Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penulisan

Tuberkulosis (TB) merupakan infeksi global dengan prevalensi tinggi yang

disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Sepertiga dari populasi

dunia terinfeksi dengan tuberkulosis laten, dengan risiko 10% mengalami bentuk

aktif dari tuberkulosis sepanjang hidupnya.1 Diperkirakan 9,6 juta kasus

tuberkulosis terjadi di seluruh dunia sepanjang tahun 2014, dengan angka

kematian mencapai 1,5 juta jiwa. Indonesia merupakan negara dengan jumlah

kasus tuberkulosis tertinggi kedua setelah India dengan jumlah kasus 10% dari

total kasus di seluruh dunia (World Health Organization (WHO), 2018)

Data dari World Health Organization (WHO) menunjukkan angka insidensi

tuberkulosis di Indonesia pada tahun 2015 mencapai 395 kasus per 100.000 jiwa.

Dari jumlah tersebut, sebanyak 10% kasus merupakan infeksi oportunistik dari

infeksi HIV. Tingkat kematian akibat penyakit ini sekitar 40 dari 100.000 jiwa

(World Health Organization, 2015)

Meningitis adalah suatu inflamasi pada membran araknoid, piamater, dan

cairan serebrospinal. Proses inflamasi terjadi dan menyebar melalui ruangan

subaraknoid di sekeliling otak dan medula spinalis serta ventrikel.3 Meningitis

tuberkulosis merupakan bentuk tuberkulosis ekstra paru dengan adanya kelainan

neurologis yang mencapai 70- 80% dari seluruh kasus tuberkulosis neurologis,

5,2% dari seluruh tuberkulosis ekstrapulmoner dan 0,7% dari seluruh kasus
tuberkulosis. Walaupun telah diberikan terapi yang adekuat, penyakit ini masih

memiliki tingkat mortalitas yang tinggi hingga mencapai 50%, bahkan di negara

maju seperti Amerika Serikat sekalipun. Umumnya meningitis tuberkulosis

berhubungan erat dengan koinfeksi HIV (Wilkinson et al., 2017).

Pasien dengan meningitis tuberkulosis akan mengalami tanda dan gejala

meningitis yang khas, seperti nyeri kepala, demam dan kaku kuduk, walaupun

tanda rangsang meningeal mungkin tidak ditemukan pada tahap awal penyakit.

Durasi gejala sebelum ditemukannya tanda meningeal bervariasi dari beberapa

hari hingga beberapa bulan. Namun pada beberapa kondisi, meningitis

tuberkulosis dapat muncul sebagai penyakit yang berat, dengan penurunan

kesadaran, palsi nervus kranial, parese dan kejang (Kartasasmita, 2016).

Beratnya gejala dan risiko kematian yang tinggi akibat meningitis

tuberkulosis mendorong perlunya pengetahuan perawat mengenai tatalaksana

yang adekuat. Oleh karena itu, dalam makalah ini kami akan memaparkan asuhan

keperawatan Anak H Usia 9 Tahun Dengan Meningitis Tuberculosis Di Ruangan

Kenanga RSUP DR Hasan Sadikin Bandung dari mulai pengkajian, diagnose,

intervensi, implementasi hingga evaluasi keperawatan.

B. Rumusan Masalah

Sesuai dengan pemaparan diatas, maka kami merumuskan satu masalah dan

tertarik untuk menulis laporan kasus tentang Asuhan Keperawatan Anak H usia 9

Tahun dengan Meningitis Tuberkulosis di Ruangan kenanga 1 RSUP DR Hasan

Sadikin Bandung.
C. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum

Penulis mampu melakukan Asuhan Keperawatan Anak H usia 9 Tahun

dengan Meningitis Tuberkulosis di Ruangan kenanga 1 RSUP DR Hasan Sadikin

Bandung.

2. Tujuan Khusus

Setelah penulis melakukan pendekatan pada Anak H, maka penulis dapat:

a. Melakukan pengkajian pada Anak H

b. Mampu menganalisa masalah yang dialami oleh Anak H

c. Menegakan diagnosa keperawatan pada Anak H

d. Melakukan perencanaan asuhan keperawatan pada Anak H

e. Melakukan tindakan keperawatan spiritual muslim pada Anak H

f. Mengevaluasi hasil tindakan keperawatan spiritual muslim pada Anak H

D. Manfaat Penulisan

1. Bagi pendidikan keperawatan

Hasil penelitian dapat dijadikan sumber referensi dalam mata kuliah

asuhan keperawatan anak, khususnya dalam pemenuhan intervensi pada anak

yang menderita meningitis tuberkulosa.

2. Bagi pelayanan keperawatan

Dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan dalam

pemilihan intervensi keperawatan dalam penanganan pada anak yang mengalami

masalah meningitis tuberculosis.


B. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ditulis untuk memudahkan dalam memahami isi

tulisan ini, penulis memberikan gambaran pada isi setiap BAB, yaitu :

BAB I Pendahuluan: meliputi dari latar belakang, tujuan penulisan, rumusan

masalah, manfaat dan sistematika penulisan.

BAB II Tinjauan Teoritis: Berisi teori-teori yang berhubungan dengan asuhan

keperawatan muslim spiritual dan distres spiritual.

