Anda di halaman 1dari 35

GAMBARAN PROSES ASUHAN GIZI TERSTANDAR

TERHADAP PASIEN DIABETES MELITUS


DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
DEPATI BAHRIN SUNGAILIAT

PROPOSAL TUGAS AKHIR

Oleh:

RAGA DIRGANTARA ANUGRAH


181.341.125

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN PANGKALPINANG
PRODI GIZI
2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Diabetes Melitus (DM) dapat menyebabkan hi- perglikemia pada pasien


DM. Kondisi hiper- glikemia pada DM yang tidak dikontrol dapat menyebabkan
gangguan serius pada sistem tubuh, terutama saraf dan pembuluh darah (World
Health Organization, 2018). Pencegahan yang dapat dilakukan yaitu dengan
membuat per- ubahan gaya hidup pasien, seperti meningkat- kan diet dan latihan
fisik (International Dia- betes Federation, 2017).

International Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2017 melaporkan


bahwa jumlah pasien DM didunia pada tahun 2017 mencapai 425 juta orang
dewasa berusia antara 20–79 tahun Data Riset Kesehatan Daerah (Riskesdas)
menunjuk- kan bahwa prevalensi pasien diabetes provinsi Jawa Timur masuk 10
besar se-Indonesia de- ngan prevalensi 6,8% (Kominfo Jatim, 2015). Dinas
Kesehatan Surabaya mencatat sebanyak
32.381 pasien DM sepanjang tahun 2016. Data pendahuluan yang
didapatkan oleh peneliti me- nunjukkan bahwa pasien DM sebanyak 2.195 orang
dari Januari sampai Maret 2018 yang tersebar di lima puskesmas dengan jumlah
pen- derita DM tertinggi di Surabaya. Jumlah ini tersebar di Surabaya Timur
(Puskesmas Klampis Ngasem= 353 orang), Surabaya Barat (Puskes- mas
Asemrowo= 367 orang), Surabaya Pusat (Puskesmas Kedungdoro= 135 orang),
Surabaya Utara (Puskesmas Tanah Kalikedinding= 615 orang), dan Surabaya
Selatan (Puskesmas Jagir
= 725 orang).
Pengobatan diabetes yang paling utama yaitu mengubah gaya hidup
terutama mengatur pola makan yang sehat dan seimbang (Chatterjee, et al.,
2018). Penerapan diet merupakan salah satu komponen utama dalam
keberhasilan penata- laksanaan diabetes, akan tetapi sering kali men- jadi
kendala dalam pelayanan diabetes karena dibutuhkan kepatuhan dan motivasi
dari pasien itu sendiri (Setyorini, 2017).
Penanganan yang dilakukan pasien dalam me- nangani stres memengaruhi
keberhasilan dalam mematuhi program diet serta pengendalian kad- ar gula
darah (Widodo, 2012). Sebenarnya pa- sien DM banyak yang mengetahui
anjuran diet, tetapi banyak pula yang tidak mematuhinya (Jaramillo, et al.,
2013). Pasien DM mengang- gap bahwa diet yang dijalankan cenderung ti- dak
menyenangkan sehingga mereka makan se- suai dengan keinginan bila belum
menunjukkan gejala serius (Setyorini, 2017).
Tahun 2006, Asosiasi Dietisien Indonesia (AsDI) mulai mengenalkan

Proses Asuhan Gizi Terstandar (PAGT) yang diadopsi dari Nutrition Care

Process American Dietetic Association (NCP-ADA). Proses Asuhan Gizi

Terstandar disusun sebagai upaya peningkatan kualitas pemberian asuhan gizi.

Proses tersebut mendukung dan mengarah pada asuhan gizi secara individu.

Sebelum PAGT muncul, asuhan gizi dilakukan oleh dietisien dengan cara

yang beragam berdasarkan asuhan terstandar dalam pedoman atau penuntun

diet. Metode PAGT sendiri merupakan suatu langkah-langkah konsisten dan

spesifik mengenai pelayanan asuhan gizi, meskipun pelayanan tersebut

dilakukan di tempat yang berbeda. Selain itu, PAGT juga mempunyai patokan

standar terstruktur dalam menegakkan diagnosis gizi serta intervensi gizi yang

akan dilakukan oleh dietisien (AsDi, 2011 dan Kemenkes RI 2013).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka peneliti dapat merumuskan

bagaimana Proses Asuhan Gizi Terstandar pada Pasien Diabetes Mellitus

di RSUD Depati Bahrin Sungailiat?


C. TujuanPenelitian

1. Tujuan

Melakukan Proses Asuhan Gizi Terstandar pada pasien Diabetes

Mellitus dengan secara individual di RSUD Depati Bahrin Sungailiat ?

2. Tujuan Khusus

a) Melakukan Asessment Gizi pada pasien Diabetes Mellitus di

RSUD Depati Bahrin Sungailiat.

b) Menentukan Diagnosa Gizi pada pasien Diabetes

Mellitus dengan Hipertensidi RSUD Prof. Dr. W. Z.

Johannes Kupang.

c) Melakukan Intervensi Gizi pada pasien Diabetes Mellitus Diabetes

Mellitus di RSUD Depati Bahrin Sungailiat.

d) Melakukan Monitoring dan Evaluasi pada Diabetes Mellitus di

RSUD Depati Bahrin Sungailiat.

C. Manfaat Penelitian

1. Bagi Peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengalaman dan

menambah wawasan sebagai calon ahli gizi khususnya

mengenai asuhan gizi klinik pada pasien Diabetes Mellitus.

