Anda di halaman 1dari 56

ISSN: 2252-7931

DAFTAR ISI

RUANG REDAKSI -1
Biji Gandum
ESAI -2
Ziarah Menuju Tuhan
(Redem Kono)
CERPEN -17
Penari
(Nong Djese)
Nelayan
(Deodatus D Parera)
PUISI -31
Kiki Sulistyo
Dalasari Pera
Hency Zacharias
Christian Dicky Senda
Saddam HP
KUSU-KUSU -40
Salamat Hari Jadi, Dusun Flobamora...
(Amanche Franck Oe Ninu)
PROFIL_____ -42
Gerson Poyk
“He stood too high!”
RESENSI -46
Konteks yang Melahirkan Puisi
(Saddam HP)
KARIKATUR -51
(Mando Lidahibu)
(Roka Rockha)
RUANG REDAKSI

Biji Gandum
Dengan ukuran kematian, kami mendepa panjang lintasan dosa dan
kebangkitan. Hujan sungguh tak ada, Tuan, sebab lambungmu belum
ditikam. Kepak gagak yang menjauh berusaha mengelak dari cahaya
pukul tiga. Matahari dari balik detak-hentimu adalah yang paling
menyilaukan, karena bumi yang terbelah akan lebih baik
menghentikan lajur-hidup benih gandum. Ladang telah kami garap,
demi kehidupan dan rasa sakitmu. Lima langkah dari ibumu, para
pemanen menundukkan kepala. Berkas-berkas telah dipisahkan dari
antara ilalang. Para pekerja mulai memindahkan ke dalam lumbung
demi musim-musim yang sekarat. Sebagai benih-benih gandum, Tuan,
kami belum kaujatuhkan ke tanah, sedang requiem musim tak pernah
mampu melafalkan arah cuaca yang mengeras di antara kedua
matamu.

(Naimata, 2013)

SANTARANG
Jurnal Sastra
Diselenggarakan dan diterbitkan oleh Komunitas Sastra Dusun Flobamora
Pelindung/ Penasehat:
Rm. Sipri Senda, Pr & Dr. Marcel Robot
Penanggungjawab:
Amanche Franck OE Ninu, Pr. & Patris Allegro Neonnub, Pr.
Pemimpin Redaksi: Mario F Lawi|Pengasuh Rubrik: Esai:
Januario Gonzaga|Cerpen: Djho Izmail|Puisi: Christian Dicky Senda|
Kusu-kusu: Amanche Franck|Profil: Arky Manek|Resensi: Saddam HP|
Lay-out: Abdul M. Djou|Karikatur: Etho Kadji|
Email redaksi: santarang@yahoo.co.id
Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa esai, resensi, cerpen dan
puisi. Lampirkan biodata narasi di akhir tulisan yang dikirim.

Edisi Februari 2013 1


ESAI
Ziarah Menuju Tuhan
(P. Leo Kleden, SVD dalam Puisi “Surat untuk Tuhan”)
Redem Kono

Selama tahun 2012 lalu, dunia sastra NTT kembali bergeliat.


Polemik tentang sastra, kritik sastra, dan munculnya beberapa penulis
sastra membangkitkan kegairahan bersastra di NTT yang
sebelumnya hampir pulas dalam tidurnya. Harian Flores Pos dan Pos
Kupang pernah memuat beberapa kajian sastra yang memancing
perhatian dan minat khalayak publik. Perbincangan tentang sastra
dan terbitnya banyak publikasi sastra itu mengumumkan bahwa
sastra NTT belum mati.
Dunia sastra Indonesia mencatat beberapa sastrawan NTT entah
karena mengarang puisi, menulis roman, menulis cerpen, dan lain-
lain. Nama-nama seperti Dami N. Toda, John Dami Mukese, Gerson
Poyk, Maria Matildis Banda, turut meramaikan jagat sastra
Indonesia, di samping seorang kritikus sastra terbaik Indonesia saat
ini: Ignas Kleden.
Di antara nama-nama tersebut, salah satu nama sastrawan dari
NTT yang puisi-puisinya pernah menjadi puisi terbaik pilihan
Kompas, dengan kekuatan nuansa dan makna yang kaya adalah Leo
Kleden. Jika sastra yang baik dianggap sebagai denyut nadi hidup
masyarakat, maka tulisan ini adalah salah satu penafsiran penulis
tentang karya Leo Kleden, yang kiranya relevan dengan konteks
kemanusiaan kita di NTT.

MENGENAL LEO KLEDEN


Di antara beberapa sastrawan senior NTT itu, Leo Kleden
(selanjutnya disebut LK) termasuk salah satu sastrawan NTT yang
belum sempat menerbitkan sebuah antologi puisi. Puisi-puisinya
banyak kali ditemukan dalam koran, buku-buku ilmiah, dan buku
karya para penulis puisi yang digabungkan. ‗Kebeluman‘ penerbitan
itu mungkin terjadi karena kesibukan LK sebagai dosen filsafat,

2 KREATIF DAN INSPIRATIF


Esai

seorang imam, dan beberapa jabatan yang dipegangnya sebagai


seorang biarawan Katolik Roma.
LK lahir di Flores Timur pada tanggal 28 Juni 1950. Setelah
menamatkan pendidikan SD di kampungnya, LK memilih Seminari
San Dominggo Hokeng karena ketertarikannya menjadi seorang
calon imam. LK melanjutkan masa pendidikan dan pembinaan di
Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero. LK mendapat kesempatan
belajar studi strata dua (S-2) dalam bidang filsafat, dan pada tahun
1990 menamatkan studi doktoral (S-3) di Universitas Leuven-Belgia.
LK kemudian mengabdi pada STFK Ledalero sebagai dosen
pengampu filsafat sepanjang tahun 1990-1999. Pengabdian sebagai
dosen sempat terhenti karena ia terpilih sebagai anggota Dewan
Pimpinan SVD sejagat yang mengharuskannya tinggal di Roma dari
tahun 1999-2006. LK kembali menjadi dosen STFK tahun 2007
sampai sekarang sambil menunaikan tugas sebagai Rektor Seminari
Tinggi St. Paulus Ledalero (2010-2012). Sejak tahun 2012, LK
terpilih sebagai Provinsial SVD Ende periode 2012-2018.
Publikasi puisi yang masih minim tak jarang membuat LK lebih
dikenal sebagai seorang dosen filsafat dan imam SVD daripada
seorang sastrawan. Puisi-puisi LK sejak tahun 2008 hanya ditemukan
dalam empat buku yakni dua puisi dalam antologi 100 puisi terbaik
Indonesia tahun 2008 Pena Kencana (2008), tiga puisi dalam buku
Menukik Lebih Dalam, sebagai kenangan 40 tahun STFK Ledalero
(2009), satu puisi dalam buku Cahaya di Ujung Terowongan sebagai
persembahan untuk para korban Tsunami di Aceh (2010), dan satu
puisi tentang duka para korban tenggelamnya kapal Karya Pinang di
perairan pulau Palue dalam buku Spiritualitas di Tengah Badai (2011).

PUISI RELIGIO-SOSIAL
Ketika membaca puisi-puisi LK, kita dengan cepat menemukan
bahwa puisi-puisinya bernuansa religius. Hal ini dapat dimengerti
karena kehidupan LK sebagai imam yang mengharuskannya untuk
tinggal dalam keheningan biara. Puisi-puisi LK juga mempunyai
pertalian erat dengan profesinya sebagai seorang dosen yang

Edisi Februari 2013 3


Esai

mengampu kuliah filsafat ketuhanan dan filsafat manusia. Puisi-puisi


LK mengungkapkan pengalaman akan Allah yang ditemuinya setiap
hari. Dan pencarian itu selalu mengada dalam diri setiap manusia
sebagai insan peziarah. Kata LK dalam puisi ―Jejak Sang
Pertapa‖ (2010): Wahai Tuhan Maha Pengasih/Aku hanyalah peziarah,
menapak tilas sang pertapa/bersimpuh gentar mengatup muka di depan
cerlang cahaya firman-Mu/Tapi kudengar bisik terakhir: “Jangan takut
peziarah, masuklah engkau dalam tanur apiku.”
Pengenalan akan Allah tidak membuat LK terjerembab dalam
ritualisme, mistisisme dan individualisme tanpa keterlibatan sosial.
Allah hanya dapat dikenal dalam keterlibatan langsung dalam situasi
konkret kehidupan. Puisi LK menampilkan penciuman tajam terhadap
persoalan yang terjadi dan mencari jawabannya dalam Allah. Puisi LK
menampilkan narasi diri dan narasi sosial sekaligus. LK kerap
bercerita, menjadikan puisi sebagai sebuah perjalanan hidup menuju
Tuhan tanpa melupakan konteks masyarakat. Melalui puisi-puisinya
LK turut merintih bersama para fakir miskin, perempuan yang gagal
panen, korban tsunami, dan para korban yang tenggelam di dasar
laut.
Dari bandara ke Banda Aceh/melewati makam seribu jenasah tanpa
nama/ada tiga perempuan mendaraskan doa senjakala/isak tangisnya
mengiris langit (Ziarah Tsunami (ZT), 2010). Dalam puisi-puisi LK
hidup sosok manusia kelana yang betah merenung di kamar sunyi
karena sosok itu sebelumnya telah turun mengunjungi lika-liku
kehidupan, entah sebagai korban badai atau bukan. LK menjadikan
Allah sebagai pertanyaan ketika ia berjumpa dengan ‗fakir miskin,
kanak-kanak yang lapar dan demam. Ibunya seorang pelacur dan
ayahnya pedagang ganja.‘ (Surat untuk Tuhan (SUT, 2010). Atau
‗perempuan yang menderita karena gagal panen‘ (Hikayat Perempuan
di Ladang itu (HPDLI, 2010). Puisi harus berkonteks, punya akar
dalam realitas hidup harian.
Dalam puisi-puisinya, LK mengajak pembacanya untuk terlibat
dalam alam permenungan tajam tentang kerinduan terhadap Allah
sebagai pengalaman mendasar manusia. Puisi-puisinya selalu dikemas

4 KREATIF DAN INSPIRATIF


Esai

dalam kata-kata mengalir teduh-jernih dan cerita (narasi) yang


menunjukkan bahwa hidup manusia adalah ziarah pencarian makna
hidup. Pengembaraan LK di alam sunyi itu memudahkannya untuk
berkelana bebas bertemu dengan siapa saja, mulai dari para tua bijak
sampai kanak-kanak, dari alam para filsuf sampai para petani. Dalam
kelana sunyi itu, LK secara tak segan berjumpa dengan pergulatan
hidup manusia, bahkan terutama pengalaman derita. Terhadap
pengalaman itu, LK memekik, menggugat, dan memberontak dari
alam sunyi. Di rembang petang begitu indah/mengapa mendadak bencana
datang/bumi gempa bukit pecah/hujan tumpah langit ruah/terbang punah
panenan ladang/taman firdausnya ikut hilang…Lalu keduanya pun
tunduk/memungut bulir-bulir jatuh/sambil masih juga tertegun: Pada
siapa harus bersyukur?/pada siapa mesti mengaduh? (HPDLI).
LK percaya bahwa pengenalan Allah sepanjang sejarah hidup
manusia tidak pernah utuh adalam ruang dan waktu. Manusia ‗susah
sungguh menyebut Kau penuh seluruh,‘ demikian tulis Chairil Anwar
dalam puisi termashyurnya, Doa (1943). Manusia hanya dapat
berbicara tentang Allah secara teologis dan menikmati persekutuan
dengan Allah dalam doa. Sejarah hidup manusia yang rapuh
membuatnya dependen; menggantungkan diri pada Sang Kekuatan di
atas segala kekuatan yakni Allah. Di hadapan Allah itu, manusia
hanya dapat berbicara dan bertemu dengan Allah tanpa mengenal-
Nya secara utuh. Di sini Amir Hamzah pun turut senada dalam puisi
―Padamu Jua‖: Satu kekasih/Aku manusia/Rindu rasa/Rindu rupa/ Di
mana engkau/Rupa tiada/Suara sayup/Hanya kata merangkai hati.
Dalam situasi keterbatasan itu, puisi-puisi LK menawarkan sebuah
jalan untuk bisa mengobati kerinduan untuk mengenal Allah. Bagi
LK, Allah tidak hanya dikenal dengan sanjung puji semata, tetapi
Allah dapat pula didekati dengan gugatan atau pemberontakan.
Gugatan kepada Allah bukan berarti menjadi seorang agnostik atau
atheis. Gugatan itu terhadap Allah bertujuan mempertanyakan situasi
iman manusia di tengah pelbagai pengalaman penderitaan.
Pemberontakan terhadap Allah bertujuan melibatkan kehadiran Allah
karena kerapuhan dan ketakberdayaan manusia.

Edisi Februari 2013 5


Esai

ZIARAH MENUJU TUHAN


Seorang filsuf Katolik dari Yunani bernama Epikurus (tahun 300)
telah bergulat dengan pengalaman penderitaan untuk
mempertanyakan kehadiran Allah. Sebab, pelbagai pengalaman
penderitaan itu selalu menghadirkan ketidaktenangan. Berhadapan
dengan situasi ini, manusia merindukan kehadiran Allah, Sang
Penghibur. Sejak jaman dahulu, Santo Agustinus, seorang pujangga
Gereja Katolik terkenal menyebut manusia sebagai kerinduan.
Manusia haus dan terbuka terhadap kasih Allah yang tiada batas dan
solider terhadap penderitaan manusia. Allah menjadi makna hidup.
Kerinduan bertemu Tuhan karena keterbatasan pengenalan akan
Allah menjadikan hidup manusia sebagai ziarah tanpa usai untuk
mengenal dan mengalami Allah.
Hakikat manusia sebagai kerinduan inilah yang hendak diangkat
oleh LK dalam puisi SUT. Manusia adalah para peziarah lintas batas
yang terus mencari makna terdalam dari hidup. LK menyebut bahwa
pada saat pertama isak bayi dan pertama kalinya seorang bayi melihat
cahaya matahari (baca: lahir), bayi itu sudah menjadi seorang
peziarah, yang mencari Tuhan sebagai makna hidup. Pada pagi yang
biasa/dari musim yang sudah kulupa/Kutemukan namamu bersama
cahaya/Dan sejak itulah aku „ngembara/ Mencari engkau tanpa alamat
(SUT).
Manusia sebagai peziarah berlaku umum, kepada siapa saja. Setiap
manusia adalah peziarah. Dalam puisi SUT, LK mengatakan bahwa
pertanyaan tentang Tuhan bukan hanya milik para orang tua bijak,
tetapi juga milik kanak-kanak, sepasang anak muda yang sedang
dimabuk asmara, seorang filsuf atheis, seorang nabi, para pendeta,
para ahli kitab, para penyair, para pertapa, dan lain-lain. Setiap orang
mempunyai pengalaman personal akan Allah dan pengalaman itu
datang dari pergumulan hidupnya sehari-hari. Menurut LK, Allah
menjadi milik semua orang sehingga manusia tidak boleh berlagak
memenjarakan Allah dalam ritualisme, dogmatisme, dan absolutisme.
Pengetahuan manusia yang terbatas menempatkan Tuhan sebagai

6 KREATIF DAN INSPIRATIF


Esai

misteri. Tuhan tidak dapat dikenali sepenuhnya. Aku mencatat


sementara:/Lebih tua dari gurun lebih muda dari embun/Engkau hidup
dalam dongeng dari beribu tahun lalu/Apakah namamu sia-sia dan aku
datang terlalu dini? Atau Tuhan ―lebih kaya dari cinta, lebih miskin dari
rindu‖(SUT). Manusia tidak dapat mengklaim bahwa dirinya,
kelompoknya, agamanya sebagai satu-satunya entitas yang mengenal
Allah. LK menganjurkan agar pengenalan tidak sempurna akan Allah
hendaknya menggerakkan setiap insan untuk terbuka terhadap
sesama. Setiap orang maupun kelompok hendaknya dengan sikap
rendah hati melampaui batas-batas keangkuhannya sendiri untuk
mencari Allah sebagai sumber kehidupan dan kebahagiaan.
Klaim kebenaran pihak tertentu sebagai satu-satunya pemegang
tunggal kebenaran ditentang LK. Klaim itu dapat menjadi momok
potensial bagi kebersamaan. Sebab, ketika klaim kebenaran itu
digenggam di tangan kanan, pada saat itu juga terdapat pisau tajam di
tangan sebelah kiri untuk melukai siapa saja yang menggugat klaim
itu. Menanggapi hal ini, LK menyerukan perlunya pertanyaan atau
gugatan untuk memeriksa sejauh mana kemurnian iman setiap insan.
Setiap pengalaman tidak perlu dihadapi dengan tanda titik, yakni
sikap diam dan kompromi semata. Kita menghadapi setiap
pengalaman itu juga dengan tanda tanya.
Manusia selalu memiliki kerinduan untuk berjumpa dengan Tuhan.
Setiap manusia ‗mencari engkau tanpa alamat,‘ kata LK (SUT).
Kehidupan manusia adalah perjalanan kelana tanpa usai untuk
menemukan Tuhan sebagai makna terdalam hidupnya. Karena itu,
pencarian manusia selalu bermula dari kehidupan sehari-hari. LK
menandaskan bahwa dalam situasi inilah manusia akan melemparkan
gugatan. Dan, gugatan itu semakin tampak dalam pengalaman
penderitaan manusia. Maka di sini di laut derita, bisakah seorang
mengelak teriak dari kapal yang karam?/Apa makna semua doa, madah
puji dan nyanyi ibadah bagi mereka yang kini tenggelam?/ Sungguh, di laut
duka aku telah melupakan engkau. Namamu-tak lagi penting untuk diriku,
dan mungkin namaku juga tak pernah berarti untukmu jua (SUT).
Berhadapan dengan pengalaman penderitaan, manusia sering

Edisi Februari 2013 7


Esai

merasa putus asa dan ditinggalkan sendirian. Manusia bisa saja


terjatuh dalam keraguan, bahkan kehilangan rasa percaya (imannya)
kepada Allah. Di tengah kota Baiturrahman/teguh utuh dihantam gempa
diamuk tsunami/ menaranya retak oleh derita/ “Tuhan, masihkah Engkau
bernama Kasih?” (ZT). Bencana alam, pembunuhan, kelaparan, dan
aneka kekerasan lainnya dapat menggetarkan gambaran Allah sebagai
kasih. Manusia, dalam situasi ini, mungkin terjebak karena kelesuan
atas kisah air mata sebagai peziarah yang tak kunjung usai untuk
menemukan Tuhan sebagai tujuan hidup ini. Pengalaman manusiawi
dapat membukakan pintu bagi pengalaman mistis-universal bersama
Allah.
LK mengatakan bahwa pengalaman penderitaan sebagai salah satu
pengalaman dasariah manusia toh harus berujung pada sembah sujud
kepada Tuhan. Getir pahit dan air mata sukacita dapat mengantar
manusia pada perjumpaan dengan Allah yang akrab. Setiap kisah
hidup manusia, bahkan berada dalam situasi batas dan paling pahit
sekalipun tidak hanya berhenti pada refleksi sosial, tetapi meski
mengarah pada Tuhan sebagai satu-satunya kekuatan dan penghibur
nan kasih. Dalam analisisnya terhadap sajak-sajak Sutardji Calzoum
Bachri, LK menulis: ―Pengalaman hidup yang paling intens sekalipun
mengandung sesuatu yang sia-sia, tetapi kesia-siaan yang getir itu
membuka sebuah dimensi lain, yang mengubah pergulatan panjang
sang penyair menjadi doa di larik akhir‖ (Kompas, 1 September 2007).
Dalam kekosongan dan gugatan itulah Allah akan hadir dan
menyapa setiap manusia secara unik. Pencarian manusia akan Allah
merupakan inisiatif yang mendatangkan wajah Allah yang akan
menyapa manusia dalam keletihan dan penderitaanya. Allah datang
menghibur dan membesarkan hati manusia untuk terus menjadi
peziarah menuju kedamaian abadi. Keletihan dalam derita
menghamparkan kepasrahan total yang mengundang kehadiran
Allah. Dalam SUT, situasi kekosongan musafir: Sungguh, di laut duka
aku telah melupakan engkau/namamu tak lagi penting untuk diriku, dan
mungkin namaku tak berarti untukmu jua/, membukakan pintu bagi
kedatangan Tuhan, Sang Mahacahaya. Tetapi mengapa di siang ini,

8 KREATIF DAN INSPIRATIF


Esai

ketika hibuk dalam letih,/ sesudah hilang semua pamrih, tiada terduga
engkau tiba:/ O Cahaya mahacahaya,/ Sunyi suci yang melahirkan Kata,/
lebih kaya dari cinta lebih miskin dari rindu,/ di tengah wajah kanak-kanak
lapar, aku sujud menyembah engkau (SUT). Gugatan manusia bermuara
pada undangan terhadap intervensi Allah yang menghapus air mata
dan ratap tangis derita.
LK dalam SUT menunjukkan sisi lemah dari manusia. Namun,
justru di dalam ketakberdayaan itu manusia yang berziarah berpulang
ke alam sunyi dan berjumpa dengan Tuhan di sana. Kekosongan,
kehampaan, kesunyian, dan keheningan batin dapat menjumpakan
manusia dengan Tuhan, sebagai Kasih. Jalan menuju Tuhan lahir dari
pergulatan batin manusia dalam nuansa bening di alam hening dan
sunyi. Dan pergulatan itu berlangsung terus-menerus sepanjang
ziarah hidup manusia. Perjumpaan itu menjadi asupan semangat bagi
manusia dalam ziarah menuju Tuhan.
Gabriel Marcel, seorang pemikir terkenal zaman dahulu kala
menyebut manusia sebagai makhluk peziarah (homo viator). Manusia
selalu berjuang untuk menemukan makna hidup, karena keterbatasan
manusiawinya. Dalam perjuangan tersebut, terdapat tiga jenis relasi
yang dilakukan, dialami, dan dihadapi manusia (Gabriel Marcel: 1959,
hlm. 13-28, 166-184). Pertama, relasi Aku-Itu. Orang lain
diperlakukan sebagai ―itu,‖ sebagai benda. Orang lain adalah objek
semata sehingga tidak dihargai keunikan dan kekhasannya. Orang
lain berguna bagi saya sejauh kehadirannya mendatangkan manfaat.
Di hadapan saya, orang lain hanyalah onggokan barang yang dapat
dilemparkan seenaknya.
Kedua, relasi Aku-Engkau. Dalam relasi ini orang lain dianggap
sebagai pribadi yang unik dan bermartabat. Setiap manusia
membutuhkan keberadaan sesamanya tanpa kalkulasi untung-rugi.
Karena itu, antara Aku-Engkau terjalin relasi saling membutuhkan,
saling pengertian, dan solidaritas. Marcel mengatakan bahwa dalam
relasi inilah terjadi relasi intimitas antarpribadi. Relasi itu melampaui
ruang dan waktu. Karena relasi ini maka penderitaan sesama juga
merupakan bagian dari airmata saya. Solidaritas seseorang terhadap

Edisi Februari 2013 9


Esai

teriakan para korban bencana alam, kekerasan antaragama, kekerasan


struktural menjadi niscaya.
Ketiga, relasi Aku-Tuhan. Relasi Aku-Engkau dilakukan oleh
manusia terbatas, maka kebahagiaan yang dihadirkan manusia tidak
pernah sempurna. Keterbatasan itu membuka manusia pada dimensi
lain yang transenden yakni Allah sebagai kasih tanpa batas. Marcel
percaya bahwa Tuhan menyempurnakan relasi manusia. Dalam diri
Tuhan terdapat kerinduan abadi untuk menghapus air mata derita
dan duka cita manusia.
Di mana tempat puisi-puisi LK? Puisi-puisi LK menasbihkan
sebuah relasi Aku-Engkau yang tidak memisahkan diri dari relasi Aku
-Tuhan. Di situ, kehadiran sesama termasuk segala penderitaannya
juga menjadi bagian dari pengalaman diri saya. Sensivitas terhadap
persoalan sosial, bahkan dalam pengalaman gelap manusia sekalipun
tidak dapat memisahkan manusia dari Allah. Sebagai makhluk
peziarah, manusia akan tetap membutuhkan Tuhan sebagai jawaban
dari segala persoalannya. Sebuah intimitas relasi Aku-Engkau akan
berakhir pada relasi Aku Tuhan.

SEJENAK KRITIK
Melalui puisi-puisinya, LK menunjukkan dengan menarik bahwa
melalui teriakan pemberontakan itu terbukalah sebuah dimensi baru
yakni keterarahan pada Tuhan. Manusia adalah makhluk
multidimensi yang terbuka terhadap segala kemungkinan. Terhadap
segala persoalannya, manusia tidak hanya bersikap diam, tetapi juga
perlu mengajukan pertanyaan dan gugatan. LK berbicara tentang
bagaimana menghadapi pengalaman penderitaan sebagai pengalaman
universal, yang pernah dialami setiap pribadi.
Seruan LK itu sangat relevan dengan situasi manusia zaman ini
yang mulai meninggalkan Tuhan sebagai jawaban. Namun, terdapat
beberapa aspek dari puisi-puisi LK, yang hemat saya, menyisakan
beberapa celah. Kemajuan sastra banyak kali dipacu oleh kritik dan
diskusi, bukan semata terletak pada sanjung puji. Sebab itu, saya
mengemukakan beberapa kritik untuk didiskusikan lebih lanjut.

10 KREATIF DAN INSPIRATIF


Esai

Elitisasi
Sebuah puisi entah mengungkapkan pengalaman universal manusia
lahir dari wilayah subjektif seseorang penyair. Sang penyair
mencermati apa yang dilihat dan dirasakannya dengan sudut
pandangnya sendiri. LK dalam SUT menunjukkan hal ini. Bertahun-
tahun kemudian/ aku mencari seorang filsuf yang berjalan siang hari
dengan lampu menyala di tangan,/karena bertarung mencari yang benar.
Mungkinkah dia mengenal engkau ?/Sewaktu kami di jalan bertemu, ia
besarkan nyala lampu lalu mendugai lubuk mataku, berseru:/Pengembara,
kita sama pejalan jauh menuju langit yang tak terjangkau./Tentang dia,
aku hanya bisa bertanya, filsuf tak pernah punya jawaban. Atau, Aku pergi
kepada sang nabi dan berkata dengan takzim:/ Salam padamu pewarta
firman./ Aku yakin, wahai nabi, engkau tahu yang kucari, ceritakan padaku
tentang dia./ Ia menjawab Aku bukan seorang nabi./ Pewarta sabda
hanyalah suara yang berseru di padang gurun: Siapkan jalan Tuhan
luruskanlah lorong-lorongnya.
Pada hemat saya, dua kutipan puisi SUT menampilkan LK sebagai
seorang pengajar filsafat dan imam Katolik. Pertama, pengalaman
mengajar kuliah filsafat ketuhanan dan filsafat manusia membuat LK
sering berbicara tentang Allah dan keberadaan manusia di hadapan
Allah. Selama kuliah filsafat ketuhanan, LK mengajak para
mahasiswanya untuk menggumuli para filsuf sepanjang sejarah yang
banyak berbicara tentang Tuhan. LK tidak hanya berbicara tentang
para filsuf ‗pemuja Tuhan‘ seperti Thomas Aquinas, Agustinus, Henry
Bergson, John Henry Newman, dan lain-lain. Namun, LK juga
memperkenalkan para filsuf atheis terkenal semisal Friedrich
Nietzsche, Karl Marx, Ludwig Feurbach, dan Sigmund Freud (Leo
Kleden: 2011). Ketika berbicara tentang ‗aku mencari seorang filsuf
yang berjalan siang hari dengan lampu menyala di tangan‘ (SUT), LK
sebenarnya berjumpa dengan pemikir atheis Friedrich Nietzsche.
Nietzsche mengumumkan kematian Allah (God is Tott) dalam
bukunya Zarathustra melalui seorang gila yang menyalakan lentera
dan mencari Tuhan di pasar walaupun hari masih siang (Nietzsche:

Edisi Februari 2013 11


Esai

1977, 125).
Kedua, Aku pergi kepada sang nabi dan berkata dengan takzim:/ Salam
padamu pewarta firman./ Aku yakin, wahai nabi, engkau tahu yang kucari,
ceritakan padaku tentang dia./ Ia menjawab Aku bukan seorang nabi./
Pewarta sabda hanyalah suara yang berseru di padang gurun: Siapkan
jalan Tuhan luruskanlah lorong-lorongnya. Kutipan ini menunjukkan LK
sebagai rohaniwan Katolik. Ketika berbicara tentang ―pewarta sabda
hanyalah suara yang berseru di padang gurun: Siapkan jalan Tuhan
luruskanlah lorong-lorongnya‖ (SUT), LK berjumpa dengan seorang
nabi besar agama Katolik yakni Yohanes Pembabtis (termaktub dalam
Alkitab yakni Injil Yohanes, 1:19-28, terutama ayat 23).
Terhadap dua kutipan puisi di atas, saya menemukan adanya
pembatasan makna. Publik baca puisi yang belum memiliki bekal
filsafat mumpuni akan mengalami kesulitan untuk mendalami
pertemuan LK dengan para filsuf. Dan juga saudara-saudari yang
menganut agama dan keyakinan lain, serta kaum atheis akan menemui
kesulitan ketika LK mengajak mereka bertemu dengan Yohanes
Pembabtis. Pembatasan makna ini disebut Paul Budi Kleden sebagai
elitisasi puisi (Budi Kleden dan Otto Madung: 2009, hlm. 460-464).
Artinya, bergerak dari sebuah pengalaman universal yang objektif,
para penyair dapat saja terperangkap dalam wilayah subjektifnya.
Alhasil, puisi sebagai pengungkapan realitas hanya menjadi milik
kelompok tertentu, dan bisa jadi tidak menjadi konsumsi umum semua
publik baca puisi.

Contemplatio Tanpa Aksi?


Dalam situasi suram hidupnya, manusia dapat membuka dirinya
pada dimensi lain, yakni kedatangan Allah sendiri yang mengubah
sajak air mata duka menjadi sajak doa di larik akhir, demikian anjuran
LK dalam puisi SUT. Berhadapan dengan tantangan manusia dapat
mengajukan pertanyaan eksistensial dan berakhir dalam sujud doa
pasrah dan sujud menyembah Tuhan.
Ketika membaca puisi SUT, saya membayangkan seorang manusia
yang sudah sangat letih karena banyak bencana dan pencarian yang

12 KREATIF DAN INSPIRATIF


Esai

tidak usai tentang Tuhan. Terhadap kegoncangan imannya itu, Allah


datang menyapa dengan cara-Nya sendiri. O Cahaya mahacahaya,/
Sunyi suci yang melahirkan Kata,/ lebih kaya dari cinta lebih miskin dari
rindu, di tengah wajah kanak-kanak lapar, aku sujud menyembah engkau.
Sebagai tanggapan atas sapaan Allah itu, manusia hanya bisa tunduk
menyembah Allah dan merenungkan ‗wajah kanak-kanak lapar‘ dalam
doa dan sujud di hadapan Tuhan.
Sujud dan doa mengarahkan manusia manusia ke dalam
kontemplasi, keheningan meditatif bersama Allah. Dalam keheningan
itu, ‗kanak-kanak lapar, ayahnya yang pemabuk, dan ibunya yang
pelacur, serta kemiskinan‘ direnungkan dalam doa. Penderitaan
mereka yang miskin hanya ditanggapi dalam teriakan, tangisan, dan
‗solidaritas berbatas kamar.‘ Ketika SUT berhenti pada doa dan sujud,
saya, sekali lagi, membayangkan seorang manusia yang hanya berdoa
tanpa bekerja, berdoa tanpa terlibat dalam aksi konkret untuk
membantu kaum miskin dan terpinggirkan. Keheningan itu lalu hanya
berupa contemplatio tanpa aksi, suatu sujud syukur untuk Tuhan dalam
kelupaan akan sosialitas konkret.
Rentang sejarah menunjukkan bahwa contemplatio tanpa aksi dari
para rohaniwan itu sering menuai kritik. Dalam novelnya The Grand
Inquisitors, Fjodor Dostoevsky sastrawan Rusia tersohor itu menulis:
―Ajaran tentang cinta kasih telah dikerangkeng dalam otoritas,
sistem, dan tafsiran-tafsiran‖ (Dostoevsky:1980, hlm. 4 dan 13).
Dostoevsky mengulas tentang cinta kasih yang mesti lepas bebas.
Para rohaniwan agama Katolik, misalnya, diharapkan untuk tidak
hanya berkotbah tentang Allah sebagai Kasih di atas mimbar-altar
misa, atau berdoa seturut tata aturan liturgis yang indah, tetapi mesti
turun langsung ke lapangan kehidupan konkret. Mereka mesti
menampilkan wajah Allah sebagai Kasih dengan turun langsung
membela hak-hak kaum miskin, rakyat yang kehilangan tanahnya
karena pertambangan, kekerasan politis dan budaya terhadap kaum
perempuan, dan lain-lain. Cinta kasih terhadap sesama perlu
dibebaskan dari otoritas, sistem, dan prasangka-prasangka religio-
sosial.

Edisi Februari 2013 13


Esai

Seturut tradisi Kristen, ajaran tentang cinta kasih secara konkret,


hemat saya, terdapat juga dalam perumpamaan tentang ―Orang
Samaria yang Murah Hati‖ (dalam Alkitab, Lukas, 10: 25-37). Seturut
kisah itu, seorang pejalan kaki yang sekarat karena dirampok dengan
kejam mengalami perlakuan berbeda dari tiga pejalan yang lewat di
jalan itu. Seorang imam dan kaum Lewi yang dipercayakan sebagai
pemimpin umat dan pembawa persembahan kepada Tuhan
membiarkan orang itu tetap tergeletak, tanpa menolong. Mereka
bahkan ‗melewatinya dari seberang jalan.‘ (ayat 33). Sedangkan orang
Samaria, yang sering dinilai kafir oleh bangsa Yahudi, ‗tergerak
hatinya oleh belas kasihan‘ (ayat 34), merawat, memberikan orang
sekarat itu penginapan.
Apa yang mau dikatakan dari cerita ini? Dalam hidup setiap hari
banyak orang sering terpenjara dalam ritus, doa, dan tafsiran-tafsiran
eksegetis. Namun, dalam kenyataan konkret, ajaran tentang kasih
dinafikan dalam tatanan kebersamaan. Dalam konteks inilah, saya
berharap kiranya manusia kelana dalam puisi SUT tidak hanya
merenungkan tentang ‗kanak-kanak lapar‘ dalam doa dan sujud pada
Tuhan. Karena, menggantungkan harapan pada Tuhan dalam situasi
terbatas tanpa berbuat apa-apa sebenarnya mengingatkan saya kepada
para pekerja yang setiap saat mengucapkan doa, tetapi sementara itu
pekerjaan dan sosialitas mereka sendiri terlantar.

PERUBAHAN HARUS MULAI DARI DOA


Terhadap kritikan terakhir, saya coba menemukan jawaban. ‗Saat
kita menemukan dunia terlalu buruk,‘ demikian tulis seorang novelis
terkenal bernama Gustavo Faubert, ‗kita mesti mengungsi ke dunia
lain.‘ Melalui puisi-puisinya LK menawarkan bahwa ‗dunia lain‘ itu
adalah alam permenungan teduh di alam sunyi. Dunia yang sementara
hiruk dan gelisah mesti tidak membuat kita terjebak dalam aktivisme
(kegilaan beraktivitas) tetapi berujung pada hening sujud dan doa di
hadirat Tuhan. Pembaharuan mesti lahir dari pergulatan pribadi
dengan Tuhan (dalam doa) untuk bangkit dari segala pengalaman
penderitaan dan kebobrokan. Dengan kata lain: Perubahan mesti

14 KREATIF DAN INSPIRATIF


Esai

dimulai dari doa!


Doa merupakan ucapan syukur karena Tuhan berkenan
mengunjungi manusia yang sementara rapuh karena pelbagai
tantangan dan derita. Doa memberi kekuatan baru untuk bangkit dari
pengalaman buruk yang dialami dan juga orang lain. Yesus Kristus,
sebelum memulai karya cinta kasih-Nya diuji melalui puasa total di
padang gurun dan godaan para iblis. Hanya melalui doa dan
pengalaman pertemuan dengan Allah dalam penderitaan-Nya itu,
Yesus dapat memulai karya-Nya untuk membebaskan manusia dari
penindasan dosa, menyembuhkan yang sakit, melawati orang berdosa,
dan bergaul dengan para fakir miskin. Muhammad harus diejek oleh
para musuhnya dan tinggal dalam kesunyian doa di gua sebelum
mendirikan Islam. Siddharta Gautama meninggalkan kemewahan
istana untuk bermatiraga, berpuasa, dan berdoa dalam kepekatan
hutan sebelum memulai ajaran tentang Budha. Mungkin dalam
konteks inilah kita dapat memahami alasan LK menutup SUT dengan
selarik doa.
Setiap manusia adalah peziarah menuju Tuhan, demikian amanat
LK dalam SUT. Manusia selalu mengunjungi zaman-merambah
tempat untuk menjawabi kerinduan bertemu Tuhan sebagai tujuan
dan makna hidup. Pencarian manusia itu berakhir pada kepasrahan
total kepada Tuhan. Pertemuan dengan Tuhan melalui patahan-
patahan doa dapat membangkitkan manusia dari keterpurukan. Dalam
bahasa Chairil Anwar: Tuhanku dalam termangu/Aku masih menyebut
namaMU/Biar susah sungguh menyebut Kau penuh seluruh/cayaMU panas
suci/tinggal kerdip lilin di malam sunyi/ Tuhanku aku hilang bentuk
remuk/Tuhanku aku mengembara di negeri asing/Tuhanku di pintumu aku
mengetuk/Aku tidak bisa berpaling (Doa, 1943). ***

Edisi Februari 2013 15


Esai

BAHAN BACAAN

Anwar, Chairil. Aku ini Binatang Jalang. Jakarta: Gramedia Pustaka


Utama, 1986.
Dostoevsky, Fjodor. The Grand Iniquisitors, translated by Constance
Garnett. New York: Frederick Ungar Publishing. 1980.
Kleden, Leo. ―Filsafat Ketuhanan‖ (ms). Maumere: STFK Ledalero,
2011.
Kleden, Leo. ―Filsafat Manusia‖ (ms). Maumere: STFK Ledalero, 2011.
Kleden, Leo. ―Analisis Puisi Sutardji Calzoum Bachri‖. Dalam: Kompas, 1
September 2007.
Kleden, Paul Budi dan Otto Gusti Nd. Madung. Menukik Lebih Dalam.
Maumere: Ledalero, 2009.
Kirchberger, Georg. Allah Menggugat. Maumere: Ledalero, 2007.
Kurnia, Anton. Dunia Tanpa Ingatan: Sastra, Kuasa Pustaka. Bandung:
Jalasutra, 2004.
Lembaga Alkitab Indonesia (LAI). Alkitab. Jakarta: LAI, 1988.
Mangunwijaya, Y.B. Sastra dan Religiositas. Yogyakarta: Kanisius, 1988.
Marcel, Gabriel. Homo Viator: Introduction to A Metaphysic of Hope,
translated by Emma Craufurd. Chicago: Henry Regnery Company, 1951
Nietzsche, Friedrich. Zarathustra, penerj. H. B Jassin. Yogyakarta: Jejak,
2007.

*) Redem Kono adalah Ketua KMK Ledalero, Koordinator Diskusi Filsafat Ledalero,
dan Sekretaris Seri Buku VOX Seminari Tinggi St. Paulus Maumere. Bergiat di
kelompok Teater Alithea Ledalero, dan dua teater karyanya: Tempat Kami Bukan
Tempat Tidur (2011), dan Membunuh Cahaya (2012) telah dipentaskan kelompok
Teater Alithea pada kesempatan pertemuan para aktivis perempuan di Nelle (Sikka)
dan pada peringatan 75 Tahun Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero.

16 KREATIF DAN INSPIRATIF


CERPEN
Gadis Kecil dan Penari
Nong Djese

1.
Kemudian kegelapan mulai bermalam di kampung kami. Seperti
malam-malam yang sudah-sudah, ia datang dan baru pergi setelah
pagi meninggi. Aku ingat betul malam itu. Kala itu, aku berumur
empat tahun dan kakak lima tahun. Dalam umur yang begitu belia,
kata-kata bapa benar-benar ajaib menyihirku. Aku tersihir. Kata-kata
itu tidak bisa hilang dari benakku dan aku tidak bisa tidur karenanya.
Malam semakin menua tetapi mataku tidak juga mau terkatup. Inikah
rasa itu, pikirku waktu itu. Indah bukan main.
―Besok Ama akan ikut perahu motor pagi ke kota, Ama ingin
membelikan kamu dan kakakmu hadiah.‖
―Asyik... Hadiah apa, Ama? Saya dan kakak mau Ama kasih hadiah
apa Amak?”
Bapa belum pernah memberikan hadiah buatku sepanjang yang
kutahu, kakakku juga tidak. Makanya saat itu benar-benar indah dan
mendebarkan. Aku yakin kakak juga punya pengalaman yang sama.
Jantung yang berdebar-debar, penarasan yang membuncah, hati yang
menanti dan malam yang menunggu. Ah indahnya mengangankan
hadiah dari bapa saat itu. Menyebut kata hadiah saja rasanya tubuhku
merinding dan hatiku gentar. Seperti apa hadiah itu. Bapa memang
seminggu sekali ke kota membeli beberapa keperluan dan mengurus
surat-surat dari dan ke kantor desa di kampung kami. Sepulang dari
kota, bapa sering membawa aneka kue, roti, ataupun beberapa helai
baju dan celana buat aku, kakak dan mama. Untuk mama, terkadang
bapa juga membeli beberapa kantung sirih dan pinang segar. Itu
sudah biasa. Tetapi ketika pemberian bapa disembunyikan dalam kata
hadiah, ah rasanya mau mati saja. Penasaran yang lamat-lamat
menjadi ketakutan, lalu diam-diam menusuk-nusuk jantung dan tiba-
tiba menarik-ulur hatiku. Jantung ini deg-degan, berdebar-debar,
porak-poranda dan carut-marut. Rasa yang mendebarkan tapi
Edisi Februari 2013 17
Cerpen

serentak mempesona. Tak sanggup aku mengira-ngira. Itulah malam


terpanjang dalam hidupku. Aku pun terlelap.
―Ayo bangun, Binek...”
―Kaka, saya masih mengantuk ah.‖
Tirai-tirai cahaya menggaris masuk lewat celah-celah gedek di
kamar. Aku terperanjat ketika matahari sudah jauh di atas langit.
Aduh. Aku terlambat bangun. Pasti Bapa sudah pulang dari kota.
Padahal waktu itu, sebenarnya aku ingin bangun pagi-pagi, lalu
mengajak kakak mengantar bapa di pelabuhan. Bersama kakak, aku
ingin terus menunggu di sana dengan hati berdebar-debar sampai
bapa kembali membawa hadiah buat kami. Sayangnya, aku telat.
―Mana Ama, mana hadiah buat saya, Kaka?”
―Ini, coba lihat sendiri....‖
Aku ingat, betapa terkejutnya aku waktu itu, mungkin itulah kali
pertamanya aku mengenal arti kejutan. Aku masih saja merinding
ketika mengingatnya. Kakak memberikan aku sebuah bungkusan agak
besar. Wajahku pucat lesi. Berdebar-debar aku membukanya. Wahai.
Sebuah boneka kecil berambut pirang. Senangnya hatiku waktu itu.
Bapa membelikanku sebuah boneka berukuran kecil seperti kanak-
kanak dalam gendongan. Boneka itu lucu sekali. Tangan dan kakinya
bisa digerak-gerakkan ke depan dan ke belakang seolah sedang
berjalan. Lehernya bisa di putar-putar ke kiri dan ke kanan seakan
dapat menoleh-noleh. Pinggangnya juga. Bajunya berwarna merah
jambu, sewarna dengan roknya yang juga berenda. Yang paling
kusuka adalah matanya. Mata itu bulat, bening dan indah. Aku ingat
betul mata itu, bahkan sampai sekarang. Mata itu benar-benar mata
seorang kanak-kanak. Polos. Mata yang melihat namun kosong.
Menyapa tapi mengabaikan. Mengenal cuma tak menggubris. Satu
lagi kebolehan boneka itu, kelopak matanya akan turun mengatup
ketika dibaringkan. Sepertinya, ia sedang tertidur ketika dibaringkan.
Bahagianya mendapat kejutan itu. Tapi rasa penasaranku belum utuh
terjawab. Aku masih penasaran, seperti apa hadiah bapa buat kakak?
Tiba-tiba mukaku basah kecipratan air. Kakak mengembunyikan

18 KREATIF DAN INSPIRATIF


Cerpen

sesuatu di belakang pinggangnya. Ia tersenyum nakal. Benda aneh


muncul lagi dari pinggangnya, dari sana keluar air dan sekali lagi
memerciki mukaku. Benda itu serupa pistol dan dari moncongnya
keluar air jika ditembakkan.
―Apa itu, Kaka?‖
―Hahahaha, Pistol air.‖
Pertama kali aku dan kakakku mendapat kejutan dari bapa.
Pertama kali kami dibuat memendam penasaran yang membuat tidur
tak lena. Pertama kali pula aku memiliki boneka cantik hadiah dari
bapa. Malangnya, itu yang terakhir.

2.
Aku ingat siang itu. Aku masih bermain-main dengan boneka
hadiah dari bapa, ketika dari kamar kudengar banyak suara ribut-ribut
di depan rumah kami. Aku mulai mengintip dari balik celah-celah
gedek. Di sana ada banyak orang berkumpul dan berbicara keras-
keras dengan bapa. Entah apa yang mereka perbincangkan. Sayup-
sayup aku hanya bisa mendengar mereka beberapa kali menyebut
Paha Kemala. Sementara yang lain diam, menyimak penuh perhatian.
Entah apa maksudnya. Kulihat bapa juga turut mendengar dengan
penuh perhatian. Air mukanya bernyala-nyala. Aku berhamburan
keluar kamar. Di dapur kulihat mama duduk di dekat tungku,
bersimbah air mata sambil memeluk kakak. Kakak hanya diam sambil
terus menyemprot-nyempot air dari pistolnya. Aku turut memeluk
mama dan bersamanya aku menangis dengan alasan yang tak pernah
kumengerti. Saat itu, aku hanya merasa akan ada lagi air mata setelah
air mataku ini, entah kapan. Mama mengusap air matanya dan air
mataku.
―Ina, ada apa?”
―Tidak ada apa-apa, Sayang, tidak akan terjadi apa-apa. Yakinlah
semuanya akan baik-baik saja, Sayang.‖
Jika tidak ada kata sepakat antara kita dengan mereka, maka kita
harus melakukan Tubak Belo dan biarlah semuanya terungkap, di

Edisi Februari 2013 19


Cerpen

pihak mana Koda akan berada. Di pihak kita ataukah di pihak mereka.
Malam ini juga kita harus berkumpul lagi di sini. Setelah semua
berkumpul, kita berangkat ke Nuba Nara bersama-sama untuk
membuat upacara Bao Lolon. Yakinlah bahwa Koda Kewokot akan
membenarkan kita. Kita harus merebut kembali tanah kita, hak kita
sejak nenek moyong dan harga diri kita. Kewokot pasti merestui kita.
Dari depan rumah, terdengar suara yang semakin meninggi, mungkin
kerena jumlah yang berkumpul juga kian banyak. Suara teriakan
mereka semakin jelas terdengar.
―Itu suara Ama, Ina!‖
―Iya, Sayang, itu suara Ama. Sudah tugas Ama sebagai kebelen
untuk berbicara membela tanah kita, Sayang. Kelak jika kalian sudah
besar, kalian pasti akan mengerti.‖
Malam itu, berbeda dengan malam yang sudah-sudah, aku dan
kakak tidur bersama mama. Bapa sedang pergi bersama orang-orang
yang datang tadi siang. Mama lalu bercerita lagi tentang sejarah
leluhur kami. Ia bercerita tentang Ama Kelake Ado Pehan yang jatuh
cinta dan menikah dengan Ina Kewae Sode Bolen. Kedua suami isteri
ini adalah leluhur suku kita, kata mama. Aku senang mendengarnya.
Mama juga bercerita tentang dua kakak beradik, Paji dan Demon yang
senantiasa berperang. Hingga keturunan mereka, peperangan tetap
berlangsung, tiada henti. Kakak suka mendengarnya. Tapi aku benci
cerita tentang peperangan. Kakak suka, karena bersama teman-
temanya, ia sering bermain tembak-tembakan dengan pistol airnya. Ia
selalu ingin berperang, jika sudah besar.
―Ina, cerita lagi tentang seorang penari dari negeri cahaya, yang
pernah Ina cerita dulu.”
―Ina, cerita terus saja tentang kisah Paji dan Demon tadi, ayo
Inak....‖
―Jangan Ina, saya tidak suka cerita itu Inak.‖
‖Sudahnya kalian jangan bertengkar, lebih baik kalian tidur sudah,
besok kita harus bangun pagi-pagi. Ina mau ke rumah Opu di kota,
siapa yang mau ikut Ina?”

20 KREATIF DAN INSPIRATIF


Cerpen

―Saya, Ina.‖
―Saya juga, Ina... Saya juga mau ikut Inak.‖
―Iya, kalian berdua boleh ikut, jadi sekarang kita tidur sudah.‖
Dan kamipun terlelap. Tak pernah aku lupa kala itu, aku larut
dalam mimpi tentang seorang gadis kecil dengan boneka yang
bertemu seorang penari dari negeri cahaya. Di lehernya, melingkar
selembar Senai yang bercahaya. Terang. Syahdan terang pun
berpendar di ufuk timur kampung kami. Akulah gadis kecil itu dan
hari itu mimpiku menyata.

3.
Di jalan kampung ini, debu beterbangan bercampur dengan kabut
asap yang mengepul. Lihatlah di ujung sana, dua buah truk terbakar.
Belasan sepeda motor di dekatnya juga ikut bernyala-nyala. Mungkin
juga dibakar. Di sela-selanya, bom rakitan meledup-ledup, senapan
rakitan ikut bernyala-nyala. Asapnya melambung tinggi menyentuh
puncak Ile Boleng, lalu turun menyapa pantai Wato Tena,
dihempaskan angin laut dan kembali bercampur dengan dededu di
sana. Kemudian ia larut bersama bau minyak tanah dan bensin,
bersenyawa dengan bau asam peluh dan bau anyir darah, terus
menggulung-gulung lalu mengangkasa lagi. Lihatlah, ada seorang
perempuan kecil di sana dengan sebuah boneka di tangannya.
Di kejauhan, dari bawah pantai Wato Tena muncul sesosok
bayangan yang bercahaya. Di belakangnya seribu cahaya
berhamburan membayangi. Ia berlari setengah melayang-layang.
Sesekali ia berputar-putar, meliuk-liuk dan melenggok-lenggok.
Kadang kedua tangannya terangkat, dan menunjuk-nunjuk langit,
sambil menengadah ke atas, seakan ingin menggapai langit. Tangan
dan jemarinya yang lentik jatuh, lantas melayang lagi, bergerak-
gerak, mengepak-ngepak, menggaris-garis udara lagi, semacam
penari yang sedang meragakan sebuah tarian. Gerakan tubuhnya
persis seperti penari di pentas agung. Niscaya orang yang melihatnya
mungkin akan mengira ia seorang ballerina yang berbakat.

Edisi Februari 2013 21


Cerpen

Ia terus berlari dengan langkah yang gemulai meninggalkan


pantai menuju tempat di mana kepulan asap dan debu itu sedang
berkecamuk. Asap dan depu yang mengepul tak diindahkannya. Ia
terus saja menari. Di lehernya bergantung selembar Senai.
Perhatikanlah Senai itu. Ia bercahaya terang keemasan. Ia meliuk-liuk
diterpa angin pantai. Tak pernah ada Senai seindah itu.
Dengan iringan bunyi letupan bom rakitan, dor-doran mulut
senapan, gemerincing parang yang saling beradu, dentingan tombak
yang menusuk-nusuk dan raungan sirena, ia masih terus menari.
Tengoklah betapa eloknya tarian itu. Dengan sehelai Sinai, ia
melenggak-lenggok di antara rongsokan truk yang hangus terbakar.
Lalu ia menyusup di celah para penghunus parang yang tampak saling
menyabit, dan darah menetes di sana. Ia menyelinap di sela para
penikam tombak yang mulai saling menghujam, lalu luka menganga.
Ia menyerobot di tengah para penembak dengan senapan rakitan,
syahdan tubuh pun berjatuhan. Ia menyelundup di sekitar para
pelempar bom, kemudian bau gosong daging tercuim. Ia menari-nari
di antara mereka tanpa peduli keadaan sekitarnya.
Tubuhnya melenggok dan meliuk dengan lompatan-lompatan
kecil. Gerakannya ritmis dan harmonis dengan setiap geliat dan
bebunyian di sekitarnya. Kadang ia melompat, tapi tidak terlalu
tinggi, sambil melambaikan Senai yang bercahaya keemasan ke udara
dengan kedua tangannya. Cahayanya meluas, membasuh semuanya.
Sesekali ia tampak menyeruak, menunduk sambil merentangkan
kedua tangannya. Senai itu semakin bercahaya keemasan dan kian
terang. Cahayanya berpendar mengikuti gerak sang penari, bagai
garis-garis api kuning yang berjuntai lembut. Menari-nari.
Adakalanya ia berputar-putar, berayun-ayun ayu sambil bermain
dengan jejarinya yang melentik. Terkadang salah satu kakinya
terangkat tinggi, terjulur ke udara sambil terus berlenggak-lenggok.
Ia tetap menari di antara mereka seakan tak terjadi apa-apa. Tidak
ada seorangpun yang menyadari kehadirannya, kecuali gadis kecil di
pinggir jalanan tadi. Lihatlah gadis kecil dengan sebuah boneka di

22 KREATIF DAN INSPIRATIF


Cerpen

tangannya itu. Ia masih saja diam mematung. Beberapa kali ia


mengangkat kepala melihat bapanya yang ada di antara mereka, di
tengah kabut asap dan debu yang semakin menebal. Sehelai Nowin
Miten yang melingkar di pinggang sang bapa bergetar dihembus
napsu dan amarah. Dengarlah dengan saksama suara teriakan
bapanya yang menggema: Koda Mureng Tobu Lewum, Koda Nalang
Pekeng Lewum. Betapa suara itu menyalak-nyalak penuh gairah.
Sosok itu masih ingin menari, namun ketika melihat sang gadis, ia
menghentikan gerakannya. Ia menghampiri si gadis. Lihatlah
sungguh wajah itu lalu tersenyum. Senyumnya penuh luka. Wajahnya
pucat, lemah dan lesu. Pandangan matanya sayu. Ah sekalipun sayu,
mata itu bulat, bening dan indah. Ingatkah kalau mata itu adalah mata
seorang kanak-kanak. Polos. Mata yang melihat namun kosong.
Menyapa tapi mengabaikan. Mengenal cuma tak menggubris. Bocah
kecil itu mungkin merasa pernah melihat mata seperti itu. Dari
mulutnya keluar nyanyian sendu yang mengiris-iris hati. Semakin
dekat, kian terdengar suaranya yang miris. Ia bernyanyi seperti orang
yang tengah berbisik. Berdesis, pelan dan syahdu.
Lalu mereka duduk bersama di ujung parit seberang jalan.
Cahayanya meredup. Ia mulai bercerita kepada gadis kecil itu tentang
perjalanannya yang jauh serta tentang penantian dan pengharapannya
yang penuh. Semerbak harum bunga setaman dari tubuhnya tercium
ketika mereka berdekatan. Ia datang dari negeri cahaya, katanya.
Telah lama ia berjalan dan beribu-ribu tahun dilewatinya dengan
harap dan cemas. Pastilah sebuah penantian yang terlampau lama. Ia
sedang dalam perjalanan menuju Nuba Nara. Namun ia tidak tahu
persis di mana tempat itu. Ia tak punya petunjuk arah. Ia hanya bisa
menari dan bernyanyi karena ia yakin tarian dan nyanyian akan
menuntun langkah kakinya, menentukan arah baginya untuk bertemu
dengan Kewokot. Asanya tidak pupus, malah kian membara. Ia lalu
bertanya,
―Sedang apa kamu di sini, Nak?‖
―Saya mencari Amak!”

Edisi Februari 2013 23


Cerpen

Pandangan mata kanak-kanak lucu itu terus menjauh ke arah


Tubak Belo yang tengah berkecamuk di antara kabut asap dan debu.
Di sana bapanya berjibaku untuk sesuatu yang tidak dimengertinya.
Wujud itu bangkit berdiri, sampai berjumpa lagi katanya penuh
harap. Ia berjalan menjauh. Gadis itu mencoba meraih tangannya.
Pastilah ia ingin mengatakan sesuatu atau mungkin juga ia mau
berbagi cerita dengannya. Ia ingin mengutarakan betapa ia ingin
menangis sekuat-kuatnya karena bapanya dan semua Ata Ribu Ratu
Lema di sana. Mengapa saudara membantai saudara. Teman melibas
kawan. Ia ingin menceritakan semuanya kepada rupa penuh cahaya
itu. Namun wujud itu ingin berjalan dan menari lagi. Cahaya yang
sedari tadi meredup, kini berpendar lagi. Sebelum berlalu pergi, ia
mengulurkan tangan menyambut tangan si kanak-kanak. Ia
memberikan sehelai Senai yang bercahaya emas itu untuk si gadis.
Dengan tangan yang gemulai ia mengalungkannya di leher sang
gadis seraya menyuruhnya untuk meninggalkan tempat itu. Alangkah
terkejutnya gadis kecil itu. Namun hatinya gembira. Ia suka.
―Terima kasih....‖
Gadis kecil itu sepertinya yakin kelak mereka akan bertemu lagi,
entah di mana. Si gadis pun pergi menjauh meninggalkan bekas tapak
kaki dan tangan si penari tadi. Ada beratus tetes darah yang
tertinggal di tapak-tapak itu. Segar dan hangat.

4.
Ketika pagi terbit, carilah sebuah koran pagi di kota anda. Bacalah
berita di halaman pertama koran itu. Warga dua kampung yang
bertetangga terlibat perang tanding lagi untuk kesekian kalinya.
Mereka memperebutkan sebidang tanah ulayat suku mereka. Dalam
insiden itu, dua buah truk hangus terbakar karena di bom, belasan
kendaraan bermotor juga ikut terbakar, puluhan rumah hangus,
belasan orang menderita luka-luka dan seorang lainnya meninggal
dunia.
Namun apabila anda ada di kota ini, datanglah ke rumah sakit kota

24 KREATIF DAN INSPIRATIF


Cerpen

ini. Tengoklah di ruang jenasah rumah sakit itu. Ada seorang ibu
yang sedang menangis meraung-raung, meratapi kematian suaminya
akibat perang tanding itu. Ia tidak sendiri, dalam rangkulannya ada
dua orang anak kecil. Yang seorang perempuan, sedang memegang
boneka berwarna merah jambu. Seorang lagi laki-laki, tengah
menggenggam pistol air di tangannya. Betapa pilunya.
Astaga. Lihatlah, tiba-tiba perempuan kecil itu terperanjat dalam
pelukan ibunya. Ia melihat siluet yang tak asing sedang berdiri di
pintu kamar jenasah. Ia mengenalnya. Betul. Itulah rupa penari dari
negeri cahaya. Matanya redup menatap sang gadis. Ada lubang
berluka di kedua telapak tangan rupa itu. Juga kedua telapak kakinya.
Dari lambungnya juga terkuak sebuah luka. Gadis kecil itu semakin
terperangah. Aduh.
―Rera Wulan…!!!!‖
****
Siang, 16 November 2012

CATATAN:
(keseluruhan bahasa daerah dan istilah dalam cerita ini merupakan
bahasa ibu dan istilah dalam budaya Lamoholot khususnya tanah
Boleng – Adonara, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur - NTT).
1. Ama: Bapa, Amak: Bapaku.
2. Binek: Saudari.
3. Ile Boleng: Gunung Boleng, gunung berapi di pulau Adonara,
NTT.
4. Pantai Wato Tena: Pantai dengan sebuah batu besar (Wato)
berbentuk perahu (Tena) di depan kampung Leworere – Pulau
Adonara, NTT.
5. Senai: Selendang yang ditenun menurut motif Adonara.
Biasanya dipakai oleh perempuan untuk menari.
6. Nowin Miten: Sarung hitam yang dipakai sebagai tanda
kebesaran pemimpin laki-laki (Kabelen).
7. Koda Mureng Tobu Lewum, Koda Nalang Pekeng Lewum berarti:

Edisi Februari 2013 25


Cerpen

Jika anda benar, anda tetap menghuni kampung anda, jika anda
kalah, keluarlah dari kampung anda sendiri.
8. Nuba Nara: Batu besar yang dianggap keramat menurut budaya
masyarakat Adonara dan diyakini sebagai tempat bersemayam
roh nenek moyang mereka.
9. Kewokot: Roh leluhur/nenek moyang yang sudah meninggal.
10. Tubak Belo: Perang tanding.
11. Ata Ribu Ratu Lema: Masyarakat, orang banyak, rakyat.
12. Koda: Sabda tentang Kebenaran/Inti dari sebuah keyakinan atas
sebuah kebenaran yang diperjuangkan.
13. Paha Kemala: Pematokan/Pemasangan tapal batas.
14. Bao Lolon: Ritus membuat sumpah adat dengan meneteskan
tuak putih di atas Nuba Nara untuk suatu ujud tertentu.
15. Koda Kewokot: Sabda keramat leluhur.
16. Ina: Mama. Inak: Mamaku.
17. Kebelen: Pemimpin, kepala kampung.
18. Ama Kelake Ado Pehan: Laki-laki leluhur pertama menurut
legenda asal-usul orang Adonara, NTT.
19. Ina Kewae Sode Bolen: Wanita leluhur pertama menurut legenda
asal-usul orang Adonara, NTT. Konon keduanya; Ina Kewae
Sode Bolen dan Ama Kelake Ado Pehan adalah sepasang suami
isteri.
20. Paji dan Demon: Dua suku yang dilegendakan sebagai dua
saudara, kakak beradik yang terlibat dalam peperang.
21. Opu: Om, saudara laki-laki dari pihak mama/ibu.
22. Rera Wulan: Tuhan, Rera Wulan Tana Ekan (Allah Bapa dan
Allah Ibu) merupakan Wujud Tertinggi dalam kepercayaan
religius tradisional orang Lamaholot, Flores Timur, NTT.

*) Nong Djese, 28 Tahun, menetap di Oepoi, Kupang. Menulis Cerpen dan Puisi untuk
mengisi kekosongan di sela-sela kesibukan sebagai PNS di Lingkup Pemerintah
Provinsi NTT. Sebagian dari cerpen-cerpen itu sudah dimuat di Harian Lokal NTT.

26 KREATIF DAN INSPIRATIF


Cerpen

Nelayan
Deodatus D Parera

JOHN memilih untuk belajar bagaimana mencari nafkah di kota.


Setelah Oecusee menjadi lebih tenang akhir-akhir ini. Daerah Wini
adalah wilayah pencarian ikan yang amat menguntungkan bagi para
nelayan. Sesudah ‗mencari‘, istilah ini kedengaran aneh bagi orang
awam ketika menjumpainya dikatakan oleh para nelayan ini ketika
masuk ke laut untuk menjaring ikan. John akan menghubungiku kalau
-kalau hasil tangkapan yang tak seberapa seharian itu bisa saya jual.
Saya lebih suka menunggu setiap kepulangan mereka. Sebagai agen,
aku tak perlu repot untuk masuk ke laut dan lelah menunggu untuk
beberapa malam di hadapan pukat malam, atau pukat cincin dan atau
mata kail anyo, mata kail berangkai tiga, atau pancing biasa. Ia pulang
dengan membawa gargantang dua ekor. Lumayan untuk hidup
beberapa hari. Penjualan dilakukan dengan cara, ikan itu ditimbang,
berapa kilogram sudah dengan harganya masing-masing. Dua ekor
itu tuntas dengan harga tujuh ratus ribu, entah berapa beratnya aku
tak butuh itu. Uang adalah pilihan pertama setelah setiap kali
mencari. Bagiku, John tidak akan tahu sekalipun dia telah banyak
berhasil mendapatkan uang walau hanya dengan memancing itu pun
semalam tadi. Dan urusan kilogram adalah pada saat berikutnya
ketika John mencari lagi.
Kira-kira persahabanku dengan John berjalan cukup lama setelah
saling kenal ketika ia dari Oecusee menuju ke Wini untuk urusan
menjual ikan. Setelah itu, John memilih tinggal bersamaku dan demi
menafkahi hidup kami mengatur yang terbaik untuk itu. Dua tahun
sudah kami bersama. Dan dengan penghasilan selama ini, aku kira
keadaan bisa merubah nasip hidupku. Maka, aku memutuskan untuk
ke Kupang, mencari kerja yang sama namun dengan patner yang
berbeda. Aku dengar bahwa nelayan betapa sederhananya, hidup
adalah perjuangan. Membaca setiap awan, mendengarkan bahasa

Edisi Februari 2013 27


Cerpen

gelombang, menerjemahkan setiap terang bulan pada malam hari


adalah makna yang tidak aku lupakan. John lebih pakar dalam hal ini
walau fisika sewaktu sekolah dasar dulu diberi nilai nol besar oleh ibu
guru ilmu pengetahuan alamnya hal ihwal macam mana yang tidak ia
ketahui dalam hubungannya dengan laut. Ia bangga juga bahagia.
Lebih-lebih penghasilan yang telah kami peroleh selama ini. Aku tak
tahu akibat apa yang akan terjadi jika aku memutuskan untuk
mengutarakan maksudku. Untuk tidak didengar secara tiba-tiba, John
untuk pertama kalinya mendengar keluhanku selama dua tahun lebih
sudah.
―Kita ke Kupang saja. Harga ikan di sini kurang baik.‖
Kedengarannya hangat namun aku hanya ingin membutuhkan
tanggapan John terhadap rencana lain sebetulnya.
―Kupang? Mimpi mungkin. Kita tidak bisa hidup di Kupang,
kawan. Saya sangat yakin. Itu karena, beresiko kalau dipikirkan.‖
―John mendingan kita ke Kupang saja. Kita bisa cari uang lebih
banyak dan setiap bulannya kita bisa atur uang untuk kebutuhan yang
lebih baik. Wini sendiri selama dua tahun, kau tahu kita tidak begitu
berarti setelah memperoleh penghasilan yang cukup.‖
―Maksudmu? Maunya apalagi?‖
―Anak rantauan yang kurang meminati sahabat dekat ataupun
keluarga. Bagaimana mungkin hanya menjadi nelayan dengan tidak
punya siapa-siapa? John, kita terlalu jauh dari keluarga. Dan mungkin
kau ini egois.‖
―Aku tidak butuh itu. Sudah besar, urus nasib sendiri-sendiri. Bila
mengeluh mati. Bila tidak, mau hidup dari mana?‖
Di mata John selama ini, aku bingung dengan sikapnya sendiri.
Seperti tak punya keluarga saja. Menafkahi hidup tak butuh dari
mereka, ia begitu yakin. Tapi, ia begitu menikmati menjadi seorang
nelayan. Aku sendiri ingin belajar darinya tetapi sudah dua bulan, aku
tak sanggup lagi. Pelaut yang gila tingkahnya, gumanku berkali-kali.
Hanya saja, aku belum tahu betul bahwa pelaut menyimpan banyak
kenangan dengan laut dan ombak di setiap matanya. Pelaut belajar

28 KREATIF DAN INSPIRATIF


Cerpen

mengeja setiap peristiwa dan bahasa angin bahwa kemarin adalah hari
ini yang cepat terlupakan. Maka, hari ini bagi pelaut adalah segalanya.
Atau mungkin benar, pelaut mengenal setia inci air laut dalam jarak
pandangnya dan dari padanya pasir dan karang selalu merindukan
mata kail dan jaringnya dilepaskan untuk ikan-ikan yang seringkali
menanti kematian yang terlalu dini. Atau, ombak adalah tanda
kesetiaan dari laut ketika lingkaran cahaya di bulan dalam genggaman
pelaut. Aku adalah anak yang tak tahu itu sebesar pengetahuan John
bila ingin dibandingkan. Hal yang paling membanggakanku adalah
pelaut tak banyak membutuhkan teori. Aku di antara kelompok itu.
Malam ini, setelah lama bertengkar soal ke Kupang ia bilang
kepadaku, nama itu tanda, kawan. Kami tidur lebih awal dari biasanya.
Mumpung, gelombang laut belum juga tenang setelah hujan dua
minggu terakhir.
***
Panah asap putih dengan beberapa peristiwa susul menyusul kau
terjemahkan. Inilah saatnya menegaskan bahwa tanah, air, udara, dan
api adalah peristiwa kehidupan sebelum keabadian mencecapnya
dengan menulis pada garis tanganmu sendiri dengan tinta hitam
bahwa hari kelahiranmu itu adalah peristiwa terakhir menggenapkan
kehadiranmu. Suara mungilmu kau persembahkan untuk papa dan
mama setelah beberapa bulan mendoakan kehadiranmu di dalam suara
yang parau dari kitaran asap dapur yang mengepul di sekitar dada
mama dan bapa yang menanti buah hati pertama. Kau terlahir dengan
beberapa kekurangan, itu disadari oleh mereka berdua tetapi enggan
menceritakan satu kepada lainnya bahwa untuk itulah mereka tidak
rela melepaskan hidupmu tanda pagi dalam genggaman tangan
mereka.
―Papa, anak ini akan diapakan oleh opa dan omanya?‖
―Dia adalah cucu mereka dan anak kita. Kemari, ayahnya akan
menamakan dia, Johanes. Iya, ‗kan? Nama itu tanda, Nyonya.‖
Mimpi itu datang lagi. Papanya adalah seorang penggembala sapi.
Seorang telah percaya bahwa Liber mampu menjadi gembala untuk

Edisi Februari 2013 29


Cerpen

sapi-sapinya sehingga hanya dengan setiap bulannya satu dua ekor


dijajagi pada setiap pasar kota tempat terjauh dari jangkauan. Seperti
biasa keluarganya akan mendapatkan sedikit santunan. Ia tak lagi
berharap yang lebih. Setiap orang pasti tahu bagaimana dalam posisi
itu. Kalaupun tidak, semoga hal itu bukan kesengajaan. Dan dia bakal
dalam keadaan yang tidak mengesankan. Hari berlalu dan ia tumbuh
besar dalam genggaman pasangan yang setia dengan diam-diam tak
lagi mendoakan untuk dikaruniakan seorang anak lagi. Mereka
kemudian menitipkan Yohanes (Jhon) di pangkuan Opa dan Oma.
Anak ini mau diapakan? Begitu yang terucap setelah dalam rangkulan
Oma saat pertama mereka tiba di rumah.
Banjir yang melanda kampung itu tak sanggup meninggalkan
harta bagi setiap penduduk desa. Liber dan Tere memutuskan untuk
masuk kembali ke Dili. Segalanya dipersiapkan. Matahari belum juga
mengirim isyarat untuk pagi yang masih buta pada mata kalian. Sejak
saat itu, Jhon adalah nama yang diberikan oleh Opa dan Oma, bukan
Liber apalagi Tere. Kita mungkin tak pernah yakin ke Dili adalah
tujuan orangtua John. Mengapa sampai demikian, bukan pertanyaan
yang sanggup menghentikan langkah mereka sedetik pun. Sehingga
membiarkan pergi adalah satu-satunya jalan yang amat menyedihkan
sekaligus pintu yang menggelisahkan untuk dikatakan dengan
kalimat: sudah seperti itu, mau bagaimana lagi. Ironisnya, tidak ada
yang berkomentar layaknya orang kampung. Yah, mereka orang
kampung.
Mendengar ia bercerita aku bisa merangkai kembali seperti ini.
Sebelum hujan ini reda, aku belum juga bisa tertidur dengan nelayan
di sisi ini yang bernama Jhon.

*) Deodatus D Parera. Meminati sastra. Anggota Komunitas Sastra Filokalia St. Mikhael
Penfui-Kupang.

30 KREATIF DAN INSPIRATIF


PUISI
Kiki Sulistyo

Ruas Lengkuas
jalan tak rata. jalan ringkas dalam peta buta.
sekian lama terendam humus. hingga datang musim merebus.
garis terang dan kasar. serat dalam dan gusar. menunggu pisau
atau tangan rantau. memisah tepat di tengah.

kebun jadi sarang kadal rabun. pasar tergerus deras arus.


siapa lagi memanggil namanya dengan nama sebuah negara.
kadang di dapur. beranjak uzur. sebab tak ada kemenakan
yang mesti disediakan makan. semua pulang setelah kantuk dan kenyang.

hanya bila ada kemanten merayakan panen. dibutuhkan bumbu


bagi batang bambu muda. maka tersebutlah nama lainnya. nama yang lebih luas
dari nama sebuah negara. menjadikannya setengah rekah dan mulai memerah.
meski tak semerah darah. cukuplah suam menajamkan ruam.

2012

Edisi Februari 2013 31


Puisi

Ogoh-ogoh di Lombok, Caka 1934

api masih jauh dari sini. lebih jauh dari jarak Lembar-Padang Bai
di langit Cakranegara kami melihat telapaknya. terbuka serupa cempaka.
pernah memang ada kedatangan besar ke pulau ini. pulau air umur panjang.
maka di Mayura ada taman Balekambang dan Pura luhur tegak menjulang

tapi kami diciptakan pada ujung tahun. di pangkal sepi yang ranum.
kota akan sesak bila kami mulai diarak. di kaki kami orang-orang riuh bersorak
sesekali tubuh kami diputar seakan jarum jam kembali ke belakang
menengok karmapala dan menerimanya sebagai buah dosa dari pohon atma

maka saksikan muka-muka raksasa yang tak menyisa kebajikan ini


tontonan sore bagi keluarga sepulang kerja. rekreasi setahun sekali.
menceritakan kembali perjalanan kami menuju pusat api
melebur segala yang ditolak. menjadi apa saja yang bisa bikin bijak

2012

*) Kiki Sulistyo, lahir di Ampenan, Lombok 16 Januari 1978. Menekuni puisi dan
menulis esai. Bekerja pada Departemen Sastra Komunitas Akarpohon, Mataram,
Nusa Tenggara Barat.

32 KREATIF DAN INSPIRATIF


Puisi

Dalasari Pera

MEMBACA BUTTAYYA RI BANTAYYAN

Pa‘jujukang. Laut yang bentang


Pasir-pasir menghamparkan takdir

Perihal kepulangan dan kepergian


Kapal-kapal yang melayarkan isyarat

dan syarat. Mengabarkan pelancong tentang


To Toa. Bahwa tanah kita adalah lapang ladang

Menagih dongeng lampau yang kilau


Dari mata kanak-kanak beraroma pinus

Merayap dari dada usai a‘burangga


digelar. Kaki kita butuh melebarkan jalan

Agar kabar tak terlantar di pematang


Yang mematangkan mimpi lelaki muda

Tangan kita butuh membentang. Ke luas langit


Merentang pelukan yang jatuh tepat

di hadap mata air Eramerasa. Membiaskan


bening mata dan hati. Jauhkan pohon

pohon kita dari gadai dan lalai. Sebelum


dedaun gugurkan lembar uban. Sebelum

sepatu menuju jauh. Sia-sia, tak mencatat


lagu sejarah di kaki Bissappu yang tak gagu

Belawa, Nov 2012

Edisi Februari 2013 33


Puisi

TAHUN BARU

Ini sudah kali kesekian


Kita merayakan pergantian tahun
Tanpa aku. Tanpa kamu. Tetapi ada kita
Yang mengeluk-elukkan musim bersalin baju

Meski di pojok dan trotoar terbakar


Tidak sesiapa pun menemukan wajah baru
Tetap saja hanya ada dinding yang telaten merawat
Bekas telapak tanganmu atau punggungmu yang menuju jauh
Lampu merah yang merekam rekah senyummu ketika kukatakan kepadamu,
―Malaikat ingin jadi manusia bodoh, berkali-kali jatuh cinta pada orang yang sama.‖

Lelakon berseliweran. Menagih ruang lapang. Tetapi tak


Ada yang baru. Seringkali menadah hujan Desember.
Membasuh wajah yang terjaga dikecup asing dan asin

Lalu apa guna merayakan tahun dengan nama yang baru


Sedang usang tak terganti
Bahkan doa di antara dentang lonceng Natal
Memilih kata dan nama yang sama. Berulang-ulang.
Menyeru bukan kau bukan aku. Tetapi kita.

