Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

Infeksi intrakranial dapat dibagi menjadi 2 kategori besar: infeksi yang


terutama melibatkan meningens (meningitis) dan infeksi yang terutama terbatas
pada parenkim (ensefalitis). Infeksi sistem saraf pusat (SSP) merupakan penyebab
penting morbiditas dan mortalitas pada anak-anak. Perkiraan kejadian Sindrom
ensefalitis akut pada anak-anak adalah 10,5-13,8 / 100000. Angka fatalitas kasus
adalah 30% dan terjadi kecacatan neurologis pada sepertiga pasien. Beban global
jaringan penyakit (WHO) memperkirakan pada tahun 2010 penyebab meningitis
kurang lebih 422.900 kematian dan ensefalitis, 143.500 kematian. Meningitis
adalah suatu peradangan yang mengenai piameter (lapisan dalam selaput otak)
dan arakhnoid yang membungkus jaringan otak dan medula spinalis. Kejadian
tertinggi meningitis adalah antara kelahiran sampai berumur 2 tahun, dengan
risiko terbesar setelah lahir pada 3-8 bulan. Meningkatnya eksposur terhadap
infeksi dan masalah sistem kekebalan hadir pada saat kelahiran anak akan
meningkatkan risiko meningitis. 1,2,3,4

Ensefalitis adalah radang jaringan otak yang dapat disebabkan oleh berbagai
mikroorganisme. Penyakit ini dapat dijumpai pada semua umur mulai dari anak-
anak sampai orang dewasa. Pada bayi dan anak kecil ,ensefalitis dapat terjadi
akibat komplikasi dari meningitis bakterial (jarang pada dewasa), otitis
media,mastoiditis, sinusitis. Anak dibawah 15 tahun, kejadian ensefalitis paling
sering terjadi karena frekuensi sinusitis dan mastoiditis masih tinggi. 4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Meningitis

2.1.1 Definisi Meningitis

Meningitis suatu peradangan yang mengenai piameter (lapisan dalam selaput


otak) dan arakhnoid yang membungkus jaringan otak dan medula spinalis. Faktor
risiko meningitis meliputi: Usia ekstrem (<5 atau> 60 tahun), Imunosupresi yang
meningkatkan risiko infeksi oportunistik dan meningitis bakterial akut, Infeksi
HIV, yang menjadi predisposisi meningitis bakterial yang disebabkan oleh
organisme berkapsul, terutama Streptococcus pneumoniae, dan patogen
oportunistik, Infeksi yang berdekatan (misalnya, sinusitis), Defek dural (misalnya,
traumatis, bedah, atau Kongenital), Thalassaemia mayor, Beberapa kelainan
bawaan kranial dan factor risiko lain seperti Pajanan baru-baru ini kepada orang
lain dengan meningitis, dengan atau tanpa profilaksis, Endokarditis bakteri dan
Ventriculoperitoneal shunt.1,4

Meningitis dapat disebabkan oleh virus, bakteri, riketsia, jamur, cacing dan
protozoa. Penyebab paling sering adalah virus dan bakteri. Bakteri penyebab
meningitis bacterial pada golongan umur dibawah 5 tahun (balita) disebabkan
oleh H.influenzae, Meningococcus dan Pneumococcus. Golongan umur 5-20
tahun disebabkan oleh Haemophilus influenzae, Neisseria meningitidis dan
Streptococcus Pneumococcus, dan pada usia dewasa (>20 tahun) disebabkan oleh
Meningococcus, Pneumococcus, Stafilocccus, Streptococcus dan Listeria. Jika
tidak diobati, meningitis meningokokus berakibat fatal pada 50% pasien kasus
dan dapat menyebabkan kerusakan otak, gangguan pendengaran atau kecacatan
pada 10 sampai 20% orang yang selamat. Perkiraan tingkat insiden meningitis
karena Hib adalah 31 kasus per 100.000 dan S. pneumoniae adalah 17 kasus per
100.000 populasi pada anak-anak di bawah usia 5 tahun.1,2,3

Penyebab meningitis serosa yang paling banyak ditemukan adalah kuman


Tuberculosis dan virus. Penyebab tersering meningitis akut viral adalah
enterovirus dan herpes simplex virus (HSV) yang menyebabkan meningitis
aseptik. Penyebab lain seperti virus Mumps.1,2,3,4

2.1.2 Diagnosis

a. Anamnesis

Seorang pasien dicurigai menderita meningitis jika terdapat gejala-gejala


klasik meningitis, yakni demam, sakit kepala dan leher kaku. Dibawah ini
merupakan gejala pasien anak dengan meningitis:

 Demam tinggi
 Mual dan muntah
 Sakit kepala
 Kejang
 Leher kaku
 Nafsu makan dan minum berkurang
 Gangguan kesadaran berupa apati, letargi, bahkan koma.
 Biasanya diawali dari infeksi saluran pernafasan bagian atas saluran cerna
1,2,4,5

Pada meningitis bakterialis, biasanya di dahului oleh infeksi saluran nafas


bagian atas atau saluran cerna seperti demam tinggi, batuk, pilek, diare dan
muntah. Pada neonates sering di sertai fontanela yang cembung, Gejala – gejala
meningitis seringkali tidak khas, banyak gejala meningitis yang berkaitan dengan
usia, misalnya anak < 3 tahun jarang mengeluhkan sakit kepala. Pada bayi, gejala
hanya berupa demam, iritabel, letargi, malas minum, dan high pitched-cry.2,3,5

Pasien dengan meningitis virus mungkin memiliki riwayat gejala sistemik


sebelumnya (misalnya mialgia, kelelahan, atau anoreksia). Pasien dengan
meningitis yang disebabkan oleh virus mumps biasanya datang dengan gejala
demam, muntah, dan sakit kepala.Gejala ini mengikuti onset parotitis
(pembesaran kelenjar ludah terjadi pada 50% pasien), yang secara klinis sembuh
dalam 7-10 hari. Pada meningitis yang di sebabkan oleh Coxsackie Virus biasanya
di dahului dengan lesi vesicular pada palatum, uvula, tonsil, dan lidah.3

