Anda di halaman 1dari 10

Tugas Mikrobiologi : Uji Resistensi

Kelompok 2 Shift B
● Syifa Fauziah 260110190037
● Arraudha Adinda Putri 260110190038
● Eli Laelasari 260110190039
● Erlangga Ramadhan 260110190047
● Zio Van Lee 260110190049

1. Apa definisi sensitive, intermediate, dan resistant berdasarkan CLSI


● Sensitive
Kategori yang menyatakan bahwa isolat bakteri dapat dihambat oleh
konsentrasi agen antimikroba yang biasanya dapat dicapai ketika dosis yang
dianjurkan digunakan pada lokasi infeksi (CLSI, 2006).

● Intermediate
Kategori yang mencakup isolat bakteri dengan MIC agen antimikroba yang
mendekati tingkat darah dan jaringan yang biasanya dapat dicapai dan yang tingkat
responnya mungkin lebih rendah daripada isolat yang rentan. Kategori ini
menyatakan kemanjuran klinis di bagian tubuh yang obatnya terkonsentrasi secara
fisiologis atau ketika dosis obat yang lebih tinggi dari biasanya dapat digunakan
(CLSI, 2006).

● Resistant
Kategori yang menyatakan bahwa isolat bakteri tidak dapat dihambat oleh
konsentrasi agen yang biasanya dapat dicapai dengan jadwal dosis normal atau yang
menunjukkan diameter zona yang berada dalam kisaran di mana mekanisme
resistensi mikroba tertentu mungkin terjadi, dan kemanjuran klinis dari agen
terhadap isolat bakteri belum teruji secara pasti pada studi pengobatan (CLSI,
2006).
2. Jelaskan mekanisme resistensi antibiotik

a. Mekanisme Molekuler Resistensi terhadap Antibiotik


Resistensi itu dapat terjadi karena adanya gen resisten, dimana gen resisten
pada bakteri ini berfungsi untuk melindungi terhadap ​inhibitory effect dari antibiotik.
Gen resisten dapat melakukan coding protein transport membran untuk mencegah
antibiotik memasuki sel bakteri, atau melakukan pemompaan dimana tujuannya itu
untuk mengeluarkan antibiotik saat masuk ke dalam sel, sehingga mencegah kontak
dengan targetnya (Badan paM, 2001).
Suatu bakteri dapat memperoleh gen resistennya dengan beberapa cara,
diantaranya:

● Mutasi DNA
Bakteri dapat melakukan proses evolusi vertikal dan juga evolusi horizontal.
Evolusi vertikal, merupakan mutasi yang diwariskan ke seluruh keturunan yang
dihasilkan dari sel inti. Evolusi horizontal, merupakan pertukaran gen antara
sel-sel bakteri yang berdekatan. Mutasi DNA spontan dapat terjadi pada plasmid
dalam suatu sel bakteri. Plasmid merupakan DNA ekstrakromosomal yang hanya
terdapat pada sel bakteri. Pertama-tama plasmid bereplikasi dalam sel inang dan
ditransfer ke sel bakteri lain. Plasmid tersebut dapat memindahkan informasi
genetik antara bakteri yang berbeda. Jenis transfer genetik tersebut dinamakan
konjugasi (Pelczar dan Chan, 1986).

● Transduksi
Transduksi merupakan perpindahan informasi genetik oleh virus penginfeksi
bakteri yang disebut bakteriofag. Fage berikatan pada membran sel bakteri lalu
melakukan injeksi. Terdapat 2 hal yang dilakukan oleh fage, yaitu DNA dapat
menjadi non infektif dan menggabungkan gen yang membawanya ke dalam DNA
bakteri itu sendiri atau virus dapat berkembang biak dan merusak sel inang
(Kenneth, 1995).
● Transposon antara DNA virus dan DNA bakteri
Transposisi merupakan transfer genetik yang menggunakan transposon, yaitu
bahan yang lebih kecil dari DNA untuk membawa gen resisten antibiotik.
Transposon dapat keluar dari plasmid dan bergabung dengan DNA inang yang
baru atau ke dalam plasmid setelah konjugasi. Informasi genetik yang dibawa
transposon masih dapat hidup meskipun plasmid yang mentransfer informasinya
telah mati.

b. Mekanisme Resistensi Bakteri terhadap antibiotik betalaktam


Antibiotik golongan beta laktam banyak digunakan untuk first line therapy
infeksi bakteri. Mekanisme resistensinya itu bergantung pada perubahan dalam target
antibiotik yaitu PEP (Penicilline-binding protein) yang bertanggung jawab pada
sintesa dinding sel dan dapat mengikat penisilin serta antibiotik lain. Reaksi
peptidoglikan dengan beta laktam mengakibatkan penghambatan PEP yang
irreversibel dan lisisnya sel bakteri. Terdapat 4 golongan antibiotik beta laktam,
diantaranya: penisilin, sefalosporin, carbapenem, dan monobactam.

