberikan dengan memberikan gas
oksigen (O2) lebih dari 21% pada tekanan 1 atmosfer sehingga konsentrasi oksigen
dalam tubuh meningkat, dapat dilakukan di ruang gawat darurat, ruang rawat atau di
ICU. Sebaiknya dipertahankan PaO2 > 60 mmHg atau Sat O2 > 90%, evaluasi ketat
hiperkapnia. gunakan sungkup dengan kadar yang sudah ditentukan (ventury masks)
24%, 28% atau 32%. Perhatikan apakah sungkup rebreathing atau nonrebreathing,
tergantung kadar Paco2 dan Pao2. Bila terapi oksigen tidak dapat mencapai kondisi
oksigenasi adekuat, harus digunakan ventilasi mekanik. Dalam penggunaan ventilasi
mekanik usahakan dengan Noninvasive Positive Pressure Ventilation (NIPPV), bila
tidak berhasil ventilasi mekanik digunakan dengan intubasi.
28
Terapi oksigen harus dititrasi pada pasien dengan hipoksemia dengan saturasi target
88-92%. Ketika memulai terapi oksigen, analisa gas darah harus dilakukan untuk
mengetahui oksigenasi tanpa retensi karbodioksida dan/atau asidosis yang memburuk.
Pemberian oksigen dengan masker venturi menunjukkan hasil yang akurat
dibandingkan dengan nasal prongs. Terapi oksigen merupakan suatu terapi yang
diberikan dengan memberikan gas oksigen (O2) lebih dari 21% pada tekanan 1
atmosfer sehingga konsentrasi oksigen dalam tubuh meningkat. Terapi oksigen
diberikan jika terdapat kegagalan pernapasan karena hiperkapnia dan berkurangnya
sensitivitas terhadap O2
5. Terapi ventilasi
Pemberian terapi ventilasi pada kasus PPOK eksaserbasi dapat secara noninvasive
(nasal atau facial mask) atau invasive (oro-tracheal tube atau tracheostomy), Ventilasi
mekanik noninvasive diberikan pada pasien gagal nafas akut yang sudah hospitalisasi
dan mengalami PPOK eksaserbasi. Beberapa penelitian menunjukkan terdapat
perbaikan oksigenasi dan asidosis respirasi akut, peningkatan pH dan penurunan
PaCO2, penurunan laju pernafasan, dan sesak. Namun, memiliki komplikasi berupa
pneumonia yang berhubungan dengan ventilator dan lamanya hospitalisasi. Ventilasi
mekanik invasive diberikan dengan indikasi kegagalan terapi ventilasi mekanik
noninvasive sebagai terapi pertama pada gagal nafas akut, PPOK eksaserbasi. Efek
samping yang ditimbulkan berupa risiko infeksi pneumonia (multiresisten organisme),
barotrauma dan volutrauma.
Seorang pasien laki-laki, 49 th, datang ke IGD dengan keluhan Utama Dispneu, Demam
dan batuk-batuk disertai pengeluaran sputum sekurangkurangnya 3 bulan berturut-turut
dalam satu tahun, dan paling sedikit 2 tahun. Saat dianamnesa pasien sering berkeringat,
anoreksia dan Letarghi. Pasien juga mempunyai kebiasaan merokok sudah 6 tahun dan
pasien profesinya sehari-hari adalah seorang kondektur metro mini (angkutan bus
29
Jakarta). Riwayat penyakit sebelumnya pasien menderita Bronkitis tetapi pasien tidak
pernah meminum obatnya saat dilakukan pemeriksaan fisik: TTV: TD 140/90 mmHg,
Nadi 100x/. Suhu 38.5ºC, RR: 28 x/mnt. Pemeriksaan penunjang: Foto Rontgen: kesan:
Tubular shadow berupa bayangan garis-garis yang parallel keluar dari hilus menuju apex
paru dan corakan paru yang bertambah. Lalu Dokter mendiagnosis pasien menderita
PPOK jenis Bronkhitis Kronis. Pasien bertanya kenapa bisa terkena penyakit tersebut.
