Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN

KDM ELIMINASI URINE


Dosen Pembimbing : Ns. Rita Marginingsih ., S.kep

Disusun Oleh :

MARIA NOVAYANA
P2002032

INSTITUT TEKNOLOGI KESEHATAN DAN SAINS


WIYATA HUSADA SAMARINDA
PROGRAM STUDI NERS
2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Sistem perkemihan atau sistem urinaria, adalah suatu sistem dimana terjadinya proses
penyaringan darah sehingga darah bebas dari zat-zat yang tidak dipergunakan oleh tubuh
dan menyerap zat-zat yang masih di pergunakan oleh tubuh. Zat-zat yang
tidak dipergunakan oleh tubuh larut dalam air dan dikeluarkan berupa urin (air kemih).
Eliminasi urin merupakan salah dari proses metabolik tubuh. Zat yang tidak dibutuhkan,
dikeluarkan melalui paru-paru, kulit, ginjal dan pencernaan. Paru-paru secara primer
mengeluarkan karbondioksida, sebuah bentuk gas yang dibentuk selama metabolisme
pada jaringan. Hampir semua karbondioksida dibawa keparu-paru oleh sistem vena dan
diekskresikan melalui pernapasan. Kulit mengeluarkan air dan natrium / keringat. Ginjal
merupakan bagian tubuh primer yang utama untuk mengekskresikan kelebihan cairan
tubuh, elektrolit, ion-ion hidrogen, dan asam. Proses ini terjadi dari dua langkah utama
yaitu: kandung kemih secara progresif terisi sampai tegangan di dindingnya meningkat
diatas nilai ambang, yang kemudian mencetuskan langkah kedua yaitu timbul refleks
saraf yang disebut refleks miksi (refleks berkemih) yang berusaha mengosongkan
kandung kemih atau jika ini gagal, setidak-tidaknya menimbulkan kesadaran akan
keinginan untuk berkemih. Meskipun refleks miksi adalah refleks autonomik medula
spinalis, refleks ini bisa juga dihambat atau ditimbulkan oleh pusat korteks serebri atau
batang otak. Eliminasi urin secara normal bergantung pada satu pemasukan cairan dan
sirkulasi volume darah, jika salah satunya menurun, pengeluaran urin akan menurun.
Pengeluaran urin juga berubah pada seseorang dengan penyakit ginjal, yang
mempengaruhi kuantitas, urin dan kandungan produk sampah didalam urin.
B. Tujuan Umum
Tujuan umum adalah untuk mempelajari gangguan antara perubahan eliminasi urine dan
bertujuan untuk memberikan asuhan keperawatan.

C. Tujuan Khusus
1. Mampu melakukan pengkajian keperawatan pada.
2. Perawat mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada.
3. Perawat mampu melakukan perencanaan tindakan keperawatan pada.
4. Perawat mampu melakukan intervensi keperawatan pada.
5. Perawat mampu melakukan evaluasi tindakan keperawatan pada.
BAB II

