Anda di halaman 1dari 49

KASUS I PPOK

(Penyakit Paru Obstruktif Kronik)

Makalah Disusun Untuk Memenuhi Tugas


Mata Kuliah Keperawatan Medikal Bedah I

Dosen Pengampu: Ns. Santi Herlina, S.Kep, M.Kep, Sp. Kep MB.

Disusun oleh:

1. Mar’atul isnainyah (1910711015)

2. Lola Shabila Rismayanti (1910711016)

3. Sarah Dewi Permata Sari (1910711017)

4. Nabila Tsamara Zahra (1910711046)

5. Kanyia Salsabilla (1910711051)

6. Clarissa Carera (1910711057)

7. Faranciska Sando Sinaga (1910171060)

8. Tasya Putri Herisyhalina (1910711070)

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN
2020
Kata Pengantar

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat
dan karunia-Nya yang telah diberikan kepada kami sehingga dapat menyelesaikan makalah
ini yang berjudul Kasus I PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik).

Dengan terselesaikannya makalah ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak.
Oleh karena itu, kami menyampaikan rasa terima kasih kepada Ibu Ns. Santi Herlina, S.Kep,
M.Kep, Sp. Kep MB. selaku dosen Keperawatan Medikal Bedah I yang telah membimbing
kami selama pembuatan makalah ini. Dan juga kepada teman-teman yang telah memberikan
masukan serta mendukung terselesaikannya makalah ini.

Terlepas dari itu semua kami menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini
terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya
kritik dan saran yang membangun. Kami berharap semoga makalah ini dapat dipahami bagi
siapapun yang membacannya.

Jakarta, 15 November 2020

Kelompok 1 PPOK

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ......................................................................................................2
DAFTAR ISI .....................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ........................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................................4
1.5 Tujuan .....................................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Prevelensi PPOK (Usia, Kelamin, Wilayah, Negara, dan Pekerjaan) ....................6
2.2 Pengertian dan Klasifikasi ......................................................................................8
2.3 Etiologi dan Faktor Risiko.......................................................................................11
2.4 Patofisiologis...........................................................................................................14
2.4 Tanda dan Gejala.....................................................................................................18
2.5 Komplikasi...............................................................................................................19
2.6 Pemeriksaan Penunjang...........................................................................................21
2.7 Penatalaksanaan Medis............................................................................................24
2.8 Asuhan Keperawatan PPOK....................................................................................29
2.9 Telaah Jurnal............................................................................................................41
2.10 Materi Edukasi PPOK............................................................................................45
BAB III PENUTUP
3.1 Simpulan .................................................................................................................47
3.2 Saran .......................................................................................................................47
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................48

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang
ditandai dengan keterbatasan aliran udara didalam saluran napas yang tidak sepenuhnya
reversible dan bersifat progresif (Depkes RI, 2004). Indikator diagnosis PPOK adalah
penderita diatas usia 40 tahun, dengan sesak napas yang progresif, memburuk dengan
aktivitas, persisten, batuk kronik, produksi sputum kronik. Biasanya terdapat riwayat
pejanan rokok, asap atau gas berbahaya didalam lingkungan kerja atau rumah.

Data Badan Kesehatan Dunia (WHO), menunjukkan pada tahun 2002 PPOK
telah menempati urutan kelima penyebab utama kematian setelah penyakit
kardiovaskuler (WHO, 2002). Diperkirakan pada tahun 2030 akan menjadi penyebab
kematian ketigadi seluruh dunia. Menurut American Lung Association (ALA), PPOK
merupakan penyebab utama keempat kematian di Amerika Serikat. Hasil survei penyakit
tidak menular oleh Direktur Jendral PPM & PL di 5 Rumah Sakit di Indonesia (Jawa
Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung dan Sumatera Selata) pada tahun 2004,
PPOK menempati urutan pertama penyumbang angka kesakitan (35%) (Depkes RI,
2004).

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dengan Prevelensi PPOK (Usia, Kelamin, Wilayah, Negara, dan
Pekerjaan)?
2. Apa Pengertian dan Klasifikasi dari PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik)?
3. Apa saja Etiologi dan Faktor Risik dari PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik)?
4. Apa saja Tanda dan Gejala dari PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik)?
5. Komplikasi apa saja yang dapat terjadi dari PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik)?
6. Pemeriksaan Penunjang apa saja yang digunakan untuk pasien PPOK (Penyakit Paru
Obstruktif Kronik)?
7. Apa saja Penatalaksanaan Medis yang digunakan untuk pasien PPOK (Penyakit Paru
Obstruktif Kronik)?
8. Bagaimana Asuhan Keperawatan PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik)?
9. Telaah Jurnal PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik)?

4
10. Apa saja Materi Edukasi yang dapat diberikan untuk pasien PPOK (Penyakit Paru
Obstruktif Kronik)?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui Prevelensi PPOK (Usia, Kelamin, Wilayah, Negara, dan


Pekerjaan).
2. Untuk mengetahui dan memahami Pengertian dan Klasifikasi dari PPOK (Penyakit
Paru Obstruktif Kronik).
3. Untuk mempelajari dan memahami Etiologi dan Faktor Risik dari PPOK (Penyakit
Paru Obstruktif Kronik).
4. Untuk mengetahui Tanda dan Gejala dari PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik).
5. Untuk mengetahui dan memahami Komplikasi apa saja yang dapat terjadi pada pasien
PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik).
6. Untuk mengetahui jenis-jenis Pemeriksaan Penunjang apa saja yang digunakan untuk
pasien PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik).
7. Untuk mempelajari dan memahami Penatalaksanaan Medis yang digunakan untuk
pasien PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik).
8. Untuk menegtahui, mempelajari dan memahami Asuhan Keperawatan apa saja yang
tepat bagi pasien PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik).
9. Untuk menambah pengetahuna dan memberikan referensi mengenai Telaah Jurnal
PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik).
10. Untuk mangetahui dan memahami Materi Edukasi apa saja yang baik untuk pasien
PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik).

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Prevelensi PPOK (Usia, Kelamin, Wilayah, Negara, dan Pekerjaan)


Pada studi populasi selama 40 tahun, didapati bahwa hipersekresi mukus
merupakan suatu gejala yang paling sering terjadi pada PPOK, penelitian ini
menunjukkan bahwa batuk kronis, sebagai mekanisme pertahanan akan hipersekresi
mukus di dapati sebanyak 15-53% pada pria paruh umur, dengan prevalensi yang lebih
rendah pada wanita sebanyak 8-22%. Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan
bahwa menjelang tahun 2020 prevalensi PPOK akan meningkat sehingga sebagai
penyebab penyakit tersering peringkatnya meningkat dari ke-12 menjadi ke-5 dan
sebagai penyebab kematian tersering peringkatnya juga meningkat dari ke-6 menjadi ke-
3. Pada 12 negara Asia Pasifik, WHO menyatakan angka prevalensi PPOK sedang-berat
pada usia 30 tahun keatas, dengan rata-rata sebesar 6,3%, dimana Hongkong dan
Singapura dengan angka prevalensi terkecil yaitu 3,5% dan Vietnam sebesar 6,7%.
Indonesia sendiri belumlah memiliki data pasti mengenai PPOK ini sendiri, hanya Survei
Kesehatan Rumah Tangga DepKes RI 1992 menyebutkan bahwa PPOK bersama-sama
dengan asma bronkhial menduduki peringkat ke-6 dari penyebab kematian terbanyak di
Indonesia.

Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) Indonesia 2013 menyatakan prevalensi


PPOK di Indonesia adalah 3,7% atau sekitar 9,2 juta penduduk. Prevalensi laki-laki
lebih tinggi dibanding perempuan, yaitu 4,2%. Prevalensi kelompok usia 75 tahun+
menjadi yang paling tinggi, yaitu 9,4%. Prevalensi latar belakang pekerjaan sebagai
petani, pendidikan tidak sekolah, tempat tinggal pedesaan, kuintil indeks kepemilikan
terbawah menjadi yang paling tinggi, yaitu 4,7%, 7,9%, 4,5%, dan 7,0%.

6
7
Angka penderita PPOK memang tidak begitu tinggi, namun berpotensi
menjadi meningkat setiap tahunnya, mengingat prevalensi kebiasaan merokok yang
dimiliki oleh penduduk Indonesia masih terbilang tinggi, yaitu 28,8% pada penduduk
dengan usia ≥10 tahun (Riskesdas 2018), dan mengalami peningkatan pada penduduk
usia 10-18 tahun dari 8,8% (Sinkernas 2016) menjadi 9,1% (Riskesdas 2018).

2.2 Pengertian dan Klasifikasi


Penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) atau Cronic Obstructive Pulmonary
Disease (COPD) merupakan suatu penyakit yang ditujukan untuk mengelompokkan
penyakit-penyakit paru yang mempunyai gejala berupa terhambatnya aliran udara

8
pernapasan yang dapat terjadi pada saluran pernapasan maupun pada parenkim paru
(Darmanto, 2009).

PPOK merupakan penyakit saluran pernapasan yang ditandai dengan adanya


penyumbatan saluran napas yang menimbulkan gejala serupa satu dengan yang lainnya
dan biasanya tidak bersifat reversibel dan dalam waktu yang lama akan terjadi gejala
akut yang memburuk yang sering disebut dengan eksaserbasi (Kosasih, 2008)

Penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) merupakan suatu keadaan penyakit yang
ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang tidak bersifat reversible sepenuhnya.
Keterbatasan aliran udara biasanya progresif dan berkaitan dengan respons inflamasi
abnormal pada paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya (Patricia, 2011).

PPOK merupakan suatu penyakit kronis yang dikarenakan adanya


penyumbatan pada saluran pernapasan sehingga menyebabkan terhambatnya aliran udara
yang disebabkan karena paparan yanglama terhadap polusi maupun asap rokok. Penyakit
ini merupakan istilah lain untuk penyakit paru yang berlangsung lama (Grace, 2011).

GOLD (the Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease) 2018,
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit umum, dapat dicegah dan
diobati yang ditandai dengan gejala pernapasan persisten dan keterbatasan aliran udara
yang disebabkan karena kelainan saluran napas dan/atau alveolus. PPOK biasanya
disebabkan oleh paparan signifikan terhadap partikel atau gas berbahaya. Hambatan jalan
napas pada PPOK disebabkan oleh obstruksi saluran napas kecil (obstruksi bronkiolitis)
dan kerusakan parenkim paru (emfisema).

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa penyakit paru obstruksi kronik
(PPOK) merupakan penyakit paru yang disebabkan karena adanya obstruksi atau
penyumbatan aliran udara pada saluran pernapasan yang ditandai dengan adanya gejala
sesak napas dan dalam waktu yang lama akan semakin memburuk yang disebut dengan
eksaserbasi.

