LBM IV
KEPALAKU PUSING
KELOMPOK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR
MATARAM
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan rahmat dan hidayah-Nya makalah SGD dengan skenario yang berjudul
“kepalaku pusing” pada Modul Masalah Pada Lansia ini dapat kami selesaikan
dengan sebagaimana mestinya.
Di dalam laporan ini kami memaparkan hasil penelitian pustaka yang telah
kami laksanakan yakni berkaitan dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi serta
metode pembelajaran berbasis pada masalah yang merupakan salah satu metode
dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi.
Penyusun
2
DAFTAR ISI
BAB I................................................................................................................................2
PENDAHULUAN.............................................................................................................2
1.1 Latar Belakang.................................................................................................2
1.2 Tujuan...............................................................................................................2
1.3 Manfaat.............................................................................................................2
BAB II...............................................................................................................................3
PEMBAHASAN...............................................................................................................3
2.1 Data Tutorial....................................................................................................3
2.2 Skenario LBM..................................................................................................3
2.3 Pembahasan LBM............................................................................................4
BAB III...........................................................................................................................31
PENUTUP.......................................................................................................................31
3.1 Kesimpulan.....................................................................................................31
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................32
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peningkatan jumlah orang lanjut usia diikuti dengan peningkatan jumlah
morbiditas dan mortalitas. Banyak penyakit-penyakit yang menyebabkan
morbiditas dan mortalitas pada orang lanjut usia diantaranya penyakit
kardiovaskuler dan sistem saraf. Hipotensi ortostatik pada usia lanjut
merupakan salah satu penyakit yang disebabkan oleh kelainan pada sistem
kardiovaskuler dan saraf. Oleh karena itu, penanganan pasien dengan
ortostatik hipotensi sangat penting untuk dilakukan sehingga dapat mencegah
morbiditas dan mortalitas akibat gangguan ini.
1.2 Tujuan
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat diambil tujuan sebagai berikut:
1. Mengetahui penyebab keluhan pasien di skenario.
2. Mengetahui dan memahami diagnosa dan diagnosa banding kelainan
pasien di skenario.
3. Mengetahui tatalaksana penyakit pada pasien di skenario.
1.3 Manfaat
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat diambil manfaat yaitu agar
mahasiswa FK Unizar mampu memahami dan menjelaskan bagaimana
mekanisme terjadinya keluhan pada skenario, apa saja diagnosa banding yang
bisa didapatkan, apa diagnosa kerja dan penatalaksanaannya.
4
BAB II
PEMBAHASAN
5
1. Bagaimana mekanisme keluhan pasien pada skenario?
2. Apakah ada hubungan antara keluhan dengan usia pasien?
3. Apakah interpretasi pemeriksaan fisik pasien di skenario?
4. Apakah pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk
menegakkan diagnosis penyakit diskenario?
6
didapatkan dalam dinding arteri karous interna, sedikit di atas
bifurcatio carotis, daerah yang dikenal sebagai sinus karotikus dan
dinding arkus aorta. (Deegan, B.M.T, et al, 2007)
Respon yang ditimbulkan baroreseptor berupa peningkatan
tahanan pembuluh darah perifer, peningkatan tekanan jaringan pada
otot kaki dan abdomen, peningkatan frekuensi respirasi, kenaikan
frekuensi denyut jantung serta sekresi zat-zat vasoaktif. Sekresi zat
vasoaktif berupa katekolamin, pengaktifan sistem Renin Angiotensin
Aldosteron, pelepasan ADH dan neuro-hipofisis. (Deegan, B.M.T, et
al, 2007)
Perubahan patologis yang terjadi pada usia lanjut
mengakibatkan terjadinya kegagalan fungsi refleks otonom.
Kegagalan fungsi refleks otonom inilah yang menjadi penyebab
timbulnya hipotensi ortostatik. (Deegan, B.M.T, et al, 2007)
Faktor penurunan curah jantung akibat kegagalan refleks
otonom tersebut berakibat terjadinya hipoksia pada otak sehingga
menimbulkan gejala gejala seperti mual, pusing, mata berkunang
kunang. (Deegan, B.M.T, et al, 2007)
7
diakibatkan oleh proses atherosklerosis sekitar sinus karotikus dan
arkus aorta. Hal ini akan menyebabkan tak berfungsinya refleks
vasokonstriksi dan peningkatan frekuensi denyut jantung sehingga
mengakibatkan kegagalan pemeliharaan tekanan arteri sistemik saat
berdiri, dan b) menurunnya daya elastisitas serta kekuatan otot
ekstremitas inferior. (Deegan, B.M.T, et al, 2007)
8
2. Echocardiogram.
Ini merupakan suatu tes noninvasif, yang meliputi USG thorax,
menunjukkan gambar rinci struktur jantung dan fungsinya.