TINJUAN TEORI

A. Definisi Gangguan Eliminasi Urine

Eliminasi merupakan proses pembuangan sisa-sisa metabolisme tubuh. Pembuangan


dapat melalui urine ataupun bawel. Eliminasi urine normalnya adalah pengeluaran cairan.
Proses pengeluaran ini sangat bergantung pada fungsi-fungsi organ eliminasi urine seperti
ginjal, ureter, bladder, dan uretra. Ginjal memindahkan air-air dari darah dalam bentuk
urine. Ureter mengalirkan urine ke bladder. Bladder urine ditampung sampai mencapai
batas tertentu yang kemudian dikeluarkan melalui uretra (Tarwoto dan Hartonah, 2006).
Eliminasi urine tergantung kepada fungsi ginjal, ureter, kandung kemih, dan uretra.
Ginjal menyaring produk limbah dari darah untuk membentuk urine. Ureter mentranspor
urine dari ginjal ke kandung kemih. Kandung kemih menyimpan urine sampai timbul
keinginan untuk berkemih. Urine keluar dari tubuh melalui uretra. Semua organ sistem
perkemihan harus utuh dan berfungsi supaya urin berhasil dikeluarkan dengan baik
(Potterr & Perry, 2005). Eliminasi merupakan salah satu kebutuhan dasar yang harus di
penuhi oleh setiap manusia. Berdasarkan teori Henderson (1966) yang berfokus pada
kebutuhan dasar manusia dan membagi menjadi 14 kebutuhan dasar, menyatakan bahwa
kebutuhan eliminasi terdapat pada urutan yang ketiga. Hidayat (2006) menyatakan bahwa
apabila sistem perkemihan tidak dapat berfungsi dengan baik, sebenarnya semua organ
pada akhirnya akan terpengaruh. Secara umum gangguan pada ginjal mempengruhi pola
eliminasi. Sehingga mengakibatkan masalah kebutuhan eliminasi uruin, antara lain:
retensi urin, inkontinensia urine, enuresis, dan ureterotomi. Faktor-faktor yang
mempengaruhi eliminasi urine adalah diet dan asupan, respon keinginan awal untuk
berkemih, gaya hidup, stres psikologis, tingkat aktivitas, tingkat perkembangan, kondisi
penyakit, sosiokultural, kebiasaan seseorang, tonus otot pembedahan, pengobatan dan
pemeriksaan diagnostik (Hidayat, 2006).

B. Klafisikasi Elimnasi Urine


1. Retensi urine
Retensi urine adalah akumulasi urine yang nyata didalam kandung kemih akibat
ketidakmampuan mengosongkan kandung kemih distensi dari vesika urinaria.
2. Dysuria
Adanya rasa sakit atau kesulitan dalam berkemih.
3. Polyuria
Produksi urine abnormal dalam jumlah besar oleh ginjal , seperti 2500 ml/hari , tanpa
adanya intake cairan.
4. Inkontinensi urine
Ketidak sanggupan sementara atau permanen otot spingter eksternal untuk
mengontrol keluarnya urine dari kantong kemih keadaan dimana seseorang
mengalami pengeluaran urine tanpa sadar, terjadi segera setelah merasa dorongan
yang kuat untuk berkemih.
5. Urinari suppresi
Adalah berhenti mendadak produksi urine.
6. Inkontinensia Total
Inkontinensia total merupakan keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran
urine yang terus menerus dan tidak dapat diperkirakan
7. Inkontinensia Stress
Inkontinensia stress merupakan keadaan seseorang yang mengalami kehilangan
urine kurang dari 50 ml, terjadi dengan peningkatan tekanan abdomen.
8. Inkontinensia Refleks
Inkontinensia refleks merupakan keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran
urine yang tidak dirasakan, terjadi pada interval yang dapat diperkirakan bila volume
kandung kemih mencapai jumlah tertentu.
9. Enuresis
Enuresis merupakan ketidaksanggupan menahan kemih (mengompol) yang
diakibatkan tidak mampu mengontrol sfingter eksterna. Ini banyak terjadi pada anak
atau orang jompo, umumnya pada malam hari.

