Anda di halaman 1dari 30

QBL Leukimia

Makalah Disusun Untuk Memenuhi Tugas


Mata Kuliah Keperawatan Medikal Bedah I

Dosen Pengampu: Ns. Santi Herlina, S. Kep, M. Kep, Sp. Kep MB.

Disusun oleh:

1. Lola Shabila Rismayanti (1910711016)


2. Sarah Dewi Permata Sari (1910711017)
3. Kanyia Salsabilla (1910711051)
4. Talitha Syifa Laili (1910711054)
5. Ailsa Dxzakiyah Dzahabiyah Hibatulloh (1910711058)
6. Miqdad (1910711059)
7. Aulya Vira Maylinda (1910711061)
8. Yulia Prabhawaty (1910711063)
9. Bayu Sri Ramadhan (1910711069)
10. Rahma Dewi Sulistyawati (1910711072)
11. Putri Widiana Puspitasari (1910711076)
12. Fadhia Syaharani Ardira (1910711077)
13. Safa Marwah IRPS (1910711079)

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN
2020

1
Kata Pengantar

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat
dan karunia-Nya yang telah diberikan kepada kami sehingga dapat menyelesaikan makalah
ini yang berjudul QBL Leukimia.

Dengan terselesaikannya makalah ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak.
Oleh karena itu, kami menyampaikan rasa terima kasih kepada Ibu Ns. Santi Herlina, S.Kep,
M.Kep, Sp. Kep MB. selaku dosen Keperawatan Medikal Bedah I yang telah membimbing
kami selama pembuatan makalah ini. Dan juga kepada teman-teman yang telah memberikan
masukan serta mendukung terselesaikannya makalah ini.

Terlepas dari itu semua kami menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini
terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya
kritik dan saran yang membangun. Kami berharap semoga makalah ini dapat dipahami bagi
siapapun yang membacannya.

Jakarta, 14 Desember 2020

Kelompok 3 Leukimia

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.........................................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................1
1.1 Latar Belakang...................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................................1
1.3 Tujuan.................................................................................................................................2
2.1 Prevelensi Leukimia......................................................................................................3
2.2 Pengertian dan Klasifikasi.............................................................................................4
2.3 Etiologi dan Faktor Risiko.............................................................................................6
2.4 Patofisiologi.....................................................................................................................9
2.5 Tanda dan gejala..........................................................................................................10
2.6 Komplikasi....................................................................................................................10
2.7 Pemeriksaan Penunjang..............................................................................................11
2.8 Penatalaksanaan Medis................................................................................................13
2.9 Asuhan Keperawatan Leukimia.................................................................................15
2.10 Telaah Jurnal Leukimia.............................................................................................19
BAB III PENUTUP...............................................................................................................26
3.1 Simpulan........................................................................................................................26
3.2 Saran..............................................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................27

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Leukemia merupakan keganasan sel darah yang berasal dari sumsum tulang,
ditandai oleh proliferasi sel-sel darah putih, dengan manifestasi penambahan sel-sel
abnormal dalam darah tepi. Berdasarkan National Academy of Sciences, terdapat lebih
dari 100.000 bayi di seluruh dunia yang lahir dengan keadaan dan kondisi yang berat dari
Leukemia (Cooley’s Anemia Foundation, 2006). Jumlah penderita di Indonesia pada
tahun 2008 sudah mencapai 20.000 orang penderita dari jumlah 200 juta orang penduduk
Indonesia secara keseluruhan (Robert, 2009).

Leukemia merupakan suatu penyakit keganasan yang berasal dari sel induk
sistem hematopoetik yang mengakibatkan poliferasi sel-sel darah putih tidak terkontrol
dan pada sel-sel darah merah namun sangat jarang. Ini adalah suatu penyakit darah dan
organ-organ dimana sel-sel darah tersebut dibentuk dan ditandai dengan proliferasi sel-
sel imatur abnormalyang mempengaruhi produksi dari sel-sel darah normal lainnya.
Penyakit inidisebabkan terjadinya kerusakan pada pabrik pembuat sel darah yaitu pada
sumsum tulang bekerja aktif membuat sel-sel darah tetapi yang dihasilkan adalah sel
darah yang tidak normal dan sel ini mendesak pertumbuhan sel darah normal. Walaupun
penyebab dasar leukemia tidak diketahui pengaruh genetik maupun faktor-faktor
lingkungan kelihatannya memainkan peranan.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dengan Prevelensi Leukimia?


2. Apa Pengertian dan Klasifikasi dari Leukimia?
3. Apa saja Etiologi dan Faktor Risiko dari Leukimia?
4. Bagaimana Patofisiologi Leukimia?
5. Apa saja Tanda dan Gejala dari Leukimia?
6. Komplikasi apa saja yang dapat terjadi dari Leukimia?
7. Pemeriksaan Penunjang apa saja yang digunakan untuk pasien Leukimia?
8. Apa saja Penatalaksanaan Medis yang digunakan untuk pasien Leukimia?
9. Bagaimana Asuhan Keperawatan Leukimia?
10. Telaah Jurnal Leukimia?
1
1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui Prevelensi Leukimia.


2. Untuk mengetahui dan memahami Pengertian dan Klasifikasi dari Leukimia.
3. Untuk mempelajari dan memahami Etiologi dan Faktor Risik dari Leukimia.
4. Untuk memahami Patofisiologi Leukimia.
5. Untuk mengetahui Tanda dan Gejala dari Leukimia.
6. Untuk mengetahui dan memahami Komplikasi apa saja yang dapat terjadi pada pasien
Leukimia
7. Untuk mengetahui jenis-jenis Pemeriksaan Penunjang apa saja yang digunakan untuk
pasien Leukimia.
8. Untuk mempelajari dan memahami Penatalaksanaan Medis yang digunakan untuk
pasien Leukimia.
9. Untuk menegtahui, mempelajari dan memahami Asuhan Keperawatan apa saja yang
tepat bagi pasien Leukimia.
10. Untuk menambah pengetahuna dan memberikan referensi mengenai Telaah Jurnal
Leukimia.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Prevelensi Leukimia


Epidemiologi leukemia secara global prevalensi 13.7 per 100.000 populasi dengan
tingkat mortalitas 6.8 per 100.000 populasi per tahun. Di Indonesia, Riset Kesehatan
Dasar tahun 2013 menunjukkan bahwa leukemia merupakan salah satu kanker yang
paling banyak ditemui pada anak-anak.

1. Global

Menurut data statistic kanker Surveillance, Epidemiology, and End Results Program
National Cancer Institute prevalensi leukemia sebesar 13.7 per 100.000 populasi per
tahun, dan jumlah kematian leukemia sebesar 6.8 per 100.000 populasi per tahun. Pada
tahun 2017 diperkirakan sebanyak 62.130 kasus baru leukemia dan 24,500 orang akan
meninggalan karena leukemia. Leukemia berada di urutan ke-9 dilihat dari prevalensi
kejadiannya, yaitu sebesar 3.7% dari seluruh kanker di United States.

Prevalensi kasus leukemia pada kelompok usia 65-74 merupakan prevalensi tertinggi
yaitu sebesar 22.4% dengan median usia 66 tahun saat terdiagnosis leukemia. Sedangkan
jumlah kematian akibat leukemia paling tinggi ditemui pada kelompok usia 75-84 tahun
yaitu sebesar 30.2% dengan median usia 75 tahun saat kematian.

Prevalensi kasus leukemia dilihat dari jenis kelamin didapatkan bahwa kejadian pada
laki-laki lebih tinggi dari perempuan yaitu sebesar 17.6%, dan perempuan sebesar
10.7%. Ras yang paling tinggi menderita leukemia adalah ras kaukasian (18.5% laki-laki,
11,3% perempuan).

Kejadian leukemia pada anak (0-19 tahun) menurut CDC pada tahun 2014 adalah sebesar
8.4 per 100.000 ditemukan pada kelompok usia 1-4 tahun dan tingkat kematian akibat
leukemia sebesar 0.8 per 100.000 anak ditemukan pada kelompok usia 15-19 tahun.