Jika penyebabnya berupa meningitis Tuberkulosa , maka keluhan yang


timbul terdiri dari tiga stadium, yaitu stadium I atau stadium prodromal selama 2-
3 minggu dengan gejala ringan dan nampak seperti gejala infeksi biasa. Pada
anak-anak, sering tanpa demam, muntah-muntah, nafsu makan berkurang,
murung, berat badan turun, mudah tersinggung, cengeng, opstipasi, pola tidur
terganggu dan gangguan kesadaran berupa apatis, pada orang dewasa terdapat
panas yang hilang timbul, nyeri kepala, konstipasi, kurang nafsu makan,
fotofobia, nyeri punggung, halusinasi, dan sangat gelisah. Stadium II atau stadium
transisi berlangsung selama 1 – 3 minggu dengan gejala ditandai dengan nyeri
kepala yang hebat dan kadang disertai kejang terutama pada bayi dan anak-anak.
Tanda-tanda rangsangan meningeal mulai nyata, seluruh tubuh dapat menjadi
kaku, terdapat tanda-tanda peningkatan intrakranial, ubun-ubun menonjol dan
muntah lebih hebat. Stadium III atau stadium terminal ditandai dengan
kelumpuhan dan gangguan kesadaran sampai koma hingga meninggal dunia. Pada
meningitis TB juga perlu di tanyakan riwayat demam yang lama/kronis,
Penurunan berat badan (BB), Riwayat kontak dengan pasien tuberkulosis dewasa,
Riwayat imunisasi BCG 4,5

b. Pemeriksaan Fisik

Selain di dapatkan peningkatan suhu tubuh, pada pasien dapat di temukan


penurunan kesadaran atau iritabilitas. Dapat juga di temukan ubun – ubun yang
membonjol dan tanda – tanda peningkatan tekanan intracranial serta tanda – tanda
infeksi di tempat lain seperti THT, pneumonia dan lain – lain. Pada bayi di
lakukan pemeriksaan kulit di seluruh tulang belakang untuk mencari lesung pipit,
sinus, nevi, atau jumbai rambut. Ini mungkin menunjukkan anomali kongenital
yang berkomunikasi dengan ruang subarachnoid. 2,3,4,5,6
Pemeriksaan rangsangan meningeal pada penderita dengan meningitis
biasanya ditemukan hasil positif, namun jarang positif pada anak di bawah 1
tahun. Pemeriksaan tersebut adalah sebagai berikut: 5

1. Pemeriksaan Kaku Kuduk

Pasien berbaring terlentang dan dilakukan pergerakan pasif berupa fleksi


dan rotasi kepala. Tanda kaku kuduk positif (+) bila didapatkan kekakuan dan
tahanan pada pergerakan fleksi kepala disertai rasa nyeri dan spasme otot. Dagu
tidak dapat disentuhkan ke dada dan juga didapatkan tahanan pada hiperekstensi
dan rotasi kepala.

2. Pemeriksaan Tanda Kernig

Pasien berbaring terlentang dan dilakukan fleksi pada sendi panggul


kemudian ekstensi tungkai bawah pada sendi lutut sejauh mengkin tanpa rasa
nyeri. Tanda Kernig positif (+) bila ekstensi sendi lutut tidak mencapai sudut 135°
(kaki tidak dapat di ekstensikan sempurna) disertai spasme otot paha biasanya
diikuti rasa nyeri.
3. Pemeriksaan Tanda Brudzinski I ( Tanda leher menurut Brudzinski)

Pasien berbaring terlentang dan pemeriksa meletakkan tangan kirinya


dibawah kepala dan tangan kanan diatas dada pasien kemudian dilakukan fleksi
kepala dengan kearah dada sejauh mungkin. Tanda Brudzinski I positif (+) bila
pada pemeriksaan terjadi fleksi kedua tungkai kedua lutut.

4. Pemeriksaan Tanda Brudzinski II (Tanda tungkai kontralateral menurut


Brudzinski)

Pasien berbaring terlentang, salah satu tungkainya diangkat dalam sikap


lurus di sendi lutut dan ditekukkan di sendi panggul. Tanda Brudzinski II positif
(+) bila pada pemeriksaan terjadi fleksi reflektorik pada sendi panggul dan lutut
kontralateral.
5. Pemeriksaan tanda pipi menurut Brudzinski. ( Brudzinski III)

Penekanan pada kedua pipi atau tepat di bawah os zigomatikum . Tanda


ini positif (+) jika terjadi gerakan fleksi reflektorik pada ekstremitas superior
(lengan tangan fleksi).

6. Pemeriksaan tanda simfisis pubis menurut Brudzinski ( Brudzisnki IV)

Penekanan pada simfisis pubis . Tanda ini positif (+) jika terjadi gerakan
fleksi reflektorik pada ekstremitas inferior (kaki). 2,4,5,6

Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan darah

Dilakukan pemeriksaan kadar hemoglobin, jumlah leukosit, Laju Endap


Darah (LED), kadar glukosa, kadar ureum, elektrolit, pewarnaan gram dan kultur.
Pada meningitis bakterial didapatkan polimorfonuklear leukositosis. Meningitis
yang disebabkan oleh TBC akan ditemukan peningkatan LED. Pada kasus
imunosupresi dapat ditemukan leukopenia. Pada meningitis yang di curigai
penyebab virus, di lakukan pemeriksaan PCR untuk mendeteksi antigen virus. 2,4,5

Mendapatkan kultur sebelum memberikan antibiotik dapat membantu jika


diagnosis tidak pasti. Kegunaan kultur paling jelas terlihat ketika Lumbal Pungsi
ditunda sampai pencitraan kepala dapat menyingkirkan risiko herniasi otak, di
mana deksametason tambahan dan terapi antimikroba dengan benar dimulai
sebelum sampel CSF dapat diperoleh. Biakan kultur di peroleh melalui:

 Darah - 50% positif pada meningitis yang disebabkan oleh H influenzae, S


pneumoniae, atau N meningitides
 Nasofaring
 Sekret pernapasan
 Air seni
 Lesi kulit3

2. Pemeriksaan Pungsi Lumbal

Diagnosis pasti meningitis adalah pemeriksaan cairan serebrospinal


melalui pungsi lumbal. Lumbal pungsi biasanya dilakukan untuk menganalisa
jumlah sel dan protein cairan cerebrospinal, dengan syarat tidak ditemukan
adanya peningkatan tekanan intracranial yang di sebabkan oleh lesi desak
ruang.3,5

Tekanan WBC Glukosa Protein


Mikrobiologi
(mmH2O) (sel/µL) (mg/dL) (mg/dL)
Pathogen
spesifik di
100-5000; temukan
Meningitis
200-300 >80% < 40 >100 pada 60 %
Bakterial
PMNs pewarnaan
gram dan 80
% kultur
Normal,
10-300;
Meningitis menurun Isolasi virus,
90-200 lymphocyte Normal
Viral pada PCR
s
mumps
Pewarnaan
Meningitis 100-500;
Meningkat basil tahan
Tuberculosi 180-300 lymphocyte < 40
, >100 asam, kultur,
s s
PCR
10-200; Antigen
Meningitis
180-300 lymphocyte Menurun 50-200 kriptokokus,
Cryptococus
s kultur
Normal,
10-300;
Meningitis namun
90-200 lymphocyte Normal negatif
Aseptik dapat
s
meningkat
Nilai normal 80-200 0-5; 50-75 15-40 Negative
lymphocyte
s
Tabel 2.1 Hasil Pemeriksaan CSF berdasarkan penyebab 3

3. Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan foto X ray thoraks, foto kepala (sinus/ mastoid), dapat


diusulkan untuk mengidentifikasi fokus primer infeksi.4,5,7

4.Pemeriksaan EEG

Pada pemeriksaan EEG dijumpai gelombang lambat yang difus di kedua


hemisfer, penurunan voltase karena efusi subdural atau aktivitas delta fokal bila
bersamaan dengan abses otak.4,5

