KDM Maria Novayana
KDM Maria Novayana
Disusun Oleh :
MARIA NOVAYANA
P2002032
A. Latar belakang
Sistem perkemihan atau sistem urinaria, adalah suatu sistem dimana terjadinya proses
penyaringan darah sehingga darah bebas dari zat-zat yang tidak dipergunakan oleh tubuh
dan menyerap zat-zat yang masih di pergunakan oleh tubuh. Zat-zat yang
tidak dipergunakan oleh tubuh larut dalam air dan dikeluarkan berupa urin (air kemih).
Eliminasi urin merupakan salah dari proses metabolik tubuh. Zat yang tidak dibutuhkan,
dikeluarkan melalui paru-paru, kulit, ginjal dan pencernaan. Paru-paru secara primer
mengeluarkan karbondioksida, sebuah bentuk gas yang dibentuk selama metabolisme
pada jaringan. Hampir semua karbondioksida dibawa keparu-paru oleh sistem vena dan
diekskresikan melalui pernapasan. Kulit mengeluarkan air dan natrium / keringat. Ginjal
merupakan bagian tubuh primer yang utama untuk mengekskresikan kelebihan cairan
tubuh, elektrolit, ion-ion hidrogen, dan asam. Proses ini terjadi dari dua langkah utama
yaitu: kandung kemih secara progresif terisi sampai tegangan di dindingnya meningkat
diatas nilai ambang, yang kemudian mencetuskan langkah kedua yaitu timbul refleks
saraf yang disebut refleks miksi (refleks berkemih) yang berusaha mengosongkan
kandung kemih atau jika ini gagal, setidak-tidaknya menimbulkan kesadaran akan
keinginan untuk berkemih. Meskipun refleks miksi adalah refleks autonomik medula
spinalis, refleks ini bisa juga dihambat atau ditimbulkan oleh pusat korteks serebri atau
batang otak. Eliminasi urin secara normal bergantung pada satu pemasukan cairan dan
sirkulasi volume darah, jika salah satunya menurun, pengeluaran urin akan menurun.
Pengeluaran urin juga berubah pada seseorang dengan penyakit ginjal, yang
mempengaruhi kuantitas, urin dan kandungan produk sampah didalam urin.
B. Tujuan Umum
Tujuan umum adalah untuk mempelajari gangguan antara perubahan eliminasi urine dan
bertujuan untuk memberikan asuhan keperawatan.
C. Tujuan Khusus
1. Mampu melakukan pengkajian keperawatan pada.
2. Perawat mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada.
3. Perawat mampu melakukan perencanaan tindakan keperawatan pada.
4. Perawat mampu melakukan intervensi keperawatan pada.
5. Perawat mampu melakukan evaluasi tindakan keperawatan pada.
BAB II
TINJUAN TEORI
C. Etiologi
1. Intake cairan
Jumlah dan type makanan merupakan faktor utama yang mempengaruhi output urine
atau defekasi. Seperti protein dan sodium mempengaruhi jumlah urine yang keluar,
kopi meningkatkan pembentukan urine intake cairan dari kebutuhan, akibatnya
outputurine lebih banyak.
2. Aktivitas
Aktifitas sangat dibutuhkan untuk mempertahankan tonus otot, eliminasi urine
membutuhkan tonus otot kandung kemih yang baik untuk tonus sfinkter internal dan
eksternal. Hilangnya tonus otot kandung kemih terjadi pada masyarakat yang
menggunakan kateter untuk periode waktu yang lama. Karena urine secara terus
menerus dialirkan keluar kandung kemih, otot-otot itu tidak pernah merenggang dan
dapat menjadi tidak berfungsi. Aktifitas yang lebih berat akan mempengaruhi jumlah
urine yang diproduksi, hal ini disebabkan karena lebih besar peningkatan
metabolisme tubuh.