Gelombang ultrasound yang ditransmisikan direkam dengan alat
yang disebut transduser yang diadakan di luar tubuh. Sebuah
komputer menggunakan informasi dari transduser untuk
membuat gambar bergerak pada monitor video. Test ini
bertujuan untuk mengevaluasi katup jantung dan menilai fungsi
otot jantung.
3. Heads-up tilt table test,
Dapat dilakukan jika gejala-gejala hipotensi ortostatik terus
menerus berulang namun sulit untuk mendokumentasikan
kelainan-kelainan dalam pembacaan tekanan darah. Tes
mungkin berguna dalam membedakan hipotensi ortostatik
dari gangguan lain yang dapat hadir dengan gejala
orthostasis, seperti sinkop neurocardiogenic dan juga
mengevaluasi bagaimana tubuh bereaksi terhadap
perubahan posisi.
Tes ini dilakukan di ruangan yang tenang dengan suhu 68 °
F hingga 75 ° F (20 ° C sampai 24 ° C). Pasien harus
beristirahat sementara terlentang selama lima menit
sebelum tes dimulai. Sewaktu tes, pasien diikat diatas meja
yang rata, kemudian meja secara berangsur-angsur
dimiringkan ke sudut 70 atau 80 derajat, pembacaan
tekanan darah dan denyut jantung terus menerus diambil.
Pasien dibiarkan diatas meja selama lebih dari 10 menit
untuk mencari perubahan-perubahan tertunda yang terlihat
pada postural orthostatic tachycardia syndrome
Tes ini dianggap positif jika tekanan darah sistolik turun 20
mm Hg bawah dasar atau jika tekanan darah diastolik turun
10 mm Hg bawah baseline. Jika gejala terjadi selama
9
pengujian, pasien harus dikembalikan ke posisi telentang
segera.
4. Manuver Valsava
Merupakan tes invasif untuk melakukan pemeriksaan fungsi
sistem saraf otonomik dengan menganalisa denyut jantung dan
tekanan darah setelah beberapa siklus dari jenis pernapasan:
Anda mengambil napas dalam-dalam dan kemudian memaksa
udara keluar melalui bibir Anda, seolah-olah Anda mencoba
meledakkan balon kaku
5. Magnetic Resonance Imaging
dapat digunakan untuk menilai kemungkinan etiologi hipotensi
ortostatik neurogenik. Hipotensi ortostatik sering neurogenik
pada pasien dengan sejarah Hipotensi ortostatik, pemeriksaan
fisik, dan tes laboratorium tidak menunjukkan penyebab lain.
Penatalaksanaan
10
V. Learning Issues
1. Bagaimanakah mekanisme dan gangguan regulasi suhu pada lansia?
2. Apakah diagnosa banding pada skenario?
3. Apakah diagnosa kerja pada skenario?
VI. Referensi
Kupiya Timbul Wahyudi. 2012. Vertigo. CDK-198/ vol. 39 no. 10.
Medical Department, PT. Kalbe Farma Tbk., Jakarta, Indonesia
www.science.uwc.ac.za./physiology/temperature/temperature.html.Journ
al of Endocrinology. (2005). Hypothalamic hormone a.k.a.h
ypothalamic releasing factors. Diambil pada 14 Februari 2006 dari
http://joe.endocrinologyjournals.
11
Committee of the American Autonomic Society and the American
Academy of Neurology. Neurology 1996; 46(5):1470.
12
akan merangsang untuk melakukan serangkaian mekanisme untuk
mempertahankan suhu dengan cara menurunkan produksi panas dan
meningkatkan pengeluaran panas sehingga suhu kembali pada titik
tetap. (Joe, 2005)
13
yang bersifat melawan virus). Pola demam demam berbeda
bergantung pada pirogen. Peningkatan dan penurunan jumlah
pirogen berakibat puncak demam dan turun dalam waktu yang
berbeda. Selama demam, metabolism meningkat dan konsumsi
oksigen bertambah. Metabolisme tubuh meningkat 7% untuk
setiap derajat kenaikan suhu. Frekuensi jantung dan pernapasan
meningkat untuk memenuhi kebutuhan metabolic tubuh
terhadap nutrient. Metabolisme yang meningkat menggunakan
energy yang memproduksi panas tambahan.
2. Kelelahan akibat panas
Kelelahan akibat panas terjadi bila diaphoresis yang
banyak mengakibatkan kehilangan cairan elektrolit secara
berlebihan. Disebabkan oleh lingkunganterpajan panas.