BAB III Tinjauan Kasus dan Pembahasan: Berisi tentang gambaran kasus An

BAB IV Pembahasan: Meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi,

implementasi, dan evaluasi. Pembahasan tentang data atau masalah yang di dapat

dari hasil pengkajian hingga evaluasi pada kasus dilahan praktik dan

dibandingkan dengan teori.

BAB IV Penutup : Kesimpulan dan Saran


BAB II

Tinjauan Teoritis

A. Pengertian

Meningitis tuberkulosis adalah peradangan selaput otak atau meningen yang

disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Meningitis tuberkulosis

merupakan hasil dari penyebaran hematogen dan limfogen bakteri Mycobacterium

tuberculosis dari infeksi primer pada paru (Van & Farrar, 2014).

Meningitis tuberkulosis merupakan salah satu manifestasi klinis TB di luar

paru, yaitu di susunan saraf pusat (SSP). Diagnosis pasti meningitis tuberkulosis

ditetapkan berdasarkan ditemukannya M.tuberculosis dalam cairan serebrospinal

(CSS), melalui biakan, walaupun hasil periksan baru akan didapat setelah 6–8

minggu, walaupun dalam hal ini penderita perlu mendapat penanganan yang cepat

dan tepat (Arydina, Herini, & Triono, 2016)

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa meningitis tuberculosa adalah

peradangan selaput otak yang disebabkan oleh mycrobacterium tuberculosis yang

berkembang di luar paru.

B. Etiologi

Menurut (Wong, Donna L, 2008) mengatakan bahwa etilogi meningitis

tubeculosa terdiri dari:


1. Bakteri; Mycobacterium tuberculosa, Diplococcus pneumoniae

(pneumokok), Neisseria meningitis (meningokok), Streptococus

haemolyticuss, Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, Escherichia

coli, Klebsiella pneumoniae, Peudomonas aeruginosa

2. Penyebab lainnya lues, Virus, Toxoplasma gondhii dan Ricketsia

3. Faktor predisposisi : jenis kelamin lakilaki lebih sering dibandingkan dengan

wanita

4. Faktor maternal : ruptur membran fetal, infeksi maternal pada minggu terakhir

kehamilan

5. Faktor imunologi : defisiensi mekanisme imun, defisiensi imunoglobulin.

6. Kelainan sistem saraf pusat, pembedahan atau injury yang berhubungan

dengan sistem persarafan.

C. Klasifikasi

Meningitis dibagi menjadi 2 golongan berdasarkan perubahan yang terjadi

pada cairan otak, yaitu :

1. Meningitis serosa

Adalah radang selaput otak araknoid dan piameter yang disertai cairan otak

yang jernih. Penyebab terseringnya adalah Mycobacterium tuberculosa.

Penyebab lainnya lues, Virus, Toxoplasma gondhii dan Ricketsia.

2. Meningitis purulenta

Adalah radang bernanah arakhnoid dan piameter yang meliputi otak dan

medula spinalis. Penyebabnya antara lain : Diplococcus pneumoniae


(pneumokok), Neisseria meningitis (meningokok), Streptococus

haemolyticuss, Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, Escherichia

coli, Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa.

D. Patofisiologi

Meningitis tuberkulosis terjadi akibat penyebaran infeksi secara hematogen

ke meningen. Dalam perjalanannya meningitis tuberkulosis melalui 2 tahap yaitu

mula-mula terbentuk lesi di otak atau meningen akibat penyebaran basil secara

hematogen selama infeksi primer. Penyebaran secara hematogen dapat juga terjadi

pada TB kronik, tetapi keadaan ini jarang ditemukan. Selanjutnya meningitis

terjadi akibat terlepasnya basil dan antigen TB dari fokus kaseosa (lesi permukaan

di otak) akibat trauma atau proses imunologi, langsung masuk ke subaraknoid.

Meningitis tuberkulosis biasanya terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer

(Schlossberg, 2010).

Secara patologis, ada tiga keadaaan yang terjadi pada meningitis tuberculosis:

1. Araknoiditis Proliferatif

Proses ini terutama terjadi di basal otak, berupa pembentukan massa fibrotik

yang melibatkan saraf kranialis dan kemudian menembus pembuluh darah.

Reaksi radang akut di leptomeningen ini ditandai dengan adanya eksudat

gelatin, berwarna kuning kehijauan di basis otak. Secara mikroskopik,

eksudat terdiri dari limfosit dan sel plasma dengan nekrosis perkijuan. Pada

stadium lebih lanjut, eksudat akan mengalami organisasi dan mungkin

mengeras serta mengalami kalsifikasi. Adapun saraf kranialis yang terkena


akan mengalami paralisis. Saraf yang paling sering terkena adalah saraf

kranial VI, kemudian III dan IV, sehingga akan timbul gejala diplopia dan

strabismus. Bila mengenai saraf kranial II, maka kiasma optikum menjadi

iskemik dan timbul gejala penglihatan kabur bahkan bisa buta bila terjadi

atrofi papil saraf kranial II. Bila mengenai saraf kranial VIII akan

menyebabkan gangguan pendengaran yang sifatnya permanen (Frontera,

2008).

2. Vaskulitis

Vaskulitis dengan trombosis dan infark pembuluh darah kortikomeningeal

yang melintasi membran basalis atau berada di dalam parenkim otak. Hal ini

menyebabkan timbulnya radang obstruksi dan selanjutnya infark serebri.