Misalnya, diambil golongan penicilin. Terdapat empat mekanisme resistensi


bakteri terhadap penicilin dan antibiotik golongan β-Lactam, yaitu:

● Destruksi atau penghancuran antibiotik oleh enzim β-Lactamase


● Kegagalan antibiotik dalam menembus membran luar bakteri Gram negatif untuk
mencapai PBPs3.
● Efflux obat melintasi membran bagian luar dari bakteri gram negatif

Bakteri mengembangkan efflux pump yang aktif untuk mengeluarkan antibiotik


dari sitoplasma lebih cepat daripada kecepatan senyawa tersebut berdifusi
masuk. Oleh karena itu, konsentrasi senyawa antibiotik di dalam bakteri menjadi
terlalu rendah, sehingga menjadi tidak efektif.

● Afinitas yang rendah antara antibiotika dan PBPs sasaran.

(Mandell ​et al​.).


c. Mekanisme Resistensi Antibiotik pada Bakteri Pembentuk Biofilm

Resistensi antibiotik dalam bakteri biofilm diduga terjadi karena lambat atau
tidak sempurnanya penetrasi antibiotik ke biofilm oleh adanya perubahan lingkungan
kimiawi mikro pada biofilm sehingga dapat melawan aksi antibiotik dan adanya
perubahan osmotik biofilm melalui perubahan proporsi relatif dari porin sehingga
mengurangi permeabilitas cell envelope terhadap antibiotik, serta diduga karena
subpopulasi mikroorganisme dalam biofilm akan membentuk struktur khas yang
memberikan perlindungan pada mikroorganisme (Corvianindya dan Brotosoetarno,
2004).

3. Apa yang dimaksud dengan antibiotik empirik dan antibiotik definitive.

● Antibiotik empirik merupakan antibiotik yang dimulai karena dugaan infeksi, yang
belum diketahui jenis bakterinya (Kemenkes RI, 2015). Lama pemberian:
Antibiotik empiris diberikan untuk jangka waktu 48-72 jam. Selanjutnya harus
dilakukan evaluasi berdasarkan data mikrobiologis dan kondisi klinis pasien serta
data penunjang lainnya. (KPRA RSUD Dr. Saiful Anwar, 2016).

Tujuan memberikan antibiotika untuk terapi empiris adalah eradikasi atau


penghambatan pertumbuhan bakteri yang diduga menjadi penyebab infeksi,
sebelum diperoleh hasil pemeriksaan mikrobiologi. Pada terapi empiris, pemberian
antibiotik dilakukan terhadap kasus kegawatan infeksi, misalnya sepsis atau pasien
imunokompromais. Terapi ini diberikan berdasarkan data epidemiologi kuman yang
ada. (Handayani, 2020).

- Dasar pemilihan:
1) Dasar pemilihan jenis dan dosis antibiotika data epidemiologi dan pola
resistensi bakteri yang tersedia di komunitas atau di rumah sakit setempat.
2) Kondisi klinis pasien.
3) Ketersediaan antibiotika.
4) Kemampuan antibiotika untuk menembus ke dalam jaringan/organ yang
terinfeksi.
5) Untuk infeksi berat yang diduga disebabkan oleh polimikroba dapat
digunakan antibiotika kombinasi.

● Antibiotik definitive merupakan penggunaan antibiotik pada kasus infeksi yang


sudah diketahui jenis bakteri penyebab dan pola kepekaannya (Kemenkes RI,
2015). Berdasarkan pada efikasi klinis untuk eradikasi bakteri sesuai diagnosis awal
yang telah dikonfirmasi. Selanjutnya harus dilakukan evaluasi berdasarkan data
mikrobiologis dan kondisi klinis pasien serta data penunjang lainnya. (KPRA
RSUD Dr. Saiful Anwar, 2016).