2. Bagi Institusi

Penelitian ini diharapkan berguna sebagai informasi dan

bermanfaat untuk mengembangkan ilmu gizi sehingga dapat

digunakan oleh mahasiswa/i sebagai panduan dalam


memberikan asuhan gizi klinik pada pasien Diabetes Melitus.

3. Bagi Pasien

Diharapkan pasien dapat menerima tatalaksana diet sesuai

dengan penyakitnya dan dapat menerapkan edukasi yang

diberikan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Diabetes Melitus

1. Definisi Diabetes Melitus

Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit

metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia sebagai akibat dari

defeksekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya. Hiperglikemia

kronik pada diabetes melitus berhubungan dengan kerusakan jangka

panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama

mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah (Gustaviani, 2006).

Diabetes melitus adalah suatu penyakit dimana kadar glukosa

(glukosa sederhana) didalam darah tinggi karena terdapat gangguan

pada kelenjar pankreas dan insulin yang dihasilkan baik secara

kualitas maupun kuantitas ( Tjokroprawiro, 2006). Lebih lanjut, pada

penderita yang kronisakan timbul gejala lain, yaitu terjadinya

penurunan berat badan, timbulnya rasa kesemutan atau rasa nyeri

pada tangan atau kaki, timbulnya luka gengren pada kaki, serta

hilangnya kesadaran diri (Supryanto, 2010).

American Diabetes Asociation (2012) mendefinisikan

diabetes melitus adalah salah satu kelompok metabolik yang ditandai

oleh hiperglikemia karena gangguan sekresi insulin, kerja insulin, atau

keduannya. Keadaan hiperglikemia kronis dari diabetes

berhubungandengan kerusakan jangka panjang, ganguan fungsi dan


kegagalan berbagai organ terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan

pembuluh darah.Diabetes melitus tipe II merupakan penyakit

hiperglikemia akibat insensitivitas sel terhadap insulin yang sedikit

menurun atau berada dalam rentang normal. Karena insulin dihasilkan

oleh sel-sel beta pankreas, maka diabetes melitus tipe II dianggap

sebagai Non Insulin Dependent Diabetes Melitus(NIDDM) (Slamet

S., 2008) Diabetes melitus tipe II adalah penyakit gangguan metabolik

yang ditandai dengan kenaikan gula darah akibat penurunan sekresi

insulin oleh sel beta pankreas dan atau gangguan fungsi insulin atau

resistensi insulin (Departemen Kesehatan, 2005).

2. Klasifikasi Diabetes Melitus

Menurut Badawi (2009), diabetes melitus dapat diklasifikasikan

menjadi 3 bagian yaitu :

a. Diabetes Melitus Tipe I

Diabetes melitus tipe I (IDDM), yakni diabetes melitus yang

tergantung pada insulin, disebabkan karena kekurangan

produksi insulin. Diabetes melitus tipe I biasa terjadi karena

kerusakan sel-sel beta pulau langerhans pada pankreas akibat

proses kekebalan tubuh (otoimun) terjadi pembunuhan sel

tubuh oleh sistem imunitasnya sendiri. Penderita diabetes

melitus tipe I ini hanya sekitar 10% dari seluruh penderita

diabetes melitus. Biasanya terdiagnosis dibawah umur 35

tahun, tidak gemuk dan gejalanya timbul mendadak (akut).


b. Diabetes Melitus Tipe II

Diabetes melitus tipe II (NIDDM), yakni diabetes melitus yang

tidak tergantung pada insulin, akibat kegagalan relatif sel beta

langerhan dikelenjar pankreas sehingga produksi insulin yang

terjadi dengan kualitas rendah tidak mampu meransang sel

tubuh agar agar menyerap gula darah misalnya obesitas, pola

makan yang tidak benar. Diabetes melitus jenis ini paling

banyak dijumpai dan mencapai 80% lebih darikeseluruhan

penderita diabetes melitus.Biasanya terdiagnosis diatas umur

40 tahun, biasanya gemuk, dan gejalanya timbul secara

perlahan-lahan (kronis).

c. Diabetas Melitus Gestasional, yakni terjadi pada ibu hamil,

disebabkan karena tubuh tidak biisa merespon hormon insulin

karena adanya hormon penghambat penghambat selama proses

kehamilan.

3. Etiologi

Diabetes melitus disebabkan oleh rusaknya sebagian kecil atau

sebagian besar dari sel-selbeta (β)dari pulau-pulau langerhans

pada pankreas yang berfungsi menghasilkan insulin akibat

terjadinya kekurangan insulin. Faktor-faktor yang menyebabkan

peningkatan jumlah penderita diabetes melitus yang sebagian

besar diabetes melitus tipe II menurut American Diabetes


Association (ADA) dengan modifikasi terdiri atas :

a. Faktor resiko mayor

1) Riwayat keluarga dengan diabetes melitus

2) Obesitas

3) Kurang aktivitas fisik

4) Ras/etnik

5) Hipertensi

6) Koresterol tidak terkontrol

7) Riwayat diabetes melitus pada kehamilan

8) Berat badan lebih (indeks massa tubuh > 23 Kg/m2

b. Faktor resiko lainnya

1) Faktor nutrisi

2) Konsumsi alkohol

3) Faktor stres

4) Kebiasaan mendengkur

5) Kebisaan merokok

6) Jenis kelamin

7) Lama tidur

8) Intake zat besi

9) Kebiasaan konsumsi kopi dan kefein paritas (ADA,


2012)

4. Tanda dan Gejala

Gejala diabetes melitus dibedakan menjadi dua yaitu akut dan kronis.

a. Gejala akut diabetes melitus yaitu :