Yang sering terkena adalah arteri cerebri media dan anterior serta

cabangcabangnya, dan arteri karotis interna. Vena selaput otak dapat

mengalami flebitis dengan derajat yang bervariasi dan menyebabkan

trombosis serta oklusi sebagian atau total. Mekanisme terjadinya flebitis tidak

jelas, diduga hipersensitivitas tipe lambat menyebabkan infiltrasi sel

mononuklear dan perubahan fibrin (Schwartz, 2005).

3. Hidrosefalus

Hidrosefalus komunikans akibat perluasan inflamasi ke sisterna basalis yang

akan mengganggu sirkulasi dan resorpsi cairan serebrospinalis (Albert, 2011)


Tonsilitis, bronkitis, typus abdominalis, dan penyakit lain

Mikroorganisme secara hematogen sampai ke meningen

meningitis

Mikroorganisme mensekresi toksik Kenaikan volume dan peningkatan viskositas LCS

toksikemia Penurunan penyerapan cairan

Peningkatan suhu oleh hipotalamus Peningkatan tekanan intra kranial

hipertermi Peningkatan ekstensi neuron

kejang

Penurunan kesadaran Masa inkubasi 10-14


hari

Penurunan reflek batuk Resiko kejang


berulang
Penumpukan secret pada
jalan nafas

Gangguan bersihan jalan


nafas
E. Manifestasi Klinis

Gejala klinis meningitis TB berbeda untuk masing-masing penderita.

Faktor-faktor yang bertanggung jawab terhadap gejala klinis erat

kaitannya dengan perubahan patologi yang ditemukan. Tanda dan gejala

klinis meningitis TB muncul perlahan-lahan dalam waktu beberapa

minggu (Nofareni, 2003).

Keluhan pertama biasanya nyeri kepala. Rasa ini dapat menjalar ke

tengkuk dan punggung. Tengkuk menjadi kaku dan Kaku kuduk

disebabkan oleh mengejangnya otot-otot ekstensor tengkuk. Bila hebat,

terjadi opistotonus, yaitu tengkuk kaku dalam sikap kepala tertengadah

dan punggung dalam sikap hiperekstensi. Kesadaran menurun, tanda

Kernig’s dan Brudzinsky positif. Gejala pada bayi yang terkena

meningitis, biasanya menjadi sangat rewel muncul bercak pada kulit

tangisan lebih keras dan nadanya tinggi, demam ringan, badan terasa kaku,

dan terjadi gangguan kesadaran seperti tangannya membuat gerakan tidak

beraturan (Cavendish, 2011)

Gejala klinis meningitis tuberkulosis dapat dibagi dalam 3 (tiga)

stadium (Anderson, 2010) :

1. Stadium I : Prodormal Selama 2-3 minggu dengan gejala ringan dan nampak

seperti gejala infeksi biasa. Pada anak-anak, permulaan penyakit bersifat

subakut, sering tanpa demam, muntah-muntah, nafsu makan berkurang,


murung, berat badan menurun, mudah tersinggung, cengeng, opstipasi, pola

tidur terganggu dan gangguan keadaran berupa apatis. Pada orang dewasa

terdapat panas yang hilang timbul, nyeri kepala, konstipasi, kurang nafsu

makan, fotofobia, nyeri punggung, halusinasi, dan sangat gelisah.

2. Stadium II : Transisi Berlangsung selama 1-3 minggu dengan gejala penyakit

lebih berat dimana penderita mengalami nyeri kepala yang hebat dan

kadangkadang disertai kejang terutama pada bayi dan anak-anak. Tanda tanda

rangsangan meningeal mulai nyata, seluruh tubuh dapat menjadi kaku,

terdapat tanda-tanda peningkatan intrakranial, ubunubun menonjol dan

muntah yang lebih hebat.

3. Stadium III : Terminal Ditandai dengan kelumpuhan dan gangguan kesadaran

sampai koma. Pada stadium ini penderita dapat meninggal dunia dalam waktu

tiga minggu.

F. Diagnosis

Diagnosa pada meningitis TB dapat dilakukan dengan beberapa cara,

diantaranya adalah:

1. Anamnesa

Pada anamnesa dapat diketahui adanya trias meningitis seperti

demam, nyeri kepala dan kaku kuduk. Gejala lain seperti mual muntah,

penurunan nafsu makan, mudah mengantuk, fotofobia, gelisah, kejang,

penurunan kesadaran adanya riwayat kontak dengan pasien tuberkulosis.


Pada neonatus, gejalanya mungkin minimalis dan dapat menyerupai

sepsis, berupa bayi malas minum, letargi, distress pernafasan, ikterus,

muntah, diare, hipotermia. Anamnesa dapat dilakukan pada keluarga

pasien yang dapat dipercaya jika tidak memungkinkan untuk

autoanamnesa (Gleadle, 2007)

2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik yang dapat mendukung diagnosis meningitis biasanya

adalah pemeriksaan rangsang meningeal (Sidharta, 2009). Yaitu sebagai berikut :

a. Kaku Kuduk

Pasien berbaring terlentang dan dilakukan pergerakan pasif berupa fleksi

kepala. Tanda kaku kuduk positif (+) bila didapatkan kekakuan dan tahanan

pada pergerakan fleksi kepala disertai rasa nyeri dan spasme otot.

b. Kernig`s sign

Pasien berbaring terlentang, dilakukan fleksi padas sendi panggul kemudian

ekstensi tungkai bawah pada sendi lutut sejauh mungkin tanpa rasa nyeri.

