Oleh:
Hellena Hildegard G991902028
Pembimbing Residen
dr. Tisha
dr. Sienny Linawati M.Sc Sp.PK
Oleh:
B. Data Dasar
Autoanamnesis, alloanamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan di Flamboyan 8 Kamar
03A RSUD DR. Moewardi, Surakarta.
Keluhan Utama
Muntah sejak 1 hari SMRS
Tn.S
Riwayat kebiasaan
Pola makan Pasien makan 2-3 kali sehari dengan porsi
sedang. Minum 4-5 kali sebanyak satu gelas
sedang setiap minum.
Merokok (+) selama 10 tahun dengan rata – rata 1/2
bungkus / hari : ( IB : 10 x 6 = 60 )
Seks Bebas Pasien mengaku pernah berhubungan dengan
PSK
Alkohol Disangkal
Jamu/obat tradisional Disangkal
Inspeksi
d. Kesan 1. Statis
: Normoweight : Normochest, simetris . luka (-), venetaksis (-) ,
4. Kulit : Kulit berwarna putih langsat, benjolan
turgor (-)menurun (-),, retraksi (-),
, sikatrik (-)
hiperpigmentasi2. bekas
Dinamis : Pengembangan
garukan gatal (-), keringhemithorak
(+), kanan sama dengan
hemitorak
teleangiektasis (-), petechie (-), ikterik (-),bagian
ekimosiskiri ,(-),
retraksi intercostal (-)
Palpasi : Pengembangan hemithoraks kanan sama dengan
sikatrik (-)
5. Kepala : Bentuk mesocephal, rambut mudah hemitorak
rontokkiri,
(-), nyeri
luka tekan
(-), (-), massa (-), fremitus
atrofi m. Temporalis (-) raba kanan sama dengan fremitus raba kiri
6. Mata Perkusi
: Mata cekung (-/-), konjungtiva pucat (+/+), sklera ikterik
1. Kanan : Sonor
(-/-), perdarahan subkonjugtiva
2. Kiri : (-/-),
Sonorpupil isokor dengan
diameter (3 mm/3Auskultasi
mm), reflek cahaya (+/+), edema palpebra
1. Kanan : Suara dasar : vesikuler,
(-/-), strabismus (-/-), katarak (-/-), eksoftalmus (-/-)
7. Telinga : Sekret (-/-), darah (-/-),nyeri tekanSuarapada tambahan
tragus (-/-),: nyeri
wheezing (-), ronkhi basah
tekan mastoid (-/-), Chvostek sign (-) kasar (+) , ronkhi basah halus (-)
8. Hidung : Nafas cuping hidung (-), sekret (-) Suara dasar : vesikuler,
2. Kiri :
9. Mulut : Bibir pucat (-), mukosa kering (-), sianosis (-), gusi berdarah
Suara tambahan : wheezing (-), ronkhi basah
(-), papil lidah atrofi (-), oral thrush (+), karies
kasar gigi (-)
(+) , ronkhi basah halus (-)
10 Leher : JVP R+2 cmH2O, pembesaran kelenjar tiroid (-),
. pembesaran kelenjar getah bening leher submandibular
dan subklavikula bilateral (+), distensi vena-vena leher (-)
11 Thorax : Bentuk normochest, simetris, pengembangan dada kanan
. sama dengan pengembangan dinding dada kiri , retraksi
intercostal (-), pernafasan thorako-abdominal , sela iga
melebar (-), pembesaran limfonodi axilla (-/-)
B. Posterior
Inspeksi :
Hasil bacaan:
- inspirasi kesan kurang
- Trakhea di tengah
- Cor: Ukuran membesar dengan CTR 60% (kesan Kardiomegali)
- Pulmo : Tampak infiltrat disertai airbronchogram di perihilar bilateral
- Sinus costophrenicus kanan dan kiri tajam
- hemidiafragma kanan dan kiri normal
- Sistema tulang baik
Kesimpulan:
- Pneumonia
- Kesan kardiomegali
IV. RESUME
1. Keluhan utama:
Muntah sejak 1 hari SMRS
2. Anamnesis:
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien muntah sejak 1 hari SMRS. Muntah sebanyak 10 kali,
dirasakan setiap kali pasien makan, pasien muntah berupa sisa
makanan. Setiap kali muntah sebanyak kurang lebih 1 gelas
belimbing.
