10 Santarang Februari 2013
10 Santarang Februari 2013
DAFTAR ISI
RUANG REDAKSI -1
Biji Gandum
ESAI -2
Ziarah Menuju Tuhan
(Redem Kono)
CERPEN -17
Penari
(Nong Djese)
Nelayan
(Deodatus D Parera)
PUISI -31
Kiki Sulistyo
Dalasari Pera
Hency Zacharias
Christian Dicky Senda
Saddam HP
KUSU-KUSU -40
Salamat Hari Jadi, Dusun Flobamora...
(Amanche Franck Oe Ninu)
PROFIL_____ -42
Gerson Poyk
“He stood too high!”
RESENSI -46
Konteks yang Melahirkan Puisi
(Saddam HP)
KARIKATUR -51
(Mando Lidahibu)
(Roka Rockha)
RUANG REDAKSI
Biji Gandum
Dengan ukuran kematian, kami mendepa panjang lintasan dosa dan
kebangkitan. Hujan sungguh tak ada, Tuan, sebab lambungmu belum
ditikam. Kepak gagak yang menjauh berusaha mengelak dari cahaya
pukul tiga. Matahari dari balik detak-hentimu adalah yang paling
menyilaukan, karena bumi yang terbelah akan lebih baik
menghentikan lajur-hidup benih gandum. Ladang telah kami garap,
demi kehidupan dan rasa sakitmu. Lima langkah dari ibumu, para
pemanen menundukkan kepala. Berkas-berkas telah dipisahkan dari
antara ilalang. Para pekerja mulai memindahkan ke dalam lumbung
demi musim-musim yang sekarat. Sebagai benih-benih gandum, Tuan,
kami belum kaujatuhkan ke tanah, sedang requiem musim tak pernah
mampu melafalkan arah cuaca yang mengeras di antara kedua
matamu.
(Naimata, 2013)
SANTARANG
Jurnal Sastra
Diselenggarakan dan diterbitkan oleh Komunitas Sastra Dusun Flobamora
Pelindung/ Penasehat:
Rm. Sipri Senda, Pr & Dr. Marcel Robot
Penanggungjawab:
Amanche Franck OE Ninu, Pr. & Patris Allegro Neonnub, Pr.
Pemimpin Redaksi: Mario F Lawi|Pengasuh Rubrik: Esai:
Januario Gonzaga|Cerpen: Djho Izmail|Puisi: Christian Dicky Senda|
Kusu-kusu: Amanche Franck|Profil: Arky Manek|Resensi: Saddam HP|
Lay-out: Abdul M. Djou|Karikatur: Etho Kadji|
Email redaksi: santarang@yahoo.co.id
Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa esai, resensi, cerpen dan
puisi. Lampirkan biodata narasi di akhir tulisan yang dikirim.
PUISI RELIGIO-SOSIAL
Ketika membaca puisi-puisi LK, kita dengan cepat menemukan
bahwa puisi-puisinya bernuansa religius. Hal ini dapat dimengerti
karena kehidupan LK sebagai imam yang mengharuskannya untuk
tinggal dalam keheningan biara. Puisi-puisi LK juga mempunyai
pertalian erat dengan profesinya sebagai seorang dosen yang
ketika hibuk dalam letih,/ sesudah hilang semua pamrih, tiada terduga
engkau tiba:/ O Cahaya mahacahaya,/ Sunyi suci yang melahirkan Kata,/
lebih kaya dari cinta lebih miskin dari rindu,/ di tengah wajah kanak-kanak
lapar, aku sujud menyembah engkau (SUT). Gugatan manusia bermuara
pada undangan terhadap intervensi Allah yang menghapus air mata
dan ratap tangis derita.
LK dalam SUT menunjukkan sisi lemah dari manusia. Namun,
justru di dalam ketakberdayaan itu manusia yang berziarah berpulang
ke alam sunyi dan berjumpa dengan Tuhan di sana. Kekosongan,
kehampaan, kesunyian, dan keheningan batin dapat menjumpakan
manusia dengan Tuhan, sebagai Kasih. Jalan menuju Tuhan lahir dari
pergulatan batin manusia dalam nuansa bening di alam hening dan
sunyi. Dan pergulatan itu berlangsung terus-menerus sepanjang
ziarah hidup manusia. Perjumpaan itu menjadi asupan semangat bagi
manusia dalam ziarah menuju Tuhan.