Tanda Kernig positif (+) bila ekstensi sendi lutut tidak mencapai sudut 135°

(kaki tidak dapat di ekstensikan sempurna) disertai spasme otot paha biasanya

diikuti rasa nyeri.

c. Brudzinski I (Brudzinski leher)

Pasien berbaring dalam sikap terlentang, tangan kanan ditempatkan dibawah

kepala pasien yang sedang berbaring, tangan pemeriksa yang satu lagi

ditempatkan didada pasien untuk mencegah diangkatnya badan kemudian


kepala pasien difleksikan sehingga dagu menyentuh dada. BrudzinskiI positif

(+) bila gerakan fleksi kepala disusul dengan gerakan fleksi disendi lutut dan

panggul kedua tungkai secara reflektorik.

d. Brudzinski II (Brudzinski Kontralateral tungkai)

Pasien berbaring terlentang dan dilakukan fleksi pasif paha pada sendi

panggul (seperti pada pemeriksaan Kernig). Tanda Brudzinski II positif (+)

bila pada pemeriksaan terjadi fleksi involunter padasendi panggul dan lutut

kontralateral.

e. Brudzinski III (Brudzinski Pipi)

Pasien tidur terlentang tekan pipi kiri kanan dengan kedua ibu jari pemeriksa

tepat dibawah os ozygomaticum. Tanda Brudzinski III positif (+) jika

terdapat flexi involunter extremitas superior.

f. Brudzinski IV (Brudzinski Simfisis)

Pasien tidur terlentang tekan simpisis pubis dengan kedua ibu jari tangan

pemeriksaan. Pemeriksaan Budzinski IV positif (+) bila terjadi flexi

involunter extremitas inferior.

g. Lasegue`s Sign

Pasien tidur terlentang, kemudian diextensikan kedua tungkainya. Salah satu

tungkai diangkat lurus. Tungkai satunya lagi dalam keadaan lurus. Tanda

lasegue positif (+) jika terdapat tahanan sebelum mencapai sudut 70° pada

dewasa dan kurang dari 60° pada lansia.

G. Pemeriksaan Penunjang
1. PPD (Purified Protein Derivative)

Lokasi penyuntikan uji mantoux umumnya pada ½ bagian atas lengan bawah

kiri bagian depan, disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian uji

tuberkulin dilakukan 48–72 jam dan lebih diutamakan pada 72 jam setelah

penyuntikan dan diukur diameter dari pembengkakan (indurasi) yang terjadi. .

Tes Mantoux dinyatakan positif apabila diameter indurasi > 10 mm

(Kliegman, 2011).

Tabel 2.1 Hasil Uji Mantoux

1 Pembengkakan (Indurasi) 0-4mm,uji mantoux negatif. Arti klinis :

tidak ada infeksi Mycobacterium

tuberculosis.
2 Pembengkakan (Indurasi) 3-9mm,uji mantoux meragukan. Hal ini

bisa karena kesalahan teknik, reaksi silang

dengan Mycobacterium atypical atau

setelah vaksinasi BCG.


3 Pembengkakan (Indurasi) ≥ 10mm,uji mantoux positif. Arti klinis :

sedang atau pernah terinfeksi

Mycobacterium tuberculosis.
Sumber: Levin, 2009

2. Pemeriksaan Laboratorium

a. Laju Endap Darah (LED. Pada meningitis bakteri didapatkan peningkatan

leukosit polimorfonuklear dengan shift ke kiri.

b. Lumbal Fungsi. Lumbal Pungsi biasanya dilakukan untuk menganalisa

jumlah sel dan protein cairan cerebrospinal, dengan syarat tidak ditemukan
adanya peningkatan tekanan intrakranial. Lumbal pungsi adalah tindakan

memasukkan jarum lumbal pungsi ke dalam kandung dura lewat processus

spinosus L4-L5 / L5-S1 untuk mengambil cairan serebrospinal (Haldar,

2009)

3. Pemeriksaan Radiologis

a. Thorax foto untuk melihat adanya infeksi sebelumnya pada paru-paru

misalnya pada pneumonia dan tuberculosis. Pada penderita dengan

meningitis tuberkulosis umumnya didapatkan gambaran tuberkulosis paru

primer pada pemeriksaan rontgen toraks, kadangkadang disertai dengan

penyebaran milier dan kalsifikasi. Gambaran rontgen toraks yang normal

tidak menyingkirkan diagnosa meningitis tuberkulosis (Kliegman, 2011)

b. Computed Tomography Scan / Magnetic Resonance Imaging Scan

Pemeriksaan Computed Tomography Scan (CT- Scan) dan Magnetic

Resonance Imaging Scan (MRI) kepala dapat menentukan adanya dan

luasnya kelainan di daerah basal, serta adanya dan luasnya hidrosefalus.

