Anda di halaman 1dari 28

NOTULENSI REFRESHING

“VISUM ET REPERTUM DAN PENENTUAN DERAJAT LUKA”

Dokter Pembimbing:
dr. Farah P. Kaurow, Sp.F

Disusun oleh:

Ardian Agristha D 2016730017


Cika Hanandiya 2016730118
Fatimah Azzahra A 2016730037
Haryo Wiryanto P 2016730124
Herdianty Zahira 2016730046
Ilham Rahmansyah 2016730125
Mellya Trisyane M 2016730064
Muhammad Fahrul 2016730066
M Ichsandi D 2016730128
Nayla Sa’adah A 2016730078
Vaniannisa Azzahra 2016730138

STASE ILMU KEDOKTERAN FORENSIK


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
RS BHAYANGKARA TK.I R.SAID SUKANTO
PERIODE 27 JULI – 2 AGUSTUS
2020
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr.wb

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang maha Esa atas
segala rahmat dan Hidayah-Nya sehingga peulis dapat menyelesaikan laporan notulensi
refreshing yang berjudul “VISUM ET REPERTUM DAN PENENTUAN DERAJAT
LUKA” dengan baik dan tepat waktu. Laporan refreshing ini disusun untuk memenuhi
persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan Kepaniteraan Klinis Stase Ilmu
Kedokteran Forensik di Rumah Sakit Bhayangkara TK.I R Said Sukanto.

Penulis mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada dr. Farah P. Kaurow,


Sp.F sebagai pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk
memberikan bimbingan, arahan serta motivasi kepada penulis.

Penyusun menyadari bahwa dalam proses penulisan Laporan refreshing ini masih
jauh dari kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian,
penyusun telah berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki
sehingga tugas ini dapat selesai dengan baik dan oleh karenanya, penyusun dengan
rendah hati dan dengan tangan terbuka menerima masukan, saran dan usul guna
penyempurnaan Laporan Refreshing ini.

Akhirnya penyusun berharap semoga refreshing ini dapat bermanfaat bagi seluruh
pembaca.

Wassalamu’alaikum wr.wb

Jakarta, Juli 2020

Penulis

2
Dokter Pembimbing : dr. Farah P. Kaurow, Sp.F

Hari/Tanggal : Selasa, 28 Juli 2020

Pukul : 07.30 -

A. DEFINISI VISUM ET REPERTUM


Visum et Repertum (VeR) adalah keterangan tertulis yang dibuat dokter
atas permintaan tertulis (resmi) penyidik tentang pemeriksaan medis terhadap
seseorang manusia baik hidup maupun mati ataupun bagian dari tubuh manusia,
berupa temuan dan interpretasinya, di bawah sumpah dan untuk kepentingan
peradilan.

B. DASAR HUKUM VISUM ET REPERTUM

Dokter berperan penting dalam menemukan kebenaran materil


sebagaimana dituju di dalam pemeriksaan perkara pidana. Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 133 dengan merujuk pasal
dalam KUHAP tersebut dapat diartikan bahwa Permintaan Visum et
Repertum mayat berupa bedah jenazah, maka hukumnya ”mutlak” atau tidak
dapat ditolak.

1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang


korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena
peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan
permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau
dokter dan atau ahli lainnya.

2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)


dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas
untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan
bedah mayat.

Pasal 133 ayat (1) KUHAP mengatur tentang pemeriksaan dokter


perlu dilakukan, yaitu menyangkut korban baik luka, keracunan ataupun

3
mati yang diduga karena peristiwa pidana. Penjelasan Resmi atas Pasal
133 ayat (2) KUHAP menyatakan, keterangan yang diberikan oleh ahli
kedokteran kehakiman disebut keterangan ahli, sedangkan keterangan
yang diberikan oleh dokter bukan ahli kedokteran kehakiman disebut
keterangan.

Dengan demikian, keterangan dokter bukan ahli kedokteran


kehakiman (disebut keterangan menurut Penjelasan Pasal 133 ayat (2)
KUHAP), dan menurut Pedoman Pelaksanaan KUHAP dikategorikan
sebagai alat bukti petunjuk. Penilaian sepenuhnya diserahkan kepada
hakim, untuk menentukan kategori alat bukti keterangan yang diberikan
oleh dokter bukan ahli kedokteran kehakiman.

Hukum pidana Indonesia menentukan, atas dasar permintaan


penyidik memberikan beban kewajiban bagi setiap dokter dalam
kapasitasnya sebagai ahli untuk memeriksa setiap orang yang luka atau
mati yang diduga sebagai korban tindak pidana. Pasal 216 KUHP
mengancam sanksi pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu
apabila dokter atas permintaan penyidik, menolak melakukan
pemeriksaan kedokteran forensik. Sanksi hukum bila dokter menolak
permintaan penyidik, dapat dikenakan sanksi pidana:

Pasal 216 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP):

• Barangsiapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau


permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat
yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat
berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk
mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula
barangsiapa dengan sengaja mencegah, menghalanghalangi atau
menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan, diancam
dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu
atau denda paling banyak sembilan ribu rupiah.

Apabila diperlukan pemeriksaan bedah mayat dan keluarga


keberatan, maka penyidik wajib menjelaskan kepada keluarga korban
hingga keluarga korban dapat memahami tujuan dan kepentingan
4
pemeriksaan. Penyidik juga masih dapat menerapkan Pasal 222 KUHP
yang akan memberikan sangsi pidana apabila keluarga
menghalanghalangi guna pemeriksaan jenazah untuk keadilan. Sesuai
dengan KUHAP Pasal 134 ayat (2) dan (3):

2) Dalam hal keluarga keberatan, penyidik wajib menerangkan


dengan sejelasjelasnya tentang maksud dan tujuan perlu
dilakukannya pembedahan tersebut.