1. Poliphagia (banyak makan)

2. Polidipsia (banyak minum)

3. Poliuria (banyak kencing atau sering kencing dimalam hari)

4. Nafsu makan bertambah namun berat badan turun

dengan cepat (2-10 kg dalam waktu 2-4 minggu)

5. Mudah lelah.

b. Gejala kronik Diabetes melitus yaitu :

1. Kesemutan

2. Kulit terasa panas atau seperti tertusuk jarum

3. Rasa kebas dikulit


4. Kram

5. Kelelahan

6. Mudah mengantuk

7. Pandangan mulai kabur

8. Gigih mudah goyah dan mudah lepas

5. Patofisiologi

Sebagian besar gambaran patologik dari DM dapat

dihubungkan dengan sala satu efek utama akibat kurangnya

insulin berikut :

a. Berkurangnya pemakaian glukosa oleh sel-sel tubuh yang

mengakibatkan naiknya konsentrasi glukosa darah.

b. Peningkatan mobilisasi lemak dari daerah penyimpanan


yang menyebabkan terjadinya metabolisme lemak yang

abnormal disertai dengan endapan kolestrol pada dinding

pembuluh darah.

c. Berkurangnya protein dalam jaringan tubuh.

Defisiensi insulin membuat seseorang tidak mampu

mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal

atau toleransi sesudah makan. Pada hiperglikemia berat yang

melebihi ambang ginjal normal (konsentrasi glukosa darah

sebesar 160-180 mg/100 ml), akan timbul glikosuria karena

tubulus-tubulus renalis tidak dapat menyerap kembali semua

glukosa. Glukosuria akan mengakibatkan diuresis osmotik

yang menyebabkan poliuri disertai kehilangan sodium,

klorida, postasium, dan pospat. Adanya poliuri menyebabkan

dehidrasi dan timbul polidipsi (Soegondo, S, dkk., 2007).

Adanya glukosa yang keluar bersama urin akan

menyebabkan pasien mengalami keseimbangan protein negatif

dan berat badan menurun serta cendrung terjadi polifagi.

Akibat yang lain adalah astenia atau kekurangan energi

sehingga pasien menjadi cepat lelah dan mengantuk yang

disebabkan oleh berkurangnya atau hilanganya protein tubuh

dan juga kurangnya penggunaan karbohidrat untuk energi.

Hiperglikemia yang lama akan menyebabkan arteroskleorosis,

penebalan membran basalis dan perubahan pada saraf perifer,


hal ini akan memudahkan terjadinya gengren ( Sudoyo,

A.W.,dkk., 2006).

Dalam patofisiologis DM tipe II terdapat beberapa

keadaan yang berperan yaitu resistensi insulin dan disfungsi

sel beta (β) pankreas. Diabetes Melitus tipe II bukan

disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, namun sel-sel

sasaran insulin gagal atau tidak mampu merespon insulin

secara normal disebut resistensi insulin. Resistensi insulin

banyak terjadi akibat dari obesitas dan kurangnya aktivitas

serta penuaan. Pada penderita diabetes melitus tipe II dapat

juga terjadi produksi glukosa hepatik yang berlebihan namun

tidak terjadi pengrusakan sel-sel beta (β) langerhans secara

autoimun seperti diabetes melitus tipe II. Defisiensi insulin

pada penderitadiabetes melitus tipe II hanya bersifat relatif dan

tidak absolut (Harding, Anne Helen, dkk. 2003).

Pada awal perkembangan diabetes melitus tipe II, sel

beta (β) manunjukan pada gangguan sekresi insulin fase

pertama, artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi

resistensi insulin. Apabila tidak ditangani dengan baik, pada

perkembangan selanjutnya akan terjadi kerusakan sel-sel beta

(β) pankreas. Kerusakan sel- sel beta (β) pankreas akan terjadi

secara progresif danakanmenyebabkan defisiensi insulin,

sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin eksogen.


6. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejalanya (polidipsi,

polifagi, poliuri) dan hasil pemeriksaan darah yang menunjukan

kadar gula tinggi. Untuk mengukur kadar gula darah, contoh darah

biasanya diambil setelah makan. Pada usia diatas 65 tahun, paling

baik sebelum dilakukan pemeriksaan adalah berpuasa terlebih

dahulu karena jika pemeriksaan dilakukan setelah makan, pada

usia memiliki peningkatan gula darah yang lebih tinggi. Diagnosis

diabetes melitus harus didasarkan atas pemeriksaan glukosa darah

dan tidak dapat ditegakkan hanya atas dasar glukosoria saja

(Badawi, 2009).

Pemeriksaan penyaringan dikerjakan pada kelompok dengan

salah satu resiko diabetes melitus sebagai berikut :

a. Usia > 45 tahun

b. Usia lebih muda, terutama dengan masa indeks tubuh

(IMT) > 23 kg/m2, yang disertai dengan faktor resiko :

1. Turunan utama dari orang tua dengan diabetes melitus

2. Riwayat melahirkan dengan BBL > 400 gram, atau

riwayat diabetes melitus gestasional

3. Hipertensi (> 140/90 mmHg)

4. Kolesterol HDL < 35 mg/dL dan atautrigliserida > 250


mg/dL

5. Menderita polycitic Ovarial Syndrome (PCOS) atau keadaan

klinis lain yang terkait resistensi insulin.Adanya riwayat


toleransi glukosa yang terganggu (TGT) atau glukosa darah

puasa terganggu (GDPT) sebelumnya.

6. Memiliki riwayat penyakit kardiovaskular (Lestari, 2009).

B. Proses Asuhan Gizi Terstandar (PAGT)

1. Definisi

Menurut American Dietetic Association (2006), PAGT adalah

metoda pemecahan masalah yang sistematis, yang mana dietisien

profesional menggunakan cara berfikir kritisnya dalam membuat

keputusan untuk menangani berbagai masalah yang berkaitan dengan gizi,

sehingga dapat memberikan asuhan gizi yang efektif dan berkualitas

tinggi (Sumapradja dkk,2011).