2. Indonesia

Menurut data Data Riset Kesehatan Dasar 2013, Badan Litbangkes Kementerian
Kesehatan RI dan Data Penduduk Sasaran, prevalensi kanker di Indonesia berturut-turut
adalah kanker serviks (0.8%), kanker payudara (0,5%), dan kanker prostat (0,2%). Riset

3
yang dilakukan di RS Kanker Dharmais pada tahun 2010-2013 menyebutkan bahwa
leukemia tidak termasuk dalam 10 kanker terbanyak di Indonesia.

Namun menurut Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 menunjukkan prevalensi kanker anak
umur 0-14 tahun sebesar 16.291 kasus, dan jenis kanker yang paling banyak diderita
anak di Indonesia yaitu leukemia dan retinoblastoma. Pada riset yang dilakukan pada
pasien anak di RS Kanker Dharmais pada tahun yang sama menyatakan bahwa leukemia
adalah penyakit dengan jumlah kasus baru dan jumlah kematian terbanyak di RS Kanker
Dharmais.

2.2 Pengertian dan Klasifikasi


A. Pengertian Leukimia

Leukemia adalah penyakit yang disebabkan oleh keganasan sel darah yang berasal dari
sumsum tulang lebih tepatnya pada jaringan hematopoetik, yang ditandai dengan
penggantian elemen sumsum tulang normal oleh sel darah abnormal atau sel leukemik.
Hal ini disebabkan oleh proliferasi tidak terkontrol dari klon sel darah immatur yang
berasal dari sel induk hematopoietik.

Berdasarkan National Academy of Sciences, terdapat lebih dari 100.000 bayi di seluruh
dunia yang lahir dengan keadaan dan kondisi yang berat dari Leukemia (Cooley’s
Anemia Foundation, 2006). Jumlah penderita di Indonesia pada tahun 2008 sudah
mencapai 20.000 orang penderita dari jumlah 200 juta orang penduduk Indonesia secara
keseluruhan (Robert, 2009).

B. Klasifikasi Leukimia

Klasifikasi leukemia berdasarkan lama waktu terjadi penyakit, terdiri atas leukemia akut,
yaitu leukemia yang terjadi dengan proses waktu yang singkat (dalam hitungan hari-
bulan), dan juga leukemia kronik, yaitu leukemia yang terjadi dengan proses waktu yang
lama (dalam hitungan tahun).
Klasifikasi leukemia yang lain adalah berdasarkan jenis sel darah putih matang yang
terbanyak, terdiri atas leukemia granulositik/mielositik dan leukemia limfositik.

1. Leukemia Akut
a) Leukemia Limfositik Akut
Leukemia Limfositik Akut (LLA) adalah suatu penyakit yang berakibat fatal, dimana sel-
sel yang dalam keadaan normal berkembang menjadi limfosit berubah menjadi ganas dan
4
dengan segera menggantikan sel-sel normal di dalam sumsum tulang. LLA merupakan
leukemia yang paling sering terjadi pada anak-anak. Leukemia jenis ini merupakan 25%
dari semua jenis kanker yang mengenai anak-anak di bawah umur 15 tahun. Paling
sering terjadi anak usia antara 3-5 tahun, tetapi kadang terjadi pada usia remaja dan
dewasa. LLA 5 kali lebih sering daripada LMA dengan perkiraan 70-80% leukemia pada
anak merupakan leukemia jenis LLA. Selain itu LLA juga memiliki tingkat kesembuhan
kira-kira 75-80%.

b) Leukemia Mieloid Akut


LMA merupakan leukemia yang mengenai sel stem hematopoetik yang akan
berdiferensiasi ke semua sel myeloid, yang ditandai dengan proliferasi meiloblast
(prekusor granulosit) tidak terkontrol dan hiperplasia sumsum tulang dan limpa.
AML menjadi penyebab sekitar 80% kasus leukemia akut pada dewasa. LMA
merupakan leukemia nonlimfositik yang paling sering terjadi. LMA atau Leukemia
Nonlimfositik Akut (LNLA) lebih sering ditemukan pada orang dewasa (85%)
dibandingkan anak-anak (15%).
Permulaannya mendadak dan progresif dalam masa 1 sampai 3 bulan dengan durasi
gejala yang singkat. Jika tidak diobati, LMA fatal dalam 3 sampai 6 bulan.

2. Leukemia Kronik
a) Leukemia Limfosit Kronik
Leukemia limfositik kronik (chronic lumphocytic leukimia, CLL) ditandai dengan
proliferasi dan akumulasi limfosit kecil, abnormal, dan matur dalam sumsum tulang,
darah perifer, dan jaringan tubuh. Sel abnormal biasanya ada pada limfosit-B, yang tidak
dapat menghasilkan antibodi yang cukup untuk mempertahankan fungsi imun. Hanya
sekitar 5% CLL mengenai sel T (Noonan, 2007). CLL terjadi lebih sering pada dewasa,
khususnya pada lansia (usia median 65). CLL adalah jenis leukemia mayor yang jarang
terjadi.
CLL mempunyai awitan lambat yang sering kali didagnosa selama pemeriksaan fisik
rutin. Jika gejala muncul maka mencakup keluhan samar kelemahan atau malaise.
Kemungkinan temuan klinis mencakup anemia, infeksi, dan pembesaran kelenjar limfe,
limpa, dan hati. Speperti pada leukemia lain, terdapat hiperplasia sumsum tulang. Hitung
eritrosit dan trombosit turun. Hitung leukosit dapat naik atau turun, tetapi selalu terdapat

5
sel abnormal. Pada CLL, pengobatan tidak dibutuhkan sampai bertahun-tahun. Angka
bertahan hdiup dari penyakit ini rata-rata sekitar 7 tahun.

b) Leukemia Mieloid Kronik


Leukemia mieloid kronik (chronic myeloid leukimia, CML) adalah suatu penyakit
dimana sebuah sel di dalam sumsum tulang berubah menjadi ganas dan menghasilkan
sejumlah besar granulosit (salah satu jenis sel darah putih) yang ditandai dengan
ploferasi abnormal semua unsur sumsum tulang. CML biasanya dikaitkan dengan
keabnormalan suatu kromosom yang disebut kromosom Philadephia, yaitu translokasi
seimbang kromosom 22 ke kromosom 9. Penyatuan gen yang dihasilkan oleh translokasi
ini, dikenal sebagai bcr/abl adalah onkogen yang dapat memicu keganasan. Dosisi radiasi
ion yang sangat besar juga dapat mencakup CML pada sebagian pasien (Papadakis &
McPhee, 2007). Abnormalitas genetik yang dinamakan kromosom philadelphia
ditemukan pada 90-95% penderita LMK.
Jenis leukemia ini merupakan sekitar 15% leukemia pada dewasa. CML menyerang pria
lebih sering daripada wanita. Awitan CML biasanya di antara usia 30 atau 40 dan 50
tahun, meskipun juga dijumpai pada anak-anak dan remaja (Huether & McCance, 2008).
Orang yang menderita CML sering kali asimtomatik pada stadium awal dan, pada
kenyataanya, sering kali didiagnosis saat pemeriksaan darah rutin menunjukan hitung sel
abnormal. Anemia menyebabkan kelemahan, keletihan, dan dispnea pada aktivitas.
Limpa sering membesar, menyebabkan ketidaknyamanan. Dalam 3 hingga 4 tahun,
penyakit memburuk menjadi fase yang lebih agresif. Proliferasi sel yang cepat dan
hipermetabolisme menyebabkan keletihan, penurunan berat badan, berkeringat, dan
intoleransi panas. Limpa membesar menyebabkan rasa penuh pada abdomen dan
ketidaknyamanan. Fungsi tormbosit dipengaruhi oleh tahap ini, yang menyebabkan
perdarahan dan peningkatan memar. Akhirnya, penyakit berkembang menjadi leukimia
akut, dengan proliferasi sel blast. Tahap ini disebut sebagai fase krisis blast terminal,
yaitu produksi berlebihan sel muda leukosit, yang ditandai dengan manifestasi konstitusi
signifikan, splenomegali, dan infiltasi sel leukemia ke dalam kulit, kelenjar limfe, tulang,
dan sistem saraf pusat (Huether & McCance, 2008). angka bertahan hidup setelah awitan
tahap akhir hanya sekitar 2 sampai 4 tahun.