Gabriel Marcel, seorang pemikir terkenal zaman dahulu kala
menyebut manusia sebagai makhluk peziarah (homo viator). Manusia
selalu berjuang untuk menemukan makna hidup, karena keterbatasan
manusiawinya. Dalam perjuangan tersebut, terdapat tiga jenis relasi
yang dilakukan, dialami, dan dihadapi manusia (Gabriel Marcel: 1959,
hlm. 13-28, 166-184). Pertama, relasi Aku-Itu. Orang lain
diperlakukan sebagai ―itu,‖ sebagai benda. Orang lain adalah objek
semata sehingga tidak dihargai keunikan dan kekhasannya. Orang
lain berguna bagi saya sejauh kehadirannya mendatangkan manfaat.
Di hadapan saya, orang lain hanyalah onggokan barang yang dapat
dilemparkan seenaknya.
Kedua, relasi Aku-Engkau. Dalam relasi ini orang lain dianggap
sebagai pribadi yang unik dan bermartabat. Setiap manusia
membutuhkan keberadaan sesamanya tanpa kalkulasi untung-rugi.
Karena itu, antara Aku-Engkau terjalin relasi saling membutuhkan,
saling pengertian, dan solidaritas. Marcel mengatakan bahwa dalam
relasi inilah terjadi relasi intimitas antarpribadi. Relasi itu melampaui
ruang dan waktu. Karena relasi ini maka penderitaan sesama juga
merupakan bagian dari airmata saya. Solidaritas seseorang terhadap
SEJENAK KRITIK
Melalui puisi-puisinya, LK menunjukkan dengan menarik bahwa
melalui teriakan pemberontakan itu terbukalah sebuah dimensi baru
yakni keterarahan pada Tuhan. Manusia adalah makhluk
multidimensi yang terbuka terhadap segala kemungkinan. Terhadap
segala persoalannya, manusia tidak hanya bersikap diam, tetapi juga
perlu mengajukan pertanyaan dan gugatan. LK berbicara tentang
bagaimana menghadapi pengalaman penderitaan sebagai pengalaman
universal, yang pernah dialami setiap pribadi.
Seruan LK itu sangat relevan dengan situasi manusia zaman ini
yang mulai meninggalkan Tuhan sebagai jawaban. Namun, terdapat
beberapa aspek dari puisi-puisi LK, yang hemat saya, menyisakan
beberapa celah. Kemajuan sastra banyak kali dipacu oleh kritik dan
diskusi, bukan semata terletak pada sanjung puji. Sebab itu, saya
mengemukakan beberapa kritik untuk didiskusikan lebih lanjut.
Elitisasi
Sebuah puisi entah mengungkapkan pengalaman universal manusia
lahir dari wilayah subjektif seseorang penyair. Sang penyair
mencermati apa yang dilihat dan dirasakannya dengan sudut
pandangnya sendiri. LK dalam SUT menunjukkan hal ini. Bertahun-
tahun kemudian/ aku mencari seorang filsuf yang berjalan siang hari
dengan lampu menyala di tangan,/karena bertarung mencari yang benar.
Mungkinkah dia mengenal engkau ?/Sewaktu kami di jalan bertemu, ia
besarkan nyala lampu lalu mendugai lubuk mataku, berseru:/Pengembara,
kita sama pejalan jauh menuju langit yang tak terjangkau./Tentang dia,
aku hanya bisa bertanya, filsuf tak pernah punya jawaban. Atau, Aku pergi
kepada sang nabi dan berkata dengan takzim:/ Salam padamu pewarta
firman./ Aku yakin, wahai nabi, engkau tahu yang kucari, ceritakan padaku
tentang dia./ Ia menjawab Aku bukan seorang nabi./ Pewarta sabda
hanyalah suara yang berseru di padang gurun: Siapkan jalan Tuhan
luruskanlah lorong-lorongnya.
Pada hemat saya, dua kutipan puisi SUT menampilkan LK sebagai
seorang pengajar filsafat dan imam Katolik. Pertama, pengalaman
mengajar kuliah filsafat ketuhanan dan filsafat manusia membuat LK
sering berbicara tentang Allah dan keberadaan manusia di hadapan
Allah. Selama kuliah filsafat ketuhanan, LK mengajak para
mahasiswanya untuk menggumuli para filsuf sepanjang sejarah yang
banyak berbicara tentang Tuhan. LK tidak hanya berbicara tentang
para filsuf ‗pemuja Tuhan‘ seperti Thomas Aquinas, Agustinus, Henry
Bergson, John Henry Newman, dan lain-lain. Namun, LK juga
memperkenalkan para filsuf atheis terkenal semisal Friedrich
Nietzsche, Karl Marx, Ludwig Feurbach, dan Sigmund Freud (Leo
Kleden: 2011). Ketika berbicara tentang ‗aku mencari seorang filsuf
yang berjalan siang hari dengan lampu menyala di tangan‘ (SUT), LK
sebenarnya berjumpa dengan pemikir atheis Friedrich Nietzsche.