3. Obstruksi batu ginjal, pertumbuhan jaringan abnormal, striktur urethra.
4. Trauma sumsum tulang belakang
5. Tekanan uretra yang tinggi disebabkan oleh otot detrusor yang lemah
6. Penyakit pembesaran kelenjar ptostat
7. Sfingter yang kuat
8. Operasi pada daerah abdomen bawah, pelviks, kandung kemih, urethra
9. Penggunaan obat-obatan
10. Sumbatan (striktur uretra dan pembesaran kelenjar prostat)
D. Patofisiologi
Gangguan pada eliminasi sangat beragam seperti yang telah dijelaskan diatas.
Masing -masing gangguan tersebut disebabkan oleh etiologi yang berbeda. Pada pasien
dengan usia tua, trauma yang menyebabkan cedera medulla spinal, akan menyebabkan
gangguan dalam mengkontrol urin/inkontinensia urin. Gangguan traumatik pada tulang
belakang bisa mengakibatkan kerusakan pada medulla spinalis. Lesi traumatik pada
medulla spinalis tidak selalu terjadi bersama-sama dengan adanya fraktur atau
dislokasi. Tanpa kerusakan yang nyata pada tulang belakang, efek traumatiknya bisa
mengakibatkan efek yang nyata di medulla spinallis Cedera medulla spinalis (CMS)
merupakan salah satu penyebab gangguan fungsi saraf termasuk pada persyarafan
berkemih dan defekasi.
Komplikasi cedera spinal dapat menyebabkan syok neurogenik dikaitkan dengan
cedera medulla spinalis yang umumnya dikaitkan sebagai syok spinal. Syok spinal
merupakan depresi tiba-tiba aktivitas reflex pada medulla spinalis (areflexia) di bawah
tingkat cedera. Dalam kondisi ini, otot-otot yang dipersyarafi oleh bagian segmen
medulla yang ada di bawah tingkat lesi menjadi paralisis komplet dan fleksid, dan
refleks-refleksnya tidak ada. Hal ini mempengaruhi reflex yang merangsang fungsi
berkemih dan defekasi. Distensi usus dan ileus paralitik disebabkan oleh depresi
refleks yang dapat diatasi dengan dekompresi usus (Brunner& Suddarth, 2002).
Hal senada disampaikan Sjamsuhidajat (2004), pada komplikasi syok spinal
terdapat tanda gangguan fungsi autonom berupa kulit kering karena tidak berkeringat dan
hipotensi ortostatik serta gangguan fungsi kandung kemih dan gangguan defekasi.
Proses berkemih melibatkan 2 proses yang berbeda yaitu pengisian dan penyimpanan
urine dan pengosongan kandung kemih. Hal ini saling berlawanan dan bergantian secara
normal. Aktivitas otot-otot kandung kemih dalam hal penyimpanan dan pengeluaran urin
dikontrol oleh sistem saraf otonom dan somatik. Selama fase pengisian, pengaruh sistem
saraf simpatis terhadap kandung kemih menjadi bertekanan rendah dengan
meningkatkan resistensi saluran kemih. Penyimpanan urin dikoordinasikan oleh
hambatan sistem simpatis dari aktivitas kontraktil otot detrusor yang dikaitkan dengan
peningkatan tekanan otot dari leher kandung kemih dan proksimal uretra. Pengeluaran
urine secara normal timbul akibat dari kontraksi yang simultan otot detrusor dan relaksasi
saluran kemih. Hal ini dipengaruhi oleh sistem saraf parasimpatis yang mempunyai
neurotransmiter utama yaitu asetilkholin, suatu agen kolinergik.
Selama fase pengisian, impuls afferen ditransmisikan ke saraf sensoris pada ujung
ganglion dorsal spinal sakral segmen 2-4 dan informasikan ke batang otak. Impuls saraf
dari batang otak menghambat aliran parasimpatis dari pusat kemih sakral spinal.
Selama fase pengosongan kandung kemih, hambatan pada aliran parasimpatis
sakral dihentikan dan timbul kontraksi otot detrusor. Hambatan aliran simpatis pada
kandung kemih menimbulkan relaksasi pada otot uretra trigonal dan proksimal. Impuls
berjalan sepanjang nervus pudendus untuk merelaksasikan otot halus dan skelet dari
sphincter eksterna. Hasilnya keluarnya urine dengan resistensi saluran yang minimal.