Pasien juga mengeluh lemas, lemas dirasakan sejak 1 minggu
SMRS, dirasakan terus-menerus, tidak membaik dengan istirahat
maupun pemberian makanan.
Pasien juga mengeluh batuk berdahak sejak 1 minggu SMRS,
dirasakan hilang timbul, memberat saat pasien kelelahan. Batuk
berdahak berwarna putih kental.
Pasien juga mengeluh demam yang dirasakan naik turun. Demam
dirasakan terutama pada malam hari, berkurang dengan pemberian
obat penurun panas namun keluhan muncul kembali.
Pasien positif B20, belum pernah mendapat terapi ARV
sebelumnya.
Riwayat Penyakit Dahulu
-
Riwayat Penyakit Keluarga
Istri pasien meninggal 3 tahun yang lalu dengan keterangan B20.
Riwayat Sosial Ekonomi dan kebiasaan
Pasien saat ini merupakan tukang becak, pasien sudah menikah memiliki 3
orang anak, pasien tinggal hanya bersama anaknya, pasien berobat
menggunakan fasilitas BPJS.
3. Pemeriksaan fisik:
● KU: Tampak lemas, GCS E4V5M6 composmentis
● Vital sign: Tekanan darah 150/90 mmHg, RR 20x/ menit, HR
104x/menit, suhu 37.10C saturasi O2 99% NK 4 LPM
● Hasil Pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva anemis, oral trush,
pembesaran kelenjar getah bening submandibula dan supraklavikula leher
bilateral dan rhonki basah kasar pada auskultasi kedua lapang paru
● Skor hidrasi (Daldiyono) : -1
4. Pemeriksaan penunjang:
A. Laboratorium darah
- Hematologi rutin : Hemoglobin 9.3 g/dl (↓), Hematokrit 30% (↓),
Trombosit 126.000/ul (↓)
- Imunologi/Serologi : Anti-HIV reaktif
B. Rontgen Thorax AP : Pneumonia dan kesan kardiomegali ( CTR 60%).
VI. Tatalaksana
- Bed rest tidak total
- Diet TKTP 1700 kkal
- Inf. RL 20 tpm
- inj. Metoclopramide 10 mg/8jam
- Inj. Levofloksasin 750 mg/24jam
- NAC 200 mg/8jam
- Paracetamol 500 mg k/p
- Candistatin 1 ml dalam 200cc air dikumur 3 kali sehari
- Amlodipin tablet 10 mg/24jam
BAB II
ANALISIS KASUS
1. HIV /AIDS
A. Definisi
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala atau penyakit
yang diakibatkan karena penurunan kekebalan tubuh akibat adanya infeksi oleh
Human Imunodeficiency Virus (HIV) yang termasuk famili retroviridae. AIDS
merupakan tahap akhir dari infeksi HIV.2
B. Etiologi
HIV adalah suatu virus RNA berbentuk sferis yang termasuk retrovirus dari famili
Lentivirus. (Gambar 1). Strukturnya tersusun atas beberapa lapisan dimana lapisan
terluar (envelop) berupa glikoprotein gp120 yang melekat pada glikoprotein gp41.
