Anda di halaman 1dari 42

Presentasi Kasus Kecil

SEORANG LAKI- LAKI USIA 66 TAHUN DENGAN VOMITUS


FREQUENT, CAP CURB 65 SKOR 2, HIV STAGE III DENGAN ORAL
KANDIDIASIS ORAL, ANEMIA NORMOSITIK NORMOKROMIK EC
PENYAKIT KRONIS, HIPERTENSI STAGE I

Oleh:
Hellena Hildegard G991902028

Pembimbing Residen

dr. Tisha
dr. Sienny Linawati M.Sc Sp.PK

BAGIAN PATOLOGI KLINIK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus Kecil Ilmu Penyakit Dalam dengan judul:

SEORANG LAKI- LAKI USIA 66 TAHUN DENGAN VOMITUS


FREQUENT, CAP CURB 65 SKOR 2, HIV STAGE III DENGAN
KANDIDIASIS ORAL, ANEMIA NORMOSITIK NORMOKROMIK EC
PENYAKIT KRONIS, HIPERTENSI STAGE I

Oleh:

Hellena Hildegard G991902028

Telah dipresentasikan pada tanggal:

dr. Sienny Linawati M.Sc Sp.PK


I. ANAMNESIS
A. Identitas Penderita
Nama : Tn. S
Umur : 66 tahun
Jenis kelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
Alamat : Grogol, Sukoharjo
No. RM : 014784**
Pekerjaan : Tukang Becak
Suku : Jawa
Status : Sudah menikah
Tanggal masuk RS : 01 Oktober 2019
Tanggal pemeriksaan : 02 Oktober 2019

B. Data Dasar
Autoanamnesis, alloanamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan di Flamboyan 8 Kamar
03A RSUD DR. Moewardi, Surakarta.

Keluhan Utama
Muntah sejak 1 hari SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien dirawat di RSDM dengan keluhan muntah sejak 1 hari SMRS. Muntah
sebanyak 10 kali, dirasakan setiap kali pasien makan, pasien muntah berupa sisa makanan,
tidak diapatkan adanya darah/bercak kemerahan. Setiap kali muntah sebanyak kurang
lebih 1 gelas belimbing. Pasien juga mengeluh lemas, lemas dirasakan sejak 1 minggu
SMRS, dirasakan terus-menerus, tidak membaik dengan istirahat maupun pemberian
makanan. Pasien juga mengeluhkan nafsu makan menurun. Penurunan juga merasa berat
badannya turun.
Pasien juga mengeluh batuk berdahak sejak 1 minggu SMRS, dirasakan hilang
timbul, memberat saat pasien kelelahan. Batuk berdahak berwarna putih kental. Batuk
disertai demam yang dirasakan naik turun. Demam dirasakan terutama pada malam hari,
berkurang dengan pemberian obat penurun panas namun keluhan muncul kembali. Tidak
didapatkan keluhan diare dan sesak napas.
Pasien BAK 5-6 kali sehari. Setiap BAK sebanyak ½-1 gelas belimbing, tidak
didapatkan darah maupun nyeri saat BAK. Pasien BAB sebanyak 1 kali sehari. Setiap
BAB Berwarna cokelat, tidak didapatkan bercak darah/lender, tidak didaptakan nyeri saat
BAB dan riwayat BAB hitam.
Pasien sebelumnya memeriksakan diri ke puskesmas dengan keluhan serupa dan
dilakukan pemeriksaan didapatkan positif B20. Pasien belum pernah mendapat terapi
ARV sebelumnya. Pasien mengakui memiliki riwayat HT dan sariawan lama lebih dari 1
bulan serta menyangkal memiliki DM, asma dan alergi sebelumnya.

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat sakit serupa Disangkal
Riwayat mondok Disangkal
Riwayat transfusi Disangkal
Riwayat operasi Disangkal
Riwayat sakit keganasan Disangkal
Riwayat sakit kuning Disangkal
Riwayat sakit paru Disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga


Penyakit Keterangan
Istri pasien meninggal 3 tahun yang lalu
Riwayat sakit serupa
dengan keterangan positif B20
Riwayat darah tinggi Disangkal
Riwayat kencing manis Disangkal
Riwayat alergi Disangkal
Riwayat keganasan Disangkal
Riwayat asma Disangkal
Pohon keluarga pasien:

Tn.S

Riwayat kebiasaan
Pola makan Pasien makan 2-3 kali sehari dengan porsi
sedang. Minum 4-5 kali sebanyak satu gelas
sedang setiap minum.
Merokok (+) selama 10 tahun dengan rata – rata 1/2
bungkus / hari : ( IB : 10 x 6 = 60 )
Seks Bebas Pasien mengaku pernah berhubungan dengan
PSK
Alkohol Disangkal
Jamu/obat tradisional Disangkal

Riwayat sosial ekonomi


Pasien saat ini merupakan tukang becak, pasien sudah menikah memiliki 3 orang
anak, pasien tinggal hanya bersama anaknya, pasien berobat menggunakan fasilitas BPJS.

II. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 02 Oktober 2019 dengan hasil sebagai berikut:
1. Kesan Umum
Tampak lemas, GCS E4V5M6 composmentis.
12 Jantung :
a. Inspeksi : Ictus kordis tak tampak
2. Tanda Vital b. Palpasi : Ictus kordis teraba di SIC V LMC (S), thrill (-)
a. Tekanan Darah : c.150/90 mmHg lengan
Perkusi : kanan, posisi supine
b. Nadi : 104Batas
kali/menit regular
Jantung
c. Frekuensi nafas : 20 Kanan
kali/menit pernapasan
: SIC IIIthorako-
linea parasternalis dextra
Kiri
abdominal : SIC V linea midclavicula sinistra
d. Suhu : 37.1Pinggang
0
C per axilla : SIC III linea parasternalis sinistra
Kesan : Batas jantung kesan tidak melebar
e. Saturasi O2 : d.99% NK 3 LPM
Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni, intensitas normal,
reguler, gallop (-), murmur (-).
3. Status Gizi 13 Pulmo :
a. Berat Badan : 60 kg
b. Tinggi Badan . : 160 cm
c. IMT : 23.4A.kg/m
Anterior
2

Inspeksi
d. Kesan 1. Statis
: Normoweight : Normochest, simetris . luka (-), venetaksis (-) ,
4. Kulit : Kulit berwarna putih langsat, benjolan
turgor (-)menurun (-),, retraksi (-),
, sikatrik (-)
hiperpigmentasi2. bekas
Dinamis : Pengembangan
garukan gatal (-), keringhemithorak
(+), kanan sama dengan
hemitorak
teleangiektasis (-), petechie (-), ikterik (-),bagian
ekimosiskiri ,(-),
retraksi intercostal (-)
Palpasi : Pengembangan hemithoraks kanan sama dengan
sikatrik (-)
5. Kepala : Bentuk mesocephal, rambut mudah hemitorak
rontokkiri,
(-), nyeri
luka tekan
(-), (-), massa (-), fremitus
atrofi m. Temporalis (-) raba kanan sama dengan fremitus raba kiri
6. Mata Perkusi
: Mata cekung (-/-), konjungtiva pucat (+/+), sklera ikterik
1. Kanan : Sonor
(-/-), perdarahan subkonjugtiva
2. Kiri : (-/-),
Sonorpupil isokor dengan
diameter (3 mm/3Auskultasi
mm), reflek cahaya (+/+), edema palpebra
1. Kanan : Suara dasar : vesikuler,
(-/-), strabismus (-/-), katarak (-/-), eksoftalmus (-/-)
7. Telinga : Sekret (-/-), darah (-/-),nyeri tekanSuarapada tambahan
tragus (-/-),: nyeri
wheezing (-), ronkhi basah
tekan mastoid (-/-), Chvostek sign (-) kasar (+) , ronkhi basah halus (-)
8. Hidung : Nafas cuping hidung (-), sekret (-) Suara dasar : vesikuler,
2. Kiri :
9. Mulut : Bibir pucat (-), mukosa kering (-), sianosis (-), gusi berdarah
Suara tambahan : wheezing (-), ronkhi basah
(-), papil lidah atrofi (-), oral thrush (+), karies
kasar gigi (-)
(+) , ronkhi basah halus (-)
10 Leher : JVP R+2 cmH2O, pembesaran kelenjar tiroid (-),
. pembesaran kelenjar getah bening leher submandibular
dan subklavikula bilateral (+), distensi vena-vena leher (-)
11 Thorax : Bentuk normochest, simetris, pengembangan dada kanan
. sama dengan pengembangan dinding dada kiri , retraksi
intercostal (-), pernafasan thorako-abdominal , sela iga
melebar (-), pembesaran limfonodi axilla (-/-)
B. Posterior
Inspeksi :