2.3 Etiologi dan Faktor Risiko


1. Faktor endogen

6
a. Usia, jenis kelamin, ras
Leukemia Limfositik Akut merupakan leukemia paling sering ditemukan pada
anak-anak, dengan puncak insiden antara usia 3-7 tahun, Leukemia Mielositik
Akut terdapat pada umur 15-39 tahun, sedangkan Leukemia Mielositik Kronik
banyak ditemukan antara umur 30-50 tahun.
Leukemia Limfositik Kronik merupakan kelainan pada orang tua (umur rata-
rata 60 tahun).Insiden leukemia lebih tinggi pada pria dibandingkan pada
wanita.Tingkat insiden yang lebih tinggi terlihat di antara Kaukasia (kulit putih)
dibandingkan dengan kelompok kulit hitam.
Leukemia menyumbang sekitar 2% dari semua jenis kanker. Menyerang 9 dari
setiap 100.000 orang di Amerika Serikat setiap tahun. Orang dewasa 10 kali
kemungkinan terserang leukemia daripada anak-anak. Leukemia terjadi paling
sering pada orang tua. Ketika leukemia terjadi pada anak-anak, hal itu terjadi
paling sering sebelum usia 4 tahun.
Penelitian Lee at all (2009) dengan desain kohort di The Los Angeles County-
University of Southern California (LAC+USC) Medical Centre melaporkan
bahwa penderita leukemia menurut etnis terbanyak yaitu hispanik (60,9%) yang
mencerminkan keseluruhan populasi yang dilayani oleh LCA + USA Medical
Center. Dari pasien non-hispanik yang umum berikutnya yaitu Asia (23,0%),
Amerika Afrika (11,5%), dan Kaukasia (4,6%).

b. Faktor genetic
1) Keturunan
Pada sebagian penderita dengan leukemia, insiden leukemia meningkat
dalam keluarga. Kemungkinan untuk mendapat leukemia pada saudara
kandung penderita naik 2-4 kali. Selain itu, leukemia juga dapat terjadi
pada kembar identik.
2) Kelainan genetic
Trisomy 21 (Down Syndrome) memiliki risiko 95% untuk mengalami
leukemia.Bloom syndrome memiliki risiko 8% untuk mengalami
leukemia.Anemia fanconi memiliki risiko 12% untuk mengalami
leukemia.

2. Faktor eksogen

7
a. Paparan radiasi
Sinar radioaktif merupakan faktor eksternal yang paling jelas dapat
menyebabkan leukemia. Sebelum proteksi terhadap sinar radioaktif rutin
dilakukan, ahli radiologi mempunyai risiko menderita leukemia 10 kali lebih besar
dibandingkan yang tidak bekerja di bagian tersebut.
Penduduk Hirosima dan Nagasaki yang hidup setelah ledakan bom atom tahun
1945 mempunyai insidensi Leukemia Mielositik Akut dan Leukemia Granulositik
Kronik sampai 20 kali lebih banyak. Radiasi elektromagnetik seperti rumah yang
dekat dengan sumber radiasi seperti sutet, ataupun sering terpapar radiasi seperti
radiasi ultraviolet menjadikan Anak memiliki risiko 4,73 kali lebih tinggi untuk
terkena leukemia.
b. Paparan zat kimia
1) Zat-zat kimia (misal benzene, arsen, pestisida, kloramfenikol,
fenilbutazon) diduga dapat meningkatkan risiko terkena leukemia.
Benzena telah terbukti menjadi suatu faktor risiko yang besar untuk terjadi
leukemia. Benzena dapat kita temukan pada makanan, pabrik
perindustrian, dan kosmetik yang digunakan.
2) Merokok merupakan salah satu faktor risiko untuk berkembangnya
leukemia. Rokok mengandung leukemogen yang potensial untuk
menderita leukemia terutama LMA. Banyak penelitian yang menunjukkan
bahwa merokok meningkatkan risiko LMA. Penelitian Hadi, et al (2008)
di Iran dengan desain case control memperlihatkan bahwa merokok lebih
dari 10 tahun meningkatkan risiko kejadian LMA artinya orang yang
menderita LMA kemungkinan 3,81 kali merokok lebih dari 10 tahun
dibanding dengan orang yang tidak menderita LMA. Penelitian di Los
Angles (2002), menunjukkan adanya hubungan antara LMA dengan
kebiasaan merokok. Penelitian lain di Canada oleh Kasim menyebutkan
bahwa perokok berat dapat meningkatkan risiko LMA. Faktor risiko
terjadinya leukemia pada orang yang merokok tergantung pada frekuensi,
banyaknya, dan lamanya merokok.
3) Penggunaan insektisida rumah tangga seperti penggunaan obat nyamuk
dapat menjadi faktor risiko terjadinya leukemia anak. Seperti hasil yang
telah dikemukakan dalam penelitian bahwa anak dengan riwayat
penggunaan insektisida rumah tangga memiliki risiko 5,25 kali lebih tinggi

8
untuk terkena leukemia dibandingkan dengan anak yang tidak memiiki
paparan insektisida.
c. Virus
Beberapa virus tertentu sudah dibuktikan menyebabkan leukemia pada
binatang. Ada beberapa hasil penelitian yang mendukung teori virus sebagai salah
satu penyebab leukemia yaitu enzyme reserve transcriptase ditemukan dalam
darah penderita leukemia. Seperti diketahui enzim ini ditemukan di dalam virus
onkogenik seperti retrovirus tipe C yaitu jenis RNA yang menyebabkan leukemia
pada binatang.
Pada manusia, terdapat bukti kuat bahwa virus merupakan etiologi terjadinya
leukemia. HTLV (virus leukemia T manusia) dan retrovirus jenis cRNA, telah
ditunjukkan oleh mikroskop elektron dan kultur pada sel pasien dengan jenis
khusus leukemia/limfoma sel T yang umum pada propinsi tertentu di Jepang dan
sporadis di tempat lain, khususnya di antara Negro Karibia dan Amerika Serikat.
Peristiwa genetik yang berperan pada transformasi keganasan terjadi akibat
perubahan fungsi onkogen, oleh karena gen tersebut menyandi protein yang
berperan utuk poliferasi dan diferensial sel. Selain itu terjadinya keganasan dapat
disebabkan oleh gangguan delesi atau mutasi tumor suppressor genes yang
kerjanya menghambat pembelahan dan poliferasi sel. Oleh karena itu dalam
keadaan formal harus terdapat keseimbangan antara fungsi tumor supressor
genes.
Ini yang meneyebabkan sel mampu untuk berproliferasi secara tidak terkontrol
yang dapat menjadi suatu keganasan dan sel prekursor yang tidak mampu
berdiferensiasi pada sistem hematopoiesis.
Hal ini menyebabkan limfoblas memenuhi tubuh dan menyebabkan sumsum
tulang gagal untuk berproduksi dan akhirnya menjadi pansitopenia.Seiring
sumsum tulang gagal, sel-sel yang abnormal bersirkulasi dalam tubuh dan masuk
ke organ-organ lain.

