Anda di halaman 1dari 23

ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN

PASIEN DENGAN LASERASI MUSKULOSKELETAL

Disusun Oleh: Kelompok Tiga (3)

1. Erlina Rosida (PO.71.20.4.16.007)


2. Lilis Wulandari (PO.71.20.4.16.019)
3. Putri Agesti (PO.71.20.4.16.022)
4. Siffa Nur A. (PO.71.20.4.16.032)
5. Suci Maudy A. (PO.71.20.4.16.034)
Dosen Pembimbing:
Ns. Eva Susanti, S.Kep., M. Kes.

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN PALEMBANG
JURUSAN KEPERAWATAN
PRODI DIV KEPERAWATAN
2018

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
dan rahmat, serta penyertaan-Nya, sehingga makalah Keperawatan Kegawatdaruratan
I dengan Judul Trauma Spinalis “Laserasi Muskuloskeletal”, ini dapat kami selesaikan.
Dalam penulisan makalah ini kami berusaha menyajikan bahan dan
bahasa yang sederhana, singkat serta mudah dicerna isinya oleh para pembaca. Kami
menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna serta masih terdapat kekurangan dan
kekeliruan dalam penulisan makalah ini. Maka kami berharap adanya masukan dari
berbagai pihak untuk perbaikan dimasa yang akan mendatang.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan
dipergunakan dengan layak sebagaimana mestinya.

Palembang, September 2018

Penyusun

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................................................ 2
1.1 Latar Belakang .......................................................................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................................................... 4
1.3 Tujuan ........................................................................................................................................ 4
1.3.1 Mengetahui definisi dari trauma spinal. ...................................................................................... 4
1.3.2 Mengetahui klasifikasi dan etiologi dari trauma spinal. .............................................................. 4
1.3.3 Mengetahui bagaimana pemeriksaan penunjang dari pasien trauma spinal. ............................... 4
1.3.4 Mengetahui asuhan keperawatan pada pasien trauma spinal. ...................................................... 4
A. Definisi ............................................................................................................................................ 5
B. Klasifikasi ....................................................................................................................................... 5
C. Etiologi ............................................................................................................................................ 8
D. Pathway .......................................................................................................................................... 9
E. Faktor Resiko ................................................................................................................................. 9
F. Manifestasi Klinis .......................................................................................................................... 9
G. Pemeriksaan Penunjang .............................................................................................................. 10
H. Penatalaksanaan .......................................................................................................................... 10
I. Komplikasi ................................................................................................................................... 12
J. Prognosis....................................................................................................................................... 12
K. Pengkajian .................................................................................................................................... 13
L. Diagnosa Keperawatan................................................................................................................ 13
M. Intervensi Keperawatan.......................................................................................................... 14
Kesimpulan ........................................................................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................... 23

3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Trauma merupakan suatu cedera atau rupadaksa yang dapat mencederai fisik
maupun psikis. Trauma jaringan lunak muskuloskeletal dapat berupa vulnus (luka),
perdarahan, memar (kontusio), regangan atau robekan parsial (sprain), putus atau
robekan (avulsi atau rupture), gangguan pembuluh darah dan gangguan saraf.
Cedera dari trauma muskuloskeletal biasanya memberikan disfungsi struktur
disekitarnya dan struktur pada bagian yang dilindungi atau disangganya. Gangguan
muskuloskeletal yang paling sering terjadi akibat suatu trauma adalah kontusio,
strain, sprain, dislokasi dan subluksasi.
1.2Rumusan Masalah
1.2.1 Apa definisi dari trauma spinal?
1.2.2 Apa klasifikasi dan etiologi dari trauma spinal?
1.2.3 bagiamana pemeriksaan penunjang dari trauma spina?
1.2.4 Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan trauma
spinal?
1.3Tujuan
1.3.1 Mengetahui definisi dari trauma spinal.
1.3.2 Mengetahui klasifikasi dan etiologi dari trauma spinal.
1.3.3 Mengetahui bagaimana pemeriksaan penunjang dari pasien trauma spinal.
1.3.4 Mengetahui asuhan keperawatan pada pasien trauma spinal.