Berdasarkan kesepakatan para pakar (PDPI/ Perkumpulan Dokter Paru Indonesia) tahun
2005 maka PPOK dikelompokkan ke dalam:

a. PPOK ringan adalah pasien dengan atau tanpa batuk. Dengan atau tanpa produksi
sputum dan dengan sesak napas derajad nol sampai satu. Sedangkan pemeriksaan
Spirometrinya menunjukkan VEP ≥ 80% prediksi (normal) dan VEP/KVP < 70 %

9
b. PPOK sedang adalah pasien dengan gejala klinis dengan atau batuk. Dengan atau
produksi sputum dan sesak napas dengan derajad dua. Sedangkan pemeriksaan
Spirometrinya menunjukkan VEP ≥ 70% dan VEP/KVP < 80% prediksi
c. PPOK berat adalah pasien dengan gejala klinis sesak napas derajat tiga atau empat
dengan gagal napas kroniki. Eksaserbasi lebih sering terjadi. Disertai komplikasi
kor pulmonum atau gagal jantung kanan. Adapun hasil spirometri menunjukkan
VEP/KVP < 70 %, VEP< 30 % prediksi atau VEP> 30% dengan gagal napas kronik.
Hal ini ditunjukkan dengan hasil pemeriksaan analisa gas darah dengan kriteria
hipoksemia dengan normokapnia atau hipoksemia dengan hiperkapnia.

Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) 2011,
PPOK diklasifikasikan berdasarkan derajat berikut:

a. Derajat 0 (berisiko)
Gejala klinis: Memiliki satu atau lebih gejala batuk kronis, produksi sputum, dan
dispnea. Ada paparan terhadap faktor resiko. Spirometri: Normal.
b. Derajat I (PPOK ringan)
Gejala klinis: Dengan atau tanpa batuk. Dengan atau tanpa produksi sputum.
Spirometri: FEV/FVC < 70%, FEV ≥ 80%.
c. Derajat II (PPOK sedang)
Gejala klinis: Dengan atau tanpa batuk. Dengan atau tanpa produksi sputum. Sesak
napas derajat sesak 2 (sesak timbul pada saat aktivitas). Spirometri: FEV/FVC <
70%; 50% < FEV < 80%.
d. Derajat III (PPOK berat)
Gejala klinis: Sesak napas ketika berjalan dan berpakaian. Eksaserbasi lebih sering
terjadi Spirometri: FEV/FVC < 70%; 30% < FEV < 50%.
e. Derajat IV (PPOK sangat berat)
Gejala klinis: Pasien derajat III dengan gagal napas kronik. Disertai komplikasi
korpulmonale atau gagal jantung kanan. Spirometri: FEV/FVC < 70%; FEV < 30%
atau < 50%.

Menurut Jackson (2014), klasifikasi penyakit paru obstruktif kronik yaitu:

a. Asma
Asma adalah openyakit inflamasi (radang) kronik saluran nafas yang menyebabkan
peningkatan hiperesponsif jalan nafas yang menimbulkan gejala episodik berulang

10
berupa mengi, sesak nafas, dada terasa berat, dan batuk-batuk terutama pada malam
hari menjelang dini hari. Gejala tersebut terjadi berhubungan dengan obstruksi jalan
nafas yang luas, bervariasi, dan sering kali bersifat reversible denagan atau tanpa
pengobatan.
b. Bronkitis kronik
Bronkitis kronik didefinisikan sebagai adanya batuk produktif yang berlangsung 3
bulan dalam setahun dalam 2 tahun berturut-turut. Kondisi ini berkaitan dengan
perokok sigaret atau pemajan terhadap polutan. Pasien mengalami peningkatan
kerentanan terhadap terjadinya infeksi saluran pernafasan bawah.
c. Emfisema
Emfisema adalah keadaan paru yang abnormal, yaitu adanya pelebaran rongga udara
pada asinus yang sifatnya permanen. Pelebaran ini terjadi karena adanya kerusakan
dinding asinus. Asinus adalah bagian paru yang terletak di bronkiolus terminalis
distal.

2.3 Etiologi dan Faktor Risiko


PPOK mempunyai progresivitas yang lambat, diselingi dengan fase eksaserbasi akut
yang timbul secara periodik. Pada fase eksaserbasi akut terjadi perburukan yang mendadak
dari perjalanan penyakitnya yang disebabkan oleh suatu faktor pencetus dan ditandai dengan
suatu manifestasi klinis yang memberat. Secara umum resiko

terjadinya PPOK terkait dengan jumlah partikel gas yang dihirup oleh seorang
individu selama hidupnya serta berbagai faktor dalam individu itu sendiri, yaitu:

1. Asap Rokok

Dari berbagai partikel gas yang noxius atau berbahaya, asap rokok merupakan salah
satu penyebab utama, kebiasaan merokok merupakan faktor resiko utama dalam terjadinya
PPOK. Asap rokok yang dihirup serta merokok saat kehamilan juga berpengaruh pada
kejadian PPOK karena mempengaruhi tumbuh kembang paru janin dalam uterus. Sejak lama
telah disimpulkanbahwa asap rokok merupakan faktor risiko utama dari bronkitis kronis dan
emfisema. Serangkaian penelitian telah menunjukkan terjadinya percepatan penurunan
volume udara yang dihembuskan dalam detik pertama dari manuver ekspirasi paksa (FEV1)
dalam hubungan reaksi dan dosis terhadap intensitas merokok, yang ditunjukkan secara
spesifik dalam bungkus-tahun (rata-rata jumlah bungkus rokok yang dihisap per hari
dikalikan dengan jumlah total tahun merokok). Walaupun hubungan sebab akibat antara

11
merokok dan perkembangan PPOK telah benar-benar terbukti, namun reaksi dari merokok ini
masih sangat bervariasi. Merokok merupakan prediktor signifikan yang paling besar pada
FEV1, hanya 15% dari variasi FEV1 yangdapat dijelaskan dalam hubungan bungkus-tahun.
Temuan ini mendukung bahwa terdapat faktor tambahan dan atau faktor genetik sebagai
kontributor terhadap dampak merokok pada perkembangan obstruksi jalan nafas.

2. Paparan Pekerjaan

Meningkatnya gejala-gejala respirasi dan obstruksi aliran udara dapat diakibatkan


oleh paparan debu di tempat kerja. Beberapa paparan pekerjaan yang khas termasuk
penambangan batu bara, panambangan emas, dan debu kapas tekstil telah diketahui sebagai
faktor risiko obstruksi aliran udara kronis.

3. Polusi Udara

Beberapa peneliti melaporkan meningkatnya gejala respirasi pada orang-orang yang


tinggal di daerah padat perkotaan dibandingkan dengan mereka yang tinggal di daerah
pedesaan, yang berhubungan dengan meningkatnya polusi di daerah padat perkotaan. Pada
wanita bukan perokok di banyak negara berkembang, adanya polusi udara di dalam ruangan
yang biasanya dihubungkan dengan memasak, telah dikatakan sebagai kontributor yang
potensial.

4. Infeksi Berulang Saluran Respirasi

Infeksi saluran respirasi telah diteliti sebagai faktor risiko potensial dalam
perkembangan dan progresivitas PPOK pada orang dewasa, terutama infeksi saluran nafas
bawah berulang. Infeksi saluran respirasi pada masa anak-anak juga telah dinyatakan sebagai
faktor predisposisi potensial pada perkembangan akhir PPOK.

5. Kepekaan Jalan Nafas dan PPOK

Kecenderungan meningkatnya bronkontriksi sebagai reaksi terhadap berbagai


stimulus eksogen, termasuk methakolin dan histamin, adalah salah satu ciriciri dari asma.
Bagaimanapun juga, banyak pasien PPOK juga memiliki ciriciri jalan nafas yang
hiperesponsif. Pertimbangan akan tumpang tindihnya seseorang dengan asma dan PPOK
dalam kepekaan jalan nafas, obstruksi aliran udara, dan gejala pulmonal mengarahkan kepada
perumusan hipotesis Dutch yang menegaskan bahwa asma, bronkitis kronis, dan emfisema

12
merupakan variasi dari dasar penyakit yang sama, yang dimodulasi oleh faktor lingkungan
dan genetik untuk menghasilkan gambaran patologis yang nyata.

6. Defisiensi α1 Antitrypsin (α1AT)

Defisiensi α1AT yang berat merupakan faktor risiko genetik terjadinya PPOK.
Walaupun hanya 1-2% dari pasien-pasien PPOK yang mewarisi defisiensi α1AT, pasien-
pasien ini menunjukkan bahwa faktor genetik memiliki pengaruh terhadap kecenderungan
untuk berkembangnya PPOK. α1AT adalah suatu anti-protease yang diperkirakan sangat
penting untuk perlindungan terhadap protease yang terbentuk secara alami oleh bakteri,
leukosit PMN, dan monosit

Tingkatan keparahan penyakit PPOK:

Tingkat Nilai FEV1 dan gejala


0 Memiliki satu atau lebih gejala batuk kronis, produksi sputum dan dispnea.

Beresiko Ada paparan terhadap faktor resiko (rokok, polusi),spirometri normal.


I FEV1/FVC < 70%, FEV1≥ 80%, dan umumnya, tapi tidak selalu ada gejala
batuk kronis dan produksi sputum. Pada tahap ini, pasien biasanya bahkan
Ringan
belum berasa paru-parunya bermasalah.
II FEV1/FVC < 70%, 50% < FEV1 < 80%, gejalamya biasanya mulai
progresif/memburuk, dengan nafas pendek-pendek.
Sedang
III FEV1/FVC < 70%, 30% < FEV1 < 50%. Terjadi eksaserbasi berulang yang
mulai mempengaruhi kualitas hidup pasien. Pada tahap ini pasien mulai
Berat
mencari pengobatan karena mulai dirasakan sesak nafas atau serangan
penyakit.
IV FEV1/FVC < 70%, FVE1 < 30% atau < 50% plus kegagalan respirasi kronis.
Pasien bisa digolongkan masuk tahap IV jika walaupun FEV1 > 30%, tapi
Sangat berat pasien mengalami kegagalan pernafaasan atau gagal jantung kanan/cor
pulmonary. Pada tahap ini, kualitas hidup sangat terganggu dan serangan
mungkin mengancam jiwa.

Faktor penyebab dan faktor resiko menurut Neil F Gordan (2002) yaitu:

1. Usia semakin bertambah faktor resiko semakin tinggi


2. Merokok

13
3. Jenis kelamin pria lebih beresiko diibanding wanita
4. Berkurangnya fungsi paru paru
5. Keterbukaan terhadap polusi seperti asap rokok dan debu
6. Polusi udara
7. Infeksi saluran pernafasan akut seperti pnemonia dan bronkitus
8. Kurangnya alfa anti tripsin ini merupakan kekurangan suatu enzim yang
normalnya meliindungi paru-paru dari kerusakan peradangan.