Gambaran dari pemeriksaan CT-scan dan MRI kepala pada pasien

meningitis tuberkulosis adalah normal pada awal penyakit. Seringnya

berkembangnya penyakit, gambaran yang sering ditemukan adalah

enhancement di daerah basal, tampak hidrosefalus komunikans yang

disertai dengan tanda-tanda dema otak atau iskemia fokal yang masih dini.

Selain itu, dapat juga ditemukan tuberkuloma yang silent, biasanya di

daerah korteks serebri atau talamus (kliegman, 2011).


H. Penatalaksanaan Medis

Terapi diberikan sesuai dengan konsep baku tuberkulosis yaitu :

1. Fase intensif selama 2 bulan dengan 4 sampai 5 obat anti tuberkulosis,

yaitu isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomisin, dan etambutol.

2. Terapi dilanjutkan dengan 2 obat anti tuberkulosis, yaitu isoniazid dan

rifampisin hingga 12 bulan.

Di samping tuberkulostatik dapat diberikan rangkaian pengobatan dengan

deksametason untuk menghambat edema serebri dan timbulnya perlekatan

antara araknoid dan otak (Levin, 2009)

I. Konsep Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

Anamnesis pada meningitis meliputi keluhan utama, riwayat penyakit

sekarang, riwayat penyakit dahulu, dan pengkajian psikososial (pada anak

perlu dikaji dampak hospitalisasi) (Arif Muttaqin,2008).

a. Keluhan utama Hal yang sering menjadi alas an klien atau orang tua

membawa anaknya untuk meminta pertolongan kesehatan adalah suhu

badan tinggi, kejang, dan penurunan tingkat kesadaran.

b. Riwayat penyakit sekarang. Menjelaskan gejala yang timbul seperti kapan

mulai terjadinya serangan, sembuh atau bertambah buruk. Pada pengkajian

klien dengan meningitis biasanya didapatkan keluhan yang berhubungan


dengan akibat infeksi atau peningkatan tekanan intrakranial. Keluhan

tersebut di antaranya sakit kepala dan demam adalah gejala awal yang

sering. Sakit kepala dihubungkan dengan meningitis yang selalu berat dan

sebagai akibat iritasi meningen. Keluhan kejang perlu mendapat perhatian

untuk dilakukan pengkajian lebih mendalam, bagaiman sifat timbulnya

kejang, stimulasi apa yang sering menimbulkan kejang dan tindakan apa

yang diberikan dalam upaya menurunkan keluhan kejang. Adanya

penurunan kesadaran dihubungkan dengan meningitis bakteri. Disorientasi

dan gangguan memori biasanya merupakan awal adanya penyakit.

Pengkajian lainnya yang perlu ditanyakan seperti riwayat selama

menjalani perawatan di RS, pernahkah menjalani tindakan invasive yang

memungkinkan masuknya kuman ke meningen terutama tindakan melalui

pembuluh darah.

c. Riwayat penyakit dahulu. Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien

yang memungkinkan adanya hubungan atau menjadi predisposisi keluhan

sekarang meliputi pernahkah klien mengalami infeksi jalan nafas bagian

atas, otitis media, mastoiditis, anemia sel sabit dan hemoglobinopatis lain,

tindakan bedah saraf, riwayat trauma kepala dan adanya pengaruh

immunologis pada masa sebelumnya. Riwayat sakit TB paru perlu

ditanyakan kepada klien perlu ditanyakan kepada klien terutama jika ada

keluhan batuk produktif dan pernah mengalami pengobatan obat anti

tuberculosis yang sangat berguna untuk mengidentifikasi meningitis

tuberkulosa.
d. Pengkajian psikososial-spititual Pengkajian psikologis klien meningitis

meliputi beberapa dimensi yang memungkinkan perawat untuk

memperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi, kognitif dan

perilaku klien. Sebagian besar pengkajian ini didapat diselesaikan melalui

interaksi menyeluruh dengan klien dalam pelaksanaan pengkajian lain

dengan member pertanyaan dan tetap melakukan pengawaan sepanjang

waktu untuk menentukan kelayakan ekspresi emosi dan pikiran.

Pengkajian mekanime koping yang digunakan klien juga penting untuk

menilai respon emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan

perubahan peran klien dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam

keluarga maupun dalam masyarakat.

e. Pemeriksaan Fisik.

1) Tanda-tanda vital Pada klien meningitis biasanya didapatkan

peningkatan suhu tubuh lebih dari normal 38-41oC, dimulai pada fase

sistemik, kemerahan, panas, kulit kering, berkeringat. Keadaan ini

biasanya dihubungkan dengan proes inflamasi dan iritasi meningen

yang sudah menggangu pusat pengatur suhu tubuh. Penurunan denyut

nadi berhubungan dengan tanda-tanda peningkatan TIK.

2) Pengkajian Fungsi Serebral Status mental : observasi penampilan,

tingkah laku, nilai gaya bicara, ekspresi wajah, dan aktivitas motorik

klien. Pada klien meningitis tahap lanjut biasanya status mental klien

mengalami perubahan.