Lalu Dokter memberikan O2 dan Terapi Eksaserbasi akut: Kontrimoksazol. Perawat dan
dokter serta paramedic lainnya yang terkait, melakukan perawatan secara integrasi untuk
menghindari / mengurangi resiko komplikasi lebih lanjut.
a. Data Fokus
b. Analisa Data
30
aling sedikit 2 tahun
- Klien mengatakan merok
ok sudah 6 tahun dan
dan bekerja sebagai kond
ektur metro mini (angkut
an bus Jakarta)
- Klien mengatakan
pernah menderita Bronki
tis tetapi pasien tidak per
nah meminum obatnya
DO:
- Pasien tampak
berkeringat
- Pasien terlihat
kesadarannya menurun
(letarghi)
DO:
Suhu 38,5°C
3. DS: Asupan diet kurang Ketidakseimbangan
- Klien mengatakan tidak ditandai dengan enggan Nutrisi: Kurang dari
nafsu makan (Anoreksia) makan kebutuhan tubuh
31
DO:- (Domain 2. Kelas 1.
Kode diagnosis 00002)
DO: -
32
c. Diagnosa Keperawatan
33
d. Rencana Keperawatan
34
ditingkatkan 5 (tidak batuk yang baik
ada devisiasi dari kis dan benar
aran normal)
Batuk dipertahankan
1 (devisiasi sabgat
berat dari kisaran nor Monitor Pernafasan
mal) ditingkatkan 2 (Bag. Tiga, kode 3350) 1. Untuk mengetah
(devisiasi berat dari k ui seberapa
1. Monitor sekresi
isaran normal) banyak sekresi
pernafasan klien
yang terdapat di
Status Pernafasan: sistem
Pertukaran Gas (Bag. T pernafasan klien
iga. Kode 0402)
Kolaborasi:
2. NOC NIC
Hipertermi
( Bagian tiga. Hal 283, Hipertermi
D.IV, Kode.1922 ) (Bagian enam. Hal
Setelah dilakukan tindak 518)
an keperawatan selama 1
x24 jam pasien masalah Perawatan demam
Hipertermi teratasi (Bag. Tiga. Kode
35
3740) 1. Agar
Kriteria Hasil: mengetahui
1. Pantau suhu dan
Memonitor perub Perkemban
tamda – tanda gan suhu
ahan status keseh
vital lainnya pasien
atan dipertahanka
n pada skala 2 (Ja
rang menunjukan) 2. agar
ditingkatkan ke s mengetahui
2. Monitor warna apakah ada
kala 5 (secara kon
kulit dan suhu perubahan
sisten menunjuka
n) warna kulit
Mempertahankan
keutuhan kulit dip 3. mencegah
ertahankan pada s terjadinya
kala (Jarang men dehidrasi
unjukan) ditingka 3. Monitor asupan
tkan ke skala 5 (s dan keluaran,
ecara konsisten m sadari
enunjukan) perubahan
kehilangan 4. membantu
Tanda – tanda vital cairan yamg tak penurunan
( Bag. Tiga kode 0802) dirasakan panas
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan 4. Beri obat atau
1x24 jam masalah cairan IV 1. agar perawat tau
hipertermi diharapkan apakah ada
Pengaturan suhu
dapat teratasi. peningkatan
( Kode 3900, hal.311 ) atau penurunan
Kriteria hasil: suhu
1. Monitor suhu 2. agar mengetahui
paling tidak apakah ada
Suhu tubuh
setiap 2 jam, perubahan kulit
dipertahankan
sesuai 3. agar mengetahui
pada skala 3
kebutuhan adanya
(deviasi sedang
dari kisaran penurunan suhu
2. Monitor suhu
normal)
daan warna kulit 4. agar tidak
ditingkatkan ke
3. Monitor adanya terjadinya
skala 5 (tidak ada
tanda – tanda dehidrasi
deviasi dari
hipotermia
kisaran normal)
*Suhu tubuh pada
4. Tingkatkan 5. agar pasien
rentang normal 38,5°C –
intake cairan merasa aman
36,6°C
dan nutrisi nyaman dan
36
Tekanan nadi adekuat tentram
dipertahankan
