Anda di halaman 1dari 7

Literasi : Bergelut dengan Pertanyaan-pertanyaan tentang Keseharian

Literasi adalah kata yang menjadi begitu populer sekaligus urgen, menandakan
ada kegelisahan sekaligus kepanikan pada kita mengenai zaman yang terus bergerak
maju. Barangkali kata tersebut sudah usang di luar sana, di Eropa, misalnya, dalam
artian tidak begitu menjadi soalan yang gempar. Memang, lain tempat, lain pula
tanggapannya, lalu bagaimana respon kita terhadap ‘literasi’ ini?
Penting kiranya sedikit memahami kata ‘literasi’, sebab secara historis
hubungannya sangat erat dengan kehidupan kita. Pada dunia pendidikan kita yang
tidak memberi semacam sinyal untuk ditangkap agar ‘literasi’ hidup adalah hal yang
depan untuk dipersoalkan. Maka, perlu kiranya diajukan pertanyaan mendasar seperti:
Apa itu literasi? Kenapa harus literasi? Bagaimana melakukan literasi? Apakah kita
sudah berliterasi?
Saya sering mengunjungi perpustakaan, melewati lorong-lorongnya sambil
membaca tulisan yang ada di sekitar, kemudian timbul pertanyaan; sejak kapan kata
‘literasi’ tumbuh di papan-papan, adakah yang membacanya atau sekadar pajangan
formal? Benarkah ‘literasi’ menetap di fikiran orang-orang yang sibuk
membicarakannya?
Seiring menjelangnya tahun politik 2019 ini, dan akibat menjamurnya hoax
yang disetir secara canggih oleh teknologi otomatis, kata ‘literasi’ kembali digemari
para intelektual, dosen ahli, budayawan, mereka yang merasa perlu terlibat dalam
memberi sinyal kebudayaan sambil membangkitkan ruh fikiran dari “kuburan
kemajuan”. Kata ‘literasi’ telah merasuk ke benak, bereaksi seiring saya terus
membaca, dan sekarang kata tersebut ikut hidup dalam kehidupan sehari-hari saya.
Pikiran ini pun bertamasya pada buku-buku filsafat dan sastra, kepada persoalan
mendasar tentang kehidupan.
Di Jepang, negeri kecil yang terkenal salah satunya kerana bunga sakura,
tempat penulis seperti Yasunari Kawabata, Ryonosuke Akutagawa menghirup wangi
bunga itu dan mulai mengarang buku-buku sastra yang besar, merekalah sastrawan
murung yang memikat perhatian saya, entah karena nampak indah atau sekedar
terpesona. Tahulah kemudian bahwa Jepang adalah negeri yang tidak hanya
memekarkan kembang, tapi juga pengarang yang baik sehingga menyabet
penghargaan nobel sastra. Hal itu menandai bahwa literasi tidak mati bahkan mungkin
di musim panas sekalipun. Kalau saya tidak keliru, pada pengantar terjemahan bahasa
Indonesia novel pendek R. Akutagawa berjudul “KAPPA”, ada kutipan oleh Prof.
Sapardi Djoko Damono; “Jepang tidak luput menerjemahkan hasil kesusastraan
dunia”. Indonesia menerjemahkan juga kesustraan dunia (pernah secara baik,
misalnya pada penerbit Pustaka Jaya, meski masih sangat sedikit bila dibandingkan
Jepang)? Bagaimana hasil terjemahan dalam bahasa Indonesia sehingga mampu
mendorong imajinasi pembaca untuk perkembangan sastra yang lebih matang? Bukan
kewajiban saya menjawab soalan ini.
Sebagai sarjana tingkat satu jurusan sastra saya dibebani pertanyaan sekaligus
pertanggungjawaban yang tidak kecil, menjadi kritikus sebagaimana visi misi jurusan
selalu membayangi keseharian saya, pendeknya menjalankan ‘laku literasi’.
Pertanyaan yang terus saja bergelayut sejak di bangku SMA (maksudnya Paket C),
ditambah pengalaman di kampus mengingatkan saya kembali tentang mahasiswa dan
dosen yang minim membaca literatur, apalagi menghasilkan tulisan kritis. Jadi, apa
yang bisa diharapkan dari situasi semacam ini? Pada satu sisi, mempopulerkan kata
yang bentuknya sulit ditemukan, pun jika dicari sungguh akan melelahkan atau
sekiranya diupayakan maksimal lantas siapa yang akan mengkonsumsi, melakukan
dan mengkritisinya pada lingkup lokal?
