Anda di halaman 1dari 35

MASALAH PADA LANSIA

LBM IV
KEPALAKU PUSING

KELOMPOK

1. TAUFIK NAZAR 015.06.0017


2. RATNA ANGGUN SRIKANDI 013.04.0051
3. MARDIANA MAYA UTARI 014.06.0010
4. NI NYOMAN AYU TRISNA PUTRI 014.06.0011
5. LIA INDRI FADILA 014.06.0012
6. DINA ROSDIANA AMALIA 014.06.0019
7. I GUSTI NGURAH BAGUS OKA J. 014.06.0030
8. AHMAD MUAEDI 014.06.0031
9. I KADEK AGUS ARJANA PUTRA 014.06.0052
10. JURAIDAH 014.06.0066

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR
MATARAM

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan rahmat dan hidayah-Nya makalah SGD dengan skenario yang berjudul
“kepalaku pusing” pada Modul Masalah Pada Lansia ini dapat kami selesaikan
dengan sebagaimana mestinya.

Di dalam laporan ini kami memaparkan hasil penelitian pustaka yang telah
kami laksanakan yakni berkaitan dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi serta
metode pembelajaran berbasis pada masalah yang merupakan salah satu metode
dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi.

Kami juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah


memberikan dukungan serta bantuan hingga terselesaikannya laporan ini. Kami
mohon maaf jika dalam laporan ini terdapat banyak kekurangan dalam menggali
semua aspek yang menyangkut segala hal yang berhubungan dengan materi taks
reading yang kami bawakan. Oleh karena itu kami mengharapkan adanya kritik
dan saran yang membangun sehingga dapat membantu kami untuk dapat lebih
baik lagi kedepannya.

Mataram, 12 Desember 2019

Penyusun

2
DAFTAR ISI
BAB I................................................................................................................................2
PENDAHULUAN.............................................................................................................2
1.1 Latar Belakang.................................................................................................2
1.2 Tujuan...............................................................................................................2
1.3 Manfaat.............................................................................................................2
BAB II...............................................................................................................................3
PEMBAHASAN...............................................................................................................3
2.1 Data Tutorial....................................................................................................3
2.2 Skenario LBM..................................................................................................3
2.3 Pembahasan LBM............................................................................................4
BAB III...........................................................................................................................31
PENUTUP.......................................................................................................................31
3.1 Kesimpulan.....................................................................................................31
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................32

3
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peningkatan jumlah orang lanjut usia diikuti dengan peningkatan jumlah
morbiditas dan mortalitas. Banyak penyakit-penyakit yang menyebabkan
morbiditas dan mortalitas pada orang lanjut usia diantaranya penyakit
kardiovaskuler dan sistem saraf. Hipotensi ortostatik pada usia lanjut
merupakan salah satu penyakit yang disebabkan oleh kelainan pada sistem
kardiovaskuler dan saraf. Oleh karena itu, penanganan pasien dengan
ortostatik hipotensi sangat penting untuk dilakukan sehingga dapat mencegah
morbiditas dan mortalitas akibat gangguan ini.
1.2 Tujuan
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat diambil tujuan sebagai berikut:
1. Mengetahui penyebab keluhan pasien di skenario.
2. Mengetahui dan memahami diagnosa dan diagnosa banding kelainan
pasien di skenario.
3. Mengetahui tatalaksana penyakit pada pasien di skenario.
1.3 Manfaat
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat diambil manfaat yaitu agar
mahasiswa FK Unizar mampu memahami dan menjelaskan bagaimana
mekanisme terjadinya keluhan pada skenario, apa saja diagnosa banding yang
bisa didapatkan, apa diagnosa kerja dan penatalaksanaannya.

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Data Tutorial


Hari/tanggal sesi 1 : Senin, 9 April 2018
Hari/tanggal sesi 2 : Rabu, 11 April 2018
Tutor : dr. Irbab Hawari
Moderator : Nur Patimah Imtihan
Sekretaris : Taufik Nazar

2.2 Skenario LBM


LBM IV
“Kepalaku Pusing”

Tn. Hendra 70 tahun datang ke poliklinik RS UNIZAR dengan


keluhan pusing berputar yang dirasakan terutama setelah bangun dari posisi
berbaring atau duduk. Rasa pusing yang diderita pasien menyebabkan pasien
merasa seperti berputar dan mulai. Pasien juga merasakan berdebar-debar dan
nafas menjadi berat saat mengalami pusing. Pasien sudah sering berobat ke
Puskesmas Turide namun tidak juga bisa membaik. Pasien takut jika hal ini
merupakan tanda-tanda penyakit jantung atau stroke. Tidak terdapat riwayat
darah tinggi, dan kencing manis pada pasien.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan TD : 100/50 mmHg pada saat
berbaring dan80/50 mmHg setelah 3 menit berdiri, N : 99x/menit, RR:
22x/menit, temp 38 C. Dokter menyarankan pemeriksaan penunjang medis
untuk mengetahui keadaan pasien.

2.3 Pembahasan LBM


I. Klarifikasi Istilah
Tidak ada klarifikasi masalah
II. Identifikasi Masalah

5
1. Bagaimana mekanisme keluhan pasien pada skenario?
2. Apakah ada hubungan antara keluhan dengan usia pasien?
3. Apakah interpretasi pemeriksaan fisik pasien di skenario?
4. Apakah pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk
menegakkan diagnosis penyakit diskenario?

III. Brain Storming


1. Bagaimana mekanisme keluhan pasien pada skenario?
Pusing berputar, disertai mual, berdebar-debar dan napas berat
setelah berdiri dari posisi berbaring.
Pada perubahan posisi tubuh misalnya dari berbaring ke berdiri
maka tekanan darah bagian atas tubuh akan menurun karena
pengaruh gravitasi. Respon tekanan darah normal yang terjadi ketika
seseorang bergerak dari berbaring ke posisi berdiri adalah sedikit
penurunan tekanan darah sostolik (<10 mmHg) dan sedikit
peningkatan tekanan darah diastolik (sekitar 2,5 mmHg) serta
stabilisasi ortostatik biasanya dicapai dalam 1 menit berdiri. (Sclater,
2004)
Ketika seseorang berdiri dari posisi berbaring, sekitar 500
sampai 700 ml darah terkumpul di ekstrimitas bawah dan di sirkulasi
splanknikus serta sirkulasi paru. Akibatnya pengisian atrium kanan
jantung akan berkurang, dengan sendirinya curah jantung juga
berkurang. Penurunan curah jantung akibat pengumpulan darah pada
anggota tubuh bagian bawah akan cenderung mengurangi darah ke
otak. Pada orang normal, tekanan darah arteri setinggi kepala adalah
6075 mmHg. Pada saat berdiri, tekanan arteri kepala akan turun
mencapai 2030 mmHg. Penurunan tekanan ini akan diikuti kenaikan
tekanan parsial CO2 (pCO2) dan penurunan tekanan parsial O2 (pO2)
serta pH jaringan otak. Secara reflektoris, hal ini akan merangsang
baroreseptor yang terdapat di dalam dinding dan hampir setiap arteri
besar di daerah dada dan leher, namun dalam jumlah banyak