C. Etiologi
1. Intake cairan
Jumlah dan type makanan merupakan faktor utama yang mempengaruhi output urine
atau defekasi. Seperti protein dan sodium mempengaruhi jumlah urine yang keluar,
kopi meningkatkan pembentukan urine intake cairan dari kebutuhan, akibatnya
outputurine lebih banyak.
2. Aktivitas
Aktifitas sangat dibutuhkan untuk mempertahankan tonus otot, eliminasi urine
membutuhkan tonus otot kandung kemih yang baik untuk tonus sfinkter internal dan
eksternal. Hilangnya tonus otot kandung kemih terjadi pada masyarakat yang
menggunakan kateter untuk periode waktu yang lama. Karena urine secara terus
menerus dialirkan keluar kandung kemih, otot-otot itu tidak pernah merenggang dan
dapat menjadi tidak berfungsi. Aktifitas yang lebih berat akan mempengaruhi jumlah
urine yang diproduksi, hal ini disebabkan karena lebih besar peningkatan
metabolisme tubuh.
3. Obstruksi batu ginjal, pertumbuhan jaringan abnormal, striktur urethra.
4. Trauma sumsum tulang belakang
5. Tekanan uretra yang tinggi disebabkan oleh otot detrusor yang lemah
6. Penyakit pembesaran kelenjar ptostat
7. Sfingter yang kuat
8. Operasi pada daerah abdomen bawah, pelviks, kandung kemih, urethra
9. Penggunaan obat-obatan
10. Sumbatan (striktur uretra dan pembesaran kelenjar prostat)
D. Patofisiologi
Gangguan pada eliminasi sangat beragam seperti yang telah dijelaskan diatas.
Masing -masing gangguan tersebut disebabkan oleh etiologi yang berbeda. Pada pasien
dengan usia tua, trauma yang menyebabkan cedera medulla spinal, akan menyebabkan
gangguan dalam mengkontrol urin/inkontinensia urin. Gangguan traumatik pada tulang
belakang bisa mengakibatkan kerusakan pada medulla spinalis. Lesi traumatik pada
medulla spinalis tidak selalu terjadi bersama-sama dengan adanya fraktur atau
dislokasi. Tanpa kerusakan yang nyata pada tulang belakang, efek traumatiknya bisa
mengakibatkan efek yang nyata di medulla spinallis Cedera medulla spinalis (CMS)
merupakan salah satu penyebab gangguan fungsi saraf termasuk pada persyarafan
berkemih dan defekasi.
Komplikasi cedera spinal dapat menyebabkan syok neurogenik dikaitkan dengan
cedera medulla spinalis yang umumnya dikaitkan sebagai syok spinal. Syok spinal
merupakan depresi tiba-tiba aktivitas reflex pada medulla spinalis (areflexia) di bawah
tingkat cedera. Dalam kondisi ini, otot-otot yang dipersyarafi oleh bagian segmen
medulla yang ada di bawah tingkat lesi menjadi paralisis komplet dan fleksid, dan
refleks-refleksnya tidak ada. Hal ini mempengaruhi reflex yang merangsang fungsi
berkemih dan defekasi. Distensi usus dan ileus paralitik disebabkan oleh depresi
refleks yang dapat diatasi dengan dekompresi usus (Brunner& Suddarth, 2002).
Hal senada disampaikan Sjamsuhidajat (2004), pada komplikasi syok spinal
terdapat tanda gangguan fungsi autonom berupa kulit kering karena tidak berkeringat dan
hipotensi ortostatik serta gangguan fungsi kandung kemih dan gangguan defekasi.
Proses berkemih melibatkan 2 proses yang berbeda yaitu pengisian dan penyimpanan
urine dan pengosongan kandung kemih. Hal ini saling berlawanan dan bergantian secara
normal. Aktivitas otot-otot kandung kemih dalam hal penyimpanan dan pengeluaran urin
dikontrol oleh sistem saraf otonom dan somatik. Selama fase pengisian, pengaruh sistem
saraf simpatis terhadap kandung kemih menjadi bertekanan rendah dengan
meningkatkan resistensi saluran kemih. Penyimpanan urin dikoordinasikan oleh
hambatan sistem simpatis dari aktivitas kontraktil otot detrusor yang dikaitkan dengan
peningkatan tekanan otot dari leher kandung kemih dan proksimal uretra. Pengeluaran
urine secara normal timbul akibat dari kontraksi yang simultan otot detrusor dan relaksasi
saluran kemih. Hal ini dipengaruhi oleh sistem saraf parasimpatis yang mempunyai
neurotransmiter utama yaitu asetilkholin, suatu agen kolinergik.
Selama fase pengisian, impuls afferen ditransmisikan ke saraf sensoris pada ujung
ganglion dorsal spinal sakral segmen 2-4 dan informasikan ke batang otak. Impuls saraf
dari batang otak menghambat aliran parasimpatis dari pusat kemih sakral spinal.
Selama fase pengosongan kandung kemih, hambatan pada aliran parasimpatis
sakral dihentikan dan timbul kontraksi otot detrusor. Hambatan aliran simpatis pada
kandung kemih menimbulkan relaksasi pada otot uretra trigonal dan proksimal. Impuls
berjalan sepanjang nervus pudendus untuk merelaksasikan otot halus dan skelet dari
sphincter eksterna. Hasilnya keluarnya urine dengan resistensi saluran yang minimal.
Pasien post operasi dan post partum merupakan bagian yang terbanyak menyebabkan
retensi urine akut. Fenomena ini terjadi akibat dari trauma kandung kemih dan edema
sekunder akibat tindakan pembedahan atau obstetri, epidural anestesi, obat-obat narkotik,
peregangan atau trauma saraf pelvik, hematoma pelvik, nyeri insisi episiotomi
atau abdominal, khususnya pada pasien yang mengosongkan kandung kemihnya dengan
maneuver Valsalva. Retensi urine pos operasi biasanya membaik sejalan dengan waktu
dan drainase kandung kemih yang adekuat.