2.4 Patofisiologis PPOK


Patofisiologi
Prinsip terjadinya penyakit paru obstruksi kronik yaitu adanya keterbatasan jalan
napas yang tidak sepernuhnya reversible. Secara progresif terjadinya penyempitan jalan
napas dan kehilangan daya elastisitas paru yang berakibat pada terjadinya penurunan
FEV (Forced Expiratory Volume, ketidakadekuatan dalam pengosongan paru dan
hiperinflasi (Decramer, 2012).

Adanya proses penuaan yang menyebabkan terjadinya penurunan fungsi paru-paru.


Keadaan ini menyebabkan terjadinya penurunan elastisitas jaringan paru dan dinding
dada yang mengakibatkan terjadinya penurunan kekuatan kontraksi otot pernapasan dan
menyebabkan kesulitan dalam bernapas. Selain itu faktor kebiasaan buruk merokok juga
dapat menyababkan cedera pada sel epitel jalan napas yang menyebabkan terjadinya
reaksi inflamasi, dimana pada kandungan asap rokok dapat merangsang terjadinya
peradangan kronik pada paru-paru. Mediator peradangan dapat merusak struktur
penunjang dari paru-paru. Akibat hilangnya elastisitas saluran pernapasan dan kolapsnya
alveolus, maka ventilasi paru berkuramg. Saluran udara yang mengalami kolaps terjadi
terutama pada saat ekspirasi dimana ekspirasi normal terjadi akibat pengempisan (recoil)
paru secara pasif setelah inspirasi. Apabila tidak terjadi pengempisan pasif, maka udara
akan terperangkap didalam paru-paru dan saluran udara kolaps (Greace, 2011).

Fungsi paru menentukan jumlah kebutuhan oksigen yang masuk ke tubuh seseorang,
yaitu jumlah oksigen yang diikat oleh darah dalam paru-paru untuk digunakan oleh
tubuh. Kebutuhan oksigen sangat erat hubungannya dengan aliran darah ke paru-paru.
Berkurangnya fungsi paru-paru juga disebabkan oleh berkurangnya fungsi sistem
respirasi seperti fungsi ventilasi paru. Faktor resiko merokok dan polusi udara

14
menyebabkan proses inflamasi bronkus dan juga dapat menimbulkan kerusakan pada
dinding bronkiolus terminalis.

Terjadinya kerusakan pada dinding bronkiolus terminalis dapat menyebabkan obstruksi


pada bronkiolus terminalis yang akan mengalami obstruksi pada fase awal ekspirasi.
Udara yang masuk ke alveoli pada saat inspirasi akan terjebak kedalam alveolus pada
saat terjadi ekspirasi sehingga akan menyebabkan terjadinya penumpukan udara (air
trapping). Kondisi seperti ini yang dapat menyebabkan terjadinya keluhan sesak napas.

Seiring perkembangan PPOK, perubahaan patofisologis berikut biasanya terjadi


secara berurutan : hipersekresi mukus, disfungsi silia, keterbatasan aliran udara,
hiperinflamasi pulmonal, abnormalitas pertukaran gas, hipertensi pulmonal, kor
pulmonal. Jalan napas perifer menjai tempat utama obstruksi pada paien PPOK.
Perubahan struktural dinding jalan napas adalah penyebab terpenting peningkatan tahanan
jalan napas perifer. Perubahan inlamasi seperti edema jalan napas dan hipersekresi mukus
juga menyebabkan penyempitan jalan napas perifer. Hipersekresi mukus disebabkan oleh
stimulus pembesaran kelenjar yang menyekresi mukus dan peningkatan jumlah sel goblet
oleh mediator inflamasi seperti leukotrien, proteinase , dan neuropeptida. Sel epitel yang
bersilia mengalami metaplasia skuamosa, yang menyebabkan gangguan pembersihan
mukosilia yang biasanya merupakan abnormalitas fisiologis yang pertama kali terjadi
pada PPOK. Abnormalitas ini dapat terjadi selama beberapa tahun sebelum abnormalitas
lain terjadi. Keterbatasan aliran udara ekspirasi adalah temuan penting pada PPOK.
Ketika proses penyakit berkembang, volume ekspirasi kuat dalam satu detik (forced
expiratory volume in 1 second, FEV1) dan kapasitas vital kuat (forced vital capacity,
FVC) menurun ; hal ini berhubungan dengan peningkatan ketebalan dinding jalan naapas,
penurunan rekoil elastis paru . sering kali , tanda pertama terjadinya keterbatasan aliran
udara adalah penurunan rasio FEV1 dan FVC. Menurut Global Initiative for Chronic
Obstructive Lung Diesease (GOLD) 2001, adanya FEV1 pascabronkodilator kurang dari
80% dari nilai prediksi yang dikombinasi dengan rasio FEV 1 / FVC kurang dari 70%
menegaskan adanya keterbatasan aliran udara yang tidak reversibel sepenuhnya . pada
PPOK berat, udara terperangkap di paru selama ekspirasi kuat, yang menyebabkan
kapasitas individual fungsional (Functional residual capacity , FRC) tinggi secara
abnormal. Peningkatan FRC menyebabkan hiperinflasi pulmonal.
Pada PPOK lebih lanjut, obstruksi jalan napas perifer, destruksi parenkim, dan
iregularitas vaskular pulmonal mengurangi kapasitas paru untuk pertukaran gas sehingga

15
menyebabkan hipoksemia dan hiperkapnia. Ketidakseimbangan asio ventilasi-perfusi
adalah kekuatan pendorong dibelakang hipoksemia pada pasien PPOK, tanpa
memerhatikan stadium penyakit. Hiperkapnia kronis biasanya mengindikasikan disfungsi
otot inspirasi dan hipoentilasi alveolar. Ketika hipoksemia dan hiperkapnia berkembang
lambat pada PPOK, hipertensi pulmonal sering terjadi, yang menyebabkan hipertrofi
ventrikel kanan , lebih dikenal sebagai korpulmonal . gagal jantung kanan menyebabkan
stasis vena lebih lanjut dan trombosis yang dapat berpotensi menyebabkan embolisme
paru dan lebih lanjut menggangu sirkulasi paru. Terakhir, PPOK berkaitan dengan
inflamasi sistemik dan disfungsi oto rangka yang dapat menyebabkan keterbatasan
kapasitas aktivitas fisik dan penurunan status kesehatan (Patricia Gonce Morton et al.,
2012).

16
17
2.4 Tanda dan Gejala
1. Batuk berdahak yang tak kunjung sembuh
2. Sesak napas dan tersengal-sengal
3. Mengi
4. Lemas
5. Penurunan berat badan
6. Demam
7. Sering berkeringat
8. Letarghi
9. Bibir dan kuku berwarna kebiruan

Proses Terjadinya Tanda dan gejala penyakit PPOK


Dari tenggorokan, saluran pernapasan terbagi menjadi 2 cabang yang menuju paru-
paru kiri dan kanan. Di dalam paru-paru, saluran pernapasan terbagi lagi menjadi banyak
cabang yang berujung pada kantong kecil (alveoli) tempat pertukaran oksigen dan
karbon dioksida. Paru-paru mengandalkan kelenturan alami dari saluran udara dan
alveoli untuk mendorong udara berisi karbon dioksida keluar dari tubuh. Saat mengalami
penyakit paru obstruktif kronis, baik alveoli dan seluruh cabang saluran napas menjadi
tidak lentur lagi, karena ada reaksi inflamasi dinding bronkus yang membuat dinding
bronkus dalam menebal yang terjadi karena ada nya infeksi saluran napas, sehingga sulit
mendorong udara. Selain itu, saluran pernapasan juga menjadi bengkak (edema) dan
menyempit akibat adanya ekskresi mukus (dahak) yang di produksi menumpuk pada
bronkus serta menyebabkan penyumbatan jalan nafas. Karena saluran napas yang
bengkak otot otot yang melapisi saluran udara (bronkus) di paru paru (bronkospasme)
menurun, akhir nya jalan napas membengkak dan sempit sehingga menekan sekret untuk
keluar (batuk lendir). Saat penderita membuang napas melalui saluran udara yang sempit
dan tersumbat penderita akan sering mendengar seperti suara siulan yang disebut
(mengi). Akibatnyaa, karbon dioksida tidak dapat dikeluarkan dengan baik dan pasokan
oksigen juga menjadi berkurang. Otot dan darah tidak mendapatkan cukup oksigen
menyebabkan fungsi tubuh akan melambat sehingga membuat seseorang terasa lelah.
Rendahnya kadar oksigen dalam darah membuat bibir dan kuku berwara kebiruan.

18
2.5 Komplikasi
a. Hipoksia
Terbatasnya aliran udara yang masuk ke dalam tubuh akan membuat paru-paru
mengalami kesulitan dalam mengambil oksigen dan melepaskan karbondioksida.
Akibatnya, oksigen yang masuk ke dalam tubuh menjadi lebih sedikit. Hipoksia
adalah kondisi kurangnya oksigen bagi sel dan jaringan tubuh. Kondisi ini dapat
menyebabkan sejumlah komplikasi serius lainnya yang terkadang bisa mengancam
nyawa.

b. Infeksi pernapasan
Orang dengan PPOK cenderung lebih mudah terserang pilek, flu, dan pneumonia.
Infeksi pernapasan apa pun cenderung menyebabkan sesak napas dan kerusakan pada
jaringan paru-paru yang lebih parah. PPOK merupakan faktor risiko penting yang
dapat memperburuk keadaan orang dengan infeksi influenza.
Infeksi influenza diketahui merupakan salah satu penyebab umum pneumonia.
Oleh karena itu, ketika pertahanan tubuh di sistem pernapasan melemah akibat PPOK,
Infeksi influenza yang mungkin menyerang cenderung lebih mudah mengakibatkan
pneumonia.
PPOK dan pneumonia saling berhubungan karena kondisi PPOK menyebabkan
melemahnya pertahanan sistem pernapasan. Akibatnya, pasien lebih berisiko kena
pneumonia. Orang dengan PPOK yang kena pneumonia juga memiliki risiko lebih
tinggi untuk meninggal dunia akibat lebih lemahnya sistem imun tubuh.
Pasien PPOK lebih rentan mengalami pneumonia karena kondisi medis yang
mereka miliki. Menurut jurnal Tuberculosis and Respiratory Disease, kondisi-kondisi
itu meliputi produksi lendir dan peningkatan jumlah bakteri selama eksaserbasi
(ketika gejala PPOK dirasa semakin parah).

c. Gagal jantung
Salah satu komplikasi yang paling fatal dari PPOK adalah gagal jantung. Hal ini
terjadi karena fungsi paru-paru sangat berkaitan dengan fungsi jantung. Ketika paru-
paru bermasalah, jantung juga akan terpengaruh seiring berjalannya waktu. Dikutip
dari American Thoracic Society, gagal jantung terjadi pada 5-10% orang dengan

