Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PENDAHULUAN

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF


KRONIK (PPOK)

Oleh:

JAMALI
(191114201768)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS


STIKES WIDYAGAMA HUSADA MALANG

202
A. DEFINISI
Penyakit paru obstruktif kronis atau sering disingkat PPOK adalah
istilah yang digunakan untuk sejumlah penyakit yang menyerang paru-paru
untuk jangka panjang. Penyakit ini menghalangi aliran udara dari dalam
paru-paru sehingga pengidap akan mengalami kesulitan dalam
bernapas.PPOK umumnya merupakan kombinasi dari dua penyakit
pernapasan, yaitu bronkitis kronis dan emfisema (Kemenkes RI, 2018)
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) adalah istilah umum
yang digunakan untuk menggambarkan penyakit paru yang
memburuk seperti asma refrakter (tidak ada perubahan atau
perbaikan yang sangat singkat), bronkitis menahun/kronis, dan
emfisema (kondisi kantung udara di paru-paru mengalami
kerusakan yang memburuk) (Maunaturrohmah & Yuswatiningsih,
2018).
B. ETIOLOGO
Etiologi penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) yaitu (Oemiati, 2013):
1. Panjanan dari partikel lain
a. Merokok
Merokok merupakan penyebab PPOK terbanyak (95% kasus) di
negara berkembang. Perokok aktif dapat mengalami hipersekresi
mucus dan obstruksi jalan napas kronik. Dilaporkan ada hubungan
antara penurunan volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1)
dengan jumlah, jenis dan lamanya merokok12. Studi di China
menghasilkan risiko relative merokok 2,47 (95% CI : 1,91-2,94).
Perokok pasif juga menyumbang terhadap symptom saluran
napas dan PPOK dengan peningkatan kerusakan paru-paru akibat
menghisap partikel dan gas-gas berbahaya. Merokok pada saat
hamil juga akan meningkatkan risiko terhadap janin dan
mempengaruhi pertumbuhan paru-parunya.
b. Polusi indoor
Memasak dengan bahan biomass dengan ventilasi dapur yang
jelek misalnya terpajan asap bahan bakar kayu dan asap bahan
bakar minyak diperkirakan memberi kontribusi sampai 35%13.
Manusia banyak menghabiskan waktunya pada lingkungan rumah
(indoor) seperti rumah, tempat kerja, perpustakaan, ruang kelas,
mall, dan kendaraan. Polutan indoor yang penting antara lain SO2,
NO2 dan CO yang dihasilkan dari memasak dan kegiatan
pemanasan, zat-zat organik yang mudah menguap dari cat, karpet,
dan mebelair, bahan percetakan dan alergi dari gas dan hewan
peliharaan serta perokok pasif. WHO melaporkan bahwa polusi
indoor bertanggung jawab terhadap kematian dari 1,6 juta orang
setiap tahunya. Pada studi kasus kontrol yang dilakukan di Bogota,
Columbia, pembakaran kayu yang dihubungkan dengan risiko
tinggi PPOK
c. Polusi outdoor
Polusi udara mempunyai pengaruh buruk pada VEP, inhalan
yang paling kuat menyebabkan PPOK adalah Cadmium, Zinc dan
debu. Bahan asap pembakaran/pabrik/tambang. Bagaimanapun
peningkatan relatif kendaraan sepeda motor di jalan raya pada
dekade terakhir ini, saat ini telah mengkhawatirkan sebagai
masalah polusi udara pada banyak kota metropolitan seluruh dunia.
Pada negara dengan income rendah dimana sebagian besar rumah
tangga di masyarakat menggunakan cara masak tradisional
dengan minyak tanah dan kayu bakar, polusi indoor dari bahan
sampah biomassa telah memberi kontribusi untuk PPOK dan
penyakit kardio respiratory, khususnya pada perempuan yang tidak
merokok.
PPOK adalah hasil interaksi antara faktor genetik individu
dengan pajanan lingkungan dari bahan beracun, seperti asap
rokok, polusi indoor dan out door Di Hongkong sebuah studi kohort
prospektif menemukan bahwa prevalensi dari kebanyakan gejala
sakit pernafasan meningkat lebih selama periode 12 tahun dan
diperoleh data bahwa prevalensi yang terdiagnosa emfisema
meningkat dari 2,4% - 3,1% dengan OR 1,78 (95% CI 1,12 – 2,86),
hal ini mungkin disebabkan oleh faktor lingkungan khususnya
peningkatan polusi udara di kota Hongkong. Beberapa penelitian