2.4 Patofisiologi
Pathway dibuat terpisah.

9
2.5 Tanda dan gejala
1. Anorexia (Penurunan Berat Badan)
Gejala penurunan selera makan dan penurunan berat badan disebabkan
pembesaran dari organ pada abdomen penderita. Sehingga banyaknya makanan yang
bisa masukpun juga berkurang.
2. Petechiae
Pada penderita leukemia sering terjadi mimisan, gusi berdarah, dan bahkan
perdarahan besar pada luka gores yang kecil. Pada kulit terlihat bercak-bercak
kemerahan yang disebabkan perdarahan pada pembuluh darah yang kecil. Hal ini
disebabkan karena kurangnya platelet normal yang berfungsi memberhentikan
perdarahan.
3. Demam
Diawali pada penurunan jumlah leukosit yang menyebakan penurunan daya
tahan tubuh. Sehingga penderita lebih mudah terinfeksi. Zat yang menyebabkan
infeksi disebut pirogen. Pirogen yang harusnya di fagosit namun gagal akrena sel
darah putih yang belum matang dan akhirnya menyebabkan demam.
4. Lemah, letih, dan pucat
Diakibatkan oleh penurunan eritrosit, leukosit, dan trombosit yang
menyebabkan sulpai O2 menurun dan terjadi anemia. Pada anemia, metabolisme
tubuh berubah menjadi anaerob sehingga energi yang dihasilkan menjadi lebih sedikit
dan menyebabkan kelemahan otot serta lemah, letih dan lesu.

2.6 Komplikasi
1. Hepatosplenomegali
Hepatomegali dapat dipicu oleh penyakit didalam organ hati maupun diluar hati.
Salah satu penyakit di luar organ hati yang dapat memicu kondisi ini adalah kanker
darah. Jika dibiarkan dalam jangka waktu yang cukup panjang tanpa ditindaklanjuti
dapat menyerang dan menyebar ke bagian tubuh lain salah satunya organ hati.
Hepatosplenomegali merupakan gangguan yang menyebabkan pembengkakan hati
dan limfa. Kondisi ini membuat limfa dan hati tidak bisa menjalankan fungsinya
dengan baik. Limfa berperan untuk mendeteksi mikroorganisme penyebab penyakit
dan menciptakan antibody untuk melawan infeksi dengan baik. Sedangkan hati
berperan untuk membilas racun dalam darah, mengolah protein dan membantu sistem
imun dalam melawan infeksi.
2. Limfadenopati
Istilah medis untuk menggambarkan adanya pembengkakan pada kelenjar limfe.
Kelenjar limfe sendiri adalah organ tubuh yang berbentuk kacang polong yang
tersebar di bawah ketiak, lipatan paha, leher, dada, dan perut. Kelenjar limfe berfungsi

10
sebagai penyaring cairan limfe yang beredar di seluruh tubuh. Saat membengkak,
diameter kelenjar limfe bisa lebih dari 1 cm. Walaupun beredar seperti layaknya
darah, cairan limfe mempunyai pembuluh atau salurannya sendiri. Cairan limfe juga
tidak berwarna merah, tapi berwarna bening. Cairan limfe berfungsi sebagai
pengangkut lemak dan termasuk lini pertama pertahanan tubuh terhadap serangan
mikroorganisme seperti bakteri, virus, atau parasit. Pada akhirnya, pembuluh limfe
akan bermuara di pembuluh darah yaitu pembuluh darah besar yang ada di rongga
dada.
3. Nyeri tulang dan persendian
Saat sel-sel leukemik meingkat sehingga menumpuk di sumsum tulang akibatnya
mengalami peningkataan tekanan jaringan di sumsum tulang. Salah satu fungsi
sumsum tulang untuk komunikasi antar saraf, dimana dalam menjalankan fungsinya,
sel-sel saraf (neuron) harus berkomunikasi satu dengan lainnya. Komunikasi yang
terjadi adalah penghantaran sinyal-sinyal listrik. Pertama-tama sensor tubuh
menerima rangsangan, lalu sensor yang notabene adalah sel saraf ini mengubahnya
menjadi sinyal listrik. Sinyal-sinyal listrik ini nantinya akan disampaikan ke otak
untuk diolah. Namun, sebelum mencapai otak, sinyal-sinyal ini terlebih dahulu
bermuara ke sumsum tulang belakang, yang kemudian diteruskan ke otak untuk
diolah. Setelah otak mengolahnya maka muncullah perintah, sinyal-sinyal perintah ini
kemudian disalurkan lagi ke sumsum tulang untuk kemudian di sampai ke efektor
tubuh.

2.7 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang leukemia dibedakan antara leukemia akut dan kronis.
 Leukemia Akut
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis leukemia akut:
 Pemeriksaan darah lengkap: anemia, trombositopenia / trombositosis,
leukopenia/leukositosis
 Apusan darah tepi: sel blast (pada AML dan ALL), Auer rods (pada AML)
 Immunophenotyping
 Pemeriksaan sitogenetik

 Fungsi liver: SGOT, SGPT


 Fungsi pembekuan darah
 Aspirasi sumsum tulang atau biopsy

11
Hasil pemeriksaan sumsum tulang pada penderita leukemia akut ditemukan
keadaanhiperselular. Hampir semua sel sumsum tulang diganti sel leukemia (blast),

terdapat perubahan tiba-tiba dari sel muda (blast) ke sel yang matang tanpa sel antara
(leukemic  gap). Jumlah blast minimal 30% dari sel berinti dalam sumsum tulang

 Pungsi lumbal
 Skrining fokus infeksi: foto thoraks, kultur darah, urinalisis, kultur urin
 Panel disseminated intravascular coagulation  (DIC)
 Pemeriksaan Darah Tepi
Pada penderita leukemia jenis LLA ditemukan leukositosis (60%) dan kadang-
kadangleukopenia (25%). Pada penderita LMA ditemukan penurunan eritrosit dan
trombosit.

 Leukemia Kronik

Pada leukemia kronik, pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah:


 Pemeriksaan darah lengkap: anemia, leukositosis (100,000 cells/μL), limfositosis
pada CLL (5,000 limfosit B/μL)
 Apusan darah tepi
 Immunophenotyping
 Aspirasi sumsum tulang (untuk menentukan prognosis)
P a d a p e n d e r i t a L L K ditemukan adanya infiltrasi merata oleh limfosit kecil yaitu
lebih dari 40% dari total sel yangberinti. Kurang lebih 95% pasien LLK disebabkan oleh
peningkatan limfosit B. Sedangkan pada penderita
LGK/LMK ditemukan keadaan hiperselular (jumlah sel – sel muda sangat
banyak) dengan peningkatan jumlah megakariosit dan aktivitas granulopoeisis.
Jumlah granulosit lebih dari 30.000/mm3

 Pemeriksaan sitogenik: Kromosom Philadelphia dan/atau gen fusi BCR/ABL pada


CML
 Pemeriksaan Darah Tepi
Padapenderita LLK ditemukan limfosit yang meningkat (limfositosis lebih
dari 50.000/mm3), sedangkan pada penderitaLGK/LMK ditemukan leukositosis
lebih dari 50.000/mm3

12
2.8 Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan pasien leukemia adalah berupa terapi suportif, terapi kausatif, dan
transplantasi sel induk (sumsum tulang). Tujuan dari penatalaksanaan terapi pasien
leukemia adalah untuk menghancurkan sel-sel leukemia dan membiarkan sumsum tulang
berfungsi secara normal lagi. Terapi suportif dilakukan untuk menjaga balance cairan
melalui infus dan menaikkan kadar Hb pasien melalui transfuse. Terapi suportif dengan
transfusi eritrosit dan trombosit serta penatalaksanaan infeksi pada penderita Leukemia.
Yang paling penting adalah terapi kausatif, dimana tujuannya adalah menghancurkan sel-
sel leukemik dalam tubuh pasien. Terapi kausatif yang dilakukan yaitu kemoterapi.