III. 1.Statis: Normochest, simetris . luka (-), venetaksis (-) , Pemeri


benjolan (-) , sikatrik (-) , retraksi (-), ikterik (-)
ksaan
2Dinamis : Pengembangan hemithorak kanan sama dengan
hemitorak bagian kiri , retraksi intercostal (-)
Palpasi: Pengembangan hemithoraks kanan sama dengan
hemitorak kiri, nyeri tekan (-), massa (-), fremitus
raba kanan sama dengan fremitus raba kiri
Perkusi: 1.Kanan: Sonor
2.Kiri: Sonor
Peranjakan Diafragma : diafragma terangkat
simetris 5-6 cm saat inspirasi penuh
Auskultasi:
1.Kanan: Suara dasar : vesikuler,
Suara tambahan : wheezing (-), ronkhi basah
kasar (+) , ronkhi basah halus (-)
2.Kiri: Suara dasar : vesikuler,
Suara tambahan : wheezing (-), ronkhi basah
kasar (+) , ronkhi basah halus (-)
14 Abdomen
.
a. Inspeksi : Dinding perut sama tinggi dengan dinding thorax,
venektasi (-), sikatrik (-), striae (-),
b. Auskultasi : Bising usus (+) 10 x / menit, bruit hepar (-)
c. Perkusi : Timpani, pekak alih (-), undulasi (-)
d. Palpasi : Supel, hepar ( 10cm/ 6cm) kesan tidak membesar
permukaan rata , konsistensi kenyal padat , tepi
tajam , nyeri tekan pada hepar (-) dan lien tidak
teraba , nyeri tekan epigastrium (-), nyeri ketok
ginjal (-/-), nyeri tekan kandung kemih (-).
15 Ekstremitas
.
Superior Ka/Ki : Oedem (-/-), sianosis (-/-), pucat (-/-), akral dingin
(-/-), ikterik (-/-), luka (-/-), kuku pucat (-/-), spoon
nail (-/-), clubing finger (-/-), flat nail (-/-), nyeri
(-/-), deformitas (-/-), CRT < 2”
Inferior Ka/Ki : Oedem (+/+), sianosis (-/-), pucat (-/-), akral dingin
(-/-), ikterik (-/-), luka (-/-), kuku pucat (-/-), spoon
nail (-/-), clubing finger (-/-), flat nail (-/-), nyeri
(-/-), deformitas (-/-), CRT < 2”
Penunjang

A. Hasil Laboratorium Darah (30 September 2019) di Puskesmas Grogol Sukoharjo.

B. Hasil Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan


Hematologi Rutin
Hemoglobin 10.1 g/dL 13.5-17.5
Hematokrit 30 % 33 – 45
Leukosit 4.0 ribu/µl 4,5 – 11.0
Trombosit 127 ribu/µl 150 – 450
Eritrosit 3.6 juta/µl 4.50 – 5.90
Imonulogi/Serologi
HIV Reaktif Non-reaktif
Laboratorium Darah (01 Oktober 2019) di RSUD Dr. Moewardi, Surakarta.

Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan


Hematologi Rutin
Hemoglobin 9.3 g/dL 13.5-17.5
Hematokrit 30 % 33 – 45
Leukosit 6.0 ribu/µl 4,5 – 11.0
Trombosit 126 ribu/µl 150 – 450
Eritrosit 3.46 juta/µl 4.50 – 5.90
Indeks Eritrosit
MCV 87.7 µm 80.0 – 96.0
MCH 26.9 Pg 28.0 – 33.0
MCHC 30.7 g/dl 33.0 – 36.0
RDW 15.2 % 11.6 – 14.6
MPV 10.0 Fl 7.2 – 11.1
PDW 17 % 25 – 65
Hitung Jenis
Eosinofil 2.00 % 0.00 – 4.00
Basofil 0.30 % 0.00 – 2.00
Netrofil 67.20 % 55.00 – 80.00
Limfosit 20.40 % 22.00 – 44.00
Monosit 10.10 % 0.00 – 7.00
Kimia Klinik
Glukosa Darah 121 mg/dl 60 – 140
Sewaktu
SGOT 32 u/l <31
SGPT 21 u/l <34
Kreatinin 1.6 mg/dl 0.6 – 1.1
Ureum 54 mg/dl <50
Albumin 3.6 g/dl 3.5 - 5.2
Elektrolit
Natrium darah 137 mmol/L 136 –145
Kalium darah 4.0 mmol/L 3.3-5.1
Kalsium Ion 1.09 mmol/L 1.17 – 1.29
Serologi
HBsAg Non-reaktif Non-Reaktif
C. Hasil Roentgen Thorax AP (02 Oktober 2019) di RSUD Dr. Moewardi, Surakarta.

Hasil bacaan:
- inspirasi kesan kurang
- Trakhea di tengah
- Cor: Ukuran membesar dengan CTR 60% (kesan Kardiomegali)
- Pulmo : Tampak infiltrat disertai airbronchogram di perihilar bilateral
- Sinus costophrenicus kanan dan kiri tajam
- hemidiafragma kanan dan kiri normal
- Sistema tulang baik
Kesimpulan:
- Pneumonia
- Kesan kardiomegali
IV. RESUME
1. Keluhan utama:
Muntah sejak 1 hari SMRS
2. Anamnesis:
Riwayat Penyakit Sekarang
 Pasien muntah sejak 1 hari SMRS. Muntah sebanyak 10 kali,
dirasakan setiap kali pasien makan, pasien muntah berupa sisa
makanan. Setiap kali muntah sebanyak kurang lebih 1 gelas
belimbing.
 Pasien juga mengeluh lemas, lemas dirasakan sejak 1 minggu
SMRS, dirasakan terus-menerus, tidak membaik dengan istirahat
maupun pemberian makanan.
 Pasien juga mengeluh batuk berdahak sejak 1 minggu SMRS,
dirasakan hilang timbul, memberat saat pasien kelelahan. Batuk
berdahak berwarna putih kental.
 Pasien juga mengeluh demam yang dirasakan naik turun. Demam
dirasakan terutama pada malam hari, berkurang dengan pemberian
obat penurun panas namun keluhan muncul kembali.
 Pasien positif B20, belum pernah mendapat terapi ARV
sebelumnya.
Riwayat Penyakit Dahulu
-
Riwayat Penyakit Keluarga
 Istri pasien meninggal 3 tahun yang lalu dengan keterangan B20.
Riwayat Sosial Ekonomi dan kebiasaan
Pasien saat ini merupakan tukang becak, pasien sudah menikah memiliki 3
orang anak, pasien tinggal hanya bersama anaknya, pasien berobat
menggunakan fasilitas BPJS.
3. Pemeriksaan fisik:
● KU: Tampak lemas, GCS E4V5M6 composmentis
● Vital sign: Tekanan darah 150/90 mmHg, RR 20x/ menit, HR
104x/menit, suhu 37.10C saturasi O2 99% NK 4 LPM
● Hasil Pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva anemis, oral trush,
pembesaran kelenjar getah bening submandibula dan supraklavikula leher
bilateral dan rhonki basah kasar pada auskultasi kedua lapang paru
● Skor hidrasi (Daldiyono) : -1
4. Pemeriksaan penunjang:
A. Laboratorium darah
- Hematologi rutin : Hemoglobin 9.3 g/dl (↓), Hematokrit 30% (↓),
Trombosit 126.000/ul (↓)
- Imunologi/Serologi : Anti-HIV reaktif
B. Rontgen Thorax AP : Pneumonia dan kesan kardiomegali ( CTR 60%).

V. DIAGNOSIS ATAU PROBLEM


1. Vomitus Frequent
2. CAP CURB 65 skor 2
3. HIV stadium III dengan kandidiasis oral
4. Anemia normokromik normositik ec penyakit kronis
5. Hipertensi stage I

VI. Tatalaksana
- Bed rest tidak total
- Diet TKTP 1700 kkal
- Inf. RL 20 tpm
- inj. Metoclopramide 10 mg/8jam
- Inj. Levofloksasin 750 mg/24jam
- NAC 200 mg/8jam
- Paracetamol 500 mg k/p
- Candistatin 1 ml dalam 200cc air dikumur 3 kali sehari
- Amlodipin tablet 10 mg/24jam
BAB II
ANALISIS KASUS

1. HIV /AIDS
A. Definisi
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala atau penyakit
yang diakibatkan karena penurunan kekebalan tubuh akibat adanya infeksi oleh
Human Imunodeficiency Virus (HIV) yang termasuk famili retroviridae. AIDS
merupakan tahap akhir dari infeksi HIV.2

B. Etiologi
HIV adalah suatu virus RNA berbentuk sferis yang termasuk retrovirus dari famili
Lentivirus. (Gambar 1). Strukturnya tersusun atas beberapa lapisan dimana lapisan
terluar (envelop) berupa glikoprotein gp120 yang melekat pada glikoprotein gp41.
Selubung glikoprotein ini berafinitas tinggi terhadap molekul CD4 pada permukaan
T-helper lymphosit dan monosit atau makrofag. Lapisan kedua di bagian dalam terdiri
dari protein p17. Inti HIV dibentuk oleh protein p24. Di dalam inti ini terdapat dua
rantai RNA dan enzim transkriptase reverse (reverse transcriptase enzyme).5

Gambar 1: struktur virus HIV-1

Ada dua tipe HIV yang dikenal yakni HIV-1 dan HIV-2. Epidemi HIV global
terutama disebabkan oleh HIV-1 sedangkan tipe HIV-2 tidak terlalu luas
penyebarannya. Tipe yang terakhir ini hanya terdapat di Afrika Barat dan beberapa
negara Eropa yang berhubungan erat dengan Afrika Barat.5
C. Metode Penularan