menemukan bahwa pajanan kronik di kota dan polusi udara
menurunkan laju fungsi pertumbuhan paru-paru pada anak-anak
d. Polusi di tempat kerja
polusi dari tempat kerja misalnya debu-debu organik (debu
sayuran dan bakteri atau racun-racun dari jamur), industri tekstil
(debu dari kapas) dan lingkungan industri (pertambangan, industri
besi dan baja, industri kayu, pembangunan gedung), bahan kimia
pabrik cat, tinta, sebagainya diperkirakan mencapai 19%.
2. Genetik
Faktor risiko dari genetic memberikan kontribusi 1-3% pada pasien
PPOK.
3. Riwayat infeksi saluran napas berulang
Infeksi saliran napas akut adalah infeksi akut yang melibatkan organ
saluran pernafasan, hidung, sinus, faring, atau laring. Infeksi saluran
napas akut adalah suatu penyakit terbanyak diderita anak-anak.
Penyakit saluran pernafasan pada bayi dan anak-anak dapat pula
memberi kecacatan sampai pada masa dewasa, dimana ada hubungan
dengan terjadinya PPOK.
4. Gender dan usia
konsumsi alkohol dan kurang aktivitas fisik: Studi pada orang dewasa
di Cina didapatkan risiko relative pria terhadap wanita adalah 2,80 (95%
C I; 2, 64-2,98). Usia tua RR 2,71 (95% CI 2,53-2,89). Konsumsi alkohol
RR 1,77 (95% CI: 1,45 – 2,15), dan kurang aktivitas fisik 2,66 (95% CI
; 2,34 -3,02)
C. KLASIFIKASI
Berdasarkan kesepakatan para pakar Perkumpulan Dokter Paru
Indonesia (PDPI) tahun 2005 maka PPOK dikelompokkan sebagai berikut
(Oemiati, 2013)
1. PPOK ringan
PPOK ringan dalah pasien dengan atau tanpa batuk. Dengan atau
tanpa produksi sputum dan dengan sesak napas derajad nol sampai
satu. Sedangkan pemeriksaan Spirometrinya menunjukkan VEP1 ≥
80% prediksi (normal) dan VEP1/KVP < 70 %
2. PPOK sedang
PPOK sedang adalah pasien dengan gejala klinis dengan atau batuk.
Dengan atau produksi sputum dan sesak napas dengan derajad dua.
Sedangkan pemeriksaan Spirometrinya menunjukkan VEP1 ≥ 70%
dan VEP1/KVP < 80% prediksi
3. PPOK berat
PPOK berat adalah pasien dengan gejala klinis sesak napas derajad
tiga atau empat dengan gagal napas kroniki. Eksaserbasi lebih sering
terjadi. Disertai komplikasi kor pulmonum atau gagal jantung kanan.
Adapun hasil spirometri menunjukkan VEP1/KVP < 70 %, VEP1< 30
% prediksi atau VEP1> 30 % dengan gagal napas kronik. Hal ini
ditunjukkan dengan hasil pemeriksaan analisa gas darah dengan
kriteria hipoksemia dengan normokapnia atau hipoksemia dengan
hiperkapnia.
D. PATOFISIOLOGI
Iritasi kronik yang disebabkan oleh asap rokok dan polusi adalah faktor
pencetus bronkitis kronik. Asap rokok merupakan campuran partikel dan
gas. Pada setiap hembusan asap rokok terdapat radikal bebas yaitu radikal
hidroksida (OH- ). Sebagian besar radikal bebas ini akan sampai di
alveolus waktu menghisap rokok. Partikel ini merupakan oksidan yang
dapat merusak paru. Parenkim paru yang rusak oleh oksidan terjadi karena
rusaknya dinding alveolus dan timbulnya modifikasi fungsi anti elastase
pada saluran nafas. Anti elastase berfungsi menghambat netrofil.oksidan
menyebabkan fungsi ini terganggu, sehingga timbul kerusakan jaringan
interstitial alveolus. Partikulat asap rokok dan udara terpolusi mengendap
pada lapisan mukus yang melapisi mukosa bronkus sehingga menghambat
aktivitas silia. Pergerakan cairan yang melapisi mukosa berkurang,
sehingga iritasi pada sel mukosa meningkat. Hal ini akan merangsang
kelenjar mukosa. Keadaan ini ditambah dengan gangguan aktivitas silia
menimbulkan gejala batuk kronik dan ekspektorasi. Produk mukus yang
berlebihan menimbulkan infeksi serta menghambat proses penyembuhan,
keadaan ini merupakan suatu lingkaran dengan akibat terjadi hipersekresi.
Bila iritasi dan oksidasi terus berlangsung di saluran napas maka akan
terjadi erosi epitel serta pembentukan jaringan parut.selain itu terjadi pula
metaplasia skuamosa dan penebalan lapisan skuamosa. Hal ini
menimbulkan stenosis dan obstruksi saluran nafas yang bersifat
irreversibel (Paramasivam, 2017)
E. PATHWAY