6
didapatkan dalam dinding arteri karous interna, sedikit di atas
bifurcatio carotis, daerah yang dikenal sebagai sinus karotikus dan
dinding arkus aorta. (Deegan, B.M.T, et al, 2007)
Respon yang ditimbulkan baroreseptor berupa peningkatan
tahanan pembuluh darah perifer, peningkatan tekanan jaringan pada
otot kaki dan abdomen, peningkatan frekuensi respirasi, kenaikan
frekuensi denyut jantung serta sekresi zat-zat vasoaktif. Sekresi zat
vasoaktif berupa katekolamin, pengaktifan sistem Renin Angiotensin
Aldosteron, pelepasan ADH dan neuro-hipofisis. (Deegan, B.M.T, et
al, 2007)
Perubahan patologis yang terjadi pada usia lanjut
mengakibatkan terjadinya kegagalan fungsi refleks otonom.
Kegagalan fungsi refleks otonom inilah yang menjadi penyebab
timbulnya hipotensi ortostatik. (Deegan, B.M.T, et al, 2007)
Faktor penurunan curah jantung akibat kegagalan refleks
otonom tersebut berakibat terjadinya hipoksia pada otak sehingga
menimbulkan gejala gejala seperti mual, pusing, mata berkunang
kunang. (Deegan, B.M.T, et al, 2007)

2. Apakah ada hubungan antara keluhan dengan usia pasien?


Terdapat hubungan antara usia dengan keluhan yang diderita
pasien diskenario. Jadi pasien skenario termasuk lanjut usia, dimana
pada pasien lansia akan terjadi penururnan fungsi fisiologis dan
anatomis tubuh. Penurunan fungsi tubuh tersebut disebabkan karena
pada lansia terjadi penurunan jumlah neuron sehingga transmisi dari
susunan saraf otak terganggu menyebabkan fungsi dalam tubuh
kurang baik. (Deegan, B.M.T, et al, 2007)
Perubahan patologis yang terjadi pada usia lanjut
mengakibatkan terjadinya kegagalan fungsi refleks otonom. Selain
oleh faktor penurunan curah jantung akibat berbagai sebab dan
berkaitan dengan a) penurunan sensitivitas baroreseptor yang

7
diakibatkan oleh proses atherosklerosis sekitar sinus karotikus dan
arkus aorta. Hal ini akan menyebabkan tak berfungsinya refleks
vasokonstriksi dan peningkatan frekuensi denyut jantung sehingga
mengakibatkan kegagalan pemeliharaan tekanan arteri sistemik saat
berdiri, dan b) menurunnya daya elastisitas serta kekuatan otot
ekstremitas inferior. (Deegan, B.M.T, et al, 2007)

3. Apakah interpretasi pemeriksaan fisik pasien di skenario?


a. Tekanan Darah
Pada skenario didapatkan hasil: 100/50 mmHg pada saat
berbaring dan 80/50mmHg, dimana pasien mengalami hipotensi.
Normal tekanan darah menurut JNC 7 adalah sistol<120 mmHg
atau diastol < 80 mmHg.
b. Nadi
Pada pasien di skenario memiliki nadi 90x/min, dimana
pasien di scenario nadinya masi dalam keadaan normal karena
nadi normal 60 – 100 x/min.
c. Temperatur
Pada pasien di skenario memiliki temperature 38◦C,
dimana pasien dalam scenario mengalami febris, karena
normalnya temperatur 36,5 – 37,5 ◦C.

4. Apakah pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk


menegakkan diagnosis penyakit diskenario?
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien yang
mengalami gejala seperti di skenario yaitu pusing, berputar, mual,
tekanan dara rendah adalah sebagai berikut: (Rose, K.M., et al, 2006)
1. Elektrokardiogram (EKG). Ini merupakan suatu tes invasif
mendeteksi penyimpangan dalam irama jantung atau struktur
jantung, dan masalah dengan pasokan darah dan oksigen ke otot
jantung.

8
2. Echocardiogram.
Ini merupakan suatu tes noninvasif, yang meliputi USG thorax,
menunjukkan gambar rinci struktur jantung dan fungsinya.
Gelombang ultrasound yang ditransmisikan direkam dengan alat
yang disebut transduser yang diadakan di luar tubuh. Sebuah
komputer menggunakan informasi dari transduser untuk
membuat gambar bergerak pada monitor video. Test ini
bertujuan untuk mengevaluasi katup jantung dan menilai fungsi
otot jantung.
3. Heads-up tilt table test, 
 Dapat dilakukan jika gejala-gejala hipotensi ortostatik terus
menerus berulang namun sulit untuk mendokumentasikan
kelainan-kelainan dalam pembacaan tekanan darah. Tes
mungkin berguna dalam membedakan hipotensi ortostatik
dari gangguan lain yang dapat hadir dengan gejala
orthostasis, seperti sinkop neurocardiogenic dan juga
mengevaluasi bagaimana tubuh bereaksi terhadap
perubahan posisi.
 Tes ini dilakukan di ruangan yang tenang dengan suhu 68 °
F hingga 75 ° F (20 ° C sampai 24 ° C). Pasien harus
beristirahat sementara terlentang selama lima menit
sebelum tes dimulai. Sewaktu tes, pasien diikat diatas meja
yang rata, kemudian meja secara berangsur-angsur
dimiringkan ke sudut 70 atau 80 derajat, pembacaan
tekanan darah dan denyut jantung terus menerus diambil.
Pasien dibiarkan diatas meja selama lebih dari 10 menit
untuk mencari perubahan-perubahan tertunda yang terlihat
pada postural orthostatic tachycardia syndrome
 Tes ini dianggap positif jika tekanan darah sistolik turun 20
mm Hg bawah dasar atau jika tekanan darah diastolik turun
10 mm Hg bawah baseline. Jika gejala terjadi selama

9
pengujian, pasien harus dikembalikan ke posisi telentang
segera.
4. Manuver Valsava
Merupakan tes invasif untuk melakukan pemeriksaan fungsi
sistem saraf otonomik dengan menganalisa denyut jantung dan
tekanan darah setelah beberapa siklus dari jenis pernapasan:
Anda mengambil napas dalam-dalam dan kemudian memaksa
udara keluar melalui bibir Anda, seolah-olah Anda mencoba
meledakkan balon kaku
5. Magnetic Resonance Imaging
dapat digunakan untuk menilai kemungkinan etiologi hipotensi
ortostatik neurogenik. Hipotensi ortostatik sering neurogenik
pada pasien dengan sejarah Hipotensi ortostatik, pemeriksaan
fisik, dan tes laboratorium tidak menunjukkan penyebab lain.