pada skala 3 5. Sesuaikan suhu
(deviasi sedang lingkungan
dari kisaran untuk kebutuhan
normal) pasien
ditingkatkan ke
skala 5 (tidak ada
deviasi dari
kisaran normal)
Irama pernapasan
dipertahankan
pada skala 3
(deviasi sedang
dari kisaran
normal)
ditingkatkan ke
skala 5 (tidak ada
deviasi dari
kisaran normal)
*Nadi dan respirasi rate
dalam rentang normal
3. NOC NIC
Nutrisi: Ketidakseimba Nutrisi: Ketidakseimb
ngan, Kurang dari Keb angan, Kurang dari K
utuhan Tubuh ebutuhan Tubuh
(Bag. Empat, hal 644) (Bag. Enam, hal 558)
Setelah dilakukan tindak
an keperawatan selama 1 Manajemen Nutrisi (B
x24 jam pasien masalah ag. tiga, kode 1100)
Ketidakseimbangan 1. Berikan pilihan
Nutrisi: Kurang dari makanan sambil 1. Agar klien
kebutuhan tubuh menawarkan nafsu makan
berhubungan dengan bimbingan terhadap karena
Asupan diet kurang pilihan [makanan] diberikan
ditandai dengan enggan yang lebih sehat pilihan makanan
makan sudah terpenuhi. yang sehat
37
(sedikit terganggu) dit bau yang menyengat) nafsu untuk
ingkatkan 5 (tidak ter makan
ganggu) 3. Pastikan makanan
Rangsangan untuk disajikan dengan cara 3. Untuk
makan dipertahankan menarik dan pada merangsang dan
4 (sedikit terganggu) suhu yang paling meningkatkan
ditingkatkan 5 (tidak t cocok untuk nafsu makan
erganggu) konsumsi secara klien karenaa
Intake makanan dipert optimal makanan yang
ahankan 4 (sedikit ter disajikan hangat
ganggu) ditingkatkan dan menarik
5 (tidak terganggu)
Intake nutrisi dipertah 4. Anjurkan keluarga 4. Untuk
ankan 4 (sedikit terga untuk membawa meningkatkan
nggu) ditingkatkan 5 makanan favorit klien nafsu makan
(tidak terganggu) yang diperbolehkan klien
untuk kondisinya saat
ini
5. Tawarkan makanan
ringan yang padat dan 5. Untuk mencuku
bergizi pi nutrisi klien a
pabila klien tida
k mau makan-m
akanan yang ber
at
4. NOC NIC
Defisiensi Pengetahuan Defisiensi
(Bag. Empat, hal 600) Pengetahuan
Setelah dilakukan tindak (Bag. Enam, hal 504)
an keperawatan selama 1
x24 jam pasien masalahPendidikan Kesehatan
Defisiensi Pengetahuan(Bag. Tiga, Kode
berhungan 5510)
dengan 1. Untuk
Kurang informasi
1. Tentukan mengetahui
ditandai dengan kurang pengetahuan sejauh mana
pengetahuan sudah terata kesehatan dan gaya pengetahuan
si. hidup perilaku saat klien dan
ini pada klien dan keluarga
Kriteria Hasil: keluarga mengenai
pentingnya
Pengetahuan: menjaga
Manajemen Penyakit kesehatan
Paru Obstruksi Kronik
38
(Bag. Tiga, kode 1848) 2. Agar klien
Tanda dan gejala mengetahui apa
penyakit paru 2. Berikan edukasi yang di maksud
obstruktif kronik kepada klien tentang dengan PPOK
dipertahankan 1 (tidak penyakit PPOK
ada pengetahuan) 3. Agar klien
ditingkatkan 3 mengetahui dan
(Pengetahuan sedang) 3. Berikan informasi memahami apa
Factor-faktor dan pemahaman saja tanda dan
penyebab dan factor terkait tanda dan gejala dari
yang berkontribusi gejala PPOK PPOK
dipertahankan 1 (tidak
ada pengetahuan)
ditingkatkan 3
(Pengetahuan sedang) 4. Agar klien
tanda dan gejala 4. Berikan edukasi dan mengetahui
komplikasi informasi mengenai factor-faktor