Proses Asuhan Gizi Terstandar (PAGT) adalah pendekatan

sistematik dalam memberikan pelayanan asuhan gizi yang berkualitas

yang dilakukan oleh tenaga gizi, melalui serangkaian aktivitas yang

terorganisir yang meliputi identifkasi kebutuhan gizi sampai pemberian

pelayanannya untuk memenuhi kebutuhan gizi.

Proses asuhan gizi hanya dilakukan pada pasien/klien

teridentifikasi risiko gizi atau sudah malnutrisi dan membutuhkan

dukungan gizi individual. Identifikasi risiko gizi dilakukan melalui

skrining/penapisan gizi, dimana metodenya tergantung dari kondisi dan

fasilitas setempat. Misalnya menggunakan Subjective Global Assessment

(SGA) (Sumapradja dkk,2011).
Proses asuhan gizi terstandar (PAGT) harus dilaksanakan secara

berurutan dimulai dari langkah asesmen, diagnosis, intervensi dan

monitoring dan evaluasi gizi (ADIME). Langkah-langkah tersebut saling

berkaitan satu dengan lainnya dan merupakan siklus yang berulang terus

sesuai respon/perkembangan pasien. Berdasarkan fakta tersebut

ditegakanlah diagnosa gizi kemudian ditentukan rencana intervensi gizi

untuk dilaksanakan berdasarkan diagnosa gizi yang terkait. Kemudian

monitoring dan evaluasi gizi dilakukan setelahnya untuk mengamati

perkembangan dan respon pasien terhadap intervensi yang diberikan. Bila

tujuan tercapai maka proses ini dihentikan, namun bila tidak tercapai atau

terdapat masalah gizi baru maka proses berulang kembali mulai dari

pengkajian gizi yang baru (Sumapradja dkk, 2011).

Proses asuhan gizi terstandar merupakan siklus yang terdiri dari

langkah yang berurutan dan saling berkaitan yaitu (Sumapradja

dkk, 2011):

a. Pengkajian gizi

b. Diagnosa gizi

c. Intervensi gizi

d. Monitoring dan evaluasi gizi

2. Pengkajian Gizi

          Pengkajian gizi merupakan kegiatan mengumpulkan,

mengintegrasikan dan menganalisis data untuk identifikasi masalah gizi

yang terkait dengan aspek-aspek asupan zat gizi dan makanan serta aspek
klinis dan perilaku lingkungan yang disertai penyebabnya. Langkah

pertama PAGT ini merupakan proses yang dinamakan proses

berkelanjutan, bukan hanya pengumpulan data awal tetapi merupakan

pengkajian dan analisis ulang kebutuhan pasien. Langkah ini merupakan

dasar untuk menegakkan diagnosis gizi (Sumapradja dkk, 2011).

Pengkajian gizi dilakukan oleh tenaga kesehatan dengan mengumpulkan

sata yang diperlukan.

Asesmen Gizi bertujuan mengidentifkasi problem gizi dan faktor

penyebabnya melalui pengumpulan, verifkasi dan interpretasi data secara

sistematis.

a. Langkah-langkah Pengkajian Gizi

1) Kumpulkan dan pilih data yang merupakan faktor yang dapat

mempengaruhi status gizi dan kesehatan pasien diabetes melitus

tipe II

2) Kelompokkan data berdasarkan kategori asesmen gizi:

a) Riwayat gizi dengan kode FH (Food History)

Terdiri dari pemberian makanan dan gizi, penggunaan

obat/herbal suplemen, pengetahuan/kepercayaan, ketersediaan

makanan dan persediaan, serta aktifitas fisik. Pengumpulan

data riwayat gizi dilakukan dengan cara interview, termasuk

interview khusus seperti recall makanan 24 jam, food

frequency questioner (FFQ) atau dengan metoda asesmen gizi

lainnya. Berbagai aspek yang digali adalah:


b) Asupan makanan dan zat gizi, yaitu pola makanan utama dan

snack, menggali komposisi dan kecukupan asupan makan dan

zat gizi, sehingga tergambar mengenai:

(1) Jenis dan banyaknya asupan makanan dan minuman,

(2) Jenis dan banyaknya asupan makanan enteral dan

parenteral,

(3) Total asupan energi,

(4) Asupan makronutrien,

(5) Asupan mikronutrien,

(6) Asupan bioaktif.

c) Cara pemberian makan dan zat gizi yaitu menggali mengenai

diet saat ini dan sebelumnya, adanya modifkasi diet, dan

pemberian makanan enteral dan parenteral, sehingga

tergambar mengenai:

(1) Order diet saat ini,

(2) Diet yang lalu,

(3) Lingkungan makan,

(4) Pemberian makan enteral dan parenteral.

d) Penggunaan medika mentosa dan obat komplemen alternatif

(interaksi obat dan makanan) yaitu menggali mengenai

penggunaan obat dengan resep dokter ataupun obat bebas,

termasuk penggunaan produk obat komplemen-alternatif.


e) Pengetahuan/keyakinan/sikap yaitu menggali tingkat

pemahaman mengenai makanan dan kesehatan, informasi dan

pedoman mengenai gizi yang dibutuhkan, selain itu juga

mengenai keyakinan dan sikap yang kurang sesuai mengenai

gizi dan kesiapan pasien untuk mau berubah.