Tabel 1 : Risiko penularan HIV dari cairan tubuh


.
Risiko tinggi Risiko masih sulit Risiko rendah selama
ditentukan tidak terkontaminasi
darah
Darah, serum Cairan amnion Mukosa seriks
Semen Cairan Muntah
Sputum serebrospinal Feses
Sekresi vagina Cairan pleura Saliva
Cairan peritoneal Keringat
Cairan perikardial Air mata
Cairan synovial Urin
Sumber : Djauzi S, 2002

Infeksi HIV terjadi melalui tiga jalur transmisi utama yakni transmisi melalui
mukosa genital (hubungan seksual) transmisi langsung ke peredaran darah melalui
jarum suntik yang terkontaminasi atau melalui komponen darah yang terkontaminasi,
dan transmisi vertikal dari ibu ke janin. CDC pernah melaporkan adanya penularan
HIV pada petugas kesehatan.3

D. Patogenesis
Limfosit CD4+ (sel T helper atau Th) merupakan target utama infeksi HIV
karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4+
berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting sehingga bila
terjadi kehilangan fungsi tersebut maka dapat menyebabkan gangguan imun yang
progresif. 2
Namun beberapa sel lainnya yang dapat terinfeksi yang ditemukan secara in
vitro dan invivo adalah megakariosit, epidermal langerhans, peripheral dendritik,
folikular dendritik, mukosa rectal, mukosa saluran cerna, sel serviks, mikrogilia,
astrosit, sel trofoblast, limfosit CD8, sel retina dan epitel ginjal. (Merati TP dkk,
2006)
Infeksi HIV terjadi melalui molekul CD4 yang merupakan reseptor utama HIV
dengan bantuan ko-reseptor kemokin pada sel T atau monosit, atau melalui kompleks
molekul adhesi pada sel dendrit. Kompleks molekul adhesi ini dikenal sebagai
dendritic-cell specific intercellular adhesion molecule-grabbing nonintegrin (DC-
SIGN). Akhir-akhir ini diketahui bahwa selain molekul CD4 dan ko-reseptor
kemokin, terdapat integrin 7 sebagai reseptor penting lainnya untuk HIV. Antigen
gp120 yang berada pada permukaan HIV akan berikatan dengan CD4 serta ko-
reseptor kemokin CXCR4 dan CCR5, dan dengan mediasi antigen gp41 virus, akan
terjadi fusi dan internalisasi HIV. Di dalam sel CD4, sampul HIV akan terbuka dan
RNA yang muncul akan membuat salinan DNA dengan bantuan enzim transkriptase
reversi. Selanjutnya salinan DNA ini akan berintegrasi dengan DNA pejamu dengan
bantuan enzim integrase. DNA virus yang terintegrasi ini disebut sebagai provirus.
Setelah terjadi integrasi, provirus ini akan melakukan transkripsi dengan bantuan
enzim polimerasi sel host menjadi mRNA untuk selanjutnya mengadakan transkripsi
dengan protein-protein struktur sampai terbentuk protein. mRNA akan memproduksi
semua protein virus. Genomik RNA dan protein virus ini akan membentuk partikel
virus yang nantinya akan menempel pada bagian luar sel. Melalui proses budding
pada permukaan membran sel, virion akan dikeluarkan dari sel inang dalam keadaan
matang. Sebagian besar replikasi HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan di
peredaran darah tepi. 2,3
Siklus replikasi virus HIV digambarkan secara ringkas melalui gambar 2.

Gambar 2 : Visualisasi siklus HIV

Pada pemeriksaan laboratorium yang umum dilakukan untuk melihat


defisiensi imun, akan terlihat gambaran penurunan hitung sel CD4, inverse rasio
CD4-CD8 dan hipergammaglobulinemia. Respon imun humoral terhadap virus HIV
dibentuk terhada berbagai antigen HIV seperti antigen inti (p24) dan sampul virus
(gp21, gp41). Antibodi muncul di sirkulasi dalam beberapa minggu setelah infeksi.
Secara umum dapat dideteksi pertama kali sejak 2 minggu hingga 3 bulan setelah
terinfeksi HIV. Masa tersebut disebut masa jendela.¬ Antigen gp120 dan bagian
eksternal gp21 akan dikenal oleh sistem imun yang dapat membentuk antibodi
netralisasi terhadap HIV. Namun, aktivitas netralisasi antibodi tersebut tidak dapat
mematikan virus dan hanya berlangsung dalam masa yang pendek. Sedangkan respon
imun selular yang terjadi berupa reaksi cepat sel CTL (sel T sitolitik yang sebagian
besar adalah sel T CD8). Walaupun jumlah dan aktivitas sel T CD8 ini tinggi tapi
ternyata tidak dapat menahan terus laju replikasi HIV. 3,4

Perjalanan penyakit infeksi HIV disebabkan adanya gangguan fungsi dan


kerusakan progresif populasi sel T CD4. Hal ini meyebabkan terjadinya deplesi sel T
CD4. Selain itu, terjadi juga disregulasi repsons imun sel T CD4 dan proliferasi CD4
jarang terlihat pada pasien HIV yang tidak mendapat pengobatan antiretrovirus.2

E. Perjalanan Penyakit

Dalam tubuh odha, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga
satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi. Sebagian
berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi
pasien AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang yang
terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal. Perjalanan
penyakit tersebut menunjukkan gambaran penyakit yang kronis, sesuai dengan
perusakan sistem kekebalan tubuh yang juga bertahap.2

Dari semua orang yang terinfeksi HIV, lebih dari separuh akan menunjukkan
gejala infeksi primer yang timbul beberapa hari setelah infeksi dan berlangsung
selama 2-6 minggu. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan
kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk dan gejala-gejala ini akan membaik
dengan atau tanpa pengobatan.3

Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimtomatik (tanpa gejala) yang
berlangsung selama 8-10 tahun. Tetapi ada sekelompok kecil orang yang perjalanan
penyakitnya amat cepat, dapat hanya sekitar 2 tahun, dan ada pula perjalanannya
lambat (non-progessor). Sejalan dengan memburuknya kekebalan tubuh, odha mulai
menampakkan gejala-gejala akibat infeksi oportunistik seperti berat badan menurun,
demam lama, rasa lemah, pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberkulosis,
infeksi jamur, herpes dan lain-lainnya.2
Tabel 2. Gejala klinis infeksi primer HIV

Kelompok Gejala Kekerapan (%)


Umum Demam 90
Nyeri otot 54
Nyeri sendi -
Rasa lemah -
Mukokutan Ruam kulit 70
Ulkus di mulut 12
Limfadenopat 74
i
Neurologi Nyeri kepala 32
Nyeri belakang mata -
Fotofobia -
Depresi -
Meningitis 12
Saluran cerna Anoreksia -
Nausea -
Diare 32
Jamur di mulut 12
Sumber : (Djauzi S, 2002)

Tanpa pengobatan ARV, sistem kekebalan tubuh orang yang terinfeksi HIV
akan memburuk bertahap meski selama beberapa tahun tidak bergejala. Pada
akhirnya, odha akan menunjukkan gejala klinik yang makin berat. Hal ini berarti telah
masuk ke tahap AIDS. Terjadinya gejala-gejala AIDS biasanya didahului oleh
akselerasi penurunan jumlah limfosit CD4. Perubahan ini diikuti oleh gejala klinis
menghilangnya gejala limfadenopati generalisata yang disebabkan hilangnya
kemampuan respon imun seluler untuk melawan turnover HIV dalam kelenjar limfe
Karena manifestasi awal kerusakan dari system imun tubuh adalah kerusakan
mikroarsitektur folikel kelenjar getah bening dan infeksi HIV meluas ke jaringan
limfoid, yang dapat diketahui dari pemeriksaan hibridasi insitu. Sebagian replikasi
HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan di peredaran darah tepi.2

Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak
menunjukkan gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10 partikel
setiap hari. Replikasi yang cepat ini disertai dengan mutasi HIV dan seleksi, muncul
HIV yang resisten. Bersamaan dengan replikasi HIV, terjadi kehancuran limfosit CD4
yang tinggi, untungnya tubuh masih bisa mengkompensasi dengan memproduksi
limfosit CD4 sekitar 10 miliar sel setiap hari.5

Pejalanan penyakit lebih progresif pada pengguna narkotika. Lebih dari 80%
pengguna narkotika terinfeksi virus hepatitis C. Infeksi pada katup jantung juga
adalah penyakit yang dijumpai pada ODHA pengguna narkotika dan biasanya tidak
ditemukan pada ODHA yang tertular dengan cara lain. Lamanya pengguna jarum
suntik berbanding lurus dengan infeksi pneumonia dan tuberkulosis. Makin lama
seseorang menggunkan narkotika suntikan, makin mudah ia terkena pneumonia dan
tuberkulosis. Infeksi secara bersamaan ini akan menimbulkan efek yang buruk.
Infeksi oleh kuman penyakit lain akan menyebabkan virus HIV membelah dengan
lebih cepat sehingga jumlahnya akan meningkat pesat. Selain itu juga dapat
menyebabkan reaktivasi virus di dalam limfosit T. Akibatnya perjalanan penyakitnya
biasanya lebih progresif.3

