Anda di halaman 1dari 2

GERBANG FILSAFAT :

1. Berpikir Rasio (dari Mitos Ke Logos)

Pada abad ke 6, ketika globalisasi belum ada, di seluruh dunia (especially di


Yunani) simultaneously terjadi pergantian cara berpikir dari ‘mitos’ menjadi ‘logos’

Cara berpikir mitos mempunyai beberapa ciri, yaitu imagerial; yang bertitik tumpu pada
image, citra, atau bentuk. Misalnya di legenda tangkuban perahu, orang-orang jaman dulu
melihat sebuah gunung yang berbentuk seperti perahu terbalik, kemudian mereka buatlah cerita
yang berkorelasi dengan itu, sehingga terciptalah legenda tangkuban perahu. Ciri kedua,
yaitu persepsi yang undifferentiated; semua hal diperlakukan sama dengan manusia; bisa diajak
bicara, diminta pertolongan, dan sebagainya. Maka itulah jaman dahulu terdapat adat-adat seperti
tarian hujan (hujan dianggap bisa mendengar manusia) atau minta rezeki dari pohon (pohon yang
sebenarnya benda mati dipercayai bisa memberi). Ciri ketiga, yaitu kultur lisan (ciri favorit
saya); di mana orang-orang memaknai suatu kata dari efek imajinatif/auranya, bukan makna
otentik dari kata itu sendiri. Sebagai contoh, ada gedung-gedung di Indonesia yang dinamai,
misalnya Manala Swanabakti. Ada artinyakah? Tidak. Namun kata itu memang punya
kesan greatness dan mirip kata sansakerta yang terkesan tua dan elegan.

Manusia kemudian mulai menyadari bahwa segala sesuatu itu haruslah logis dan masuk
akal, karena pemakaian akal itu yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lain. Maka
terbentuklah cara berpikir logos. Ciri logos yang pertama adalah konsep yang menjadi pilar dan
makna yang denotatif (dipastikan); makna haruslah tunggal, tidak seperti mitos yang
mempunyai kecenderuangan bermakna banyak. Makanya dalam sains, definisi kata itu sangat
penting. Ciri kedua, presisi yang spesifik (differentiated). Semua hal harus dipilah. Manusia
adalah manusia. Benda mati adalah benda mati. Tidak boleh disamakan. Ciri ketiga, kultur
baca-tulis. Manusia menyadari bahwa memori mereka terbatas. Maka dengan menumpahkan isi
kepala ke dalam tulisan, ide-ide dan ilmu mereka bisa bertahan lama.

Dari kedua penjelasan di atas, pendeknya, logos maunya ‘menjelaskan’, sedangkan


mitos itu ‘melukiskan/menyentuhkan pada kesadaran’. Logos itu bentuknya pasti,
sedangkan mitos itu misteri; masalah dalam mitos yang deep dan misterius tak bisa diselesaikan
segampang logos yang bisa dihitung dan dipastikan. Logos dipakai dengan nalar,
sedangkan mitos dengan hati. Logos itu yang menjadikan pesawat yang beratnya berton-ton bisa
terbang, sedangkan mitos itu tentang mengapa manusia bisa bahagia mendengar musik yang
indah dan senang melihat lukisan rupawan.

Hal yang ingin aku kritisi dari pernyataan professor itu adalah mengenai agama. Dia
bilang, agama adalah mitos. Dalam arti, agama hanya bisa dirasakan oleh hati, bukan oleh akal.
Benarkah begitu? Benarkah agama memang benar-benar tidak masuk nalar? Ya, kelihatannya
begitu, ya kan? Tuhan, malaikat, surga, dan neraka itu tidak kelihatan. Kita percaya hal-hal
karena semata-mata ‘kata orang, ustad, orangtua’. Well, harus aku tekankan di sini
bahwa sesuatu yg logos itu tidak harus empiris. Kesalahan utama orang-orang Barat adalah
meyakini bahwa semua hal itu ada kalau kelihatan, terdengar, tercium, teraba. Padahal tidak
begitu

Bayangkan kalau kamu sedang ada di dalam hutan, lalu kamu melihat jejak kaki harimau
di jalan setapak yang kamu lalui. Apa yang kamu lakukan? Pastinya segera keluar dari hutan itu,
karena kamu tahu ada harimau di hutan itu. Tapi darimana kamu tahu? Apa kamu melihat sosok
harimau itu di depan mata? Tidak. Kamu melihat jejak dan tanda-tandanya.
Ilustrasi lain. Lebih sederhana dari sebelumnya. Kamu melihat ada asap membumbung tinggi
dari kejauhan. Kamu tahu kalau sedang terjadi kebakaran. Bukan karena kamu melihat apinya,
namun kamu melihat tandanya.

Begitu juga tentang keberadaan Tuhan. Kamu tak bisa melihat wujud-Nya (kamu tidak
akan kuat, obviously.) tapi kamu bisa melihat segala jejak-jejak dan tanda-tanda-Nya di alam
semesta. Pernahkah kamu membayangkan bagaiman bisa bumi, tata surya, dan milyaran galaksi
yang ada bisa bergerak sendirinya dengan ketepatan yang sangat rinci, yang jika terjadi
kesalahan sedikit saja, semuanya akan berantakan? Bagaimana bisa burung yang mempunyai
otak sekecil itu bisa terbang, berlayar, berimigrasi dari satu tempat ke tempat lain tanpa
diberitahu dan diajari? Bagaimana bisa kita, manusia, bisa terbentuk di rahim ibu, dari satu sel
berkembang menjadi jutaan? Sama sekali tidak logos kalau kita bilang semuanya terjadi dengan
sendirinya. Harus ada tangan tak terlihat yang merancang semuanya, dan menjaga milyaran
sistem yang menakjubkan ini untuk terus bekerja sampai waktu yang ditentukan.

2. CURIOUS

Pintu gerbang yang kedua adalah curious atau rasa ingin tahu. Berfilsafat adalah mempertanyakan
berbagai hal, yang bermula dari rasa ingin tahu akan berbagai hal itu. Banyak hal yang kita anggap biasa
sesungguhnya luar biasa jika kita memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Mengapa langit berwarna biru?
Mengapa manusia hidup? Mengapa batu itu keras? Mengapa tanaman bisa tumbuh? Dan masih banyak
hal lain yang bisa kita pertanyakan.

3. LOVE OF WISDOM

Pintu ketiga adalah hikmah, atau kebijaksanaan. Akar kata filsafat sendiri adalah Philia dan
Shopia yang berrarti cinta dan kebijaksanaan, sehingga filsafat sering diartikan sebagai pecinta
kebijaksanaan. Kebijaksanaan tidak sama den sebangun dengan kebenaran. Yang benar belum tentu
bijaksana. Dalam konsep orang jawa dikenal ada bener dan ada pener. Pener inilah yang dimaksud
dengan kebijaksanaan. Ia ada di atas kebenaran.

Anda mungkin juga menyukai