3) Apabila dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari
keluarga atau pihak yang perlu diberitahu tidak diketemukan,
penyidik segera melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 133 ayat (3) undangundang ini.

C. PERAN DAN FUNGSI VISUM ET REPERTUM

Visum et Repertum adalah salah satu alat bukti yang sah sebagaimana
tertulis dalam pasal 184 KUHP.
KUHAP 184 ayat 1: Alat bukti yang sah adalah:
a) Keterangan saksi
b) Keterangan ahli
c) Surat
d) Petunjuk
e) Keterangan terdakwa
Surat sebagaimana tersebut pada pasal 184 ayat 1 Huruf c, dibuat atas
sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah: Surat keterangan dari
seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu
hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya.
Visum et Repertum turut berperan dalam proses pembuktian suatu perkara
pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia, dimana Visum et Repertum
menguraikan segala sesuatu tentang hasil pemeriksaan medis yang tertuang di
dalam bagian pemberitaan, yang karenanya dapat dianggap sebagai pengganti
barang bukti.
Visum et Repertum juga memuat keterangan atau pendapat dokter
mengenai hasil pemeriksaan medis tersebut yang tertuang di dalam bagian
kesimpulan. Dengan demikian Visum et Repertum secara utuh telah

5
menjembatani ilmu kedokteran dengan ilmu hukum sehingga dengan membaca
Visum et Repertum, dapat diketahui dengan jelas apa yang telah terjadi pada
seseorang, dan para praktisi hukum dapat menerapkan norma-norma hukum pada
perkara pidana yang menyangkut tubuh dan jiwa manusia.
Apabila Visum et Repertum belum dapat menjernihkan duduk persoalan
di sidang pengadilan, maka hakim dapat meminta keterangan ahli atau
diajukannya bahan baru, seperti yang tercantum dalam KUHAP, yang
memungkinkan dilakukannya pemeriksaan atau penelitian ulang atas barang
bukti, apabila timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasehat
hukumnya terhadap suatu hasil pemeriksaan. Hal ini sesuai dengan pasal 180
KUHAP.
Bagi penyidik (Polisi/Polisi Militer) Visum et Repertum berguna untuk
mengungkapkan perkara. Bagi Penuntut Umum (Jaksa) keterangan itu berguna
untuk menentukan pasal yang akan didakwakan, sedangkan bagi hakim sebagai
alat bukti formal untuk menjatuhkan pidana atau membebaskan seseorang dari
tuntutan hukum. Untuk itu perlu dibuat suatu Standar Prosedur Operasional
(SPO) pada suatu Rumah Sakit / pelayanan kesehatan tentang tata laksana
pengadaan Visum et Repertum.

D. JENIS-JENIS VISUM ET REPERTUM


Secara umum terdapat dua jenis Visum et Repertum yaitu Visum et
Repertum untuk korban hidup dan Visum et Repertum untuk orang mati. Untuk
korban hidup dapat berupa Visum et Repertum luka, Visum et Repertum
perkosaan/kejahatan seksual, Visum et Repertum psikiatrik dan sebagainya sesuai
dengan kondisi subjek yang diperiksa. Untuk korban mati akan disusun Visum et
Repertum jenazah. Pada umumnya semua dokter dianggap memiliki kemampuan
untuk menyusun Visum et Repertum dalam bentuk apapun.
1. Untuk korban hidup
 Berdasarkan waktu pelaksanaan
o VeR yang diberikan sekaligus, yaitu pembuatan visum et
repertum yang dilakukan apabila orang yang dimintakan visum
et repertum tidak memerlukan perawatan lebih lanjut atas
kondisi luka-luka yang disebabkan dari tindak pidana. Pada

6
umumnya visum et repertum sekaligus diberikan untuk korban
penganiayaan ringan yang tidak memerlukan perawatan di
rumah sakit
o VeR sementara, diperlukan apabila orang yang dimintakan
visum et repertum memerlukan perawatan lebih lanjut
berhubungan dengan luka-luka yang disebabkan dari tindak
pidana. Visum et repertum sementara diberikan sementara
waktu, untuk menjelaskan keadaan orang yang dimintakan
visum et repertum pada saat pertama kali diperiksa oleh
dokter, sehingga masih memerlukan visum et repertum
lanjutan dalam rangka menjelaskan kondisi orang yang
dimintakan visum et repertum pada saat terakhir kali
meninggalkan rumah sakit
o VeR lanjutan, diberikan apabila orang yang dimintakan
Visum et Repertum hendak meninggalkan rumah sakit
dikarenakan telah sembuh, pulang paksa, pindah rumah sakit
atau mati
 Berdasarkan jenis visum
o VeR luka
o VeR kejahatan seksual atau pemerkosaan atau tindak
pidana kesusilaan, merupakan visum et repertum yang
diberikan untuk tindak pidana di bidang kesusilaan, baik yang.
Pemeriksaan terhadap korban tindak pidana di bidang
kesusilaan, khusus pada tindak pidana yang mengandung unsur
persetubuhan pembuktiannya secara medis lebih mudah
daripada tindak pidana kesusilaan yang tidak mensyaratkan
adanya unsur persetubuhan (misalnya, pelecehan seksual,
percabulan, dan sebagainya)
o VeR psikiatrik, diperlukan berhubungan dengan pelaku tindak
pidana yang diduga jiwanya cacat dalam tumbuh kembangnya
atau terganggu karena penyakit. Visum et Repertum Psikiatrik
biasanya juga diberikan terhadap pelaku tindak pidana yang
dalam melakukan tindak pidana di luar batas-batas kewajaran
manusia normal, misalnya, pembunuhan dengan cara
7
memutilasi korban, atau tindak pidana yang dipandang sadis
yang tidak mungkin dapat dilakukan oleh pelaku dalam
kondisi jiwa yang normal

