Anda di halaman 1dari 15

Stroke Iskemik

Terapi non operatif


Terapi non operatif stroke meliputi terapi umum yang harus dilakukan sejak dini
pada stroke iskemik maupun perdarahan, dan terapi khusus yang sesuai dengan
jenis stroke.

Terapi umum
Terapi umum, digunakan pedoman “5B” yaitu :
1. Breathing
2. Blood
3. Brain
4. Bladder
5. Bowel

1. Breathing
Pasien yang memiliki jalan napas yang tidak adekuat atau paten
memerlukan intubasi. Jika terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan
intrakranial (TIK) maka pemberian induksi dilakukan untuk mencegah
efek samping dari intubasi. Pada kasus dimana kemungkinan terjadinya
herniasi otak besar maka target pCO2 arteri adalah 32-36 mmHg. Dapat
pula diberikan manitol intravena untuk mengurangi edema serebri. Pasien
harus mendapatkan bantuan oksigen jika pulse oxymetri atau pemeriksaan
analisa gas darah menunjukkan terjadinya hipoksia. Beberapa kondisi
yang dapat menyebabkan hipoksia pada stroke non hemoragik adalah
adanya obstruksi jalan napas parsial, hipoventilasi, atelektasis ataupun
GERD.1
Yang harus diperhatikan :2
1) Bersihkan mulut penderita.
Terhadap lendir, cairan yang dimuntahkan, gigi palsu, dan lidah yang
terjatuh kebelakang, atau benda asing lainnya.
2) Pasang pipa orofaring.
3) Posisi penderita terlentang atau miring bergantian dengan kepala
sedikit ekstensi 20 – 300.
4) Penghisapan lendir.
Bila terdapat banyak lendir yang menyumbat jalan nafas, dikerjakan
dengan hati-hati dan dianjurkan setelah pemberian anti edema otak,
karena dapat meningkatkan tekanan intrakranial.
5) ASTRUP.
Untuk menentukan kualitas pernafasan, pertahankan PaO2 80 – 100
mmHg (100 – 150 mmHg) dengan pemberian oksigen, dan PaCo2 25 –
30 mmHg. Dengan pemberian oksigen melalui alat bantu nafas
(respirator/ventilator).
a. Kanul hidung 1 – 6 l/mnt
b. Sungkup muka 4 – 8 l/mnt

a. Kanul Hidung.
a) Aliran 1 – 6 l/mnt.
b) Memberikan kadar O2 inspirasi antara 24 – 44%.
c) 6 l/mnt  kering dan krusta pada mukosa hidung.
d) Hitungan kasar, 1 l/mnt  O2 inspirasi meningkat 4%.

Keuntungan :
- Murah.
- Mudah ditoleransi.
- Nyaman.
- Dapat makan dan minum dengan bebas.
Kerugian :
- FiO2 yang dihasilkan maksimal 50%.
- Bila terlalu lama menimbulkan luka lecet pada hidung, telinga, iritiasi
dan membuat kering mukosa hidung.

Gambar 1.1 Kanula hidung


(Sumber : The3rd Update in Neuroemergencies, PERDOSSI, 2006)3

b. Sungkup muka sederhana.


a) FiO2 dapat lebih tinggi.
b) O2 dengan aliran lebih cepat.
c) 5 l/mnt atau lebih.
d) Mencegah penumpukan dan rebreathing (hirup ulang) udara ekspirasi
yang banyak mengandung CO2.

Keuntungan :
- Sederhana dan ringan.
- FiO2 sampai 60%.
Kerugian :
- Pada pasien sadar dan ingin bicara harus membuka sungkup muka.
- Kesulitan saat pembersihan secret, pemasangan pipa lambung.
- Tidak nyaman pada pasien trauma/luka bakar.
- Dapat iritasi dan kering pada mata.