Tujuan pemberian antibiotik untuk terapi definitif adalah eradikasi atau


penghambatan pertumbuhan bakteri yang menjadi penyebab infeksi, berdasarkan
pemeriksaan mikrobiologi. Hal ini dapat ditetapkan melalui hasil kultur bakteri, uji
sensitivitas, dan tes serologi. Antibiotik yang disarankan pada terapi ini adalah
antibiotik dengan spektrum sempit, toksisitas rendah, harga terjangkau, dan
efektivitasnya tinggi. (Handayani, 2020).

- Dasar pemilihan:
1) Efikasi klinik dan keamanan berdasarkan hasil uji klinik.
2) Sensitivitas.
3) Biaya.
4) Kondisi klinis pasien.
5) Diutamakan antibiotika lini pertama/spektrum sempit.
6) Ketersediaan antibiotika (sesuai formularium rumah sakit).
7) Sesuai dengan Pedoman Diagnosis dan Terapi (PDT) setempat yang
terkini.
8) Paling kecil memunculkan risiko terjadi bakteri resisten.

4. Jelaskan tahapan pemeriksaan uji resistensi di rumah sakit berdasarkan peraturan


kemenkes No. 8 tahun 2015

Tahapan pemeriksaan uji resistensi di rumah sakit menurut peraturan kemenkes


No. 8 tahun 2015 digunakan metode difusi cakram menurut Kirby Bauer. Metode difusi
cakram merupakan metode yang umum digunakan dimana cara kerja difusi cakram yaitu
fraksi antibakteri yang akan diuji diserapkan pada kertas cakram dan ditempel pada
media agar yang telah dihomogenkan dengan bakteri kemudian diinkubasi sampai terlihat
zona hambat di sekitar daerah cakram (Novita, 2016). Selain itu, untuk mengetahui KHM
(konsentrasi hambat minimal atau ​minimum inhibitory concentration,​ MIC) dilakukan
secara manual atau menggunakan mesin otomatik. Hasil uji kepekaan antibiotik atau
antijamur ini digunakan sebagai dasar pemilihan terapi antimikroba definitif.
Hasil pemeriksaan akan dikategorikan menjadi Sensitif (S), Intermediate (I), dan
Resisten (R) sesuai dengan kriteria yang ditentukan oleh Clinical Laboratory Standards
Institute (CLSI) revisi terkini. Tiap antibiotik memiliki rentang S,I,R yang beragam,
sehingga antibiotik yang memiliki zona hambatan lebih luas belum tentu memiliki
kepekaan yang lebih baik. Setiap laboratorium mikrobiologi harus melakukan kontrol
kualitas berbagai tahap pemeriksaan di atas sesuai dengan ketentuan.

Apabila mikroba yang ditemukan dianggap sebagai patogen penyebab infeksi,


maka hasil identifikasi dilaporkan agar dapat digunakan sebagai dasar pemberian dan
pemilihan antimikroba. Apabila mikroba merupakan kontaminan/ kolonisasi maka tidak
perlu dilaporkan. Apabila ditemukan mikroba multiresisten yang berpotensi menjadi
wabah maka harus segera dilaporkan kepada Tim Pencegahan Pengendalian Infeksi
Rumah Sakit (Tim PPI) untuk dapat dilakukan tindakan pencegahan transmisi. Setelah
dilakukan uji resistensi atau sensitivitas dibuat laporan mengenai pola mikroba serta
kepekaannya terhadap antibiotik (Kemenkes RI, 2015).

5. Jelaskan penilaian kualitas penggunaan antibiotik (Gyssens flowchart) (Berdasarkan


peraturan Kemenkes No 8 tahun 2015)

Penilaian dilakukan dengan cara melihat data dari form penggunaan antibiotik dan
rekam medik pasien untuk melihat perjalanan penyakit. Serta melihat gejala klinis dan
hasil laboratorium apakah sesuai dengan indikasi antibiotik yang tercatat dalam Lembar
Pengumpul Data (LPD).
Penilaian kualitas penggunaan antibiotik menggunakan alur gyssens, penilai harus
lebih dari 1 orang tim PPRA, sehingga jika terjadi perbedaan hasil penilaian dari tiap
penilai harus dilakukan diskusi panel pada kasus yang berbeda (Kemenkes RI, 2015).
Terdapat kategori hasil penilaian (​Gyssens flowchart)​ :

