Anda di halaman 1dari 9

#ilham penyair lupa membawa buku pergi ke

tepi pantai menunggu gerak ilham baru harus


kurelakan sebagian diri menjadi misteri tidak
bisa menembus termasuki oleh orang lain tak
ada jatuh cinta

Masih mudakah kau, kelolalah sebaik-baiknya


patah hati dan cinta

Jadi bocah dan terus bermain gagal


Lelaki kalah naksir siapapun
dan tak pernah berhasil menerjal

Kesimpulan konsep
tertib nalar
kekuatan

Dibaca saja

Mengenalmu seperti mengenali kembali


keasingan menapak daerah terpencil dari
keasingan

Zaman maksudmu? Apa mungkin kaucintai lagi


selera cinta yang sudah menuju lain
kubandingkan sepi dan duka bercampur abadi
Angin menganiaya tangan yang meraba udara
menemukan kata dan cahaya oh pagi alangkah
getir nasib yang menguncup dan terkatup saja

Terngiang suara derak becak yang menggugah


menuju kuburan

Gambar kesunyian tergantung di dinding kamar


kupandangi ia, kekasih diam-diamku dan warna
makin mengabur pada keremangan lampu
bentuk hilang rupa ada apa dengan hari ini, luka?
Kau tertawa. Di halaman masih berlumut juga
harapan di batu di waktu yang tengah berlalu
kenanaran apalagi, jemu, kau bisu dan kirim
angin menghalau mimpi sebelum sempat malam
jatuh menidurkan matamu

Dalam keheningan kenangan kanak-kanak


berlarian memesan matahari yang cahayanya
berguguran di gurun yang debu-debunya
menghambur menggetirkan di depan adalah
rumah hantu dan bayangan, bisa kautukarkan
cinta dengan dendam dan sesloki puisi yang
memabukkan mendengar musik malam
menyanyikan kengerian mimpi. Dunia sedang
lengang dan bimbang jangan kau tutup mata,
sore masih panjang dan nasib memanjang ke
jurang dengarlah pekik camar di pinggir lautan
jadikan kalut kalung berjimat arahkan langkah
pada perahu retak dan nyanyikan lagi kesunyian
amir hamzah
Kukarang sebuah buku puisi sebelum saat-saat
bisa mati menguburkan tangis perempuan laki
tak dikenal kutulis baris-baris ini bakal ajal
datang dan bertanya sempat mana tempatku
diam dan berumah dalam petak-petak sajak yang
ditumbuhi sunyi dan bayang berkelindan para
petani melarat nyanyikan lagi lagu jagung dan
singkong nyanyi sayuran dan pala biar jiwa
tenang menghambur ke bumi biar langit jadi
selimut yang mendinginkan lewat hujan dan
membakar lewat kemarau kukarang ini sajak-
sajak sebelum malam penghabisan dan nyawa
ditasbihkan ke dalam rahasia percakapan tuhan

Berilah aku sisir untuk merapikan helai-helai


kusut dari rambut yang diputihkan kenang dan
kenakalan masa kecil melompat diam-diam ke
debu terbang beri aku bumbu dari dapur
kehidupanmu biar masak suluruh duka dan bisa
kutulis lagi luka waktu luka semesta dalam geliat
tawa bayi empat puluh hari

Yang menjulur ke ruang hanya remas-remas dari


kemasnya suara raung singa jantan dan pohon
betina yang bercinta di suatu daerah paling batas