Nietzsche mengumumkan kematian Allah (God is Tott) dalam
bukunya Zarathustra melalui seorang gila yang menyalakan lentera
dan mencari Tuhan di pasar walaupun hari masih siang (Nietzsche:
1977, 125).
Kedua, Aku pergi kepada sang nabi dan berkata dengan takzim:/ Salam
padamu pewarta firman./ Aku yakin, wahai nabi, engkau tahu yang kucari,
ceritakan padaku tentang dia./ Ia menjawab Aku bukan seorang nabi./
Pewarta sabda hanyalah suara yang berseru di padang gurun: Siapkan
jalan Tuhan luruskanlah lorong-lorongnya. Kutipan ini menunjukkan LK
sebagai rohaniwan Katolik. Ketika berbicara tentang ―pewarta sabda
hanyalah suara yang berseru di padang gurun: Siapkan jalan Tuhan
luruskanlah lorong-lorongnya‖ (SUT), LK berjumpa dengan seorang
nabi besar agama Katolik yakni Yohanes Pembabtis (termaktub dalam
Alkitab yakni Injil Yohanes, 1:19-28, terutama ayat 23).
Terhadap dua kutipan puisi di atas, saya menemukan adanya
pembatasan makna. Publik baca puisi yang belum memiliki bekal
filsafat mumpuni akan mengalami kesulitan untuk mendalami
pertemuan LK dengan para filsuf. Dan juga saudara-saudari yang
menganut agama dan keyakinan lain, serta kaum atheis akan menemui
kesulitan ketika LK mengajak mereka bertemu dengan Yohanes
Pembabtis. Pembatasan makna ini disebut Paul Budi Kleden sebagai
elitisasi puisi (Budi Kleden dan Otto Madung: 2009, hlm. 460-464).
Artinya, bergerak dari sebuah pengalaman universal yang objektif,
para penyair dapat saja terperangkap dalam wilayah subjektifnya.
Alhasil, puisi sebagai pengungkapan realitas hanya menjadi milik
kelompok tertentu, dan bisa jadi tidak menjadi konsumsi umum semua
publik baca puisi.
BAHAN BACAAN
*) Redem Kono adalah Ketua KMK Ledalero, Koordinator Diskusi Filsafat Ledalero,
dan Sekretaris Seri Buku VOX Seminari Tinggi St. Paulus Maumere. Bergiat di
kelompok Teater Alithea Ledalero, dan dua teater karyanya: Tempat Kami Bukan
Tempat Tidur (2011), dan Membunuh Cahaya (2012) telah dipentaskan kelompok
Teater Alithea pada kesempatan pertemuan para aktivis perempuan di Nelle (Sikka)
dan pada peringatan 75 Tahun Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero.
1.
Kemudian kegelapan mulai bermalam di kampung kami. Seperti
malam-malam yang sudah-sudah, ia datang dan baru pergi setelah
pagi meninggi. Aku ingat betul malam itu. Kala itu, aku berumur
empat tahun dan kakak lima tahun. Dalam umur yang begitu belia,
kata-kata bapa benar-benar ajaib menyihirku. Aku tersihir. Kata-kata
itu tidak bisa hilang dari benakku dan aku tidak bisa tidur karenanya.
Malam semakin menua tetapi mataku tidak juga mau terkatup. Inikah
rasa itu, pikirku waktu itu. Indah bukan main.
―Besok Ama akan ikut perahu motor pagi ke kota, Ama ingin
membelikan kamu dan kakakmu hadiah.‖
―Asyik... Hadiah apa, Ama? Saya dan kakak mau Ama kasih hadiah
apa Amak?”
Bapa belum pernah memberikan hadiah buatku sepanjang yang
kutahu, kakakku juga tidak. Makanya saat itu benar-benar indah dan
mendebarkan. Aku yakin kakak juga punya pengalaman yang sama.
Jantung yang berdebar-debar, penarasan yang membuncah, hati yang
menanti dan malam yang menunggu. Ah indahnya mengangankan
hadiah dari bapa saat itu. Menyebut kata hadiah saja rasanya tubuhku
merinding dan hatiku gentar. Seperti apa hadiah itu. Bapa memang
seminggu sekali ke kota membeli beberapa keperluan dan mengurus
surat-surat dari dan ke kantor desa di kampung kami. Sepulang dari
kota, bapa sering membawa aneka kue, roti, ataupun beberapa helai
baju dan celana buat aku, kakak dan mama. Untuk mama, terkadang
bapa juga membeli beberapa kantung sirih dan pinang segar. Itu
sudah biasa. Tetapi ketika pemberian bapa disembunyikan dalam kata
hadiah, ah rasanya mau mati saja. Penasaran yang lamat-lamat
menjadi ketakutan, lalu diam-diam menusuk-nusuk jantung dan tiba-
tiba menarik-ulur hatiku. Jantung ini deg-degan, berdebar-debar,
porak-poranda dan carut-marut. Rasa yang mendebarkan tapi
Edisi Februari 2013 17
Cerpen
2.