IV. Rangkuman Permasalahan

Tanda dan Gejala

Anamnesis, Pemeriksaan Fisik


dan Penunjang

Hipotensi Ortostatik Vertigo

Penatalaksanaan

10
V. Learning Issues
1. Bagaimanakah mekanisme dan gangguan regulasi suhu pada lansia?
2. Apakah diagnosa banding pada skenario?
3. Apakah diagnosa kerja pada skenario?

VI. Referensi
Kupiya Timbul Wahyudi. 2012. Vertigo. CDK-198/ vol. 39 no. 10.
Medical Department, PT. Kalbe Farma Tbk., Jakarta, Indonesia

Setiati, S, et al. 2006. Proses Menua dan Implikasi Klinisnya. Dalam:


Buku Ajar Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

www.science.uwc.ac.za./physiology/temperature/temperature.html.Journ
al of Endocrinology. (2005). Hypothalamic hormone a.k.a.h
ypothalamic releasing factors. Diambil pada 14 Februari 2006 dari
http://joe.endocrinologyjournals.

Joesoef AA. Vertigo. In : Harsono, editor. Kapita Selekta Neurologi.


Yogyakarta: Gadjah Mada University Press; 2000. p.341-59

Bashiruddin J. Vertigo Posisi Paroksismal Jinak. Dalam : Arsyad E,


Iskandar N, Editor. Telinga, Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi
Keenam. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2008. Hal. 104-9

Li JC & Epley J. Benign Paroxysmal Positional Vertigo. [online] 2009


[cited 2009 May 20th]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/884261-overview

Consensus statement on the definition of orthostatic hypotension, pure


autonomic failure, and multiple system atrophy. The Consensus

11
Committee of the American Autonomic Society and the American
Academy of Neurology. Neurology 1996; 46(5):1470.

Sclater, A., Alagiakrishnan, K. 2004. Orthostatic hypotension: A primary


care primer for assessment and treatment. Geriatrics. Volume 59, No. 8.

Deegan, B.M.T, et al. 2007. Orthostatic hypotension: a new classification


system. The European Society of Cardiology.

Anonim. Hipotensi http://www.medicinenet.com/orthostatic_hypotension

Rose, K.M., et al. 2006. Orthostatic Hypotension Predicts Mortality in


Middle-Aged Adults The Atherosclerosis Risk in Communities (ARIC)
Study. Journal of The American Keart Association. 114;630-636.

VII.Pembahasan Learning Issues


1. Mekanisme dan gangguan regulasi suhu tubuh pada lansia
Mekanisme Regulasi Suhu Tubuh
Suhu tubuh manusia cenderung berfluktuasi setiap saat. Banyak
faktor yang dapat menyebabkan fluktuasi suhu tubuh. Untuk
mempertahankan suhu tubuh manusia dalam keadaan konstan,
diperlukan regulasi suhu tubuh.Suhu tubuh manusia diatur dengan
mekanisme umpan balik (feed beck)yang diperankan oleh pusat
pengaturan suhu di hipotalamus. Apabila pusat temperatur
hipotalamus mendeteksi suhu tubuh yang terlalu panas, tubuh akan
melakukan mekanisme umpan balik. Mekanisme umpan balik ini
terjadi bila suhu inti tubuh telah melewati batas toleransi tubuh untuk
mempertahankan suhu, yang disebut titik tetap (set point).Titik tetap
tubuh dipertahankan agar suhu tubuh inti konstan pada 37°C.
Apabila suhu tubuh meningkat lebih dari titik tetap, hipotalamus

12
akan merangsang untuk melakukan serangkaian mekanisme untuk
mempertahankan suhu dengan cara menurunkan produksi panas dan
meningkatkan pengeluaran panas sehingga suhu kembali pada titik
tetap. (Joe, 2005)

Gangguan akibat perubahan suhu pada lansia


Gangguan pengaturan suhu pada lansia berupa keterbatasan
fungsi mekanisme pengaturan suhu dari hipotalamus sehubungan
dengan proses menua, mengakibatkan lansia kurang mampu untuk
beradaptasi terhadap perubahan suhu lingkungannya. Hal inilah yang
menyebabkan lansia dapat mengalami kepanasan (hipertermia)
maupun kedinginan. (Joe, 2005)
Secara umum, beberapa faktor yang berperan untuk terjadinya
hipotermia adalah lingkungan yang dingin, gangguan pada
hipotalamus yang berkaitan dengan bertambahnya usia, obat –
obatan, dan penyakit – penyakit yang menyebabkan berkurangnya
pembentukan panas atau meningkatnya pembuangan panas, ataupun
yang mengganggu fungsi hipotalamus. Sejumlah penyakit dan obat –
obatan dapat menganggu mekanisme pengaturan suhu tubuh, seperti
pada keadaan berkurangnya kadar gula darah dibandingkan normal
(hipoglikemia), penyakit – penyakit yang menyebabkan lansia tidak
mampu atau sangat terbatas aktivitas fisiknya, seperti penyakit
Parkinson, kelumpuhan, penyakit sendi, demensia dapat
menyebabkan berkurangnya pembentukan panas yang meningkatkan
resiko terjadinya hipotermia. Gangguan–gangguan akibat pengaturan
suhu adalah: (Joe, 2005)
1. Demam
Demam merupakan mekanisme pertahanan yang
penting. Peningkatan ringan suhu sampai 390C meningkatkan
system imun tubuh.Demam juga merupakan bentuk pertarungan
akibat infeksi karena virus menstimulasi interfreron (substansi