2. Untuk korban mati


Tujuan pembuatannya untuk orang yang mati atau diduga
kematiannya dikarenakan peristiwa pidana. Pemeriksaan atas mayat haruslah
dilakukan dengan cara bedah mayat atau otopsi forensik, yang dilakukan
untuk mengetahui penyebab pasti kematian seseorang. Pemeriksaan atas
mayat dengan cara melakukan pemeriksaan di luar tubuh, tidak dapat secara
tepat menyimpulkan penyebab pasti kematian seseorang. Hanya bedah mayat
forensik yang dapat menentukan penyebab pasti kematian seseorang.
Visum et repertum penggalian mayat, dilakukan dengan cara
menggali mayat yang telah terkubur atau dikuburkan, yang kematiannya
diduga karena peristiwa pidana. Penggunaan istilah visum et repertum
penggalian mayat lebih tepat daripada visum et repertum penggalian kuburan,
karena orang yang mati terkubur dikarenakan peristiwa pidana belum tentu
posisinya dikuburkan/terkubur di kuburan. Visum et repertum penggalian
mayat dilakukan, baik atas mayat yang telah maupun yang belum pernah
diberikan visum et repertum. Atas mayat yang telah diberikan visum et
repertum dimungkinkan untuk dibuatkan visum et repertum ulang apabila
hasil visum et repertum sebelumnya diragukan kebenarannya, misalnya dalam
kasus pembunuhan aktivis buruh perempuan Marsinah pada masa
pemerintahan orde baru yang penggalian mayatnya dilakukan lebih dari satu
kali.

E. ISI VISUM ET REPERTUM


Ciri khas yang terdapat dalam visum et repertum adalah adanya kata pro
justitia di sudut sebelah kiri atas, yang merupakan persyaratan yuridis sebagai
pengganti meterai. Selengkapnya isi visum et repertum meliputi:
1. Pendahuluan, memuat identitas dokter pemeriksa yang membuat visum et
repertum, identitas peminta visum et repertum, saat dan tempat dilakukannya
pemeriksaan dan identitas barang bukti yang berupa tubuh manusia

8
2. Pemberitaan, merupakan hasil pemeriksaan yang memuat segala sesuatu yang
dilihat dan diketemukan oleh dokter pada saat melakukan pemeriksaan
3. Kesimpulan, memuat intisari dari hasil pemeriksaan yang disertai pendapat
dokter sesuai dengan pengetahuan dan pengalamannya. Dalam kesimpulan
diuraikan pula hubungan kausal antara kondisi tubuh yang diperiksa dengan
segala akibatnya
4. Penutup, memuat pernyataan bahwa visum et repertum dibuat atas sumpah
dokter dan menurut pengetahuan yang sebaik- baiknya dan sebenar-benarnya.

F. PEMBERITAAN DAN KESIMPULAN

Kasus perlukaan • Pemberitaan: hasil anamnesis yang berhubungan,


deskripsi luka (regio, koordinat, jenis, bentuk, tepi
luka, dasar luka, keadaan sekitar luka, ukuran,
jembatan jaringan, benda asing, dsb), pemeriksaan
penunjang yang dilakukan, tindakan perawatan.
• Kesimpulan: jenis luka dan kekerasan, derajat luka

Kasus keracunan • Pemberitaan: keadaan umum, anamnesis, tanda


keracunan (aroma zat kimia pd muntahan),
dampak keracunan (perubahan TTV, kerusakan
organ & jaringan), pemeriksaan penunjang yang
dilakukan
• Kesimpulan: hasil pem. penunjang (jenis zat, jml
zat, vol. zat, dosis zat, jenis sampel), cara
masuknya racun, derajat kualifikasi luka (korban
hidup), sebab kematian (korban mati)

Kasus kejahatan • Pemberitaan: keadaan umum, anamnesis, riwayat


seksual haid, penilaian jenis kelamin, tanda persetubuhan,
tanda kekerasan memaksa, batasan usia, deskripsi
luka, dan pemeriksaan penunjang.
• Kesimpulan: tanda persetubuhan (robek hymen),
batas usi, tanda kekerasan memaksa

Pemeriksaan luar • Identifikasi


9
jenazah
• Label mayat
• Penutup/bungkus mayat
• Aksesoris yang terdapat pada mayat
• Pakaian (jenis pakaian, warna dasar, corak,
robekan, bercak, dsb)
• Benda di samping mayat
• Jenis kelamin, ras, perkiraan usia, TB, BB,
warna kulit, sunat/tidak
• Identitas khusus (tato, cacat bawaan,
jaringan parut)
• Warna rambut, jenis rambut, alis, bulu
mata, kumis/jenggot
• Keadaan mata, hidung, telinga, mulut,
lidah, gigi geligi
• Ada/tidaknya cairan pada lubang di tubuh
(mulut, hidung, telinga, kelamin, anus)
• Golongan darah
• Thanatologi
• Rigor mortis (kaku mayat)
• Livor mortis (lebam mayat)
• Algor mortis (penurunan suhu)
• Pembusukan
• Tanda kekerasan
• Luka tembak
• Jejas jerat
• Patah tulang

G. TATA LAKSANA UMUM VISUM ET REPERTUM

a. Ketentuan standar dalam penyusunan visum et repertum

a. Pihak yang berwenang meminta keterangan ahli menurut


KUHAP pasal 133 ayat (1) adalah penyidik yang menurut PP
27/1983 adalah Pejabat Polisi Negara RI. Sedangkan untuk
10
kalangan militer maka Polisi Militer (POM) dikategorikan
sebagai penyidik.
b. Pihak yang berwenang membuat keterangan ahli menurut
KUHAP pasal 133 ayat (1) adalah dokter dan tidak dapat
didelegasikan pada pihak lain.
c. Prosedur permintaan keterangan ahli kepada dokter telah
ditentukan bahwa permintaan oleh penyidik harus dilakukan
secara tertulis yang secara tegas telah diatur dalam KUHAP pasal
133 ayat (2).
d. Penyerahan surat keterangan ahli hanya boleh dilakukan pada
Penyidik yang memintanya sesuai dengan identitas pada surat
permintaan keterangan ahli. Pihak lain tidak dapat memintanya.
b. Pihak yang terlibat dalam kegiatan pelayanan forensik klinik

a. Dokter

b. Perawat / petuga pemulasaraan jenazah

c. Petugas Administrasi

c. Tahapan-tahapan dalam pembuatan visum et repertum

a. Penerimaan korban yang dikirim oleh Penyidik.