5. CT SCAN dan MRI

Dapat mengetahui adanya edema otak, hidrosefalus atau massa otak yang
menyertai meningitis. MRI adalah modalitas pencitraan yang paling sensitif,
karena keberadaan dan luasnya perubahan inflamasi pada meninges, serta
komplikasi, dapat dideteksi. MRI lebih unggul dari CT scan dalam mengevaluasi
pasien dengan dugaan meningitis, serta dalam menunjukkan penyangatan
leptomeningeal. 4,5,7
Gambar 2.1 Gambaran MRI kepala potongan Axial dengan kontras pada
meningitis bacterial akut, tampak penyangatan Leptomeningens (lapiran araknoid
dan piamater) yang di tunjukkan oleh panah7

6. Pemeriksaan lain

Pada kasus yang di curigai Meningitis TB juga dapat di lakukan Uji


Tuberkulin dan pewarnaan Basil tahan asam.4,5

2.1.3 Tatalaksana

Tatalaksana umum

Dengan pengecualian penggunaan asiklovir untuk ensefalitis HSV,


pengobatan meningitis yang biasanya disertai dengan ensefalitis yang di sebabkan
oleh virus bersifat suportif. Pengobatan pada penyakit ringan mungkin hanya
memerlukan pengobatan gejala. Tirah baring mutlak diperlukan , jika infeksi
cukup berat dibutuhkan perawatan di ruang isolasi. Jika pasien mengalami syok
atau hipotensi, kristaloid harus diinfuskan sampai euvolemia tercapai. Jika status
mental pasien berubah, kewaspadaan terhadap kejang harus dipertimbangkan,
kejang harus ditangani sesuai dengan protokol biasa, dan perlindungan jalan napas
harus dipertimbangkan. Jika pasien sadar dan dalam kondisi stabil dengan tanda-
tanda vital normal, oksigen harus diberikan beserta akses intravena (IV). Penyulit
lain yang harus di pantau seperti kejang, hiperpireksia, edema otak, serta
kekurangan gizi.

Tanda hidrosefalus dan peningkatan tekanan intrakranial (ICP) harus


diwaspadai. Demam dan nyeri harus ditangani, gejala batuk harus dikendalikan.
Karena aktivitas kejang meningkatkan TIK, kejang harus dikontrol secara agresif
jika ada. Pengendalian dapat dilakukan dengan pemberian lorazepam 0,1 mg / kg
IV dan beban IV dengan fenitoin 15 mg / kg atau fenobarbital 5-10 mg / kg. 1,2,3,5,6
Pemberian Antibiotik
Pemberian antibiotik harus tepat dan cepat sesuai dengan bakteri
penyebabnya. Pemberian initial antibiotik secara empiric (empirical
antimicrobial) dapat diberikan tanpa harus menunggu hasil kultur cairan
serebrospinal. Setelah hasil kutur terbukti adanya spesifik mikroorganisme, baru
terapi antibiotik spesifik (specific antimicrobial) diberikan.

Antibiotik Empiris

Usia -3 bulan :

 Ampisilin 200-400 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis + sefotaksim


200-300 mg/ kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis, atau
 Seftriakson 100 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 2 dosis
 vankomisin 60 mg / kg / 24 jam, diberikan setiap 6 jam

Usia > 3 bulan :

 Sefotaksim 200-300 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 3-4 dosis, atau


 Seftriakson 100 mg/kgBB/hari IV dibagi 2 dosis, atau
 Ampisislin 200-400 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis +
kloramfenikol 100 mg/ kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis.
 Kloramfenikol, 100 mg / kg / 24 jam, diberikan setiap 6 jam 5

Jika sudah terdapat hasil kultur, pemberian antibiotik disesuaikan dengan


hasil kultur dan resistensi. Deksametason telah digunakan sebagai terapi tambahan
untuk memodulasi respon inflamasi host dan mencegahnya komplikasi neurologis
dari meningitis bakterial, terutama gangguan pendengaran. Namun
penggunaannya pada anak-anak dengan meningitis bakterial telah menjadi
kontroversi. The American Academy of Pediatrics (AAP) Committee on Infectious
Diseases mengidentifikasi manfaat potensial deksametason untuk pasien dengan
meningitis Hib dan mengindikasi bahwa penggunaan empiris dapat
dipertimbangkan untuk pasien yang dicurigai meningitis bacterial pada bayi dan
anak-anak berusia 6 minggu atau lebih setelah mempertimbangkan kemungkinan
risiko versus potensi manfaat. Deksametason 0,6 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4
dosis selama 4 hari. Injeksi deksametason diberikan 15-30 menit sebelum atau
pada saat pemberian antibiotik. Lama pengobatan Tergantung dari kuman
penyebab, umumnya 10-14 hari.3,5,6

Adapun bila kuman spesifik telah di temukan, maka dapat di berikan


antibiotik sesuai kuman penyebab :

Tabel 2.2 Daftar Antibiotik sesuai kuman penyebab 6

Jika berdasarkan pemeriksaan di dapatkan meningitis TB maka


Pengobatan medikamentosa diberikan sesuai rekomendasi American Academy of
Pediatrics 1994, yakni dengan pemberian 4 macam obat selama 2 bulan,
dilanjutkan dengan pemberian INH dan Rifampisin selama 10 bulan.5

Dosis obat antituberkulosis adalah sebagai berikut :

 Isoniazid (INH) 10-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 300 mg/hari.


 Rifampisin 10-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/hari.
 Pirazinamid 15-30 mg/kgBB.hari, dosis maksimal 2000 mg/hari.
 Etambutol 15-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 1000 mg/hari atau
streptomisin IM 20 – 30 mg/kg/hari dengan maksimal 1 gram/hari.5

Kortikosteroid diberikan untuk menurunkan inflamasi dan edema serebral.


Prednison diberikan dengan dosis 1–2 mg/kg/hari selama 6–8 minggu. Data
mendukung penggunaan deksametason intravena, 0,15 mg / kg /dosis diberikan
tiap 6 jam selama 2 hari. Di antara anak-anak dengan meningitis yang disebabkan
oleh H. influenza tipe b, penerima kortikosteroid memiliki durasi demam yang
lebih pendek,vmenurunkan kadar protein dan laktat pada CSF, dan penurunan
sensorineural gangguan pendengaran

Perlu dipantau adanya komplikasi Syndrome Inappropriate Antidiuretic


Hormone (SIADH). Diagnosis SIADH ditegakkan jika terdapat kadar natrium
serum yang <135 mEq/L (135 mmol/L), osmolaritas serum < 270 mOsm/kg,
osmolaritas urin > 2 kali osmolaritas serum, natrium urin > 30 mEq/L (30
mmol/L) tanpa adanya tanda-tanda dehidrasi atau hipovolemia. Beberapa ahli
merekomendasikan pembatasan jumlah cairan dengan memakai cairan isotonis,
terutama jika natrium serum < 130 mEq/L (130 mmol/L). Jumlah cairan dapat
dikembalikan ke cairan rumatan jika kadar natrium serum kembali normal.4,5

Bedah

Hidrosefalus terjadi pada 2/3 kasus dengan lama sakit > 3 minggu dan
dapat diterapi dengan asetazolamid 30-50 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis.
Perlu dilakukan pemantauan terhadap asidosis metabolik pada pemberian
asetazolamid. Beberapa ahli hanya merekomendasikan tindakan VP-shunt jika
terdapat hidrosefalus obstruktif dengan gejala ventrikulomegali disertai
peningkatan tekanan intraventrikel atau edema periventrikuler.5