E. Manifestasi Klinis
1. Ketidaknyamaan daerah pubis.
2. Distensi vesika urinaria.
3. Ketidaksanggupan untuk berkemih.
4. Sering berkemih saat veriska urinaria berisi sedikit urine (25-50 ml).
5. Meningkatnya keresahan dan keinginan untuk berkemih.
6. Ketidakseimbangan jumlah urine yang dikeluarkan dengan asupannya.
F. WOC
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan USG
2. Pemeriksaan foto rontgen
3. Pemeriksaan laboratorium urin dan feses

H. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Fokus Pengkajian
a. Identitas klien
Pada klien penderita Infeksi saluran kemih dapat terjadi baik di pria maupun
wanita dari semua umur, dan dari kedua jenis kelamin ternyata wanita lebih sering
menderita dari pada pria (Sudoyo Aru,dkk,2009).
b. Keluhan utama penyakit infeksi saluran kemih
Keluhan utama yang sering terjadi pada pasien infeksi saluran kemih,nyeri saat
berkemih, sering bolak balik kamar mandi tetapi kemih yang di keluarkan hanya
sedikit.
c. Riwayat penyakit sekarang
Riwayat kesehatan saat ini berupa uraian mengenai penyakit yang di derita oleh
klien dan mulai timbulnya keluhan yang di rasakan sampai klien di bawa ke
Rumah Sakit, dan apakah pernah memeriksakan diri ke tempat lain sekalin Rumah
Sakit umum serta pengobatan apa yang pernah di berikan dan bagaimana
perubahan data yang didapatkan saat periksa.
2. Riwayat penyakit dahulu
Adanya penyakit infeksi saluran kemih
3. Riwayat penyakit keluarga
Perlu ditanyakan pada keluarga apakah salah satu anggota keluraga ada yang pernah
mengalami sakit yang sama dengan pasien atau penyakit yang lain yang ada di dalam
keluarga.
4. Riwayat psikososial
Meliputi informasi mengenai perilku, perassan dan emosi yang dialami penderita
sehubungan dengan penyakitnya serta tanggapan keluarga terhadap penyakit penderita.
5. Pola fungsi kesehatan
a. Pola persepsi
Pola persepsi menggambarkan persepsi klien terhadap penyakitnya tentang
pengetahuan dan penatalaksanaan infeksi saluran kemih dengan gangguan eliminasi
urine
b. Pola nutrisi
Kemampuan pasien dalam mengkonsumsi makanan mengalami penurunan akibat
nafsu makan yang kurang karena mual, muntah saat makan hanya sedikit bahkan
tidak makan sama sekali
c. Pola eliminasi
Eliminasi alvi klien tidak dapat mengalami konstipasi oleh karena tirah baring lama.
Sedangkan eliminasi urine mengalami gangguan karena ada organisme yang masuk
sehingga urine tidak lancar
d. Pola aktivitas/istirahat
Penderita sering mengalami susah tidur, letih, lemah, karena nyeri yang di alami
e. Nilai dan keyakinan
Gambaran tentang penyakit infeksi saluran kemih dengan penyakit yang di
deritanya menurut agama dan kepercayaan, kecemasan akan kesembuhan, tujuan
dan harapan akan sakitnya.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan Eliminasi Urin b/d infeksi ginjal dan saluran kemih.
Definisi disfungsi eliminasi urin
Penyebab :
1) Penurunan kapasitas kadung kemih
2) Iritasi kadung kemih
3) Penurunan kemampuan menyadari tanda-tanda gangguan kadung kemih

b. Inkontinensia Urin Refleks b/d cedera/tumor/infeksi medulla spinalis


Definisi pengeluaran urin yang tidak terkendali pada saat volume kandung kemih
tertentu tercapai
Penyebab :
1) Kerusakan konduksi impuls diatas arkus reflex
2) Kerusakan jaringan (mis. Terapi radiasi)
c. Inkontinensia Urin Urgensi b/d infeksi kadung kemih dan/atau uretra
Definisi keluarnya urin tidak terkendali sesaat setelah keinginan yang kuat untuk
berkemih (kebelet)
Penyebab :
1) Iritasi reseptor kontrakasi kandung kemih
2) Penurunan kapasitas kandung kemih