Yang berperan dalam kegiatan ini adalah dokter, mulai


dokter umum sampai dokter spesialis yang pengaturannya
mengacu pada Standar Prosedur Operasional (SPO). Yang
diutamakan pada kegiatan ini adalah penanganan kesehatannya
dulu, bila kondisi telah memungkinkan barulah ditangani aspek
medikolegalnya. Tidak tertutup kemungkinan bahwa terhadap
korban dalam penanganan medis melibatkan berbagai disiplin
spesialis.

11
b. Penerimaan surat permintaan keterangan ahli/visum et revertum

Adanya surat permintaan keterangan ahli/visum et


repertum merupakan hal yang penting untuk dibuatnya visum et
repertum tersebut. Dokter sebagai penanggung jawab
pemeriksaan medikolegal harus meneliti adanya surat permintaan
tersebut sesuai ketentuan yang berlaku. Hal ini merupakan aspek
yuridis yang sering menimbulkan masalah, yaitu pada saat
korban akan diperiksa surat permintaan dari penyidik belum ada
atau korban (hidup) datang sendiri dengan membawa surat
permintaan visum et repertum.
Untuk mengantisipasi masalah tersebut maka perlu dibuat kriteria
tentang pasien/korban yang pada waktu masuk Rumah
Sakit/UGD tidak membawa SpV. Sebagai berikut :
1. Setiap pasien dengan trauma

2. Setiap pasien dengan keracunan/diduga keracunan

3. Pasien tidak sadar dengan riwayat trauma yang tidak jelas

4. Pasien dengan kejahatan kesusilaan/perkosaan

5. Pasien tanpa luka/cedera dengan membawa surat


permintaan visum Kelompok pasien tersebut di atas untuk
dilakukan kekhususan dalam hal pencatatan temuan-
temuan medis dalam rekam medis khusus, diberi tanda
pada map rekam medisnya (tanda “VER”), warna sampul
rekam medis serta penyimpanan rekam medis yang tidak
digabung dengan rekam medis pasien umum.

“Ingat ! kemungkinan atas pasien tersebut di atas pada


saat yang akan datang, akan dimintakan visum et
repertumnya dengan surat permintaan visum yang datang
menyusul.”
Pada saat menerima surat permintaan visum et repertum

12
perhatikan hal-hal sebagai berikut : asal permintaan, nomor
surat, tanggal surat, perihal pemeriksaan yang dimintakan,
serta stempel surat. Jika ragu apakah yang meminta penyidik
atau bukan maka penting perhatikan stempel nya. Jika
stempelnya tertulis “KEPALA” maka surat permintaan tersebut
dapat dikatakan sah meskipun ditandatangani oleh pnyidik
yang belum memiliki panfkat inspektur dua (IPDA).
Setelah selesai meneliti surat permintaan tersebut dan
kita meyakini surat tersebut sah secara hukum, maka isilah
tanda terima surat permintaan visum et repertum yang biasanya
terdapat pada kiri bawah. Isikan dengan benar tanggal, hari dan
jam kita menerima surat tersebut, kemudian tuliskan nama
penerima dengan jelas dan bubuhi dengan tanda tangan.
Pasien atau korban yang datang ke rumah sakit atau ke
fasilitas pelayanan kesehatan tanpa membawa Surat
Permintaan Visum (SPV) tidak boleh ditolak untuk dilakukan
pemeriksaan. Lakukan pemeriksaan sesuai dengan standar dan
hasilnya dicatat dalam rekam medis. Visum et Repertum baru
dibuat apabila surat permintaan visum telah disampaikan ke
rumah sakit atau fasilitas pelayanan kesehatan.

c. Pemeriksaan korban secara medis

Tahap ini dikerjakan oleh dokter dengan menggunakan


ilmu forensik yang telah dipelajarinya. Namun tidak tertutup
kemungkinan dihadapi kesulitan yang mengakibatkan beberapa
data terlewat dari pemeriksaan.
Ada kemungkinan didapati benda bukti dari tubuh korban
misalnya anak peluru, dan sebagainya. Benda bukti berupa
pakaian atau lainnya hanya diserahkan pada pihak penyidik.
Dalam hal pihak penyidik belum mengambilnya maka pihak
petugas sarana kesehatan harus me-nyimpannya sebaik
mungkin agar tidak banyak terjadi perubahan. Status benda
bukti itu adalah milik negara, dan secara yuridis tidak boleh
diserahkan pada pihak keluarga/ahli warisnya tanpa melalui

13
penyidik.

d. Pengetikan surat keterangan ahli/visum et repertum

Pengetikan berkas keterangan ahli/visum et repertum


oleh petugas administrasi memerlukan perhatian dalam
bentuk/formatnya karena ditujukan untuk kepentingan
peradilan. Misalnya penutupan setiap akhir alinea dengan garis,
untuk mencegah penambahan kata-kata tertentu oleh pihak
yang tidak bertanggung jawab.
Contoh : “Pada pipi kanan ditemukan luka terbuka, tapi tidak
rata sepanjang lima senti meter“
e. Penandatanganan surat keterangan ahli / visum et repertum