19
PPOK parah. Selain itu, PPOK juga dapat meningkatkan penyakit jantung lainnya,
seperti serangan jantung.

d. Kanker paru-paru
Orang dengan PPOK memiliki risiko lebih tinggi untuk terkena kanker paru-paru.
Mereka juga cenderung mendapatkan hasil buruk setelah didiagnosis dan melalui
pengobatan kanker. PPOK dan kanker paru sama-sama disebabkan oleh merokok dan
telah banyak bukti yang menyebutkan bahwa kedua penyakit tersebut saling
berhubungan.
Kanker paru-paru biasanya merupakan kondisi yang berakibat fatal. Itu sebabnya,
penting untuk melakukan pencegahan komplikasi PPOK agar penyakit tak meluas dan
semakin merusak paru-paru. Salah satu cara utama untuk melakukan pencegahan
PPOK adalah berhenti merokok.

e. Osteoporosis
Banyak orang dengan PPOK mengalami kekurangan asupan oksigen. Hal ini
kemudian dapat menyebabkan gangguan pada asupan oksigen dan nutrisi pada sel-sel
tulang. Hal ini kemudian menyebabkan menurunnya kepadatan mineral tulang.
Studi yang disebutkan dalam International Journal of Chronic Obstructive
Pulmonary Disease menyatakan bahwa penurunan kepadatan mineral tulang dan
penurunan kualitas tulang dapat menyebabkan kerapuhan tulang, serta mengakibatkan
patah tulang pada pasien PPOK. 
Risiko komplikasi osteoporosis dapat terjadi pada pasien PPOK yang berusia lebih
tua, terlalu kurus, kurang aktivitas fisik, dan kurang vitamin D. Dokter perlu
memeriksa risiko osteoporosis pada pasien PPOK untuk mencegah risiko patah
tulang. 

f. Demensia
Orang dengan PPOK diketahui punya risiko lebih tinggi dalam hal penurunan
kognitif. Mereka juga memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk mengalami
kerusakan saraf. PPOK merupakan salah satu faktor risiko terjadinya demensia.
Penurunan kognitif pada mereka yang menderita demensia, terutama pada orang
lanjut usia, membuat penanganan gejala PPOK semakin sulit.

20
g. Depresi
Secara khusus, gangguan suasana hati, seperti depresi berat, distrofia (gejala
depresi kronis dengan tingkah keparahan ringan), depresi ringan, dan gangguan
kecemasan (gangguan kecemasan umum, fobia, dan gangguan panik) adalah
komplikasi yang sering terjadi pada pasien dengan PPOK.
Merokok meningkatkan risiko dan keparahan PPOK, sehingga menyebabkan
aktivitas sehari-hari menjadi berat dan membuat stres. Hal ini kemudian dapat
meningkatkan risiko depresi atau kecemasan pada orang dengan PPOK. Gangguan
kecemasan dan depresi pada orang dengan PPOK yang tidak diobati dapat membuat
kondisi semakin parah.

2.6 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada diagnosis PPOK antara lain

a) Radiologi (foto toraks)


b) Spirometri
c) Laboratorium darah rutin
d) Analisa Gas Darah
e) Mikrobiologi sputum (diperlukan untuk pemilihan antibiotik bila terjadi eksaserbasi)

1. Pemeriksaan Fungsi Paru


Pemeriksaan fungsi paru sangat penting dalam menegakkan diagnosis, menentukan
tingkat keparahan PPOK dan untuk mengkaji ulang kondisi pasien PPOK.
Pemeriksaan ini penting untuk memperlihatkan secara obyektif adanya obstruksi
saluran nafas dalam berbagai tingkat.

Spirometri digunakan untuk mengukur volume maksimal udara yang dikeluarkan


setelah inspirasi maksimal, atau disebut Forced vital capacity (FVC). Spirometri juga
mengukur volume udara yang dikeluarkan pada satu detik pertama pada saat
melakukan manuver tersebut, atau disebut dengan Forced Expiratory Volume in 1
second (FEV1). Rasio dari kedua pengukuran inilah (FEV1/FVC) yang sering
digunakan untuk menilai fungsi paru. Penderita PPOK secara khas akan menunjukkan

21
penurunan dari FEV1 dan FVC serta nilai FEV1/FVC < 70%. Pemeriksaan post-
bronchodilator dilakukan dengan memberikan bonkodilator inhalasi sebanyak 8
hisapan, dan 15-20 menit kemudian dilihat perubahan nilai FEV1. Bila perubahan
nilai FEV1 <20%, maka ini menunjukkan pembatasan aliran udara yang tidak
sepenuhnya reversibel. Uji ini dilakukan saat PPOK dalam keadaan stabil (di luar
eksaserbasi akut). Dari hasil pemeriksaan spirometri setelah pemberian bronkodilator
dapat digunakan untuk menentukan klasifikasi penyakit PPOK berdasarkan derajat
obstruksinya. Klasifikasi berdasarkan GOLD kriteria adalah:

a. Stage I: Ringan
Pemeriksaan spirometri post-bronchodilator menunjukan hasil rasio FEV1/FVC <
70% dan nilai FEV1 ≥ 80% dari nilai prediksi.
b. Stage II: Sedang
Rasio FEV1/FVC < 70% dengan perkiraan nilai FEV1 diantara 50-80% dari nilai
prediksi.
c. Stage III: Berat
Rasio FEV1/FVC < 70%, dan nilai menunjukkan FEV1 diantara 30-50% dari nilai
prediksi.
d. Stage IV: Sangat Berat
Rasio FEV1/FVC < 70%, nilai FEV1 diperkirakan kurang dari 30% ataupun
kurang dari 50% dengan kegagalan respirasi kronik.
2. Pemeriksaan Radiologi

Foto Torak PA dan Lateral

Foto torak PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit paru
lain. Pada penderita emfisema dominan didapatkan gambaran hiperinflasi, yaitu
diafragma rendah dan rata, hiperlusensi, ruang retrosternal melebar, diafragma
mendatar, dan jantung yang menggantung/penduler (memanjang tipis vertikal).
Sedangkan pada penderita bronkitis kronis dominan hasil foto thoraks dapat
menunjukkan hasil yang normal ataupun dapat terlihat corakan bronkovaskuler yang
meningkat disertai sebagian bagian yang hiperlusen.

Pemeriksaan CT scan toraks dapat membantu dalam mendiagnosis berbagai tipe dari
PPOK. CT Scan lebih spesifik dalam mendiagnosa emfisema jika dibandingkan foto
thoraks polos.

22
3. Pemeriksaan Laboratorium
a) Pemeriksaan Analisa Gas Darah (AGD)
Pada PPOK tingkat lanjut, pengukuran analisa gas darah sangat penting dilakukan
dan wajib dilakukan apabila nilai FEV1 pada penderita menunjukkan nilai < 40%
dari nilai dan prediksi secara klinis tampak tanda-tanda kegagalan respirasi dan
gagal jantung kanan seperti sianosis sentral, pembengkakan ekstermitas, dan
peningkatan jugular venous pressure. AGD arteri menunjukan gambaran yang
berbeda pada pasien dengan bronkhitis kronis menunjukan hipoksemi yang
sedang sampai berat pada pemberian oksigen 100%. Dapat juga menunjukan
hiperkapnia yang sesuai dengan adanya hipoventilasi alveolar, serta asidosis
respiratorik kronik yang terkompensasi. Gambaran seperti ini disebabkan karena
pada bronkitis kronis terjadi gangguan rasio ventilasi/perfusi (V/Q ratio) yang
nyata. Sedangkan pada emfisema, rasio V/Q tidak begitu terganggu oleh karena
baik ventilasi maupun perfusi, keduanya menurun disebabkan berkurangnya
jumlah unit ventilasi dan capillary bed. Oleh karena itu pada emfisema gambaran
analisa gas darah arteri akan memperlihatkan normoksia atau hipoksia ringan, dan
normokapnia. Analisa gas darah berguna untuk menilai cukup tidaknya ventilasi
dan oksigenasi, dan untuk memantau keseimbangan asam basa

b) Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan bakteriologi Gram pada sputum diperlukan untuk mengetahui pola
kuman dan memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulang
merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia

c) Pemeriksaan Darah rutin


Pemeriksaan darah digunakan untuk mengetahui adanya faktor pencetus seperti
leukositosis akibat infeksi pada eksaserbasi akut, polisitemia pada hipoksemia
kronik.

23
2.7 Penatalaksanaan Medis

Tujuan penatalaksanaan PPOK adalah untuk mengurangi risiko gejala dan eksaserbasi akut.
Indikator penurunan gejala adalah gejala membaik, memperbaiki toleransi terhadap aktivitas,
dan memperbaiki status kesehatan. Sedangkan indikator penurunan risiko adalah mencegah
perburukan penyakit, mencegah dan mengobati eksaserbasi, menurunkan mortalitas. Secara
umum, pengobatan PPOK menggunakan beberapa golongan obat, seperti:

1. Bronkodilator

Bronkodilator merupakan pengobatan yang dapat meningkatkan FEV1 (Forced


Expiratory Volume in one second (FEV1 )) dan atau mengubah variabel spirometri.
Obat ini bekerja dengan mengubah tonus otot polos pada saluran pernafasan dan
meningkatkan refleks bronkodilatasi pada aliran ekspirasi dibandingkan dengan
mengubah elastisitas paru. Bronkodilator bekerja dengan menurunkan hiperventilasi
dinamis saat istirahat dan beraktivitas, serta memperbaiki toleransi terhadap akivitas.
Pada kasus PPOK ketegori berat atau sangat sangat berat sulit untuk memprediksi
perbaikan FEV1 yang diukur saat istirahat.

Bronchodilator dose-respone (perubahan FEV1) kurang memberikan respon relatif


pada setiap kelas bronkodilator. Peningkatan dosis beta2-agonist atau antikolinergik,
khususnya yang diberikan dengan nebulizer, menunjukkan efek positif pada episode
akut, namun tidak terlalu membantu pada kondisi stabil. Bronkodilator pada PPOK
diberikan sebagai dasar untuk mencegah atau menurunkan gejala. Tidak
direkomendasikan penggunaan bronkodilator dengan kerja pendek.

Macam - macam bronkodilator:

1. Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator
juga mengurangi sekresi lendir (maksimal 4 kali perhari).
2. Golongan β2 Agonist
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah penggunaan
dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan
sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat
digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan

24
jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi
berat.
3. Kombinasi antikolinergik dan β2 Agonist
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena
keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat
kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita.
4. Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang,
terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk
mengatasi sesak (pelega napas), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi
eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar
aminofilin darah.

2. Antiinflamasi

Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena,
berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau
prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji
kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat >
20% dan minimal 250 mg.