Gambaran perjalanan alamiah infeksi HIV. Dalam periode infeksi primer, HIV
menyebar luas di dalam tubuh; menyebabkan deplesi sel T CD4 yang terlihat pada
pemeriksaan darah tepi. Reaksi imun terjadi sebagai respon terhadap HIV, ditandai
dengan penurunan viremia.5

Gambar 3: perjalanan alamiah infeksi HIV


Selanjutnya terjadi periode laten dan penurunan jumlah sel T CD4 terus terjadi
hingga mencapai di bawah batas kritis yang akan memungkinkan terjadinya infeksi
oportunistik.2

F. Stadium Klinis

WHO membagi HIV/AIDS menjadi empat stadium klinis yakni stadium I


(asimtomatik), stadium II (sakit ringan), stadium III (sakit sedang), dan stadium IV (sakit
berat atau AIDS), lihat table 9. Bersama dengan hasil pemeriksaan jumlah sel T CD4,
stadium klinis ini dapat dijadikan sebagai panduan untuk memulai terapi profilaksis
infeksi oportunistik dan memulai atau mengubah terapi ARV.2,3

Perjalan klinik infeksi HIV telah ditemukan beberapa klasifikasi yaitu 2,3,5:
a.       Infeksi Akut : CD4 : 750 – 1000

Gejala infeksi akut biasanya timbul sedudah masa inkubasi selama 1-3 bulan.
Gejala yang timbul umumnya seperti influenza, demam, atralgia, anereksia, malaise,
gejala kulit (bercak-bercak merah, urtikarta), gejala syaraf (sakit kepada, nyeri
retrobulber, gangguan kognitif danapektif), gangguan gas trointestinal (nausea, diare).
Pada fase ini penyakit tersebut sangat menular karena terjadi viremia. Gejala tersebut
diatas merupakan reaksi tubuh terhadap masuknya unis yang berlangsung kira-kira 1-
2 minggu.

b.      Infeksi Kronis Asimtomatik : CD4 > 500/ml

Setelah infeksi akut berlalu maka selama bertahun-tahun kemudian, umumnya


sekitar 5 tahun, keadaan penderita tampak baik saja, meskipun sebenarnya terjadi
replikasi virus secara lambat di dalam tubuh. Beberapa penderita mengalami
pembengkakan kelenjar lomfe menyeluruh, disebut limfa denopatio (LEP), meskipun
ini bukanlah hal yang bersifat prognostic dan tidak terpengaruh bagi hidup penderita.
Saat ini sudah mulai terjadi penurunan jumlah sel CD4 sebagai petunjuk menurunnya
kekebalan tubuh penderita, tetapi masih pada tingkat 500/ml.

c.        Infeksi Kronis Simtomatik

Fase ini dimulai rata-rata sesudah 5 tahun terkena infeksi HIV. Berbagai gejala
penyakit ringan atau lebih berat timbul pada fase ini, tergantung pada tingkat imunitas
pemderita.

1)      Penurunan Imunitas sedang : CD4 200 – 500


Pada awal sub-fase ini timbul penyakit-penyakit yang lebih ringan misalnya
reaktivasi dari herpes zoster atau herpes simpleks. Namun dapat sembuh total atau
hanya dengan pengobatan biasa. Keganasan juga dapat timbul pada fase yang lebih
lanjut dari sub-fase ini dan dapat berlanjut ke sub fase berikutnya, demikian juga yang
disebut AIDS-Related (ARC).

2)      Penurunan Imunitas berat : CD4 < 200


Pada sub fase ini terjadi infeksi oportunistik berat yang sering mengancam
jiwa penderita. Keganasan juga timbul pada sub fase ini, meskipun sering pada fase
yang lebih awal. Viremia terjadi untuk kedua kalinya dan telah dikatakan tubuh sudah
dalam kehilangan kekebalannya.

Sindrom klinis stadium simptomatik yang utama:

• Limfadenopati Generalisata yang menetap


• Gejala konstutional: Demam yang menetap > 1 bulan, penurunan BB involunter >
10% dari nilai basal, dan diare >1 bulan tanpa penyebab jelas.
• Kelainan neurologis: Ensefalopati HIV, limfoma SSP primer, meningitis aseptik,
mielopati, neuropati perifer, miopati.
• Penyakit infeksiosa sekunder: pneumonia, Candida albicans, M. Tuberculosis,
Cryptococcus neoformans, Toxxoplasma gondii, Virus Herpes simpleks
• Neoplasma Sekunder: Sarkoma Kaposi (kulit dan viseral), neoplasma limfoid
• Kelainan lain: Sindrom spesifik organ sebagai manifestasi prmer penderita TB atau
komplikasi

Untuk memastikan apakah seseorang kemasukan virus HIV, ia harus


memeriksakan darahnya dengan tes khusus dan berkonsultasi dengan dokter. Jika dia
positif mengidap AIDS, maka akan timbul gejala-gejala yang disebut degnan ARC (AIDS
Relative Complex) Adapun gejala-gejala yang biasa nampak pada penderita AIDS adalah:

a.      Dicurigai AIDS pada orang dewasa bila ada paling sedikit dua gejala mayor dan
satu gejala minor dan tidak ada sebab-sebab imunosupresi yang lain seperti
kanker,malnutrisi berat atau pemakaian kortikosteroid yang lama.

1.       Gejala Mayor
Penurunan berat badan lebih dari 10%
Diare kronik lebih dari satu bulan
Demam lebih dari satu bulan

2.      Gejala Minor
Batuk lebih dari satu bulan
Dermatitis preuritik umum
Herpes zoster recurrens
Kandidias orofaring
  Limfadenopati generalisata
Herpes simplek diseminata yang kronik progresif

b.    Dicurigai AIDS pada anak. Bila terdapat palinh sedikit dua gejala mayor dan dua gejala
minor, dan tidak terdapat sebab – sebab imunosupresi yang lain seperti kanker,
malnutrisi berat, pemakaian kortikosteroid yang lama atau etiologi lain.
1.  Gejala Mayor
   Penurunan berat badan atau pertmbuhan yang lambat dan abnormal
   Diare kronik lebih dari 1 bulan
   Demam lebih dari 1 bulan

2.      Gejala minor
   Limfadenopati generalisata
   Kandidiasis oro-faring
   Infeksi umum yang berulang
   Batuk parsisten
   Dermatitis

Tabel 4. Stadium klinis HIV

Stadium 1 Asimptomatik
Tidak ada penurunan berat badan
Tidak ada gejala atau hanya : Limfadenopati Generalisata Persisten

Stadium 2 Sakit ringan


Penurunan BB 5-10%
ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitis
Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
Luka di sekitar bibir (keilitis angularis)
Ulkus mulut berulang
Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo -PPE)
Dermatitis seboroik
Infeksi jamur kuku

Stadium 3 Sakit sedang


Penurunan berat badan > 10%
Diare, Demam yang tidak diketahui penyebabnya, lebih dari 1 bulan
Kandidosis oral atau vaginal
Oral hairy leukoplakia
TB Paru dalam 1 tahun terakhir
Infeksi bakterial yang berat (pneumoni, piomiositis, dll)
TB limfadenopati
Gingivitis/Periodontitis ulseratif nekrotikan akut
Anemia (Hb <8 g%), netropenia (<5000/ml), trombositopeni kronis
(<50.000/ml)

Stadium 4 Sakit berat (AIDS)


Sindroma wasting HIV
Pneumonia pnemosistis*, Pnemoni bakterial yang berat berulang
Herpes Simpleks ulseratif lebih dari satu bulan.
Kandidosis esophageal
TB Extraparu*
Sarkoma kaposi
Retinitis CMV*
Abses otak Toksoplasmosis*
Encefalopati HIV
Meningitis Kriptokokus*
Infeksi mikobakteria non-TB meluas

Sumber : Depkes RI, 2007

G. Pemeriksaan Penunjang

Untuk memastikan diagnosis terinfeksi HIV, dilakukan dengan pemeriksaan


laboratorium yang tepat. Pemeriksaan dapat dilakukan antara lain dengan
pemeriksaan antibodi terhadap HIV, deteksi virus atau komponen virus HIV
(umumnya DNA atau RNA virus) di dalam tubuh yakni melalui pemeriksaan PCR
untuk menentukan viral load, dan tes hitung jumlah limfosit Sedangkan untuk
kepentingan surveilans, diagnosis HIV ditegakkan apabila terdapat infeksi
oportunistik atau limfosit CD4+ kurang dari 200 sel/mm3

Tabel 5. Anjuran pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan pada odha

Tes antibodi terhadap HIV (AI);


Tes Hitung jumlah sel T CD4 T (AI);
HIV RNA plasma (viral load) (AI);
Pemeriksaan darah perifer lengkap, profil kimia, SGOT, SGPT, BUN dan kreatinin,
urinalisis, tes mantux, serologi hepatitis A, B, dan C, anti-Toxoplasma gondii IgG, dan
pemeriksaan Pap-smear pada perempuan (AIII);
Pemeriksaan kadar gula darah puasa dan profil lipid pada pasien dengan risiko penyakit
kardiovaskular dan sebagai penilaian awal sebelum inisasi kombinasi terapi (AIII);