1. Terapi suportif
Perdarahan dan infeksi merupakan penyebab utama dari kematian pada penderita
leukemia. Karena trombositopenia merupakan faktor risiko utama sebagai penyebab
terjadinya perdarahan, transfusi trombosit harus sudah diberikan pada penderita leukemia
dewasa yang 130 angka trombositnya (AT) kurang dari 50.000/ mm3 dan menunjukkan
tanda-tanda perdarahan. Perdarahan berat sangat mungkin terjadi apabila AT kurang dari
10.000 - 20.000/mm3.
Transfusi PRC (Packed Red Cells) mungkin diperlukan untuk mengontrol anemia. Bila
Hb kurang dari 7% transfusi PRC diperlukan, karena perdarahan sangat mungkin terjadi
pada penderita Leukemia dengan anemia yang berat (Greer et al, 1999).
lnfeksi tetap merupakan bahaya yang besar apabila terjadi pada seorang penderita
Leukemia. lnfeksi dapat disebabkan oleh bakteri dari lingkungan rumah sakit (infeksi
nosokomial), dan juga bakteri dari usus yang menjadi patogen pada saat daya tahan
penderita menurun akibal terjadinya netropenia. Bila seorang penderita Leukemia dalam
keadaan netropenia mengalami demam, harus segera dicari sumber infeksinya, baik
dengan foto thorax maupun biakan darah, urine, sputum kalau mungkin dan usapan dari
lesi pada kulit kalau ada. Setelah itu terapi dengan anibiotik kombinasi harus segera
dimulai, lebih-lebih yang efektif untuk bakteri Gram negatif. Jika demam tetap bertahan
meskipun sudah mendapat antibiotik 7 hari, harus dicari penyebab lain dari demam
tersebut.
2. Terapi kausatif
Salah satu terapi pada leukemia adalah kemoterapi. Kemoterapi adalah penggunaan
preparat antineoplastic sebagai upaya untuk membunuh sel-sel tumor dengan

13
mengganggu fungsi dan reproduksi selular (Smeltzer & Bare, 2002). Sukarja (2000,
dalam Perwitasari 2006) menjalskan bahwa kemoterapi merupakan terapi sistemik yang
dapat digunakan untuk menghambat pertumbuhan atau untuk membunuh sel-sel kanker
dengan obat-obat antikanker yang disebut sitostatika.
Tujuan dari kemoterapi adalah untuk mematikan sisa sel-sel kanker yang mungkin sudah
beredar di dalam tubuh yang tidak terdeteksi oleh pemeriksaan, untuk mencegah
kekambuhan, serta pada stadium yang lanjut, kemoterapi diberikan sebagai terapi yang
utama (Noorwati, 2009) dalam Muhsinin, 2010).
Kemoterapi dapat menimbulkan efek samping berupa infeksi, perdarahan, anemia, mual
dan muntah, anoreksia, gangguan nutrisi, ulserasi mukosa, dan rambut rontok.

Terapi leukemia yang kini juga digunakan meliputi pemakaian agens kemoterapeutik
dengan atau tanpa radiasi kranial, diberikan dalam empat fase, yaitu:

1) Terapi Induksi

Terapi induksi bertujuan untuk mencapai remisi komplit yang didefinisikan sebagai blast
dalam sumsum tulang 1.000/μL, dan trombosit ≥ 100.000/μL . Terapi induksi akan
menghasilkan remisi total atau remisi dengan kurang dari 5% sel-sel leukemia dalam
sumsum tulang. Terapi induksi dimulai segera setelah diagnosis ditegakkan dan
berlangsung selama 4-6 minggu. Obat-obatan yang digunakan untuk induksi pada ALL
(Acute Lymphocytic Leukemia) adalah kortikosteroid (terutama prednisone), vinkristin,
dan L-asparaginase, dengan atau tanpa doksorubisin (daunorubisin).
Sedangkan pada AML (Acute Mieloblastic Leukemia) terapi induksi biasanya
menggunakan 2 jenis obat kemoterapi (cystosine arabinoside atau cytarabine dan
anthracycline antibiotic). Obat-obat ini dimasukkan melalui CVC (Central venous
catheter) atau central line. Selama dilakukan terapi induksi, pasien juga diberikan
allopurinol. Allopurinol bukan obat kemoterapi. Obat ini diberikan untuk membantu
mencegah pembentukan kembali produk-produk sel leukimia yang sudah hancur dan
membantu ginjal untuk mengekskresikannya.

2) Terapi profilaksis SSP

Yang mencegah agar sel-sel leukemia tidak menginvasi SSP. Penanganan SSP terdiri
atas terapi profilaksis melalui kemoterapi intratekal dengan metotreksat, sitarabin, dan
hidrokortison.

14
3) Terapi insensitifikasi atau konsolidasi

Yang menghilangkan sel-sel leukemia yang masih tersisa, diikuti dengan terapi
intensifikasi lambat (delayed intensification), yang mencegah timbulnya klon leukemik
yang resisten. Penyuntikan intratekal yang menyertai kemoterapi sistemik meliputi
pemberian L-asparaginase, metotreksat dosis tinggi atau sedang, sitarabin, vinkristin dan
merkaptopurin, selama periode beberapa bulan.
Terapi konsolidasi atau pasca-induksi diberikan untuk mencegah kekambuhan dan
eradikasi minimal residual leukemia dalam sumsum tulang. Biasanya untuk mencegah
kekambuhan, digunakan regimen yang sama dan dosis kemoterapi yang sama atau lebih
tinggi seperti yang digunakan pada terapi induksi. Pada beberapa kasus dimana risiko
kekambuhannya tinggi, kemoterapi yang intensif perlu untuk dilakukan berbarengan
dengan transplantasi sel induk.

4) Terapi rumatan

yang berfungsi untuk mempertahankan fase remisi. Terapi rumatan dimulai sesudah
terapi indusi dan konsolidasi selesai dan berhasil dengan baik untuk memelihara remisi
dan selanjutnya mengurangi jumlah sel leukemia. Regimen terapi obat kombinasi yang
meliputi pemberian merkaptopurin setiap hari, metotreksat seminggu sekali, dan terapi
intratekal secara periodik diberikan selama 2 tahun kemudian.

5) Reinduksi sesudah relaps

Adanya sel-sel leukemia dalam sumsum tulang, SSP atau testis menunjukkan terjadinya
relaps/kekambuhan penyakit. Terapi pada anak-anak yang mengalami relaps meliputi
terapi reinduksi dengan prednison dan vinkristin, disertai pemberian kombinasi obat lain
yang belum digunakan. Terapi preventif SSP dan terapi rumatannya dilaksanakan setelah
remisi (Wong, 2009).
3. Transplantasi sel induk
Untuk sebagian orang, dosis kemoterapi yang sangat tinggi atau radioterapi dibutuhkan
untuk menyembuhan dan efektif untuk menyembuhkan leukemia. Efek sampingnya
adalah kerusakan dari sumsum tulang dan sel induk darah rusak dan perlu digantikan
setelahnya. Pada kasus ini perlu dilakukan transplantasi sumsum tulang dan sel induk
darah perifer.

15
2.9 Asuhan Keperawatan Leukimia
A. Pengkajian
Data pengkajian terfokus yang terkait dengan leukemia mencakup sebagai berikut:

1. Riwayat kesehatan: keluhan keletihan, kelemahan, dispnea pada aktivitas, infeksi


sering, luka tenggorok, keringat malam, pendarahan gusi, atau pendarahan hidung,
penurunan berat badan baru-baru ini, pajanan terhadap radiasi ionisasi atau bahan
kimia, pengobatan kanker sebelumnya, riwayat gangguan imun, Awitan demam
tinggi yang tiba-tiba, perdarahan yang abnormal .
2. Pemeriksaan fisik : periksa adanya memar, purpura, petekie, ulkus atau lesi pada
kulit dan membrane mukosa, pucat, bunyi jantung dan paru, pemeriksaan
abdomen, darah dalam feses, pembesaran nodus limfe, pembesaran hati atau
limpa, penurunan ventilasi.
3. Pemeriksaan laboratorium : hitung darah dengan diferensial, pemeriksaan sumsum
tulang.
4. Pencitraan
5. Prosedur diagnostic

B. Diagnosa Keperawatan, Outcome, dan Intervensi


1. Risiko Infeksi
Diagnosa keperawatan : ketidakefektifan perlindungan diri / resiko infeksi
berhubungan dengan neutropenia atau leukositosis sekunder akibat leukemia atau
pengobatan,
Faktor Risiko :
a. Penyakit kronik
b. Pertahanan primer tidak adekuat statis cairan tubuh, trauma jaringan, prosedur
invasive.
c. Pertahanan sekunder tidak adekuat sel darah putih imatur dengan granulosit yang
rendah dan hitung limfosit imatur/abnormal ; imunosupresi, sumsum tulang; agen
farmasi

Hasil yang diharapkan :

16
Infeksi akan dicegah atau akan ditemukan dini dan diobati secara efektif seperti
dibuktikan dengan hitung neutrofil lebih dari 1.000/mm3, tidak ada demam, dan tidak
ada kesulitan pernapasan.
Mendemonstrasikan Teknik atau perubahan gaya hidup untuk meningkatkan
lingkungan yang aman dan mencapai penyembuhan tepat waktu.