3. Antibiotik

Penggunaannya untuk mengobati infeksi bakterial yang mencetuskan eksaserbasi.


Beberapa penelitian menunjukkan penggunaan antibiotik secara regular dapat
menurunkan laju eksaserbasi. Azithromycin (250 mg/hari atau 500 mg 3 kali per
minggu) atau eritromycin (500 mg 2 kali per hari) dalam satu tahun dapat
menurunkan risiko eksaserbasi. Azithromycin berhubungan dengan peningkatan
insiden resistensi bakteri dan gangguan pendengaran.

Penatalaksanaan Pada Eksaserbasi Akut

Eksaserbasi akut pada PPOK berarti kejadian kompleks dengan peningkatan


inflamasi saluran pernafasan, peningkatan produksi mukus dan terperangkapnya udara
dalam saluran pernafasan. Eksaserbasi dapat disebabkan infeksi atau faktor lainnya
seperti polusi udara, kelelahan atau timbulnya komplikasi.

Gejala eksaserbasi:

25
1. Sesak bertambah
2. Produksi sputum meningkat
3. Perubahan warna sputum

Eksaserbasi akut dibagi menjadi tiga:

1. Tipe I (eksaserbasi berat), memilki 3 gejala di atas. Harus segera hospitalisasi


dan berhubungan dengan gagal nafas akut.
2. Tipe II (eksaserbasi sedang) memiliki 2 gejala di atas. Terapi dengan SABDs
dan antibiotik dan/atau oral kortikosteroid
3. Tipe III (eksaserbasi ringan) memiliki 1 gejala di atas ditambah infeksi saluran
pernapasan atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk,
peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi pernapasan > 20% baseline,
atau frekuensi nadi > 20% baseline. Terapi dengan bronkodilator kerja pendek.

Prinsip penatalaksanaan PPOK pada eksaserbasi akut adalah mengatasi segera


eksaserbasi yang terjadi dan mencegah terjadinya gagal napas. Bila telah menjadi
gagal napas segera atasi untuk mencegah kematian.

Terapi Farmakologi:

1. Bronkodilator

Beta2-agonist kerja pendek dengan atau tanpa antikolinergik kerja pendek


merupakan terapi bronkodilator utama pada pasien PPOK dengan eksaserbasi.
Tidak terdapat perbedaan efek yang signifikan antara penggunaan metered dose
inhaler (MDI) dan nebulizer. Pasien yang tidak mendapatkan nebul secara
berlanjut dapat menggunakan MDI inhaler 1 semprot setiap 1 jam untuk 2-3 dosis
dan setiap 2-4 jam berdasarkan respon pasien.

2. Glukokortikoid

Sistemik glukokortikoid pada pasien PPOK dapat menurunkan waktu eksaserbasi


dan memperbaiki fungsi paru. Selain itu juga memperbaiki oksigenasi, risiko
kejadian berulang, kegagalan terapi dan lamanya dirawat di rumah sakit. Terapi
prednisolon oral memiliki efektivitas yang sama dengan terapi intravena dan
nebul budesonide dapat sebagai alternatif kortikosteroid oral pada terapi PPOK
eksaserbasi.

26
3. Antibiotik

Pemberian antibiotik berdasarkan gejala klinis infeksi bakteri seperti peningkatan


produksi dan konsistensi sputum. Antibiotik diberikan bila terdapat 2 atau lebih
dari gejala di bawah ini:

a. Peningkatan sesak nafas


b. Peningkatan jumlah sputum
c. Sputum berubah menjadi purulen (perubahan warna sputum)

Pemilihan antibiotik disesuaikan dengan pola kuman setempat dan komposisi


antibiotik yang mutakhir. Antibiotik bermanfaat untuk pasien PPOK eksaserbasi
dengan tanda klinis infeksi saluran napas. Pemeriksaan bakteriologi sputum
pewarnaan Gram dan kultur resistensi diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan
untuk memilih antibiotik yang tepat (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011).

27
4. Terapi oksigen

Pada eksaserbasi akut terapi oksigen merupakan hal yang pertama dan utama,
bertujuan untuk memperbaiki hipoksemi dan mencegah keadaan yang mengancam
jiwa. Terapi oksigen merupakan suatu terapi yang diberikan dengan memberikan gas
oksigen (O2) lebih dari 21% pada tekanan 1 atmosfer sehingga konsentrasi oksigen
dalam tubuh meningkat, dapat dilakukan di ruang gawat darurat, ruang rawat atau di
ICU. Sebaiknya dipertahankan PaO2 > 60 mmHg atau Sat O2 > 90%, evaluasi ketat
hiperkapnia. gunakan sungkup dengan kadar yang sudah ditentukan (ventury masks)
24%, 28% atau 32%. Perhatikan apakah sungkup rebreathing atau nonrebreathing,
tergantung kadar Paco2 dan Pao2. Bila terapi oksigen tidak dapat mencapai kondisi
oksigenasi adekuat, harus digunakan ventilasi mekanik. Dalam penggunaan ventilasi
mekanik usahakan dengan Noninvasive Positive Pressure Ventilation (NIPPV), bila
tidak berhasil ventilasi mekanik digunakan dengan intubasi.

28
Terapi oksigen harus dititrasi pada pasien dengan hipoksemia dengan saturasi target
88-92%. Ketika memulai terapi oksigen, analisa gas darah harus dilakukan untuk
mengetahui oksigenasi tanpa retensi karbodioksida dan/atau asidosis yang memburuk.
Pemberian oksigen dengan masker venturi menunjukkan hasil yang akurat
dibandingkan dengan nasal prongs. Terapi oksigen merupakan suatu terapi yang
diberikan dengan memberikan gas oksigen (O2) lebih dari 21% pada tekanan 1
atmosfer sehingga konsentrasi oksigen dalam tubuh meningkat. Terapi oksigen
diberikan jika terdapat kegagalan pernapasan karena hiperkapnia dan berkurangnya
sensitivitas terhadap O2

5. Terapi ventilasi

Pemberian terapi ventilasi pada kasus PPOK eksaserbasi dapat secara noninvasive
(nasal atau facial mask) atau invasive (oro-tracheal tube atau tracheostomy), Ventilasi
mekanik noninvasive diberikan pada pasien gagal nafas akut yang sudah hospitalisasi
dan mengalami PPOK eksaserbasi. Beberapa penelitian menunjukkan terdapat
perbaikan oksigenasi dan asidosis respirasi akut, peningkatan pH dan penurunan
PaCO2, penurunan laju pernafasan, dan sesak. Namun, memiliki komplikasi berupa
pneumonia yang berhubungan dengan ventilator dan lamanya hospitalisasi. Ventilasi
mekanik invasive diberikan dengan indikasi kegagalan terapi ventilasi mekanik
noninvasive sebagai terapi pertama pada gagal nafas akut, PPOK eksaserbasi. Efek
samping yang ditimbulkan berupa risiko infeksi pneumonia (multiresisten organisme),
barotrauma dan volutrauma.

2.8 Asuhan Keperawatan PPOK

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN PPOK


(Penyakit Paru Obstruktif Kronik)
Kasus:

Seorang pasien laki-laki, 49 th, datang ke IGD dengan keluhan Utama Dispneu, Demam
dan batuk-batuk disertai pengeluaran sputum sekurangkurangnya 3 bulan berturut-turut
dalam satu tahun, dan paling sedikit 2 tahun. Saat dianamnesa pasien sering berkeringat,
anoreksia dan Letarghi. Pasien juga mempunyai kebiasaan merokok sudah 6 tahun dan
pasien profesinya sehari-hari adalah seorang kondektur metro mini (angkutan bus

29
Jakarta). Riwayat penyakit sebelumnya pasien menderita Bronkitis tetapi pasien tidak
pernah meminum obatnya saat dilakukan pemeriksaan fisik: TTV: TD 140/90 mmHg,
Nadi 100x/. Suhu 38.5ºC, RR: 28 x/mnt. Pemeriksaan penunjang: Foto Rontgen: kesan:
Tubular shadow berupa bayangan garis-garis yang parallel keluar dari hilus menuju apex
paru dan corakan paru yang bertambah. Lalu Dokter mendiagnosis pasien menderita
PPOK jenis Bronkhitis Kronis. Pasien bertanya kenapa bisa terkena penyakit tersebut.
Lalu Dokter memberikan O2 dan Terapi Eksaserbasi akut: Kontrimoksazol. Perawat dan
dokter serta paramedic lainnya yang terkait, melakukan perawatan secara integrasi untuk
menghindari / mengurangi resiko komplikasi lebih lanjut.

a. Data Fokus

Data Subjektif Data Objektif


 Klien mengeluh Dispneu  Pasien tampak berkeringat
 Klien mengeluh Demam  Pasien terlihat kesadarannya
 Klien mengeluh batuk-batuk dise menurun (letarghi)
rtai pengeluaran sputum sekuran
g-kurangnya 3 bulan berturut-tur Hasil pemeriksaan fisik :
ut dalam satu tahun, dan paling s  TTV:
edikit 2 tahun - TD 140/90 mmHg
 Klien mengatakan tidak nafsu - Nadi 100x/ menit
makan (Anoreksia) - Suhu 38.5ºC
 Klien mengatakan merokok suda - RR: 28 x/menit
h 6 tahun dan dan bekerja
sebagai kondektur metro mini (a Hasil Pemeriksaan penunjang:
ngkutan bus Jakarta)  Foto Rontgen:
 Klien mengatakan pernah mende - Kesan: Tubular shadow berupa baya
rita Bronkitis tetapi pasien tidak ngan garis-garis yang parallel keluar
pernah meminum obatnya dari hilus menuju apex paru dan cora
 Klien menanyakan kenapa bisa kan paru yang bertambah.
terkena penyakit tersebut

b. Analisa Data

No Data Etiologi Masalah


1. DS: Perokok ditandai Ketidakefektifan
- Klien mengeluh Dispneu dengan dispneu, sputum bersihan jalan nafas
- Klien mengeluh batuk-ba dalam jumlah yang (Domain 11. Kelas 2.
tuk disertai pengeluaran berlebihan, dan batuk Kode diagnosis 00031
sputum sekurang-kurang tidak efektif
nya 3 bulan berturut-turu
t dalam satu tahun, dan p

30
aling sedikit 2 tahun
- Klien mengatakan merok
ok sudah 6 tahun dan
dan bekerja sebagai kond
ektur metro mini (angkut
an bus Jakarta)
- Klien mengatakan
pernah menderita Bronki
tis tetapi pasien tidak per
nah meminum obatnya

DO:
- Pasien tampak
berkeringat
- Pasien terlihat
kesadarannya menurun
(letarghi)

- Hasil pemeriksaan fisik:


 TTV:
- TD 140/90 mmHg
- Nadi 100x/ menit
- Suhu 38.5ºC
- RR: 28 x/menit

- Hasil Pemeriksaan penun


jang:
 Foto Rontgen:
Kesan :Tubular shad
ow berupa bayangan
garis-garis yang para
llel keluar dari hilus
menuju apex paru da
n corakan paru yang
bertambah.
2. DS: Berhubungan deengan Hipertermi
- Klien mengatakan faktor dehidrasi (Domain 11. Kelas 6.
demam Kode diagnosis 00007)

DO:
Suhu 38,5°C
3. DS: Asupan diet kurang Ketidakseimbangan
- Klien mengatakan tidak ditandai dengan enggan Nutrisi: Kurang dari
nafsu makan (Anoreksia) makan kebutuhan tubuh

31
DO:- (Domain 2. Kelas 1.
Kode diagnosis 00002)

4. DS: Kurang informasi Defisiensi Pengetahuan


- Klien menanyakan ditandai dengan kurang (Domain 5. Kelas 4.
kenapa bisa terkena pengetahuan. Kode diagnosis 00216)
penyakit tersebut

DO: -

32
c. Diagnosa Keperawatan

No Hari, Tgl, Diagnosa Paraf & Nam


Jam a Jelas
1. Selasa, Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubun
16/10/20 gan dengan Perokok ditandai dengan dispneu,
sputum dalam jumlah yang berlebihan, dan
batuk tidak efektif

(domain 11. kelas 2. Kode diagnosis 00031)

2. Selasa, Hipertermi berhubungan dengan dehidrasi


16/10/20
(Domain 11. Kelas 6. Kode diagnosis 00007)
3. Selasa, Ketidakseimbangan Nutrisi: Kurang dari
16/10/20 kebutuhan tubuh berhubungan dengan Asupan
diet kurang ditandai dengan enggan makan

(Domain 2. Kelas 1. Kode diagnosis 00002)

4. Selasa, Defisiensi Pengetahuan Kurang informasi


16/10/20 ditandai dengan kurang pengetahuan.

(Domain 5. Kelas 4. Kode diagnosis 00216)

33
d. Rencana Keperawatan

N Tujuan dan Kriteria Ha Intervensi Keperawat Rasional Paraf


o. sil an & Na
Dx ma Jel
as
1. NOC NIC
Bersihan jalan nafas, Bersihan jalan nafas,
ketidakefektifan ketidakefektifan
(bagian empat, hal 599) (bagian enam, hal 500)
Setelah dilakukan tindak
an keperawatan selama 1 Manajemen: Jalan
x24 jam pasien masalah Nafas
Ketidakefektifan bersiha (Bag. tiga, kode 3140)
n jalan nafas berhubunga
n dengan Perokok 1. Monitor Status 1. Untuk mengetah
ditandai dengan dispneu, Pernafasan dan ui status pernafa
sputum dalam jumlah Oksigenasi, san dan
yang berlebihan, dan sebagaimana oksigenasi klien
batuk tidak efektif sudah mestinya dalam keadaan
teratasi. normal atau
tidak.
kriteria hasil:
2. Untuk
Status Pernafasan meringankan
(Bag. Tiga. Kode 0415) 2. Lakukan tindakan
ubah posisi klien sesak nafas
 Frekuensi pernafasan menjadi fowler yang di alami
dipertahankan 3 (devi oleh klien
siasi cukup dari kisar
an normal) ditingkatk 3. Untuk mengetah
an 5 (tidak ada devisi 3. Lakukan tindakan ui suara nafas kl
asi dari kisaran norm pemeriksaan ien normal atau
al) aukultasi suara nafas tidak, serta men
 Dispneu saat istirahat klien, catat area getahui apakah
dipertahankan 3 (devi yang ventilasinya ada suara tamba
menurun atau tidak han pada pernaf
siasi cukup dari kisar
an normal) ditingkatk ada dan adanya asan klien
suara tambahan 4. Untuk
an 5 (tidak ada devisi
asi dari kisaran norm 4. Ajarkan klien batuk meringankan
efektif batuk dan
al)
memberikan
 Demam dipertahanka
edukasi kepada
n 3 (devisiasi cukup
klien tentang
dari kisaran normal)

34
ditingkatkan 5 (tidak batuk yang baik
ada devisiasi dari kis dan benar
aran normal)
 Batuk dipertahankan
1 (devisiasi sabgat
berat dari kisaran nor Monitor Pernafasan
mal) ditingkatkan 2 (Bag. Tiga, kode 3350) 1. Untuk mengetah
(devisiasi berat dari k ui seberapa
1. Monitor sekresi
isaran normal) banyak sekresi
pernafasan klien
yang terdapat di
Status Pernafasan: sistem
Pertukaran Gas (Bag. T pernafasan klien
iga. Kode 0402)

 Hasil foto rongent 2. Untuk mengetah


ui kegiatan apa
dada di pertahankan
2 (devisiasi berat dari 2. Monitor saja yang dapat
keluhan
meningkatkan
kisaran normal) ditin sesak nafas klien,
gkatkan 4 (ringan dev dan
termasuk kegiatan
memperburuk
isiasi dari kisaran nor yang meningkatkan
mal) sesak klien
atau memperburuk
sesak nafas tersebut
3. Untuk
mengetahui
kondisi paru-
paru klien
3. Monitor hasil foto
dalam keadaan
Rongent
normal atau
tidak

Kolaborasi:

Instruksi dokter berikan


O2 dan Terapi Eksaser
basi akut: Kontrimoksa
zol

2. NOC NIC
Hipertermi
( Bagian tiga. Hal 283, Hipertermi
D.IV, Kode.1922 ) (Bagian enam. Hal
Setelah dilakukan tindak 518)
an keperawatan selama 1
x24 jam pasien masalah Perawatan demam
Hipertermi teratasi (Bag. Tiga. Kode

35
3740) 1. Agar
Kriteria Hasil: mengetahui
1. Pantau suhu dan
 Memonitor perub Perkemban
tamda – tanda gan suhu
ahan status keseh
vital lainnya pasien
atan dipertahanka
n pada skala 2 (Ja
rang menunjukan) 2. agar
ditingkatkan ke s mengetahui
2. Monitor warna apakah ada
kala 5 (secara kon
kulit dan suhu perubahan
sisten menunjuka
n) warna kulit
 Mempertahankan
keutuhan kulit dip 3. mencegah
ertahankan pada s terjadinya
kala (Jarang men dehidrasi
unjukan) ditingka 3. Monitor asupan
tkan ke skala 5 (s dan keluaran,
ecara konsisten m sadari
enunjukan) perubahan
kehilangan 4. membantu
Tanda – tanda vital cairan yamg tak penurunan
( Bag. Tiga kode 0802) dirasakan panas
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan 4. Beri obat atau
1x24 jam masalah cairan IV 1. agar perawat tau
hipertermi diharapkan apakah ada
Pengaturan suhu
dapat teratasi. peningkatan
( Kode 3900, hal.311 ) atau penurunan
Kriteria hasil: suhu
1. Monitor suhu 2. agar mengetahui
paling tidak apakah ada
 Suhu tubuh
setiap 2 jam, perubahan kulit
dipertahankan
sesuai 3. agar mengetahui
pada skala 3
kebutuhan adanya
(deviasi sedang
dari kisaran penurunan suhu
2. Monitor suhu
normal)
daan warna kulit 4. agar tidak
ditingkatkan ke
3. Monitor adanya terjadinya
skala 5 (tidak ada
tanda – tanda dehidrasi
deviasi dari
hipotermia
kisaran normal)
*Suhu tubuh pada
4. Tingkatkan 5. agar pasien
rentang normal 38,5°C –
intake cairan merasa aman
36,6°C
dan nutrisi nyaman dan

36
 Tekanan nadi adekuat tentram
dipertahankan
pada skala 3 5. Sesuaikan suhu
(deviasi sedang lingkungan
dari kisaran untuk kebutuhan
normal) pasien
ditingkatkan ke
skala 5 (tidak ada
deviasi dari
kisaran normal)
 Irama pernapasan
dipertahankan
pada skala 3
(deviasi sedang
dari kisaran
normal)
ditingkatkan ke
skala 5 (tidak ada
deviasi dari
kisaran normal)
*Nadi dan respirasi rate
dalam rentang normal
3. NOC NIC
Nutrisi: Ketidakseimba Nutrisi: Ketidakseimb
ngan, Kurang dari Keb angan, Kurang dari K
utuhan Tubuh ebutuhan Tubuh
(Bag. Empat, hal 644) (Bag. Enam, hal 558)
Setelah dilakukan tindak
an keperawatan selama 1 Manajemen Nutrisi (B
x24 jam pasien masalah ag. tiga, kode 1100)
Ketidakseimbangan 1. Berikan pilihan
Nutrisi: Kurang dari makanan sambil 1. Agar klien
kebutuhan tubuh menawarkan nafsu makan
berhubungan dengan bimbingan terhadap karena
Asupan diet kurang pilihan [makanan] diberikan
ditandai dengan enggan yang lebih sehat pilihan makanan
makan sudah terpenuhi. yang sehat

Kriteria Hasil: 2. Ciptakan lingkungan


yang optimal pada
Nafsu Makan saat mengkonsumsi 2. Untuk
(Bag. Tiga, kode 1014) makanan (misalnya, memberikan
bersih, berventilisasi, lingkungan
 Hasrat / keinginan santai, dan bebas dari yang nyaman
untuk dipertahankan 4 sehingga klien

37
(sedikit terganggu) dit bau yang menyengat) nafsu untuk
ingkatkan 5 (tidak ter makan
ganggu) 3. Pastikan makanan
 Rangsangan untuk disajikan dengan cara 3. Untuk
makan dipertahankan menarik dan pada merangsang dan
4 (sedikit terganggu) suhu yang paling meningkatkan
ditingkatkan 5 (tidak t cocok untuk nafsu makan
erganggu) konsumsi secara klien karenaa
 Intake makanan dipert optimal makanan yang
ahankan 4 (sedikit ter disajikan hangat
ganggu) ditingkatkan dan menarik
5 (tidak terganggu)
 Intake nutrisi dipertah 4. Anjurkan keluarga 4. Untuk
ankan 4 (sedikit terga untuk membawa meningkatkan
nggu) ditingkatkan 5 makanan favorit klien nafsu makan
(tidak terganggu) yang diperbolehkan klien
untuk kondisinya saat
ini
5. Tawarkan makanan
ringan yang padat dan 5. Untuk mencuku
bergizi pi nutrisi klien a
pabila klien tida
k mau makan-m
akanan yang ber
at