Selubung glikoprotein ini berafinitas tinggi terhadap molekul CD4 pada permukaan
T-helper lymphosit dan monosit atau makrofag. Lapisan kedua di bagian dalam terdiri
dari protein p17. Inti HIV dibentuk oleh protein p24. Di dalam inti ini terdapat dua
rantai RNA dan enzim transkriptase reverse (reverse transcriptase enzyme).5
Ada dua tipe HIV yang dikenal yakni HIV-1 dan HIV-2. Epidemi HIV global
terutama disebabkan oleh HIV-1 sedangkan tipe HIV-2 tidak terlalu luas
penyebarannya. Tipe yang terakhir ini hanya terdapat di Afrika Barat dan beberapa
negara Eropa yang berhubungan erat dengan Afrika Barat.5
C. Metode Penularan
Infeksi HIV terjadi melalui tiga jalur transmisi utama yakni transmisi melalui
mukosa genital (hubungan seksual) transmisi langsung ke peredaran darah melalui
jarum suntik yang terkontaminasi atau melalui komponen darah yang terkontaminasi,
dan transmisi vertikal dari ibu ke janin. CDC pernah melaporkan adanya penularan
HIV pada petugas kesehatan.3
D. Patogenesis
Limfosit CD4+ (sel T helper atau Th) merupakan target utama infeksi HIV
karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4+
berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting sehingga bila
terjadi kehilangan fungsi tersebut maka dapat menyebabkan gangguan imun yang
progresif. 2
Namun beberapa sel lainnya yang dapat terinfeksi yang ditemukan secara in
vitro dan invivo adalah megakariosit, epidermal langerhans, peripheral dendritik,
folikular dendritik, mukosa rectal, mukosa saluran cerna, sel serviks, mikrogilia,
astrosit, sel trofoblast, limfosit CD8, sel retina dan epitel ginjal. (Merati TP dkk,
2006)
Infeksi HIV terjadi melalui molekul CD4 yang merupakan reseptor utama HIV
dengan bantuan ko-reseptor kemokin pada sel T atau monosit, atau melalui kompleks
molekul adhesi pada sel dendrit. Kompleks molekul adhesi ini dikenal sebagai
dendritic-cell specific intercellular adhesion molecule-grabbing nonintegrin (DC-
SIGN). Akhir-akhir ini diketahui bahwa selain molekul CD4 dan ko-reseptor
kemokin, terdapat integrin 7 sebagai reseptor penting lainnya untuk HIV. Antigen
gp120 yang berada pada permukaan HIV akan berikatan dengan CD4 serta ko-
reseptor kemokin CXCR4 dan CCR5, dan dengan mediasi antigen gp41 virus, akan
terjadi fusi dan internalisasi HIV. Di dalam sel CD4, sampul HIV akan terbuka dan
RNA yang muncul akan membuat salinan DNA dengan bantuan enzim transkriptase
reversi. Selanjutnya salinan DNA ini akan berintegrasi dengan DNA pejamu dengan
bantuan enzim integrase. DNA virus yang terintegrasi ini disebut sebagai provirus.
Setelah terjadi integrasi, provirus ini akan melakukan transkripsi dengan bantuan
enzim polimerasi sel host menjadi mRNA untuk selanjutnya mengadakan transkripsi
dengan protein-protein struktur sampai terbentuk protein. mRNA akan memproduksi
semua protein virus. Genomik RNA dan protein virus ini akan membentuk partikel
virus yang nantinya akan menempel pada bagian luar sel. Melalui proses budding
pada permukaan membran sel, virion akan dikeluarkan dari sel inang dalam keadaan
matang. Sebagian besar replikasi HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan di
peredaran darah tepi. 2,3
Siklus replikasi virus HIV digambarkan secara ringkas melalui gambar 2.