Aku ingat siang itu. Aku masih bermain-main dengan boneka
hadiah dari bapa, ketika dari kamar kudengar banyak suara ribut-ribut
di depan rumah kami. Aku mulai mengintip dari balik celah-celah
gedek. Di sana ada banyak orang berkumpul dan berbicara keras-
keras dengan bapa. Entah apa yang mereka perbincangkan. Sayup-
sayup aku hanya bisa mendengar mereka beberapa kali menyebut
Paha Kemala. Sementara yang lain diam, menyimak penuh perhatian.
Entah apa maksudnya. Kulihat bapa juga turut mendengar dengan
penuh perhatian. Air mukanya bernyala-nyala. Aku berhamburan
keluar kamar. Di dapur kulihat mama duduk di dekat tungku,
bersimbah air mata sambil memeluk kakak. Kakak hanya diam sambil
terus menyemprot-nyempot air dari pistolnya. Aku turut memeluk
mama dan bersamanya aku menangis dengan alasan yang tak pernah
kumengerti. Saat itu, aku hanya merasa akan ada lagi air mata setelah
air mataku ini, entah kapan. Mama mengusap air matanya dan air
mataku.
―Ina, ada apa?”
―Tidak ada apa-apa, Sayang, tidak akan terjadi apa-apa. Yakinlah
semuanya akan baik-baik saja, Sayang.‖
Jika tidak ada kata sepakat antara kita dengan mereka, maka kita
harus melakukan Tubak Belo dan biarlah semuanya terungkap, di
pihak mana Koda akan berada. Di pihak kita ataukah di pihak mereka.
Malam ini juga kita harus berkumpul lagi di sini. Setelah semua
berkumpul, kita berangkat ke Nuba Nara bersama-sama untuk
membuat upacara Bao Lolon. Yakinlah bahwa Koda Kewokot akan
membenarkan kita. Kita harus merebut kembali tanah kita, hak kita
sejak nenek moyong dan harga diri kita. Kewokot pasti merestui kita.
Dari depan rumah, terdengar suara yang semakin meninggi, mungkin
kerena jumlah yang berkumpul juga kian banyak. Suara teriakan
mereka semakin jelas terdengar.
―Itu suara Ama, Ina!‖
―Iya, Sayang, itu suara Ama. Sudah tugas Ama sebagai kebelen
untuk berbicara membela tanah kita, Sayang. Kelak jika kalian sudah
besar, kalian pasti akan mengerti.‖
Malam itu, berbeda dengan malam yang sudah-sudah, aku dan
kakak tidur bersama mama. Bapa sedang pergi bersama orang-orang
yang datang tadi siang. Mama lalu bercerita lagi tentang sejarah
leluhur kami. Ia bercerita tentang Ama Kelake Ado Pehan yang jatuh
cinta dan menikah dengan Ina Kewae Sode Bolen. Kedua suami isteri
ini adalah leluhur suku kita, kata mama. Aku senang mendengarnya.
Mama juga bercerita tentang dua kakak beradik, Paji dan Demon yang
senantiasa berperang. Hingga keturunan mereka, peperangan tetap
berlangsung, tiada henti. Kakak suka mendengarnya. Tapi aku benci
cerita tentang peperangan. Kakak suka, karena bersama teman-
temanya, ia sering bermain tembak-tembakan dengan pistol airnya. Ia
selalu ingin berperang, jika sudah besar.
―Ina, cerita lagi tentang seorang penari dari negeri cahaya, yang
pernah Ina cerita dulu.”
―Ina, cerita terus saja tentang kisah Paji dan Demon tadi, ayo
Inak....‖
―Jangan Ina, saya tidak suka cerita itu Inak.‖
‖Sudahnya kalian jangan bertengkar, lebih baik kalian tidur sudah,
besok kita harus bangun pagi-pagi. Ina mau ke rumah Opu di kota,
siapa yang mau ikut Ina?”