2.2 Ensefalitis

2.2.1 Definisi
Ensefalitis adalah kondisi disfungsi neurologis yang cukup jarang, tetapi
serius, karena peradangan dari jaringan parenkim serebri. Istilah ensefalitis
mengacu pada peradangan otak parenkim, dan menyiratkan perlunya pemeriksaan
histopatologi untuk menentukan diagnosis. Berbagai macam etiologi infeksi dan
non-infeksi terkait dengan ensefalitis, meskipun penyebab pada lebih dari
setengah kasus tidak dapat dijelaskan meskipun dengan pemeriksaan ekstensif.
Presentasi awal ensefalitis pada anak termasuk kejang, sakit kepala, paresis,
kehilangan penglihatan, masalah pendengaran, dan perubahan perilaku. 2,4

Insiden tahunan ensefalitis adalah 5-10 kasus per 100.000 penduduk, lebih
sering terjadi pada anak-anak dan orang tua. Di negara industri, ensefalitis HSV
adalah yang paling sering terdiagnosis, dengan insiden 1 kasus per tahun 250.000-
500.000.8 Menurut Jain et al., 9 beberapa penelitian dilakukan di India, Kuwait
dan negara-negara Eropa melaporkan prevalensi yang tinggi ensefalitis
enterovirus, mencapai 22% di daerah endemis. Penyakit ini dapat dijumpai pada
semua umur mulai dari anak-anak sampai orang dewasa. Pada bayi dan anak kecil
,ensefalitis dapat terjadi akibat komplikasi dari meningitis bakterial (jarang pada
dewasa), otitis
media,mastoiditis, sinusitis. Anak dibawah 15 tahun, kejadian ensefalitis paling
sering terjadi karena frekuensi sinusitis dan mastoiditis masih tinggi.8,9

Lebih dari 100 agen infeksi berbeda telah dikaitkan menyebabkan


ensefalitis. Di antara agen ini, virus adalah etiologi yang paling banyak yang
sering diidentifikasi. Bakteri, jamur dan parasit juga bisa diidentifikasi sebagai
penyebab ensefalitis, tetapi lebih jarang daripada virus. Berdasarkan penyebabya,
ensefalitis dibedakan menjadi : Ensefalitis supurativa disebabkan oleh
Staphylococcus aureus, Streptococcus, E.coli dan M.tuberculosa, ensefalitis
syphilis yang disebabkan oleh Treponema pallidum, ensefalitis virus yang bisa
disebabkan karena virus (rabies, parotitis, morbili, zoster-varisella, herpes
simpleks, virus Epstein-barr, enterovirus dan AIDS), ensefalitis parasit yang
disebabkan karena malaria, toxoplasmosis, amoebiasis serta ensefalitis karena
fungi dan riketsia. Secara global, 3 penyebab paling umum dari ensefalitis infeksi
pada anak-anak adalah HSV, Varicella Zoster (VZV) dan enterovirus. Japanese
encephalitis virus (JEV) adalah penyebab paling penting dari ensefalitis virus di
Asia terutama pada anak-anak. Kebanyakan infeksi JEV ringan (demam dan sakit
kepala) atau tanpa gejala yang jelas, namun kira-kira 1 dari 250 infeksi
menyebabkan penyakit parah. Gejala sisa neurologis atau perilaku permanen
dapat terjadi di 30% -50% penderita ensefalitis tersebut. Penyebab lain ensefalitis
dapat berupa autoimun dengan subtipe acute disseminated encephalomyelitis
(ADEM), acute hemorrhagic leukoencephalopathy (AHLE), antibody-mediated
encephalitis.2,4,8,9

2.2.2 Diagnosis

a. Anamnesis

Pasien dengan gejala klasik ensefalitis virus datang dengan gejala demam
tinggi, sakit kepala, muntah, dan perubahan tingkat kesadaran, yang mungkin
terkait dengan tanda-tanda neurologis fokal. Pada anak-anak, diagnosis ensefalitis
mungkin lebih sulit. Iritabel, lesu, nafsu makan menurun adalah tanda peringatan
pertama. Bila berkembang menjadi abses serebri akan timbul gejala-gejala infeksi
umum dan muncul tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial seperti : nyeri
kepala yang kronik dan progresif,muntah, penglihatan kabur, kejang, kesadaran
menurun. Riwayat kontak hewan dapat membantu mengarahkan pengujian
terhadap virus rabies melalui gigitan hewan (terutama kelelawar, sigung). Riwayat
diet dapat membantu mengarahkan pengujian terhadap patogen yang ditularkan
melalui produk susu yang tidak dipasteurisasi, daging yang kurang matang,
makanan laut, atau sayuran tidak dicuci, seperti Angiostroingilus, Listeria
monocytogenes, Taenia. Juga perlu di tanyakan riwayat vaksinasi, yang
berhubungan dengan Measles, Poliovirus, Mumps.2,8,9

b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik harus mencakup penilaian tingkat kesadaran dan
mencari tanda-tanda awal kejang, meningismus, gerakan abnormal, kelemahan,
kehilangan sensorik, dan keterlibatan saraf kranial. Tanda-tanda vital harus
diperiksa, kulit harus diperiksa, dan saluran pencernaan, pernapasan dan
kardiovaskular juga harus dievaluasi. Adanya ruam atau lesi kulit lainnya,
limfadenopati atau hepatomegali mungkin merupakan petunjuk dari etiologi
ensefalitis. Tremor atau gerakan abnormal lainnya mungkin menunjukkan
keterlibatan ganglia basal, umum terjadi pada infeksi WNV atau toksoplasmosis.
Kelemahan ekstremitas atas dan fasikulasi mungkin akibat mielitis serviks yang
disebabkan arbovirus. Neuropati saraf kranial yang berhubungan dengan
ensefalopati onset demam akut disertai mioklonus dapat terjadi pada infeksi
enterovirus atau listeria. Ensefalitis yang dimediasi autoantibodi tidak disertai
adanya demam, perjalanan subakut, serta gangguan psikiatri dan kognitif yang
menonjol, dan gangguan gerakan. 2,5,8,9

Adanya ruam vesikuler harus di curigai adanya infeksi HSV, EV, dan VZV
sehingga perlu pemeriksaan lebih lanjut dengan PCR atau kultur virus dari usap
vesikel dengan CSF untuk memastikan diagnosis. Limfadenopati regional bisa
menjadi sugestif Bartonella henselae, sedangkan adenopati difus mungkin
memerlukan pengujian serologis terhadap virus sistemik seperti HIV, EBV, atau
CMV. Pemeriksaan oftalmologi dapat mendeteksi karakteristik retinitis atau pola
keratitis yang mungkin terjadi pada infeksi WNV, cytomegalovirus, atau
Bartonella henselae. Gejala pernapasan harus segera diuji untuk mengetahui
patogen pernapasan yang berhubungan dengan ensefalitis, termasuk virus
influenza, Mycoplasma pneumoniae, dan adenovirus, banyak di antaranya dapat
dinilai melalui pengujian PCR dari spesimen pernapasan. Parotitis paling sering
ditemukan dengan virus mumps. Hidrofobia dan hipersalivasi bersifat sugestif,
meskipun tidak sensitif terhadap ensefalitis akibat infeksi rabies.8,9

c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang dapat diusulkan dalam ensefalitis dalam kaitannya untuk
mencari penyebab, port d’ entre ataupun menemukan komplikasi dari ensefalitis
diantaranya adalah :