3. Hipertermia
Peningkatan suhu tubuh sehubungan dengan
ketidakmampuan tubuh untuk meningkatkan pengeluaran panas
atau menurunkan produksi panas adalah hipertemia. Setiap
penyakit atau trauma pada hipotalamus dapat mempengaruhi
mekanisme pengeluaran panas. Hipertermia maligna adalah
kondisi bawaan tidak dapat mengontrol produksi panas yang
terjadi ketika orang yang rentan menggunakan obat – obatan
anastetik tertentu.
4. Hipotermia
Pengeluaran panas akibat paparan terus – menerus
terhadap dingin mempengaruhi kemampuan tubuh untuk
memproduksi panas sehingga akan mengakibatkan hiportermia
(suhu rektal > 37,80 C).
14
2. Diagnosa banding
Vertigo
a. Definisi
Vertigo berasal dari istilah latin, yaitu vertere yang berarti
berputar, dan igo yang berarti kondisi. Vertigo merupakan
subtipe dari “diz- ziness” yang secara definitif merupakan ilusi
gerakan, dan yang paling sering adalah pe- rasaan atau sensasi
tubuh yang berputar ter- hadap lingkungan atau sebaliknya,
lingku- ngan sekitar kita rasakan berputar. Vertigo juga
dirasakan sebagai suatu perpindahan linear ataupun miring,
tetapi gejala seperti ini lebih jarang dirasakan. Kondisi ini
merupakan gejala kunci yang menandakan adanya gang- guan
sistem vestibuler dan kadang merupak-an gejala kelainan
labirin. Namun, tidak jarang vertigo merupakan gejala dari
gangguan siste- mik lain (misalnya, obat, hipotensi, penyakit
endokrin, dan sebagainya). (Kupiya, 2012)
Berbeda dengan vertigo, dizziness atau pusing merupakan
suatu keluhan yang umum terjadi akibat perasaan disorientasi,
biasanya dipengaruhi oleh persepsi posisi terhadap lingkungan.
Dizziness sendiri mempunyai empat subtipe, yaitu vertigo,
disekuilibrium tanpa vertigo, presinkop, dan pusing
psikofisiologis (lihat tabel di bawah ini). (Kupiya, 2012)
15
sekitar, atau kesadaran pusing,
sebaliknya giddiness,
wooziness
Kemak Banyak Penurunan Gangguan Istilah ini
naan kemungkin aliran darah neurologis, sekarang
klinis an penyebab serebral kelemahan digunakan
dan memer- yang muskulos- bergantian
lukan berasal dari keletal, dan dengan
pemeriksaan sistem penurunan presinkop
lebih lanjut kardiova- fungsi
skuler penglihatan
b. Epidemiologi
Dari keempat subtipe dizziness, vertigo terjadi pada sekitar
32% kasus, dan sampai dengan 56,4% pada populasi orang
tua.1 Sementara itu, angka kejadian vertigo pada anak-anak ti-
dak diketahui,tetapi dari studi yang lebih baru pada populasi
anak sekolah di Skotlandia, dilaporkan sekitar 15% anak paling
tidak per- nah merasakan sekali serangan pusing dalam periode
satu tahun. Sebagian besar (hampir 50%) diketahui sebagai
“paroxysmal vertigo” yang disertai dengan gejala-gejala
migren (pucat, mual, fonofobia, dan fotofobia). (Kupiya, 2012)
c. Patofisiologi
Etiologi vertigo adalah abnormalitas dari organ- organ
vestibuler, visual, ataupun sistem propi- oseptif. Labirin (organ
untuk ekuilibrium) terdiri atas 3 kanalis semisirkularis, yang
berhubungan dengan rangsangan akselerasi angular, serta
utrikulus dan sakulus, yang berkaitan dengan rangsangan
gravitasi dan akselerasi vertikal. Rangsangan berjalan melalui
nervus vestibu- laris menuju nukleus vestibularis di batang
otak, lalu menuju fasikulus medialis (bagian kranial muskulus
16
okulomotorius), kemudian meninggalkan traktus
vestibulospinalis (rang- sangan eksitasi terhadap otot-otot
eksten- sor kepala, ekstremitas, dan punggung untuk
mempertahankan posisi tegak tubuh). Selan- jutnya, serebelum
menerima impuls aferen dan berfungsi sebagai pusat untuk
integrasi antara respons okulovestibuler dan postur tubuh.