I. Intervensi
N SDKI SLKI SIKI
O
1. Gangguan Eliminasi Urine Eliminasi Urine Manajemen Eliminasi
Definisi : Definisi : Urine (I.04152)
Disfungsi eliminasi urin Pengosongan kandung tindakan
kemih yang lengkap observasi :
Penyebab 1. identifikasi tanda
1. Penurunan kapasitas Setelah dilakukan dan gejala
kandung kemih tindakan keperawatan retensi atau
2. Iritasi kadung kemih diharapkan eliminasi inkontiensia
3. Efek tindakan medis dan urine dengan skala urine.
diagnostik (mis. Operasi 2. Identifikasi
1. sensasi berkemih
ginjal, operasi saluran faktor yang
dengan skala 4
kemih, anestesi, dan obat- 2. desakan berkemih menyebabkan
obatan) (urgensi) dengan retensi atau
4. Ketidakmampuan skala 4 inkontiensia
mengkomunikasi kebutuhan 3. berkemih tidak urine
elimanasi tuntas dengan 3. Monitor
skala 4 eliminasi urine
4. volume residu
Gejala dan Tanda Mayor (mis. Frekuensi,
urine dengan skala
1. Desakan berkemih (urgensi) 4 konsitensi,
2. Urin menetes (dribbling) 5. urine menetes aroma, volume,
3. Sering buang air kecil (dribbling) dengan dan warna)
4. Distensi kandung kemih skala 4
5. Berkemih tidak tuntas Terapeutik
(hesticany)
1. Catat waktu-
waktu haluan
berkemih
2. Batasi asupan
cairan jika perlu

Edukasi
1. Ajarkan tanda-
tanda infeksi
saluran kemih
2. ajarkan
mengukur
asupan cairan
dan haluaran
kemih
3. kaloborasi
pemberian obat
supositoria uretra
jika perlu
2. Inkontinensia Urin Refleks Kontinensia Urine Perawatan
Definisi : Definisi : inkontinensia urine (I.
Pengeluaran urin yang tidak Pola kebiasaan buang air 04163)
terkendali pada saat volume kecil Tindakan
kandung kemih tertentu tercapai. Observasi
Setelah dilakukan 1. Identifikasi
Penyebab tindakan keperawatan penyebab
1. Kerusakan konduksi impuls diharapkan kontinensia inkontensia urine
urine dengan skala
di atas arkus reflex 2. Monitor keefifan
2. Kerusakan jaringan (mis. 1. Kemampuan obat,
Terapi radiasi) berkemih dengan pembedahan dan
skala 4 terapi modalitas
Gejala dan Tanda Mayor 2. Residu volume berkemih
1. Tidak mengalami sensasi urine setelah 3. Monitor
berkemih berkemih dengan kebiasaan BAK
skala 4
2. Dribbling
3. Dribbling dengan
3. Hesitancy skala 4 Terapeutik
4. Volume residu urin 4. Hesitancy dengan 1. Bersihkan
meningkat skala 4 genetalia dan
5. Verbilasi kulit secara rutin
pengeluaran urine 2. Ambil sampel
tidak tuntas urine utnuk
dengan skala 4
pemeriksaan
urine lengkap
atau kultur