 Pemeriksaan cairan serobrospinal melalui lumbal pungsi (hati hati jika ada
peningkatan TIK). Pemeriksaan CSF memainkan peran sentral dalam
diagnosis ensefalitis dan harus dikumpulkan secepat mungkin kecuali
kontraindikasi secara klinis. LP sebaiknya dilakukan pada semua pasien
yang dicurigai ensefalitis viral. Eosinofilia pada CSF selalu merupakan
temuan abnormal dan harus segera dilakukan pengujian terhadap parasit
(mis. Angiostrogylus cantonensis, Taenia solium, Baylisascaris procyonis,
Toxocara canis / catis, Toxoplasma gondii, amoeba), tuberkulosis atau
jamur, jika pasien memiliki factor risiko pajanan.
 Pemeriksaan darah lengkap, kultur darah dan PCR untuk mendiagnosis
pasti penyebab bakteri dan uji sensitivitasnya.
 Pemeriksaan feses dan urin
 Pemeriksaan serologik darah (VDRL, TPHA)
 Pemeriksaan titer antibody
 Pemeriksaan BUN dan kreatinin , untuk mengetahui status hidrasi pasien
 Pemeriksaan liver function test , unutk mengetahui komplikasi pada organ
hepar atau menyesuaikan dosis obat yang diberikan.
 EEG, sangat sensitif, tetapi tidak spesifik, sangat penting pada pasien
dengan gejala kronis dan pada pasien dengan manifestasi psikiatri yang
jelas
 X-Ray thoraks untuk mendeteksi adanya focus infeksi seperti TB dan
Criptococcus
 CT-Scan dengan atau tanpa kontras perlu dilakukan pada semua pasien
ensefalitis. Pada toksoplasma ensefalitis terdapat gambaran nodular atau
ring enhancing lesion. Selain itu ring enhancing lesion juga berhubungan
dengan infeksi jamur, TB, dan Amoeba.
 MRI, lebih sensitif dari CT Scan. MRI adalah modalitas pilihan karena
sensitivitasnya yang tinggi terhadap karakteristik perubahan inflamasi
jaringan dari ensefalitis.2,4,5,8,9

Berdasarkan the International Encephalitis Consortium (IEC), yang


menetapkan diagnosis ensefalitis mengharuskan pasien untuk memenuhi Kriteria
Mayor : perubahan status mental berupa penurunan tingkat kesadaran, letargi, atau
perubahan kepribadian/psikiatri, lebih dari 24 jam, ditambah dengan beberapa
Kriteria Minor, jika di sertai dengan 2 kriteria minor maka possible ensefalitis,
jika di tambah 3 kriteria minor menjadi kasus Probable Ensefalitis, serta jika
disertai lebih dari 3 kriteria minor maka menjadi kasus Ensefalitis terkonfirmasi.
Kasus terkonfirmasi memerlukan konfirmasi patologis pada biopsi otak, bukti
adanya infeksi oleh mikroorganisme terkait dengan ensefalitis, atau bukti
laboratorium terkait kondisi autoimun dengan ensefalitis. Kriteria minor tersebut
adalah :

1. Demam yang didokumentasikan lebih dari atau sama dengan 38 ° C 72


jam sebelumnya atau setelah onset gejala;
2. Kejang parsial atau umum yang tidak dikaitkan kondisi kesehatan
sebelumnya;
3. Munculnya gejala neurologis fokal;
4. Hitung leukosit lebih besar dari atau sama dengan 5 / mm³;
5. Kelainan pada parenkim otak atau neuroimaging sugestif ensefalitis yang
tidak muncul sebelumnya atau onset akut;
6. Kelainan EEG yang konsisten dengan ensefalopati dan tidak dikaitkan
dengan penyebab lain.9

2.2.3 Tatalaksana

Penggunaan antibiotik secara empiris dan tindakan terapi suportif adalah


landasan terapi ensefalitis virus pada anak-anak dan remaja. Terapi suportif awal
termasuk stabilisasi kardiorespirasi, kontrol kejang, penggantian cairan,
keseimbangan elektrolitik, dukungan nutrisi, dan pencegahan infeksi nosocomial.
Penilaian Glasgow Coma Scale, meskipun tidak divalidasi untuk pasien non-
trauma, bisa sangat membantu dalam memantau tingkat kesadaran pasien. Tanda-
tanda status neurologis yang memburuk menunjukkan pemeriksaan pencitraan
baru untuk menilai ada tidaknya edema serebral, perdarahan, atau perubahan akut
lainnya. Pada pasien dengan klinis yang sulit untuk dibedakan meningitis
bakterial dari virus meningoencephalitis, antibiotik intravena (misalnya
vankomisin dan sefalosporin generasi ketiga pada dosis meningeal) harus segera
dimulai. Antibiotik seharusnya dimulai setelah pungsi lumbal dan kultur CSF
diperoleh.

Semua anak dengan dugaan ensefalitis harus dimulai dengan empiris


asiklovir intravena (20mg / kg / dosis setiap 8 jam untuk usia <3 bulan dan 10mg /
kg / dosis setiap 8 jam untuk usia> 3 bulan dengan fungsi ginjal normal) selama
menjalani evaluasi diagnostik untuk HSV. Jika pemeriksaan PCR HSV positif,
asiklovir harus dilanjutkan selama 21 hari. Pada akhir pengobatan, pungsi lumbal
harus diulangi. Jika tetap ada positif, terapi asiklovir harus dilanjutkan. Terapi
antibiotik empiris harus dimulai pada kasus dugaan meningitis atau sepsis. Pada
ensefalitis virus pediatrik, penggunaan terapi tambahan seperti glukokortikoid,
plasmaferesis, imunoglobulin intravena, interferon alfa, dan terapi hipotermia
secara rutin tidak dianjurkan. Dalam kasus ensefalitis autoimun, pengobatan
kortikosteroid digunakan pada ADEM, meskipun ada kekurangan bukti klinis
untuk ini. 2,8,9

Terapi berdasarkan penyebab :

Ensefalitis virus

 Pengobatan antivirus diberikan pada ensefalitis virus dengan


penyebab herpes zoster-varicella : 20mg / kg / dosis setiap 8 jam untuk
usia <3 bulan dan 10mg / kg / dosis setiap 8 jam untuk usia> 3 bulan

Ensefalitis supurativa

 Ampisillin 4 x 3-4 g per oral selama 10 hari.


 Cloramphenicol 4 x 1g/24 jam intra vena selama 10 hari.