Pemeriksaan anti HIV dilakukan setelah dilakukan konseling pra-tes dan biasanya
dilakukan jika ada riwayat perilaku risiko (terutama hubungan seks yang tidak aman atau
penggunaan narkotika suntikan). Tes HIV juga dapat ditawarkan pada mereka dengan infeksi
menular seksual, hamil, mengalami tuberkulosis aktif, serta gejala dan tanda yang mengarah
adanya infeksi HIV. Hasil pemeriksaan pada akhirnya akan diberitahukan, untuk itu,
konseling pasca tes juga diperlukan. Jadi, pemeriksaan HIV sebaiknya dilakukan dengan
memenuhi 3C yakni confidential (rahasia), disertai dengan counselling (konseling), dan
hanya dilakukan dengan informed consent. 2

Tes penyaring standar anti-HIV menggunakan metode ELISA yang memiliki


sensitivitas tinggi (> 99%). Jika pemeriksaan penyaring ini menyatakan hasil yang reaktif,
maka pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan konfirmasi untuk memastikan
adanya infeksi oleh HIV. Uji konfirmasi yang sering dilakukan saat ini adalah dengan teknik
Western Blot (WB). Hasil tes positif palsu dapat disebabkan adanya otoantibodi, penerima
vaksin HIV, dan kesalahan teknik pemeriksaan. Hasil tes positif pada bayi yang lahir dari ibu
HIV positif belum tentu berarti tertular mengingat adanya IgG terhadap HIV yang berasal
dari darah ibu. IgG ini dapat bertahan selama 18 bulan sehingga pada kondisi ini, tes perlu
diulang pada usia anak > 18 bulan. 3

Hasil tes dinyatakan positif bila tes penyaring dua kali positif ditambah dengan tes
konfirmasi dengan WB positif. Di negara-negara berkembang termasuk Indonesia,
pemeriksaan WB masih relatif mahal sehingga tidak mungkin dilakukan secara rutin. WHO
menganjurkan strategi pemeriksaan dengan kombinasi dari pemeriksaan penyaring yang tidak
melibatkan pemeriksaan WB sebagai konfirmasi. Di Indonesia, kombinasi yang digunakan
adalah tiga kali positif pemeriksaan penyaring dengan menggunakan strategi 3. Bila hasil tes
tidak sama missal hasil tes pertama reaktif, tes kedua reaktif, dan yang ketiga non-reaktif atau
apabila hasil tes pertama reaktif, kedua dan ketiga non-reaktif, maka keadaan ini disebut
sebagai indeterminate dengan catatan orang tersebut memiliki riwayat pajanan atau berisiko
tinggi tertular HIV. Bila orang tersebut tanpa riwayat pajanan atau tidak memiliki risiko
tertular, maka hasil pemeriksaan dilaporkan sebagai non-reaktif.2
Tabel 5. Alogaritma pemeriksaan HIV

H. Tatalaksana 2,3,5,26

HIV/AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara total.
Namun data selam 8 tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat meyakinkan bahwa
pegobatan dengan menggunakan kombinasi beberapa obat anti HIV bermanfaat untuk
menurunkan morbiditas dan mortalitas dini akibat infeksi HIV.

Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas beberapa jenis, yaitu:

a) Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral (ARV).
b) Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertai
infeksi HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkulosis, hepatitis, toksoplasmosis, sarkoma
kaposi, limfoma, kanker serviks.
c) Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang lebih baik
dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan dukungan
agama serta juga tidur yang cukup dan perlu menjaga kebersihan. Dengan
pengobatan yang lengkap tersebut, angka kematian dapat ditekan, harapan hidup
lebih baik dan kejadian infeksi oportunistik amat berkurang.
 Terapi Antiretroviral (ARV)
Secara umum, obat ARV dapat dibagi dalam 3 kelompok besar yakn (Djauzi S
dkk,2002):

 Kelompok nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTI) seperti: zidovudin,


zalsitabin, stavudin, lamivudin, didanosin, abakavir
 Kelompok non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTI) seperti evafirens
dan nevirapin
 Kelompok protease inhibitors (PI) seperti sakuinavir, ritonavir, nelvinavir,
amprenavir.

Waktu memulai terapi ARV harus dipertimbangkan dengan seksama karena obat
antiretroviral akan diberikan dalam jangka panjang. Proses memulai terapi ARV meliputi
penilaian terhadap kesiapan pasien untuk memulai terapi ARV dan pemahaman tentang
tanggung jawab selanjutnya (terapi seumur hidup, adherence, toksisitas). Jangkauan pada
dukungan gizi dan psikososial, dukungan keluarga atau sebaya juga menjadi hal penting
yang tidak boleh dilupakan ketika membuat keputusan untuk memulai terapi ARV.7

Dalam hal tidak tersedia tes CD4, semua pasien dengan stadium 3 dan 4 harus
memulai terapi ARV. Pasien dengan stadium klinis 1 dan 2 harus dipantau secara
seksama, setidaknya setiap 3 bulan sekali untuk pemeriksaan medis lengkap atau
manakala timbul gejala atau tanda klinis yang baru.6

Tabel 6. Terapi pada ODHA dewasa


Stadium Jika tidak tersedia
Bila tersedia pemeriksaan CD4
Klinis pemeriksaan CD4
1 Terapi ARV tidak diberikan
Terapi antiretroviral dimulai bila CD4 <200 Bila jumlah total limfosit
2
<1200
Jumlah CD4 200 – 350/mm3, pertimbangkan
terapi sebelum CD4 <200/mm3.
Pada kehamilan atau TB:
Terapi ARV dimulai tanpa
 Mulai terapi ARV pada semua ibu hamil
3 memandang jumlah limfosit
dengan CD4 350
total
 Mulai terapi ARV pada semua ODHA
dengan CD4 <350 dengan TB paru atau
infeksi bakterial berat
4 Terapi ARV dimulai tanpa memandang jumlah
CD4
Sumber : Depkes RI, 2007

1. CD4 dianjurkan digunakan untuk membantu menentukan mulainya terapi. Contoh, TB


paru dapat muncul kapan saja pada nilai CD4 berapapun dan kondisi lain yang
menyerupai penyakit yang bukan disebabkan oleh HIV (misal, diare kronis, demam
berkepanjangan).
2. Nilai yang tepat dari CD4 di atas 200/mm3 di mana terapi ARV harus dimulai belum
dapat ditentukan.
3. Jumlah limfosit total ≤1200/mm3 dapat dipakai sebagai pengganti bila pemeriksaan CD4
tidak dapat dilaksanakan dan terdapat gejala yang berkaitan dengan HIV (Stadium II atau
III). Hal ini tidak dapat dimanfaatkan pada ODHA asimtomatik. Maka, bila tidak ada
pemeriksaan CD4, ODHA asimtomatik (Stadium I) tidak boleh diterapi karena pada saat
ini belum ada petanda lain yang terpercaya di daerah dengan sumber daya terbatas.

Bila terdapat tes untuk hitung CD4, saat yang paling tepat untuk memulai terapi
ARV adalah sebelum pasien jatuh sakit atau munculnya IO yang pertama. Perkembangan
penyakit akan lebih cepat apabila terapi Arv dimulai pada saat CD4 < 200/mm3
dibandingkan bila terapi dimulai pada CD4 di atas jumlah tersebut. Apabila tersedia
sarana tes CD4 maka terapi ARV sebaiknya dimulai sebelum CD4 kurang dari 200/mm3.
Waktu yang paling optimum untuk memulai terapi ARV pada tingkat CD4 antara 200-
350/mm3 masih belum diketahui, dan pasien dengan jumlah CD4 tersebut perlu
pemantauan teratur secara klinis maupun imunologis. Terapi ARV dianjurkan pada pasien
dengan TB paru atau infeksi bakterial berat dan CD4 < 350/mm3. Juga pada ibu hamil
stadium klinis manapun dengan CD4 < 350 / mm3. Keputusan untuk memulai terapi
ARV pada ODHA dewasa danremaja didasarkan pada pemeriksaan klinis dan
imunologis. Namun Pada keadaan tertentu maka penilaian klinis saja dapat memandu
keputusan memulai terapi ARV. Mengukur kadar virus dalam darah (viral load) tidak
dianjurkan sebagai pemandu keputusan memulai terapi. 26

Terapi ARV sebaiknya jangan dimulai bila terdapat keadaan infeksi oportunistik
yang aktif. Pada prinsipnya, IO harus diobati atau diredakan dulu. Namun pada kondisi-
kondisi dimana tidak ada lagi terapi yang efektif selain perbaikan fungsi kekebalan
dengan ARV maka pemberian ARV sebaiknya diberikan sesegera mungkin (AIII).
Contohnya pada kriptosporidiosis, mikrosporidiosis, demensia terkait HIV. Keadaan
lainnya, misal pada infeksi M.tuberculosis, penundaan pemberian ARV 2 hingga 8
minggu setelah terapi TB dianjurkan untuk menghindari bias dalam menilai efek samping
obat dan juga untuk mencegah atau meminimalisir sindrom restorasi imun atau IRIS.26
 Panduan Kombinasi Obat ARV 6,7,26
Kombinasi tiga obat antiretroviral merupakan regimen pengobatan ARV yang
dianjurkan oleh WHO, yang dikenal sebagai Highly Active AntiRetroviral Therapy atau
HAART. Kombinasi ini dinyatakan bermanfaat dalam terapi infeksi HIV. Semula, terapi
HIV menggunakan monoterapi dengan AZT dan duo (AZT dan 3TC) namun hanya
memberikan manfaat sementara yang akan segera diikuti oleh resistensi. (Yunihastuti E,
2005)