Gambar 1.2 Sungkup muka sederhana


(Sumber : The3rd Update in Neuroemergencies, PERDOSSI, 2006)3

Hubungan aliran darah otak dengan peningkatan CO2 dan penurunan O2 dapat
digambarkan sebagai berikut :

Gambar 1.3
(Sumber : The3rd Update in Neuroemergencies, PERDOSSI, 2006)3
Perhatikan aliran darah otak (CBF = cerebral blood flow) meningkat seiring
dengan penurunan PaO2 dan peningkatan PaCO2. Bila aliran darah meningkat,
edema otak meningkat, tekanan intrakranial meningkat. Perhatikan pula pengaruh
MAP (mean arterial pressure).

Tabel 1.1 Threshold for brain dysfunction and damage


Pada keadaan anoksia – iskemia
Cerebral Oxygen
Tension
Normal PVO2 = 36 – 40 mm Hg
Critical PVO2 = 23 – 25 mm Hg
Lethal PVO2 = 17 – 18 mm Hg
Cerebral Blood Flow
Normal 55 ml/ 100 g/min
Critical 18 ± 2 ml/ 100 g/min
Lethal 10 ± 2 ml/ 100 g/min
Absolute HbO2 delivery* (flow, 55 ml/100 g/min)
Normal 14 g of Hb – 440 μmol/ 100 g/min
Critical 8 g of Hb – 265 μmol/ 100 g/min
Lethal 6 g of Hb – 199 μmol/ 100 g/min
* Effective oxyhemoglobin (HbO2) delivery represents arterial deliver minus
cerebral venous HbO2 saturation (maximum of 75% extraction at critical PO2
and pH 7.4).
(Sumber : Nuartha, Beberapa aspek diagnostik dan penatalaksanaan stroke akut,
1994)2

2. Blood.
Pada keadaan dimana aliran darah kurang seperti pada stroke atau
peningkatan TIK, pembuluh darah otak tidak memiliki kemampuan
vasoregulator sehingga hanya bergantung pada maen arterial pressure
(MAP) dan cardiac output (CO) untuk mempertahankan aliran darah otak.
Oleh karena itu, usaha agresif untuk menurunkan tekanan darah dapat
berakibat turunnya tekanan perfusi yang nantinya akan semakin
memperberat iskemik. Di sisi lain didapatkan bahwa pemberian terapi anti
hipertensi diperlukan jika pasien memiliki tekanan darah yang ekstrim
(sistole lebih dari 220 mmHg dan diastole lebih dari 120 mmHg) atau
pasien direncanakan untuk mendapatkan terapi trombolitik.
Adapun langkah-langkah pengontrolan tekanan darah pada pasien stroke
non hemoragik adalah sebagai berikut :
- Jika pasien tidak direncanakan untuk mendapatkan terapi trombolitik,
tekanan darah sistolik kurang dari 220 mmHg, dan tekanan darah
diastolik kurang dari 120 mmHg tanpa adanya gangguan organ end-
diastolic maka tekanan darah harus diawasi (tanpa adanya intervensi)
dan gejala stroke serta komplikasinya harus ditangani.
- Untuk pasien dengan TD sistolik di atas 220 mmHg atau diastolik
antara 120-140 mmHg maka pasien dapat diberikan labetolol (10-20
mmHg IV selama 1-2 menit jika tidak ada kontraindikasi. Dosis dapat
ditingkatkan atau diulang setiap 10 menit hingga mencapai dosis
maksiamal 300 mg. Sebagai alternatif dapat diberikan nicardipine (5
mg/jam IV infus awal) yang dititrasi hingga mencapai efek yang
diinginkan dengan menambahkan 2,5 mg/jam setiap 5 menit hingga
mencapai dosis maksimal 15 mg/jam. Pilihan terakhir dapat diberikan
nitroprusside 0,5 mcg/kgBB/menit/IV viasyringe pump. Target
pencapaian terapi ini adalah nilai tekanan darah berkurang 10-15
persen.
- Pada pasien yang akan mendapatkan terapi trombolitik, TD sistolik
lebih 185 mmHg, dan diastolik lebih dari 110 mmHg maka dibutuhkan
antihipertensi. Pengawasan dan pengontrolan tekanan darah selama
dan setelah pemberian trombolitik agar tidak terjadi komplikasi
perdarahan. Preparat antihipertensi yangdapat diberikan adalah
labetolol (10- 20 mmHg/IV selama 1-2 menit dapat diulang satu kali).
Alternatif obat yang dapat digunakan adalah nicardipine infuse 5
mg/jam yang dititrasi hingga dosis maksimal 15 mg/jam.
Pengawasan terhadap tekanan darah adalah penting. Tekanan darah harus
diperiksa setiap 15 menit selama 2 jam pertama, setiap 30 menit selama 6
jam berikutnya, dan setiap jam selama 16 jam terakhir. Target terapi
adalah tekanan darah berkurang 10-15 persen dari nilai awal. Untuk
mengontrol tekanan darah selama opname maka agen berikut dapat
diberikan :
1) TD sistolik 180-230 mmHg dan diastolik 105-120 mmHg maka
dapat diberikan labetolol 10 mg IV selama 1-2 menit yang dapat
diulang selama 10-20 menit hingga maksimal 300 mg atau jika
diberikan lewatinfuse hingga 2-8 mg/menit.
2) TD sistolik lebih dari 230 mmHg atau diastolik 121-140 mmHg
dapat diberikan labetolol dengan dosis diatas atau nicardipine
infuse 5 mg/jam hingga dosis maksimal 15mg/jam.
3) Penggunaan nifedipin sublingual untuk mengurangi TD dihindari
karena dapat menyebabkan hipotensi ekstrim.1