4
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Definisi
Trauma pada medula spinalis adalah cedera yang mengenai servikalis, vertebra,
dan lumbal akibat trauma, seperti jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas,
kecelakaan olahraga, dan sebagainya. (Arif Muttaqin, 2005, hal. 98)
Trauma spinal adalah injuri/cedera/trauma yang terjadi pada spinal, meliputi
spinal collumna maupun spinal cord, dapat mengenai elemen tulang, jaringan
lunak, dan struktur saraf pada cervicalis, vertebralis dan lumbalis akibat trauma
berupa jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olah raga, dan
sebagainya. Trauma spinalis menyebabkan ketidakstabilan kolumna vertebral
(fraktur atau pergeseran satu atau lebih tulang vertebra) atau injuri saraf yang aktual
maupun potensial (kerusakan akar-akar saraf yang berada sepanjang medula
spinalis sehingga mengakibatkan defisit neurologi)

B. Klasifikasi

Klasifikasi cedera medulla spinalis berdasarkan lokasi cedera, antara lain :

a. Cedera Cervikal

5
 Lesi C1-C4
Pada lesi C1-C4, otot trapezius, sternomastoideus, dan otot platisma masih
berfungsi. Otot diafragma dan interkostal mengalami paralisis dan tidak ada
gerakan volunter (baik secara fisik maupun fungsional). Di bawah transeksi
spinal tersebut. Kehilangan sensori pada tingkat C1-C3 meliputi oksipital,
telinga dan beberapa daerah wajah.
Pasien pada quadriplegia C1, C2 dan C3 membutuhkan perhatian penuh
karena ketergantungan terhadap ventilator mekanis. Orang ini juga
tergantung semua aktivitas kebutuhan sehari-harinya. Quadriplegia pada C4
mungkin juga membutuhkan ventilator mekanis tetapi dapat dilepas. Jadi
penggunaannya secara intermitten saja.
 Lesi C5
Bila segmenC5 medulla spinalis mengalami kerusakan, fungsi diafragma
rusak sekunder terhadap edema pascatrauma akut. Paralisis intestinal dan
dilatasi lambung dapat disertai dengan depresi pernafasan. Quadriplegia
pada C5 biasanya mengalami ketergantungan dalam melakukan aktivitas
seperti mandi, menyisir rambut, mencukur, tetapi pasien mempunyai
koordinasi tangan dan mulut yang lebih baik.
 Lesi C6
Pada lesi segmen C6, distress pernafasan dapat terjadi karena paralisis
intestinal dan edema asenden dari medulla spinalis. Biasanya akan terjadi
gangguan pada otot bisep, triep, deltoid dan pemulihannya tergantung pada
perbaikan posisi lengan. Umumnya pasien masih dapat melakukan aktivitas
higiene secara mandiri, bahkan masih dapat memakai dan melepaskan baju.
 Lesi C7
Lesi medulla pada tingkat C7 memungkinkan otot diafragma dan aksesoris
untuk mengkompensasi otot abdomen dan interkostal. Fleksi jari tangan
biasanya berlebihan ketika kerja refleks kembali. Quadriplegia C7
mempunyai potensi hidup mandiri tanpa perawatan dan perhatian khusus.
Pemindahan mandiri, seperti berpakaian dan melepas pakaian melalui
ekstrimitas atas dan bawah, makan, mandi, pekerjaan rumah yang ringan dan
memasak.
 Lesi C8

6
Hipotensi postural bisa terjadi bila pasien ditinggikan pada posisi duduk
karena kehilangan control vasomotor. Hipotensi postural dapat
diminimalkan dengan pasien berubah secara bertahap dari berbaring ke
posisi duduk. Jari tangan pasien biasanya mencengkram. Quadriplegia C8
harus mampu hidup mandiri, mandiri dalam berpakaian, melepaskan
pakaian, mengemudikan mobil, merawat rumah, dan perawatan diri.
b. Cedera Torakal
 Lesi T1-T5
Lesi pada region T1-T5 dapat menyebabkan pernafasan dengan
diafragmatik. Fungsi inspirasi paru meningkat sesuai tingkat penurunan lesi
pada toraks. Hipotensi postural biasanya muncul. Timbul paralisis parsial
dari otot adductor pollici, interoseus, dan otot lumrikal tangan, seperti
kehilangan sensori sentuhan, nyeri, dan suhu.
 Lesi T6-T12
Lesi pada tingkat T6 menghilangkan semua refleks adomen. Dari tingkat T6
ke bawah, segmen-segmen individual berfungsi, dan pada tingkat 12, semua
refleks abdominal ada. Ada paralisis spastik pada tubuh bagian bawah.
Pasien dengan lesi pada tingkat torakal harus befungsi secara mandiri.
Batas atas kehilangan sensori pada lesi torakal adalah:
 T2 Seluruh tubuh sampai sisi dalam dari lengan atas
 T3 Aksilla
 T5 Putting susu
 T6 Prosesus xifoid
 T7, T8 Margin kostal bawah
 T10 Umbilikus
 T12 Lipat paha
c. Cedera Lumbal
 Lesi L1-L5
Kehilangan sensori lesi pada L1-l5 yaitu:
 L1 Semua area ekstrimitas bawah, menyebar ke lipat paha & bagian
belakang dari bokong.
 L2 Ekstrimitas bagian bawah kecuali sepertiga atas aspek anterior paha
 L3 Ekstrimitas bagian bawah dan daerah sadel.