WHO merekomendasikan penggunaan obat ARV lini pertama berupa kombinasi 2


NRTI dan 1 NNRTI. Obat ARV lini pertama di Indonesia yang termasuk NRTI adalah
AZT, lamivudin (3TC) dan stavudin (d4T). Sedangkan yang termasuk NNRTI adalah
nevirapin (NVP) dan efavirenz (EFZ).6,7

Tabel 6. Terapi ARV

Di Indonesia, pilihan utama kombinasi obat ARV lini pertama adalah AZT +
3TC + NVP. Pemantauan hemoglobin dianjurkan pada pemberian AZT karena dapat
menimbulkan anemia. Pada kondisi ini, kombinasi alternatif yang bisa digunakan
adalah d4T + 3TC + NVP. Namun AZT lebih disukai daripada stavudin (d4T) oleh
karena adanya efek toksik d4T seperti lipodistrofi, asidosis laktat, dan neuropati
perifer. Kombinasi AZT + 3TC + EFZ dapat digunakan bila NVP tidak dapat
digunakan. Namun, perlu kehati-hatian pada perempuan hamil karena EFZ tidak
boleh diberikan (Depkes RI, 2007). Pemilihan ARV golongan NRTI tentunya dengan
mempertimbangkan keuntungan dan kekurangan masing-masing obat. Adapun
kombinasi terapi ARV yang tidak dianjurkan seperti pada tabel 7.

Tabel 7. Pilihan obat ARV golongan NR

Tabel 8. Kombinasi ARV

PI tidak direkomendasikan sebagai paduan lini pertama karena penggunaa PI pada


awal terapi akan menghilangkan kesempatan pilihan lini kedua di Indoneesia di mana
sumber dayanya masih sangat terbatas. PI hanya dapat digunakan sebagai paduan lini
pertama (bersama kombinasi standar 2 NRTI) pada terapi infeksi HIV-2, pada perempuan
dengan CD4>250/ mm3 yang mendapat ART dan tidak bisa menerima EFV, atau pasien
dengan intoleransi NNRTI. 7

2. CAP
A. Pengertian Pneumonia Komuniti
Pneumonia komuniti adalah pneumonia yang didapat di masyarakat. Pneumonia
komuniti ini merupakan masalah kesehatan yang menyebabkan angka kematian tinggi
di dunia 1
B. Etiologi
Menurut kepustakaan penyebab pneumonia komuniti banyak disebabkan bakteri
Gram positif dan dapat pula bakteri atipik. Akhir-akhir ini laporan dari beberapa kota
di Indonesia menunjukkan bahwa bakteri yang ditemukan dari pemeriksaan dahak
penderita pneumonia komuniti adalah bakteri Gram negatif. Berdasarkan laporan 5
tahun terakhir dari beberapa pusat paru di Indonesia (Medan, Jakarta, Surabaya,
Malang, dan Makasar) dengan cara pengambilan bahan dan metode pemeriksaan
mikrobiologi yang berbeda didapatkan hasil pemeriksaan sputum sebagai berikut 1,8:
- Klebsiella pneumoniae 45,18%
- Streptococcus pneumoniae 14,04%
- Streptococcus viridans 9,21%
- Staphylococcus aureus 9%
- Pseudomonas aeruginosa 8,56%
- Steptococcus hemolyticus 7,89%
- Enterobacter 5,26%
- Pseudomonas spp 0,9%

C. Diagnosis Pneumonia Komuniti 8


Diagnosis pneumonia komuniti didapatkan dari anamnesis, gejala klinis pemeriksaan
fisis, foto toraks dan labolatorium. Diagnosis pasti pneumonia komuniti ditegakkan
jika pada foto toraks terdapat infiltrat baru atau infiltrat progresif ditambah dengan 2
atau lebih gejala di bawah ini:
a. Batuk-batuk bertambah
b. Perubahan karakteristik dahak/purulent
c. Suhu tubuh > 380C (aksila) /riwayat demam
d. Pemeriksaan fisis: ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas bronkial dan
ronki
e. Leukosit > 10.000 atau < 4500

D. Penilaian Derajat Keparahan Penyakit


Penilaian derajat kerahan penyakit pneumonia kumuniti dapat dilakukan
dengan menggunakan sistem skor menurut hasil penelitian Pneumonia Patient
Outcome Research Team (PORT) seperti tabel di bawah ini 4:

Menurut ATS kriteria pneumonia berat bila dijumpai 'salah satu atau lebih' kriteria di
bawah ini1
a. Kriteria minor:
• Frekuensi napas > 30/menit
• Pa02/FiO2kurang dari 250 mmHg
• Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral
• Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus
• Tekanan sistolik < 90 mmHg
• Tekanan diastolik < 60 mmHg
b. Kriteria mayor adalah sebagai berikut :
• Membutuhkan ventilasi mekanik • Infiltrat bertambah > 50%
• Membutuhkan vasopresor > 4 jam (septik syok)
• Kreatinin serum > 2 mg/dl atau peningkatan > 2 mg/dI, pada penderita riwayat
penyakit ginjal atau gagal ginjal yang membutuhkan dialysis

c. Berdasar kesepakatan PDPI, kriteria yang dipakai untuk indikasi rawat inap
pneumonia komuniti adalah:
1. Skor PORT lebih dari 70
2. Bila skor PORT kurang < 70 maka penderita tetap perlu dirawat inap bila dijumpai
salah satu dari kriteria dibawah ini.
• Frekuensi napas > 30/menit
• Pa02/FiO2 kurang dari 250 mmHg
• Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral
• Foto toraks paru melibatkan > 2 lobuS
• Tekanan sistolik < 90 mmHg
• Tekanan diastolik < 60 mmHg Pneumonia pada pengguna NAPZA

d. Kriteria perawatan intensif Penderita yang memerlukan perawatan di Ruang Rawat


Intensif adalah penderita yang mempunyai paling sedikit 1 dari 2 gejala mayor
tertentu (membutuhkan ventalasi mekanik dan membutuhkan vasopressor > 4 jam
[syok sptik]) atau 2 dari 3 gejala minor tertentu (Pa02/FiO2 kurang dari 250 mmHg,
foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral, dan tekanan sistolik < 90 mmHg).
Kriteria minor dan mayor yang lain bukan merupakan indikasi untuk perawatan
Ruang Rawat Intensif.1
Tabel 9. CURB-65

Pada pneumonia selain ditemukan bakteri penyebab yang tipik sering pula dijumpai
bakteri atipik. Bakteri atipik yang sering dijumpai adalah Mycoplasma pneumoniae,
Chlamydia pneumoniae, Legionella spp. Penyebab lain Chlamydiapsittasi, Coxiella
burnetti, virus Influenza tipe A & B, Adenovirus dan Respiratori syncitial virus. 8
Tabel 10. Tanda dan gejala P. Atipik dan Tipik
E. Penatalaksanaan1,8
Tabel 11. Tatalaksana

3. Anemia Pada Penyakit Kronis


A. Definisi
Anemia penyakit kronis (APK) merupakan anemia dengan prevalensi tersering
kedua setelah anemia defisiensi besi.1 Anemia jenis ini dapat terjadi pada semua
usia, terutama mereka yang memiliki penyakit kronis.2,3APK dapat terjadi dalam
beberapa derajat yaitu ringan, sedang, dan berat. Penyebab utama APK belum
diketahui dengan pasti namun beberapa penyebab APK yang mungkin antara lain
peradangan kronis, infeksi kronis, trauma, dan penyakit keganasan.4 Beberapa
kondisi yang sering terjadi bersamaan dengan anemia penyakit kronis terlampir
pada Tabel 12. Anemia akibat penyakit kronis pada tahap awal ditandai dengan
gambaran darah tepi normokrom normositer yang kemudian menjadi hipokrom
mikrositer.10
Tabel 12. Penyakit yang dapat menyebabkan anemia penyakit kronis

B. Patofisiologi

APK disebabkan oleh terganggunya fungsi sel darah merah akibat


ketidakmampuan penggunaan besi dengan efisien. Selain itu, tubuh juga tidak
mampu merespon eritropoietin (EPO) secara normal. EPO adalah hormon yang
disekresikan oleh ginjal untuk menstimulasi pembentukkan sel darah merah oleh
sumsum tulang. Seiring berjalannya waktu, kejadian ini menyeabkan jumlah sel
darah merah lebih rendah dari nilai normalnya.11
Respon sistem imun dalam tubuh terhadap infeksi/inflamasi adalah
mengeluarkan sitokin. Sitokin membantu memulihkan tubuh dan memberikan
pertahanan melawan infeksi. Sitokin yang dihasilkan dari proses infeksi/inflamasi
tersebut memicu terjadinya perubahan pola distribusi besi. 12 Namun, sitokin juga
dapat mengganggu kemampuan penyerapan dan penggunaan besi oleh sel darah
merah. Inflmamatory Bowel Disease (IBD), termasuk penyakit Chron, juga dapat
menyebabkan hipoferemia karena gangguan penyerapan besi dan perdarahan pada
saluran cerna. Pada penyakit keganasan (kanker) juga terjadi seperti pada keadaan
infeksi dimana adan- ya pengeluaran sitokin pro-inflamasi (IL-1, IL-6, Tumor
Necrosis Factor alpha (TNF-α)). Anemia juga dapat diperburuk dengan adanya
invasi sel- sel kanker ke sumsum tulang atau akibat terapi kanker (baik kemoterapi
atau radioterapi).13,14
Inflamasi yang disebabkan oleh infeksi, penyakit autoimun, dan kanker
menstimulasi pembentukan sitokin seperti interferon, IL-1, IL-6, serta sitokin
lainnya yang terbukti dapat memicu terjadinya peningkatan produksi hepsi-din.
Hepsidin ini dapat mengurangi fungsi dari ferroportin pada enterosit dan makrofag
duode- num sehingga mengganggu penyerapan besi dari duodenum dan
menyebabkan besi sulit dilepas dari sistem retikuloendotelial sehingga terjadi
defisiensi besi relative.15