E. Perjalanan Penyakit
Dalam tubuh odha, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga
satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi. Sebagian
berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi
pasien AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang yang
terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal. Perjalanan
penyakit tersebut menunjukkan gambaran penyakit yang kronis, sesuai dengan
perusakan sistem kekebalan tubuh yang juga bertahap.2
Dari semua orang yang terinfeksi HIV, lebih dari separuh akan menunjukkan
gejala infeksi primer yang timbul beberapa hari setelah infeksi dan berlangsung
selama 2-6 minggu. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan
kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk dan gejala-gejala ini akan membaik
dengan atau tanpa pengobatan.3
Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimtomatik (tanpa gejala) yang
berlangsung selama 8-10 tahun. Tetapi ada sekelompok kecil orang yang perjalanan
penyakitnya amat cepat, dapat hanya sekitar 2 tahun, dan ada pula perjalanannya
lambat (non-progessor). Sejalan dengan memburuknya kekebalan tubuh, odha mulai
menampakkan gejala-gejala akibat infeksi oportunistik seperti berat badan menurun,
demam lama, rasa lemah, pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberkulosis,
infeksi jamur, herpes dan lain-lainnya.2
Tabel 2. Gejala klinis infeksi primer HIV
Tanpa pengobatan ARV, sistem kekebalan tubuh orang yang terinfeksi HIV
akan memburuk bertahap meski selama beberapa tahun tidak bergejala. Pada
akhirnya, odha akan menunjukkan gejala klinik yang makin berat. Hal ini berarti telah
masuk ke tahap AIDS. Terjadinya gejala-gejala AIDS biasanya didahului oleh
akselerasi penurunan jumlah limfosit CD4. Perubahan ini diikuti oleh gejala klinis
menghilangnya gejala limfadenopati generalisata yang disebabkan hilangnya
kemampuan respon imun seluler untuk melawan turnover HIV dalam kelenjar limfe
Karena manifestasi awal kerusakan dari system imun tubuh adalah kerusakan
mikroarsitektur folikel kelenjar getah bening dan infeksi HIV meluas ke jaringan
limfoid, yang dapat diketahui dari pemeriksaan hibridasi insitu. Sebagian replikasi
HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan di peredaran darah tepi.2
Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak
menunjukkan gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10 partikel
setiap hari. Replikasi yang cepat ini disertai dengan mutasi HIV dan seleksi, muncul
HIV yang resisten. Bersamaan dengan replikasi HIV, terjadi kehancuran limfosit CD4
yang tinggi, untungnya tubuh masih bisa mengkompensasi dengan memproduksi
limfosit CD4 sekitar 10 miliar sel setiap hari.5
Pejalanan penyakit lebih progresif pada pengguna narkotika. Lebih dari 80%
pengguna narkotika terinfeksi virus hepatitis C. Infeksi pada katup jantung juga
adalah penyakit yang dijumpai pada ODHA pengguna narkotika dan biasanya tidak
ditemukan pada ODHA yang tertular dengan cara lain. Lamanya pengguna jarum
suntik berbanding lurus dengan infeksi pneumonia dan tuberkulosis. Makin lama
seseorang menggunkan narkotika suntikan, makin mudah ia terkena pneumonia dan
tuberkulosis. Infeksi secara bersamaan ini akan menimbulkan efek yang buruk.
Infeksi oleh kuman penyakit lain akan menyebabkan virus HIV membelah dengan
lebih cepat sehingga jumlahnya akan meningkat pesat. Selain itu juga dapat
menyebabkan reaktivasi virus di dalam limfosit T. Akibatnya perjalanan penyakitnya
biasanya lebih progresif.3
Gambaran perjalanan alamiah infeksi HIV. Dalam periode infeksi primer, HIV
menyebar luas di dalam tubuh; menyebabkan deplesi sel T CD4 yang terlihat pada
pemeriksaan darah tepi. Reaksi imun terjadi sebagai respon terhadap HIV, ditandai
dengan penurunan viremia.5
F. Stadium Klinis
Perjalan klinik infeksi HIV telah ditemukan beberapa klasifikasi yaitu 2,3,5:
a. Infeksi Akut : CD4 : 750 – 1000
Gejala infeksi akut biasanya timbul sedudah masa inkubasi selama 1-3 bulan.
Gejala yang timbul umumnya seperti influenza, demam, atralgia, anereksia, malaise,
gejala kulit (bercak-bercak merah, urtikarta), gejala syaraf (sakit kepada, nyeri
retrobulber, gangguan kognitif danapektif), gangguan gas trointestinal (nausea, diare).
Pada fase ini penyakit tersebut sangat menular karena terjadi viremia. Gejala tersebut
diatas merupakan reaksi tubuh terhadap masuknya unis yang berlangsung kira-kira 1-
2 minggu.