Intervensi  :
a. Kaji penyebab demam sebelum memulai terapi dengan memperoleh specimen
darah, sputum, urine, tempat pemasangan jalur vena sentral, dan sumber potensial
lainnya dari infeksi untuk memeriksa kultur.
b. Berikan antibiotic sesuai program. Terapi terdiri atas antibiotic spectrum luas IV
multiple yang diberikan pada jadwal bertukar-tukar. Berikan analgesic sesuai
program untuk meredakan ketidaknyamanan, hindari aspirin jika klien
trombositopenia.
c. Prosedur invasive seharusnya dihindari jika mungkin. Berikan dekontaminan kulit
secara cermat sebelum pungsi vena. Jaga penutup steril kateter vena sentral dan
lakukan perawatan balutan rutin.
d. Monitor klien zecara ketat untuk memeriksa gejala infeksi jamur atau virus
(misalnya peningkatan frekuensi napas, rules, dispnea, perubahan warna mukosa
mulut). Monitor frekuensi napas dan auskultasi suara napas secara teratur. 

2. Penurunan Curan Jantung


Diagnosa keperwatan : Penurunan curah jantung yang berhubungan dengan
trombositopenia sekunder akibat leukemia maupun pengobatan.

Hasil yang diharapkan : perdarahan akibat cedera, seperti jatuh, pungsi, tersayat atau
bahaya lingkungan lainnya, akan dapat dicegah atau akan didiagnosis dan diobati
secara berhasil seperti yang dibuktikan dengan tidak adanya perdarahan dan hitung
trombosit lebih dari 20.000/mm3.

Intervensi :
a. Berikan sikat gigi lembut untuk kebersihan mulut, hindari flossing (benang
gigi), bulu sikat keras dan obat kumur komersial yang mengandung alcohol.

17
b. Instruksikan klien untuk menghindari memukul atau mengorek hidung,
mengejan saat defekasi, menggunakan semprot vagina atau memakai tampon,
atau memakai alat cukur.
c. Jangan memberikan suntikan IM atau SK.
d. Jangan memasukkan supositoria rectal.
e. Jangan memberikan obat yang mengandung aspirin.
f. Hindari kateter urine.
g. Gunakan matras yang mengurangi tekanan, dan ubah posisi klien secara sering
untuk mencegah ulkus tekan/dekubitus. Gunakan ayunan/timangan tempat
tidur untuk melindungi anggota gerak.
h. Ajarkan klien dan anggota keluarga terdekat untuk melakukan tindakan
pencegahan selama periode trombositopenia.
i. Monitor klien paling tidak setiap 4 jam untuk gejala perdarahan.

3. Keletihan
Diagnosa keperawatan : Keletihan yang berhubungan dengan efek samping
pengobatan, kadar Hb rendah, nyeri, kurang tidur, atau penyebab lainnya.

Hasil yang diharapkan :


klien akan melaporkan letih yang berkurang, merencanakan periode istirahat adekuat,
dan mampu melakukan peningkatan sejumlah aktivitas biasa dengan menurunkan
bantuan dari orang lain.
Menunjukan tanda penurunan tanda fisiologis intoleran ( denyut nadi, pernafasan, dan
tekanan darah tetap dalam rentang normal klien)

Intervensi : 
a. Kaji anemia, fisik, psikologis, dan penyebab letih terkait pengobatan.
b. Dorong latihan fisik untuk menjaga kekuatan.
c. Minta ahli terapi fisik untuk membantu latihan penguatan dan latihan
penguatan di tempat tidur.
d. Advokasi untuk pengurangan nyeri adekuat, minimalkan gangguan/interupsi,
dan batasi pengunjung ketika istirahat dibutuhkan.

4. Ketidakseimbangan Nutrisi : Kurang dari Kebutuhan Tubuh

18
Diagnosa keperawatan : Ketidakseimbangan Nutrisi : Kurang dari Kebutuhan Tubuh
yang berhubungan dengan anoreksia, nyeri, dan, keletihan.

Hasil yang diharapkan : klien akan menjaga nutrisi yang adekuat dan
mempertahankan berat badan seperti dibuktikan dengan berat badan stabil, asupan
kalori adekuat, dan mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit.

Intervensi : 
a. Berikan antimetik sesuai program, selama 24 jam jika perlu untuk mencegah
mual dan muntah.
b. Berikan analgesic local dan IV, sesuai program untuk mengurangi nyeri
akibat mukositis.
c. Diskusikan kebutuhan diet harian dengan klien dan sediakan makanan tinggi
karbohidrat serta suplemen oral.

5. Gangguan Citra Tubuh


Diagnosa keperawatan : Gangguan Citra Tubuh yang berhubungan dengan alopesia,
penurunan berat badan, dan keletihan.

Hasil yang diharapkan : klien akan mampu menunjukkan dan mendiskusikan


pemahaman kondisi penyakit dan karakteristik sementara dari perubahan citra tubuh
dan energy.

Intervensi :
a. Sebelum pengobatan informasikan klien mengenai potensi kehilangan rambut
seluruh tubuh. Dorong pemakaian syal, topi, wig sesuai keinginan.
b. Jelaskan sifat sementara alopesia, meskipun rambut mungkin memiliki warna
dan tekstur berbeda ketika kembali.

2.10 Telaah Jurnal Leukimia


Judul Jurnal
Kelelahan Pada Anak Dengan Leukemia Limfoblastik Akut Dalam Menjalani
Kemoterapi Fase Induksi

19
Tahun Jurnal

2020

Pendahuluan
Leukemia limfoblastik akut (LLA) menjadi jenis penyakit leukemia yang paling banyak
terjadi pada anak (American Cancer Society, 2015). Pada tahun 2016 di Amerika
diperkirakan muncul 60.140 kasus baru leukemia dan sekitar 75% nya adalah kasus
leukemia limfoblastik akut (American Cancer Society, 2016). Selain itu, di Cina
leukemia termasuk kedalam penyakit kanker yang paling banyak terjadi pada anak dan
remaja yaitu sekitar 20 – 50 juta anak setiap tahunnya (Wu et al., 2010). Indonesia
memiliki sekitar 11.000 kasus kanker anak setiap tahunnya dan sepertiga dari kanker
anak adalah leukemia dengan jenis terbanyak adalah LLA (Kementerian Kesehatan RI,
2015). Pengobatan yang berkembang pada anak dengan LLA mampu membuat anak
survive dengan LLA sehingga kelangsungan hidup anak meningkatkan (Ye et al., 2016).
Tingginya tingkat kelangsungan hidup disekitar 80% pada pasien anak dengan leukemia
(Yee et al., 2013). Kemoterapi menjadi pengobatan yang paling banyak diberikan tanpa
disertai dengan Tindakan pembedahan dan radioterapi (Hockenberry & Wilson, 2011).