(Joesoef AA, 2000)
Fungsi vestibuler dinilai dengan mengevaluasi refleks
okulovestibuler dan intensitas nistagmus akibat rangsangan
perputaran tubuh dan rangsangan kalori pada daerah labirin.
Refleks okulovestibuler bertanggung jawab atas fiksa- si mata
terhadap objek diam sewaktu kepala dan badan sedang
bergerak. Nistagmus mer- upakan gerakan bola mata yang
terlihat seba- gai respons terhadap rangsangan labirin, serta
jalur vestibuler retrokoklear, ataupun jalur ves- tibulokoklear
sentral. Vertigo sendiri mungkin merupakan gangguan yang
disebabkan oleh penyakit vestibuler perifer ataupun disfungsi
sentral oleh karenanya secara umum vertigo dibedakan menjadi
vertio perifer dan vertigo sentral. Penggunaan istilah perifer
menunjuk- kan bahwa kelainan atau gangguan ini dapat terjadi
pada end-organ (utrikulus maupun ka- nalis semisirkularis)
maupun saraf perifer. (Joesoef AA, 2000)
Lesi vertigo sentral dapat terjadi pada daerah pons,
medulla, maupun serebelum. Kasus vertigo jenis ini hanya
sekitar 20% - 25% dari seluruh kasus vertigo, tetapi gejala
gangguan keseimbangan (disekulibrium) dapat terjadi pada
50% kasus vertigo. Penyebab vertigo sentral ini pun cukup
bervariasi, di antaranya iskemia atau infark batang otak
(penyebab terbanyak), prosesdemielinisasi (misalnya, pada
sklerosis multipel, demielinisasi pascainfeksi), tumor pada
daerah serebelopontin, neuropati kranial, tumor daerah batang
17
otak, atau sebab- sebab lain. Perbedaan gambaran klinis antara
vertigo sentral dan perifer adalah sebagai berikut: (Kupiya,
2012)
Tabel 1 Perbedaan vertigo vestibuler perifer dan sentral
Vertigo vestibuler perifer Vertigo vestibuler sentral
Kejadian Episodik, onset mendadak Konstan
Arah nistagmus (spinning) Satu arah Bervariasi
Aksis nistagmus Horizontal atau rotatorik Horizontal, vertikal, oblik, atau rotatorik
Tipe nistagmus Fase lambat dan cepat Fase ireguler atau setimbang (equal)
Hilang pendengaran, tinitus Bisa terjadi Tidak ada
Kehilangan kesadaran Tidak ada Dapat terjadi
Gejala neurologis lainnya Tidak ada Sering disertai defisit saraf kranial
serta tanda-tanda serebelar dan
piramidal
18
dalam struktur vestibuler bagian sentral, berlokasi di pre- dan
postsinaps pada sel-sel vestibuler. (Joesoef AA, 2000)
3. Diagnosa kerja
Hipotensi Ortostatik
a. Definisi
Hipotensi ortostatik berdasarkan The Consensus
Committee of the American Autonomic Society and the
American Academy of Neurology merupakan penurunan
tekanan darah sistolik ≥20 mmHg atau penurunan tekanan
darah diastolik ≥10 mmHg dari posisi berbaring ke posisi
duduk atau berdiri. Penurunan harus ada dalam waktu 3
menit setelah perubahan posisi.
b. Etiologi dan Faktor Resiko
Penurunan tekanan darah yang drastis saat
perubahan posisi dapat terjadi oleh banyak penyebab, baik
akut maupun kronis ataupun yang bersifat neurogenik
ataupun non-neurogenik. (artikel). Penyakit diabetes
mellitus dan penggunaan obat yang berkepanjangan
merupakan penyebab yang paling sering ditemukan.
(Sclater, 2004)
a) Akut atau reversibel
1) Dehidrasi dan Hiponatremi
Dehidrasi dapat terjadi dikarenakan proses penuaan yang
menyebabkan penurunan kemampuan homeostatik,
penurunan respon rasa haus terhadap kondisi
hipovolemik, serta penurunan laju filtrasi glumerulus dan
kemampuan fungsi konsentrasi ginjal. (Sclater, 2004)
2) Obat-obatan
Terutama yang mengakibatkan terjadinya deplesi volume
atau vasodilatasi. Populasi usia lanjut merupakan
19
kelompok yang rentan dengan efek hipotensif obat-
obatan akibat penurunan sensitivitas baroreseptor,
berkurangnya aliran darah selebral, renal sodium wasting
dan gangguan mekanisme haus akibat proses penuaan.