dipertahankan 1 (tidak factor-faktor yang apa saja yang
ada pengetahuan) dapat menyebabkan dapat
ditingkatkan 3 PPOK menyebabkan
(Pengetahuan sedang) PPOK
strategi mencegah
komplikasi 5. Berikan informasi 5. Agar klien
dipertahankan 1 (tidak dan pengetahuan mengetahui dan
ada pengetahuan) tentang tanda dan memahami
ditingkatkan 3 gejala komplikasi tanda dan gejala
(Pengetahuan sedang) PPOK komplikasi dari
masalah keamanan PPOK
terkait penggunaan
oksigen 6. Ajarkan klien 6. Untuk
dipertahankan 1 (tidak tentang strategi memberikan
ada pengetahuan) mencegah pengetahuan
ditingkatkan 3 komplikasi PPOK dan informasi
(Pengetahuan sedang) kepada klien
strategi untuk berhanti tentang strategi
merokok apa saja yang
dapat dilakukan
teknik pernafasan
untuk mencegah
yang efektif
komplikasi
PPOK
39
penggunaan oksigen yang dapat
terjadi apabila
sedang
menggunakan
oksigen
8. Agar klien
mengetahui dan
8. Ajarkan dan beri
memahami
pemahaman kepada
mengenai
klien mengenai
strategi untuk
strategi untuk
berhenti
berhenti merokok
merokok
9. Agar klien
mengetahui dan
9. Ajarkan teknik memahami
pernafasan yang bagaimana
efektif pada klien teknik
pernafasan yeng
efektif dan baik
bagi klien
40
2.9 Telaah Jurnal
Judul jurnal: Gambaran status gizi pasien penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
Hasil:
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu dari kelompok penyakit
tidak menular yang telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Hal ini
disebabkan oleh semakin banyaknya jumlah perokok khususnya pada kelompok usia
muda, dan pencemaran udara di dalam ruangan maupun di luar ruangan serta di tempat
kerja (Depkes, 2008).
Badan Kesehatan Dunia atau WHO menunjukkan bahwa pada tahun 1990 PPOK
menempati urutan ke–6 sebagai penyebab utama kematian di dunia, sedangkan pada
tahun 2002 telah menempati urutan ke–3 setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker.
Berdasarkan hasil SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional) tahun 2001, sebanyak
92,0% dari perokok menyatakan kebiasaannya merokok di dalam rumah ketika bersama
anggota rumah tangga lainnya, dengan demikian sebagian besar merupakan perokok
pasif. Jumlah perokok yang menderita PPOK atau kanker paru berkisar antara 20–25%.
Hubungan antara perokok dengan PPOK merupakan hubungan dose response, lebih
banyak batang rokok yang dihisap setiap hari dan lebih lama kebiasaan merokok
tersebut, maka risiko penyakit yang ditimbulkan akan lebih besar (SK Menkes, 2008).
Hubungan yang penting antara nutrisi dan fungsi paru yaitu melalui efek katabolisme
yaitu dengan melihat status gizi. Jika asupan kalori berkurang, maka tubuh akan
memecah protein yang terdapat dalam otot termasuk otot-otot pernapasan. Hilangnya
lean body mass pada setiap otot akan berdampak pada fungsi otot tersebut. Kaitan yang
erat lainnya antara nutrisi dan fungsi paru adalah bahwa malnutrisi menurunkan
resistensi terhadap infeksi. Infeksi paru sering kali merupakan penyebab kematian pada
pasien dengan PPOK (Rumende, 2006).