Kategori 0 : Penggunaan antibiotik tepat dan rasional

Kategori I : tidak tepat saat (timing) pemberian antibiotik

Kategori II A : tidak tepat dosis pemberian antibiotik

Kategori II B : tidak tepat interval pemberian antibiotik

Kategori II C : tidak tepat rute pemberian antibiotik

Kategori III A : pemberian antibiotik terlalu lama

Kategori III B : pemberian antibiotik terlalu singkat

Kategori IV A : tidak tepat pilihan antibiotik karena ada antibiotik lain yang lebih efektif

Kategori IV B : tidak tepat pilihan antibiotik karena ada antibiotik lain yang lebih aman

Kategori IV C : tidak tepat pilihan antibiotik karena ada antibiotik lain yang lebih murah

Kategori IV D : tidak tepat pilihan antibiotik karena ada antibiotik lain dengan spektrum
lebih sempit

Kategori V : tidak ada indikasi pemberian antibiotik

Kategori VI : data tidak lengkap sehingga penggunaan antibiotik tidak dapat dinilai

(Kemenkes RI, 2015).

Di bawah merupakan alur dari penilaian ​gyssens


1. Pertama ketika memulai penilaian harus dilihat kelengkapan data yang
diperlukan, jika data yang dibutuhkan tidak lengkap penilain terhadap indikasi
antibiotik tidak dapat dilakukan.
2. Jika data lengkap, dilanjutkan dengan penilaian indikasi antibiotik, jika dalam
penilaian tidak ada indikasi pemberian antibiotik penilaian dihentikan
3. Selanjutnya jika ada indikasi pemberian antibiotik, penilaian dilanjutkan dengan
menilai apakah hasil penilaian masuk ke salah satu kategori IVa - IVd,
4. Penilaian selanjutnya untuk kategori IIIa dan IIIb terkait jangka waktu pemberian
apakah terlalu lama atau terlalu singkat, lamanya pemberian antibiotik harus tepat
tidak terlalu lama dan tidak terlalu singkat
5. Selanjutnya penilaian kategori IIa-IIc untuk menilai ketepatan dosis, interval dan
rute pemberian
6. Penilaian selanjutnya adalah melihat ​timing p​ emberian antibiotik tepat atau tidak
7. Dan terakhir, jika dalam proses penilaian antibiotik dari awal hingga akhir,, data
tidak masuk ke salah satu kategori I-IV maka dapat disimpulkan bahwa
penggunaan antibiotik tepat dan rasional atau hasil penilainnya termasuk kategori
0 (Kemenkes RI, 2015).
DAFTAR PUSTAKA

Badan paM. 2001. Informasi penggunaan antibiotik. ​Majalah Farmacia 2​ 001: 16- 17.
Corvianindya, Y., Brotosoetarno S. 2004. Resistensi bakteri oral biofilm terhadap antibiotika
golongan betalaktam. ​IJD.​ 11(2): 83-87.
CSLI. 2006. ​Performance Standards for Antimicrobial Disk Susceptibility Tests; Approved
Standard, Ninth Edition.​ USA: Clinical and Laboratory Standards Institute.
Handayani, S. 2020. ​Buku Ajar Aspek Sosial Kedokteran Edisi 2​. Surabaya: UNAIR Press.
Kemenkes RI. 2015. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2015
tentang Program Pengendalian Resistensi Antimikroba di Rumah Sakit. Tersedia online
di ​http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/arsip/bn/2015/bn334-2015​.pdf. [Diakses 3
November 2020].
Kenneth T. 1995. ​CALS Pathogen! Pest Resistance Discussion. Bacterial Resistance to
Antibiotic.​ Madison: CBC.
Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) RSUD Dr. Saiful Anwar Malang. 2016.
Panduan Umum Penggunaan Antimikroba.​ Malang: RSSA Malang.
Mandell., Douglas dan Bennet. Principles and Practice of Infectious Diseases 7th Ed.
Philadelphia: Eselvier.
Novita, W. 2016. Uji Aktivitas Antibakteri Fraksi Daun Sirih (​Piper betle L​) terhadap
Pertumbuhan Bakteri ​Streptococcus mutans​ secara In Vitro. ​JMJ.​ Vol 4(2): 140-155.
Pelczar MJ dan Chan ECS. 1986. ​Dasar-Dasar Mikrobiologi I.​ Jakarta: Universitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai