Anda di halaman 1dari 3

Siapa yang tidak mengenali tokoh budayawan sekaligus sastrawan yang akrab disapa Cak Nun

alias Emha Ainun Nadjib di mana pandangan dan karya-karya sastranya telah tersebar dan
dikenal secara luas. Melalui karya-karyanya, Cak Nun memiliki penyampaian yang berbeda
untuk menyampaikan keresahan hatinya mengenai masalah sosial dan keagamaan. Tulisannya
banyak menginspirasi penggemarnya. Latar belakangnya sebagai seorang budayawan dan
pendakwah menjadikan keberadaan Cak Nun sebagai tokoh penting dalam berbagai acara. Dari
berbagai acara terutama dalam acara-acara keagamaan dan kebudayaan, Cak Nun memberikan
pandangan keagamaan, sosial, dan kebudayaan melalui dialog-dialog yang dilakukannya. Karena
latar belakang yang dimilikinya adalah sebagai pendakwah yang mana Cak Nun juga sempat
mengenyam pendidikan di Pondok Modern Darussalam Gontor, menjadikannya lebih dikenal
sebagai tokoh keagamaan.

Belum ada lagi toko sastrawan Indonesia era ini yang memiliki karakter dan kepopuleran
melebihi Cak Nun menjadikan beliau sebagai sosok seorang sastrawan yang memiliki banyak
sekali penggemar mulai dari sesame sastrawan, mahasiswa, seniman, bahkan politisi. Ciri khas
keagamaan yang kental, biasa Cak Nun bawa ke dalam karya=karya yang dia ciptakan salah
satunya adalah karya sastra puisi berjudul dari Bentangan Langit diatas.juga pada karya karya
sastra lain yang beliau ciptakan selain puisi. Tulisan tulisan yang dibukukan sudah ratusan judul
yang Emha Ainun Najib terbitkan. Bahkan di usianya yang sudah senja seperti sekarang beliau
masih aktif dalam menulis.

Bila ditinjau dari makna langsungnya, puisi bercerita tentang peringatan penulis kepada pembaca
bahwa cobaan dari Tuhan akan datang. Cobaan tersebut akan datang perlahan, meluluhlantakkan
semesta dan seisinya, dan cobaan ini akan berlangsung lama. Cobaan ini datang dari Tuhan yang
tak pernah bersuara langsung di hadapan manusia, seperti saat manusia berbicara dengan
manusia lain. Cobaan ini datang dari Tuhan yang Maha Kuasa, yang selalu memperhatikan
segala hal yang terjadi di dunia dalam diam. Latar suasana: suasana yang tergambar dalam puisi
adalah suasana yang cukup mencekam. Terbentuk dari kata ‘semu’ yang mewakilkan hal-hal
yang sedih, kemudian muncul kata ‘kemarau’ yang identik dengan kekeringan, cobaan, dan
kelangkaan. Lalu memuncak di baris ke-5 dan 6 saat adanya tanda seru (!) yang menekankan
kekuatan kemarau yang datang tersebut. Siapapun yang berada di situasi seperti ini tentu akan
takut. Dikaitkan dengan latar belakang penulis, Cak Nun, yang rajin melakukan aktivitas-
aktivitas yang memadukan dinamika kesenian dengan agama, politik, dan ekonomi, puisi ini
dapat dikatakan sebagai suatu puisi yang cukup agamis. Cak Nun berhasil mengemas pesan-
pesannya dalam metafora yang sebenarnya cukup umum, akan tetapi tetap membuat pembacanya
terhisap ke dalam proses berfikir yang Cak Nun coba tampilkan di dalam puisi ini.

Setelah mempelajari arti metaforis dari baris-baris puisi ini, dapat disimpulkan bahwa puisi
mengilustrasikan tentang seseorang yang berusaha untuk mengingatkan sesamanya akan cobaan
yang akan datang dari Tuhan, betapa besar, lama, dan menyiksa cobaan itu hingga manusia akan
menderita. Cobaan yang diwakilkan oleh ‘kemarau’ yang akan datang ini kelak akan ‘meyapu
lautan. Mengekal tanah berbongkahan’ dan ‘menyapu hutan’. Begitu dahsyatnya cobaan ini
hingga segala hal yang tadinya dipandang sebelah mata oleh manusia karena keberlimpahannya,
kini hilang, musnah, binasa. Kali ini pun, Tuhan tak akan ragu-ragu dalam memberikan cobaan
ini kepada manusia. Puisi ini termasuk puisi kontemporer sebab puisi ini membahas hal berkaitan
dengan Ketuhanan yang dampaknya langsung dirasakan dan dimaknai oleh satu orang saja, tidak
untuk secara keseluruhan.