Buku harian sedih

Di kamar kosan kutulis sebuah buku harian yang


berkisah tentang sedih seringkali dinding kamar
pun merintih dan belum selesai mata lampu
membaca keluh mimpi sudah mengapur tembok
kenangan yang dindingnya habis basah di sebuah
tubuh yang sering sakit-sakitan tak dikenal lagi
siapa perempuan menerima kegetiran yang
terbentang di wajahnya seorang lelaki penuh
tanda tanya dan sering terkapar dalam
pembicaraan yang aneh dan malam di luar
berkasak-kusuk tentang maut yang diam-diam
telah siap menerkam
Di luar pintu tak ditutupnya ingatan sesiapa
boleh masuk juga udara dingin yang
menggigilkan dan demam yang mengirim mimpi
buruk kesepian ke mana kata-kata berlabuh? Di
kesunyian tanda di kelam bayangan dan lolong
mulut anjing ketakutan di sebuah kamar yang
kubayar dengan cicilan terbaring sesosok tubuh
yang dihantui kesakitan yang diganggu kesepian
wajah kosong kengerian sesuatu paling rahasia
dari keadaan melarat ada yang sudah terhapus
dari buku kenangan itu? Ya segala yang
membiarkan ia kedinginan disiksa impian dan
nasib getir yang terus mendorongnya jadi
penyair, tapi ia masih melarat bukan? Di buku
harian sedih masih ditulisnya baris-baris peta
perjalanan ke makam di mana tak ada nama
hanya batu dan tebing hampa

Di balik sebuah nada tergiringlah seorang


penyair memasuki dunia bicara ada bocah
berlarian dan matahari menyanyikan luka ada
kata-kata membersit di sela rekah bunga ada
angin yang mengirimkan ingatan masa remaja di
balik sebuah nada teriringlah kekosongan yang
biru dan mengerikan dihapusnya seluruh cahaya
dibiarkannya dingin dan cuaca yang tergesa
membikin mati segala mimpi

Pada tembok kota tertangkaplah bayang-bayang


yang bergulat dengan nasib yang hitam rindu
sunyi menghempasnya ke mari pilu dan gagap
ke mana langkah musti merapat setiap simpang
jalan dan lorong gelap adalah teka-teki dan
diujinya setiap nyali memasuki keberagaman
dan memandang wajah haru yang terbit dari
kenestapaan ada angin diam-diam menangkap
gelisahnya apakah belum sempurna kesendirian
tanpa menghamba? Apakah masih tersisa tegar
nyawa menuju yang sempurna dari dukaMu

Pada sekitaran gedung-gedung tinggi nasib


sudah membikin susut nyali ke sana ia dibayang-
bayangi sebagai pencuri ke situ dicekam rasa
asing dan sepi adakah jalan dibaca dengan
ketenangan hati kejernihan pikiran sedang sudah
jelas nasib melemparnya jauh-jauh dari harapan
burung sore hari sudah menyanyikan lagu
istirahat dan kucing hitam melenggang tenang di
gang-gang gelap pertokoan apakah ia telah
belajar berdamai dengan keresahan bersedia
menjadi kembang gugur di wewangian bunyi
basabasi menjadi telanjang di remang-remang
mimpi hanya membawa kata-kata pergi dan
membuatnya dibaca suatu hari? Aku ingin bicara
lagi perihal segala keterasingan, jangan kau
tutup telingamu, atau hantu dari roh kata-kataku
akan mencari dan memburu ke meja kehakiman
bagai kutuk tuhan pada iblis pada keserakahan

Ingin kuhapus nama-nama siapa saja yang


kukenal atau pernah mengenalku, kutinggalkan
semua ricuh kenangan hari biar saja lewat
membawa teka-teki dan kembali udara menemu
malam dan bertandang memasuki mimpi
masing-masing telah menyadari arti sepi,
menjejaki jenak dan lansekap tanpa warna kasih
lagi aku usia mau kureguk duka-duka mau
kutilap angan-angan sebelum direbut hujan yang
tiba-tiba mengemas menggerus muka-muka
melelehkan keasingan lagi

Aku hanyut dalam mimpi dan air mata bocah


lelaki kecil yang berjalan di keasingan daerah
tak menemukan wajah penebusan dosa oh
alangkah getir masa kecil alangkah tak berguna
hidup ketika sesaat telah menjelma ke dalam
kesedihan yang berlarat sampai pada kiamat