3) Pengkajian Saraf Kranial


a) Saraf I : biasanya pada klien meningitis tidak ada kelainan funsi

penciuman.

b) Saraf II : Tes ketajaman penglihatan dalam batas normal

c) Saraf III, IV, dan VI : Pemeriksaan funsi dan reaksi pupil pada klien

meningitis yang tidak disertai penurunan kesadaran biasanya tanpa

kelainan.

d) Saraf V : Pada klien meningitis umumnya tidak didapatkan paralisis

pada otot wajah dan reflek kornea biasanya tidak ada kelainan.

e) Saraf VII : Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah simetris.

f) Saraf VIII : Tidak ditemukan adanya tuli konduktif atu tuli persepsi.

g) Saraf IX dan X : Kemampuan menelan baik.

h) Saraf XI : Tidak ada atrofi otot sternokledomastoideus dan trapezius.

i) Saraf XII : Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak

ada fasikulasi. Indra pengecapan normal.

4) Pengkajian Sistem Motorik Kekuatan otot menurun, control

keseimbangan, dan koordinasi pada meningitis tahap lanjut mengalami

perubahan.

5) Pengkajian Reflek Pemeriksaan reflek profunda, pengetukan pada

tendon, ligamentum atau periosteum derajat reflek pada respon normal.

Reflek patologis akan didapatkan pada klien meningitis dengan tingkat

kesadaran koma. Adanya reflek Babinski (+) merupakan tanda lesi

UMN.
6) B4 (Bladder) Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya didapatkan

berkurangnya volume pengeluaran urine, hal ini berhubungan dengan

penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.

7) B5 ( Bowel) Mual sampai muntah disebabkan peningkatan produksi

asam lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien meningitis menurun

karena anoreksia dan adanya kejang.

8) B6 (Bone) Adanya bengkak dan nyeri pada sendi-sendi besar

(khususnya lutut dan pergelangan kaki. Klien sering mengalami

penurunan kekuatan otot dan kelemahan fisik secara umum sehingga

mengganggu ADL.

2. Diagonosa Keperawatan yang mungkin muncul

a. Perfusi serebral tidak efektif berhubungan dengan infeksi otak

b. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekresi yang tertahan

dibuktikan dengan batuk tidak efektif, ronchi.

c. Pola nafas tidak efektif b.d hambatan upaya nafas dibuktikan dengan pola

nafas abnormal.

d. Resiko infeksi b.d penyakit kronis.

e. Resiko cidera b.d perubahan fungsi kognitif

f. Defisit nutrisi b.d ketidakmampuan menelan makanan dibuktikan dengan

berat badan menurun, otot pengunyah lemah

g. Resiko ketidakseimbangan cairan b.d trauma/perdarahan

h. Hipertermi b.d proses penyakit dibuktikan dengan suhu tubuh diatas normal.
i. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot

dibuktikan dengan kekuatan otot menurun

j. Defisit perawatan diri b.d kelemahan dibuktikan dengan tidak mampu

melakukan perawatan diri secara mandiri.