Undang-undang menentukan bahwa yang berhak


menandatanganinya adalah dokter. Setiap lembar berkas
keterangan ahli harus diberi paraf oleh dokter. Sering terjadi
bahwa surat permintaan visum dari pihak penyidik datang
terlambat, sedangkan dokter yang menangani telah tidak
bertugas di sarana kesehatan itu lagi. Dalam hal ini sering
timbul keraguan tentang siapa yang harus menandatangani
visum et repertun korban hidup tersebut. Hal yang sama juga
terjadi bila korban ditangani beberapa dokter sekaligus sesuai
dengan kondisi penyakitnya yang kompleks.
Dalam hal korban ditangani oleh hanya satu orang
dokter, maka yang menandatangani visum yang telah selesai
adalah dokter yang menangani tersebut (dokter pemeriksa).
Dalam hal korban ditangani oleh beberapa orang dokter,
maka idealnya yang menandatangani visumnya adalah setiap
dokter yang terlibat langsung dalam penanganan atas korban.
Dokter pemeriksa yang dimaksud adalah dokter pemeriksa
yang melakukan pemeriksaan atas korban yang masih
berkaitan dengan luka/cedera/racun/tindak pidana.
Dalam hal dokter pemeriksa sering tidak lagi ada di tempat
(diluar kota) atau sudah tidak bekerja pada Rumah Sakit
tersebut, maka visum et repertum ditandatangani oleh dokter
14
penanggung jawab pelayanan forensik klinik yang ditunjuk
oleh Rumah Sakit atau oleh Direktur Rumah Sakit tersebut.

f. Penyerahan benda bukti yang telah selesai diperiksa

Benda bukti yang telah selesai diperiksa hanya boleh


diserahkan pada penyidik saja dengan menggunakan berita
acara.
g. Penyerahan surat keterangan ahli/visum et repertum.

Surat keterangan ahli/visum et repertum juga hanya


boleh diserahkan pada pihak penyidik yang memintanya saja.
Dapat terjadi dua instansi penyidikan sekaligus meminta surat
visum et repertum. Penasehat hukum tersangka tidak diberi
kewenangan untuk meminta visum et repertum kepada dokter,
demikian pula tidak boleh meminta salinan visum et repertum
langsung dari dokter. Penasehat hukum tersangka dapat
meminta salinan visum et repertum dari penyidik atau dari
pengadilan pada masa menjelang persidangan.

15
CONTOH SURAT PERMINTAAN VISUM

16
Keterangan :

1. Dasar hukum

2. Identitas korban

3. Perihal waktu kejadian

4. Perihal barang bukti yang disertakan

5. Permohonan

6. Ucapan terima kasih

Standar operasional prosedur (pelayanan dan penulisan visum)

1) Diketik di atas kertas berkepala surat instansi pemeriksa

2) Bernomor sesuai dengan tatacara penomoran di instansi pemeriksa dan


bertanggal sesuai pembuatan visum
3) Mencantumkan kata ”Pro Justitia” di bagian atas kiri (kiri atau tengah)

4) Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar serta tidak


menggunakan istilah asing
5) Font huruf dan ukuran huruf yang digunakan yang resmi (Times New
Roman dan Arial)
6) Diketik 1 spasi, rata kiri dan kanan

7) Angka ditulis dengan huruf dan apabila kalimat yang dibuat tidak sampai
pada ujung batas baris, maka dibuat garis penutup
8) Berstempel instansi pemeriksa tersebut

9) Ditandatangani dan diberi nama jelas

10) Tidak menggunakan singkatan, terutama pada waktu mendeskripsikan


temuan pemeriksaan
11) Apabila lebih dari satu halaman maka dilakukan hal sebagai berikut

17
a. Mencantumkan 3 kata pertama dari halaman berikutnya dibagian kanan
bawah
b. Mencantumkan nomor halaman dan jumlah total halaman

c. Setiap lembar diberi nomor visum

18
Format Pembuatan V.E.R

Terdiri dari :

1. PENDAHULUAN

1) Pro Justisia.

 Dibuat untuk kepentingan peradilan

 Ditulis disudut kiri atas dari penulis atau kanan atas dari
lembaran VeR
2) Identitas pemeriksa, tempat, pemohon dan
korban. Berisi :
 Identitas yg meminta (penyidik)

 Identitas yg memeriksa (Dokter)

 Identitas yg diperiksa (korban/barang bukti)

 Hal lainnya (Identitas surat permintaan,waktu & tempat


pemeriksaan)

2. PEMBERITAAN

 Bersifat diskriptif & obyektif apa yg dilihat & ditemukan.

 Tidak mencantumkan istilah medis

 Dapat memasukan hasil laboratorium, tindakan & perawatan.

3. KESIMPULAN

 Berisikan hasil analisa / pendapat dokter tentang temuan.

 Bersifat subjektif menurut keilmuan & berdasarkan isi pemberitaan


yg disesuaikan dgn klasifikasi VeR.

19
4. PENUTUP
Berisi :
 Tidak berjudul & berisikan kalimat baku “Demikianlah VeR ini dibuat
dgn sebenarnya dgn menggunakan keilmuan yg sebaik-baiknya,
mengingat sumpah sesuai dgn KUHAP”
 Di bawah Penutup harus dibubuhi tandatangan seorang dokter yg
memeriksa.