 Disregulasi Homeostasis Besi

Saat proses awal inflamasi, terjadi induksi fase akut oleh makrofag sehingga
melepaskan sitokin inflamasi berupa TNF-α, IL-1, IL- 6 dan IL-8.5 IL-1
menyebabkan absorbsi besi berku- rang karena menekan eritropoiesis. Selain itu,
IL-1 juga berfungsi mengaktifkan sel monosit dan makrofag yang meningkatkan
ambilan serum besi.15,16 Adanya TNF-α yang juga berasal dari makrofag yang
memberikan dampak sama yaitu menekan eritropoiesis melalui penghambatan
eritropoietin. IL-6 menyebabkan hipoferemia den- gan menghambat pembebasan
cadangan besi jaringan ke dalam darah dan memicu pengeluaran hepsidin pada
hati yang menghambat penyerapan besi di duodenum.17,18

 Pemendekan Masa Hidup Eritrosit

Pemendekan masa hidup eritrosit terjadi karena aktivasi makrofag yang


memfagositosis eritrosit lebih dini. Sitokin berlebih pada anemia penyakit kronis
menyebabkan sekuestrasi makrofag, peningkatan fagositosis makrofag, dan filter
limpa menjadi kurang toleran terhadap kerusakan minor eritrosit. Hal ini ditandai
dengan ditemukannya retikulosit dalam jumlah besar. Keterlibatan faktor
ekstrinsik seperti toksin bakteri dan agen farmakologi belum diketahui.15

 Gangguan Proliferasi Sel Progenitor Eritroid

Kegagalan proliferasi sel progenitor eritroid terutama diakibatkan oleh efek


inhibisi In- terferon-γ (IFN-γ). IFN-γ berhubungan langsung dengan beratnya
anemia. Kadar TNF-α yang dihasilkan oleh makrofag aktif akan menekan
eritropoiesis pada pembentukan Burst Forming Unit-Erythroid (BFU-E) dan
Colony Forming Unit - Erythroid (CFU-E). IL-1 akan menekan CFU-E pada
kultur sumsum tulang manusia. Selain itu, sitokin seperti Nitric Oxide (NO) yang
diproduksi oleh makrofag bersifat toksik terhadap sel progenitor.15

 Gangguan Respon Eritropoietin

Resistensi respon eritropoietin sering di- jumpai pada pasien dengan kadar
eritropoietin yang tinggi dan pada kadar hemoglobin yang rendah. Penurunan
produksi eritropoietin disebabkan oleh efek inhibisi sitokin inflamasi seperti TNF-
α dan IL-1 yang diperantarai oleh GATA-1 pada promoter eritropoietin. 19
Eritropoetin memiliki peran tidak langsung terhadap homeostasis besi. Penelitian
menunjukkan bahwa Hypoxia In- ducable Factor (HIF) - 1α, suatu faktor
transkripsi heterodimer yang juga memperantarai tingkat ekspresi eritropoietin,
berkontribusi mengham- bat produksi hepsidin. HIF-1α diduga menekan ekspresi
hepsidin secara tidak langsung dengan menurunkan induksi hepsidin termediasi
Bone Morphogenetic Protein (BMP) dan/atau induksi hepsidin termediasi
hemokromatosis (HFE)/ Transferrin Receptor 2 (TFR2).10,11

Gambar5. regulasi Hepsidin

C. Evaluasi Lab 20,21


- Status besi
Beberapa pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan untuk pemeriksaan
anemia dapat dilihat pada tabel
Tabel 13. Indikator Pemeriksaan untuk Anemia
Tabel 14. Perbandingan Data Laboratorium Anemia Penyakit Kronis dan Anemia
Defisiensi Besi

 Serum besi dan saturasi transferrin


Konsentrasi serum besi dan saturasi transferrin yang menurun
menunjukkan defisiensi besi absolut pada anemia defisiensi besi sedangkan
hipoferemia karena retensi pada sistem retikulo endotelial ditemukan pada
anemia defisiensi besi relatif. Pada anemia penyakit kronis, penurunan saturasi
transferrin disebabkan karena penurunan serum besi sedangkan pada anemia
defisiensi besi disebabkan karena konsentrasi transporter transferrin
meningkat.22
 Pengukuran kadar besi sumsum tulang
Pemeriksaan cadangan besi sumsum tulang merupakan standar baku
untuk membedakan anemia defisiensi besi dengan anemia penyakit kronis.
Pada anemia defisiensi besi, cadangan besi akan sangat berkurang berbeda
dengan anemia penyakit kronis yang meningkat. Teknik pemeriksaan ini
jarang dilakukan dalam praktek sehari-hari karena bersifat invasif.15
 Ferritin
Ferritin merupakan cadangan besi dalam jaringan. Pemeriksaaan kadar
serum ferritin rutin dilakukan untuk menentukan diagnosis defisiensi besi
karena pemeriksaan ini merupakan indikator paling dini pada keadaan bila
cadangan besi menurun. Akan tetapi, pada keadaan inflamasi atau infeksi,
kadarnya dapat meningkat sehingga dapat menggangu interpretasi keadaan
sesungguhnya.17
Reseptor transferrin Reseptor ini diekspresikan pada permukaan sel
yang memerlukan besi dan bertindak sebagai molekul pembawa besi. Reseptor
ini merupakan parameter untuk mengukur kegiatan eritropoiesis.18

 Indeks sTfR-F(LogFeritin/Reseptor- Transferin)


Ferritin menggambarkan cadangan besi dalam jaringan sedangkan
reseptor transferring menggambarkan bagian fungsional besi. Perhitungan
rasio kadar feritin dan reseptor trans- ferin yang dihitung dengan
menggunakan indeks Soluble transferrin receptor-ferritin (sTfR-F) dapat
dipertimbangkan sebagai salah satu metode untuk membedakan anemia
defisiensi besi dan anemia penyakit kronis.18 Penelitian menunjukkan
perbedaan bermakna dan peningkatan sensi- tivitas dan spesivitas dalam
diagnosis defisiensi zat besi. Nilai rujukan rata-rata untuk indeks sTR-F adalah
0,5–1,2 mg/dL untuk laki-laki dan 0,5–1,8 mg/dLuntuk perempuan. 20
Eritropoietin Pengukuran level eritropoietin hanya ber- guna untuk pasien
anemia dengan level hemoglo- bin <10g/dL. Pengukuran level eritropoietin ini
digunakan untuk mengetahui respon dari tata lak- sana anemia menggunakan
agen eritropoietin.25

D. Tata Laksana
Tatalaksana Anemia penyakit kronis biasanya merupakan komplikasi dari
suatu penyakit kronis. Tujuan dari tata laksana APK adalah memperbaiki penyakit
kronis yang mendasarinya. Penanganan awal dari anemia penyakit kronis hanya
bertujuan untuk meningkatkan kadar hemoglobin melalui transfusi darah atau
pemberian zat besi.12
 Transfusi
Terapi transfusi diberikan untuk intervensi yang cepat dan efektif,
terutama pada anemia yang mengancam jiwa (Hb <6,5 g/dL). Tidak ada
batasan kadar hemoglobin yang pasti sebagai indikasi pemberian transfusi
tetapi sebaiknya kadar hemoglobin pasien dipertahankan pada 10-11 g/ dL.
Walaupun transfusi dapat meningkatkan angka kelangsungan hidup, transfusi
juga dapat meningkatkan risiko kegagalan multi-organ dan angka mortalitas
pada pasien kritis. Transfusi darah jangka panjang tidak direkomendasikan
pada anemia penyakit kronis dengan kanker/gagal ginjal kronis karena risiko
serta efek samping berupa overload besi dan sensitisasi antigen HLA yang
terjadi pada pasien sebelum transplantasi ginjal.15,20