Fase ini dimulai rata-rata sesudah 5 tahun terkena infeksi HIV. Berbagai gejala
penyakit ringan atau lebih berat timbul pada fase ini, tergantung pada tingkat imunitas
pemderita.
a. Dicurigai AIDS pada orang dewasa bila ada paling sedikit dua gejala mayor dan
satu gejala minor dan tidak ada sebab-sebab imunosupresi yang lain seperti
kanker,malnutrisi berat atau pemakaian kortikosteroid yang lama.
1. Gejala Mayor
Penurunan berat badan lebih dari 10%
Diare kronik lebih dari satu bulan
Demam lebih dari satu bulan
2. Gejala Minor
Batuk lebih dari satu bulan
Dermatitis preuritik umum
Herpes zoster recurrens
Kandidias orofaring
Limfadenopati generalisata
Herpes simplek diseminata yang kronik progresif
b. Dicurigai AIDS pada anak. Bila terdapat palinh sedikit dua gejala mayor dan dua gejala
minor, dan tidak terdapat sebab – sebab imunosupresi yang lain seperti kanker,
malnutrisi berat, pemakaian kortikosteroid yang lama atau etiologi lain.
1. Gejala Mayor
Penurunan berat badan atau pertmbuhan yang lambat dan abnormal
Diare kronik lebih dari 1 bulan
Demam lebih dari 1 bulan
2. Gejala minor
Limfadenopati generalisata
Kandidiasis oro-faring
Infeksi umum yang berulang
Batuk parsisten
Dermatitis
Stadium 1 Asimptomatik
Tidak ada penurunan berat badan
Tidak ada gejala atau hanya : Limfadenopati Generalisata Persisten
G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan anti HIV dilakukan setelah dilakukan konseling pra-tes dan biasanya
dilakukan jika ada riwayat perilaku risiko (terutama hubungan seks yang tidak aman atau
penggunaan narkotika suntikan). Tes HIV juga dapat ditawarkan pada mereka dengan infeksi
menular seksual, hamil, mengalami tuberkulosis aktif, serta gejala dan tanda yang mengarah
adanya infeksi HIV. Hasil pemeriksaan pada akhirnya akan diberitahukan, untuk itu,
konseling pasca tes juga diperlukan. Jadi, pemeriksaan HIV sebaiknya dilakukan dengan
memenuhi 3C yakni confidential (rahasia), disertai dengan counselling (konseling), dan
hanya dilakukan dengan informed consent. 2
Hasil tes dinyatakan positif bila tes penyaring dua kali positif ditambah dengan tes
konfirmasi dengan WB positif. Di negara-negara berkembang termasuk Indonesia,
pemeriksaan WB masih relatif mahal sehingga tidak mungkin dilakukan secara rutin. WHO
menganjurkan strategi pemeriksaan dengan kombinasi dari pemeriksaan penyaring yang tidak
melibatkan pemeriksaan WB sebagai konfirmasi. Di Indonesia, kombinasi yang digunakan
adalah tiga kali positif pemeriksaan penyaring dengan menggunakan strategi 3. Bila hasil tes
tidak sama missal hasil tes pertama reaktif, tes kedua reaktif, dan yang ketiga non-reaktif atau
apabila hasil tes pertama reaktif, kedua dan ketiga non-reaktif, maka keadaan ini disebut
sebagai indeterminate dengan catatan orang tersebut memiliki riwayat pajanan atau berisiko
tinggi tertular HIV. Bila orang tersebut tanpa riwayat pajanan atau tidak memiliki risiko
tertular, maka hasil pemeriksaan dilaporkan sebagai non-reaktif.2
Tabel 5. Alogaritma pemeriksaan HIV
H. Tatalaksana 2,3,5,26
HIV/AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara total.
Namun data selam 8 tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat meyakinkan bahwa
pegobatan dengan menggunakan kombinasi beberapa obat anti HIV bermanfaat untuk
menurunkan morbiditas dan mortalitas dini akibat infeksi HIV.
a) Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral (ARV).
b) Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertai
infeksi HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkulosis, hepatitis, toksoplasmosis, sarkoma
kaposi, limfoma, kanker serviks.
c) Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang lebih baik
dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan dukungan
agama serta juga tidur yang cukup dan perlu menjaga kebersihan. Dengan
pengobatan yang lengkap tersebut, angka kematian dapat ditekan, harapan hidup
lebih baik dan kejadian infeksi oportunistik amat berkurang.