13
yang bersifat melawan virus). Pola demam demam berbeda
bergantung pada pirogen. Peningkatan dan penurunan jumlah
pirogen berakibat puncak demam dan turun dalam waktu yang
berbeda. Selama demam, metabolism meningkat dan konsumsi
oksigen bertambah. Metabolisme tubuh meningkat 7% untuk
setiap derajat kenaikan suhu. Frekuensi jantung dan pernapasan
meningkat untuk memenuhi kebutuhan metabolic tubuh
terhadap nutrient. Metabolisme yang meningkat menggunakan
energy yang memproduksi panas tambahan.
2. Kelelahan akibat panas
Kelelahan akibat panas terjadi bila diaphoresis yang
banyak mengakibatkan kehilangan cairan elektrolit secara
berlebihan. Disebabkan oleh lingkunganterpajan panas.
3. Hipertermia
Peningkatan suhu tubuh sehubungan dengan
ketidakmampuan tubuh untuk meningkatkan pengeluaran panas
atau menurunkan produksi panas adalah hipertemia. Setiap
penyakit atau trauma pada hipotalamus dapat mempengaruhi
mekanisme pengeluaran panas. Hipertermia maligna adalah
kondisi bawaan tidak dapat mengontrol produksi panas yang
terjadi ketika orang yang rentan menggunakan obat – obatan
anastetik tertentu.
4. Hipotermia
Pengeluaran panas akibat paparan terus – menerus
terhadap dingin mempengaruhi kemampuan tubuh untuk
memproduksi panas sehingga akan mengakibatkan hiportermia
(suhu rektal > 37,80 C).

14
2. Diagnosa banding
Vertigo
a. Definisi
Vertigo berasal dari istilah latin, yaitu vertere yang berarti
berputar, dan igo yang berarti kondisi. Vertigo merupakan
subtipe dari “diz- ziness” yang secara definitif merupakan ilusi
gerakan, dan yang paling sering adalah pe- rasaan atau sensasi
tubuh yang berputar ter- hadap lingkungan atau sebaliknya,
lingku- ngan sekitar kita rasakan berputar. Vertigo juga
dirasakan sebagai suatu perpindahan linear ataupun miring,
tetapi gejala seperti ini lebih jarang dirasakan. Kondisi ini
merupakan gejala kunci yang menandakan adanya gang- guan
sistem vestibuler dan kadang merupak-an gejala kelainan
labirin. Namun, tidak jarang vertigo merupakan gejala dari
gangguan siste- mik lain (misalnya, obat, hipotensi, penyakit
endokrin, dan sebagainya). (Kupiya, 2012)
Berbeda dengan vertigo, dizziness atau pusing merupakan
suatu keluhan yang umum terjadi akibat perasaan disorientasi,
biasanya dipengaruhi oleh persepsi posisi terhadap lingkungan.
Dizziness sendiri mempunyai empat subtipe, yaitu vertigo,
disekuilibrium tanpa vertigo, presinkop, dan pusing
psikofisiologis (lihat tabel di bawah ini). (Kupiya, 2012)

Vertigo Presinkop Disekuilibrium Light


headedness
Deskripsi Ilusi gerakan, Sensasi Tidak seimbang Secara
biasanya yang akan atau imbalans definitif
perasaan diri terjadi tidak jelas,
berputar menjelang sering
terhadap kehi- disebut de-
lingkungan langan ngan

15
sekitar, atau kesadaran pusing,
sebaliknya giddiness,
wooziness
Kemak Banyak Penurunan Gangguan Istilah ini
naan kemungkin aliran darah neurologis, sekarang
klinis an penyebab serebral kelemahan digunakan
dan memer- yang muskulos- bergantian
lukan berasal dari keletal, dan dengan
pemeriksaan sistem penurunan presinkop
lebih lanjut kardiova- fungsi
skuler penglihatan

b. Epidemiologi
Dari keempat subtipe dizziness, vertigo terjadi pada sekitar
32% kasus, dan sampai dengan 56,4% pada populasi orang
tua.1 Sementara itu, angka kejadian vertigo pada anak-anak ti-
dak diketahui,tetapi dari studi yang lebih baru pada populasi
anak sekolah di Skotlandia, dilaporkan sekitar 15% anak paling
tidak per- nah merasakan sekali serangan pusing dalam periode
satu tahun. Sebagian besar (hampir 50%) diketahui sebagai
“paroxysmal vertigo” yang disertai dengan gejala-gejala
migren (pucat, mual, fonofobia, dan fotofobia). (Kupiya, 2012)
c. Patofisiologi
Etiologi vertigo adalah abnormalitas dari organ- organ
vestibuler, visual, ataupun sistem propi- oseptif. Labirin (organ
untuk ekuilibrium) terdiri atas 3 kanalis semisirkularis, yang
berhubungan dengan rangsangan akselerasi angular, serta
utrikulus dan sakulus, yang berkaitan dengan rangsangan
gravitasi dan akselerasi vertikal. Rangsangan berjalan melalui
nervus vestibu- laris menuju nukleus vestibularis di batang
otak, lalu menuju fasikulus medialis (bagian kranial muskulus

16
okulomotorius), kemudian meninggalkan traktus
vestibulospinalis (rang- sangan eksitasi terhadap otot-otot
eksten- sor kepala, ekstremitas, dan punggung untuk
mempertahankan posisi tegak tubuh). Selan- jutnya, serebelum
menerima impuls aferen dan berfungsi sebagai pusat untuk
integrasi antara respons okulovestibuler dan postur tubuh.
(Joesoef AA, 2000)
Fungsi vestibuler dinilai dengan mengevaluasi refleks
okulovestibuler dan intensitas nistagmus akibat rangsangan
perputaran tubuh dan rangsangan kalori pada daerah labirin.
Refleks okulovestibuler bertanggung jawab atas fiksa- si mata
terhadap objek diam sewaktu kepala dan badan sedang
bergerak. Nistagmus mer- upakan gerakan bola mata yang
terlihat seba- gai respons terhadap rangsangan labirin, serta
jalur vestibuler retrokoklear, ataupun jalur ves- tibulokoklear
sentral. Vertigo sendiri mungkin merupakan gangguan yang
disebabkan oleh penyakit vestibuler perifer ataupun disfungsi
sentral oleh karenanya secara umum vertigo dibedakan menjadi
vertio perifer dan vertigo sentral. Penggunaan istilah perifer
menunjuk- kan bahwa kelainan atau gangguan ini dapat terjadi
pada end-organ (utrikulus maupun ka- nalis semisirkularis)
maupun saraf perifer. (Joesoef AA, 2000)
Lesi vertigo sentral dapat terjadi pada daerah pons,
medulla, maupun serebelum. Kasus vertigo jenis ini hanya
sekitar 20% - 25% dari seluruh kasus vertigo, tetapi gejala
gangguan keseimbangan (disekulibrium) dapat terjadi pada
50% kasus vertigo. Penyebab vertigo sentral ini pun cukup
bervariasi, di antaranya iskemia atau infark batang otak
(penyebab terbanyak), prosesdemielinisasi (misalnya, pada
sklerosis multipel, demielinisasi pascainfeksi), tumor pada
daerah serebelopontin, neuropati kranial, tumor daerah batang