 Terapi Zat Besi


Pemberian terapi zat besi pada anemia penyakit kronis hanya diberikan
apabila terdapat defisiensi zat besi. Defisiensi besi pada anemia penyakit
kronis diberikan suplementasi besi baik secara tunggal atau kombinasi dengan
agen stimulasi eritropoietin.5 Walaupun pemberian tablet besi secara oral
mudah diaplikasikan dan biaya yang dibutuhkan sedikit, tetapi efektifitasnya
menurun karena hepsidin membatasi penyerapan besi pada saluran cerna. Oleh
karena itu, pemberian besi secara intravena jauh lebih efektif.18,19
 Eritropoietin
Selain untuk menghindarkan pasien dari transfusi serta efek
sampingnya, pemberian eritropoietin juga mempunyai keuntungan berupa efek
anti-inflamasi dengan cara menekan produksi dari TNF-α dan interferon-γ.
Pemberian eritropoietin dikhususkan pada anemia penyakit kronis dengan
penyakit gagal ginjal kronis yaitu pemberian eritropoietin alfa. 15,22,25. Terapi
Monitoring Sebelum memulai terapi dengan agen eritropoi-etik (eritropoietin
alfa), defisiensi besi harus disingkirkan terlebih dahulu. Pemantauan respon
terhadap agen eritropoetik dengan memeriksa ka- dar hemoglobin setelah
empat minggu terapi. Jika kadar hemoglobin meningkat <1 g/dL, evaluasi
status besi kembali dan pertimbangkan suplemen besi. Apabila konsentrasi
hemoglobin mencapai 12 g/dL, dosis perlu disesuaikan kembali. Jika setelah
delapan minggu pada dosis optimal tidak ada perbaikan bermakna, dapat
dikatakan bahwa pasien memiliki respon terhadap agen eritropoetik.15

Tata Laksana Terbaru

Penelitian terbaru pada anemia penyakit kronis difokuskan pada hepsidin


dan ferroportin. Agen farmakologi yang menurunkan aktivitas hepsidin dan
meningkatkan aktivitas ferroportin dapat memperbaiki bioavaibilitas dari
makanan dan dapat memobilisasi cadangan besi untuk eritropoiesis.
Pengobatan lainnya adalah dengan inhibisi IL-6, karena IL-6 memicu produksi
hep- sidin. Penggunaan anti IL-6 menunjukkan hasil penurunan kadar hepsidin
dan penurunan C Reactive Protein (CRP) hanya dalam 1 minggu.17

Selain itu, ada beberapa pilihan dalam tata laksana anemia penyakit kronis
seperti:

a. Supresi hepsidin secara langsung

Eksperimen secara in vitro dan in vivo pada murine dengan antibodi


anti-hepsidin memungkinkan untuk memodulasi anemia penyakit kronis.
Over-ekspresi hepsidin pada tikus menye- babkan gambaran anemia seperti
pada anemia penyakit kronis, resisten terapi EPO secara efektif dapat sembuh
melalui supresi mRNA hepsi- din.20 Menurut Sasu, hepsidin mengikuti pola
hormon peptida atau sitokin pada umumnya yang kerjanya akan diperantarai
oleh reseptor pada permukaan sel, sehingga apabila reseptor ini dan jalur
transduksinya sudah jelas, akan menuntun pengembangan suatu antagonis
hepsidin.10,11

b. Supresi hepsidin secara tak langsung


Dosmorphine adalah molekul kecil yang menghambat sinyal Bone
Morphogenetic Protein (BMP) yang teridentifikasi saat mendistorsi embrio
zebrafish. Percobaan in vitro menunjukkan penghambatan oleh dosmorphine
untuk BMP, IL-6 dan hepsidin menunjukkan hiperferemia pada tikus. Heparin
diketahui berikatan dengan BMP. Percobaan pemberian heparin pada tikus
menunjukkan inhibisi ekspresi mRNA hepsidin dan fosforilasi SMAD
sehingga meningkatkan konsentrasi besi di limpa sehingga serum besi
meningkat.17

c. Antibodi reseptor Anti IL-6

Sebanyak lima dari enam pasien minimal change disease dengan terapi
jangka panjang antibodi anti IL-6 (Tocilizumab) menunjukkaan penurunan
cepat dari level serum hepsidin dan secara progresif memperbaiki parameter
hema- tologi, termasuk anemia.17
d. Vitamin D

Studi terbaru menunjukkan adanya hubungan antara defisiensi vitamin D


dengan anemia pen- yakit kronis pada orangtua. Pada studi tersebut,
ditemukan korelasi bermakna pada hemoglobin dan vitamin D.17

e. Pentoksifilin

Pentoksifilin merupakan agen anti-inflamasi yang dapat menekan ekspresi


TNF-α dan INF-γ. Pene- litian INACG telah memberi bamyal efek positif
pada pasien dengan gagal ginjal kronis dengan anemia yang resisten terhadap
terapi EPO. 18
DAFTAR PUSTAKA

1. American Thoracic Society. 2001. Guidelines for management of adults with


community-acquired pneumonia. Diagnosis, assessment of severity, antimicrobial
therapy, and prevention. Am J Respir Crit.Care Med; 163: 1730- 54
2. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006
3. Djauzi S, Djoerban Z. Penatalaksanaan HIV/AIDS di pelayanan kesehatan dasar.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI 2002
4. Fauci, et al,. 2009. Harrison’s Manual Of Medicine. 17th Edition. By The Mc
Graw-Hill Companies In North America
5. Merati TP, Djauzi S. Respon imun infeksi HIV. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006
6. Mustikawati DE. Epidemiologi dan pengendalian HIV/AIDS. In: Akib AA,
Munasir Z, Windiastuti E, Endyarni B, Muktiarti D, editors. HIV infection in
infants and children in Indonesia: current challenges in management. Jakarta:
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM 2009
7. Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral. “Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi
HIV pada orang Dewasa dan Remaja” edisi ke-2, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan 2007
8. PDPI. 2003. Pneumonia Komuniti-Pedoman Diagnosis Dan Penatalaksaan Di
Indonesia, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
9. Guralnik JM, Eisentaedt RS, Feruci L, Klein HG, Woodman RC. Prevalence of
anemia in persons 65 years and older in the United States: evidence for high rate
of unexplained anemia. Blood.2004;104:2263-8.
10. Centers for Disease Control and Prevention. Chronic diseases and health
promotion. [updated 2012 Aug 13; cited 2017 Dec 28]. Available from:
www.cdc.gov/nc- cdphp/overview.htm.
11. Santosh HN, Nagaraj T, Sasidaran A. Anemia of chronic disease: a
comprehensive review. J Med Radi- ol Pathol Surg. 2015:1;13-6.
12. LeeGR.The anemia of chronic disorders. Semin Haematol. 1983:20;61- 80.
13. Weiss G, Goodnough LT. Anemia in chronic disease. NEng J Med. 2005;
352:1011-23. 6. Zarychanski R, Houston DS. Anemia of chronic dis- ease: a
harmful disorder or an adaptive, beneficial re- sponse?.Can Med Assoc J.
2008;179:333-7.
14. Baumann H, Gauldie J. The acute phase response. ImMunol Today. 1994:15;74-8.
8. Kuby J. Immunology.2nded. New York: Freeman and Company; 1994.
15. Litchman MA, Beutler E, Kipps TJ, Seligshon U, Kaushansky K, Prchal JT.
Williams Hematology. 7th ed. USA: Mc. Graw-Hill:2009.
16. Babitt JL, Lin HY. Molecular mechanisms of hepsidin regulation: implications
for the anemia of CKD. Am J Kidney Dis. 2010; 55: 726-41
17. Swinkels DW, Wetzels JFM. Hepsidin: a new tool in the management of anaemia
in patients with chronic kidney disease. Nephrol Dial Transplant. 2008; 23: 2450-
3.
18. Coyne DW. Hepsidin: clinical utility as a diagnostic tool and therapeutic target.
Kidney Int. 2011; 80: 240- 4.
19. Dallman, P.R. Hematology of infancy and childhood. 3rd edition. Philadelphia:
WB Saunders Compa- ny.1998 14. Koss, W.Clinical Haematology, Principles
Procedures and Correlation. 9thed, Lippincot Philadelphia:1998.
20. Siebert S, Williams BD, Henley R, Ellis R, Cavil I, and Worwood M.Single value
of serum transferin re- ceptor is not diagnostic for the absence of iron stores in
anaemic patient with rheumatoid arthritis. Clin Lab Haematol. 2003;25:155-60.
21. Pujara KM, Bhalara RV, Dhruva GA. A study of bone marrow iron storage in
hematological disorder. Int J HealthALlied Sci.2014; 3:221-4 17. INACG.
Anemia and Iron Deficiency. The International Nutritional Anemia Consultative
Group, Secretariat: Washington DC. 2002.
22. Thomas C. dan Thomas L.Biochemical markers and haematologic indices in the
diagnosis of functional iron deficiency. Clin Chem. 2002;48(7):1066-76.
23. Guido A. Role of hepsidin in the pathophysiology and diagnosis of anemia. Blood
Res. 2013;48:10-5. 20. Cullis JO. Diagnosis and Management of anemia of
chronic disease. BJH.2011.Volume 154, Issue 3.
24. . Vildan Kosan, et al. The Importance of serum trans- ferrin receptor and TfR-F
index diagnosis of iron deficiency accompanied by acute and chronic infections.
Turkey J Haematol. 2002;19(4):453-59.
25. Jude M, Donatus. Anaemia of Chronic Disease: An In- Depth Review. Med Princ
Pract. 2017;26:1–9.
26. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT). Badan Litbang Depkes RI, Jakarta 2002

Anda mungkin juga menyukai