Status gizi seseorang dapat mempengaruhi kapasitas vital paru/fungsi paru. Orang kurus
panjang biasanya kapasitasnya lebih dari orang gemuk pendek. Masalah kekurangan dan
kelebihan gizi pada orang dewasa (usia 18 tahun ke atas) merupakan masalah penting,
41
karena selain mempunyai faktor risiko penyakit-penyakit tertentu, juga dapat
mempengaruhi produktivitas kerja. Oleh karena itu, pemantauan keadaan tersebut perlu
dilakukan secara berkesinambungan (Supariasa, 2001).
Muchtar (2008) menyatakan bahwa makanan merupakan bahan bakar bagi tubuh agar
mampu beraktivitas termasuk bernafas. Untuk itu, pola makan sehat sangat penting bagi
perawatan penderita PPOK. Nutrisi yang lengkap diperlukan untuk membantu tubuh
dalam memerangi infeksi agar tidak terjadi komplikasi. Pola makan bagi pasien PPOK
dengan cara porsi kecil tapi sering dapat mengurangi pembatasan gerakan diagfrahma
akibat lambung penuh sehingga makanan dapat masuk dengan baik (Aza, 2003).
Pada orang dengan PPOK, bernafas membutuhkan lebih banyak energi, otot-otot yang
digunakan untuk bernafas perlu kalori 10 kali lipatnya orang yang tanpa PPOK. Untuk
itu, pola makan sehat sangat penting bagi perawatan penderita PPOK. Nutrisi yang cukup
juga baik untuk membantu tubuh dalam memerangi infeksi. Akibat penyakitnya,
penderita PPOK rentan terhadap infeksi bakteri (Arihadi, 2009).
1. Pembahasan
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu dari kelompok penyakit
tidak menular yang telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Hal ini
disebabkan oleh meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya pajanan faktor
risiko, seperti faktor pejamu yang diduga berhubungan dengan kejadian PPOK. Semakin
banyaknya jumlah perokok khususnya pada kelompok usia muda, dan pencemaran udara
di dalam ruangan maupun di luar ruangan serta di tempat kerja (Depkes, 2008).
Berdasarkan data kunjungan pasien PPOK di BBKPM Surakarta dari tahun ke tahun
terjadi peningkatan sebesar 145,36 %, yaitu pada tahun 2008 penderita PPOK berjumlah
42
1023 orang dan tahun 2009 sebanyak 2510 orang. Pasien PPOK untuk bernafas
menggunakan energi tinggi, sehingga cenderung mengalami kekurangan kalori dan
protein menyebabkan status gizi menjadi jelek (Hunter, et.al. 1981). Disamping itu,
apabila kalau sedang mengalami infeksi sekunder biasanya nafsu makan pasien PPOK
juga tidak begitu tinggi akibatnya status gizi dapat menurun. Untuk itu perlu untuk
menganalisis kaitan antara status gizi dan pola makan dengan fungsi paru pada pasien
PPOK di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta.
Dari 14 sampel yang mempunyai status gizi normal, sebagian besar mempunyai fungsi
paru yang tidak normal (64,3%). Hal ini terjadi pula pada sampel yang status gizinya
tidak normal, dari 71 sampel sebagian besar mempunyai fungsi paru yang tidak normal
pula (87,3%). Hal ini menunjukkan ada kecenderungan bahwa baik sampel yang
mempunyai status gizi normal maupun tidak normal, fungsi parunya tidak normal juga.
Hal ini diperkuat dengan uji korelasi Rank Spearman dengan ρ-value = 0,030 dimana
terdapat ada yang signifikan antara status gizi dengan fungsi paru.
Status gizi seseorang dapat mempengaruhi kapasitas vital paru/fungsi paru. Orang kurus
panjang biasanya kapasitasnya lebih dari orang gemuk pendek. Malnutrisi sering terjadi
pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya kebutuhan energi akibat kerja muskulus
respirasi yang meningkat.