Edukasi
1. Jelaskan definisi
jenis
inkontinensia
penyebab
inkontinensia
urine
2. Jelaskan
program
penangan
inkontinensia
urine
3. Rujuk ke ahli
inkontensia jika
perlu
3. Inkontenensia Urin Urgensi Kontrol gejala Latihan berkemih (I.
Definisi : Definisi : 04149)
keluarnya urin tidak terkendali Kemampuan untuk Tindakan
sesaat setelah keinginan yang kuat mengendalikan atau Observasi
untuk berkemih (kebelet) mengurangi perubahan 1. Periksa kembali
fungsi fisik dan emosi penyebab
Penyebab yang dirasakan akibat gangguan
1. Iritasi reseptor kontraksi munculnya masalah berkemih
kandung kemih kesehatan 2. Monitor pola dan
2. Penurunan kapasitas kemampuan
kadung kemih Setelah dilakukan berkemih
tindakan keperawatan
Gejala dan Tanda Mayor diharapkan kontrol gejala Terapeutik
dengan skala
1. Keinginan berkemih yang 1. Hindari
1. Kemampuan
kuat disertai dengan penggunaan
memonitor
inkontinensia kateter
keparahan gejala
indwelling
dengan skala 4
2. Siapkan area
2. Kemampuan
toilet yang aman
memonitor variasi
3. Sediakan
gejala dengan
peralatan yang
skala 4
dibutuhkan dekat
3. Kemampuan
dan mudah di
memonitor
jangkau (mis.
tindakan untuk
Pispot, urinarial)
mengurangi gejala
dengan skala 4
Edukasi
4. Mendapatkan
1. Ajurkan
perawatan
intake cairan
kesehatan saat
adekuat
gejala bahaya
untuk
muncul dengan
mendukung
skala 4
autput urine
2. Ajurkan
eliminasi
normal
dengan
beraktivitas
dan olah raga
sesuai
kemampuan

BAB III
ANALISA KETERAMPILAN

A. Pengertian Pemasangan kateter

Pemasangan kateter atau kateter urine adalah suatu tindakan keperawatan memasukan kateter
kedalam kandung kemih melalui uretra Pemasangan kateter ini seringkali digunakan pada
pasien-pasien yang tidak mampu untuk membuang air kecil sendiri dengan normal – semisal
pada pasien-pasien dengan pembesaran prostat-, sehingga memerlukan alat bantuan kateter.

Selain itu, kateter juga sering digunakan dalam berbagai prosedur medis, seperti:

1. Proses persalinan dan operasi caesar.

2. Perawatan intensif yang membutuhkan pemantauan keseimbangan cairan tubuh.

3. Proses pengosongan kandung kemih sebelum, saat, atau sesudah operasi.

4. Saat pemberian obat langsung ke dalam kandung kemih, misalnya karena adanya kanker
kandung kemih.

B. Tujuan pemasangan Kateter

Pemasangan kateter urine mempunyai berbagai tujuan, diantaranya ;

1. Menghilangkan distensi pada kandung kemih

2. Mengosongkan kandung kemih secara lengkap

3. Eksplorasi uretra apakah terdapat seanosis atau lesi

4. Mengetahui residual urine setelah miksi

5. Memasukan kontras kedalam buli – buli

6. Mendapatkan specimen urine steril

7. Therapeutic : memenuhi kebutuhan eliminasi urine


8. Kateterisasi menetap ( indwelling catherezation )

9. Kateterisasi sementara ( intermitter catherization )

C. Indikasi Pemasangan Kateter

Indikasi pemasangan kateter terbagi menjadi dua, yang pertama indikasi diagnostik untuk
keperluan penegakan diagnosa, dan indikasi terpi atau untuk pengobatan.

D. Indikasi Diagnostik Pemasangan Kateter :

1. Mengambil spesimen urin tanpa terkontaminasi

2. Monitoring dari produksi urin (urine output), sebagai indikator status cairan dan menilai
perfusi renal (terutama pada pasien kritis)

3. Pemeriksaan radiologi pada saluran kemih

4. Diagnosis dari perdarahan saluran kemih, atau obstruksi saluran kemih (misalnya striktur
atau hipertropi prostat) yang ditandai dengan kesulitan memasukkan kateter

E. Kontraindikasi Pemasangan Kateter

Kateterisasi uretra dikontraindikasikan pada pasien dengan gejala trauma pada traktus
urinarius bagian bawah, misalnya terjadi robekan pada uretra. Kondisi ini dapat ditemukan
pada pasien laki-laki yang mengalami trauma pelvis atau straddle-type injury. Gejala yang
dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik adalah ditemukannya prostat yang meninggi (high-
riding) atau edema, hematom di perineum, atau keluarnya darah dari lubang uretra. Apabila
kondisi ini ditemukan maka harus dilakukan pemeriksaan uretrogram untuk menghindari
terjadinya robekan pada uretra sebelum dilakukan pemasangan kateter.