17
otak, atau sebab- sebab lain. Perbedaan gambaran klinis antara
vertigo sentral dan perifer adalah sebagai berikut: (Kupiya,
2012)
Tabel 1 Perbedaan vertigo vestibuler perifer dan sentral
Vertigo vestibuler perifer Vertigo vestibuler sentral
Kejadian Episodik, onset mendadak Konstan
Arah nistagmus (spinning) Satu arah Bervariasi
Aksis nistagmus Horizontal atau rotatorik Horizontal, vertikal, oblik, atau rotatorik
Tipe nistagmus Fase lambat dan cepat Fase ireguler atau setimbang (equal)
Hilang pendengaran, tinitus Bisa terjadi Tidak ada
Kehilangan kesadaran Tidak ada Dapat terjadi
Gejala neurologis lainnya Tidak ada Sering disertai defisit saraf kranial
serta tanda-tanda serebelar dan
piramidal

Beberapa penyakit ataupun gangguan siste-mik dapat juga


menimbulkan gejala vertigo. Begitu pula dengan penggunaan
obat, se- perti antikonvulsan, antihipertensi, alkohol, analgesik,
dan tranquilizer. Selain itu, vertigo juga dapat timbul pada
gangguan kardio- vaskuler (hipotensi, presinkop kardiak mau-
pun non-kardiak), penyakit infeksi, penyakit endokrin (DM,
hipotiroidisme), vaskulitis, serta penyakit sistemik lainnya,
seperti anemia, polisitemia, dan sarkoidosis. (Joesoef AA,
2000)
Neurotransmiter yang turut berkontribusi dalam
patofisiologi vertigo, baik perifer maupun sentral, di antaranya
adalah neurotransmitter kolinergik, monoaminergik,
glutaminergik, dan histamin. Beberapa obat antivertigo bekerja
dengan memanipulasi neurotransmiter-neurotransmiter ini,
sehingga gejala-gejala vertigo dapat ditekan. Glutamat
merupakan neurotransmiter eksitatorik utama dalam serabut
saraf vestibuler. Gluta mat ini memengaruhi kompensasi
vestibuler melalui reseptor NMDA (N-metil-D-aspar- tat).
Reseptor asetilkolin muskarinik banyak ditemukan di daerah
pons dan medulla, dan akan menimbulkan keluhan vertigo
dengan memengaruhi reseptor muskarinik tipe M2, sedangkan
neurotransmiter histamin banyak ditemukan secara merata di

18
dalam struktur vestibuler bagian sentral, berlokasi di pre- dan
postsinaps pada sel-sel vestibuler. (Joesoef AA, 2000)

3. Diagnosa kerja
Hipotensi Ortostatik
a. Definisi
Hipotensi ortostatik berdasarkan The Consensus
Committee of the American Autonomic Society and the
American Academy of Neurology merupakan penurunan
tekanan darah sistolik ≥20 mmHg atau penurunan tekanan
darah diastolik ≥10 mmHg dari posisi berbaring ke posisi
duduk atau berdiri. Penurunan harus ada dalam waktu 3
menit setelah perubahan posisi.
b. Etiologi dan Faktor Resiko
Penurunan tekanan darah yang drastis saat
perubahan posisi dapat terjadi oleh banyak penyebab, baik
akut maupun kronis ataupun yang bersifat neurogenik
ataupun non-neurogenik. (artikel). Penyakit diabetes
mellitus dan penggunaan obat yang berkepanjangan
merupakan penyebab yang paling sering ditemukan.
(Sclater, 2004)
a) Akut atau reversibel
1) Dehidrasi dan Hiponatremi
Dehidrasi dapat terjadi dikarenakan proses penuaan yang
menyebabkan penurunan kemampuan homeostatik,
penurunan respon rasa haus terhadap kondisi
hipovolemik, serta penurunan laju filtrasi glumerulus dan
kemampuan fungsi konsentrasi ginjal. (Sclater, 2004)
2) Obat-obatan
Terutama yang mengakibatkan terjadinya deplesi volume
atau vasodilatasi. Populasi usia lanjut merupakan

19
kelompok yang rentan dengan efek hipotensif obat-
obatan akibat penurunan sensitivitas baroreseptor,
berkurangnya aliran darah selebral, renal sodium wasting
dan gangguan mekanisme haus akibat proses penuaan.
Jenis obat-obatan yang menyebabkan hipotensi ortostatik
pada usia lanjut antara lain: (Sclater, 2004)
 Diuretika
 Penghambat adrenergik alfa misalnya: terazosin
 Penghambat saraf adrenergik misalnya: guanetidin
 Penghambat ACE
 Antidepresan: MAO Inhibitor
 Alkohol
 Penghambat ganglion misalnya: heksametonium,
mekamilamin
 Tranquilizer misalnya: fenotiazin, barbiturate
 Vasodilator: prazosin, hidralazin, penghambat
saluran kalsium
 Obat hipotensif yang bekerja sentral misalnya:
metildopa, clonidin.
b) Kronik atau irreversibel
1) Gagal jantung
2) Diabetes mellitus
3) Insufisiensi adrenal
4) Parkinson
5) Kegagalan otonom murni
6) Atrofi beberapa sistem
c) Neurogenik
1) Insufisiensi otonom primer: kegagalan otonom murni
dan atrofi beberapa sistem.