Malnutrisi dapat dievaluasi dengan penurunan berat badan, kadar albumin, antropometri,
pengukuran kekuatan otot, hasil metabolisme. Malnutrisi dapat diatasi dengan pemberian
makanan yang seimbang antara kalori yang masuk dengan kalori yang dibutuhkan, bila
perlu nutrisi dapat diberikan secara terus menerus dengan porsi kecil dan waktu
pemberian yang lebih sering.
Pengobatan PPOK harus lebih komprehensif yaitu dengan melihat status gizi pasien,
kapasitas olahraga dan gejala lain yang timbul sehingga dapat membantu pasien hidup
lebih lama dengan kualitas hidup lebih baik. Pasien PPOK untuk bernafas menggunakan
energi tinggi, sehingga cenderung mengalami kekurangan kalori dan protein
menyebabkan status gizi menjadi jelek (Hunter, et.al. 1981). Hal ini dapat dijelaskan
bahwa biasanya nafsu makan juga tidak begitu tinggi, apabila kalau sedang mengalami
infeksi sekunder.
43
Ada penderita yang akan tampak kebiru-biruan (blue bloatur) karena sianosis yang
dialaminya disertai dengan tanda-tanda gagal jantung kanan (edema perifer) biasanya
penderita ini dengan status gizi agak gemuk dan sesak napasnya tidak terlalu berat,
walaupun hiposemianya agak berat. Adapula yang tampak kemerahjambuan (pink
puffer) biasanya penderita dengan status gizi cenderung kurus tanpa gangguan jantung
kanan dan hiposemia yang dideritanya agak ringan, tetapi mengeluh sesak napas berat.
Namun, tidak semua penderita akan mengikuti kedua pola ini secara mutlak, kebanyakan
akan berada diantaranya (Frazer, et.al. 1994).
Dari 61 sampel yang mempunyai pola makan normal, sebagian besar mempunyai fungsi
paru yang tidak normal (80,3%). Hal ini terjadi pula pada sampel yang pola makannya
tidak normal, dari 24 sampel sebagian besar mempunyai fungsi paru yang tidak normal
pula (91,7%). Hal ini menunjukkan ada kecenderungan bahwa baik sampel yang
mempunyai pola makan normal maupun tidak normal, fungsi parunya tidak normal juga.
Hal ini diperkuat dengan uji korelasi Rank Spearman dengan ρ-value = 0,035 dimana ada
hubungan yang signifikan antara pola makan dengan fungsi paru.
Hasil penelitian ini relevan dengan pendapat Muchtar (2008) yang menyatakan bahwa
makanan merupakan bahan bakar bagi tubuh agar mampu beraktivitas termasuk
bernafas. Untuk itu, pola makan sehat sangat penting bagi perawatan penderita PPOK.
Nutrisi yang lengkap diperlukan untuk membantu tubuh dalam memerangi infeksi agar
tidak terjadi komplikasi. Pola makan bagi pasien PPOK dengan cara porsi kecil tapi
sering dapat mengurangi pembatasan gerakan diagfrahma akibat lambung penuh
sehingga makanan dapat masuk dengan baik (Aza, 2003).
Pada orang dengan PPOK, bernafas membutuhkan lebih banyak energi, otot-otot yang
digunakan untuk bernafas perlu kalori 10 kali lipatnya orang yang tanpa PPOK. Untuk
itu, pola makan sehat sangat penting bagi perawatan penderita PPOK. Nutrisi yang cukup
juga baik untuk membantu tubuh dalam memerangi infeksi. Akibat penyakitnya,
penderita PPOK rentan terhadap infeksi bakteri (Arihadi, 2009).