Ensefalitis syphilis

 Penisillin G 12-24 juta unit/hari dibagi 6 dosis selama 14 hari


 Penisillin prokain G 2,4 juta unit/hari intra muskulat + probenesid 4 x
500 mg oral selama 14 hari. Bila alergi penicillin :
 Tetrasiklin 4 x 500 mg per oral selama 30 hari
 Eritromisin 4 x 500 mg per oral selama 30 hari
 Kloramfenikol 4 x 1 g intra vena selama 6 minggu
 Seftriaxon 2 g intra vena/intra muscular selama 14 hari.

Ensefalitis karena parasite

 Malaria serebral : Kinin 10 mg/KgBB dalam infuse selama 4 jam, setiap 8


jam
hingga tampak perbaikan.

Toxoplasmosis

 Sulfadiasin 100 mg/KgBB per oral selama 1


bulan Pirimetasin 1 mg/KgBB per oral
selama 1 bulan Spiramisin 3 x 500 mg/hari

Amebiasis

 Rifampicin 8 mg/KgBB/hari.

Ensefalitis karena fungi

 Amfoterisin 0,1- 0,25 g/KgBB/hari intravena 2 hari sekali


minimal 6 minggu
 Mikonazol 30 mg/KgBB intravena selama 6 minggu.

Riketsiosis serebri

 Cloramphenicol 4 x 1 g intra vena selama 10 hari


 Tetrasiklin 4x 500 mg per oral selama 10 hari 2,4,5,8
2.3 Malaria Serebral

2.3.1 Definisi

Malaria serebral adalah malaria berat dengan penurunan kesadaran, koma yang
tidak bisa dibangunkan, jika di nilai dengan skala dari Glasgow Coma Scale
(GCS) < 11, atau lebih dari 30 menit setelah serangan kejang yang tidak
disebabkan oleh
penyakit lain. Hampir semua malaria cerebral disebabkan Plasmodium
falsiparum (hampir 80 % kasus). Dan merupakan keadaan gawat darurat yang
harus segera ditangani.

2.3.2 Diagnosis

a. Anamnesis

Terdapat gejala malaria pada umumnya seperti demam tinggi (40ºC-


40,5ºC) yang terus-menerus, menggigil dan berkeringat, nyeri kepala yang hebat,
mialgia, badan letih dan lesu, mual muntah dan diare. Gejala pertama biasanya
muncul 10 sampai 15 hari setelah gigitan. Pada anak-anak dan pasien
imunosupresi, manifestasi pertama bias terjadi dalam 6 sampai 12 jam.
Hipotermia merupakan manifestasi yang jarang, tetapi dapat diamati pada kasus
syok. Manifestasi lain yang dilaporkan adalah: mual, muntah, sakit perut,
takikardia, artralgia, hepatosplenomegali. Gejala Neuropsikiatrik malaria serebral
umumnya diklasifikasikan menjadi tiga kelompok utama, yaitu:4,10,11

 Gambaran neuropsikiatrik yang menonjol pada fase akut seperti psikosis,


ataksia serebelar, bangkitan, gangguan ekstrapiramidal, dll.
 Sekuele malaria serebral seperti hemiparesis, paresis nervus-nervus
kranial, sindrom medula spinalis, gangguan serebelar, dan psikosis.
 Sindrom neurologis pascamalaria seperti ataksia serebelar, psikosis, dan
tremor11
Perlu di tanyakan riwayat berkunjung dan bermalam 1-4 minggu yang lalu
ke daerah endemic malaria, riwayat tinggal di daerah endemic malaria, riwayat
sakit malaria sebelumnya.10,11,12

b. Pemeriksaan Fisik

 Demam (T ≥ 37,5°C).
 Konjunctiva atau telapak tangan pucat.
 Pembesaran limpa (splenomegali).
 Pembesaran hati (hepatomegali)
 Pada tersangka malaria berat ditemukan tanda-tanda klinis sebagai berikut:
 Temperatur rektal ≥ 40°C.
 Nadi cepat dan lemah/kecil.
 Tekanan darah sistolik <70mmHg.
 Frekuensi nafas > 35 kali per manit pada orang dewasa atau >40 kali per
menit pada balita, anak dibawah 1 tahun >50 kali per menit.
 Penurunan derajat kesadaran dengan GCS <11.
 Manifestasi perdarahan: ptekie, purpura, hematom.
 Tanda dehidrasi: mata cekung, turgor dan elastisitas kulit berkurang, bibir
kering,
produksi air seni berkurang.
 Tanda-tanda anemia berat: konjunktiva pucat, telapak tangan pucat, lidah
pucat.
 Terlihat mata kuning atau ikterik.
 Adanya ronkhi pada kedua paru
 Pembesaran limpa dan atau hepar.
 Gagal ginjal ditandai dengan oliguria sampai dengan anuria.
 Gejala neurologik: kaku kuduk, reflek patologis.4,10,11,12

Meskipun manifestasi klinis malaria serebral sangat beragam, namun hanya


terdapat 3 gejala terpenting, baik pada anak dan dewasa, yaitu:
1. Gangguan kesadaran dengan demam non-spesifik
2. Kejang umum dan sekuel neurologic
3. koma menetap selama 24 – 72 jam, mula-mula dapat dibangunkan,
kemudian tak dapat dibangukan.4,11

Kriteria diagnosis lain untuk Malaria Serebral :

1. Kondisi kesadaran atau koma yang berubah (skala GCS pada orang
dewasa atau Blantyre Pada anak-anak). Jika terjadi dengan atau tanpa
kejang, koma akan terus berlanjut selama sekitar 6 jam setelah episode
kejang.
2. Pengecualian terhadap ensefalopati lain atau kondisi yang mirip dengan
klinis malaria serebral (mis. Spectrum ensefalitis, ensefalopati metabolik,
ensefalopati septik, lesi desak ruang intrakranial, toksisitas, dan trauma)
3. Positif terhadap stadium aseksual Plasmodium falciparum dalam hapusan
darah tebal.10

c. Pemeriksaan penunjang

Diagnosis pasti ditemukan adanya parasitemia dalam preparat darah hapus


yakni pemeriksaan sediaan darah tebal dan tipis. Dapat juga dengan tes diagnostic
cepat (Rapid Diagnostic Test) dan tes serologi. Kemudian dapat diusulkan
pemeriksaan dalam diagnosa penurunan kesadaran yaitu :

1. Pemeriksaan Darah rutin (Hb, hitung trombosit, leukosit)


2. Analisa kimia / toksikologi darah dan urine;
3. CT scanning / MRI; untuk menyingkirkan diagnosis lainnya
4. Pemeriksaan Elektro Ensefalografi (EEG);
5. Pemeriksaan cairan serebrospinal, Pungsi lumbal dan analisis CSS
bermanfaat terutama untuk menyingkirkan diagnosis banding seperti
infeksi otak. Pemeriksaan ini perlu dikerjakan jika kita mendiagnosis
banding malaria serebral dengan infeksi otak.
6. Pemeriksaan fungsi liver dan ginjal
7. Pemeriksaan elektrolit
8. Pemeriksaan GDS4,10,11,12