Alat dan Bahan Pemasangan kateter


1. Handshoen steril
2. Handschoen on steril
3. Kateter steril sesuai ukuran dan jenis
4. Urobag
5. Doek lubang steril
6. Jelly
7. Lidokain 1% dicampur jelly ( perbandingan 1 :1 ) masukkan dalam spuit ( tanpa jarum )
8. Larutan antiseptic + kassa steril
9. Perlak dan pengalas
10. Pinset anatomis
11. Bengkok
12. Spuit10 cc berisi aquades
13. Urinal bag
14. Plester / hypavik
15. Gunting
16. Sampiran

SOP Pemasangan Kateter Urine secara Umum


1. Tahap Pra Interaksi

1. Melakukan pengecekan program terapi


2. Mencuci tangan
3. Menyiapkan alat

2. Tahap Orientasi

1. Memberikan salam dan menyapa nama pasien


2. Menjelaskan tujuan dan prosedur pelaksanaan
3. Menanyakan persetujuan dan kesiapan pasien

3. Tahap Kerja

1. Menjaga privacy Pasien dengan memasang sampiran dan selimut extra


2. Mengatur posisi pasien dalam posisi terlentang dan melepaskan pakaian bawah
3. Memasang perlak dan pengalas
4. Memasang pispot di bawah bokong pasien
5. Menyiapkan plester fiksasi kateter dan label waktu pemasangan kateter, membuka
kemasan luar kateter dengan tetap mempertahankan kesterilannya, menyiapkan pelumas
pada kasa steril dan dijaga kesterilannya.
6. Memakai sarung tangan
7. Tangan tidak dominan pegang penis pakai kasa steril, desinfeksi dengan tangan dominan
dengan menggunakan kapas sublimat/betadin sol pada metaus uretra.
8. Mengganti sarung tangan steril, memasang duk steril
9. Masukkan jelly anestesi atau pelumas pada uretra kira-kira 10 cc, tahan ujung penis dan
meatus uretra dengan ibu jari dan telunjuk untuk mencegah refluk jelly, tunggu sebentar
kira-kira 5 menit agar efek anestesi bekerja.
10. Pilih foley kateter sesuai ukuran, (besar : 18 dan 20, kecil : 8 dan 10 french catheter) atau
sesuai persediaan
11. Masukkan foley kateter ke uretra secara perlahan dengan sedikit mengangkat penis
hingga urin keluar (klien dianjurkan tarik napas panjang)
12.Menampung urin pada botol bila diperlukan untuk pemeriksaan
13.Mendorong lagi foley kateter kira-kira 5 cm ke dalam
14.bladder (1-2 inc)
15.Kembungkan balon dengan cairan aquadest sesuai ukuran, kira-kira 20 cc
16.Menarik kateter dengan perlahan sampai terasa ada tahanan dan meletakkannya di atas
abdomen bagian bawah.
17.Menyambungkan kateter dengan urine bag
18.Melepas duk, pengalas dan sarung tangan
19.Memfiksasi kateter di atas abdomen bagian bawah
20.Menempel label waktu pemasangan kateter

4. Tahap Terminasi

1. Melakukan evaluasi tindakan yang baru dilakukan


2. Merapikan pasien dan lingkungan
3. Berpamitan dengan klien
4. Membereskan alat-alat dan kembalikan alat ketempat semula
5. Mencuci tangan
6. Mencatat kegiatan dalam lembar catatan perawatan