Jenis obat-obatan yang menyebabkan hipotensi ortostatik
pada usia lanjut antara lain: (Sclater, 2004)
Diuretika
Penghambat adrenergik alfa misalnya: terazosin
Penghambat saraf adrenergik misalnya: guanetidin
Penghambat ACE
Antidepresan: MAO Inhibitor
Alkohol
Penghambat ganglion misalnya: heksametonium,
mekamilamin
Tranquilizer misalnya: fenotiazin, barbiturate
Vasodilator: prazosin, hidralazin, penghambat
saluran kalsium
Obat hipotensif yang bekerja sentral misalnya:
metildopa, clonidin.
b) Kronik atau irreversibel
1) Gagal jantung
2) Diabetes mellitus
3) Insufisiensi adrenal
4) Parkinson
5) Kegagalan otonom murni
6) Atrofi beberapa sistem
c) Neurogenik
1) Insufisiensi otonom primer: kegagalan otonom murni
dan atrofi beberapa sistem.
20
2) Insufisiensi otonom sekunder: kegagalan otonom
sekunder karena stroke, diabetes melitus, polineuropati
alkohol, parkinson idiopatik, neuropati amiloid dan
anemia pernisiosa.
d) Non-neurogenik
1) Kardiovaskule: infark miokard, stenosis aorta,
perikarditis konstriktif, gagal jantung lanjutan,
hypertrophic obstructive cardiomyopathy (HOCM),
aritmia (takikardi dan bradikardi), varises vena besar.
2) Endokrin dan Ginjal: insufisiensi adrenal, diabetes
insipidus,
hipoaldosteron, kerusakan konsentrat ginjal.
3) Venous pooling: alkohol, pelebaran pembuluh darah
splanknikus
postprandial, lingkungan yang panas, demam, berdiri
lama.
4) Penurunan volume intravaskular: dehidrasi, perdarahan,
luka bakar, nefropati kehilangan garam, insufisiensi
adrenal, diabetes insipidus.3
c. Patofisiologi
Pada perubahan posisi tubuh misalnya dari
berbaring ke berdiri maka tekanan darah bagian atas tubuh
akan menurun karena pengaruh gravitasi. Respon tekanan
darah normal yang terjadi ketika seseorang bergerak dari
berbaring ke posisi berdiri adalah sedikit penurunan
tekanan darah sostolik (<10 mmHg) dan sedikit
peningkatan tekanan darah diastolik (sekitar 2,5 mmHg)
serta stabilisasi ortostatik biasanya dicapai dalam 1 menit
berdiri. (Sclater, 2004)
Ketika seseorang berdiri dari posisi berbaring,
sekitar 500 sampai 700 ml darah terkumpul di ekstrimitas
21
bawah dan di sirkulasi splanknikus serta sirkulasi paru.
Akibatnya pengisian atrium kanan jantung akan berkurang,
dengan sendirinya curah jantung juga berkurang.
Penurunan curah jantung akibat pengumpulan darah pada
anggota tubuh bagian bawah akan cenderung mengurangi
darah ke otak. Pada orang normal, tekanan darah arteri
setinggi kepala adalah 6075 mmHg. Pada saat berdiri,
tekanan arteri kepala akan turun mencapai 2030 mmHg.
Penurunan tekanan ini akan diikuti kenaikan tekanan
parsial CO2 (pCO2) dan penurunan tekanan parsial O2 (pO2)
serta pH jaringan otak. Secara reflektoris, hal ini akan
merangsang baroreseptor yang terdapat di dalam dinding
dan hampir setiap arteri besar di daerah dada dan leher,
namun dalam jumlah banyak didapatkan dalam dinding
arteri karous interna, sedikit di atas bifurcatio carotis,
daerah yang dikenal sebagai sinus karotikus dan dinding
arkus aorta. (Deegan, B.M.T, et al, 2007)
Respon yang ditimbulkan baroreseptor berupa
peningkatan tahanan pembuluh darah perifer, peningkatan
tekanan jaringan pada otot kaki dan abdomen, peningkatan
frekuensi respirasi, kenaikan frekuensi denyut jantung serta
sekresi zat-zat vasoaktif. Sekresi zat vasoaktif berupa
katekolamin, pengaktifan sistem Renin Angiotensin
Aldosteron, pelepasan ADH dan neuro-hipofisis. (Deegan,
B.M.T, et al, 2007)
Perubahan patologis yang terjadi pada usia lanjut
mengakibatkan terjadinya kegagalan fungsi refleks otonom.