Yang harus diperhatikan :


1) Tekanan darah yang cukup, untuk itu evaluasi fungsi jantung dan
organ vital lain adalah penting.
2) Kualitas darah, perlu dipertahankan milieu intern elektrolit, protein
darah, keseimbangan asam basa. Pada iskhemik stroke dengan
hiperglikemia, ditakutkan terjadi laktat asidosis yang mempermudah
terjadinya edema, perlu dipertimbangkan pemakaian infus untuk
regulasi kadar glukosa darah secara cepat. Serta hindari pemakaian
glukosa pada nutrisi parenteral.
Kecepatan infus :4
Resusitasi cairan : 20 – 30 ml/kgBB/jam
Rumatan : 10 kg pertama : 4 ml/kg/jam
11 – 20 kg : +2 ml/kg/jam
>20 kg : +1 ml/kg/jam

Misalnya BB 25 kg : (4x10) + (2x10) + (5x1) = 65 ml/jam


Atau :
1) Cairan rumatan
Berat < 10 kg : 100 ml/kg/hari.
Berat 11 sampai 20 kg: 1000 ml + 50 ml/kg/hari untuk setiap kg di atas 10 kg.
Berat > 20 kg : 1500 ml + 20 ml/kg/hari untuk setiap kg di atas 20 kg.
Dewasa : 2000 sampai 2400 ml/hari.
2) Air total tubuh adalah 60% dari berat badan.

Penghitungan kecepatan aliran :5


Informasi yang diperlukan untuk menghitung kecepatan aliran meliputi berikut
ini:
1) Volume cairan yang diinfuskan.
2) Waktu infus total.
3) Kalibrasi set pemberian yang digunakan (jumlah tetesan per millimeter;
informasi ini ditemukan pada paket selang IV).