SOP Pemasangan Kateter Urine Pada Pria

1. Memperkenalkan diri
2. Jelaskan prosedur yang akan di lakukan
3. Siapkan alat disamping klien
4. Siapkan ruangan dan pasang sampiran
5. Cuci tangan
6. Atur posisi psien dengan terlentang abduksi
7. Pasang pengalas
8. Pasang selimut, daerah genetalia terbuka
9. Pasan handschoen on steril
10. Letakkan bengkok diantara kedua paha
11. Cukur rmabut pubis
12. Lepas sarung tangan dan ganti dengan sarung tangan steril
13. Pasang doek lubang steril
14. Pegang penis dengan tangan kiri lalu preputium ditarik ke pangkalnya dan bersihkan
dengan kassa dan antiseptic dengan tangan kanan
15. Beri jelly pada ujung kateter ( 12,5 – 17,5 cm). Pemasangan indwelling pada pria :
jellydan lidokain denga perbandingan 1 : 1 masukkan kedalan uretra dengan spuit tanpa jarum
16. Ujung uretra ditekan dengan ujung jari kurang lebih 3-5 menit sambil di masase
17. Masukkan kateter pelan – pelan, batang penis diarahkan tegak lurus deng bidang
horisontal sambil anjurkan untuk menarik napas. Perhatikan ekspresi klien
18. Jika tertahan jangan dipaksa
19. Setelah kateter masuk isi balon dengan caran aquades bila untuk indwelling, fiksasi ujung
kateter di paha pasien. Pasang urobag disamping tempat tidur
20. Lihat respon klien dan rapikan alat
21. Cuci tangan
22. Dokumentasikan tindakan

SOP Pemasangan Kateter Urine Pada Wanita

1. Memperkenakan diri
2. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan
3. Siapkan alat di samping klien
4. Siapkan ruangan dan pasang sampiran
5. Cuci tangan
6. Atur posisi pasien dengan telentang abduksi
7. Berdiri disebelah kanan tempat tidur klien
8. Pasang pengalas
9. Pasang selimut, daerah genetalia terbuka
10. Pasang handschoen on steril
11. Letakkan bnengkok diantara kedua paha
12. Cukur rambut pubis
13. Lepas sarung tangan dang anti dengan sarung tangan steril
14. Pasang doek
15. Bersikan vulva dengan kasa, buka labia mayoer, dengan ibu jari dan telunjuk tangan kiri,
bersihkan bagian dalam
16. Beri jelly pada ujung kateter ( 2,5 – 5 cm) lalu masukkan pelan – pelan ujung kateter
pada meatus uretra sambil pasien dianjurkan menarik napas. Perhaikan respon klien
17. Setelah kateter masuk isi balon dengan cairan aquades 10 cc
18. Fiksasi
19. Sambung dengan urobag
20. Rapikan alat
21. Buka handchoen dan cuci tangan
22. Dokumentasikan tindakan

BAB IV
PENUTUP
a. Kesimpulan
Eliminasi merupakan proses pembuangan sisa-sisa metabolisme tubuh. Pembuangan
dapat melalui urine ataupun bawel. Eliminasi urine normalnya adalah pengeluaran
cairan. Proses pengeluaran ini sangat bergantung pada fungsi-fungsi organ eliminasi
urine seperti ginjal, ureter, bladder, dan uretra. Ginjal memindahkan air-air dari darah
dalam bentuk urine. Ureter mengalirkan urine ke bladder. Bladder urine ditampung
sampai mencapai batas tertentu yang kemudian dikeluarkan melalui uretra (Tarwoto
dan Hartonah, 2006).

Daftar Pustaka
1. Shlamovitz GZ. Urethral Catheterization in Men. Updated 7 Januari 2016. Diunduh
dari https://emedicine.medscape.com/article/80716-overview.

2. Departement of Emergency Medicine University of Ottawa. Urinary Catheter


Insertion. Updated 2003. Diunduh dari http://www.med.uottawa.ca/procedures/ucath/.

3. Cravens DD and Zweig S. Urinary Catheter Management. Am Fam Physician. 15


Januari 2000: 61(2); p. 369-376. Diunduh dari
http://www.aafp.org/afp/2000/0115/p369.html

4. Nicolle, L. (2014). Catheter associated urinary tract infections. The Journal of BioMed
Central. 3 (23).

5. National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases (2014). Urinary
Retention.

6. Healthy Western Australians. What is a catheter?

7. NHS UK (2017). Urinary catheter.

8. Sobol, J. National Institutes of Health (2017). Medline Plus. Urinary catheters.

9. Cafasso, J. Healthline (2017). Urinary Catheters.

10. Healthline (2016). The Benefits of Intermittent Catheterization

Anda mungkin juga menyukai