f) Perilaku yaitu menggali mengenai aktivitas dan tindakan

pasien yang berpengaruh terhadap pencapaian sasaran-

sasaran yang berkaitan dengan gizi, sehingga tergambar

mengenai:

(1) Kepatuhan,

(2) Perilaku melawan,

(3) Perilaku makan berlebihan yang kemudian dikeluarkan

lagi (bingeing and purging behavior),

(4) Perilaku waktu makan,

(5) Jaringan sosial yang dapat mendukung perubahan

perilaku.

g) Faktor yang mempengaruhi akses ke makanan yaitu

mengenai faktor yang mempengaruhi ketersediaan makanan

dalam jumlah yang memadai, aman dan berkualitas.

h) Aktivitas dan fungsi fisik yaitu menggali mengenai fisik,

kemampuan kognitif dan fisik dalam melaksanakan tugas

spesifk seperti menyusui atau kemampuan makan sendiri

sehingga tergambar mengenai:


(1) Kemampuan menyusui

(2) Kemampuan kognitif dan fisik dalam melakukan aktivitas

makan bagi orang tua orang cacat

(3) Level aktivitas fisik yang dilakukan

(4) Faktor yang mempengaruhi akses ke kegiatan aktivitas

fisik

3) Antropometri dengan kode AD (Anthropometry Data)

Pengukuran Antropometri merupakan pengukuran individu

dari ukuran tubuh seperti tinggi badan, berat badan, persen lemak

tubuh, densitas tulang dan lingkar pinggang yang dapat digunakan

untuk menilai status gizi (Brown, 2005).

4) Laboratorium dengan kode BD (Biochemical Data)

Data biokimia meliputi hasil pemeriksaan laboratorium,

pemeriksaan yang berkaitan dengan status gizi, status metabolik

dan gambaran fungsi organ yang berpengaruh terhadap timbulnya

masalah gizi. Pengambilan kesimpulan dari data laboratorium

terkait masalah gizi harus selaras dengan data assesmen gizi

lainnya seperti riwayat gizi yang lengkap, termasuk penggunaan

suplemen, pemeriksaan fisik dan sebagainya. Disamping itu proses

penyakit, tindakan, pengobatan, prosedur dan status hidrasi

(cairan) dapat mempengaruhi perubahan kimiawi darah dan urin,

sehingga hal ini perlu menjadi pertimbangan. (Kementrian

Kesehatan RI, 2013).


a) Glukosa

PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia) pada

tahun 2006 menjelaskan bahwa, kadar gula darah puasa yang

berkisar 80-100 mg/dL dinyatakan normal. Seseorang

dikatakan menderita diabetes melitus (DM) jika memiliki

kadar gula darah ≥126 mg/dL (Lestari, 2013).

Kadar glukosa darah sepanjang hari bervariasi dimana

akan meningkat setelah makan dan kembali normal dalam

waktu 2 jam. Kadar glukosa darah yang normal pada pagi hari

setelah malam sebelumnya berpuasa adalah 70-110 mg/dL

darah. Kadar glukosa darah biasanya kurang dari 120-140

mg/dL pada 2 jam setelah makan atau minum cairan yang

mengandung glukosa maupun karbohidrat lainnya (Price,

2005).

b) Hemoglobin

Kadar hemoglobin normal untuk pria 13-18 g/dL dan wanita

12-16 g/dL (Kemenkes, 2011).

5) Pemeriksaan fisik dan klinis gizi dengan kode PD (Physical Data)

Pemeriksaan fisik klinis dilakukan untuk mendeteksi adanya

kelainan klinis yang berkaitan dengan gangguan gizi atau dapat

menimbulkan masalah gizi (PGRS, 2013)

a) Kesadaran

b) Suhu
c) Tensi

d) Nadi

6) Riwayat klien dengan kode CH (Client History)

Riwayat medis/kesehatan/keluarga, perawatan dan penggunaan

pengobatan komplementer/alternatif, riwayat social, status sosial

ekonomi, situasi tempat tinggal, dukungan sosial, lokasi geografis,

dan akses terhadap pelayanan kesehatan untuk gizi.

7) Data diinterpretasi dengan membandingkan terhadap kriteria atau

standar yang sesuai untuk mengetahui terjadinya penyimpangan.

Data asesmen gizi dapat diperoleh melalui wawancara; catatan

medis; observasi serta informasi dari tenaga kesehatan lain yang

merujuk.

Terdapat 3 langkah untuk melakukan pengkajian gizi, yaitu:

a. Review: mengumpulkan, memilah, validasi data. Jenis data dan

metoda pengambilan data disesuaikan dengan situasi dan kondisi

pasien.

b. Cluster: Data dikelola dan dikelompokkan sesuai dengan 5 domain.

Tentukan “defining characteristic” atau karakter penentu (tanda dan

gejala) dari diagnosis yang diduga.

c. Identifikasi: Membandingkan data-data dengan standar rujukan yang

disepakati (standar pembanding = norma dan standar nasional,

institusional atau peraturan); Mengidentifikasi kemungkinan

problem, etiology, sign and symptom.


3. Diagnosa Gizi

Diagnosis gizi sangat spesifik dan berbeda dengan diagnosis

medis. Diagnosis gizi bersifat sementara sesuai dengan respon pasien.

Diagnosis gizi adalah masalah gizi spesifk yang menjadi tanggung jawab

dietisien untuk menanganinya.

Diagnosis gizi adalah kegiatan mengidentifikasi dan memberi

nama masalah gizi yang aktual dan atau beresiko menyebabkan masalah

menanganinya secara mandiri. Diagnosis gizi diuraikan atas komponen

masalah gizi (problem), penyebab masalah (etiologi) serta tanda dan

gejala adanya masalah (sign & symptoms) (Sumapradja dkk, 2011).