Faktor Predisposisi

Bersihan nafas tidak Edema, spasme bronkus,


efektif
Peningkatan secret bronkus

Obstruksi bronkiolus awal

Fsae eksprasi

Udara Tertangkap

Dalam alveolus

Supaya O2 PaO2 rendah Sesak

Jaringan rendah PaO2 tinggi nafas pende

Kompensasi Gangguan
Pola nafas tidak efektif
Kardivaskuler Metabolisme

Jaringan
Gangguan pertukaran gas

Hipertensi Metabolisme aerob

Pulmonal

Produksi ATP menurun


Gangguan jantung
Intoleransi aktivitas
kanan

Defisit energy Lelah, lemah Gangguan pola tidur


F. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan PPOK disesuaikan dengan kondisi, apakah pasien
dalam keadaan stabil atau eksaserbasi akut. Penatalaksanaan terhadap
PPOK yang stabil dilakukan dengan jalan meningkatkan terapi tergantung
kepada tingkat keparahan penyakit penderita. Dilakukan dengan
memberikan edukasi kesehatan, farmakoterapi, serta terapi non-
farmakologi. Edukasi kesehatan memiliki target berupa penghentian
kebiasaan merokok, dan bertujuan agar penderita PPOK dapat
meningkatkan kemampuan untuk mengatasi keterbatasan aktivitas akibat
penyakitnya, dan peningkatan status kesehatan. Farmakoterapi diberikan
untuk mencegah dan mengontrol gejala, menurunkan frekwensi dan tingkat
keparahan dari periode eksaserbasi, peningkatan status kesehatan, dan
meningkatan toleransi beraktivitas. Terapi diberikan bila diperlukan, dan
bukan untuk memperbaiki fungsi dari paru-paru. Bronkodilator adalah
pilihan farmakoterapi yang paling utama, baik saat penggunaan reguler
ataupun saat eksaserbasi akut. Obat-obatan yang digunakan adalah
golongan ß2-agonist, antikolinergik, ataupun golongan xanthine. Pemilihan
obat dilakukan berdasarkan ada atau tidaknya obat dan respon pasien.
Semua jenis bronkodilator di atas dapat meningkatkan kapasitas
beraktivitas namun tidak dapat meningkatkan fungsi paru. Bronkodilator
lebih baik jika digunakan secara reguler.
Farmakoterapi diberikan untuk mencegah dan mengontrol gejala,
menurunkan frekwensi dan tingkat keparahan dari periode eksaserbasi,
peningkatan status kesehatan, dan meningkatan toleransi beraktivitas.
Terapi diberikan bila diperlukan, dan bukan untuk memperbaiki fungsi dari
paru-paru. Bronkodilator adalah pilihan farmakoterapi yang paling utama,
baik saat penggunaan reguler ataupun saat eksaserbasi akut. Obat-obatan
yang digunakan adalah golongan ß2-agonist, antikolinergik, ataupun
golongan xanthine. Pemilihan obat dilakukan berdasarkan ada atau
tidaknya obat dan respon pasien. Semua jenis bronkodilator di atas dapat
meningkatkan kapasitas beraktivitas namun tidak dapat meningkatkan
fungsi paru. Bronkodilator lebih baik jika digunakan secara reguler. Dapat
pula digunakan secara kombinasi untuk mningkatkan FEV1 seperti
contohnya kombinasi ß2-agonist dan antikoninergik. Digunakan juga
sesuai dengan respon pasien, sebagai contoh, nebulizer terus digunakan
jika terapi konvensional tidak menghasilkan respon yang baik namun baik
dengan nebulizer. Terapi farmakoterapi yang lain yang dapat digunakan
dengan penggunaan glukokortikoid, yaitu pada pasien dengan stage III
atau IV dan terjadi eksaserbasi yang berulang. Pilihan pemakaiannya
adalah dengan inhalasi yang diharapkan dapat digunakan untuk
menurunkan frekwensi eksaserbasi. Lebih baik lagi jika digunakan dengan
kombinasi bersama ß2-agonist, dan tidak dianjurkan untuk menggunakan
glukokortikoid secara oral yang berkepanjangan karena memilikiefek
samping sistemik berupa steroid myopathy (Paramasivam, 2017).
Terapi non-farmakologi yang dapat digunakan antara lain adalah
a. Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada pasien PPOK. Kemungkinan disebabkan
karena bertambahnya kebutuhan energi akibat kerja muskulus
respiratorius yang yang meningkat karena hipoksemia kronik dan
hiperkapnea yang menyebabkan hipermetabolisme. Asupan nutrisi
yang seimbang adalah yang utama pada pasien PPOK.
b. Rehabilitasi
Tujuan program rehabilitasi adalah untuk meningkatkan toleransi
latihan dan memperbaiki kualitas hidup dari penderita PPOK. Penderita
PPOK yang diamsukkan ke dalam program rehabilitasi adalah mereka
yang telah mendapatkan pengobatan yang optimal disertai dengan :
 gejala pernapasan berat
 beberapa kali masuk ruang gawat darurat
 Kualitas hidup yang menurun
c. Program rehabilitasi terdiri dari tiga komponen yaitu : latihan fisik,
psikososial, dan latihan pernapasan. Latihan pernapasan ditujukan
untuk mengurangi dan mengontrol sesak napas penderita. Teknik
latihan ini meliputi pernapasan diafragma, dan pursed-lips breathing
guna memperbaiki ventilasi dan mensinkronkan kerja otot abdomen
dan thoraks.