No Diagnosa Keperawatan SLKI SIKI
1 Perfusi serebral tidak efektif Tujuan : Setelah dilakukan Observasi :
berhubungan dengan infeksi otak intervensi keperawatan selama 3  Identifikasi penyebab peningkatan TIK (mis.lesi
jam maka ekspetasi membaik menempati ruang, gangguan metabolism, edema serebral,
dengan kriteria hasil : peningkatan tekanan vena, obstruksi cairan serebrospinalis,
 Tingkat kesadaran meningkat hipertensi intrakranial idiopatik.
 Kognitif meningkat  Monitor peningkatan tekanan darah
 Tekanan intra cranial menurun  Monitor pelebaran tekanan nadi(selisih TDS dan TDD)
 Sakit kepala menurun  Monitor penurunan frekuensi jantung
 Gelisah menurun  Monitor ireguleritas irama nafas
 Agitasi menurun  Monitor penurunan tingkat kesadaran
 Demam menurun  Monitor perlambatan atau kesimetrisan respon pupil
 Tekanan darah membaik  Monitor kadar CO2 dan pertahankan dalam rentang yang
 Reflek saraf membaik diindikasikan
 Monitor status pernafasan
 Monitor intake dan output cairan
Terapeutik :
 Ambil sampel drainase cairan serebrospinalis
 Pertahankan posisi kepala dan leher netral
 Dokumentasi hasil pemantauan
 Minimalkan stimulus dengan menyediakan lingkungan
yang tenang
 Berikan posisi semi fowler
 Cegah terjadinya kejang
 Pertahankan suhu tubuh
Edukasi :
 Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
 Informasikan hasil pemantauan.
Kolaborasi :
 Kolaborasi pemberian sedasi dan anti konvulsan
 Kolaborasi pemberian diuretic osmosis
2 Bersihan jalan nafas tidak efektif Tujuan : Observasi :
berhubungan dengan sekresi Setelah dilakukan intervensi - Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya nafas
keperawatan selama 3 jam - Monitor pola nafas(seperti bradipnea, takipnea,
yang tertahan dibuktikan
maka ekspetasi membaik hiperventilasi, kassmaul, cheyne-stokes, blot, ataksik)
dengan batuk tidak efektif, dengan kriteria hasil : - Monitor kemampuan batuk efektif
ronchi - Batuk efektif meningkat - Monitor adanya produksi sputum
- Produksi sputum - Monitor adanya sumbatan jalan nafas
menurun - Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
- Mengi menurun - Monitor saturasi oksigen
- Wheezing menurun - Auskultasi bunyi nafas
- Dispnea menurun - Monitor nilai AGD
- Ortopnea menurun - Monitor pola nafas (frekuensi, kedalaman, usaha nafas)
- Sulit bicara menurun - Monitor bunyi nafas tambahan
- Ronchi menurun - Monitor sputum
- Sianosis menurun - Identifikasi kemampuan batuk
- Gelisah menurun - Monitor adanya retensi sputum
- Frekuensi nafas - Monitor tanda dan gejala infeksi saluran nafas
membaik - Monitor input dan output cairan
- Pola nafas membaik Terapeutik :
- Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi klien
- Dokumentasi pemantauan
- Pertahankan kepatenan jalan nafas dengan head-tilt dan
chin-lift
- Posisikan semi fowler atau fowler
- Berikan minum hangat
- Lakukan fisioterapi dada
- Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
- Lakukan hipokoksigenasi sebelum penghisapan
endotrakeal
- Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsep
McGill
- Berikan oksigen, jika perlu
- Pasang perlak dan bengkok dipangkuan pasien
- Buang sekret pada tempat sputum
Edukasi :
- Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
- Informasikan hasil pemantauan.
- Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak
kontraindikasi
- Ajarkan teknik batuk efektif
- Jelaskan tujuan dan prosedur batuk efektif
- Anjurkan tarik nafas dalam melalui hidung selama 4
detik, ditahan selama 2 detik, kemudian keluarkan dari
mulut dengan bibir mencucu (dibulatkan) selama 8
detik
- Anjurkan mengulangi tarik nafas dalam hingga 3 kali
- Anjurkan batuk dengan kuat langsung setela tarik nafas
dalam yang ke-3
Kolaborasi :
- Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik, jika perlu.
3 Pola nafas tidak efektif b.d Tujuan : Observasi :
hambatan upaya nafas Setelah dilakukan intervensi - Monitor pola nafas (frekuensi, kedalaman, usaha nafas)
keperawatan selama 3 jam - Monitor bunyi nafas tambahan (mis. gurgling, mengi,
dibuktikan dengan pola nafas
maka ekspetasi membaik wheezing, ronchi)
abnormal dengan kriteria hasil : - Monitor sputum
- Ventilasi semenit - Monitor pola nafas
meningkat - Monitor kemampuan batuk efektif
- Kapasitas vital - Monitor adanya produksi sputum
mambaik - Monitor adanya sumbatan jalan nafas
Observasi : - Palpasi kesimetrisan ekpansi paru
- Monitor pola nafas (frekuensi, Auskultasi bunyi nafas
kedalaman, usaha nafas) - Monitor saturasi oksigen
- Monitor bunyi nafas tambahan - Monitor nilai AGD
(mis. gurgling, mengi, - Monitor hasil x-ray thoraks
wheezing, ronchi) Terapeutik :
- Monitor sputum - Pertahankan kepatenan jalan nafas dengan head tilt dan
- Monitor pola nafas chin-lift
- Monitor kemampuan batuk efektif - Posisikan semi fowlwr atau fowler
- Monitor adanya produksi sputum - Berikan minuman hangat
- Monitor adanya sumbatan jalan - Lakukan fisioterapi dada
nafas - Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
- Palpasi kesimetrisan ekpansi paru - Lakukan hipokoksigenasi sebelum penghisapan
- Tekanan ekspirasi endotrakeal
membaik - Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsep
- Dispnea menurun McGill
- Penggunaan otot bantu - Berikan oksigen, jika perlu
menurun - Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi
- Ortopnea menurun pasien
- Pernafasan cuping - Dokumentasi hasil pemantauan
hidung menurun Edukasi :
- Frekuensi nafas - Anjurkan asupan cairan 2000ml/hari
membaik - Ajarkan teknik batuk efektif
- Kedalaman nafas - Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
membaik - Infformasikan hasil pemantauan, jika perlu
Kolaborasi :
- Kolaborasi pemberian bronkadilator, ekspektoran,
mokolitik, jika perlu
4 Resiko infeksi b.d penyakit Tujuan : Observasi :
kronis Setelah dilakukan intervensi - Monitor tanda dan gejala infeksi local dan sistemik
keperawatan selama 3 jam Terapeutik :
maka ekspetasi membaik - Batasi jumlah pengunjung
dengan kriteria hasil : - Berikan perawatan kulit pada area edema
- Kebersihan tangan - Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan
meningkat pasien dan lingkungan pasien
- Kebersihan badan - Pertahankan teknik aseptic pada pasien beresiko tinggi
meningkat Edukasi :
- Nafsu makan meningkat - Jelaskan tanda dan gejala infeksi
- Demam menurun - Ajarkan cara mencuci tangan yang benar
- Kemerahan menurun - Ajarkan etika batuk
- Nyeri menurun - Ajarkan cara memeriksa kondisi luka atau luka operasi
- Bengkak menurun - Ajarkan meningkatkan asupan nutrisi
- Vesikel menurun - Ajarkan meningkatkan asupat cairan
- Cairan berbau busuk Kolaborasi :
menurun - Kolaborasi pemberian imunisasi, jika perlu
- Sputum berwarna hijau
menurun
- Drainase purulen
menurun
- Gangguan kognitif
menurun
- Kadar sel darah putih
membaik
5 Resiko cidera b.d perubahan Tujuan : Observasi :
Setelah dilakukan intervensi - Identifikasi area lingkungan yang
fungsi kognitif keperawatan selama 1x24jam berpotensimenyebabkan cidera
maka ekspetasi membaik - Identifikasi obat yang berpotensi menyebabkan cidera
dengan kriteria hasil : - Identifikasi kesesuaian alas kaki atau stoking elastic
- Toleransi aktivitas pada ekstremitas bawah
menurun - Identifikasi kebutuhan keselamatan (mis.kondisi fisik,
- Nafsu makan meningkat fungsi kognitif dan riwayat perilaku)
- Toleransi makanan - Monitor perubahan status kesehatan lingkungan
menurun Terapeutik :
- Kejadian cidera - Sediakan pencahayaan yang memadai
menurun - Gunakan lampu tidur selama jam tidur
- Luka lecet menurun - Sosialisasikan pasien dan keluarga dengan lingkungan
- Ketegangan otot rawat inap
menurun - Gunakan alas lantai jika beresiko mengalami cidera
- Fraktur menurun serius
- Gangguan mobilitas - Sediakan alas kaki antislip
menurun - Sediakan pipot atau urinal untuk eliminasi ditempat
- Gangguan kognitif tidur
menurun - Pastikan bel panggilan atau telepon mudah dijangkau
- Tekanan darah - Pertahankan posisi tempat tidur diposisi terendah saat
membaik digunakan
- Frekuensi nadi - Pastikan roda tempat tidur dalam keadaan terkunci
membaik - Gunakan pengaman tempat tidur sesuai dengan
- Frekuensi nafas kebijakan fasilitas pelayanan kesehatan
membaik - Pertimbangan penggunaan alarm elektronik pribadi
- Diskusikan mengenai latihan dan terapi fisik yang
diperlukan
- Diskusikan mengenai alat bantu mobilitas yang sesuai
- Diskusikan bersama anggota keluarga yang dapat
mendampingi pasien
Tingkatkan frekuensi observasi dan pengawasan pasien
- Hilangkan bahaya keselamatan lingkungan
- Modifikasi lingkungan untuk meminimalkan bahaya
dan resiko
- Sediakan alat bantu keamanan lingkungan (mis.
commode chair dan pegangan tangan)
- Gunakan perangkat pelindung (mis. pengekangan fisik,
rel samping, pintu terkunci, pagar)
- Hubungi pihak berwenang sesuai masalah komunitas
- Fasilitasi relokasi lingkungan yang aman
- Lakukan program skrining bahaya lingkungan
Edukasi :
- Jelaskan alasan intervensi pencegahan jatuh ke pasien
dan keluarga
- Anjurkan berganti posisi secara perlahan dan duduk
selama beberapa menit sebelum berdiri
- Ajarkan individu dan keluarga atau kelompok resiko
bahaya lingkungan.
3. Intervensi
4. Implementasi