7
 L4 Sama dengan L3, kecuali aspek anterior paha.
 L5 Aspek luar kaki dan pergelangan kaki serta ekstrimitas bawah dan
area sadel.
d. Cedera Sakral
 Lesi S1-S6
Pada lesi yang mengenai S1-S5, mungkin terdapat beberapa perubahan
posisi dari telapak kaki. Dari S3-S5, tidak terdapat paralisis dari otot kaki.
Kehilangan sensasi meliputi area sadel, skrotum, dan glans penis, perineum,
area anal, dan sepertiga aspek posterior paha.
e. Klasifikasi berdasarkan keparahan
1) Klasifikasi Frankel :
Grade A : motoris (-), sensoris (-)
Grade B : motoris (-), sensoris (+)
Grade C : motoris (+) dengan ROM 2 atau 3, sensoris (+)
Grade D : motoris (+) dengan ROM 4, sensoris (+)
Grade E : motoris (+) normal, sensoris (+)

2) Klasifikasi ASIA (American Spinal Injury Association)


Grade A : motoris (-), sensoris (-) termasuk pada segmen sacral
Grade B : hanya sensoris (+)
Grade C : motoris (+) dengan kekuatan otot < 3
Grade D : Motoris (+) dengan kekuatan otot > 3
Grade E : motoris dan sensoris normal
C. Etiologi
Menurut Arif muttaqin (2005, hal. 98) penyebab dari cedera medula spinalis dalah:
1) Kecelakaan lalu lintas
2) Kecelakaan olahraga
3) Kecelakaan industi
4) Kecelakaan lain, seperti jatuh dari pohon atau bangunan
5) Luka tusuk, luka tembak
6) Trauma karena tali pengaman (Fraktur Chance)
7) Kejatuhan benda keras

8
8) Gangguan lain yang dapat menyebabkan cedera medula spinalis seperti
spondiliosis servikal dengan mielopati, yang menghasilkan saluran sempit dan
mengakibatkan cedera progresif terhadap medula spinalis dan akar; mielitis
akibat proses inflamasi infeksi maupun non-infeksi; osteoporosis yang
disebabkan oleh fraktur kompresi pada vertebra; siringmielia; tumor infiltrasi
maupun kompresi; dan penyakit vaskular.
D. Pathway

E. Faktor Resiko
a. Pria 80 % sedangkan wanita hanya 20 %.
b. Usia 16-30 tahun. Kecelakaan sering terjadi pada usia di bawah 65 tahun
dibandingkan usia di atas 65 tahun, tersering pada usia 16-30 tahun.
c. Beberapa kegiatan olah raga seperti gulat, menyelam, berselancar,
rollerskating, in-line skating, hockey, berselancar di atas salju.
d. Memiliki kelainan tulang atau sendi seperti arthritis dan osteoporosis
F. Manifestasi Klinis
Cedera tulang belakang harus selalu diduga pada kasus di mana setelah cedera
pasien mengeluh nyeri serta terbatasnya pergerakan leher dan pinggang. Deformitas
klinis mungkin tidak jelas dan kerusakan neurologis mungkin tidak tampak pada
pasien yang juga mengalami cedera kepala atau cedera berganda. Tidak lengkap

9
pemeriksaan pada suatu cedera bila fungsi anggota gerak belum dinilai untuk
menyingkirkan kerusakan akibat cedera tulang belakang. Tanda dan gejala trauma
spinal antara lain adalah:
 Nyeri pada area spinal atau paraspinal
 Nyeri kepala bagian belakang, pundak, tangan, kaki
 Kelemahan/penurunan/kehilangan fungsi motorik (kelemahan, paralisis)
 Penurunan/kehilangan sensasi (mati rasa/hilang sensasi nyeri, kaku, parestesis,
hilang sensasi pada suhu, posisi, dan sentuhan)
 Paralisis dinding dada menyebabkan pernapasan diafrgma
 Shock dengan kecepatan jantung menurun
 Priapism
 Kerusakan kardiovaskuler
 Kerusakan pernapasan
 Kesadaran menurun
 Tanda spinal shock (pemotongan komplit rangsangan), meliputi: Flaccid
paralisis di bawah batas luka, hilangnya sensasi di bawah batas luka, hilangnya
reflek-reflek spinal di bawah batas luka, hilangnya tonus vasomotor
(hipotensi), Tidak ada keringat dibawah batas luka, inkontinensia urine dan
retensi feses jika berlangsung lama akan menyebabkan hiperreflek/paralisis
spastic
 Pemotongan sebagian rangsangan: tidak simetrisnya flaccid paralisis, tidak
simetrisnya hilangnya reflek di bawah batas luka, beberapa sensasi tetap utuh
di bawah batas luka, vasomotor menurun, menurunnya bladder atau bowel,
berkurangnya keluarnya keringat satu sisi tubuh.
G. Pemeriksaan Penunjang
1) Spinal X-ray: melihat fraktur / pergeseran vertebra
2) Myelogram: Lokasi obstuksi aliran CSF, melihat lebih jelas saraf spinal
3) CT Scan: melihat lebih jelas kelainan yang ditemukan pada hasil X-ray
4) MRI: membantu melihat spinal cord dan mengidentifikasi adanya pembekuan
darah atau massa lain yang mungkin menekan spinal cord.
H. Penatalaksanaan
1. Cidera pada cervikal
Immobilisasi sederhana