Pabrik-pabrik selang IV menggunakan 10,12,15,20 atau 60 tetesan (gtt) untuk


memberikan millimeter (ml) cairan. Untuk menghitung kecepatan IV setiap jam,
gunakan rumus berikut ini (Otto & Rocca, 1995) :

𝑔𝑡𝑡/𝑚𝑙 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑠𝑒𝑡


𝑥 𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑝𝑒𝑟 𝑗𝑎𝑚 = 𝑔𝑡𝑡/𝑚𝑛𝑡
60 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡

1000 ml selama 8 jam = 125 ml/jam; 10 gtt/ml set infus


10 𝑔𝑡𝑡/𝑚𝑙
𝑥 125𝑚𝑙 =
60 𝑚𝑛𝑡
10 𝑔𝑡𝑡/𝑚𝑙 1 125 𝑚𝑙/𝑗𝑎𝑚 1 125
= ÷ = ÷ = 20 𝑔𝑡𝑡/𝑚𝑛𝑡
60 𝑚𝑛𝑡 6 1 6 1

Berdasarkan guideline stroke 2007, pemberian cairan :


1) Berikan cairan isotonis seperti 0,9% salin dengan tujuan menjaga
euvolemi. Tekanan vena sentral di pertahankan antara 5 – 12 mmHg.
2) Pada umumnya kebutuhan cairan 30 ml/kgBB/hari (parenteral maupun
enteral).
3) Balans cairan di perhitungkan dengan mengukur produksi urine sehari di
tambah dengan pengeluaran cairan yang tidak dirasakan (produksi urine
sehari di tambah 500 ml untuk kehilangan cairan yang tidak tampak dan di
tambah lagi 300 ml per derajat Celcius pada penderita panas).
4) Elektrolit (sodium, potassium, calcium, magnesium) harus selalu di
periksa dan diganti bila terjadi kekurangan sampai tercapai nilai normal.
5) Asidosis dan alkalosis harus dikoreksi sesuai dengan hasil analisa gas
darah.
6) Cairan yang hipotonik atau mengandung glukosa hendaklah dihindari
kecuali pada keadaan hipoglikemia.

Pada umumnya pasien fase akut yang diberikan cairan IV 50 – 150 cc/jam, dapat
meningkatkan cairan intravaskular sebesar 30% dalam 4 – 6 jam. Telah terbukti
pada pasien stroke dengan membuat pasien dalam keadaan hemodilusi ternyata
memperlihatkan keluaran lebih baik dibandingkan dengan terapi konvensional.
Apabila secara klinis didapatkan peningkatan tekanan intrakranial maka balans
cairan diusahakan negatif 300 – 500 cc/hari.
Pemilihan cairan selama proses resusitasi, sebaiknya dipilih cairan fisiologis atau
minimal mendekati fisiologis tubuh. Pemberian dekstrosa 5% atau cairan
hipotonis lainnya sebaiknya dihindari karena dapat memperberat edema otak.
Pada stroke American Heart Association merekomendasikan :
a) Larutan saline normal (osmolaritas 308 mOsm/L).
b) Pada keadaan asidosis hiperkloremik pemberian cairan Nacl 0,9%
berlebihan dapat memperberat asidosis dan akhirnya akan memperberat
edema otak.
c) Ringer laktat (osmolaritas 273 mOsm/L), walaupun rendah dibanding
osmolaritas tubuh tapi cukup baik.
d) Yang masih pertentangan adalah pemberian laktat yang dianggap akan
menyebabkan asidosis laktat.
e) Solusio ringer (osmolaritas 310 mOsm/L), baik untuk mengurangi edema
otak tetapi sering menyebabkan gangguan keseimbangan elektrolit (dapat
menyebabkan hiponatremia dan asidosis hiperkloremik).

Tabel 1.2 Beberapa jenis cairan fisiologis


Jenis Na+ K+ Ca++ Cl- Lactat Asetat mOsm/L
Normal 154 - - 154 - - 308
saline
Solusio 147 4 4,5 155,5 - - 310
ringer
Ringer 130 4 3 109 28 - 273
laktat
Ringer 130 4 3 109 - 28 273
asetat