Belawa. Des 2012

*) Dalasari Pera, bergiat di Komunitas Menulis Lego-Lego di Makassar. Beberapa karya-


nya tergabung dalam sejumlah Antologi.

34 KREATIF DAN INSPIRATIF


Puisi

Hency Zacharias

Rindu

Jalan pun tak dapat kutemukan


Menuju hati yang tlah mati
Kugoreskan luka di atas hati yang membeku
Mencoba menyembuhkan luka

Jarak pun tak dapat kusentuh


Seakan-akan semuanya sirna dalam genggaman
Aku meringkuk pada pagi yang dingin
Mencoba menghangatkan rindu yang membeku

Minggu, 04 Maret 2012

Tentangmu

Setelah ini aku akan merindukanmu.


Berjalan bersama bayangmu yang memudar.
Tidur dalam dekapan mimpi tentangmu.

Selasa, 04 September 2012

*) Hency Zacharias, dilahirkan di Kupang, 21 Mei 1992. Menyukai tulis-menulis


sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Mempunyai hobi membaca
novel dan menulis puisi serta cerpen. Mahasiswi Jurnalistik Jurusan Ilmu
Komunikasi Undana.

Edisi Februari 2013 35


Puisi

Christian Dicky Senda

Tempat Tidur

Mari berbaring
Seprai merah lampion itu menyenangi niatmu
Biar kuajarkan kau cara menakar nafsu yang tepat
Supaya bunga tidurmu lebih indah dari langit pukul enam di kota tua ini
‗apa kakinya kuat?‘ Engkau bertanya.
Tentu saja
Aku terbiasa menggelinjangkan kata-kata sepanjang subuh
(dan seprai akan menjadi lebih merah dan basah)
„Kalau begitu ajari aku cara menakar nafsu
Untuk memuai rambut-rambut rahimku‟

- 2012-

36 KREATIF DAN INSPIRATIF


Puisi

Gelas

Di gelasmu
Ada aku yang pahit meresapi lidahmu
Tak ada kata kompromi untuk hati, katamu
Di gelas berikutnya
Aku yang pahit menyegarkan mata, katamu
Tapi tiada sudutmu yang mampu kucuri
Meski aku yang kau suka
Tapi kenapa nikmatku tak kau rubah jadi ‗aku sayang kamu‘
Kenapa diam?
Sebab yang kuharapkan adalah ‗pinjam gelasmu yah,
Kopi lebih nikmat dengan gelas kecilmu.‘
Berpadu kafein rasa suka ini selalu menyenangkan
Sehingga akan kujawab
‗Boleh. Sekalian juga hatiku‘

- 2011-

*) Christian Dicky Senda, bergiat di Komunitas Sastra Dusun Flobamora,


Kelompok MudaersNTT dan Komunitas Blogger NTT. Bekerja sebagai konselor
di SMP Katolik St. Theresia Kupang. Buku puisinya Cerah Hati terbit Maret 2011.

Edisi Februari 2013 37


Puisi

Saddam HP

Pesta Minum Kawanan Lebah

Matahari memekarkan cahaya lewat bola mataku


Cahaya yang terpantul pada pesta minum kawanan lebah
Lebah rebah di benang-benang dosa yang terus dicuci

Sementara cahaya berperang dengan kelam di langit


Lalu kelam menelan terang dalam-dalam
Dan gagah mega tumpah di perjamuan itu

Kumasukkan cepat-cepat benang itu sebelum dikuyupkan kelam


Karena sulur dari langit belum juga berhenti terjulur
Tapi mereka pikir aku yang mengacaukan pesta

Lalu seekor tentara diutus ratu ke arah mataku


Ekornya menyaru jarum yang dijahit di pelipis
Dalam tetes amis gerimis aku meringis

Pada kelopak mataku yang dikecup


Matahari menguncup

(Deo Gratias, 2012)

38 KREATIF DAN INSPIRATIF


Puisi

Rindu

Hujan memberati langkahku ke rumahmu


Langkah sendu dalam gugup rindu
Gugup rindu yang miris dalam tetes gerimis
Gerimis amis mendekap kesepianku untuk dibaptis

Jarak kita tak juga bisa ditempuh dengan pedati


Di sini hujan malah semakin menderas
Pada tapak kakiku yang kian mengeras
Namun yakinlah kau selalu di hati

(Januari 2013)

*) Saddam HP lahir di Lasiana pada 21 Mei 1991. Saat ini mahasiswa semester
III Fakultas Filsafat Agama Universitas Katolik Widya Mandira Kupang.
Sejumlah tulisannya dipublikasikan di Pos Kupang, Timor Express dan Victory
News dan Jurnal Sastra Filokalia. Tergabung bersama Komunitas Sastra St.
Mikhael Penfui dan Komunitas Sastra Dusun Flobamora.

Edisi Februari 2013 39


KUSU-KUSU
Salamat Hari Jadi, Dusun Flobamora...
Amanche Franck Oe Ninu

Ini waktu pung balari talalu capat e, lebe capat dari Om Edu
Nabunome pung lari dulu di Asean Games. Rasa ke sonde rasa, sudah
dua taon ini, katong pung bapakariang di komunitas sastra Dusun
Flobamora su bajalan. Beta jadi inga dulu katong bakumpu di
Seminari Tinggi Santo Mikhael, 19 Februari 2011, ko baomong deng
daklarasi ini komunitas. Omong pi baomong, dia pung ujung ju
katong beking ini ―wadah lontar‖ ko sama-sama saling badukung.
Waktu itu ada katong pung Bapa Marsel Robot, Romo Sipri Senda,
Romo Patris Neonnub, To‘o Ragil, Kaka Abner, Mario, Janu, Hiro,
Abdul Kamaludin, Frater-Frater Santo Mikhael deng ana-ana
Seminari Oepoi. Waktu itu, katong pilih dan angkat katong pung
kaka Pion Ratulolly ko jadi Koordinator komunitas yang pertama,
soalnya ―gara-gara‖ ini kaka satu dari Adonara ni, katong samua
batakumpul jadi satu. Beta waktu itu talalu gembira sampe-sampe
beta mau koprol dan rol di atas batu karang. Beta senang, karena
dapat kawan banya. Selain itu katong su mulai barani untuk saling
kasi bardaya sbagai putra-putri Flobamora. Katong memang musti
bagarak banya untuk sastra dan kepenulisan lokal di NTT ini. Kalo
sonde sastra deng tulisan lokal bisa mati dan orang anggap sonde ada.
Katong taku sa yang muncul dari ini tanah ni hanya makanan lokal
ke‘ ubi, jagong, pisang,keladi, papaya. Padahal katong pung potensi di
cabang sastra dan tulisan talalu babatu karang dan bagula aer na. Jadi
memang waktu itu beta deng kawan-kawan dong talalu senang karna
ada wadah sastra Dusun Flobamora.
Ini katong pung parkumpulan ini dia pung tujuan paling utama
adalah katong bakanal dan bakusayang untuk saling bardayakan diri
di bidang sastra. Dia pung nama sa komunitas yang katong ame dari
bahasa Latin, cum itu „dengan‟ dan omnes itu artinya „samua‟.
Komunitas artinya bersama/deng samua. Komunitas itu harus ada
communio atau parsekutuan. Jadi katong musti jadi satu dan bersatu

40 KREATIF DAN INSPIRATIF


Kusu-kusu

dulu baru katong maju. Di dalam ini komunitas Dusun Flobamora ni,
katong saling manghargai dan mencintai. Itu utama dan harus, Bos!
Satiap orang bawa dia pung sagala potensi dan kelebihan, datang dan
basumbang di ini komunitas. Sapa yang ada ubi, bawa! Sapa yang ada
pisang, fi‘i bawa! Yang ada lu‘at di rumah, jang lupa bawa! Kalo ada
se‘i bawa ju, karna mungkin ada yang bawa katemak atau bose. Yang
ada puisi atau puiteko, pantun atau cerpen deng karikatur itu musti
bawa, supaya katong campor deng ubi, pisang, lu‘at, gula aer, se‘i dan
juga bose. Jadinya talalu enak dan sadap, Kaka! Itu baru namanya
NTT. Bae sonde bae Flobamora lebe bae. Eho, beta amper lupa di ini
Dusun Flobamora katong memang balajar untuk mencintai lintas
suku deng agama. Ana-ana dusun tu ada yang Islam, Protestan,
Katolik, hanya son ada yang atheis kaka, yang model ke‘ suku Boti
banya di sini (percaya Uisneno nok Uispah). Ada Falores, Sumba,
Rote, Sabu, Timor, Alor, ada Jawa, Sulawesi. Dia pung profesi ju
baragam, dari pejalan kaki, pelintas alam, pengusaha kios, peternak,
petani, pelajar, mahasiswa, aktivis, pastor, guru, dosen, wartawan,
sampe ―pembalap‖. Hahahaha... hehehelabae, kalo yang terakhir tu
beta deng To‘o Ragil, modalnya motor tua Astrea Impressa.
Maksudnya bisa jadi ―pembalap‖ ide, gagasan dan karya bagitu.
Na di akhir ini kusu-kusu, beta hanya mau kasi inga supaya
katong inga, katong pung Dusun (dunia sunyi). Samoga dia pung
kasunyian adalah doa dan kontemplasi dalam bapakariang. Dan
samoga Flobamora tetap manjadi katong pung tana, aer, udara, deng
nafas dalam katong pung inspirasi. Salamat hari jadi, Dusun
Flobamora! Tuhan yang Maha Indah akan kasi katong jalan ko tetap
―luas‖ ke‘ sabana, ―barguna‖ ke‘ ini lontar, dan kokoh kuat model ke‘
ini karang. Salam. Assalam. Palate. Palato... Hehehelabae....

*) Amanche Franck Oe Ninu adalah penggagas sejumlah komunitas sastra di


Kupang. Dua bukunya, Humor Anak Timor (Kumpulan Humor, Pantun dan
Plesetan) dan Pesona Flobamora (Kumpulan Pantun dan Cerpen) diterbitkan
oleh Penerbit Lima Bintang, Kupang (2011). Peserta Ubud Writers and Readers
Festival 2012. bergiat di Komunitas Sastra Dusun Flobamora. Kini dipercayakan
oleh kerabat sekomunitasnya sebagai koordinator.

Edisi Februari 2013 41


PROFIL
Gerson Poyk
“He stood too high!”
Seorang pria tua berusia delapan-
puluhdua tahun duduk menerawang.
Menatap kosong ke atas. Mungkin
membayangkan hari-hari yang akan
ia lalui sepanjang sisa hidupnya atau
menghidupkan kembali kenangan-
kenangan dalam memorinya. Ia
kemudian berceloteh tentang masa
lalunya, tentang keanehan-keanehan
di negeri (tercintanya?) yang kaya
dan subur, tentang ketimpangan-
ketimpangan sosial yang terjadi,
hingga kemauan manusia untuk
bekerja berlandaskan cinta kasih
yang ditunjukkan dalam kerja demi
mencapai kebutuhan maksimal (bare
maximum). Demikianlah naskah
monolog Monologia Flobamora yang
Foto: daonlontar.blogspot.com ditulis oleh Gerson Poyk dan
Gerson Poyk ditafsirkan dan dibawakan oleh
Abdy Keraf dalam Malam Apresiasi
Karya Gerson Poyk sebagai rangkai acara Academia Award 2012 di Aula
Gedung Rektorat UKAW lantai dasar pada 18 Januari 2013. Gerson
Poyk hadir di Kupang dalam rangka penerimaan Academia Award
2012 kategori Sastra dan Humaniora.
Setelah menerima berbagai penghargaan nasional maupun
internasional—seperti Adinegoro Award (1985 dan 1986), South East
Asia Write Award (1989), Lifetime Achievement Award dari harian
Kompas (1997) dan Anugerah Seni dari Pemerintah RI (2011)—untuk