20
2) Insufisiensi otonom sekunder: kegagalan otonom
sekunder karena stroke, diabetes melitus, polineuropati
alkohol, parkinson idiopatik, neuropati amiloid dan
anemia pernisiosa.
d) Non-neurogenik
1) Kardiovaskule: infark miokard, stenosis aorta,
perikarditis konstriktif, gagal jantung lanjutan,
hypertrophic obstructive cardiomyopathy (HOCM),
aritmia (takikardi dan bradikardi), varises vena besar.
2) Endokrin dan Ginjal: insufisiensi adrenal, diabetes
insipidus,
hipoaldosteron, kerusakan konsentrat ginjal.
3) Venous pooling: alkohol, pelebaran pembuluh darah
splanknikus
postprandial, lingkungan yang panas, demam, berdiri
lama.
4) Penurunan volume intravaskular: dehidrasi, perdarahan,
luka bakar, nefropati kehilangan garam, insufisiensi
adrenal, diabetes insipidus.3
c. Patofisiologi
Pada perubahan posisi tubuh misalnya dari
berbaring ke berdiri maka tekanan darah bagian atas tubuh
akan menurun karena pengaruh gravitasi. Respon tekanan
darah normal yang terjadi ketika seseorang bergerak dari
berbaring ke posisi berdiri adalah sedikit penurunan
tekanan darah sostolik (<10 mmHg) dan sedikit
peningkatan tekanan darah diastolik (sekitar 2,5 mmHg)
serta stabilisasi ortostatik biasanya dicapai dalam 1 menit
berdiri. (Sclater, 2004)
Ketika seseorang berdiri dari posisi berbaring,
sekitar 500 sampai 700 ml darah terkumpul di ekstrimitas

21
bawah dan di sirkulasi splanknikus serta sirkulasi paru.
Akibatnya pengisian atrium kanan jantung akan berkurang,
dengan sendirinya curah jantung juga berkurang.
Penurunan curah jantung akibat pengumpulan darah pada
anggota tubuh bagian bawah akan cenderung mengurangi
darah ke otak. Pada orang normal, tekanan darah arteri
setinggi kepala adalah 6075 mmHg. Pada saat berdiri,
tekanan arteri kepala akan turun mencapai 2030 mmHg.
Penurunan tekanan ini akan diikuti kenaikan tekanan
parsial CO2 (pCO2) dan penurunan tekanan parsial O2 (pO2)
serta pH jaringan otak. Secara reflektoris, hal ini akan
merangsang baroreseptor yang terdapat di dalam dinding
dan hampir setiap arteri besar di daerah dada dan leher,
namun dalam jumlah banyak didapatkan dalam dinding
arteri karous interna, sedikit di atas bifurcatio carotis,
daerah yang dikenal sebagai sinus karotikus dan dinding
arkus aorta. (Deegan, B.M.T, et al, 2007)
Respon yang ditimbulkan baroreseptor berupa
peningkatan tahanan pembuluh darah perifer, peningkatan
tekanan jaringan pada otot kaki dan abdomen, peningkatan
frekuensi respirasi, kenaikan frekuensi denyut jantung serta
sekresi zat-zat vasoaktif. Sekresi zat vasoaktif berupa
katekolamin, pengaktifan sistem Renin Angiotensin
Aldosteron, pelepasan ADH dan neuro-hipofisis. (Deegan,
B.M.T, et al, 2007)
Perubahan patologis yang terjadi pada usia lanjut
mengakibatkan terjadinya kegagalan fungsi refleks otonom.
Kegagalan fungsi refleks otonom inilah yang menjadi
penyebab timbulnya hipotensi ortostatik, selain oleh faktor
penurunan curah jantung akibat berbagai sebab dan

22
kontraksi volume intravaskular baik yang relatif maupun
absolut. (Deegan, B.M.T, et al, 2007)
Tingginya kasus hipotensi ortostatik pada usia lanjut
berkaitan dengan a) penurunan sensitivitas baroreseptor
yang diakibatkan oleh proses atherosklerosis sekitar sinus
karotikus dan arkus aorta. Hal ini akan menyebabkan tak
berfungsinya refleks vasokonstriksi dan peningkatan
frekuensi denyut jantung sehingga mengakibatkan
kegagalan pemeliharaan tekanan arteri sistemik saat berdiri,
dan b) menurunnya daya elastisitas serta kekuatan otot
ekstremitas inferior. (Deegan, B.M.T, et al, 2007). Secara
ringkas terangkum dalam gambar.

23
Bagan Patofisiologi Hipotensi Ortostatik

Perubahan posisi tubuh (berbaring-berdiri)

500 sampai 700 ml darah terkumpul di


ekstrimitas bawah
↓ volume darah balik vena secara tiba-tiba ke
jantung
↓ curah jantung

↓ aliran darah ke otak

↑ pCO2 dan ↓ pO2

Refleks otonom

Kontraksi Rangsang baroreseptor


otot di dalam dinding arteri
ekstrimitas besar daerah dada dan
inferior leher
Usia Lanjut 
memompa ↑ tahanan pembuluh darah
vena aging 
proses perifer
kegagalan refleks ↑ tekanan jaringan pada otot
otonom kaki dan
abdomen
HIPOTENSI ↑Tekanan
RR arteri sitemik tetap
ORTOSTATIK ↑ denyut jantung
terjaga
sekresi zat-zat vasoaktif

24
d. Diagnosis
Penilaian awal sebaiknya menyelidiki penyebab
hipotensi ortostatik yang reversibel atau dapat diobati
terutama efek pengobatan, penurunan volume intravaskuler,
dan dehidrasi. (Rose, K.M., et al, 2006)
1. Anamnesis
Gejala klinis yang terjadi cukup bervariasi (Tabel 1).
Pasien mungkin mengeluh kelelahan, pingsan dan
pandangan kabur ketika ada penurunan ringan aliran
darah otak. Sinkop, transient ischemic attacks (TIA),
atau kejang umum mungkin terjadi pada hipoperfusi
otak yang lebih parah. Hipoperfusi otot dapat
menyebabkan sakit leher, nyeri punggung bawah, dan
klaudikasio betis. Hipoperfusi jantung menyebabkan
angina pektoris. (Rose, K.M., et al, 2006)
Pada anamnesis juga harus fokus pada riwayat
penggunaan obat-obatan, alkohol, dan kelainan sistem
otonom, neurologis, kardiovaskuler serta endokrin.
Acapkali keluhan yang disodorkan penderita lebih
merupakan keluhan neuropati autonom. Pada kelainan
otonom, dokter harus mencari adanya gejala penurunan
keringat, gejala yang berkaitan dengan gastroparesis,
inkontinensia, dan impotensi. (Rose, K.M., et al, 2006)
Pada pasien yang lebih tua dengan kegagalan otonom,
gejala hipertensi ortostatik sering timbul setelah
nokturia berlebihan atau setelah makan, dan dapat
memperburuk selama latihan. Keluhan yang muncul
kadang tidak berhubungan erat dengan kualitas
penyakit. Ada kecenderungan peningkatan kualitas
gejala saat pagi hari ketika bangun tidur, makin reda
bila hari telah siang atau penderita kembali berbaring.