Meningkatnya kelangsungan hidup anak LLA dengan melakukan pengobatan kemoterapi


tidak seiring dengan penurunan kejadian efek samping dari pengobatan tersebut. Salah
satunya efek samping dari kemoterapi yang palin umum terjadi adalah kelelahan
(Hilarius et al., 2011). Kelelahan bermakna sebagai perasaan lelah yang luar biasa
berhubungan dengan tingginya tingkat tekanan dan ketidakseimbangan terhadap aktvitas
pasien. Kelelahan ini tidak hilang dengan tidur atau beristirahat (Weis, 2011). Prevalensi
kelelahan pada pasien kanker berkisar 59% sampai 100% yang tergantung pada status
klinik kanker (Weis, 2011). Penelitian lainnya yang dilakukan pada anak usia sekolah di
Iran dengan LLA yang menjalani kemoterapi didapatkan peningkatan intensitas
kelelahan setelah satu jam menjalani kemoterapi dengan prevalensi kejadian 97% anak
mengalami kelelahan (Bastani et al., 2015).

Penelitian fenomenologi yang dilakukan oleh Rahmawaty et al. (2014) mengidentifikasi


remaja yang menjalani kemoterapi dan mendapatkan kelelahan menjadi hal yang
dirasakan remaja selama menjalani kemoterapi. Kelelahan dibedakan menjadi sentral dan
perifer. Kelelahan sentral berasal dari area otak yang berhubungan dengan suasana hati,
emosi dan rangsangan psikologis dan berhubungan dengan peningkatan pelelapasan

20
serotonin. Sedangkan kelelahan perifer berhubungan dengan mekanisme seperti
transmisi neuromuskuler dan propagansi impuls, disfungsi reticulum sarkoplasma, dan
faktor metabolic lainnya yang mengganggu penyediaan energi dan kontraksi otot (Walter
et al., 2015).

Identifikasi dan penanganan terhadap kelelahan yang terjadi pada anak dengan LLA
sangat penting dilakukan. Jika gejala ini terjadi dalam waktu lama, maka akan
menghambat kemampuan anak beraktivitas secara penuh. Bahkan setelah selesai
pengobatan, kelelahan ini akan mengganggu peran serta aktivitas anak yang akan
membuat hidup anak lebih bermakna (Hilarius et al., 2011). Selain itu kelelahan akan
sangat berdampak terhadap kehidupan dan mempengaruhi kualitas hidup anak
(Rahmawaty et al., 2014). Kelelahan pada anak dengan kanker tidak mudah dibedakan
dengan rasa lelah karena aktivitas sehari-hari tanpa evaluasi diagnostik yang cermat
(Barsevick et al., 2013).

Pasien anak dengan kanker dan keluarga tidak melaporkan kelelahan kepada dokter dan
perawat karena mereka mungkin berfikir kelelahan adalah gejala yang biasa muncul
karena kemoterapi sehingga mereka harus beradaptasi dan mengurangi harapan mereka
kelelahan ini akan hilang atau berkurang (Bastani et al., 2015) Akibatnya kelelahan
secara terus menerus diabaikan, kurang ditemukan, dan tidak ditangani khususnya di
Indonesia. Beda penelitian ini dengen penelitian sebelumnya adalah Penelitian ini tidak
menggambarkan kelelahan yang terjadi pada anak dalam satu waktu, tapi dalam beberapa
waktu yaitu selama kemoterapi fase induksi. Sehingga dapat diketahui kapan kelelahan
muncul dan trend peningkatan keparahan kelelahan yang terjadi pada anak.

Pentingnya penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi kelelahan yang terjadi pada anak
setiap hari selama menjalani kemoterapi fase induksi. Karena fase induksi merupakan
fase pertama kemoterapi dan memberikan high dose obat kemoterapi (Fernandes, 2019).
Apabila tidak diidentifikasi dari awal akan memperburuk kelelahan yang dirasakan anak
dan akan berlanjut pada fase-fase kemoterapi selanjutnya. Penelitian ini bertujuan untuk
menggambarkan kelelahan yang terjadi pada anak usia 7-18 tahun (usia sekolah dan usia
remaja) yang menjalani kemoterapi fase induksi.

Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitik repeated measure.
Melakukan pengukuran atau observasi variabel dalam beberapa waktu. Tempat

21
penelitian di Rumah sakit Umum Arifin Achmad dan Rumah Sakit Ibu dan Anak Eria
Bunda Kota Pekanbaru yang dilakukan pada tahun 2017 dengan waktu pengambilan data
3 bulan. Seluruh anak dengan LLA yang menjalani kemoterapi fase induksi menjadi
populasi dalam penelitian. Jumlah sampel 62 orang yang didapat dari rumus
penghitungan sampel untuk penelitian yang bertujuan mengetahui nilai mean suatu
variabel. Sampel terdiri dari anak usia sekolah (7-12 tahun) dan anak usia remaja (13-18
tahun) dengan LLA yang menjalani kemoterapi fase induksi. Sampel disyaratkan belum
pernah mendapatkan kemoterapi sebelumnya dan dalam kesadaran penuh.

Seluruh responden berpartisipasi penuh dalam penelitian ini dan tidak ada yang drop out.
Nonprobability sampling jenis consecutive sampling digunakan dalam teknik
pengambilan sampel. Teknik ini dilakukan dengan memilih semua individu yang ditemui
dan memenuhi kriteria pemilihan yang telah ditetapkan hingga jumlah sampel yang
diinginkan terpenuhi. Kuesioner data demografi (nama, usia, dan jenis kelamin), dan
Skala Fatigue Onkologi Anak_Allen (Skala FOA-A) digunakan dalam mengumpulkan
data penelitian. Uji validitas dan reablilitas terhadap instrument skala FOA-A didapatkan
hasil validity statistics dengan r item 0,509-0,884 dan reliability statistics yaitu 0,948
dengan hasil cronbach’s alpha 0,948. Hal ini menunjukkan bahwa instrument ini valid
dan reliabel untuk digunakan (Allenidekania, 2009).

Keterangan:

A: Penilaian kelelahan pada anak satu hari sebelum kemoterapi

B: Penilaian kelelahan pada anak selama mendapatkan obat kemoterapi (skore kelelahan
selama lima hari diambil nilai rata-ratanya)

C: Penilaian kelelahan pada anak setelah selesai mendapatkan obat kemoterapi

Instrumen yang digunakan untuk mengukur kelelahan anak adalah Skala Fatigue
Onkologi Anak (Skala FOA-A). Instrumen ini memiliki 10 item pernyataan yang berupa
gambaran gejala kelelahan yang dirasakan oleh anak. Pada instrumen, responden akan

22
menjawab seberapa sering merasakan gejala kelelahan. Alternatif jawaban menggunakan
4 poin skala likert, yaitu 0=tidak pernah merasakan, 1=jarang merasakan, 2=sering
merasakan, dan 3=selalu merasakan. Penilaian akan ditransformasikan kedalam rentang
nilai 0-30. Dikatakan mengalami kelelahan bila didapatkan skor kelelahan pada
instrumen lebih dari 6. Semakin tinggi total skor, menunjukkan semakin berat kelelahan
yang dirasakan. Pengambilan data dilakukan selama proses kemoterapi (tujuh hari) yaitu
mulai dari satu hari sebelum menjalani kemoterapi, lima hari selama menjalani
kemoterapi, dan satu hari setelah kemoterapi selesai diberikan sesuai dengan skema 1.

Dalam pengumpulan data peneliti selalu menerapkan protection from discomfort and
harm dengan selalu melihat kondisi pasien. Ketika responden terlihat sangat lelah,
peneliti tidak memaksa responden untuk tetap mengisi kuesioner sendiri dan
memfasilitasi responden untuk mengisi dengan cara menjawab pertanyaan yang ada
dikuesioner secara verbal yang dibacakan peneliti atau orangtua. Data yang sudah
didapat diperiksa kembali kelengkapannya bersama responden. Data dimasukkan dan
diberi kode. Kemudian diolah kedalam aplikasi pengolahan data untuk dianalisis. Peneliti
menggunakan sistem komputerisasi dengan melakukan deskriptif numerik untuk
mengolah data. Dalam penelitian ini peneliti memastikan setiap jawaban yang diberikan
responden dengan mengsingkronkan jawaban dengan kondisi fisik yang berhubungan
dengan kelelahan responden. Sehingga didapatkan hasil yang mewakili kondisi
responden.