4. NOC NIC
Defisiensi Pengetahuan Defisiensi
(Bag. Empat, hal 600) Pengetahuan
Setelah dilakukan tindak (Bag. Enam, hal 504)
an keperawatan selama 1
x24 jam pasien masalahPendidikan Kesehatan
Defisiensi Pengetahuan(Bag. Tiga, Kode
berhungan 5510)
dengan 1. Untuk
Kurang informasi
1. Tentukan mengetahui
ditandai dengan kurang pengetahuan sejauh mana
pengetahuan sudah terata kesehatan dan gaya pengetahuan
si. hidup perilaku saat klien dan
ini pada klien dan keluarga
Kriteria Hasil: keluarga mengenai
pentingnya
Pengetahuan: menjaga
Manajemen Penyakit kesehatan
Paru Obstruksi Kronik

38
(Bag. Tiga, kode 1848) 2. Agar klien
 Tanda dan gejala mengetahui apa
penyakit paru 2. Berikan edukasi yang di maksud
obstruktif kronik kepada klien tentang dengan PPOK
dipertahankan 1 (tidak penyakit PPOK
ada pengetahuan) 3. Agar klien
ditingkatkan 3 mengetahui dan
(Pengetahuan sedang) 3. Berikan informasi memahami apa
 Factor-faktor dan pemahaman saja tanda dan
penyebab dan factor terkait tanda dan gejala dari
yang berkontribusi gejala PPOK PPOK
dipertahankan 1 (tidak
ada pengetahuan)
ditingkatkan 3
(Pengetahuan sedang) 4. Agar klien
 tanda dan gejala 4. Berikan edukasi dan mengetahui
komplikasi informasi mengenai factor-faktor
dipertahankan 1 (tidak factor-faktor yang apa saja yang
ada pengetahuan) dapat menyebabkan dapat
ditingkatkan 3 PPOK menyebabkan
(Pengetahuan sedang) PPOK
 strategi mencegah
komplikasi 5. Berikan informasi 5. Agar klien
dipertahankan 1 (tidak dan pengetahuan mengetahui dan
ada pengetahuan) tentang tanda dan memahami
ditingkatkan 3 gejala komplikasi tanda dan gejala
(Pengetahuan sedang) PPOK komplikasi dari
 masalah keamanan PPOK
terkait penggunaan
oksigen 6. Ajarkan klien 6. Untuk
dipertahankan 1 (tidak tentang strategi memberikan
ada pengetahuan) mencegah pengetahuan
ditingkatkan 3 komplikasi PPOK dan informasi
(Pengetahuan sedang) kepada klien
 strategi untuk berhanti tentang strategi
merokok apa saja yang
dapat dilakukan
 teknik pernafasan
untuk mencegah
yang efektif
komplikasi
PPOK

7. Berikan informasi 7. Agar klien


mengenai masalah mengetahui
masalah apa

39
penggunaan oksigen yang dapat
terjadi apabila
sedang
menggunakan
oksigen

8. Agar klien
mengetahui dan
8. Ajarkan dan beri
memahami
pemahaman kepada
mengenai
klien mengenai
strategi untuk
strategi untuk
berhenti
berhenti merokok
merokok

9. Agar klien
mengetahui dan
9. Ajarkan teknik memahami
pernafasan yang bagaimana
efektif pada klien teknik
pernafasan yeng
efektif dan baik
bagi klien

40
2.9 Telaah Jurnal
Judul jurnal: Gambaran status gizi pasien penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)

Metode Penelitian: deskriptif dengan rancangan crosssectional

Hasil:

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu dari kelompok penyakit
tidak menular yang telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Hal ini
disebabkan oleh semakin banyaknya jumlah perokok khususnya pada kelompok usia
muda, dan pencemaran udara di dalam ruangan maupun di luar ruangan serta di tempat
kerja (Depkes, 2008).

Badan Kesehatan Dunia atau WHO menunjukkan bahwa pada tahun 1990 PPOK
menempati urutan ke–6 sebagai penyebab utama kematian di dunia, sedangkan pada
tahun 2002 telah menempati urutan ke–3 setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker.

Berdasarkan hasil SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional) tahun 2001, sebanyak
92,0% dari perokok menyatakan kebiasaannya merokok di dalam rumah ketika bersama
anggota rumah tangga lainnya, dengan demikian sebagian besar merupakan perokok
pasif. Jumlah perokok yang menderita PPOK atau kanker paru berkisar antara 20–25%.
Hubungan antara perokok dengan PPOK merupakan hubungan dose response, lebih
banyak batang rokok yang dihisap setiap hari dan lebih lama kebiasaan merokok
tersebut, maka risiko penyakit yang ditimbulkan akan lebih besar (SK Menkes, 2008).

Hubungan yang penting antara nutrisi dan fungsi paru yaitu melalui efek katabolisme
yaitu dengan melihat status gizi. Jika asupan kalori berkurang, maka tubuh akan
memecah protein yang terdapat dalam otot termasuk otot-otot pernapasan. Hilangnya
lean body mass pada setiap otot akan berdampak pada fungsi otot tersebut. Kaitan yang
erat lainnya antara nutrisi dan fungsi paru adalah bahwa malnutrisi menurunkan
resistensi terhadap infeksi. Infeksi paru sering kali merupakan penyebab kematian pada
pasien dengan PPOK (Rumende, 2006).

a) Hubungan antara Status Gizi dengan Fungsi Paru Pasien PPOK

Status gizi seseorang dapat mempengaruhi kapasitas vital paru/fungsi paru. Orang kurus
panjang biasanya kapasitasnya lebih dari orang gemuk pendek. Masalah kekurangan dan
kelebihan gizi pada orang dewasa (usia 18 tahun ke atas) merupakan masalah penting,

41
karena selain mempunyai faktor risiko penyakit-penyakit tertentu, juga dapat
mempengaruhi produktivitas kerja. Oleh karena itu, pemantauan keadaan tersebut perlu
dilakukan secara berkesinambungan (Supariasa, 2001).

Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya kebutuhan


energi akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena hipoksemia kronik dan
hiperkapri menyebabkan terjadi hipermetabolisme. Kondisi malnutrisi akan menambah
morabiliti PPOK karena berkorelasi dengan derajat penurunan fungsi paru dan perubahan
analisis gas darah.

b) Hubungan antara Pola Makan dengan Fungsi Paru Pasien PPOK

Muchtar (2008) menyatakan bahwa makanan merupakan bahan bakar bagi tubuh agar
mampu beraktivitas termasuk bernafas. Untuk itu, pola makan sehat sangat penting bagi
perawatan penderita PPOK. Nutrisi yang lengkap diperlukan untuk membantu tubuh
dalam memerangi infeksi agar tidak terjadi komplikasi. Pola makan bagi pasien PPOK
dengan cara porsi kecil tapi sering dapat mengurangi pembatasan gerakan diagfrahma
akibat lambung penuh sehingga makanan dapat masuk dengan baik (Aza, 2003).

Pada orang dengan PPOK, bernafas membutuhkan lebih banyak energi, otot-otot yang
digunakan untuk bernafas perlu kalori 10 kali lipatnya orang yang tanpa PPOK. Untuk
itu, pola makan sehat sangat penting bagi perawatan penderita PPOK. Nutrisi yang cukup
juga baik untuk membantu tubuh dalam memerangi infeksi. Akibat penyakitnya,
penderita PPOK rentan terhadap infeksi bakteri (Arihadi, 2009).

1. Pembahasan

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu dari kelompok penyakit
tidak menular yang telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Hal ini
disebabkan oleh meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya pajanan faktor
risiko, seperti faktor pejamu yang diduga berhubungan dengan kejadian PPOK. Semakin
banyaknya jumlah perokok khususnya pada kelompok usia muda, dan pencemaran udara
di dalam ruangan maupun di luar ruangan serta di tempat kerja (Depkes, 2008).

Berdasarkan data kunjungan pasien PPOK di BBKPM Surakarta dari tahun ke tahun
terjadi peningkatan sebesar 145,36 %, yaitu pada tahun 2008 penderita PPOK berjumlah

42
1023 orang dan tahun 2009 sebanyak 2510 orang. Pasien PPOK untuk bernafas
menggunakan energi tinggi, sehingga cenderung mengalami kekurangan kalori dan
protein menyebabkan status gizi menjadi jelek (Hunter, et.al. 1981). Disamping itu,
apabila kalau sedang mengalami infeksi sekunder biasanya nafsu makan pasien PPOK
juga tidak begitu tinggi akibatnya status gizi dapat menurun. Untuk itu perlu untuk
menganalisis kaitan antara status gizi dan pola makan dengan fungsi paru pada pasien
PPOK di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta.

a) Hubungan antara Status Gizi dengan Fungsi Paru Pasien PPOK

Dari 14 sampel yang mempunyai status gizi normal, sebagian besar mempunyai fungsi
paru yang tidak normal (64,3%). Hal ini terjadi pula pada sampel yang status gizinya
tidak normal, dari 71 sampel sebagian besar mempunyai fungsi paru yang tidak normal
pula (87,3%). Hal ini menunjukkan ada kecenderungan bahwa baik sampel yang
mempunyai status gizi normal maupun tidak normal, fungsi parunya tidak normal juga.
Hal ini diperkuat dengan uji korelasi Rank Spearman dengan ρ-value = 0,030 dimana
terdapat ada yang signifikan antara status gizi dengan fungsi paru.

Status gizi seseorang dapat mempengaruhi kapasitas vital paru/fungsi paru. Orang kurus
panjang biasanya kapasitasnya lebih dari orang gemuk pendek. Malnutrisi sering terjadi
pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya kebutuhan energi akibat kerja muskulus
respirasi yang meningkat.

Malnutrisi dapat dievaluasi dengan penurunan berat badan, kadar albumin, antropometri,
pengukuran kekuatan otot, hasil metabolisme. Malnutrisi dapat diatasi dengan pemberian
makanan yang seimbang antara kalori yang masuk dengan kalori yang dibutuhkan, bila
perlu nutrisi dapat diberikan secara terus menerus dengan porsi kecil dan waktu
pemberian yang lebih sering.

Pengobatan PPOK harus lebih komprehensif yaitu dengan melihat status gizi pasien,
kapasitas olahraga dan gejala lain yang timbul sehingga dapat membantu pasien hidup
lebih lama dengan kualitas hidup lebih baik. Pasien PPOK untuk bernafas menggunakan
energi tinggi, sehingga cenderung mengalami kekurangan kalori dan protein
menyebabkan status gizi menjadi jelek (Hunter, et.al. 1981). Hal ini dapat dijelaskan
bahwa biasanya nafsu makan juga tidak begitu tinggi, apabila kalau sedang mengalami
infeksi sekunder.