Sudut pandang yang digunakan di puisi ini adalah orang kedua. Penulis seakan-akan berbicara
kepada pembacanya saat ia menyapa pembaca dengan menggunakan kata ‘kepadamu’ Banyak
simbolisme di dalam puisi ini yang dapat dikaitkan dengan aspek-aspek kehidupan manusia.
Beberapa yang paling menonjol adalah simbolisasi yang tergambar di dalam kata-kata yang
berkaitan dengan alam, seperti kemarau, lautan, hutan, dan tanah berbongkahan. Seperti yang
kita ketahui, kemarau adalah salah satu musim di daerah tropis, dimana frekuensi hujan
berkurang drastis pada saat ini. Beberapa daerah bahkan mungkin saja mengalami kekeringan di
musim ini. Oleh karenanya, kata ‘kemarau’ di dalam puisi ini dapat dikatakan sebagai simbol
dari cobaan yang datang di hidup manusia, sebab kemarau identik dengan kekeringan,
kelangkaan, dan kesulitan-kesulitan lain yang terjadi.

Kata-kata lain seperti lautan, hutan, dan tanah berbongkahan melambangkan segala sumber daya
alam, segala harta yang kita miliki. Hal ini dapat direfleksikan dari kegiatan manusia sehari-hari
yang selalu membutuhkan air dari laut, hasil-hasil hutan, dan tanah untuk berpijak juga
bermukim. Laut, hutan, dan tanah begitu berarti bagi manusia, begitu berlimpah hingga manusia
lupa akan betapa berharganya hal-hal itu di kehidupan mereka.

 Majas
Majas metafora: Banyak sekali metafora yang digunakan di dalam puisi ini. Contohnya kemarau
yang mewakilkan cobaan di dalam hidup, kemudian lautan, hutan dan tanah yang mewakilkan
segala kenikmatan dunia yang diberikan Tuhan.
Majas personifikasi: Majas personifikasi adalah majas yang megatributkan perilaku manusia
pada objek yang bukan manusia. Salah satu contoh majas personifikasi yang ada di puisi ini
adalah ‘kemarau itu, datang kepadamu’. Padahal pada kenyataannya kemarau tidak bisa ‘datang’
seperti datangnya manusia ke suatu tempat. Kemarau disini juga digambarkan dapat ‘menyapu’
dan juga ‘mengekal/memegang’ padahal kemarau tak punya tangan sebab kemarau bukan
manusia, kemarau –secara harfiah− adalah musim.

Majas pars pro toto: Majas pars pro toto adalah majas yang menggunakan sebagian dari
objek/unsur untuk mewakilkan keseluruhan objek tersebut. Majas ini dapat ditemukan pada kata
‘Tangan’ di 2 baris terakhir. Cak Nun sengaja menulis kata ‘Tangan’ dengan huruf kapital untuk
menggambarkan bahwa ‘Tangan’ yang dimaksud adalah ‘tangan Tuhan’. ‘Tangan’ yang
berusaha menggapai manusia dengan cara-Nya sendiri. Dengan demikian, ‘Tangan’ disini
mewakili Tuhan.

Puisi Bentangan Langit karya Emha Ainun Najib menjadi salah satu puisi kontemporer yang bisa
menjadi salah satu media yang dapat membuat pembacanya (tidak harus yang beragama Islam)
untuk menjadi lebih dekat kepada sang pencipta. Entah mungkin memang hanya bertemakan
hubungan anatara manusia dengan penciptanya sehingga aspek lain yang melibatkan perasaan
dan hubungan umum manusia menjadi tidak ada. Entah itu menjadi ciri khas penulisan karya-
karya sastra oleh Emha Ainun Najib atau memang menjadi satu poin penting yang terlewat oleh
seniman dan sastrawan yang karyanya sudah tidak diragukan lagi.

Anda mungkin juga menyukai