d. Terapi oksigen

Pada PPOK terjadi hipoksemia yang progresif dan berkepanjangan


yang menyebabkan kerusakan jaringan. Terapi ini merupakan hal yang
sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan
mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ-organ lainnya.
Indikasi pemberian terapi oksigen adalah :

 PaO2 < 60 mmHg atau SaO2 < 90 %

 PaO2 diantara 55-59 mmHg atau SaO2 > 89% disertai kor
pulmonal, perubahan P pulmonal, Hct > 55 %, dan tanda-tanda
gagal jantung kanan, sleep apnea, dan penyakit paru yang lain.

Terapi oksigen dapat dilakukan di rumah maupun di rumah sakit.

e. Ventilatory Support

Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan


gagal napas akut, gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada
pasien PPOK derajat berat dengan gagal napas kronik. Ventilasi
mekanik dapat digunakan di rumah sakit di ruang ICU ataupun di
rumah.
G. PENCEGAHAN
Pencegahan terjadinya PPOK adalah sebagai berikut (Paramasivam,
2017)
1. Mencegah terjadinya PPOK
a. Hindari asap rokok
b. Hindari polusi udara
c. Hindari infeksi saluran nafas berulang
2. Mencegah perburukan PPOK
a. Berhenti merokok 20
b. Gunakan obat-obatan adekuat
c. Mencegah eksaserbasi berulang
Strategi yang dianjurkan oleh Public Health service report USA adalah
 Ask : lakukan identifikasi perokok pada setiap kunjungan
 Advice : terangkan tentang keburukan/dampak merokok sehingga
pasien didesak mau berhenti merokok
 Assess : yakinkan pasien untuk berhenti merokok
 Assist : bantu pasien dalam berhenti merokok
 Arrange : jadwalkan kontak usaha berikutnya yang leih intesif, bila
usaha pertama masih belum memuaskan
H. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat tejadi pada PPOK adalah (Paramasivam, 2017):
1. Gagal nafas
a. Gagal nafas kronik: hasil analisis gas darah PO2 < 60 mmHg
dan PCO2> 60 mmHg, dan pH normal, penatalaksanaan:
 Jaga keseimbangan PO2 dan PCO2
 Bronkodilator adekuat
 Terapi oksigen yang adekuat terutama waktu aktiviti
atau waktu tidur
 Antioksidan
 Latihan pernapasan dengan pursed lips breathing
b. Gagal nafas akut pada gagal nafas kronik, ditandai oleh:
 Sesak nafas dengan atau tanpa sianosis
 Sputum bertambah dan purulen
 Demam
 Kesadaran menurun
2. Infeksi berulang.
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan
menyebabkan terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan
terjadinya infeksi berulang. Pada kondisi kronik ini imunitas
menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar
limfosit darah.
3. Kor pulmonal: ditandai oleh P pulmonal pada EKG,
hematokrit > 50%, dapat disertai gagal jantung kanan
DAFTAR PUSTAKA

Kemenkes RI. (2018). Apa itu Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) ?
Direktorat Pencegahan Dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular, April
2018, 1–2. http://www.p2ptm.kemkes.go.id/infographic-p2ptm/penyakit-paru-
kronik/page/24/apa-itu-penyakit-paru-obstruktif-kronik-ppok

Maunaturrohmah, A., & Yuswatiningsih, E. (2018). Obstruktif Kronik.

Oemiati, R. (2013). Kajian Epidemiologis Penyakit Paru Obstruktif Kronik (Ppok).


Media of Health Research and Development, 23(2), 82–88.
https://doi.org/10.22435/mpk.v23i2.3130.82-88

Paramasivam, K. (2017). PENGALAMAN BELAJAR LAPANGAN PENYAKIT


PARU OBSTRUKSI KRONIS ( PPOK ). 1102005208.

Anda mungkin juga menyukai