―Saya, Ina.‖
―Saya juga, Ina... Saya juga mau ikut Inak.‖
―Iya, kalian berdua boleh ikut, jadi sekarang kita tidur sudah.‖
Dan kamipun terlelap. Tak pernah aku lupa kala itu, aku larut
dalam mimpi tentang seorang gadis kecil dengan boneka yang
bertemu seorang penari dari negeri cahaya. Di lehernya, melingkar
selembar Senai yang bercahaya. Terang. Syahdan terang pun
berpendar di ufuk timur kampung kami. Akulah gadis kecil itu dan
hari itu mimpiku menyata.
3.
Di jalan kampung ini, debu beterbangan bercampur dengan kabut
asap yang mengepul. Lihatlah di ujung sana, dua buah truk terbakar.
Belasan sepeda motor di dekatnya juga ikut bernyala-nyala. Mungkin
juga dibakar. Di sela-selanya, bom rakitan meledup-ledup, senapan
rakitan ikut bernyala-nyala. Asapnya melambung tinggi menyentuh
puncak Ile Boleng, lalu turun menyapa pantai Wato Tena,
dihempaskan angin laut dan kembali bercampur dengan dededu di
sana. Kemudian ia larut bersama bau minyak tanah dan bensin,
bersenyawa dengan bau asam peluh dan bau anyir darah, terus
menggulung-gulung lalu mengangkasa lagi. Lihatlah, ada seorang
perempuan kecil di sana dengan sebuah boneka di tangannya.
Di kejauhan, dari bawah pantai Wato Tena muncul sesosok
bayangan yang bercahaya. Di belakangnya seribu cahaya
berhamburan membayangi. Ia berlari setengah melayang-layang.
Sesekali ia berputar-putar, meliuk-liuk dan melenggok-lenggok.
Kadang kedua tangannya terangkat, dan menunjuk-nunjuk langit,
sambil menengadah ke atas, seakan ingin menggapai langit. Tangan
dan jemarinya yang lentik jatuh, lantas melayang lagi, bergerak-
gerak, mengepak-ngepak, menggaris-garis udara lagi, semacam
penari yang sedang meragakan sebuah tarian. Gerakan tubuhnya
persis seperti penari di pentas agung. Niscaya orang yang melihatnya
mungkin akan mengira ia seorang ballerina yang berbakat.
4.
Ketika pagi terbit, carilah sebuah koran pagi di kota anda. Bacalah
berita di halaman pertama koran itu. Warga dua kampung yang
bertetangga terlibat perang tanding lagi untuk kesekian kalinya.
Mereka memperebutkan sebidang tanah ulayat suku mereka. Dalam
insiden itu, dua buah truk hangus terbakar karena di bom, belasan
kendaraan bermotor juga ikut terbakar, puluhan rumah hangus,
belasan orang menderita luka-luka dan seorang lainnya meninggal
dunia.
Namun apabila anda ada di kota ini, datanglah ke rumah sakit kota
ini. Tengoklah di ruang jenasah rumah sakit itu. Ada seorang ibu
yang sedang menangis meraung-raung, meratapi kematian suaminya
akibat perang tanding itu. Ia tidak sendiri, dalam rangkulannya ada
dua orang anak kecil. Yang seorang perempuan, sedang memegang
boneka berwarna merah jambu. Seorang lagi laki-laki, tengah
menggenggam pistol air di tangannya. Betapa pilunya.
Astaga. Lihatlah, tiba-tiba perempuan kecil itu terperanjat dalam
pelukan ibunya. Ia melihat siluet yang tak asing sedang berdiri di
pintu kamar jenasah. Ia mengenalnya. Betul. Itulah rupa penari dari
negeri cahaya. Matanya redup menatap sang gadis. Ada lubang
berluka di kedua telapak tangan rupa itu. Juga kedua telapak kakinya.
Dari lambungnya juga terkuak sebuah luka. Gadis kecil itu semakin
terperangah. Aduh.
―Rera Wulan…!!!!‖
****
Siang, 16 November 2012
CATATAN:
(keseluruhan bahasa daerah dan istilah dalam cerita ini merupakan
bahasa ibu dan istilah dalam budaya Lamoholot khususnya tanah
Boleng – Adonara, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur - NTT).
1. Ama: Bapa, Amak: Bapaku.
2. Binek: Saudari.
3. Ile Boleng: Gunung Boleng, gunung berapi di pulau Adonara,
NTT.
4. Pantai Wato Tena: Pantai dengan sebuah batu besar (Wato)
berbentuk perahu (Tena) di depan kampung Leworere – Pulau
Adonara, NTT.
5. Senai: Selendang yang ditenun menurut motif Adonara.
Biasanya dipakai oleh perempuan untuk menari.