25
Namun, kebanyakan pasien tidak menunjukkan gejala.
(Rose, K.M., et al, 2006)
Pada orang lanjut usia dengan riwayat hipertensi dan
tekanan darah sistolik sebelumnya 160 mmHg, keluhan
hipotensi ortostatik akan muncul meski penurunan
tekanan darah sistolik masih dalam batas yang normal.
(Rose, K.M., et al, 2006)
Tabel. Gejala klinis hipotensi ortostatik

Tabel 2. Gambaran klinis neuropati otonom

a) Pemeriksaan Fisik
Teknik standar untuk mengukur tekanan darah ortostatik
dan denyut nadi adalah sebagai berikut:
1) Mengukur tekanan darah dan denyut nadi setelah 5
menit berbaring.

26
2) Pasien berdiri selama 3 menit.
3) Mengukur kembali tekanan darah dan denyut nadi.
4) Bandingkan hasil pemeriksaan saat berbaring dan
berdiri.
Penurunan tekanan darah sistolik ≥20 mmHg atau
penurunan tekanan darah diastolik ≥10 mmHg dengan
atau tanpa peningkatan denyut nadi dianggap sebagai
respon abnormal. Respon denyut jantung terhadap
perubahan postural dapat memberikan informasi penting
tentang penyebab hipotensi ortostatik. Adanya perubahan
minimal pada denyut jantung (<10x/menit) dari posisi
berbaring ke posisi berdiri pada hipotensi ortostatik,
menunjukan penurunan refleks baroreseptor, sedangkan
takikardia (peningkatan denyut jantung >20x/menit)
mengindikasikan deplesi/penurunan volume intravaskular.
Adanya kecurigaan gangguan fungsi autonom
memerlukan pemeriksaan neurologis (Tabel 3). (Rose,
K.M., et al, 2006)
Tabel 3. Tes Fungsi Autonom
Prosedur Respon Normal
Manuver Valsalva Peningkatan tekanan darah
Perubahan posisi Takhikardia
(berbaring ke tegak)
Inhalasi Amyl Nitrit Takhikardia
Hiperventilasi
Hipotensi Kenaikan tekanan darah sistolik
Tes pacu dingin Keringat merata
Tes keringat Normal saat istirahat, meningkat
Noradrenalin plasma saat posisi tubuh berdiri
Peningkatan frekuensi denyut
Tes Atropin Sulfat jantung

27
b) Pemeriksaan Laboratorium
1) Pemeriksaan darah lengkap : tanda-tanda perdarahan,
anemia atau infeksi.
2) Pemeriksaan kimia darah : kelainan metabolik,
dislipidemia, fungsi hati dan fungsi ginjal.
3) Pemeriksaan elektrolit dilakukan jika ada riwayat
kehilangan cairan melalui muntah atau diare dan dari
pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda dehidrasi.
c) Electrocardiografi (EKG)
d) Echocardiografi atau ultrasound dari jantung -
mengevaluasi katup-katup jantung dan menilai fungsi dari
otot jantung. Stress test dapat dilakukan jika ada penyakit
arteri koroner.
e) Heads-up tilt table test dapat dilakukan jika gejala-gejala
hipotensi ortostatik terus menerus berulang namun sulit
untuk mendokumentasikan kelainan-kelainan dalam
pembacaan tekanan darah. Sewaktu tes, pasien diikat diatas
meja yang rata, kemudian meja secara berangsur-angsur
dimiringkan ke sudut 70 atau 80 derajat, pembacaan
tekanan darah dan denyut jantung terus menerus diambil.
Pasien dibiarkan diatas meja selama lebih dari 10 menit
untuk mencari perubahan-perubahan tertunda yang terlihat
pada postural orthostatic tachycardia syndrome. (Rose,
K.M., et al, 2006)

Gambar 2. Heads-up tilt table test

28
a. Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan hipotensi ortostatik dapat dibagi
menjadi dua yaitu; manajemen nonfarmakologi dan manajemen
farmakologi. Pendekatan dalam penatalaksanaan dapat dilihat
pada gambar.

Gambar
3. Pendekatan

penatalaksanaan hipotensi ortostatik


a) Non-farmakologis
Pemberian obat-obatan yang dapat menyebabkan
hipotensi ortostatik hendaknya dikurangi atau dihentikan
sama sekali. Menghindari mengangkat beban yang berat
dan aktivitas fisik yang dilakukan secara teratur seperti
berjalan cukup mampu mengurangi timbulnya gejala. Tidur
dengan posisi kepala terangkat ± 30 cm dan alas tidur dapat

29
memperbaiki hipotensi ortostatik melalui mekanisme
berkurangnya tekanan arteri ginjal yang selanjutnya akan
merangsang pelepasan renin dan meningkatkan volume
darah. Saat bangun dari tempat tidur jangan mendadak tapi
lakukan secara perlahan-lahan. (Sclater, 2004)
Pada penderita yang tidak memiliki penyakit jantung,
penambahan garam dalam menu sangat berguna, jumlah
yang diberikan terbatas 200 mmol perhari. Pada penderita
hipotensi ortostatik setelah makan. dianjurkan
mempersering frekuensi makan makanan ringan, selain itu
perlu pula pembatasan aktivitas fisik segera setelah makan.
Aktivitias lebih baik dilakukan sebelum makan dari pada
setelah makan dan lebih baik sore hari lebih baik dari pada
pagi hari. (Sclater, 2004)
Adanya pengumpulan volume darah secara berlebihan
pada ekstremitas inferior dapat dikurangi dengan pemakaian
stocking elastis, yang digunakan dari metatarsal hingga lipat
paha untuk meningkatkan venous return, hanya saja amat
merepotkan, apalagi di daerah tropis. Pada keadaan berat,
pakaian antigravitasi dapat digunakan. (Sclater, 2004)
b) Farmakologis
Obat turut memegang peranan cukup penting untuk
mengatasi hipotensi ortostatik dan hendaknya diberikan
setelah pengelolaan umum tidak membuahkan hasil. Pada
kasus-kasus neurologis, pemberian obat hanya bersifat
simptomatis. Jenis obat yang diberikan adalah: (Rose, K.M.,
et al, 2006)
1) Fludrokortison
Merupakan preparat pilihan dalam penanganan
hipotensi ortostatik. Efek yang ditimbulkan berupa
peningkatan sensitivitas vaskular terhadap noradrenalin