H. Derajat Luka
Salah satu yang harus diungkapkan dalam kesimpulan sebuah VeR perlukaan
adalah derajat luka atau kualifikasi luka. Dari aspek hukum, VeR dikatakan baik
apabila substansi yang terdapat dalam VeR tersebut dapat memenuhi delik rumusan
dalam KUHP. Suatu perlukaan dapat menimbulkan dampak pada korban dari segi
fisik, psikis, sosial dan pekerjaan, yang dapat timbul segera, dalam jangka pendek,
ataupun jangka panjang. Dampak perlukaan tersebut memegang peranan penting bagi
hakim dalam menentukan beratnya sanksi pidana yang harus dijatuhkan sesuai dengan
rasa keadilan.
Tujuan pemeriksaan kedokteran forensik pada korban hidup adalah untuk
mengetahui penyebab luka/sakit dan derajat parahnya luka atau sakitnya tersebut. Hal
ini dimaksudkan untuk memenuhi rumusan delik dalam KUHP. Terhadap setiap
pasien, dokter harus membuat catatan medik atas semua hasil pemeriksaan medisnya.
Pada korban yang diduga korban tindak pidana, pencatatan harus lengkap dan jelas
sehingga dapat digunakan untuk pembuatan visum et repertum. Catatan medik yang
tidak lengkap dapat mengakibatkan hilangnya sebagian barang bukti di dalam bagian
Pemberitaan visum et repertum.
Umumnya, korban dengan luka ringan datang ke dokter setelah melapor ke
penyidik/pejabat kepolisian, sehingga mereka datang dengan membawa serta surat
permintaan visum et repertum. Sedangkan para korban dengan luka sedang dan berat
akan datang ke dokter atau rumah sakit sebelum melapor ke penyidik, sehingga surat
permintaan visum et repertumnya akan datang terlambat. Keterlambatan surat
permintaan visum et repertum ini dapat diperkecil dengan diadakannya kerjasama
yang baik antara dokter/institusi kesehatan dengan penyidik/instansi kepolisian. Baik

20
terhadap Surat Permintaan Visum et repertum yang datang bersamaan dengan korban,
maupun yang datang terlambat, harus dibuatkan visum et repertum. Visum et
repertum ini dibuat setelah perawatan/pengobatan selesai, kecuali pada visum et
repertum sementara, dan perlu pemeriksaan ulang pada korban bila surat permintaan
pemeriksaan datang terlambat.

1. Luka ringan
Rumusan hukum tentang penganiayaan ringan sebagaimana diatur dalam pasal
352 (1) KUHP menyatakan bahwa “Penganiayaan yang tidak menimbulkan
penyakit atau halangan dalam menjalankan jabatan atau pekerjaan, diancam
karena penganiayaan ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau
pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Pidana dapat ditambah
sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja
padanya, atau menjadi bawahannya”. Jadi bila luka pada seorang korban
diharapkan dapat sembuh sempurna dan tidak menimbulkan penyakit, komplikasi,
atau halangan untuk menjalankan jabatan atau pekerjaan, maka luka tersebut
dimasukkan ke dalam kategori ringan. Umumnya, yang dianggap sebagai hasil
dari penganiayaan ringan adalah korban dengan "tanpa luka" atau dengan luka
lecet atau memar kecil di lokasi yang tidak berbahaya/yang tidak menurunkan
fungsi alat tubuh tertentu.

2. Luka sedang
Di Indonesia dikenal 3 kategori derajat luka, yaitu luka derajat ringan, sedang, dan
berat. Sayangnya perundang-undangan di Indonesia hanya mengatur luka berat
pada pasal 90 KUHP sedangkan luka sedang dan luka ringan tidak disebutkan.
Selain luka berat undang-undang hanya menyebutkan “luka” pada pasal 360 ayat
(2) yaitu: “Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang
lain luka sedemikian rupa sehingga orang itu menjadi sakit sementara atau tidak
dapat menjalankan jabatan atau pekerjaannya sementara, diancam dengan pidana
penjara paling lama sembilan bulan atau pidana kurungan paling lama enam bulan
atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah”. Pasal tersebut juga
berhubungan dengan pasal 351 ayat (4) yaitu: “Dengan sengaja merusak
kesehatan orang disamakan dengan penganiayaan”. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa terdapat beberapa pendapat mengenai definisi luka sedang. Sebagian nara

21
sumber mengatakan tidak ada definisi luka sedang pada KUHP. Di sisi lain, ada
narasumber yang menyatakan luka sedang adalah luka yang menimbulkan sakit
atau penyakit dan sebagian lagi menyatakan bahwa luka sedang dapat merujuk
pada pasal 360 KUHP ayat (2) sehingga dapat dirumuskan bahwa luka sedang itu
bukanlah luka berat maupun luka ringan. Pada kasus penganiayaan rumusan luka
sedang tidak bisa digunakan namun jika rumusan luka sedang ingin tetap
digunakan dapat dipakai untuk merujuk ke pasal 360 KUHP ayat 2.

3. Luka berat
Luka berat pada pasal 90 KUHP menurut Engelbrecht, adalah
a) Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak dapat diharapkan akan sembuh
secara sempurna, atau yang menimbulkan bahaya maut
b) Untuk selamanya tidak mampu menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan
yang merupakan pencaharian
c) Kehilangan salah satu panca indera
d) Mendapat cacat berat
e) Menderita sakit lumpuh
f) Terganggunya daya pikir selama lebih dari empat minggu
g) Gugur atau terbunuhnya kandungan seorang perempuan.

Jadi luka berat dalam pasal 90 KUHP adalah” jatuh sakit atau mendapat luka
yang tidak dapat diharapkan akan sembuh secara sempurna, atau yang menimbulkan
bahaya maut atau jika suatu luka dapat sembuh tetapi fungsinya tidak sempurna, maka
luka tersebut termasuk luka berat dan upaya pengobatan yang luar biasa
(extraordinary) tidak mempengaruhi derajat luka berat dan mengakibatkan
terhalangnya dalam menjalankan jabatan/pekerjaan/aktivitas.