Pasien post operasi dan post partum merupakan bagian yang terbanyak menyebabkan
retensi urine akut. Fenomena ini terjadi akibat dari trauma kandung kemih dan edema
sekunder akibat tindakan pembedahan atau obstetri, epidural anestesi, obat-obat narkotik,
peregangan atau trauma saraf pelvik, hematoma pelvik, nyeri insisi episiotomi
atau abdominal, khususnya pada pasien yang mengosongkan kandung kemihnya dengan
maneuver Valsalva. Retensi urine pos operasi biasanya membaik sejalan dengan waktu
dan drainase kandung kemih yang adekuat.
E. Manifestasi Klinis
1. Ketidaknyamaan daerah pubis.
2. Distensi vesika urinaria.
3. Ketidaksanggupan untuk berkemih.
4. Sering berkemih saat veriska urinaria berisi sedikit urine (25-50 ml).
5. Meningkatnya keresahan dan keinginan untuk berkemih.
6. Ketidakseimbangan jumlah urine yang dikeluarkan dengan asupannya.
F. WOC
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan USG
2. Pemeriksaan foto rontgen
3. Pemeriksaan laboratorium urin dan feses
2. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan Eliminasi Urin b/d infeksi ginjal dan saluran kemih.
Definisi disfungsi eliminasi urin
Penyebab :
1) Penurunan kapasitas kadung kemih
2) Iritasi kadung kemih
3) Penurunan kemampuan menyadari tanda-tanda gangguan kadung kemih
I. Intervensi
N SDKI SLKI SIKI
O
1. Gangguan Eliminasi Urine Eliminasi Urine Manajemen Eliminasi
Definisi : Definisi : Urine (I.04152)
Disfungsi eliminasi urin Pengosongan kandung tindakan
kemih yang lengkap observasi :
Penyebab 1. identifikasi tanda
1. Penurunan kapasitas Setelah dilakukan dan gejala
kandung kemih tindakan keperawatan retensi atau
2. Iritasi kadung kemih diharapkan eliminasi inkontiensia
3. Efek tindakan medis dan urine dengan skala urine.
diagnostik (mis. Operasi 2. Identifikasi
1. sensasi berkemih
ginjal, operasi saluran faktor yang
dengan skala 4
kemih, anestesi, dan obat- 2. desakan berkemih menyebabkan
obatan) (urgensi) dengan retensi atau
4. Ketidakmampuan skala 4 inkontiensia
mengkomunikasi kebutuhan 3. berkemih tidak urine
elimanasi tuntas dengan 3. Monitor
skala 4 eliminasi urine
4. volume residu
Gejala dan Tanda Mayor (mis. Frekuensi,
urine dengan skala
1. Desakan berkemih (urgensi) 4 konsitensi,
2. Urin menetes (dribbling) 5. urine menetes aroma, volume,
3. Sering buang air kecil (dribbling) dengan dan warna)
4. Distensi kandung kemih skala 4
5. Berkemih tidak tuntas Terapeutik
(hesticany)
1. Catat waktu-
waktu haluan
berkemih
2. Batasi asupan
cairan jika perlu
Edukasi
1. Ajarkan tanda-
tanda infeksi
saluran kemih
2. ajarkan
mengukur
asupan cairan
dan haluaran
kemih
3. kaloborasi
pemberian obat
supositoria uretra
jika perlu
2. Inkontinensia Urin Refleks Kontinensia Urine Perawatan
Definisi : Definisi : inkontinensia urine (I.