Terapi Antiretroviral (ARV)
Secara umum, obat ARV dapat dibagi dalam 3 kelompok besar yakn (Djauzi S
dkk,2002):
Waktu memulai terapi ARV harus dipertimbangkan dengan seksama karena obat
antiretroviral akan diberikan dalam jangka panjang. Proses memulai terapi ARV meliputi
penilaian terhadap kesiapan pasien untuk memulai terapi ARV dan pemahaman tentang
tanggung jawab selanjutnya (terapi seumur hidup, adherence, toksisitas). Jangkauan pada
dukungan gizi dan psikososial, dukungan keluarga atau sebaya juga menjadi hal penting
yang tidak boleh dilupakan ketika membuat keputusan untuk memulai terapi ARV.7
Dalam hal tidak tersedia tes CD4, semua pasien dengan stadium 3 dan 4 harus
memulai terapi ARV. Pasien dengan stadium klinis 1 dan 2 harus dipantau secara
seksama, setidaknya setiap 3 bulan sekali untuk pemeriksaan medis lengkap atau
manakala timbul gejala atau tanda klinis yang baru.6
Bila terdapat tes untuk hitung CD4, saat yang paling tepat untuk memulai terapi
ARV adalah sebelum pasien jatuh sakit atau munculnya IO yang pertama. Perkembangan
penyakit akan lebih cepat apabila terapi Arv dimulai pada saat CD4 < 200/mm3
dibandingkan bila terapi dimulai pada CD4 di atas jumlah tersebut. Apabila tersedia
sarana tes CD4 maka terapi ARV sebaiknya dimulai sebelum CD4 kurang dari 200/mm3.
Waktu yang paling optimum untuk memulai terapi ARV pada tingkat CD4 antara 200-
350/mm3 masih belum diketahui, dan pasien dengan jumlah CD4 tersebut perlu
pemantauan teratur secara klinis maupun imunologis. Terapi ARV dianjurkan pada pasien
dengan TB paru atau infeksi bakterial berat dan CD4 < 350/mm3. Juga pada ibu hamil
stadium klinis manapun dengan CD4 < 350 / mm3. Keputusan untuk memulai terapi
ARV pada ODHA dewasa danremaja didasarkan pada pemeriksaan klinis dan
imunologis. Namun Pada keadaan tertentu maka penilaian klinis saja dapat memandu
keputusan memulai terapi ARV. Mengukur kadar virus dalam darah (viral load) tidak
dianjurkan sebagai pemandu keputusan memulai terapi. 26
Terapi ARV sebaiknya jangan dimulai bila terdapat keadaan infeksi oportunistik
yang aktif. Pada prinsipnya, IO harus diobati atau diredakan dulu. Namun pada kondisi-
kondisi dimana tidak ada lagi terapi yang efektif selain perbaikan fungsi kekebalan
dengan ARV maka pemberian ARV sebaiknya diberikan sesegera mungkin (AIII).