Tentu, Indonesia tidak kekurangan orang kritis, tetapi mereka ada di ‘jalan
layang’, sedangkan kita harus lebih dulu menyetarakan kemampuan, setidaknya
menyiapkan diri, baru kemudian dapat sekiranya menyapa mereka melalui forum
diskusi atau tulisan di media. Bahwa tulisan mereka tersebar dan menjadi jalan bagi
pembaca menuju ‘literasi’ memang terjadi, meski mungkin untuk tiba pada
penciptaan kritik oleh pembaca membutuhkan waktu untuk latihan yang tidak instan
dan lebih tekun lagi agar sesuai standar penulisan kritis. Lepas dari itu, saya berupaya
menuliskan fikiran yang mengganggu tidur saya, mencoba memberikan tempat bagi
kemungkinan penjelasan, meski dalam keterbatasan referensi dan kesamaran topik itu
sendiri.
‘Literasi’ yang kita dengar setiap hari ternyata masih sulit dikenali, maknanya
kabur seiring kata tersebut diucapkan. Di tahun 2018 ini, memang lebih intens rasanya
kita mendapatkan kata ‘literasi’, seperti sering bertatap muka, tapi tidak pernah
menjadi benar-benar akrab. Di sekolah diadakan program literasi, hanya saja, saya
melihat suasana literasi tidak ada. Perpustakaan yang belum lagi membuat siswa-siswi
tertarik, sebab keadaan bukunya kurang variatif dan lengkap juga tempatnya yang
kurang estetis dan eksentrik. Masalah lainnya berkaitan dengan pelajaran siswa-siswi
yang tidak sedikit, tuntutan nilai, tugas yang banyak dan waktu yang tidak bisa
dikompromikan bagi kesenangan anak-anak untuk membaca menjadi faktor penting
yang mempengaruhi tidak jalannya apa yang secara sederhana disebut ‘gemar
membaca’. Begitupun dengan gencarnya promosi perpustakaan digital, saya melihat
tidak banyak gunanya, sebab tetap terasa tidak efisien membaca lewat layar bercahaya
semacam itu. Sebagaimana mau menanam harus melihat tanah dan tempat, di ladang
yang kering kebudayaan tidak akan tumbuh bunga-bunga yang berfikiran segar dan
kritis.
Kata yang memampukan fikiran kita bergelut dengan kefahaman,
pengetahuan, kehidupan adalah ‘literasi’. Artinya, asas penting kemanusiaan dan
peradaban adalah literasi, yang mana menimbulkan imajinasi dan bermacam bentuk
kreativitas. Literatus adalah manusia, makhluk yang senantiasa belajar. Setiap hari
kita belajar, melihat, mendengar, singkatnya mengindra dan melakukan klasifikasi.
Kita berbahasa dan memahami sehari-hari, pertanyaan selanjutnya; sejauh mana?
Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan peradaban atau justru mandeg?
Tanda bahwa literasi benar-benar bekerja, yaitu berkurangnya tindak
kekerasan, separatisme, kebencian, kemarahan, kepanikan… bila perlu semua itu
tidak terjadi, dan majunya keilmuan baik bidang ilmiah atau non-ilmiah, fiksi atau
non-fiksi, beragamnya bentuk kesenian dan ideologi. Kenyataan yang terjadi di
Indonesia akhir-akhir ini justru sebaliknya. Maraknya ujaran kebencian, pembatasan
ideologi, separatisme, kekerasan, kepanikan yang menyebabnya kata ‘literasi’ lebih
sering digalakkan daripada dilakukan, semata-mata untuk menutupi keadaan yang
justru jauh dari pancaran terang ‘matahari literasi’.
Kemajuan teknologi pun melanda seperti gelombang dahsyat, membawa
sampah-sampah non-informasi kepada alam kebiasaan tutur kita yang dengan cekatan
menerima dan merayakan perubahan tersebut. Hoax menyelundup dengan gampang
ke seluruh perangkat lunak bahkan sampai ke otak manusia Indonesia dan alam
bawah sadar, menimbulkan efek samping yang kompleks.
Di era gelombang ketiga (meminjam istilah Alvin Toffler dalam bukunya
Future Shock), teknologi menjadi basis kehidupan, seluruh informasi dikuasai dan
disimpan oleh mesin teknologi. Dan, ketika informasi tidak dikuasai oleh manusia,
maka yang terjadi adalah hilangnya kemampuan untuk hidup di masa depan.
Teknologi tidak berhenti pada kecanggihan komputer, lebih jauh lagi akan
berkembang dalam bentuk-bentuk yang beragam, bahkan mencengangkan untuk
dibayangkan sekarang. Meski demikian, kita ingat, ‘literasi’ tidak pernah mati,
sebelum kemajuan datang kepada kita, ide dalam bentuk bahasa dan kodenya sudah
kita temui pada sastra, science fiction, misalnya. Dengan lain perkataan, ‘literasi’
hadir bersama dengan teknologi dan akan mencegah ideologi ‘ilmu demi ilmu’.