2. Rekomendasi
44
Dianjurkan untuk pasien PPOK diberikan makanan yang seimbang antara kalori yang
masuk dengan kalori yang dibutuhkan, bila perlu nutrisi dapat diberikan secara terus
menerus dengan porsi kecil dan waktu pemberian yang lebih sering. Pola makan bagi
pasien PPOK dengan cara porsi kecil tapi sering dapat mengurangi pembatasan gerakan
diagfrahma akibat lambung penuh sehingga makanan dapat masuk dengan baik.
Perawat sebagai tenaga kesehatan yang bertemu dengan pasien selama 24 jam sangat
berperan sebagai edukator. Edukasi yang diberikan adalah untuk memberikan
pengetahuan mengenai perjalanan penyakit dan pengobatan PPOK serta aktivitas yang
maksimal. Edukasi dan promosi kesehatan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) yang
paling utama adalah modifikasi gaya hidup. Modifikasi gaya hidup yang harus
ditekankan adalah mengenai merokok, bukan hanya edukasi mengenai bahaya dan
berhenti merokok, tapi juga mengenai peningkatan harapan hidup dan kualitas hidup
setelah berhenti merokok. Selain itu juga dijelaskan tentang jenis obat yang dikonsumsi,
cara penggunaan, waktu dan dosis pemakaian obat yang tepat. Namun jika pasien hanya
mengandalkan obat-obatan yang diperoleh dari rumah sakit dan apabila obatnya sudah
habis pasien mengatakan kebingungan mengenai tindakan apa yang mesti dilakukan
untuk mempertahankan kondisinya.
Selama ini edukasi yang diberikan di rumah sakit hanya sebatas imbauan untuk
menghindari faktor risiko seperti merokok, asap berbahaya dan debu. Edukasi mengenai
manajemen perawatan diri secara menyeluruh belum pernah diberikan. Intervensi
manajemen diri membantu pasien dengan PPOK memperoleh dan melatih keterampilan
yang mereka butuhkan untuk melaksanakan rejimen medis penyakit tertentu, memandu
perubahan perilaku kesehatan dan memberikan dukungan emosional untuk
memungkinkan pasien mengontrol penyakit mereka. Pemberian self management
education efektif untuk meningkatkan pemberdayaan pasien (patient empowerment)
yang terdiri atas pengetahuan, sikap, tindakan, kemampuan mengambil keputusan seperti
pasien diminta untuk segera datang ke fasilitas kesehatan apabila terjadi kekambuhan.
Pendidikan kesehatan ini dianjurkan diberikan mulai awal pasien terdiagnosis
berkelanjutan sepanjang hidup sampai akhir hayat. Pendidikan manajemen diri bertujuan
untuk meningkatkan pengetahuan, mengajarkan pasien mengenai ketrampilan-
ketrampilan serta menekankan pada pengelolaan penyakit melalui perubahan perilaku.
45
Pendidikan manajemen diri juga bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan terhadap
pengobatan serta meningkatkan perbaikan kondisi klinis yang dialami pasien (Stoilkova
et al. 2013). Beberapa edukasi untuk pasien PPOK diantaranya yaitu:
a. pengaturan posisi yang bertujuan untuk memperoleh rileksasi dari seluruh tubuh
terutama pada thorak juga mengontrol pernafasan diafragma pasien agar dapat mencapai
gerakan respirasi penuh, yaitu:
Pasien dianjurkan untuk melakukan aktifitas ringan dan tidak memaksa.
Pasien diminta untuk menghindari asap rokok dan polusi udara dengan menggunakan
masker.
Pasien diminta untuk banyak minum air putih.
b. Ajarkan aktivitas/latihan menggunakan teknik pernapasan bibir mengerucut dan
pernapasan diagframa selama aktifitas dengan latihan bernapas memastikan penggunaan
optimal dari fungsi respirasi yang ada. Pernapasan bibir mengerucut akan menciptakan
tekanan akhir eskpirasi yang positif di paru-paru yang membantu jalan napas tetap
terbuka.
Sarankan untuk menghindari makanan pembentuk gas seperti buncis dan kubis karena
makanan pembentuk gas dapat menyebabkan perut kembung, distensi, dan mengganggu
ventilasi.