30
endogen, pertambahan volume cairan ekstraselular
akibat retensi garam, peningkatan osmolaritas dan
tahanan vaskular akibat perubahan konsentrasi
elektrolit pada dinding pembuluh darah.
Dosis yang umum diberikan adalah 0,1 mg per
oral, dosis maksimal tidak lebih dari 0,4 mg per hari.9
Efek samping yang dapat terjadi adalah
hipokalemia (50% dalam 2 minggu), hipomagnesemia,
gagal jantung kongestif, oedem perifer.9
2) Midodrine
Mekanisme kerja obat ini yatiu alpha-1-
adrenoreceptor agonist. Efek yang ditimbulkan berupa
resistensi vaskular perifer.
Dosis yang umum diberikan adalaj 2,5 mg saat
makan pagi dan siang, kemudian ditingkatkan 2,5 mg
perhari jika terdapat respon terapi yang bagus. Dosis
maksimal adalah 30 mg per hari.
Efek samping yang dapat terjadi adalah
hipertensi, piloereksi, paresthesia pada kulit kepala, dan
pruritus.
3) Eritropoietin
Meningkatkan volume sel darah merah dan
hemoglobin serta tekanan darah 10 mmHg. Hindari
penggunaan yang sering. (Rose, K.M., et al, 2006)
4) Preparat Vasokonstriktor
Preparat simpatomimetik seperti efedrin,
amfetamin, hidroksiamfetamin, fenilefrin, tiramin,
etilefin dan inetilphenidate dilaporkan cukup memadai
untuk mengatasi hipotensi ortostatik yang diakibatkan
gangguan fungsi otonom. Kombinasi dengan preparat
Monoamine Oksidase Inhibitor seperti tranul sipromin

31
atau phenelzine sangat berhasil pada beberapa kasus,
tetapi disertai risiko terjadinya hipertensi. (Rose, K.M.,
et al, 2006)
5) Preparat lain
Preparat inhibitor sintesis prostaglandin seperti
indomethasin dan flurbiprofen memberikan hasil
memadai. Dilaporkan indomethasin meningkatkan
tahanan pembuluh darah perifer pada penderita
neuropati autonom, diduga akibat peningkatan
sensitivitas reseptor pembuluh darah terhadap
noradrenalin. Kedua preparat tersebut juga
meningkatkan tonus otot halus pada kasus neuropati
autonom dengan menghambat sintesis prostaglandin
lokal. (Rose, K.M., et al, 2006)
Dihidroergotamin yang merupakan turunan ergot
dilaporkan cukup memadai untuk kasus yang
disebabkan oleh kegagalan fungsi autonom. Efek
pemberian preparat ini adalah konstriksi selektif
dinding vena. Efektivitasnya rendah bila diberikan per
oral sehingga penggunaannya terbatas.
Preparat beta blocker seperti pindolol dilaporkan
memberikan efek positif pula dalam penanganan
penderita neuropati autonom kronis yang disertai
hipotensi ortostatik.
b. Prognosis
Penderita diabetes dengan tekanan darah tinggi serta
mengalami hipotensi ortostatik, memiliki prognosis yang
buruk. Jika penyebabnya adalah volume darah yang rendah
atau obat tertentu, keadaan ini bisa diatasi dengan segera.
(Rose, K.M., et al, 2006)

32
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Jadi, berdasarkan diskusi kelompok kami menyimpulkan
berdasarkan keluhan pasien yaitu pusing berputar yang di rasakan terutama
setelah bangun dari posisi berbaring atau duduk. Kemudian Pada
pemeriksaan fisik ditemukan TD; 100/50 mmHg pada saat berbaring dan
80/50 mmHg setelah 3 menit berdiri. bahwa kemungkinan pasien di
skenario mengalami hipotensi ortostatik sesuai dengan definisi hipotensi
ortostatik yaitu merupakan penurunan tekanan darah sistolik ≥20 mmHg
atau penurunantekanan darah diastolik ≥10 mmHg dari posisi berbaring ke
posisi duduk atau berdiri. Penurunan harus ada dalam waktu 3 menit
setelah perubahan posisi.
Untuk memastikan diagnosa tersebut, mungkin diperlukan
beberapa pemeriksaan penunjang. Tatalaksana yang tepat baik
nonfarmakologi dan farmakologi sangat diperlukan untuk mencegah
gejala-gejala yang menganggu timbul kembali serta menghindari
komplikasi yang dapat dtimbulkan.

33
DAFTAR PUSTAKA

Kupiya Timbul Wahyudi. 2012. Vertigo. CDK-198/ vol. 39 no. 10. Medical
Department, PT. Kalbe Farma Tbk., Jakarta, Indonesia

Setiati, S, et al. 2006. Proses Menua dan Implikasi Klinisnya. Dalam : Buku
Ajar Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi 4. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.

www.science.uwc.ac.za./physiology/temperature/temperature.html.Journal of
Endocrinology. (2005). Hypothalamic hormone a.k.a.hypothalamic
releasing factors. Diambil pada 14 Februari 2006 dari
http://joe.endocrinologyjournals.

Joesoef AA. Vertigo. In : Harsono, editor. Kapita Selekta Neurologi.


Yogyakarta: Gadjah Mada University Press; 2000. p.341-59

Bashiruddin J. Vertigo Posisi Paroksismal Jinak. Dalam : Arsyad E, Iskandar N,


Editor. Telinga, Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi Keenam.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2008. Hal. 104-9

Li JC & Epley J. Benign Paroxysmal Positional Vertigo. [online] 2009 [cited


2009 May 20th]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/884261-overview

Consensus statement on the definition of orthostatic hypotension, pure


autonomic failure, and multiple system atrophy. The Consensus

34
Committee of the American Autonomic Society and the American
Academy of Neurology. Neurology 1996; 46(5):1470.

Sclater, A., Alagiakrishnan, K. 2004. Orthostatic hypotension: A primary care


primer for assessment and treatment. Geriatrics. Volume 59, No. 8.

Deegan, B.M.T, et al. 2007. Orthostatic hypotension: a new classification


system. The European Society of Cardiology.

Anonim. Hipotensi http://www.medicinenet.com/orthostatic_hypotension

Rose, K.M., et al. 2006. Orthostatic Hypotension Predicts Mortality in Middle-


Aged Adults The Atherosclerosis Risk in Communities (ARIC) Study.
Journal of The American Keart Association. 114;630-636.

35

Anda mungkin juga menyukai