22
Pembahasan dr. Farah P. Kaurow, Sp.F

1. Dasar hukum VeR yaitu pasal 133 KUHAP dan pasal 184 KUHAP.
a. Pasal 133 KUHAP
(1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang
korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena
peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan
permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau
dokter dan atau ahli lainnya.
(2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas
untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan
bedah mayat

Pasal ini menjelaskan mengenai kewajiban dokter untuk membuat visum.


Dalam hal penyidik meminta penjelasan atau keterangan dari dokter mengenai
kesehatan tubuh seseorang baik korban luka (korban hidup) maupun jenazah
(korban mati).

b. Pasal 184 KUHAP ayat 1. Alat bukti yang sah adalah:

a) Keterangan saksi
b) Keterangan ahli
c) Surat
d) Petunjuk
e) Keterangan terdakwa
VeR merupakan alat bukti yang sah dalam bentuk surat.

2. Syarat visum
a. Harus dibuat oleh dokter (dokter umum, spesialis)
b. Harus permintaan dari penyidik polisi (kepolisian) atau penyidik tentara
(Polisi Militer/POM)
c. Pemeriksaan medis yang dilakukan kepada manusia (korban, tersangka,
pelaku, terpanggil, terdakwa, dll)
d. Pemeriksaan dilakukan pada baik korban hidup maupun korban mati ataupun
bagian dari tubuh manusia (kepala, lengan, jari, kaki, dll)

23
e. Harus dibuat dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh masyarakat (bahasa
awam)
3. Visum tujuannya untuk menciptakan keadilan (Pro Justitia) untuk korban dan pelaku.
Korban mendaptkan keadilan dari tindakan pelaku, dan pelaku dihukum sesuai
dengan perbuatannya.
Contoh: pelaku mengaku hanya meraba-raba payudara tetapi korban mengaku
diperkosa. Jika hukum pemerkosaanya berjalan dihukum lebih berat dibandingkan
dengan hukum pencabulan. Sebagai dokter forensik harus membuktikan apakah benar
diperkosa atau tidak dengan ditemukannya bekas persetubuhan atau tidak. Jika tidak
ditemukan bekas persetubuhan maka hukuman lebih ringan.
4. Dalam isi VeR, pemberitaan didalamnya juga berisikan tentang pemeriksaan
penunjang yang dilakukan oleh dokter bukan hanya apa yang dilihat dan ditemukan
oleh dokter.
Contoh: korban hidup kecelakaan dilakukan pemeriksaan rontgen dan CT scan
Bagian terpenting dalam isi VeR adalah bagian pemberitaan yang merupakan alat
bukti dari anatomi VeR dikarenakan didalam pemberitaan berisi yang sifatnya
objektifitas. Bagian kesimpulan hanya berisi pendapat atau opini, opini setiap dokter
berbeda dan bergantung pada jam terbang dokter dalam membuat kesimpulan VeR.
5. Fungsi VeR adalah sebagai alat bukti dikarenakan korban atau tubuh manusia tidak
bisa dihadirkan di pengadilan. Korban hidup harus dilakukan pemeriksaan VeR
dikarenakan bukti bisa hilang.
Contoh: pada korban hidup bukti yang didapatkan bisa berupa luka, memar dll bisa
mengalami penyembuhan. Misal dilakukan visum hari ini belum tentu dipanggil
pengadilan hari besok bisa 2-3 bulan, sedangkan luka, memar yang ada ditubuh
korban bisa menghilang karna proses penyembuhan. Pengganti alat bukti ini bisa di
record/foto untuk menjadi barang bukti di pengadilan.
6. VeR psikatri perlu dibuat oleh karena adanya pasal 44(1) KUHP yang berbunyi:
Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya
disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit,
tidak dipenjara. VeR psikiatri dibuat biasanya untuk terdakwa atau pelaku jarang
dilakukan untuk korban.
7. Pada kesimpulan VeR unsur-unsur yang harus ada yaitu:
a. Identitas korban atau pelaku (jenis kelamin, golongan darah,dll)

24
b. Temuan yang didapat, contoh: robekan hymen, luka terbuka, luka lecet, patah
tulang
c. VeR perlukaan mencakup derajat luka, VeR kejahatan susila mencakup ada
tidaknya tanda-tanda persetubuhan,VeR jenazah mencakup sebab kematian.

Pasal 89 KUHP: orang yang diracun termasuk dalam kasus membuat orang luka.
Jadi dapat disimpulkan bahwa kasus keracunan termasuk kedalam kasus
perlukaan.

8. Definisi persetubuhan adalah masuknya alat kelamin pria ke kelamin perempuan.


Tanda-tanda persetubuhan:
a. Ditemukannya cairan mani dan sel sperma dalam vagina
b. Ada atau tidaknya tanda-tanda kehamilan
c. PMS (penyakit menular seksual)
9. Batas usia, jika korban anak-anak dibawah 18 tahun maka hukumannya akan lebih
berat, dikarenakan anak memiliki undang-undang khusus yaitu undang-undang
perlindungan anak (PA).
10. Ada dua jenis forensik yaitu, forensik klinik dan forensik patologi. Forensik klinik
dilakukan pada korban hidup, sedangkan forensik patologi yaitu pada korban mati.
Pihak yang terlibat dalam forensik klinik yaitu dokter, perawat, petugas administirasi,
sedangkan forensik patologi yaitu dokter, teknisi forensik, petugas pemulasara,
petugas administrasi dan ambulance.
11. Jika datang tidak membawa surat permintaan visum
Contoh: ada luka tusuk di dada dikarenakan begal beberapa menit yang lalu kemudian
tidak membawa surat permintaan visum dan belum melapor polisi. Maka surat bisa
menyusul dikarenakan kasus emergensi yang bisa dipidana. Korban bisa dilakukan
pemeriksaan terlebih dahulu jika ada keluarga atau kerabat yang menemani maka
keluarga atau kerabat tersebut bisa melapor ke polisi untuk melakukan permintaan
surat visum. Visum akan dikeluarkan jika sudah ada hasil spf.
12. Kasus pemerkosaan. Datang dalam kondisi baik-baik saja tetapi mengaku diperkosa 3
hari yang lalu atau beberapa jam yang lalu, maka dilakukan pemeriksaan terlebih
dahulu dikarenakan jika masih ada spema itu merupakan barang buktinya. Sel sperma
dalam vagina wanita bisa bertahan selama 7 hari. Jika ada riwayat persetubuhan
dibawah 7 hari maka dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu, jika melapor polisi