10
Traksi skeletal
Pembedahan untuk spinal dekompresi
2. Cidera pada thoracal dan lumbal
Immobilisasi pada lokasi fraktur
Hiperekstensi dan branching
Bed-rest
3. Obat: adrenal corticosteroid untuk mencegah dan mengurangi edema medulla
spinalis
Prinsip-Prinsip Utama Penatalaksanaan Trauma Spinal:
1. Immobilisasi
Tindakan immobilisasi harus sudah dimulai dari tempat kejadian/kecelakaan
sampai ke unit gawat darurat.. Yang pertama ialah immobilisasi dan stabilkan
leher dalam posisi normal; dengan menggunakan ’cervical collar’. Cegah agar
leher tidak terputar (rotation). Baringkan penderita dalam posisi terlentang
(supine) pada tempat/alas yang keras. Pasien diangkat/dibawa dengan cara ”4
men lift” atau menggunakan ’Robinson’s orthopaedic stretcher’.
2. Stabilisasi Medis
Terutama sekali pada penderita tetraparesis/etraplegia:
a. Periksa vital signs
b. Pasang ’nasogastric tube’
c. Pasang kateter urin
d. Segera normalkan ’vital signs’.
Pertahankan tekanan darah yang normal dan perfusi jaringan yang baik.
Berikan oksigen, monitor produksi urin, bila perlu monitor AGD (analisa
gas darah), dan periksa apa ada neurogenic shock. Pemberian megadose
Methyl Prednisolone Sodium Succinate dalam kurun waktu 6 jam setaleh
kecelakaan dapat memperbaiki konntusio medula spinalis.
3. Mempertahankan posisi normal vertebra (”Spinal Alignment”)
Bila terdapat fraktur servikal dilakukan traksi dengan Cruthfield tong atau
Gardner-Wells tong dengan beban 2.5 kg perdiskus. Bila terjadi dislokasi traksi
diberikan dengan beban yang lebih ringan, beban ditambah setiap 15 menit
sampai terjadi reduksi.
4. Dekompresi dan Stabilisasi Spinal

11
Bila terjadi ’realignment’ artinya terjadi dekompresi. Bila ’realignment’
dengan cara tertutup ini gagal maka dilakukan ’open reduction’ dan tabilisasi
dengan ’approach’anterior atau posterior.
5. Rehabilitasi.
Rehabilitasi fisik harus dikerjakan sedini mungkin. Termasuk dalam program
ini adalah ’bladder training’, ’bowel training’, latihan otot pernafasan,
pencapaian optimal fungsi – fungsi neurologik dan program kursi roda bagi
penderita paraparesis/paraplegia.
I. Komplikasi

- Perubahan tekanan darah, bisa menjadi ekstrim (autonomic hyperreflexia)

- Komplikasi akibat imobilisasi:


Deep vein thrombosis
Infeksi pulmonal : atelektasis, pneumonia
Kerusakan integritas kulit : dekubitus
Kontraktur

- Peningkatan resiko injuri pada bagian tubuh yang mati rasa

- Meningkatkan resiko gagal ginjal

- Meningkatkan resiko infeksi saluran kemih

- Hilangnya kontrol pada bladder

- Hilangnya kontrol pada bowel

- Kehilangan sensasi

- Disfungsi seksual (impoten pada pria)

- Spasme otot

- Nyeri

- Paralysis otot pernapasan

- Paralysis (paraplegia, quadriplegia)

- Shock
J. Prognosis
Pada awal tahun 1900, angka kematian 1 tahun setelah trauma pada pasien
dengan lesi komplit mencapai 100 %. Namun kini, angka ketahanan hidup 5 tahun
pada pasien dengan trauma quadriplegia mencapai 90 %. Perbaikan yang terjadi