Kegagalan fungsi refleks otonom inilah yang menjadi
penyebab timbulnya hipotensi ortostatik, selain oleh faktor
penurunan curah jantung akibat berbagai sebab dan
22
kontraksi volume intravaskular baik yang relatif maupun
absolut. (Deegan, B.M.T, et al, 2007)
Tingginya kasus hipotensi ortostatik pada usia lanjut
berkaitan dengan a) penurunan sensitivitas baroreseptor
yang diakibatkan oleh proses atherosklerosis sekitar sinus
karotikus dan arkus aorta. Hal ini akan menyebabkan tak
berfungsinya refleks vasokonstriksi dan peningkatan
frekuensi denyut jantung sehingga mengakibatkan
kegagalan pemeliharaan tekanan arteri sistemik saat berdiri,
dan b) menurunnya daya elastisitas serta kekuatan otot
ekstremitas inferior. (Deegan, B.M.T, et al, 2007). Secara
ringkas terangkum dalam gambar.
23
Bagan Patofisiologi Hipotensi Ortostatik
Refleks otonom
24
d. Diagnosis
Penilaian awal sebaiknya menyelidiki penyebab
hipotensi ortostatik yang reversibel atau dapat diobati
terutama efek pengobatan, penurunan volume intravaskuler,
dan dehidrasi. (Rose, K.M., et al, 2006)
1. Anamnesis
Gejala klinis yang terjadi cukup bervariasi (Tabel 1).
Pasien mungkin mengeluh kelelahan, pingsan dan
pandangan kabur ketika ada penurunan ringan aliran
darah otak. Sinkop, transient ischemic attacks (TIA),
atau kejang umum mungkin terjadi pada hipoperfusi
otak yang lebih parah. Hipoperfusi otot dapat
menyebabkan sakit leher, nyeri punggung bawah, dan
klaudikasio betis. Hipoperfusi jantung menyebabkan
angina pektoris. (Rose, K.M., et al, 2006)
Pada anamnesis juga harus fokus pada riwayat
penggunaan obat-obatan, alkohol, dan kelainan sistem
otonom, neurologis, kardiovaskuler serta endokrin.
Acapkali keluhan yang disodorkan penderita lebih
merupakan keluhan neuropati autonom. Pada kelainan
otonom, dokter harus mencari adanya gejala penurunan
keringat, gejala yang berkaitan dengan gastroparesis,
inkontinensia, dan impotensi. (Rose, K.M., et al, 2006)
Pada pasien yang lebih tua dengan kegagalan otonom,
gejala hipertensi ortostatik sering timbul setelah
nokturia berlebihan atau setelah makan, dan dapat
memperburuk selama latihan. Keluhan yang muncul
kadang tidak berhubungan erat dengan kualitas
penyakit. Ada kecenderungan peningkatan kualitas
gejala saat pagi hari ketika bangun tidur, makin reda
bila hari telah siang atau penderita kembali berbaring.
25
Namun, kebanyakan pasien tidak menunjukkan gejala.
(Rose, K.M., et al, 2006)
Pada orang lanjut usia dengan riwayat hipertensi dan
tekanan darah sistolik sebelumnya 160 mmHg, keluhan
hipotensi ortostatik akan muncul meski penurunan
tekanan darah sistolik masih dalam batas yang normal.
(Rose, K.M., et al, 2006)
Tabel. Gejala klinis hipotensi ortostatik
a) Pemeriksaan Fisik
Teknik standar untuk mengukur tekanan darah ortostatik
dan denyut nadi adalah sebagai berikut:
1) Mengukur tekanan darah dan denyut nadi setelah 5
menit berbaring.
26
2) Pasien berdiri selama 3 menit.
3) Mengukur kembali tekanan darah dan denyut nadi.
4) Bandingkan hasil pemeriksaan saat berbaring dan
berdiri.
Penurunan tekanan darah sistolik ≥20 mmHg atau
penurunan tekanan darah diastolik ≥10 mmHg dengan
atau tanpa peningkatan denyut nadi dianggap sebagai
respon abnormal. Respon denyut jantung terhadap
perubahan postural dapat memberikan informasi penting
tentang penyebab hipotensi ortostatik. Adanya perubahan
minimal pada denyut jantung (<10x/menit) dari posisi
berbaring ke posisi berdiri pada hipotensi ortostatik,
menunjukan penurunan refleks baroreseptor, sedangkan
takikardia (peningkatan denyut jantung >20x/menit)
mengindikasikan deplesi/penurunan volume intravaskular.