43
Ada penderita yang akan tampak kebiru-biruan (blue bloatur) karena sianosis yang
dialaminya disertai dengan tanda-tanda gagal jantung kanan (edema perifer) biasanya
penderita ini dengan status gizi agak gemuk dan sesak napasnya tidak terlalu berat,
walaupun hiposemianya agak berat. Adapula yang tampak kemerahjambuan (pink
puffer) biasanya penderita dengan status gizi cenderung kurus tanpa gangguan jantung
kanan dan hiposemia yang dideritanya agak ringan, tetapi mengeluh sesak napas berat.
Namun, tidak semua penderita akan mengikuti kedua pola ini secara mutlak, kebanyakan
akan berada diantaranya (Frazer, et.al. 1994).

b) Hubungan antara Pola Makan dengan Fungsi Paru Pasien PPOK

Dari 61 sampel yang mempunyai pola makan normal, sebagian besar mempunyai fungsi
paru yang tidak normal (80,3%). Hal ini terjadi pula pada sampel yang pola makannya
tidak normal, dari 24 sampel sebagian besar mempunyai fungsi paru yang tidak normal
pula (91,7%). Hal ini menunjukkan ada kecenderungan bahwa baik sampel yang
mempunyai pola makan normal maupun tidak normal, fungsi parunya tidak normal juga.
Hal ini diperkuat dengan uji korelasi Rank Spearman dengan ρ-value = 0,035 dimana ada
hubungan yang signifikan antara pola makan dengan fungsi paru.

Hasil penelitian ini relevan dengan pendapat Muchtar (2008) yang menyatakan bahwa
makanan merupakan bahan bakar bagi tubuh agar mampu beraktivitas termasuk
bernafas. Untuk itu, pola makan sehat sangat penting bagi perawatan penderita PPOK.
Nutrisi yang lengkap diperlukan untuk membantu tubuh dalam memerangi infeksi agar
tidak terjadi komplikasi. Pola makan bagi pasien PPOK dengan cara porsi kecil tapi
sering dapat mengurangi pembatasan gerakan diagfrahma akibat lambung penuh
sehingga makanan dapat masuk dengan baik (Aza, 2003).

Pada orang dengan PPOK, bernafas membutuhkan lebih banyak energi, otot-otot yang
digunakan untuk bernafas perlu kalori 10 kali lipatnya orang yang tanpa PPOK. Untuk
itu, pola makan sehat sangat penting bagi perawatan penderita PPOK. Nutrisi yang cukup
juga baik untuk membantu tubuh dalam memerangi infeksi. Akibat penyakitnya,
penderita PPOK rentan terhadap infeksi bakteri (Arihadi, 2009).

2. Rekomendasi

44
Dianjurkan untuk pasien PPOK diberikan makanan yang seimbang antara kalori yang
masuk dengan kalori yang dibutuhkan, bila perlu nutrisi dapat diberikan secara terus
menerus dengan porsi kecil dan waktu pemberian yang lebih sering. Pola makan bagi
pasien PPOK dengan cara porsi kecil tapi sering dapat mengurangi pembatasan gerakan
diagfrahma akibat lambung penuh sehingga makanan dapat masuk dengan baik.

2.10 Materi Edukasi PPOK

Perawat sebagai tenaga kesehatan yang bertemu dengan pasien selama 24 jam sangat
berperan sebagai edukator. Edukasi yang diberikan adalah untuk memberikan
pengetahuan mengenai perjalanan penyakit dan pengobatan PPOK serta aktivitas yang
maksimal. Edukasi dan promosi kesehatan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) yang
paling utama adalah modifikasi gaya hidup. Modifikasi gaya hidup yang harus
ditekankan adalah mengenai merokok, bukan hanya edukasi mengenai bahaya dan
berhenti merokok, tapi juga mengenai peningkatan harapan hidup dan kualitas hidup
setelah berhenti merokok. Selain itu juga dijelaskan tentang jenis obat yang dikonsumsi,
cara penggunaan, waktu dan dosis pemakaian obat yang tepat. Namun jika pasien hanya
mengandalkan obat-obatan yang diperoleh dari rumah sakit dan apabila obatnya sudah
habis pasien mengatakan kebingungan mengenai tindakan apa yang mesti dilakukan
untuk mempertahankan kondisinya.

Selama ini edukasi yang diberikan di rumah sakit hanya sebatas imbauan untuk
menghindari faktor risiko seperti merokok, asap berbahaya dan debu. Edukasi mengenai
manajemen perawatan diri secara menyeluruh belum pernah diberikan. Intervensi
manajemen diri membantu pasien dengan PPOK memperoleh dan melatih keterampilan
yang mereka butuhkan untuk melaksanakan rejimen medis penyakit tertentu, memandu
perubahan perilaku kesehatan dan memberikan dukungan emosional untuk
memungkinkan pasien mengontrol penyakit mereka. Pemberian self management
education efektif untuk meningkatkan pemberdayaan pasien (patient empowerment)
yang terdiri atas pengetahuan, sikap, tindakan, kemampuan mengambil keputusan seperti
pasien diminta untuk segera datang ke fasilitas kesehatan apabila terjadi kekambuhan.
Pendidikan kesehatan ini dianjurkan diberikan mulai awal pasien terdiagnosis
berkelanjutan sepanjang hidup sampai akhir hayat. Pendidikan manajemen diri bertujuan
untuk meningkatkan pengetahuan, mengajarkan pasien mengenai ketrampilan-
ketrampilan serta menekankan pada pengelolaan penyakit melalui perubahan perilaku.

45
Pendidikan manajemen diri juga bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan terhadap
pengobatan serta meningkatkan perbaikan kondisi klinis yang dialami pasien (Stoilkova
et al. 2013). Beberapa edukasi untuk pasien PPOK diantaranya yaitu:

a. pengaturan posisi yang bertujuan untuk memperoleh rileksasi dari seluruh tubuh
terutama pada thorak juga mengontrol pernafasan diafragma pasien agar dapat mencapai
gerakan respirasi penuh, yaitu:
 Pasien dianjurkan untuk melakukan aktifitas ringan dan tidak memaksa.
 Pasien diminta untuk menghindari asap rokok dan polusi udara dengan menggunakan
masker.
 Pasien diminta untuk banyak minum air putih.
b. Ajarkan aktivitas/latihan menggunakan teknik pernapasan bibir mengerucut dan
pernapasan diagframa selama aktifitas dengan latihan bernapas memastikan penggunaan
optimal dari fungsi respirasi yang ada. Pernapasan bibir mengerucut akan menciptakan
tekanan akhir eskpirasi yang positif di paru-paru yang membantu jalan napas tetap
terbuka.

Sarankan untuk menghindari makanan pembentuk gas seperti buncis dan kubis karena
makanan pembentuk gas dapat menyebabkan perut kembung, distensi, dan mengganggu
ventilasi.

46
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Penyakit Paru Obstruktif Kronik(PPOK) atau Chronic Obstruktif Pulmonary Disease
(COPD) merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru-
paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara
sebagai gambaran patofisiologi utamanya. Ketiga penyakit yang membentuk satu kesatuan
yang dikenal dengan COPD adalah asma bronkial, bronkitis kronis, dan emfisema paru-paru.
Sering juga penyakit ini disebut dengan Chronic Airflow Limitation (CAL) dan Chronic
Obstructive Lung Disease (COLD).

3.2 Saran
Sebagai perawat diharapkan mampu membuat asuhan keperawatan dengan baik
terhadap penderita penyakit saluran pernapasan terutama PPOK. Oleh karena itu, perawat
juga harus mampu berperan sebagai pendidik dalam hal ini melakukan penyuluhan ataupun
memberikan edukasi kepada pasien maupun keluarga pasien terutama mengenai tanda-tanda,
penanganan dan penceganhanya.

47
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddart. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah edisi 8 volume 2. Jakarta,
EGC.

Elsevier. 2014. Keperawatan Medikal Bedah: Managemen Klinis untuk Hasil yang Diharapkan,
Edisi 8 Buku 3. Singapore: Salemba Medika.
Oktaria Dwita, Maharani Sekar Ningrum.2017.Isi: Diakses pada tanggal 15 Oktober 2019, dari:
http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/majority/article/viewFile/1011/1733

Intani, S. (2018). Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik
Eksaserbasi Akut Di Instalasi Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi Tahun 2016-2017 (Doctoral
dissertation, Universitas Muhammadiyah Surakarta).

Kemenkes. 2008. Keputusan menteri kesehatan republik Indonesia nomor


1022/MENKES/SK/XI/2008 tentang pedoman pengendalian penyakit paru obstruktif kronik.
Menteri kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.

Putra TR, Suega K, Artana B. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Penyakit Dalam. Denpasar:
SMF Penyakit Dalam FK Unud; 2013.

Kristiningrum, Esther. 2019. Farmakoterapi Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK).


Departemen Medical, PT Kalbe Farma Tbk., Jakarta, Indonesia.

Prastika. 2018. Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK). Universitas Muhammadiyah.


Semarang.

PPOK, P. (2003). Pedoman praktis diagnosis & penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: PDPI, 1-
18.

Putri Fitriana. 2015. Influence of Smoking on chronic obstructive pulmonary disease (COPD).
Universitas Lampung.

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) (2013). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian RI tahun 2013. Diakses dari
https://www.kemkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas%202013.pdf pada
15 November 2020.

48
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) (2018). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian RI tahun 2018. Diakses dari
https://kesmas.kemkes.go.id/assets/upload/dir_519d41d8cd98f00/files/Hasil-riskesdas-
2018_1274.pdf pada 15 November 2020.

Fajarina Nurin. 2020. Waspada Komplikasi Penyakit Paru Obstruktif Kronis. Diakses dari
https://hellosehat.com/pernapasan/ppok/komplikasi-ppok/#gref

Patrick Davey. 2003. At A Glance Medicine. Jakarta: Penerbit Erlangga

Ariyani, D. Retno. dkk. (2013). “Hubungan Antara Status Gizi Dan Pola Makan Dengan Fungsi
Paru Pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (Ppok) Di Balai Besar Kesehatan Paru
Masyarakat Surakarta”. Prosiding Seminar Nasional, Food Habit and Degenerative Diseases,
hlm. 95-100.

Aza C.A.R. 2003. PPOK Bukan Cuma Terapi Obat. Farmacia (7): 15.

Departemen Kesehatan RI. 2008. Dirjen Pengendalian Penyakit Tidak Menular. Pedoman
Pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Kep. Men. Kes. RI No. 1022/Menkes/
SK/XI/2008.

Frazer, RG. Paru RS & JRP & PD. 1994. Synopsis of Diseases of Chest. WB Saunders Co. 2nd
Ed. P.653- 654.

Hunter AMB. Carey MA. Larsh HW. 1981. The Nutritional Status of Patients with Chronic
Obstructive Pulmonary Diseas. AM. Rev. Respir Dis. P. 124: 375.

Riskesdas. 2007. Hasil Laporan Riset Kesehatan Dasar Tahun 2007. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI.

Rumende, Martin C. 2006. Tatalaksana Nutrisi pada Pasien PPOK. Jakarta: FKUI. Supariasa, I
Dewa Nyoman. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC

Muchtar, Ikhsan. 2008. Health Naos Sun Magazine. Jakarta: EGC.

49

Anda mungkin juga menyukai