Contohnya pada kriptosporidiosis, mikrosporidiosis, demensia terkait HIV. Keadaan
lainnya, misal pada infeksi M.tuberculosis, penundaan pemberian ARV 2 hingga 8
minggu setelah terapi TB dianjurkan untuk menghindari bias dalam menilai efek samping
obat dan juga untuk mencegah atau meminimalisir sindrom restorasi imun atau IRIS.26
Panduan Kombinasi Obat ARV 6,7,26
Kombinasi tiga obat antiretroviral merupakan regimen pengobatan ARV yang
dianjurkan oleh WHO, yang dikenal sebagai Highly Active AntiRetroviral Therapy atau
HAART. Kombinasi ini dinyatakan bermanfaat dalam terapi infeksi HIV. Semula, terapi
HIV menggunakan monoterapi dengan AZT dan duo (AZT dan 3TC) namun hanya
memberikan manfaat sementara yang akan segera diikuti oleh resistensi. (Yunihastuti E,
2005)
Di Indonesia, pilihan utama kombinasi obat ARV lini pertama adalah AZT +
3TC + NVP. Pemantauan hemoglobin dianjurkan pada pemberian AZT karena dapat
menimbulkan anemia. Pada kondisi ini, kombinasi alternatif yang bisa digunakan
adalah d4T + 3TC + NVP. Namun AZT lebih disukai daripada stavudin (d4T) oleh
karena adanya efek toksik d4T seperti lipodistrofi, asidosis laktat, dan neuropati
perifer. Kombinasi AZT + 3TC + EFZ dapat digunakan bila NVP tidak dapat
digunakan. Namun, perlu kehati-hatian pada perempuan hamil karena EFZ tidak
boleh diberikan (Depkes RI, 2007). Pemilihan ARV golongan NRTI tentunya dengan
mempertimbangkan keuntungan dan kekurangan masing-masing obat. Adapun
kombinasi terapi ARV yang tidak dianjurkan seperti pada tabel 7.
2. CAP
A. Pengertian Pneumonia Komuniti
Pneumonia komuniti adalah pneumonia yang didapat di masyarakat. Pneumonia
komuniti ini merupakan masalah kesehatan yang menyebabkan angka kematian tinggi
di dunia 1
B. Etiologi
Menurut kepustakaan penyebab pneumonia komuniti banyak disebabkan bakteri
Gram positif dan dapat pula bakteri atipik. Akhir-akhir ini laporan dari beberapa kota
di Indonesia menunjukkan bahwa bakteri yang ditemukan dari pemeriksaan dahak
penderita pneumonia komuniti adalah bakteri Gram negatif. Berdasarkan laporan 5
tahun terakhir dari beberapa pusat paru di Indonesia (Medan, Jakarta, Surabaya,
Malang, dan Makasar) dengan cara pengambilan bahan dan metode pemeriksaan
mikrobiologi yang berbeda didapatkan hasil pemeriksaan sputum sebagai berikut 1,8:
- Klebsiella pneumoniae 45,18%
- Streptococcus pneumoniae 14,04%
- Streptococcus viridans 9,21%
- Staphylococcus aureus 9%
- Pseudomonas aeruginosa 8,56%
- Steptococcus hemolyticus 7,89%
- Enterobacter 5,26%
- Pseudomonas spp 0,9%
Menurut ATS kriteria pneumonia berat bila dijumpai 'salah satu atau lebih' kriteria di
bawah ini1
a. Kriteria minor:
• Frekuensi napas > 30/menit
• Pa02/FiO2kurang dari 250 mmHg
• Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral
• Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus
• Tekanan sistolik < 90 mmHg
• Tekanan diastolik < 60 mmHg
b. Kriteria mayor adalah sebagai berikut :
• Membutuhkan ventilasi mekanik • Infiltrat bertambah > 50%
• Membutuhkan vasopresor > 4 jam (septik syok)
• Kreatinin serum > 2 mg/dl atau peningkatan > 2 mg/dI, pada penderita riwayat
penyakit ginjal atau gagal ginjal yang membutuhkan dialysis
c. Berdasar kesepakatan PDPI, kriteria yang dipakai untuk indikasi rawat inap
pneumonia komuniti adalah:
1. Skor PORT lebih dari 70
2. Bila skor PORT kurang < 70 maka penderita tetap perlu dirawat inap bila dijumpai
salah satu dari kriteria dibawah ini.