Adanya kecurigaan gangguan fungsi autonom
memerlukan pemeriksaan neurologis (Tabel 3). (Rose,
K.M., et al, 2006)
Tabel 3. Tes Fungsi Autonom
Prosedur Respon Normal
Manuver Valsalva Peningkatan tekanan darah
Perubahan posisi Takhikardia
(berbaring ke tegak)
Inhalasi Amyl Nitrit Takhikardia
Hiperventilasi
Hipotensi Kenaikan tekanan darah sistolik
Tes pacu dingin Keringat merata
Tes keringat Normal saat istirahat, meningkat
Noradrenalin plasma saat posisi tubuh berdiri
Peningkatan frekuensi denyut
Tes Atropin Sulfat jantung
27
b) Pemeriksaan Laboratorium
1) Pemeriksaan darah lengkap : tanda-tanda perdarahan,
anemia atau infeksi.
2) Pemeriksaan kimia darah : kelainan metabolik,
dislipidemia, fungsi hati dan fungsi ginjal.
3) Pemeriksaan elektrolit dilakukan jika ada riwayat
kehilangan cairan melalui muntah atau diare dan dari
pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda dehidrasi.
c) Electrocardiografi (EKG)
d) Echocardiografi atau ultrasound dari jantung -
mengevaluasi katup-katup jantung dan menilai fungsi dari
otot jantung. Stress test dapat dilakukan jika ada penyakit
arteri koroner.
e) Heads-up tilt table test dapat dilakukan jika gejala-gejala
hipotensi ortostatik terus menerus berulang namun sulit
untuk mendokumentasikan kelainan-kelainan dalam
pembacaan tekanan darah. Sewaktu tes, pasien diikat diatas
meja yang rata, kemudian meja secara berangsur-angsur
dimiringkan ke sudut 70 atau 80 derajat, pembacaan
tekanan darah dan denyut jantung terus menerus diambil.
Pasien dibiarkan diatas meja selama lebih dari 10 menit
untuk mencari perubahan-perubahan tertunda yang terlihat
pada postural orthostatic tachycardia syndrome. (Rose,
K.M., et al, 2006)
28
a. Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan hipotensi ortostatik dapat dibagi
menjadi dua yaitu; manajemen nonfarmakologi dan manajemen
farmakologi. Pendekatan dalam penatalaksanaan dapat dilihat
pada gambar.
Gambar
3. Pendekatan
29
memperbaiki hipotensi ortostatik melalui mekanisme
berkurangnya tekanan arteri ginjal yang selanjutnya akan
merangsang pelepasan renin dan meningkatkan volume
darah. Saat bangun dari tempat tidur jangan mendadak tapi
lakukan secara perlahan-lahan. (Sclater, 2004)
Pada penderita yang tidak memiliki penyakit jantung,
penambahan garam dalam menu sangat berguna, jumlah
yang diberikan terbatas 200 mmol perhari. Pada penderita
hipotensi ortostatik setelah makan. dianjurkan
mempersering frekuensi makan makanan ringan, selain itu
perlu pula pembatasan aktivitas fisik segera setelah makan.
Aktivitias lebih baik dilakukan sebelum makan dari pada
setelah makan dan lebih baik sore hari lebih baik dari pada
pagi hari. (Sclater, 2004)
Adanya pengumpulan volume darah secara berlebihan
pada ekstremitas inferior dapat dikurangi dengan pemakaian
stocking elastis, yang digunakan dari metatarsal hingga lipat
paha untuk meningkatkan venous return, hanya saja amat
merepotkan, apalagi di daerah tropis. Pada keadaan berat,
pakaian antigravitasi dapat digunakan. (Sclater, 2004)
b) Farmakologis
Obat turut memegang peranan cukup penting untuk
mengatasi hipotensi ortostatik dan hendaknya diberikan
setelah pengelolaan umum tidak membuahkan hasil. Pada
kasus-kasus neurologis, pemberian obat hanya bersifat
simptomatis. Jenis obat yang diberikan adalah: (Rose, K.M.,
et al, 2006)
1) Fludrokortison
Merupakan preparat pilihan dalam penanganan
hipotensi ortostatik. Efek yang ditimbulkan berupa
peningkatan sensitivitas vaskular terhadap noradrenalin
30
endogen, pertambahan volume cairan ekstraselular
akibat retensi garam, peningkatan osmolaritas dan
tahanan vaskular akibat perubahan konsentrasi
elektrolit pada dinding pembuluh darah.
Dosis yang umum diberikan adalah 0,1 mg per
oral, dosis maksimal tidak lebih dari 0,4 mg per hari.9
Efek samping yang dapat terjadi adalah
hipokalemia (50% dalam 2 minggu), hipomagnesemia,
gagal jantung kongestif, oedem perifer.9
2) Midodrine
Mekanisme kerja obat ini yatiu alpha-1-
adrenoreceptor agonist. Efek yang ditimbulkan berupa
resistensi vaskular perifer.