Penulisan diagnosis gizi disusun dengan urutan:

Problem (P), Etiologi (E), Sign/Simptoms (S).

Problem berkaitan Etiologi ditandai Sign/Simptoms

(P) berkaitan dengan (E) ditandai dengan (S)

Diagnosis gizi berbeda dengan diagnosa medis baik dari sifatnya

maupun cara penulisannya. Diagnosis gizi dapat berubah sesuai dengan

respon pasien, khususnya terhadap intervensi gizi yang dilakukan.

Pengelompokan diagnosis gizi: domain asupan, domain klinis, domain

perilaku lingkungan (Sumapradja dkk, 2011).

Diagnosa gizi bertujuan untuk mengidentifkasi adanya problem

gizi, faktor penyebab yang mendasarinya, dan menjelaskan tanda dan

gejala yang melandasi adanya problem gizi. Langkah ini dilakukan untuk
mencari pola dan hubungan antar data yang terkumpul dan kemungkinan

penyebabnya. Penulisan diagnosis gizi terstruktur dengan konsep PES

atau Problem Etiologi dan Signs/Symptoms (PGRS, 2013).

Diagnosis gizi dikelompokkan menjadi tiga domain yaitu:

a. Domain Asupan adalah masalah aktual yang berhubungan dengan

asupan energi, zat gizi, cairan, substansi bioaktif dari makanan baik

yang melalui oral maupun parenteral dan enteral. Termasuk ke

dalam kelompok domain asupan adalah:

1) Problem mengenai keseimbangan energi

2) Problem mengenai asupan diet oral atau dukungan gizi

3) Problem mengenai asupan cairan

4) Problem mengenai asupan zat bioaktif

5) Problem mengenai asupan zat gizi, yang mencakup

problem mengenai: Lemak dan Kolesterol; Protein; Vitamin;

Mineral; dan Multinutrien.

b. Domain Klinis adalah masalah gizi yang berkaitan dengan kondisi

medis atau fisik/fungsi organ. Termasuk ke dalam kelompok

domain klinis adalah:

1) Problem fungsional, perubahan dalam fungsi fisik atau

mekanik yang mempengaruhi atau mencegah pencapaian gizi

yang diinginkan.
2) Problem biokimia, perubahan kemampuan metabolisme zat

gizi akibat medikasi, pembedahan atau yang ditunjukkan oleh

perubahan nilai laboratorium.

3) Problem berat badan, masalah berat badan kronis atau

perubahan berat badan bila dibandingkan dengan berat badan

biasanya

c. Domain Perilaku/lingkungan adalah masalah gizi yang berkaitan

dengan pengetahuan, perilaku/kepercayaan, lingkungan fisik dan

akses dan keamanan makanan (Kementrian Kesehatan RI, 2014).

1) Problem pengetahuan dan keyakinan

2) Problem aktivitas fsik dan kemampuan mengasuh diri sendiri

3) Problem akses dan keamanan makanan

Penyebab masalah (etiologi) merupakan faktor penyebab yang

memiliki kontribusi penyebab terjadi masalah. Penyebab dapat

berkaitan dengan faktor fisiologis, sosial, lingkungan dan prilaku. Tanda

dan gejala ada masalah (sign dan simptom) menunjukkan keadaan

pasien, sign umumnya menunjukkan data objektif sementara simptom

merupakan data subjektif. Sign dan simptom merupakan dasar

monitoring dan evaluasi (Sumapradja dkk, 2011).

4. Intervensi Gizi

Intervensi adalah serangkaian aktivitas spesifik dan berkaitan

dengan penggunaan bahan untuk menanggulangi masalah. Aktivitas ini

merupakan tindakan yang terencana secara khusus dengan tujuan untuk


memenuhi kebutuhan gizi pasien, klien atau kelompok. Pemilihan

intervensi gizi ditentukan oleh diagnosa gizi dan dapat menentukan

dampak intervensi yang akan diukur dan dievaluasi kemudian. Semua

tindakan intervensi dilakukan berdasarkan prinsip ilmiah dan rasional bila

memungkinkan dibuat berdasarkan bukti penilitian (Sumapradja dkk,

2011).

Tujuan intervensi gizi adalah mengatasi masalah gizi yang

teridentifkasi melalui perencanaan dan penerapannya terkait perilaku,

kondisi lingkungan atau status kesehatan individu, kelompok atau

masyarakat untuk memenuhi kebutuhan gizi klien.

Intervensi gizi terdiri dari 2 (dua) komponen yang saling berkaitan yaitu

perencanaan dan Implementasi.

a. Perencanaan

Langkah langkah perencanaan sebagai berikut:

1) Tetapkan prioritas diagnosis gizi berdasarkan derajat kegawatan

masalah, keamanan dan kebutuhan pasien. Intervensi diarahkan

untuk menghilangkan penyebab (etiologi dari problem), bila

etiologi tidak dapat ditangani oleh ahli gizi maka intervensi

direncanakan untuk mengurangi tanda dan gejala masalah

(signs/simptoms).

2) Pertimbangkan panduan Medical Nutrition Theraphy (MNT),

penuntun diet, konsensus dan regulasi yang berlaku.


3) Diskusikan rencana asuhan dengan pasien, keluarga atau

pengasuh pasien.

4) Tetapkan tujuan yang berfokus pada pasien.

5) Buat strategi intervensi, misalnya modifkasi makanan,

edukasi/konseling.