Pengeluaran urin yang tidak Pola kebiasaan buang air 04163)
terkendali pada saat volume kecil Tindakan
kandung kemih tertentu tercapai. Observasi
Setelah dilakukan 1. Identifikasi
Penyebab tindakan keperawatan penyebab
1. Kerusakan konduksi impuls diharapkan kontinensia inkontensia urine
urine dengan skala
di atas arkus reflex 2. Monitor keefifan
2. Kerusakan jaringan (mis. 1. Kemampuan obat,
Terapi radiasi) berkemih dengan pembedahan dan
skala 4 terapi modalitas
Gejala dan Tanda Mayor 2. Residu volume berkemih
1. Tidak mengalami sensasi urine setelah 3. Monitor
berkemih berkemih dengan kebiasaan BAK
skala 4
2. Dribbling
3. Dribbling dengan
3. Hesitancy skala 4 Terapeutik
4. Volume residu urin 4. Hesitancy dengan 1. Bersihkan
meningkat skala 4 genetalia dan
5. Verbilasi kulit secara rutin
pengeluaran urine 2. Ambil sampel
tidak tuntas urine utnuk
dengan skala 4
pemeriksaan
urine lengkap
atau kultur
Edukasi
1. Jelaskan definisi
jenis
inkontinensia
penyebab
inkontinensia
urine
2. Jelaskan
program
penangan
inkontinensia
urine
3. Rujuk ke ahli
inkontensia jika
perlu
3. Inkontenensia Urin Urgensi Kontrol gejala Latihan berkemih (I.
Definisi : Definisi : 04149)
keluarnya urin tidak terkendali Kemampuan untuk Tindakan
sesaat setelah keinginan yang kuat mengendalikan atau Observasi
untuk berkemih (kebelet) mengurangi perubahan 1. Periksa kembali
fungsi fisik dan emosi penyebab
Penyebab yang dirasakan akibat gangguan
1. Iritasi reseptor kontraksi munculnya masalah berkemih
kandung kemih kesehatan 2. Monitor pola dan
2. Penurunan kapasitas kemampuan
kadung kemih Setelah dilakukan berkemih
tindakan keperawatan
Gejala dan Tanda Mayor diharapkan kontrol gejala Terapeutik
dengan skala
1. Keinginan berkemih yang 1. Hindari
1. Kemampuan
kuat disertai dengan penggunaan
memonitor
inkontinensia kateter
keparahan gejala
indwelling
dengan skala 4
2. Siapkan area
2. Kemampuan
toilet yang aman
memonitor variasi
3. Sediakan
gejala dengan
peralatan yang
skala 4
dibutuhkan dekat
3. Kemampuan
dan mudah di
memonitor
jangkau (mis.
tindakan untuk
Pispot, urinarial)
mengurangi gejala
dengan skala 4
Edukasi
4. Mendapatkan
1. Ajurkan
perawatan
intake cairan
kesehatan saat
adekuat
gejala bahaya
untuk
muncul dengan
mendukung
skala 4
autput urine
2. Ajurkan
eliminasi
normal
dengan
beraktivitas
dan olah raga
sesuai
kemampuan
BAB III
ANALISA KETERAMPILAN
Pemasangan kateter atau kateter urine adalah suatu tindakan keperawatan memasukan kateter
kedalam kandung kemih melalui uretra Pemasangan kateter ini seringkali digunakan pada
pasien-pasien yang tidak mampu untuk membuang air kecil sendiri dengan normal – semisal
pada pasien-pasien dengan pembesaran prostat-, sehingga memerlukan alat bantuan kateter.
Selain itu, kateter juga sering digunakan dalam berbagai prosedur medis, seperti:
4. Saat pemberian obat langsung ke dalam kandung kemih, misalnya karena adanya kanker
kandung kemih.
Indikasi pemasangan kateter terbagi menjadi dua, yang pertama indikasi diagnostik untuk
keperluan penegakan diagnosa, dan indikasi terpi atau untuk pengobatan.
2. Monitoring dari produksi urin (urine output), sebagai indikator status cairan dan menilai
perfusi renal (terutama pada pasien kritis)
4. Diagnosis dari perdarahan saluran kemih, atau obstruksi saluran kemih (misalnya striktur
atau hipertropi prostat) yang ditandai dengan kesulitan memasukkan kateter
Kateterisasi uretra dikontraindikasikan pada pasien dengan gejala trauma pada traktus
urinarius bagian bawah, misalnya terjadi robekan pada uretra. Kondisi ini dapat ditemukan
pada pasien laki-laki yang mengalami trauma pelvis atau straddle-type injury. Gejala yang
dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik adalah ditemukannya prostat yang meninggi (high-
riding) atau edema, hematom di perineum, atau keluarnya darah dari lubang uretra. Apabila
kondisi ini ditemukan maka harus dilakukan pemeriksaan uretrogram untuk menghindari
terjadinya robekan pada uretra sebelum dilakukan pemasangan kateter.