6. Nowin Miten: Sarung hitam yang dipakai sebagai tanda
kebesaran pemimpin laki-laki (Kabelen).
7. Koda Mureng Tobu Lewum, Koda Nalang Pekeng Lewum berarti:
Jika anda benar, anda tetap menghuni kampung anda, jika anda
kalah, keluarlah dari kampung anda sendiri.
8. Nuba Nara: Batu besar yang dianggap keramat menurut budaya
masyarakat Adonara dan diyakini sebagai tempat bersemayam
roh nenek moyang mereka.
9. Kewokot: Roh leluhur/nenek moyang yang sudah meninggal.
10. Tubak Belo: Perang tanding.
11. Ata Ribu Ratu Lema: Masyarakat, orang banyak, rakyat.
12. Koda: Sabda tentang Kebenaran/Inti dari sebuah keyakinan atas
sebuah kebenaran yang diperjuangkan.
13. Paha Kemala: Pematokan/Pemasangan tapal batas.
14. Bao Lolon: Ritus membuat sumpah adat dengan meneteskan
tuak putih di atas Nuba Nara untuk suatu ujud tertentu.
15. Koda Kewokot: Sabda keramat leluhur.
16. Ina: Mama. Inak: Mamaku.
17. Kebelen: Pemimpin, kepala kampung.
18. Ama Kelake Ado Pehan: Laki-laki leluhur pertama menurut
legenda asal-usul orang Adonara, NTT.
19. Ina Kewae Sode Bolen: Wanita leluhur pertama menurut legenda
asal-usul orang Adonara, NTT. Konon keduanya; Ina Kewae
Sode Bolen dan Ama Kelake Ado Pehan adalah sepasang suami
isteri.
20. Paji dan Demon: Dua suku yang dilegendakan sebagai dua
saudara, kakak beradik yang terlibat dalam peperang.
21. Opu: Om, saudara laki-laki dari pihak mama/ibu.
22. Rera Wulan: Tuhan, Rera Wulan Tana Ekan (Allah Bapa dan
Allah Ibu) merupakan Wujud Tertinggi dalam kepercayaan
religius tradisional orang Lamaholot, Flores Timur, NTT.
*) Nong Djese, 28 Tahun, menetap di Oepoi, Kupang. Menulis Cerpen dan Puisi untuk
mengisi kekosongan di sela-sela kesibukan sebagai PNS di Lingkup Pemerintah
Provinsi NTT. Sebagian dari cerpen-cerpen itu sudah dimuat di Harian Lokal NTT.
Nelayan
Deodatus D Parera
mengeja setiap peristiwa dan bahasa angin bahwa kemarin adalah hari
ini yang cepat terlupakan. Maka, hari ini bagi pelaut adalah segalanya.
Atau mungkin benar, pelaut mengenal setia inci air laut dalam jarak
pandangnya dan dari padanya pasir dan karang selalu merindukan
mata kail dan jaringnya dilepaskan untuk ikan-ikan yang seringkali
menanti kematian yang terlalu dini. Atau, ombak adalah tanda
kesetiaan dari laut ketika lingkaran cahaya di bulan dalam genggaman
pelaut. Aku adalah anak yang tak tahu itu sebesar pengetahuan John
bila ingin dibandingkan. Hal yang paling membanggakanku adalah
pelaut tak banyak membutuhkan teori. Aku di antara kelompok itu.
Malam ini, setelah lama bertengkar soal ke Kupang ia bilang
kepadaku, nama itu tanda, kawan. Kami tidur lebih awal dari biasanya.
Mumpung, gelombang laut belum juga tenang setelah hujan dua
minggu terakhir.
***
Panah asap putih dengan beberapa peristiwa susul menyusul kau
terjemahkan. Inilah saatnya menegaskan bahwa tanah, air, udara, dan
api adalah peristiwa kehidupan sebelum keabadian mencecapnya
dengan menulis pada garis tanganmu sendiri dengan tinta hitam
bahwa hari kelahiranmu itu adalah peristiwa terakhir menggenapkan
kehadiranmu. Suara mungilmu kau persembahkan untuk papa dan
mama setelah beberapa bulan mendoakan kehadiranmu di dalam suara
yang parau dari kitaran asap dapur yang mengepul di sekitar dada
mama dan bapa yang menanti buah hati pertama. Kau terlahir dengan
beberapa kekurangan, itu disadari oleh mereka berdua tetapi enggan
menceritakan satu kepada lainnya bahwa untuk itulah mereka tidak
rela melepaskan hidupmu tanda pagi dalam genggaman tangan
mereka.