46
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Penyakit Paru Obstruktif Kronik(PPOK) atau Chronic Obstruktif Pulmonary Disease
(COPD) merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru-
paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara
sebagai gambaran patofisiologi utamanya. Ketiga penyakit yang membentuk satu kesatuan
yang dikenal dengan COPD adalah asma bronkial, bronkitis kronis, dan emfisema paru-paru.
Sering juga penyakit ini disebut dengan Chronic Airflow Limitation (CAL) dan Chronic
Obstructive Lung Disease (COLD).
3.2 Saran
Sebagai perawat diharapkan mampu membuat asuhan keperawatan dengan baik
terhadap penderita penyakit saluran pernapasan terutama PPOK. Oleh karena itu, perawat
juga harus mampu berperan sebagai pendidik dalam hal ini melakukan penyuluhan ataupun
memberikan edukasi kepada pasien maupun keluarga pasien terutama mengenai tanda-tanda,
penanganan dan penceganhanya.
47
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddart. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah edisi 8 volume 2. Jakarta,
EGC.
Elsevier. 2014. Keperawatan Medikal Bedah: Managemen Klinis untuk Hasil yang Diharapkan,
Edisi 8 Buku 3. Singapore: Salemba Medika.
Oktaria Dwita, Maharani Sekar Ningrum.2017.Isi: Diakses pada tanggal 15 Oktober 2019, dari:
http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/majority/article/viewFile/1011/1733
Intani, S. (2018). Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik
Eksaserbasi Akut Di Instalasi Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi Tahun 2016-2017 (Doctoral
dissertation, Universitas Muhammadiyah Surakarta).
Putra TR, Suega K, Artana B. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Penyakit Dalam. Denpasar:
SMF Penyakit Dalam FK Unud; 2013.
PPOK, P. (2003). Pedoman praktis diagnosis & penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: PDPI, 1-
18.
Putri Fitriana. 2015. Influence of Smoking on chronic obstructive pulmonary disease (COPD).
Universitas Lampung.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) (2013). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian RI tahun 2013. Diakses dari
https://www.kemkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas%202013.pdf pada
15 November 2020.
48
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) (2018). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian RI tahun 2018. Diakses dari
https://kesmas.kemkes.go.id/assets/upload/dir_519d41d8cd98f00/files/Hasil-riskesdas-
2018_1274.pdf pada 15 November 2020.
Fajarina Nurin. 2020. Waspada Komplikasi Penyakit Paru Obstruktif Kronis. Diakses dari
https://hellosehat.com/pernapasan/ppok/komplikasi-ppok/#gref
Ariyani, D. Retno. dkk. (2013). “Hubungan Antara Status Gizi Dan Pola Makan Dengan Fungsi
Paru Pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (Ppok) Di Balai Besar Kesehatan Paru
Masyarakat Surakarta”. Prosiding Seminar Nasional, Food Habit and Degenerative Diseases,
hlm. 95-100.
Aza C.A.R. 2003. PPOK Bukan Cuma Terapi Obat. Farmacia (7): 15.
Departemen Kesehatan RI. 2008. Dirjen Pengendalian Penyakit Tidak Menular. Pedoman
Pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Kep. Men. Kes. RI No. 1022/Menkes/
SK/XI/2008.
Frazer, RG. Paru RS & JRP & PD. 1994. Synopsis of Diseases of Chest. WB Saunders Co. 2nd
Ed. P.653- 654.
Hunter AMB. Carey MA. Larsh HW. 1981. The Nutritional Status of Patients with Chronic
Obstructive Pulmonary Diseas. AM. Rev. Respir Dis. P. 124: 375.
Riskesdas. 2007. Hasil Laporan Riset Kesehatan Dasar Tahun 2007. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI.
Rumende, Martin C. 2006. Tatalaksana Nutrisi pada Pasien PPOK. Jakarta: FKUI. Supariasa, I
Dewa Nyoman. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC
49