6) Merancang Preksripsi diet. Preskripsi diet adalah rekomendasi

kebutuhan zat gizi pasien secara individual, mulai dari

menetapkan kebutuhan energi, komposisi zat gizi yang mencakup

zat gizi makro dan mikro, jenis diet, bentuk makanan, frekuensi

makan, dan rute pemberian makanan. Preskripsi diet dirancang

berdasarkan pengkajian gizi, komponen diagnosis gizi, rujukan

rekomendasi,

kebijakan dan prosedur serta kesukaan dan nilainilai yang dianut

oleh pasien /klien.

7) Tetapkan waktu dan frekuensi intervensi.

8) Identifkasi sumber-sumber yang dibutuhkan.

b. Implementasi

Langkah langkah implementasi meliputi :

1) Komunikasi rencana intervensi dengan pasien, tenaga kesehatan

atau tenaga lain

2) Melaksanakan rencana intervensi

Intervensi gizi dikelompokan dalam 4 (empat) kategori sebagai berikut:


a. Pemberian makanan/ diet (Kode internasional –ND Nutrition

Delivery)

Penyediaan makanan atau zat gizi sesuai kebutuhan melalui

pendekatan individu meliputi pemberian Makanan dan snack (ND.1);

enteral dan parenteral (ND.2); suplemen (ND.3); substansi bioaktif

(ND.4); bantuan saat makan (ND.5); suasana makan (ND.4) dan

pengobatan terkait gizi (ND.5)

b. Edukasi (Kode internasional – E- Education)

Merupakan proses formal dalam melatih ketrampilan atau

membagi pengetahuan yang membantu pasien/ klien mengelola atau

memodifkasi diet dan perubahan perilaku secara sukarela untuk

menjaga atau meningkatkan kesehatan. Edukasi gizi meliputi:

1) Edukasi gizi tentang konten/materi yang bertujuan untuk

meningkatkan pengetahuan (E.1)

2) Edukasi gizi penerapan yang bertujuan untuk meningkatkan

keterampilan (E.2)

Pedoman dasar pada edukasi gizi, mencakup:

1) Sampaikan secara jelas tujuan dari edukasi

2) Tetapkan prioritas masalah gizi sehingga edukasi yang

disampaikan tidak komplek.

3) Rancang materi edukasi gizi menyesuaikan dengan kebutuhan

individu pasien, melalui pemahaman tingkat pengetahuannya,

keterampilannya, dan gaya/cara belajarnya.


c. Konseling (C)

Konseling gizi merupakan proses pemberian dukungan pada

pasien/klien yang ditandai dengan hubungan kerjasama antara

konselor dengan pasien/klien dalam menentukan prioritas,

tujuan/target, merancang rencana kegiatan yang dipahami, dan

membimbing kemandirian dalam merawat diri sesuai kondisi dan

menjaga kesehatan. Tujuan dari konseling gizi adalah untuk

meningkatkan motivasi pelaksanaan dan penerimaan diet yang

dibutuhkan sesuai dengan kondisi pasien.

d. Koordinasi asuhan gizi

Strategi ini merupakan kegiatan dietisien melakukan konsultasi,

rujukan atau kolaborasi, koordinasi pemberian asuhan gizi dengan

tenaga kesehatan/institusi/ dietisien lain yang dapat membantu dalam

merawat atau mengelola masalah yang berkaitan dengan gizi.

Tahapan intervensi gizi ini mengharuskan dietisien untuk berpikir

kritis dalam hal:

1) Menetapkan prioritas dan target/goals

2) Menentukan preskripsi gizi atau perencanaan dasar

3) Menggalang hubungan interdisipliner

4) Intervensi perilaku awal dan hal terkait gizi lainnnya

5) Memadukan strategi intervensi gizi dengan kebutuhan

pasien, diagnosis gizi, dan nilai nilai pasien

6) Menentukan waktu dan frekuensi asuhan


Pelaksanaan intervensi dimulai dengan menetapkan tujuan,

prinsip, macam diet, serta syarat diet. kemudian melakukan

perhitungan kebutuhan enegi dan zat gizi serta menyusun menu dan

waktu makan pasien (Sumapradja dkk, 2011).

5. Monitoring dan Evaluasi Gizi

Monitoring dan evaluasi gizi dilaksanakan untuk mengukur

keberhasilan dari pemberian intervensi selama implementasi yang

dilakukan. Jika tujuan tercapai, pasien diperbolehkan untuk pulang.

Namun, jika tujuan masih belum tercapai maka pasien kembali ke tahapan

pengkajian gizi ulang atau kembali ke tahapan sebelumnya sehingga

tujuan intervensi tercapai dan terlaksanakan (Sumapradja dkk, 2011).

a. Monitor perkembangan:

1) Cek pemahaman dan kepatuhan pasien/klien terhadap intervensi

gizi

2) Tentukan apakah intervensi yang dilaksanakan/ diimplementasikan

sesuai dengan preskripsi gizi yang telah ditetapkan.

3) Berikan bukti/fakta bahwa intervensi gizi telah atau belum

merubah perilaku atau status gizi pasien/ klien.

4) Identifkasi hasil asuhan gizi yang positif maupun negative

5) Kumpulkan informasi yang menyebabkan tujuan asuhan tidak

tercapai

6) Kesimpulan harus di dukung dengan data/ fakta.


b. Mengukur hasil

1) Pilih indikator asuhan gizi untuk mengukur hasil yang diinginkan

2) Gunakan indikator asuhan yang terstandar untuk meningkatkan

validitas dan reliabilitas pengukuran perubahan.

c. Evaluasi hasil

1) Bandingkan data yang di monitoring dengan tujuan preskripsi gizi

atau standar rujukan untuk mengkaji perkembangan dan

menentukan tindakan selanjutnya

2) Evaluasi dampak dari keseluruhan intervensi terhadap hasil

kesehatan pasien secara menyeluruh.