Para intelektual dan filsuf selalu berupaya menjelaskan keadaan yang terjadi,
merekalah adalah penjaga literasi. Dengan memberikan tanda kurung pada setiap hal
dan mempertanyakan secara mendalam persoalan dan melihat konsekuensinya secara
kritis, bersama merekalah ‘literasi’ bekerja. Sebagai sebuah pertanyaan, literasi telah
menggugah seluruh perangkat kecerdasan kita untuk mencari dan menemukan
kebenaran informasi, artinya menjelajahi dunia referensi dan menemukan
kemungkinan bagi penjelasan kritis, dialogis dan argumentatif. Lebih jauh, literasi
dapat menumbuhkan imajinasi untuk menghasilkan sesuatu yang sepenuhnya baru
dan menunjang kesejahteraan, baik itu dalam bentuknya yang konkret atau ide
abstrak.
Sebuah bangsa yang tidak menumbuhkan budaya literasi bisa dipastikan
rendah peradabannya. Seorang pemimpin suatu negara yang tidak punya ‘jiwa
literasi’ tidak akan menghasilkan kebijakan yang adil apalagi menciptakan
kesejahteraan bagi masyarakatnya. Literasi tidak lain tidak bukan adalah inti
kehidupan manusia.
Bahasa dan sastra adalah alat bagi ‘literasi’ menemukan bentuknya yang
mungkin. Pada sastra, misalnya, saya merasa menemukan ‘roh literasi’, dari
memahami puisi, metafor, drama, filsafat… pandangan saya pada dunia menjadi lain
sama sekali. Asumsi menjadi lebih kritis lagi, dan muncul tiba-tiba hampir secara
intuitif ketika melihat peristiwa alam, stiuasi sosial, politik juga ihwal keseharian.
Saya seperti menemukan metode penafsiran yang menggairahkan pada kata ‘literasi’.
Ajaib!
Saya akan menyebut ‘literasi’ sebagai kata yang ‘hermeneutis’, yaitu kata
yang memberikan metode untuk merenungi dan mendalami persoalan. Meski kata
tersebut telah dicemari oleh politisi, diselundupkan oleh pemerintah sebagai program
yang omong kosong, di kampus dan sekolahan umumnya hanya dipajang sebagai
‘situs purba’ yang diagung-agungkan dengan efek sejarahnya, tetapi tanpa membaiki
suasana belajar-mengajar di dalamnya. Malah, saya amati beberapa perpustakaan,
entah di tingkat daerah, universitas, sekolah dasar dan menengah sangat tidak layak
disebut perpustakaan. Dana yang dialirkan ke sana adalah dana buangan dan minimal
sekali, akhirnya buku-buku yang dikoleksi tidak menunjang kebutuhan akan ‘literasi’
itu sendiri. Betapa mirisnya menyaksikan kemasabodohan itu!
Tidak ada satupun bangsa modern saat ini, yang di dalamnya hidup ‘mitos’
mengenai peradaban yang baik-baik saja, jauh dari kebodohan nalar dan etis, sikap
culas, manipulatif dan koruptif, akan mencapai apa yang mereka cita-citakan itu tanpa
hadirnya ‘literasi’. Tidak mungkin sama sekali! Hanya melalui literasi-lah nalar
memampukan mencipta kestabilan, keadilan dan dapat seiring dengan etics yang
membawa pada kesejahteraan, humanisme dan kemajuan peradaban.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa kata ‘literasi’ mengalami tantangan
hebat oleh hadirnya teknologi informasi yang cepat otomatis seperti internet. Internet
memiliki peran ganda, ‘jalan ambigu’, bercecabang atau dataran luas dengan pasir dan
diisi jejak-jejak yang beragam arah tujuannya. Kejelian berjalan, berselancar di dunia
virtual memang sangat diperlukan. Apalagi dunia itu tidak teraba dan menyasar
bawah sadar kita lewat visualisasinya atau verbalisasi efek emotifnya secara
transparan, spontan… jika kita tidak berusaha mengenali tekstur psikisnya dengan
cara menunda dan merenungi apa maknanya, bisa jadi kita akan terhanyut ke dalam
badai gemuruh atau pasir hisap yang mencekik. Alih-alih melakukan refleksi, kita
justru menggencarkan informasi yang belum lagi terverifikasi, akibatnya pecahlah
kelompok dan terjadilah separatisme ideologi yang dikomandani oleh bisnis pabrikasi
hoax.