2.2.3 Tatalaksana

Malaria serebral merupakan keadaan darurat medis yang menuntut


penilaian klinis dan pengobatan secepatnya. Tujuan utama pengobatan adalah
untuk mencegah kematian dan tujuan sekundernya adalah pencegahan cacat dan
pencegahan kambuh. Kematian malaria serebral yang tidak diobati diperkirakan
mendekati 100%. Dengan pengobatan antimalaria dan perawatan suportif yang
cepat,, angka kematian turun menjadi 15-20% secara keseluruhan.4,11

Pengobatan andalan malaria serebral adalah dimulainya pengobatan


antimalaria parenteral. Obat yang tersedia adalah artesunat, kina dan artemeter.
Memiliki klorokuin IV menjadi jarang di gunakan di Asia karena sebagian besar
sudah resisten terhadap obat ini. 4,11

Artesunate & Artemether :

 Artesunate: 2,4 mg/kg ( Loading dose ) IV, selanjutnya


1,2 mg/kg setelah 12 jam, kemudian 1,2 mg/kg/hari selama 6
hari, jika pasien dapat makan, obat dapat diberikan oral
 Artemether: 3,2 mg/kg ( Loading dose ) IM pada hari I selanjutnya 1,6
mg/kg/hari (biasanya diberikan 160 mg dilanjutkan dengan 80 mg) sampai
pasien dapat makan, obat dapat diberikan oral dengan kombinasi Artesunat
dan Amodiaquin selama 3 hari. 4,10
Kina:
 Loading dose: Kina dihidrokhlorida 20 mg / kg BB diencerkan dalam 10
ml/kg BB (2mg/ml) dektrose 5% atau dalam infuse dektrose dalam 4 jam.
 Dosis Maintenen : Kina dihidrokhlorida 10 mg /kgBB diencerkan dalam
10 ml/kg BB (1mg/ml ) dektrose 5 % ,pada orang dewasa dosis dapat
diulang tiap 8 jam dan pada anak- anak tiap 2 jam, diulang tiap 12 jam,
sampai pasien dapat makan.
 Kina oral: Kina sulfat 10 mg /kg, tiap 8 jam sampai 7 hari, (dapat di
kombinasikan dengan klindamicin) 4,10
Sayangnya, pengobatan malaria serebral tidak berakhir dengan pembersihan
parasite dengan antimalaria. Gambaran klinis malaria cerebral mungkin bertahan
atau bahkan menjadi lebih buruk setelah parasite di bersihkan dari darah dengan
berbagai komplikasinya seperti bisa terjadi gagal ginjal akut, cedera paru akut,
dll. Sehingga terapi suportif terapi diperlukan. Telah diamati bahwa sebagian
besar kematian malaria serebral terjadi dalam 24 jam pertama rawat inap,
meskipun antimalaria efektif. 10
Jalan nafas harus di jaga pada pasien yang tidak sadar dan pernapasan dan
sirkulasi dipertahankan. Koreksi segera hipoglikemia (jika ada) dengan dekstrosa
IV. Kadar bikarbonat atau laktat vena harus diukur termasuk pH arteri dan
langkah-langkah yang harus diambil untuk memperbaiki Asidosis. Penilaian
keseimbangan cairan sangat penting dalam malaria serebral. Gangguan
pernapasan, dalam khususnya dengan pernapasan asidosis pada anak-anak yang
sangat anemia, sering menunjukkan hipovolemia dan membutuhkan rehidrasi
segera, dan, jika diindikasikan, dilakukan transfusi darah. Dosis fenobarbital yang
lebih tinggi dibutuhkan untuk mencegah kejang pada anak-anak. Jika ada bukti
edema serebral, larutan manitol 20% harus diinfuskan. Pada beberapa pasien,
Antibiotik spektrum luas diperlukan seiring dengan terjadinya septicemia.4,10,11,12

2.4 Toxoplasmosis Kongenital


2.4.1 Definisi
Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Toxoplasma
gondii, merupakan penyakit parasit pada hewan yang dapat ditularkan ke manusia.
Parasit ini termasuk golongan protozoa yang bersifat parasit obligat intraseluler.
Infeksi toksoplasmosis saat hamil dapat menyebabkan abortus spontan atau anak
yang dilahirkan mengalami kelainan kongenital seperti hidrosefalus, iridosiklisis,
dan retardasi mental. Sekitar 85 persen wanita usia produktif di Amerika Serikat
mengalami infeksi akut parasit Toxoplasma gondii. Insidens toksoplasmosis
kongenital tergantung proporsi wanita hamil yang terinfeksi toksoplasma selama
kehamilan. Estimasi infeksi kongenital di Amerika Serikat berkisar antara 1 per
3000 sampai 1 per 10.000 kelahiran.13,14

2.4.2 Diagnosis

a. Manifestasi Klinis

Trias klasik toksoplasmosis kongenital meliputi korioretinitis, kalsifikasi


intrakranial, dan hidrosefalus. Tanda dan gejala toksoplasmosis kongenital lainnya
meliputi abnormalitas cairan spinal, anemia, kejang, demam, tuli, gangguan
pertumbuhan, hepatomegali, jaundice, gangguan pembelajaran, limfadenopati,
ruam makulopapular, retardasi mental, mikrosefali, spastisitas, splenomegali,
trombositopenia, dan gangguan penglihatan. Sebagian besar bayi yang terinfeksi
intrauterin lahir dengan gejala tidak khas, lebih dari 80% berkembang menjadi
gangguan penglihatan, pendengaran, perkembangan, dan IQ yang lebih rendah
pada masa anak-anak. 13,14

b. Pemeriksaan Fisik

Klasifikasi toksoplasmosis kongenital (Desmonts dan Couvreur):

 Anak dengan kelainan neurologis, seperti : Hidrosefalus, mikrosefalus,


makroftalmus dengan atau tanpa retinokoroiditis. Gejala mungkin timbul
saat dilahirkan atau di kemudian hari.
 Anak dengan kelainan berat, penyakit generalisata, seperti :
Eksantematusmakulo papular , purpura, pneumonia, jaundice berat,
hepatosplenomegali; mungkin juga uveitis dan pembesaran ventrikuler.
 Anak dengan kelainan sedang dan tanda infeksi pre-natal, seperti :
Hepatosplenomegali dan jaundice dengan atau tanpa trombositopenia atau
gejala non-spesifik
 Anak dengan infeksi subklinis13,14

c. Pemeriksaan Penunjang

Beberapa metode diagnosis toksoplasmosis kongenital antara lain deteksi


respons imunitas humoral spesifik Toxoplasma, amplifikasi DNA Toxoplasma,
identifikasi antigen spesifik Toxoplasma pada jaringan, dan isolasi parasit. Selama
kehamilan, adanya parasit dalam cairan amnion (amplifikasi DNA, mikroskopi,
atau isolasi organisme) atau jaringan fetus (amplifikasi DNA, pewarnaan antigen,
mikroskopi, atau isolasi organisme) dapat mendiagnosis toksoplasmosis
kongenital. Metode diagnosis yang paling sering untuk toksoplasmosis kongenital
selama kehamilan adalah PCR dalam cairan amnion; hasil tes positif
mendiagnosis toksoplasmosis kongenital.