(Sumber : The3rd Update in Neuroemergencies, PERDOSSI, 2006)3


Hemodilusi6
Hemodilusi yang isovolumik dilaksanakan secepatnya, yaitu 12 jam (12 – 24 jam)
setelah terjadi stroke pada penderita dengan hematokrit ≥ 42%. Hematokrit
diturunkan sampai mencapai 35% ± 3 dengan mengeluarkan darah sebanyak 300-
500 ml dan diganti dengan dextran 40 atau hydroxyethyl starch/HES dalam
jumlah yang sama. Dextran 40 dan HES juga mempunyai efek anti-agregasi
(Pedoman diagnosis dan terapi, 1992).
𝐁𝐁
𝐇𝐚𝐬𝐢𝐥 𝐏𝐂𝐕 − 𝐏𝐂𝐕 𝐧𝐨𝐫𝐦𝐚𝐥 (𝟑𝟖%)𝐱 𝐱 𝟏𝟎 𝐱 𝟏 𝐜𝐜
𝟓 = ⋯ 𝐂𝐂
𝟐

- Maksimal darah yang dikeluarkan 500 cc


- Stroke Non Hemoragik Akut < 24 jam
- PCV > 38%
- Tidak ada gangguan miokard infark akut
- Tidak ada gangguan ginjal
- Tidak hamil
- Tidak ada hipertensi berat

3. Brain
Pada penderita stroke bila terjadi :
1) Tanda-tanda peningkatan intrakranial berupa penurunan kesadaran dan
gejala rostrokaudal sebaiknya diberikan manitol 20% per infus.
2) Bila kejang :
- Berikan diazepam bolus lambat IV 5 – 20 mg dan diikuti fenitoin
loading dose 15 – 20 mg/kgBB/hari oral atau IV, dengan kecepatan
maksimum 50 mg/menit.
- Initial dosis 100 mg oral atau IV 3 x sehari, dengan dosis
maintenance 300 – 400 mg oral/hari dengan dosis terbagi.
- Bila kejang belum teratasi maka perlu dirawat di ICU.

3) Kendalikan suhu tubuh.


- Setiap penderita stroke yang disertai febris harus diobati dengan
antipiretika dan diatasi penyebabnya.
- Berikan asetaminofen 650 mg bila suhu lebih dari 38,50C.
- Pada pasien febris atau beresiko terjadi infeksi, harus dilakukan
kultur dan hapusan (tracheal, darah dan urine) dan diberikan
antibiotic. Jika memakai kateter ventrikuler, analisa CSS harus
dilakukan untuk mendeteksi meningitis.
- Jika didapatkan meningitis, maka segera diikuti terapi antibiotik.

4. Bladder
1) Perhatikan fungsi ginjal dengan melihat produksi urin, dan pengukuran
keseimbangan cairan.
2) Pada kasus dengan retensi urin dapat dipasang folley kateter, sedang
pada inkontinensia pada penderita pria dapat dipasang kondom kateter.
Pada wanita terpaksa dipakai folley kateter.
3) Untuk problem miksi sebaiknya dilakukan program bladder training
secara dini.
4) Kantong kencing (urine bag) sebaiknya diganti setiap 48 jam untuk
menghindari infeksi dan juga untuk memantau jumlah produksi urin.

5. Bowel
1) Pemberian makanan yang memenuhi jumlah kalori (2000 kalori),
elektrolit, dan vitamin.
a) Harus sudah diberikan dalam 48 jam, nutrisi oral diberikan bila
hasil tes menelan baik.
b) Bila ada gangguan menelan  pipa nasogastrik.
c) Keadaan akut  kalori 25–30 kkal/kg/hari, dengan komposisi:
- Karbohidrat 30 – 40% dari total kalori.
- Lemak 20 – 35% (35 – 55%, bila ada gangguan nafas).
- Protein 20 – 30% (1,4 – 2 g/kgBB/hari, bila pada
keadaan stress; < 0,8 bila ada gangguan fungsi ginjal).
2) Hindari obstipasi, dengan pemberian gliserin atau enema yang lain
kedalam rektum sekali dalam 2 – 3 hari bila penderita tidak bisa
defekasi.
3) Dianjurkan pemberian cairan dalam bentuk koloid, kristaloid, atau
darah, jangan mempergunakan cairan hipotonik atau DW (Dextrose in
water).
4) Pertahankan :
a) Regular koloid plasma > 15 mmHg (Albumin > 3 g/dl).
b) osmolaritas serum 280-330 mOsm/l.
c) kadar gula darah mendekati 100 mg%.
5) Hindari hipovolemi.
a) Menurunkan tekanan perfusi serebral, ginjal dan paru-paru
dapat memperburuk kondisi penderita.
b) Menyebabkan sekresi lendir pada jalan nafas menjadi lebih
kental dan sulit dikeluarkan.