―Papa, anak ini akan diapakan oleh opa dan omanya?‖
―Dia adalah cucu mereka dan anak kita. Kemari, ayahnya akan
menamakan dia, Johanes. Iya, ‗kan? Nama itu tanda, Nyonya.‖
Mimpi itu datang lagi. Papanya adalah seorang penggembala sapi.
Seorang telah percaya bahwa Liber mampu menjadi gembala untuk
*) Deodatus D Parera. Meminati sastra. Anggota Komunitas Sastra Filokalia St. Mikhael
Penfui-Kupang.
Ruas Lengkuas
jalan tak rata. jalan ringkas dalam peta buta.
sekian lama terendam humus. hingga datang musim merebus.
garis terang dan kasar. serat dalam dan gusar. menunggu pisau
atau tangan rantau. memisah tepat di tengah.
2012
api masih jauh dari sini. lebih jauh dari jarak Lembar-Padang Bai
di langit Cakranegara kami melihat telapaknya. terbuka serupa cempaka.
pernah memang ada kedatangan besar ke pulau ini. pulau air umur panjang.
maka di Mayura ada taman Balekambang dan Pura luhur tegak menjulang
tapi kami diciptakan pada ujung tahun. di pangkal sepi yang ranum.
kota akan sesak bila kami mulai diarak. di kaki kami orang-orang riuh bersorak
sesekali tubuh kami diputar seakan jarum jam kembali ke belakang
menengok karmapala dan menerimanya sebagai buah dosa dari pohon atma
2012
*) Kiki Sulistyo, lahir di Ampenan, Lombok 16 Januari 1978. Menekuni puisi dan
menulis esai. Bekerja pada Departemen Sastra Komunitas Akarpohon, Mataram,
Nusa Tenggara Barat.
Dalasari Pera
TAHUN BARU
Hency Zacharias
Rindu
Tentangmu
Tempat Tidur
Mari berbaring
Seprai merah lampion itu menyenangi niatmu
Biar kuajarkan kau cara menakar nafsu yang tepat
Supaya bunga tidurmu lebih indah dari langit pukul enam di kota tua ini
‗apa kakinya kuat?‘ Engkau bertanya.
Tentu saja
Aku terbiasa menggelinjangkan kata-kata sepanjang subuh
(dan seprai akan menjadi lebih merah dan basah)
„Kalau begitu ajari aku cara menakar nafsu
Untuk memuai rambut-rambut rahimku‟
- 2012-
Gelas
Di gelasmu
Ada aku yang pahit meresapi lidahmu
Tak ada kata kompromi untuk hati, katamu
Di gelas berikutnya
Aku yang pahit menyegarkan mata, katamu
Tapi tiada sudutmu yang mampu kucuri
Meski aku yang kau suka
Tapi kenapa nikmatku tak kau rubah jadi ‗aku sayang kamu‘
Kenapa diam?
Sebab yang kuharapkan adalah ‗pinjam gelasmu yah,
Kopi lebih nikmat dengan gelas kecilmu.‘
Berpadu kafein rasa suka ini selalu menyenangkan
Sehingga akan kujawab
‗Boleh. Sekalian juga hatiku‘
- 2011-
Saddam HP
Rindu
(Januari 2013)
*) Saddam HP lahir di Lasiana pada 21 Mei 1991. Saat ini mahasiswa semester
III Fakultas Filsafat Agama Universitas Katolik Widya Mandira Kupang.
Sejumlah tulisannya dipublikasikan di Pos Kupang, Timor Express dan Victory
News dan Jurnal Sastra Filokalia. Tergabung bersama Komunitas Sastra St.
Mikhael Penfui dan Komunitas Sastra Dusun Flobamora.
Ini waktu pung balari talalu capat e, lebe capat dari Om Edu
Nabunome pung lari dulu di Asean Games. Rasa ke sonde rasa, sudah
dua taon ini, katong pung bapakariang di komunitas sastra Dusun
Flobamora su bajalan. Beta jadi inga dulu katong bakumpu di
Seminari Tinggi Santo Mikhael, 19 Februari 2011, ko baomong deng
daklarasi ini komunitas. Omong pi baomong, dia pung ujung ju
katong beking ini ―wadah lontar‖ ko sama-sama saling badukung.