12
dikaitkan dengan pemakaian antibiotik untuk mengobati pneumonia dan infeksi
traktus urinarius. Pasien dengan trauma tulang belakang komplit berpeluang
sembuh < 5 %. Jika terjadi paralisis komplit dalam waktu 72 jam setelah trauma,
peluang perbaikan adalah 0 %. Prognosis trauma tulang belakang inkomplit lebih
baik. Jika fungsi sensoris
masih ada, peluang pasien untuk dapat berjalan kembali > 50 %.
K. Pengkajian
A. Data subyektif

- Pengetahuan pasien tentang penyakit (cedera dan akibat dari gangguan


neurologis)

- Inforasi tentang kejadian cidera, bagaimana sampai terjadi

- Adanya dyspnea

- Sensasi yang tidak biasannya (parasthesia)

- Riwayat hilangnya kesadaran

- Tidak adanya sensasi - gangguan sensori


B. Data Obyektif
Tingkat Kesadaran (Sadar/tidak sadar), GCS, pupil
Status respirasi (Bervariasi)
Orientasi tempat, waktu dan orang
Sikap tubuh pasien, kekuatan motorik
TTV (TD, Temp, Nadi), Integritas kuli
Distensi bowel dan bladder
L. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan pola napas yang berhubungan dengan kerusakan tulang
punggung, disfungsi neurovaskular, kerusakan sistem muskuloskeletal.
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan perfusi
ventilasi dan perubahan membran alveolar kapiler.
3. Bersihan jalan nafas inefektif berhubungan dengan ketidakmampuan untuk
membersihkan sekret yang menumpuk.
4. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan fungsi motorik dan
sesorik.

13
5. Resiko terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan penurunan
immobilitas, penurunan sensorik.
6. Gangguan BAK berhubungan dengan penurunan isyarat kandung kemih atau
kerusakan kemampuan untuk mengenali isyarat kandung kemih sekunder
terhadap cedera medulla spinalis.
7. Konstipasi berhubungan dengan kurangnya kontrol sfingter volunter sekunder
terhadap cedera medulla spinalis di atas T11 atau arkus refleks sakrum yang
terlibat (S2-S4).
8. Nyeri berhubungan dengan pengobatan immobilitas lama, cedera psikis dan alat
traksi.
9. Risiko tinggi cidera berhubungan dengan stimulasi refleks sistem saraf simpatis
sekunder terhadap kehilangan kontrol otonom.
10. Risiko tinggi aspirasi yang berhubungan dengan kehilangan kemampuan untuk
menelan.
11. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan
dengan ketidakmampuan menelan sekunder terhadap paralisis.
12. Defisit perawatan diri (mandi, gigi, berpakaian) yang berhubungan dengan
paralisis.
13. Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang proses penyakit dan
prosedur perawatan
M. Intervensi Keperawatan
No. No Dx Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan
1. I Tujuan: 1. Beri posisi kepala netral, tinggikan
Mempertahankan pola nafas sedikit kepala tempat tidur jika dapat
klien efektif ditoleransi klien
Kriteria hasil : 2. Observasi TTV
- RR = 12-20x/menit 3. Auskultasi suara nafas
4. Kaji tanda-tanda pola nafas tidak
- Nadi = 60-100x/menit
efektif (penggunaan otot-otot bantu
- Pernafasan cuping hidung (-) pernafasan, pernafasan cuping
- Retraksi dinding dada (-) hidung, cyanosis)
- Bunyi nafas vesikuler 5. Ajarkan teknik nafas dalam
6. Lakukan suction jika diperlukan
- Cyanosis (-)
7. Beri tambahan O2 sesuai indikasi
- CRT < 2 detik
2. II Tujuan: a. Istirahatkan klien dalam posisi
semifowler.

14
Mengoptimalkan pertukaran gas b. Pertahankan oksigenasi NRM 8-10
pernafasan L/menit.
Kriteria hasil : c. Observasi TTV tiap jam atau sesuai
- BGA dalam batas normal : respon klien.
pH : 7,35-7,45 d. Kolaborasi pemeriksaan BGA
CO2 : 20-26 mEq (bayi), 26-
28 mEq (dewasa)
PO2 (PaO2): 80-110 mmHg
PCO2 (PaCO2): 35-45
mmHg
SaO2 : 95-99 %
- Cyanosis (-)
- CRT < 2 detik
- RR = 12-20x/menit
- Suhu = 36,5 – 37,50 C
3. III Tujuan : jalan napas bersih a. Kaji kemampuan batuk dan
Kriteria hasil : Batuk efektif, reproduksi sekret
pasien mampu mengeluarkan R/ Hilangnya kemampuan motorik
seket, bunyi napas normal, jalan otot intercosta dan abdomen
napas bersih, respirasi normal, berpengaruh terhadap kemampuan
irama dan jumlah pernapasan. batuk.
b. Pertahankan jalan nafas (hindari
fleksi leher, bersihkan sekret)
R/ Menutup jalan nafas.
c. Monitor warna, jumlah dan
konsistensi sekret, lakukan kultur
R/ Hilangnya refleks batuk beresiko
menimbulkan pnemonia.
d. Lakukan suction bila perlu
R/ Pengambilan secret dan
menghindari aspirasi.
e. Auskultasi bunyi napas
R/ Mendeteksi adanya sekret dalam
paru-paru.
f. Lakukan latihan nafas
R/ mengembangkan alveolu dan
menurunkan prosuksi sekret.
g. Berikan minum hangat jika tidak
kontraindikasi
R/ Mengencerkan sekret
h. Berikan oksigen dan monitor analisa
gas darah