Sasaran utama dapat mencakup eliminasi yang adekuat dari produksi sisa

tubuh, reduksi atau peningkatan nyeri, peningkatan toleransi aktivitas, pencapaian

tingkat nutrisi, pemeliharaan keseimbangan cairan dn elektrolit serta pemeliharaan

kesehatan dan tidak ada komplikasi.

5. Evaluasi

Adapun hasil yang ingin dicapai yaitu mencapai masa penyembuhan tepat

waktu, mempertahankan tingkat kesadaran, tidak mengalami kejang, melaporkan

nyeri berkurang, mencapai kembali atau mempertahankan posisi fungsional

optimal kekuatan, serta tampak rileks dan melaporkan ansietas berkurang.


DAFTAR PUSTAKA

Arydina, A., Herini, E. S., & Triono, A. (2016). Bacterial Meningeal Score

(BMS) Sebagai Indikator Diagnosis Meningitis Bakterialis di RSUP Dr.

Sardjito Yogyakarta. Sari Pediatri, 15(5), 274.

https://doi.org/10.14238/sp15.5.2014.274-80

Kartasasmita, C. B. (2016). Epidemiologi Tuberkulosis. Sari Pediatri, 11(2), 124.

https://doi.org/10.14238/sp11.2.2009.124-9

Schlossberg, D. (2010). Acute Tuberculosis. Infectious Disease Clinics of North

America. https://doi.org/10.1016/j.idc.2009.10.009

Van, T. T. T., & Farrar, J. (2014). Tuberculous meningitis. Journal of

Epidemiology and Community Health. https://doi.org/10.1136/jech-2013-

202525

Wilkinson, R. J., Rohlwink, U., Misra, U. K., Van Crevel, R., Mai, N. T. H.,

Dooley, K. E., … Visser, D. H. (2017). Tuberculous meningitis. Nature

Reviews Neurology. https://doi.org/10.1038/nrneurol.2017.120

Wong, Donna L, dkk. (2008). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik’Wong.pdf (6th

ed.). Jakarta: EGC.

World Health Organization. (2015). Global Tuberculosis Report. Blood.

https://doi.org/978 92 4 156450 2

World Health Organization (WHO). (2018). Latent tuberculosis infection :

updated and consolidated guidelines for programmatic management. World


Health Organization.

Anda mungkin juga menyukai