25
terlebih dahulu ditakutkan bukti yang ingin dicari hilang. Jika riwayat persetubuhan
lebih dari 7 hari maka korban bisa lapor terlebih dahulu ke polisi.
13. Ada 3 derajat luka, yaitu ringan, sedang dan berat.
a. Pasal 352 KUHP ayat 1 yang mengatur derajat luka ringan dengan pidana
selama 3 bulan kurungan, yaitu luka yang tidak menyebabkan penyakit atau
halangan dalam mengerjakan pekerjaan atau jabatan dimasukkan dalam
penganiyayaan ringan.
b. Pasal 90 KUHP yang mengatur derajat luka berat. Menjelaskan hal-hal yang
termasuk dalam luka berat, yaitu: jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak
memberi harapan akan sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya
maut; yang menyebabkan seseorang terus menerus tidak mampu untuk
menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencaharian; yang menyebabkan
kehilangan salah satu panca indera; yang menimbulkan cacat berat
(verminking); yang mengakibatkan terjadinya keadaan lumpuh; terganggunya
daya pikir selama empat minggu atau lebih serta terjadinya gugur atau matinya
kandungan seorang perempuan.
c. Derajat luka sedang tidak diatur dalam pasal KUHP. Syarat derajat luka jika
tidak terdapat pada pasal 352 KUHP atau 90 KUHP, maka masuk ke dalam
derajat luka sedang.
14. Cara menentukan derajat luka ringan, sedang dan berat bukan berdasarkan korban
bisa melalukan pekerjaan atau tidak (anamnesis), tetapi berdasarkan diagnosis, tidak
dilihat dari tatalaksana diberikan atau tidak ataupun prognosisnya baik ataupun buruk.
Jika diagnosis belum tegak maka dokter tidak bisa menentukan derajat lukanya.
Contoh 1: tukang becak dipukul kemudian memar tetapi masih bisa bekerja mengoes
becaknya dan seorang artis ada memar tetapi dia tidak bisa bekerja untuk
mepromosikan suatu barang sehingga tidak bisa bekerja. Kedua kasus ini sama-sama
mengalami hematom jadi masuk ke derajat luka ringan walaupun artis tersebut tidak
bisa melalukan pekerjaannya.
Contoh 2: ditusuk di dada, tension pnemothorax, dipasang WSD, dirawat 3 hari
kemudian membaik lalu pulang. Pada kasus ini, derajat lukanya yaitu berat
dikarenakan tension pneumothorax bisa mengancam nyawa walaupun pasien
membaik kemudian pulang.
Contoh 3: KDRT, memar di wajah dan kelopak mata, subkonjugtiva bleeding, visus
menurun. Pada kasus ini derajat luka belum bisa ditentukan dikarenakan belum

26
ditegakkan diagnosis. Yang perlu dilakukan adalah melakukan pemeriksaan lanjutan
yaitu anamnesis, tanyakan kepada korban apakah sebelumnya menggunakan
kacamata atau tidak, kemudian melakukan pemeriksaan visus dengan snellen chart,
dll. Maka dibuat visum sementara dan dijadwalkan untuk pemeriksaan lanjutan.
15. Pelecahan pada laki-laki (pencabulan). Kasusnya yaitu sodomi, felacio, dll. Jika kasus
sodomi baru maka ditemukan luka lecet disekitar lubang pelepas anus, jika kasus
lama agak sulit. Pada kasus sodomi berulang dapat ditemukan lipatan atau kerutan
sfingter ani akan berkurang, jadi pada bagian tertentu (misal pada bagian jam 1
sampai jam 4) hilang bagian lipatannya, bisa dibilang akibat kekerasan tumpul yang
melewati lubang pelepas yang terjadi secara berulang. Jika korban mengaku dihisap
kemaluannya maka ada luka dibagian kemaluannya, jika korban disunat maka
smegma meradang, ada fimosis atau parafimosis.
16. Hasil VeR hanya boleh diberikan kepada penyidik peminta.

27
DAFTAR PUSTAKA

Afandi D. Visum et Repertum. Tatalaksana dan Teknik Pembuatan. Edisi 2. Riau:


Badan Penerbiit FKUR. 2017: Hal 1-6

Ohoiwutun, T. (2015) ‘Ilmu kedokteran forensik (interaksi dan dependensi hukum


pada ilmu kedokteran)’, pp. 106–108

Fatriah SH, Sampurna B, Firmansyah A. Analisis Medikolegal terhadap Kriteria


Derajat Luka Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. J Indones Med Assoc.
2017;(November):514.

Afandi D. Visum et Repertum Perlukaan : Aspek Medikolegal dan Penentuan Derajat


Luka. Maj Kedokt Indones [Internet]. 2010;60(4):188. Available from:
http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/article/viewFile/722/717

Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. ILMU


KEDOKTERAN FORENSIK lmu Kedokteran Forensik, juga dikenal dengan nama.
1997;57–8.

28

Anda mungkin juga menyukai