Waktu itu ada katong pung Bapa Marsel Robot, Romo Sipri Senda,
Romo Patris Neonnub, To‘o Ragil, Kaka Abner, Mario, Janu, Hiro,
Abdul Kamaludin, Frater-Frater Santo Mikhael deng ana-ana
Seminari Oepoi. Waktu itu, katong pilih dan angkat katong pung
kaka Pion Ratulolly ko jadi Koordinator komunitas yang pertama,
soalnya ―gara-gara‖ ini kaka satu dari Adonara ni, katong samua
batakumpul jadi satu. Beta waktu itu talalu gembira sampe-sampe
beta mau koprol dan rol di atas batu karang. Beta senang, karena
dapat kawan banya. Selain itu katong su mulai barani untuk saling
kasi bardaya sbagai putra-putri Flobamora. Katong memang musti
bagarak banya untuk sastra dan kepenulisan lokal di NTT ini. Kalo
sonde sastra deng tulisan lokal bisa mati dan orang anggap sonde ada.
Katong taku sa yang muncul dari ini tanah ni hanya makanan lokal
ke‘ ubi, jagong, pisang,keladi, papaya. Padahal katong pung potensi di
cabang sastra dan tulisan talalu babatu karang dan bagula aer na. Jadi
memang waktu itu beta deng kawan-kawan dong talalu senang karna
ada wadah sastra Dusun Flobamora.
Ini katong pung parkumpulan ini dia pung tujuan paling utama
adalah katong bakanal dan bakusayang untuk saling bardayakan diri
di bidang sastra. Dia pung nama sa komunitas yang katong ame dari
bahasa Latin, cum itu „dengan‟ dan omnes itu artinya „samua‟.
Komunitas artinya bersama/deng samua. Komunitas itu harus ada
communio atau parsekutuan. Jadi katong musti jadi satu dan bersatu
dulu baru katong maju. Di dalam ini komunitas Dusun Flobamora ni,
katong saling manghargai dan mencintai. Itu utama dan harus, Bos!
Satiap orang bawa dia pung sagala potensi dan kelebihan, datang dan
basumbang di ini komunitas. Sapa yang ada ubi, bawa! Sapa yang ada
pisang, fi‘i bawa! Yang ada lu‘at di rumah, jang lupa bawa! Kalo ada
se‘i bawa ju, karna mungkin ada yang bawa katemak atau bose. Yang
ada puisi atau puiteko, pantun atau cerpen deng karikatur itu musti
bawa, supaya katong campor deng ubi, pisang, lu‘at, gula aer, se‘i dan
juga bose. Jadinya talalu enak dan sadap, Kaka! Itu baru namanya
NTT. Bae sonde bae Flobamora lebe bae. Eho, beta amper lupa di ini
Dusun Flobamora katong memang balajar untuk mencintai lintas
suku deng agama. Ana-ana dusun tu ada yang Islam, Protestan,
Katolik, hanya son ada yang atheis kaka, yang model ke‘ suku Boti
banya di sini (percaya Uisneno nok Uispah). Ada Falores, Sumba,
Rote, Sabu, Timor, Alor, ada Jawa, Sulawesi. Dia pung profesi ju
baragam, dari pejalan kaki, pelintas alam, pengusaha kios, peternak,
petani, pelajar, mahasiswa, aktivis, pastor, guru, dosen, wartawan,
sampe ―pembalap‖. Hahahaha... hehehelabae, kalo yang terakhir tu
beta deng To‘o Ragil, modalnya motor tua Astrea Impressa.
Maksudnya bisa jadi ―pembalap‖ ide, gagasan dan karya bagitu.
Na di akhir ini kusu-kusu, beta hanya mau kasi inga supaya
katong inga, katong pung Dusun (dunia sunyi). Samoga dia pung
kasunyian adalah doa dan kontemplasi dalam bapakariang. Dan
samoga Flobamora tetap manjadi katong pung tana, aer, udara, deng
nafas dalam katong pung inspirasi. Salamat hari jadi, Dusun
Flobamora! Tuhan yang Maha Indah akan kasi katong jalan ko tetap
―luas‖ ke‘ sabana, ―barguna‖ ke‘ ini lontar, dan kokoh kuat model ke‘
ini karang. Salam. Assalam. Palate. Palato... Hehehelabae....
DATA BUKU
Judul : Fatamorgana Langit Sabana
Penulis : Sipri Senda (Prim Nakfatu)
Tebal : 60 halaman
Penerbit : Lima Bintang Lasiana-Kupang
Cetakan : I, 2012
ISBN : 978-602-9158-18-2
*) Saddam HP lahir di Lasiana pada 21 Mei 1991. Saat ini mahasiswa semester
III Fakultas Filsafat Agama Universitas Katolik Widya Mandira Kupang.
Sejumlah tulisannya dipublikasikan di Pos Kupang, Timor Express dan Victory
News dan Jurnal Sastra Filokalia. Tergabung bersama Komunitas Sastra St.
Mikhael Penfui dan Komunitas Sastra Dusun Flobamora.