42 KREATIF DAN INSPIRATIF


Profil

pertama kalinya Gerson dan karya-karyanya diapresiasi di kampung-


halamannya sendiri melalui penganugerahan yang dimotori oleh
akademisi-akademisi NTT yang bergabung dalam Forum Academia
NTT. Dalam pertanggungjawaban singkat mengenai kemenangan
Gerson pada Academia Award kali ini, Jonathan Lassa yang mewakili
para juri hanya mampu berbicara singkat dan berucap, ―He stood too
high!‖
Namun, dengan kerendahan hati, pria kelahiran Kota Ba‘a, Pulau
Rote, NTT, 16 Juni 1931 ini justru mengisahkan perjuangan dan
kesulitan yang dihadapinya sebagai penulis dengan cara yang

terkadang mengundang tawa sepulang dari mengikuti International


Creative Writing Program di University of Iowa, Iowa City, Amerika
Serikat pada tahun 1971.
―Saya akan terkena kanker kalau tidak menulis,‖ kata Gerson ketika
diminta menceritakan sedikit kisahnya sebelum menerima
penghargaan, ―kanker itu (akronim dari) kantong kering.‖ Senyum dan
tawa orang-orang yang menyaksikan pun pecah. Mungkin, itulah juga
bagian dari caranya memenuhi kebutuhan maksimal yang
berulangkali diserukannya melalui karya-karyanya. Kumpulan novelet
Edisi Februari 2013 43
Profil

terakhirnya, Seribu Malam Sunyi (2012) dengan gamblang


menunjukkan pandangannya.
“Setiap orang hidup dengan salibnya sendiri-sendiri. Setiap langkah
yang dibuatnya dalam perjalanan hidupnya adalah salib. Setiap langkah
maju suatu kebudayaan ideologis (seperti agama, filsafat, seni, ilmu
pengetahuan dan lain-lain), kebudayaan material, personal dan perilaku,
adalah salib, beban kehidupan manusia. Janganlah kita menyangka, setiap
langkah kebudayaan manusia adalah juruselamat manusia itu sendiri.
Penderitaan yang beruntun dan memuncak pada ajal tidak dapat
d i h i l a n gk a n o l e h m a n u s i a d e n g a n
kebudayaannya.” (Autobiografi
Sebuah Ban dalam Seribu
Malam Sunyi, halaman 31-
32).
Selain Seribu Malam Sunyi,
karya-karya Gerson seperti
novel antara lain; Nyoman
Sulastri, Sang Guru, Doa
Perkabungan, Meredam
Dendam, Negeri Lintasan
Petir, Tarian Ombak, Sang
Sutradara dan Wartawati
Burung, Seutas Benang Cinta, Seruling Tulang, Enu Molas di Lembah
Lingko, Requiem untuk Seorang Perempuan, Cumbuan Sabana, Anak-anak
Gutenberg, maupun kumpulan cerpennya seperti Di Bawah Matahari
Bali, Mutiara di Tengah Sawah, Jerat, Nostalgia Nusatenggara dan Surat
-surat Cinta Alexander Rajaguguk. Ia pun menerbitkan kisah-kisah
perjalanannya dalam Keliling Indonesia dari Era Bung Karno sampai
SBY. Di Kupang, dua naskah yang ditulisnya telah dipentaskan dalam
kurun waktu dua tahun ini: Ratu Balonita (drama, 2012) dan
Monologia Flobamora (monolog, 2013).
***

44 KREATIF DAN INSPIRATIF


Profil

Pada malam penganugerahan tersebut, beberapa puisi Gerson


dibawakan secara deklamasi dan musikalisasi baik oleh ia sendiri
maupun Komunitas Asyik Universitas
Kristen Artha Wacana Kupang. ―Dalam
menulis puisi, saya memperhatikan
kemerduan bunyi,‖ kata Gerson tentang
menulis puisi.
Ia pun sedikit menyinggung tentang
dua perspektif logika dalam olah kreasi.
Menurutnya, kebergantungan puisi dan
karya sastra lainnya tidak hanya pada
logika rasional melainkan juga (terutama)
pada logika imajinal sembari memberi
contoh, ―Kulihat bulan di langit, itu logika
rasional. Kulihat bulan dalam matamu, itu logika imajinal.‖
Menulis, menurutnya, adalah usaha untuk menghidupkan kembali
alam bawah sadar. Keprihatinannya terhadap rendahnya budaya
membaca juga ia ungkapkan pada malam itu. Tentang budaya
membaca, dengan nada bercanda Gerson mengatakan, ―Setiap rumah
harus punya rak buku. Setidaknya kita bisa berbangga, di rumah saya
ada rak buku.‖
Kedekatannya dengan bacaan-bacaan filsafat menjadikan
refleksinya terhadap usaha dan kerja manusia di bumi ini adalah jalan
yang dihadapkan pada sebuah tembok absurditas—hal yang juga
sempat diutarakannya pada seminar kebudayaan pada tahun 2012
yang lalu di Kupang dalam rangka memperingati ulangtahun
Lembaga Seni Budaya Rumah Poetica Kupang. ―Saya bahkan masih
hafal definisinya. Absurdity is contradiction and imposibility.” Absurditas,
sebagaimana dipercayanya, adalah kontradiksi dan imposibilitas.
Gerson percaya ada tiga jalan untuk menghadapi absurditas: bunuh
orang, bunuh diri dan jalan tengah (moderation). “Saya memilih jalan
tengah,‖ ujarnya. (rio)

Edisi Februari 2013 45


RESENSI
Konteks yang Melahirkan Puisi
Saddam HP

DATA BUKU
Judul : Fatamorgana Langit Sabana
Penulis : Sipri Senda (Prim Nakfatu)
Tebal : 60 halaman
Penerbit : Lima Bintang Lasiana-Kupang
Cetakan : I, 2012
ISBN : 978-602-9158-18-2

Puisi selalu lahir dari sebuah konteks. Puisi tidak pernah


berangkat dari kekosongan. Dari konteks itulah, dalam puisi
dibahasakan realitas dengan kata-kata yang terbedakan dari wicara
sehari-hari. Puisi datang dan menghadirkan pemandangan yang tak
biasa atas dunia, lewat kombinasi kata yang membangkitkan suatu
momen yang intens dan unik dalam bahasa. Karena itu, seorang
penyair tak hanya mencumbu segala sesuatu yang bersifat massal dan
publik, tapi juga bersedia membawanya ke ruang personal dan unik,
menjarakinya dengan harmoni yang indah lantas menciptakan suatu
cara melihat dunia, bahkan dunia yang baru darinya.
Sehingga, puisi, bagaimanapun juga, menjadi medium untuk
merekam semua kejadian dan konteks yang dihadapi penyair dalam
hidupnya. ‗Ada stagnasi dan dinamika. Ada gerakan dan tarian jiwa.
Ada pergolakan dan pembebasan. Ada belenggu psikis dan katarsis.
Ada keprihatinan dan kepedulian. Ada refleksi dan keterlibatan‘ (hlm.
5). Semua konteks ini terangkum sebagai identitas. Identitas itulah
puisi.
Kumpulan puisi pertama Prim Nakfatu, Fatamorgana Langit
Sabana seakan memberi penekanan akan konteks dari mana sebuah
puisi dilahirkan. Kekayaan pengalaman penulis terbaca dengan jelas
dalam 49 puisi dalam buku ini. Pengalaman ini dapat ditemui oleh
siapa saja, kapan dan di mana saja. Tapi, dalam puisi pengalaman
46 KREATIF DAN INSPIRATIF
Resensi

puitik itu menjadi unik. Penyair menyublimkannya dalam puisi tanpa


banyak siasat dan mengungkapkan apa adanya. Namun, di sanalah
terdapat kekuatan sudut pandang personal penyair dalam melihat
sebuah pengalaman. Misalnya, dalam puisi yang bercerita tentang
kehidupan iman umat dan menggereja di Roma. Keprihatinan penyair
yang menjalani studi teologi kitab suci di Urbaniana akan konteks
sosio-religius di sana menggerakannya untuk melukiskannya
demikian:

Minggu pagi dan matahari


Gereja sepi menati penghuni
Bangku kosong menukas pasti
Tentang iman yang mati

Begitu juga ketika penyair menyuarakan kecemasannya akan


kemiskinan dan penderitaan di tanah kelahirannya seakan penuh
dengan pengharapan dalam ‗Pah Meto‘:

Debu kemarau berlari semakin liar


Menutup mata hati-budi-iman
Terpuruk di bawah garis kemiskinan
Mimpi-mimpi menghujan surga
Semoga datang sekarung uang

Puisi-puisi Prim Nakfatu menggambarkan keprihatinan dan


kecemasannya akan kehidupan yang sangat dominan dalam buku ini.
Kecemasan itu tak hanya terjadi dalam pergulatan dengan diri penyair
sendiri, tapi juga dalam permasalahan massal. Hal itu seakan
memperkokoh bangunan struktur puisi ketika diapresiasi. Bangunan
puisi itu tak hanya memiliki fungsi estetis dalam dirinya sendiri,
namun juga memiliki fungsi sosial bagi orang lain. Misalnya, penyair
mengangkat masalah tentang pergolakan Israel dan Palestina dalam
‗Alif Namaku‘, berbagai problem yang melanda Bangsa Indonesia

Edisi Februari 2013 47


Resensi

dalam ‗Berita Kematian‘, perihal kemiskinan dalam ‗Lampu Merah‘.


Kekayaan kumpulan puisi ini juga terletak pada kecintaan penyair
untuk mengangkat lokalitas yang kaya. Lokalitas itu tampil dalam
suatu realitas yang amat paradoks Dalam ‗Fehan‘, ‗Atambua‘,
‗Kupang‘, ‗Amarasi‘, ‗Inarasi‘, ‗Atoin Meto‘, ‗Pah Meto‘, ‗Lelaki
Amarasi‘, ‗Fatamorgana Langit Sabana‘, ada nuansa eksotis daerah

yang amat indah untuk dibagikan sekaligus terdapat kepedihan


terhadap adat yang mencekik kemanusiaan. Ada tarian tandak penuh
sorak dan nyanyian sabana stepa sepanjang musim, namun juga ada
jiwa-jiwa meranggas layu dan menerawang dengan mulut menganga.

48 KREATIF DAN INSPIRATIF


Resensi

Pengurutan puisi dalam kumpulan ini tak sesuai kronologi waktu,


‗agak semrawut namun itulah gerakan puisi‘. Dari tanggal yang
dicantumkan dalam beberapa puisi dapatlah diketahui bahwa proses
kreatif penulisan buku ini berlangsung, yakni dari tahun 1991-2011.
Masa ini mencakup beberapa tahap penting bagi penyair, mulai dari
seminari sampai menjadi dosen di seminari tinggi. Kekayaan
pengalaman puitik ini bukan hanya pada kategori waktu, melainkan
juga kategori tempat penulisan puisi, mulai dari Fehan sampai
Palermo, dari Amarasi sampai Asisi.
Pengalaman puitik penyair berhadapan dengan pesona cintapun
amat menarik. Dalam puisi ‗Pertemuan‘ yang ditulisnya pada tahun
1994 menunjukkan kedalaman seperti berikut:

Aku tak ingin mengatakan padanya


Sebab kutahu iapun merasakan yang sama
Di saat kebersamaan yang singkat itu
Gelisah, rindu, dan cinta bergumul selalu

Ia diam akupun diam


Tapi kutahu kami sama-sama paham

Dan lagi. penyair merefleksikan tentang persahabatan yang tetap


kental sekalipun ada perpisahan dalam puisi ‗Perpisahan‘ yang ditulis
pada tahun 1993 seperti mengandung harapan:

Pabila waktumu kembali di sini


Kan kaudapati cinta tetap lestari
Bunga-bungapun kan bernyanyi riang
Menatap dirimu tak lagi hilang

Puisi-puisi Prim Nakfatu dalam kumpulan ini menunjukkan


keprihatinan, kecemasan, gejolak dan belenggu yang terbebaskan
dengan melahirkan puisi sebagai identitas melalui konteks-konteks

Edisi Februari 2013 49


Resensi

yang kaya. Puisi-puisinya memiliki daya tarik karena menunjukkan


realitas dari sisi personalnya dengan amat jelas seperti kamera digital
menangkap realitas. Memang ada beberapa kewalahan dalam
pengendalian dan penguasaan bahasa, namun itu dapat dipahami
sebagai gerakan puisi yang unik dan menakjubkan. Dan bukanlah
halangan untuk menikmati ‗Fatamorgana Langit Sabana‘ dengan
penuh harapan agar semua kebahagiaan tak hanya sebatas
fatamorgana tapi merupakan oase subur bagi padang sabana yang
menghijau permai.

*) Saddam HP lahir di Lasiana pada 21 Mei 1991. Saat ini mahasiswa semester
III Fakultas Filsafat Agama Universitas Katolik Widya Mandira Kupang.
Sejumlah tulisannya dipublikasikan di Pos Kupang, Timor Express dan Victory
News dan Jurnal Sastra Filokalia. Tergabung bersama Komunitas Sastra St.
Mikhael Penfui dan Komunitas Sastra Dusun Flobamora.

50 KREATIF DAN INSPIRATIF


KARIKATUR

Edisi Februari 2013 51


Karikatur

52 KREATIF DAN INSPIRATIF

Anda mungkin juga menyukai