Pada periode post-natal, baku emas penegakan diagnosis toksoplasmosis


kongenital adalah IgG Toxoplasma persisten hingga usia 12 bulan. Sedangkan,
kriteria eksklusi diagnosis toksoplasmosis kongenital yaitu dengan adanya
penurunan titer IgG Toxoplasma yang menghilang dalam usia 12 bulan. 13,14

2.4.3 Tatalaksana

Terapi toksoplasmosis kongenital dapat dilakukan pada periode pre-natal


dan postnatal. Terapi pre-natal bertujuan untuk mencegah transmisi infeksi
maternal ke fetus, sedangkan tujuan terapi post-natal adalah untuk mengobati
infeksi pada bayi yang positif terdiagnosis toksoplasmosis kongenital. Terapi
post-natal berfungsi untuk mengurangi risiko retinokoroiditis. Penelitian-
penelitian terkait terapi toksoplasmosis kongenital masih jarang dilakukan. Pada
sebuah studi kohort oleh Phan, dkk. tahun 2008, tidak mendapatkan perbedaan
signifikan risiko retinokoroiditis hingga usia 3 tahun pada anak yang diterapi post-
natal dengan anak yang diterapi postnatal dan pre-natal.5 Pirimetamin dan
sulfadiazin oral untuk
toksoplasmosis kongenital digunakan selama 1 tahun; dosis pirimetamin oral yang
dianjurkan adalah 0,5 – 1 mg/kgBB, sedangkan dosis sulfadiazin adalah 100
mg/kgBB. 13,14
BAB III
KESIMPULAN
 Meningitis suatu peradangan yang mengenai piameter (lapisan dalam
selaput otak) dan arakhnoid yang membungkus jaringan otak dan medula
spinalis dan penyebab paling sering adalah virus dan bakteri.
 Seorang pasien dicurigai menderita meningitis jika terdapat gejala-gejala
klasik meningitis, yakni demam, sakit kepala dan leher kaku. Diagnosis
pasti meningitis adalah pemeriksaan cairan serebrospinal melalui pungsi
lumbal.
 Tatalaksana meningitis berupa tatalaksana umum dan pemberian
antibitoik. Pemberian antibiotik harus tepat dan cepat sesuai dengan
bakteri penyebabnya. Pemberian initial antibiotik secara empiric
(empirical antimicrobial) dapat diberikan tanpa harus menunggu hasil
kultur cairan serebrospinal.
 Ensefalitis adalah kondisi disfungsi neurologis serius akibat peradangan
dari jaringan parenkim serebri dengan virus adalah etiologi yang paling
banyak
 Presentasi awal ensefalitis pada anak termasuk kejang, sakit kepala,
paresis, kehilangan penglihatan, masalah pendengaran, dan perubahan
perilaku.
 Penggunaan antibiotik secara empiris dan tindakan terapi suportif adalah
landasan terapi ensefalitis virus pada anak-anak dan remaja.
 Malaria serebral adalah malaria berat dengan penurunan kesadaran, koma
yang
tidak bisa dibangunkan dan merupakan keadaan gawat darurat yang harus
segera ditangani.
 Diagnosis pasti ditemukan adanya parasitemia dalam preparat darah hapus
yakni pemeriksaan sediaan darah tebal dan tipis.
 Pengobatan andalan malaria serebral adalah dimulainya pengobatan
antimalaria parenteral dengan artesunat, kina dan artemeter.
 Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii
 Trias klasik toksoplasmosis kongenital meliputi korioretinitis, kalsifikasi
intrakranial, dan hidrosefalus.
 Metode diagnosis yang paling sering untuk toksoplasmosis kongenital
selama kehamilan adalah PCR dalam cairan amnion. Pada periode post-
natal, baku emas penegakan diagnosis toksoplasmosis kongenital adalah
IgG Toxoplasma persisten hingga usia 12 bulan.
Daftar Pustaka

1. Singhi, Pratibha. Central Nervous System Infections in Children: An


Ongoing Challenge. Pediatric Neurology and Neurodevelopment,
Medanta, The Medicity, Gurgaon, Haryana, India. The Indian Journal of
Pediatrics (January 2019) 86(1):49–51.
2. Prober Charles G., Nivedita S. Srinivas, and Roshni Mathew. Central
Nervous System Infections in Kliegman, Robert et al. Editor. Nelson
Textbook of Pediatric. 20th Ed. Philadelphia : Elsevier. 2016. Halaman
2469 – 2480.
3. Hasbun, Rodrigo MD, et al. Meningitis. Medscape. 2019. Diakses pada
tanggal 8 Agustus 2020 dari URL :
https://emedicine.medscape.com/article/232915-overview
4. Tursinawati, Yanuarita, Arif Tajally, Arum Kartikadewi. Buku Ajar
Sistem Syaraf. Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Semarang. 2015. Halaman 2 – 19
5. Pudjiadi, Antonius dkk. Editor. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter
Anak Indonesia. 2009. Halaman 67 – 70, 189 – 192
6. Douglas, Swanson MD. Meningitis. University of Missouri, Kansas City;
Division of Infectious Diseases, Children’s Mercy Hospitals and Clinics,
Kansas City. American Academy of Pediatrics. Volume 36, Nomor 12.
Desember 2015.
7. Incesu, Lutfi, MD et al. Bacterial Meningitis Imaging. Medscape. 2019.
Diakses pada tanggal 8 Agustus 2020 dari URL :
https://emedicine.medscape.com/article/341971-overview
8. Messacar, Kevin, MD et al. Encephalitis in US Children. Dept of
Pediatrics, University of Colorado/Children’s Hospital Colorado. USA.
Infect Dis Clin North Am. 2018 March ; 32(1): 145–162
9. Coelho, Alexsandra et al. Chilhood Encephalitis. The University Center
Maurício De Nassau, Recife, Pernambuco, Brasil. Journal of Pediatric
and Neonatal Care. 2019;9(5):134‒137.
10. Islam, M M Z & M M Rahman. Cerebral Malaria in Children : An
Update. Dept. of Pediatric Infectious Diseases & Community Pediatrics
Dhaka Shishu (Children) Hospital, Bangladesh. Volume 6, Number 2,
January 2015.
11. Valentim, Marta. Cerebral Malaria. Internal Medicine Department,
Hospital Distrital de Santarém, Portugal. Journal of Neurology. Volume 8,
Issue 4, 2018.
12. Mawuntu, Arthur H.P. Malaria Serebral. Bagian/KSM Neurologi Fakultas
Kedokteran Universitas Sam Ratulangi/RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou
Manado, Sulawesi Utara, Indonesia. Jurnal Sinaps, Vol. 1 No. 3 (2018),
hlm. 1-21.
13. Aryani, I Gusti Ayu Dwi. Toksoplasmosis Kongenital Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar, Bali, Indonesia. CDK-255/
vol. 44 no. 8 th. 2017.
14. Helieh. Fetomaternal and Pediatric Toxoplasmosis. Department of
Physiology and Internal Medicine, University of Kentucky Medical
Center, Lexington, KY, United States. J Pediatr Infect Dis. 2017
December ; 12(4): 202–208.

Anda mungkin juga menyukai