Dalam kegiatan monitoring dan evaluasi dipilih Indikator asuhan

gizi. Indikator yang di monitor sama dengan indicator pada asesmen

gizi, kecuali riwayat personal.

Hasil monitoring antara lain:

1) Aspek gizi: perubahan pengetahuan, perilaku, makanan dan

asupan, zat gizi

2) Aspek status klinis dan kesehatan: perubahan nilai laboratorium,

berat badan, tekanan darah, faktor risiko, tanda dan gejala, status

klinis, infeksi, komplikasi, morbiditas dan mortalitas

3) Aspek pasien: perubahan kapasitas fungsional, kemandirian

merawat diri sendiri

4) Aspek pelayanan kesehatan: lama hari rawat


7. Kerangka Teori

Pasien
Masuk
 
Tidak Beresiko
Skrining 3. Intervensi Gizi
Malnutrisi

Perencanaan
Beresiko Implementasi
Malnutrisi
2. Diagnosis Gizi

1.Asesmen Gizi 4. Monitoring dan Evaluasi


Problem
-Riwayat Gizi Monitoring
-Antopometri Etiologi Tujuan
Mengukur hasil Stop
-Laboratorium Tercapai
Evaluasi hasil
-Pemeriksaan Fisik Signs/
-Riwayat Pasien Simptom
Target Target tercapai, ada Pasien
tidak masalah gizi baru Pulang
tercapai
BAB III
METODELOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam studi kasus ini adalah

penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang

berusaha mendeskripsiksan suatu gejala, peristiwa, kejadiam yang

terjadi saat sekarang. Penelitian deskriptif memusatkan perhatian

kepada masalah-masalah actual sebagaimana adanya pada saat

penelitian berlangsung. Dengan penelitian deskriptif, peneliti

berusaha mendeskriptifkan peristiwa dan kejadian yang menjadi pusat

perhatian tanpa memberikan perlakuan khusus terhadap peristiwa

tersebut (Nur Fatin, 2017) dengan rancangan studi kasus untuk

mengkaji tentang asuhan gizi diet pada pasien Diabetes Mellitus

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan diruang rawat inap Rumah Sakit Umum

Daerah Depati Bahrin Sungailiat (sesuai jadwal terlampir)

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Pasien dalam penelitian ini adalah seluruh pasien rawat inap Diabetes

Melitus di Rumah Sakit Umum Depati Bahrin Sungailiat. Penelitian ini

diambil dari populasi yang memenuhi kriteria inklusi responden yang

diteliti adalah:
a. Pasien rawat inap DM di Rumah Sakit Umum Daerah Depati

Bahrin Sungailiat

b. Responden berusia 30-45 tahun

c. Bersedia menjadi responden penelitian selama penelitian

berlangsung

d. Kriteria eklusi pada penelitian ini adalah:

Pasien Pasien rawat inap DM dengan komplikasi hipertensi,

jantung, gagal ginjal, stroke di Rumah Sakit Umum Daerah Depati

Bahrin Sungailiat

2. Sampel

Pasien penyakit Diabetes Melitus tipe II dengan komplikasi

Hipertensi yang dirawat di Rumah Sakit Umum Depati Hamzah

Kota Pangkalpinang, yang diambil dengan teknik purposive

sampling dengan menggunakan rumus Slovin


D. Defenisi Operasional

Variabel Definisi Operasional Alat Cara Hasil Ukur Skala Ukur


Ukur Ukur
Penerapan PAGT Suatu proses/kegiatan Form Observasi Diterapkannya Interval
pada Pasien Diabetes asuhan gizi pada pasien PAGT Proses Asuhan
Mellitus DM yang meliputi: Gizi Terstandar
(PAGT) yang
meliputi
1. Assesmen,
2. Diagnosa, Assesmen,
3. Intervensi, Diagnosa,
4. Monitoring Intervensi,
5. Evaluasi Monitoring
Evaluasi

gizi pada
pasien DM

E. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian yang digunakan adalah:

1. Kuesioner untuk mengetahui identitas responden.

2. Lembar Form PAGT pasien.

3. Hasil rekam medis pasien.

F. Jenis dan Sumber Data

1. Data Primer

Data primer dikumpulkan dengan melakukan wawancara langsung

dan observasi kepada responden menggunakan kuesioner yang sesuai

dengan variabel peneliti.

2. Data Sekunder
Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari hasil laboraturium

biokimia pasien di RSUD Depati Bahrin.

E. Etika Penelitian

Etika penelitian merupakan hal yang sangat penting, mengingat

keperawatan yang berhubungan langsung dengan manusia. Penelitian ini

dilakukan berdasarkan etika penelitian menurut Notoatmodjo (2010): 42

a. Informed Concent (Persetujuan)

Peneliti memberikan penjelasan tentang tujuan penelitian kemudian

responden membaca dan menyetujui ikut parsitipasi dalam proses

penelitian kemudian peneliti menyerahkan lembar persetujuan menjadi

responden, serta memberikan tanda tangan dilembar persetujuan sebagai

bukti bersedia menjadi responden.

b. Anonimity (Tanpa nama)

Etika penelitian ini tidak memberikan nama responden pada lembaran alat

ukur, melainkan hanya menulis kode/inisial pada lembar pengumpulan

data.

c. Confidentiality (Kerahasiaan)

Etika penelitian ini menjamin kerahasiaan dan hasil penelitian baik

informasi maupun masalah lain.

d. Self Determination

Responden diberikan kebebasan menentukan untuk bersedia atau tidak

dalam kegiatan penelitian secara sukarela.

Anda mungkin juga menyukai