Adakah aku cantik dan tak diselubungi


kebencian atau kecemburuan? Maria yang baik
hati itu bertanya sipu-sipu dijawabnya oleh angin
dikibarkannya gaun pengantin sebelum
memasuki ranjang penebusan dosa
Suara yang pirang merayu dengus napsu
bergeliat mamasung kecup di lambung

Hatiku yang membeku kasih berkarat dan tak


sempat lagi berbagi
Hatiku selembar tissue melayang dari tanganmu
mengecup pipi membasmi titik-titik kesedihan

Hatiku selembar tissue melayang jatuh di pipi


tunggu dulu biarkan aku menghapus kesedihan
ini masih ada yang ingin kukenang yang tak
sempat luput dari ingatan

Apakah yang kautangkap dari suara angin


bertandang di daun-daun basah malam gerah
yang mengutuki dalam kamar di jalanan turun
membayangkan lagi kegaiban di antara
percumbuan kupu-kupu dan bunga waktu yang
senantiasa mekar pilu tidak perlu. Ketukan saja
jari-jari cahaya lampu dan sendiri bayang tidur
kaum papa yang ngelangut di tepi pertokoan
yang dijaga anjing-anjing malam di balik
gerbangnya atau mimpikan lagi nabi yang sudi
menanggung kesepian abadi dan sedih
memikirkan nasib kaum pelupa

Barangkali sudah terlalu biasa mendengar keluh


bisik setiap kali mampi di sebuah gubug
memesan segelas kopi hitam barangkali sudah
terlalu bisa menahan susah hidup yang selalu
saja menghempas dada mereka dan apa saja
diputar untuk mempertahankan tersajinya
sekepal-kepal nasi di meja saji anak-anak tak
lagi mengeluh lauk garam dan kecap atau
kerupuk pemberian tetangga masih cukup
menyumbat mulut dan perut dahaga

Apakah yang hendak kita harap dari waktu yang


melambat dalam hujan segala melas udara
menjadi tinggi dan remas kemudian dalam sepi
kamar melayang angan jauh nembus gelap
lorong kota rantau ada yang tercium di atap-atap
gedung anyir darah setan jalang dan tergelincir
juga bebeapa kaki lonjong ke jurang mata
bolong hitam dan hitam tumpah di kenangan

Sesungguhnya kesederhanaan itu perlu disyukuri


dengan mengenang kebaikan-kebaikan yang
sering datang tak terduga

Tak berkejap kelabat jarum di jam dinding yang


meloncat selalu mengancam leher dengan pisau
dan tali hanya sajak barangkali yang hendak
menghambat pikiran-pikiran masa lalu yang
pandai membelalak membelah dan menjerat
mengurung selalu dalam gelap angan-angan
putus assa sehabis makan nasi sekepal ikan teri
dan sambal seukuran jari telunjuk membayang
lagi kengerian hantu yang mengejari bagai
kutukan di setiap mimpi kerabat dekat
Kutelusuri yang sisa dari kemalangan hari

Itu penjilat yang menetapkan bahasa benci

Malam-malam misteri

Di cermin kutatap wajah yang curam bersarang


nasib buruk zaman kupegang permukaannya
ngilu dinding-dinging kota yang sesak penuh
kemelaratan

Bersandar pada angin

Di kampung ini
kubersandar pada angin hari-hari tanpa kerja
hanya mimpi ijazah masih menjamur di map dan
angka-angka berangkat menambah usiaku yang
makin jauh tuntutan-tuntutannya hanya pada
yang bayang-bayang kubercerita hanya pada
kata-kata kubuang segala kenyataan perih ini

Di kampung ini kubersandar pada angin ke mana


arahnya tergantung pandangan yang
menghambur di tatapan

Selagi aku masih

Anda mungkin juga menyukai