15
R/ Meninghkatkan suplai oksigen dan
mengetahui kadar olsogen dalam
darah.
i. Monitor tanda vital setiap 2 jam dan
status neurologi
R/ Mendeteksi adanya infeksi dan
status respirasi.
4. IV Tujuan : Memperbaiki a. Kaji fungsi-fungsi sensori dan
mobilitas motorik pasien setiap 4 jam.
Kriteria Hasil : R/ Menetapkan kemampuan dan
Mempertahankan posisi fungsi keterbatasan pasien setiap 4 jam.
dibuktikan oleh tak adanya b. Ganti posisi pasien setiap 2 jam
kontraktur, footdrop, dengan memperhatikan kestabilan
meningkatkan kekuatan bagian tubuh dan kenyamanan pasien.
tubuh yang sakit /kompensasi, R/ Mencegah terjadinya dekubitus.
mendemonstrasikan teknik c. Beri papan penahan pada kaki
/perilaku yang memungkinkan R/ Mencegah terjadinya foodrop
melakukan kembali aktifitas. d. Gunakan otot orthopedhi, edar,
handsplits
R/ Mencegah terjadinya kontraktur.
e. Lakukan ROM Pasif setelah 48-72
setelah cedera 4-5 kali /hari
R/ Meningkatkan stimulasi dan
mencehag kontraktur.
f. Monitor adanya nyeri dan kelelahan
pada pasien.
R/ Menunjukan adanya aktifitas
yang berlebihan.
g. Konsultasikan kepada fisiotrepi
untuk latihan dan penggunaan otot
seperti splints
R/ Memberikan pancingan yang
sesuai.
5. V Tujuan : a. Kaji faktor resiko terjadinya
Mempertahankan Intergritas gangguan integritas kulit
kulit R/ Salah satunya yaitu immobilisasi,
Kriteria Hasil : hilangnya sensasi, Inkontinensia
Keadaan kulit pasien utuh, bladder /bowel.
bebas dari kemerahan, bebas b. Kaji keadaan pasien setiap 8 jam
dari infeksi pada lokasi yang R/ Mencegah lebih dini terjadinya
tertekan. dekubitus.
c. Gunakan tempat tidur khusus
(dengan busa)

16
R/ Mengurangi tekanan 1 tekanan
sehingga mengurangi resiko
dekubitas
d. Ganti posisi setiap 2 jam dengan
sikap anatomis
R/ Daerah yang tertekan akan
menimbulkan hipoksia, perubahan
posisi meningkatkan sirkulasi darah.
e. Pertahankan kebersihan dan
kekeringan tempat tidur dan tubuh
pasien.
R/ Lingkungan yang lembab dan
kotor mempermudah terjadinya
kerusakan kulit
f. Lakukan pemijatan khusus / lembut
diatas daerah tulang yang menonjol
setiap 2 jam dengan gerakan
memutar.
R/ Meningkatkan sirkulasi darah
g. Kaji status nutrisi pasien dan berikan
makanan dengan tinggi protein
R/ Mempertahankan integritas kulit
dan proses penyembuhan
h. Lakukan perawatan kulit pada
daerah yang lecet / rusak setiap hari
R/ Mempercepat proses
penyembuhan
6. VI Tujuan : a. Kaji tanda-tanda infeksi saluran
Peningkatan eliminasi urine kemih
Kriteria Hasil : R/ Efek dari tidak efektifnya bladder
Pasien dpat mempertahankan adalah adanya infeksi saluran kemih
pengosongan blodder tanpa b. Kaji intake dan output cairan
residu dan distensi, keadaan R/ Mengetahui adekuatnya gunsi
urine jernih, kultur urine negatif, gnjal dan efektifnya blodder.
intake dan output cairan c. Lakukan pemasangan kateter sesuai
seimbang. program
R/ Efek trauma medulla spinalis
adlah adanya gangguan refleks
berkemih sehingga perlu bantuan
dalam pengeluaran urine
d. Anjurkan pasien untuk minum 2-3
liter setiap hari
R/ Mencegah urine lebih pekat

17
e. Cek bladder pasien setiap 2 jam
R/ Mengetahui adanya residu
sebagai akibat autonomic
hyperrefleksia
f. Lakukan pemeriksaan urinalisa,
kultur dan sensitibilitas
R/ Mengetahui adanya infeksi
g. Monitor temperatur tubuh setiap 8
jam
R/ Temperatur yang meningkat
indikasi adanya infeksi.
7. VII Tujuan : a. Kaji pola eliminasi bowel
Memperbaiki fungsi usus R/ Menentukan adanya perubahan
Kriteria hasil : eliminasi
Pasien bebas konstipasi, keadaan b. Berikan diet tinggi serat
feses yang lembek, berbentuk. R/ Serat meningkatkan konsistensi
feses
c. Berikan minum 1800 – 2000 ml/hari
jika tidak ada kontraindikasi
R/ Mencegah konstipasi
d. Auskultasi bising usus, kaji adanya
distensi abdomen
R/ Bising usus menentukan
pergerakan perstaltik
e. Hindari penggunaan laktasif oral
R/ Kebiasaan menggunakan laktasif
akan tejadi ketergantungan
f. Lakukan mobilisasi jika
memungkinkan
R/ Meningkatkan pergerakan
peritaltik
g. Berikan suppositoria sesuai program
R/ Pelunak feses sehingga
memudahkan eliminasi
h. Evaluasi dan catat adanya perdarah
pada saat eliminasi
R/ Kemungkinan perdarahan akibat
iritasi penggunaan suppositoria
8. VIII Tujuan : a. Kaji terhadap adanya nyeri, bantu
Memberikan rasa nyaman pasien mengidentifikasi dan
Kriteria hasil : menghitung nyeri, misalnya lokasi,
Melaporkan penurunan rasa tipe nyeri, intensitas pada skala 0 – 10
nyeri /ketidak nyaman,

18
mengidentifikasikan cara-cara R/ Pasien biasanya melaporkan nyeri
untuk mengatasi nyeri, diatas tingkat cedera misalnya
mendemonstrasikan penggunaan dada/punggung atau kemungkinan
keterampilan relaksasi dan sakit kepala dari alat stabilizer
aktifitas hiburan sesuai b. Berikan tindakan kenyamanan,
kebutuhan individu. misalnya, perubahan posisi, masase,
kompres hangat / dingin sesuai
indikasi.
R/ Tindakan alternatif mengontrol
nyeri digunakan untuk keuntungan
emosional, selain menurunkan
kebutuhan otot nyeri / efek tak
diinginkan pada fungsi pernafasan.
c. Dorong penggunaan teknik relaksasi,
misalnya, pedoman imajinasi
visualisasi, latihan nafas dalam.
R/ Memfokuskan kembali perhatian,
meningkatkan rasa kontrol, dan dapat
meningkatkan kemampuan koping
d. kolaborasi pemberian obat sesuai
indikasi, relaksasi otot, misalnya
dontren (dantrium); analgetik;
antiansietis.misalnya diazepam
(valium)
R/ Dibutuhkan untuk menghilangkan
spasme /nyeri otot atau untuk
menghilangkan-ansietas dan
meningkatkan istrirahat.
9. XI Tujuan: Membebaskan klien a. Pertahankan tirah baring dan alat-alat
dari cidera karena menurunnya imobilisasi tetap terpasang dengan
fungsi reflex paten
Kriteria hasil: R/ memastikan pasien aman dan
- Cidera tidak terjadi menghindari terjadinya cedera
b. Pasang penghalang samping tempat
- Klien tidak terjatuh
tidur dan beri bantalan lunak
- Ala-alat imobilisasi R/ mencegah agar pasien tidak jatuh
terpasang paten dari tempat tidur
c. Atur posisi tempat tidur serendah
mungkin
R/ meminimalkan kemungkinan
pasien jatuh dari tempat yang tinggi

19
d. Atur posisi tempat tidur klien
sedekat mungkin dengan jangkauan
pantauan perawat
R/ memudahkan perawat dalam
memberikan penanganan pada
pasien
10. X Tujuan : Tidak terjadi aspirasi a. Kaji status pernapasan tiap jam
Kriteria Hasil: Makanan dan R/ Takipnu, pernafasan dangkal dan
minuman tidak lagi kembali gerakan dada tak simetris sering
keluar melalui hidung, jalan terjadi karena adanya sekret.
nafas paten dari aspirasi b. lakukan suction
makanan dan minuman R/ Menurunkan resiko aspirasi atau
aspiksia dan osbtruksi.
c. miringkan pasien untuk drainase
R/ Memudahkan dan meningkatkan
aliran sekret dan mencegah lidah
jatuh yang menyumbat jalan nafas.
d. Pertahankan kepatenan jalan nafas
dan bersihkan mulut.
R/ Memaksimalkan fungsi
pernafasan untuk memenuhi
kebutuhan tubuh terhadap oksigen
dan pencegahan hipoksia.
e. Kolaborasi: Pemberian oksigen
R/ Memaksimalkan oksigen untuk
kebutuhan tubuh dan membantu
dalam pencegahan hipoksia.
11. XI Tujuan: a. Pasang dan pertahankan NGT untuk
Status nutrisi terpenuhi intake makanan.
Kriteria Hasil: R/ Intake nutrisi yang seimbang dan
Intake cukup, makan dan adekuat akan mempertahankan
minuman yang masuk lewat kebutuhan nutrisi tubuh
mulut tidak kembali lagi b. Kaji bising usus bila perlu
melalui hidung, BB meningkat, R/ Bising usus membantu dalam
protein atau albumin ≥ 3,5 menentukan respon untuk makan atau
mg% mengetahui kemungkinan
komplikasi dan mengetahui
penurunan obsrobsi air
c. Berikan nutrisi yang tinggi kalori
dan protein.
d. Timbang berat badan sesuai protokol
e. Pasang dan pertahankan NGT untuk
intake makanan.

20
f. Kaji bising usus bila perlu, dan hati-
hati karena sentuhan dapat
merangsang kejang.
g. Berikan nutrisi yang tinggi kalori dan
protein.
h. Timbang berat badan sesuai protokol
12. XII Tujuan : a. Bantu pemenuhan kebutuhan
Kebutuhan aktifitas sehari- aktifitas
hari/perawatan diri terpenuhi R/ Kebutuhan sehari-hari terpenuhi
Kriteria Hasil: sehari-hari.
Kejang (-), bed rest (-), bau b. Bantu pasien dalam memenuhi
badan (-), gigi bersih, rambut kebutuhan aktifitas , BAB/BAK,
bersih, tempat tidur bersih, iritasi membersihkan tempat tidur dan
kulit (-). kebersihan diri juga oral hygiene.
R/ mempertahankan status kesehatan
dan kebersihan diri pasien
c. Libatkan keluarga dalam perawatan
diri sehari-hari. secara adekuat dapat
membantu proses kesembuhan.
R/ Keluarga dapat meningkatkan
motivasi pasien untuk melakukan
aktivitas kebersihan diri
13. XIII Tujuan : a. Kaji tingkat kecemasan pasien
Pasien menunjukan rasa cemas R/ Tingkat kecemasan yang berbeda
berkurang atau hilang butuh penanganan yang berbeda pula.
Kriteria Hasil: b. Jelaskan tentang aktifitas kejang yang
Takut <<, tegang (-), gelisah (-), terjadi dan semua prosedur tindakan
nadi 80-100 x/menit, RR 16- yang akan dilakukan pada pasien
20x/menit, klien dan keluarga R/ Dengan mengetahui semua
dapat mengulang informasi yang prosedur dan kondisi tubuhnya,
diberikan. pasien akan merasa lebih tenang dan
rasa cemas berkurang
c. Ajarkan pasien untuk
mengekspresikan perasaannya
R/ Ekspresi perasaan secara verbal
dapat membantu mengurangi rasa
cemas
d. Gunakan komunikasi dan sentuhan
terapeutik
R/Memberikan ketenangan rasa
nyaman bagi pasien
e.

21
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Trauma merupakan suatu cedera atau rupadaksa yang dapat mencederai fisik
maupun psikis. Trauma jaringan lunak muskuloskeletal dapat berupa vulnus (luka),
perdarahan, memar (kontusio), regangan atau robekan parsial (sprain), putus atau
robekan (avulsi atau rupture), gangguan pembuluh darah dan gangguan saraf.
Trauma pada medula spinalis adalah cedera yang mengenai servikalis, vertebra,
dan lumbal akibat trauma, seperti jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas,
kecelakaan olahraga, dan sebagainya.

22
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall. 2001. Diagnosa Keperawatan. Jakarta: EGC


Doengoes, Marilyn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk
perencanaan dan Pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta: EGC
Hudak, carolyn M. 1996. Keperawatan Kritis vol 2 Pendekatan Holistik. Jakarta :
EGC.
Sunardi. 2008. Asuhan Keperawatan Pasien dengan Trauma Medula Spinalis.
http://nardinurses.files.wordpress.com/2008/10/askep-pasien-dengantrauma-
medspin.ppt. Diakses tanggal 20 September 2018.
http://www.scribd.com/doc/29042954/Penatalaksanaan-Trauma-Spinal-Dan-
Cedera-Cervikal
http://www.mayoclinic.com/health/spinal-cordinjury/

23

Anda mungkin juga menyukai