Gejala Hipovolemi :
a) Takikardi.
b) Mukosa mulut kering.
c) Peningkatan kadar elektrolit (terutama Natrium).
d) Peningkatan kadar ureum.

6) Jika ada febris, pada kenaikkan suhu 10 C ditambah cairan 12 – 15%.


7) Hindari hiperglikemi.
Pertahankan kadar glukosa serum < 140 mg/dl.
Tabel 1.3 Skala luncur insulin regular manusia
Gula darah (mg/dl) Dosis insulin subkutan (Unit)
150 – 200 2
201 – 250 4
251 – 300 6
301 – 350 8
351 – 400 10
(Sumber : Guideline stroke, 2007)

8) Hindari hiperkolesterol.
Hiperkolesterol merupakan proses awal dari terjadinya aterosklerosis.
Pasien dengan stroke iskhemik harus dievaluasi adanya
hiperkolesterol. Pada fase akut dari stroke, kadar kolesterol dapat
ditemukan dengan hasil yang rendah.

Teori terbaru dari terjadinya aterosklerosis adalah karena proses


oksidatif LDL, penelitian dari Preston Mason yang merupakan
professor ahli biologi molekuler dari Harvard University menunjukkan
LDL yang teroksidasi (ox-LDL) dapat memacu kerusakan formasi sel.
Ia menemukan bahwa tumpukan lipid pada lesi dinding pembuluh
darah hampir semuanya teroksidasi. Ini menjadi bukti kehadiran LDL
teroksidasi yang memiliki aktivitas proaterogenik.7

Tabel 1.4 Rekomendasi untuk terapi hiperkolesterol untuk pasien dengan stroke
iskemik
Baseline Level of Desired Level of
LDL Cholesterol LDL Cholesterol
≥ 130 mg/dL < 100 mg/dL
≥ 160 mg/dL < 130 mg/dL

(Sumber : Adam, Management of Stroke, 2002)7


REFERENSI

1. http://s3.amazonaws.com/academia.edu.documents/33303905/Sekmej_Rahma
-libre.pdf?AW
2. Nuartha A.A.B.N. Beberapa aspek diagnostik dan penatalaksanaan stroke
akut; Lab neurologi FK. Universitas Udayana. Denpasar, 1994.
3. Perdossi (Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia). Buku pedoman
Standar Pelayanan Medis (SPM) dan Standar Produser Operasional (SPO)
Neurologi koreksi tahun 1999 & 2005. Perdossi. 2006.
4. Graber M.A. Terapi cairan, elektrolit, dan metabolic. Farmedia, 2002. hal.96
5. Otto S.E. & Rocca J.C.L. Penghitungan untuk terapi IV dalam: Terapi
intravena. Penerbit buku kedokteran EGC, 1998. hal.81 – 83
6. Penyakit Serebrovaskuler dalam: Pedoman diagnosis dan terapi Penyakit
Saraf. Lab/UPF Ilmu Penyakit Saraf (Neurologi), Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana, Rumah Sakit Umum Pusat Denpasar, 1992. hal.31 – 43
7. Adam H.P., Zoppo G.J.D. & Kummer R.V. Management of stroke : A
practical guide for the prevention, evaluation, and treatment of acute stroke,
Professional Communications, NC, A Medical Publishing Company, 2002.

Anda mungkin juga menyukai