• Frekuensi napas > 30/menit
• Pa02/FiO2 kurang dari 250 mmHg
• Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral
• Foto toraks paru melibatkan > 2 lobuS
• Tekanan sistolik < 90 mmHg
• Tekanan diastolik < 60 mmHg Pneumonia pada pengguna NAPZA
Pada pneumonia selain ditemukan bakteri penyebab yang tipik sering pula dijumpai
bakteri atipik. Bakteri atipik yang sering dijumpai adalah Mycoplasma pneumoniae,
Chlamydia pneumoniae, Legionella spp. Penyebab lain Chlamydiapsittasi, Coxiella
burnetti, virus Influenza tipe A & B, Adenovirus dan Respiratori syncitial virus. 8
Tabel 10. Tanda dan gejala P. Atipik dan Tipik
E. Penatalaksanaan1,8
Tabel 11. Tatalaksana
B. Patofisiologi
Saat proses awal inflamasi, terjadi induksi fase akut oleh makrofag sehingga
melepaskan sitokin inflamasi berupa TNF-α, IL-1, IL- 6 dan IL-8.5 IL-1
menyebabkan absorbsi besi berku- rang karena menekan eritropoiesis. Selain itu,
IL-1 juga berfungsi mengaktifkan sel monosit dan makrofag yang meningkatkan
ambilan serum besi.15,16 Adanya TNF-α yang juga berasal dari makrofag yang
memberikan dampak sama yaitu menekan eritropoiesis melalui penghambatan
eritropoietin. IL-6 menyebabkan hipoferemia den- gan menghambat pembebasan
cadangan besi jaringan ke dalam darah dan memicu pengeluaran hepsidin pada
hati yang menghambat penyerapan besi di duodenum.17,18
Resistensi respon eritropoietin sering di- jumpai pada pasien dengan kadar
eritropoietin yang tinggi dan pada kadar hemoglobin yang rendah. Penurunan
produksi eritropoietin disebabkan oleh efek inhibisi sitokin inflamasi seperti TNF-
α dan IL-1 yang diperantarai oleh GATA-1 pada promoter eritropoietin. 19
Eritropoetin memiliki peran tidak langsung terhadap homeostasis besi. Penelitian
menunjukkan bahwa Hypoxia In- ducable Factor (HIF) - 1α, suatu faktor
transkripsi heterodimer yang juga memperantarai tingkat ekspresi eritropoietin,
berkontribusi mengham- bat produksi hepsidin. HIF-1α diduga menekan ekspresi
hepsidin secara tidak langsung dengan menurunkan induksi hepsidin termediasi
Bone Morphogenetic Protein (BMP) dan/atau induksi hepsidin termediasi
hemokromatosis (HFE)/ Transferrin Receptor 2 (TFR2).10,11
D. Tata Laksana
Tatalaksana Anemia penyakit kronis biasanya merupakan komplikasi dari
suatu penyakit kronis. Tujuan dari tata laksana APK adalah memperbaiki penyakit
kronis yang mendasarinya. Penanganan awal dari anemia penyakit kronis hanya
bertujuan untuk meningkatkan kadar hemoglobin melalui transfusi darah atau
pemberian zat besi.12
Transfusi
Terapi transfusi diberikan untuk intervensi yang cepat dan efektif,
terutama pada anemia yang mengancam jiwa (Hb <6,5 g/dL). Tidak ada
batasan kadar hemoglobin yang pasti sebagai indikasi pemberian transfusi
tetapi sebaiknya kadar hemoglobin pasien dipertahankan pada 10-11 g/ dL.
Walaupun transfusi dapat meningkatkan angka kelangsungan hidup, transfusi
juga dapat meningkatkan risiko kegagalan multi-organ dan angka mortalitas
pada pasien kritis. Transfusi darah jangka panjang tidak direkomendasikan
pada anemia penyakit kronis dengan kanker/gagal ginjal kronis karena risiko
serta efek samping berupa overload besi dan sensitisasi antigen HLA yang
terjadi pada pasien sebelum transplantasi ginjal.15,20
Selain itu, ada beberapa pilihan dalam tata laksana anemia penyakit kronis
seperti:
Sebanyak lima dari enam pasien minimal change disease dengan terapi
jangka panjang antibodi anti IL-6 (Tocilizumab) menunjukkaan penurunan
cepat dari level serum hepsidin dan secara progresif memperbaiki parameter
hema- tologi, termasuk anemia.17
d. Vitamin D
e. Pentoksifilin