Dosis yang umum diberikan adalaj 2,5 mg saat
makan pagi dan siang, kemudian ditingkatkan 2,5 mg
perhari jika terdapat respon terapi yang bagus. Dosis
maksimal adalah 30 mg per hari.
Efek samping yang dapat terjadi adalah
hipertensi, piloereksi, paresthesia pada kulit kepala, dan
pruritus.
3) Eritropoietin
Meningkatkan volume sel darah merah dan
hemoglobin serta tekanan darah 10 mmHg. Hindari
penggunaan yang sering. (Rose, K.M., et al, 2006)
4) Preparat Vasokonstriktor
Preparat simpatomimetik seperti efedrin,
amfetamin, hidroksiamfetamin, fenilefrin, tiramin,
etilefin dan inetilphenidate dilaporkan cukup memadai
untuk mengatasi hipotensi ortostatik yang diakibatkan
gangguan fungsi otonom. Kombinasi dengan preparat
Monoamine Oksidase Inhibitor seperti tranul sipromin
31
atau phenelzine sangat berhasil pada beberapa kasus,
tetapi disertai risiko terjadinya hipertensi. (Rose, K.M.,
et al, 2006)
5) Preparat lain
Preparat inhibitor sintesis prostaglandin seperti
indomethasin dan flurbiprofen memberikan hasil
memadai. Dilaporkan indomethasin meningkatkan
tahanan pembuluh darah perifer pada penderita
neuropati autonom, diduga akibat peningkatan
sensitivitas reseptor pembuluh darah terhadap
noradrenalin. Kedua preparat tersebut juga
meningkatkan tonus otot halus pada kasus neuropati
autonom dengan menghambat sintesis prostaglandin
lokal. (Rose, K.M., et al, 2006)
Dihidroergotamin yang merupakan turunan ergot
dilaporkan cukup memadai untuk kasus yang
disebabkan oleh kegagalan fungsi autonom. Efek
pemberian preparat ini adalah konstriksi selektif
dinding vena. Efektivitasnya rendah bila diberikan per
oral sehingga penggunaannya terbatas.
Preparat beta blocker seperti pindolol dilaporkan
memberikan efek positif pula dalam penanganan
penderita neuropati autonom kronis yang disertai
hipotensi ortostatik.
b. Prognosis
Penderita diabetes dengan tekanan darah tinggi serta
mengalami hipotensi ortostatik, memiliki prognosis yang
buruk. Jika penyebabnya adalah volume darah yang rendah
atau obat tertentu, keadaan ini bisa diatasi dengan segera.
(Rose, K.M., et al, 2006)
32
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Jadi, berdasarkan diskusi kelompok kami menyimpulkan
berdasarkan keluhan pasien yaitu pusing berputar yang di rasakan terutama
setelah bangun dari posisi berbaring atau duduk. Kemudian Pada
pemeriksaan fisik ditemukan TD; 100/50 mmHg pada saat berbaring dan
80/50 mmHg setelah 3 menit berdiri. bahwa kemungkinan pasien di
skenario mengalami hipotensi ortostatik sesuai dengan definisi hipotensi
ortostatik yaitu merupakan penurunan tekanan darah sistolik ≥20 mmHg
atau penurunantekanan darah diastolik ≥10 mmHg dari posisi berbaring ke
posisi duduk atau berdiri. Penurunan harus ada dalam waktu 3 menit
setelah perubahan posisi.
Untuk memastikan diagnosa tersebut, mungkin diperlukan
beberapa pemeriksaan penunjang. Tatalaksana yang tepat baik
nonfarmakologi dan farmakologi sangat diperlukan untuk mencegah
gejala-gejala yang menganggu timbul kembali serta menghindari
komplikasi yang dapat dtimbulkan.
33
DAFTAR PUSTAKA
Kupiya Timbul Wahyudi. 2012. Vertigo. CDK-198/ vol. 39 no. 10. Medical
Department, PT. Kalbe Farma Tbk., Jakarta, Indonesia
Setiati, S, et al. 2006. Proses Menua dan Implikasi Klinisnya. Dalam : Buku
Ajar Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi 4. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
www.science.uwc.ac.za./physiology/temperature/temperature.html.Journal of
Endocrinology. (2005). Hypothalamic hormone a.k.a.hypothalamic
releasing factors. Diambil pada 14 Februari 2006 dari
http://joe.endocrinologyjournals.
34
Committee of the American Autonomic Society and the American
Academy of Neurology. Neurology 1996; 46(5):1470.
35