2. Tahap Orientasi
3. Tahap Kerja
4. Tahap Terminasi
1. Memperkenalkan diri
2. Jelaskan prosedur yang akan di lakukan
3. Siapkan alat disamping klien
4. Siapkan ruangan dan pasang sampiran
5. Cuci tangan
6. Atur posisi psien dengan terlentang abduksi
7. Pasang pengalas
8. Pasang selimut, daerah genetalia terbuka
9. Pasan handschoen on steril
10. Letakkan bengkok diantara kedua paha
11. Cukur rmabut pubis
12. Lepas sarung tangan dan ganti dengan sarung tangan steril
13. Pasang doek lubang steril
14. Pegang penis dengan tangan kiri lalu preputium ditarik ke pangkalnya dan bersihkan
dengan kassa dan antiseptic dengan tangan kanan
15. Beri jelly pada ujung kateter ( 12,5 – 17,5 cm). Pemasangan indwelling pada pria :
jellydan lidokain denga perbandingan 1 : 1 masukkan kedalan uretra dengan spuit tanpa jarum
16. Ujung uretra ditekan dengan ujung jari kurang lebih 3-5 menit sambil di masase
17. Masukkan kateter pelan – pelan, batang penis diarahkan tegak lurus deng bidang
horisontal sambil anjurkan untuk menarik napas. Perhatikan ekspresi klien
18. Jika tertahan jangan dipaksa
19. Setelah kateter masuk isi balon dengan caran aquades bila untuk indwelling, fiksasi ujung
kateter di paha pasien. Pasang urobag disamping tempat tidur
20. Lihat respon klien dan rapikan alat
21. Cuci tangan
22. Dokumentasikan tindakan
1. Memperkenakan diri
2. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan
3. Siapkan alat di samping klien
4. Siapkan ruangan dan pasang sampiran
5. Cuci tangan
6. Atur posisi pasien dengan telentang abduksi
7. Berdiri disebelah kanan tempat tidur klien
8. Pasang pengalas
9. Pasang selimut, daerah genetalia terbuka
10. Pasang handschoen on steril
11. Letakkan bnengkok diantara kedua paha
12. Cukur rambut pubis
13. Lepas sarung tangan dang anti dengan sarung tangan steril
14. Pasang doek
15. Bersikan vulva dengan kasa, buka labia mayoer, dengan ibu jari dan telunjuk tangan kiri,
bersihkan bagian dalam
16. Beri jelly pada ujung kateter ( 2,5 – 5 cm) lalu masukkan pelan – pelan ujung kateter
pada meatus uretra sambil pasien dianjurkan menarik napas. Perhaikan respon klien
17. Setelah kateter masuk isi balon dengan cairan aquades 10 cc
18. Fiksasi
19. Sambung dengan urobag
20. Rapikan alat
21. Buka handchoen dan cuci tangan
22. Dokumentasikan tindakan
BAB IV
PENUTUP
a. Kesimpulan
Eliminasi merupakan proses pembuangan sisa-sisa metabolisme tubuh. Pembuangan
dapat melalui urine ataupun bawel. Eliminasi urine normalnya adalah pengeluaran
cairan. Proses pengeluaran ini sangat bergantung pada fungsi-fungsi organ eliminasi
urine seperti ginjal, ureter, bladder, dan uretra. Ginjal memindahkan air-air dari darah
dalam bentuk urine. Ureter mengalirkan urine ke bladder. Bladder urine ditampung
sampai mencapai batas tertentu yang kemudian dikeluarkan melalui uretra (Tarwoto
dan Hartonah, 2006).
Daftar Pustaka
1. Shlamovitz GZ. Urethral Catheterization in Men. Updated 7 Januari 2016. Diunduh
dari https://emedicine.medscape.com/article/80716-overview.
4. Nicolle, L. (2014). Catheter associated urinary tract infections. The Journal of BioMed
Central. 3 (23).
5. National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases (2014). Urinary
Retention.