Mudah dihasut adalah penyakit manusia Indonesia. Hasut bisa merebak bagai
jamur jika didukung oleh budaya tutur alias gosip. Sedangkan manusia kita adalah
manusia yang suka berbicara, meskipun yang dibicarakan tidak ada gunanya. Basa-
basi, sopan santun, cerita ngalor-ngidul, apapun yang coba dilakukan tanpa ‘literasi’
telah menjadi kebiasaan kita sejak lama. Dialog bagi kebanyakan kita adalah hal yang
sukar dan dianggap membosankan, mencari dan menggunakan referensi bukanlah
budaya kita. Maka, tak heran ketika mahasiswa, misalnya, banyak dari mereka
melakukan plagiat atau copy-paste tugasan, padahal si mahasiswa dituntut secara etics
sebagai akademisi untuk bersikap otentik dalam penlitian ilmiahnya. Kejadian yang
sama berlaku juga pada siswa-siswi SMP, SMA… barangkali guru dan dosen juga
melakukan hal yang serupa?
‘Literasi’ artinya tidak sesederhana menjadi sekedar; melek huruf, gemar
membaca, membaca buku… tetapi lebih luas lagi adalah proses berfikir manusia
untuk mengenali baik objek materiil konkret atau abstrak (idea). Kegiatan berfikir
pertama-tama bisa dimungkinkan melalui alat ‘bahasa’, entah di dalam bentuk kode-
kode citraan atau visual juga kode bunyi. Di era canggih seperti ini, di mana bahasa
menjadi teknis dan pragmatis, dan bacaan tidak lagi ditemukan di buku melainkan
dalam layar android, tablet atau laptop, informasi bisa didapatkan melalui WA, Line,
Facebook, Twitter… darimana memulaikan literasi? Bagaimana berpraktik sebagai
literatus? Gerakan literasi apa…
Sebagai seorang manusia, “bahasa adalah rumah”, demikian Heidegger
berkata. Memang filsuf German tersebut benar, kita tidak bisa hidup tanpa rumah,
rumah artinya peradaban, cinta, kasih… sedangkan dunia luar rumah pada bayangan
saya dalam konteks ungkapan filsuf eksistensialisme tersebut adalah alam liar yang
tidak beradab, biadab… Sebagai rumah manusia (being), bahasa perlu dirawat,
begitupula sebagai rumah bagi kefahaman (dalam makna tingkat yang lain).
Bahasa harus dikembangkan, dengan melakukan literature riview atau
disegarkan melalui kesusastraan, semua itu dalam upaya mencairkan kehidupan agar
tidak berhenti menjadi manusia. Berawal dari pertanyaan dasar, kita dibawa
memasuki labirin penuh teka-teki, misteri, toh kita akan berusaha secara kreatif
mencari jalan keluar dari sana. Spirit semacam itulah yang amat penting dalam
meningkatkan taraf hidup manusia masa depan agar lebih layak disebut manusia yang
manusiawi.
“Tidak ada yang tetap kecuali perubahan itu sendiri”, Heraklitos mengatakan
itu jauh sebelum manusia mengenal lampu, mesin, komputer, android… gampangnya
teknologi modern. Pada hemat saya, kata-kata filsuf Yunani sebelum masehi tersebut
menyiratkan maksud ‘literasi’. Memang, manusia tidak diciptakan untuk menjadi
membosankan dan menjemukan. Mereka dibekali akal agar supaya membaiki
kehidupan. Manusia sangat kreatif, bisa mengarang dongeng, mengenali benda-benda,
kerana itulah mereka diberi bahasa tentang cinta, kasih, mencintai…
Segalanya memang harus dicari dan ditemukan, begitulah kodrat manusia.
Seluruh yang berkemampuan berfikir apakah itu petani, pedagang, orang terlantar,
siswa, siswi, guru, mahasiswa, dosen, politisi, singkatnya manusia, khususnya
manusia Indonesia, mesti bergelut dengan literasi. Sebagai rakyat haruslah berlatih
menggunakan akal sehat dan kreativitas agar tidak dibenturkan pada kekuasaan yang
jahat dan tidak bertanggungjawab.
Tidak tahu harus memulai darimana. Tentu, kita mau percaya pada kata
‘literasi’, tapi yang tidak dicemari ‘sirkus politik’, literasi politikus yang tanpa teladan
melainkan hanya retorika, permainan bahasa saja. Kita perlu bertanya; ke mana
mencari “hati yang punya literasi” dan “literasi yang punya hati”. Barangkali kita
perlu menengok hati masing-masing, membuang gu (kegelapan) menjadi ru (keadaan
terang), memberikan kecerahan ke sekeliling kita, sehingga nampak bunga-bunga di
taman mekar dan beraroma segar, ‘bunga literasi’ kita. Di taman kampus, sekolah,
kampung, dan nasional… Kita berharap matahari esok tiba dan membagikan sinar
harapan… Tanpa menyebut siapa-siapa nama, mari mulailah dari diri sendiri!

Purwokerto, 05 November 2018

Anda mungkin juga menyukai