Hasil dan Pembahasan

Tabel 1 menunjukkan distribusi responden berdasarkan usia yaitu usia anak sekolah (7-
12 tahun) mendominasi usia responden (72,6%) dan dari jenis kelamin sebagian besar
responden adalah laki-laki (51,6%). Hasil penelitian ditemukan gambaran rerata skor

23
kelelahan sebelum kemoterapi, selama kemoterapi, dan setelah kemoterapi. Rerata skor
mengalami penambahan ± 6 skor pada anak sekolah dan remaja selama mendapatkan
kemoterapi dan setelah mendapatkan kemoterapi. Bila dihitung terjadi peningkatan 11
skor pada anak sekolah dan 12 skor pada anak remaja selama satu siklus kemoterapi.
Peningkatan skor kelelahan anak dimulai dari hari ketiga kemoterapi sampai satu hari
setelah kemoterapi. Dapat dilihat rerata skor kelelahan pada anak paling tinggi setelah
menjalani kemoterapi. Rerata skor kelelahan pada anak tergambar pada (grafik 1)

Tabel 2 menunjukkan rerata skor kelelahan pada anak usia remaja (18,7) lebih tinggi dari
rerata skor anak usia sekolah (11,6) yang sedang menjalani kemoterapi. Prevalensi
terjadinya kelelahan pada anak yang menjalani kemoterapi adalah 98% dari seluruh
sampel. Prevalensi anak yang mengalami kelelahan 98% dengan didapatkan rerata skor
kelelahan yang dialami anak lebih dari 6. Hal ini menunjukkan bahwa anak yang
menjalani kemoterapi mengalami kelelahan. Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan Yılmaz, Gerçeker and Muslu, (2016) yang menyebutkan rerata kelelahan yang
dialami anak yang menjalani pengobatan kemoterapi menunjukkan terjadinya kelelahan.

24
Sekitar 40 % pasien kanker yang mendapatkan kemoterapi mengalami kelelahan (Bastani
et al., 2015).

Sesuai dengan hasil penelitian ini, pasien anak yang menjalani kemoterapi didapatkan
merasakan kelelahan. Gambaran skor kelelahan yang dialami responden usia sekolah dan
remaja yang menjalani kemoterapi mengalami peningkatan setiap harinya. Skor
kelelahan selama dan setelah kemoterapi lebih tinggi dari skor kelelahan sebelum
mendapatkan kemoterapi. Peningkatan skor kelelahan menunjukkan semakin berat
kelelahan responden selama menjalani kemoterapi. Anak usia remaja memiliki skor
kelelahan lebih tinggi dari usia sekolah, dapat disimpulkan bahwa kelelahan yang
dirasakan anak usia remaja lebih berat dari pada anak usia sekolah Pada hari setelah
mendapatkan kemoterapi (H7) masih terjadi peningkatan skor kelelahan pada anak usia
sekolah dan remaja. Tingkat kelelahan berfluktuasi selama menjalani kemoterapi.
Kelelahan akan meningkat selama mendapatkan kemoterapi dan akan terus meningkat
setelah mendapatkan kemoterapi (Erickson et al., 2010; Yasin and Al-hamad, 2015).
Rerata skor kelelahan selama kemoterapi adalah 3,76 dan setelah satu minggu
mendapatkan kemoterapi meningkat menjadi 5,71. Dengan demikian skor kelelahan
meningkat sebesar 52%. Kelelahan menjadi fenomena kompleks yang secara signifikan
dapat mempengaruhi kualitas hidup anak selama perawatan, setelah perawatan dan pada
fase bertahan hidup (Kestler and Lobiondowood, 2012).

Kesimpulan Jurnal
Dari penelitian yang dilakukan terjadi kelelahan pada anak dengan leukemia limfoblastik
akut yang menjalani kemoterapi fase induksi. Hampir seluruh anak dan remaja
mengalami kelelahan dalam mejalani kemoterapi (98%). Kelelahan terjadi selama
menjalani kemoterapi dan terus meningkat hingga hari terakhir kemoterapi. Terjadinya
kelelahan juga berlanjut setelah kemoterapi selesai karena didapatkan adanya
peningkatan skor kelelahan pada anak setelah menjalani kemoterapi. Perlu eksplorasi
intervensi untuk mengatasi atau meminimalkan kelelahan yang dialami anak sesuai tahap
perkembangannya agar meningkatkan kualitas hidup anak.

Sumber Jurnal

Fernandes, Andrye. 2020. Kelelahan pada Anak dengan Leukemia Limfoblastik Akut
dalam Menjalani Kemoterapi Fase Induksi. Jurnal Kesehatan Perintis (Perintis’s Health
Journal) 7 (1) 2020: 69-74.

25
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Leukemia adalah penyakit yang disebabkan oleh keganasan sel darah yang berasal dari
sumsum tulang lebih tepatnya pada jaringan hematopoetik, yang ditandai dengan
penggantian elemen sumsum tulang normal oleh sel darah abnormal atau sel leukemik.
Klasifikasi leukemia berdasarkan lama waktu terjadi penyakit, terdiri atas leukemia akut,
yaitu leukemia yang terjadi dengan proses waktu yang singkat (dalam hitungan hari-
bulan), dan juga leukemia kronik, yaitu leukemia yang terjadi dengan proses waktu yang
lama (dalam hitungan tahun). Etiologi dari penykit leukimia yaitu dapat berupa faktor
endogen (bersifat herediter dan kelainan genetk), faktor eksogen (radiasi dan zat kimia)
dan virus. Patifisiologi dari leukimia yaitu sejumlah besar sel menggumpal pada tempat
asalnya lalu menyebar ke organ hematopoetik dan berlanjut ke organ yang lebih besar
dan menyebabkan hematomegali dan splenomegali. Tanda dan gejala yang menyebabkan
leukimia antara lain anorexia, petechiae, demam, lemah, letih dan pucat. Pengobatan
penyakit leukimia dilakukan dengan kemoterapi, radiasi dan transplantasi sum-sum
tulang belakang.

3.2 Saran
Sebaiknya kita menjaga kesehatan dengan baik. Selain itu penyakit leukimia bisa dicegah
dengan mengonsumsi vitamin A, vitamin C, buah maupun sayuran yang kaya akan serat.

26
DAFTAR PUSTAKA

Adiwijono. (1999). Penatalaksanaan Leukemia Mieloblastik Akut: Bagian ilmu penyakit


dalam fakultas kedokteran UGM. 129–135.

Akerlof. (1970). Penyakit Leukemia Myeloid Akut. Journal of Chemical Information and
Modeling, 53(9), 1689–1699.

Dosen Keperawatan Medikal-Bedah Indonesia.2016. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN


MEDIKAL BEDAH : DIAGNOSIS NANDA-I 2015-2017 INTERVENSI NIC HASIL NOC. Jakarta:
EGC.

Fernandes, Andrye. 2020. Kelelahan pada Anak dengan Leukemia Limfoblastik Akut dalam
Menjalani Kemoterapi Fase Induksi. Jurnal Kesehatan Perintis (Perintis’s Health Journal) 7
(1) 2020: 69-74.

Kusumawati, N. N. (2013). Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat


Perkotaan Pada Penderita Leukemia Limfositik Akut Yang Mengalami Mual-Muntah Di
Rsup Fatmawati Jakarta. Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.

Ii, B. A. B., & Pengertian, A. (2006). Tinjauan pustaka Leukemia. 1–33.

Santosa, J. (2018). Acute Myeloid Lekemia. Makalah Pengalaman Belajar Lapangan Acute
Myeloid Lekemia, 1002005118, 1–51.

27

Anda mungkin juga menyukai