Anda di halaman 1dari 45

GAMBARAN PROSES ASUHAN GIZI TERSTANDAR (PAGT)

TERHADAP PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE II


DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
DEPATI BAHRIN SUNGAILIAT

PROPOSAL TUGAS AKHIR

Oleh:

RAGA DIRGANTARA ANUGRAH


181.341.125

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN PANGKALPINANG
PRODI GIZI
2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Asosiasi Dietisien Indonesia (AsDI) sejak tahun 2006 mulai mengenalkan


Proses Asuhan Gizi Terstandar (PAGT) yang diadopsi dari Nutrition Care Process
American Dietetic Association (NCP-ADA). Proses Asuhan Gizi Terstandar
disusun sebagai upaya peningkatan kualitas pemberian asuhan gizi. Proses tersebut
mendukung dan mengarah pada asuhan gizi secara individu. Sebelum PAGT
muncul, asuhan gizi dilakukan oleh dietisien dengan cara yang beragam
berdasarkan asuhan terstandar dalam pedoman atau penuntun diet. Metode
PAGT sendiri merupakan suatu langkah yang konsisten dan spesifik mengenai
pelayanan asuhan gizi, meskipun pelayanan tersebut dilakukan di tempat yang
berbeda. Selain itu, PAGT juga mempunyai patokan standar terstruktur dalam
menegakkan diagnosis gizi serta intervensi gizi yang akan dilakukan oleh dietisien
(AsDi, 2011 dan Kemenkes RI 2013).

Pelayanan gizi di ruang rawat inap berkaitan dengan kepuasan pasien yang
dilayani. Kepuasan pasien dapat menilai mutu atau pelayanan gizi, dan merupakan
pengukuran penting yang mendasar bagi mutu pelayanan gizi. Hal ini dapat
memberikan informasi terhadap suksenya pelayanan gizi
bermutu, dengan nilai dan harapan pasien mempunyai wewenang sediri untuk
menetapkan standar mutu pelayanan yang dikehendaki.

Lama hari rawat inap yang terlalu panjang akan menimbulkan kerugian,
antara lain, menambah beban biaya perawatan pasien atau keluarga pasien,
mengurangi cakupan pelayanan kesehatan rumah sakit, BOR (Bed Occupancy
Rate) menjadi meningkat dan menjadi pemborosan bagi rumah sakit (biaya
operasional dari rumah sakit akan lebih besar. Lama hari rawat berhubungan
dengan status gizi awal berdasarkan SGA (Subjective Global Assessment), IMT
(Indeks Massa Tubuh), asupan gizi (energi, protein, lemak, dan karbohidrat),
umur, jenis kelamin, kelas perawatan, jenis penyakit, jumlah diagnose penyakit,
hari masuk, hari pulang, dan sumber biaya (Tedja, Vicky Riyana., 2012).

Diabetes mellitus dikenal sebagai “mother of disease” yang merupakan induk


dari berbagai penyakit seperti hipertensi, penyakit jantung, stroke, gagal
ginjal dan kebutaan. International Diabetes Federation (IDF) menyatakan
lebih dari 371 juta orang di dunia yang berumur 20-79 tahun menderita penyakit
diabetes dan akan terus meningkat. Indonesia merupakan negara urutan ke-7 dunia
dengan prevalensi diabetes tertinggi setelah Tiongkok, India, Amerika Serikat,
Brazil, Rusia dan Meksiko.

Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik


dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin, atau kedua-duanya. DM dapat diklasifikasikan menjadi beberapa
tipe yakni, DM tipe 1, DM tipe 2, DM .tipe yang ada, DM tipe 2 merupakan salah
satu jenis yang paling banyak di temukan yaitu lebih dari 90-95% (American
Diabetes Association, 2016)

Di Indonesia angka kejadian DM terjadi peningkatan dari 1,1 % di tahun 2007


meningkat menjadi 2,1 % di tahun 2013 dari keseluruhan penduduk sebanyak 250
juta jiwa. Peningkatan prevalensi data penderita DM tersebut salah satunya yaitu
Provinsi Jawa Tengah yang mencapai 152.075 kasus. Jumlah penderita DM
tertinggi sebanyak 5.919 jiwa di Kota Semarang.(Profil Kesehatan Provinsi Jawa
Tengah, 2015)Penyakit Diabetes mellitus apabila tidak tertangani secara benar,
maka dapat mengakibatkan berbagai macam komplikasi. Ada dua komplikasi pada
DM yaitu komplikasi akut dan komplikasi kronik. Yang termasuk komplikasi akut
yaitu diabetik ketoasidosis, yang termasuk komplikasi kronik terdiri dari
komplikasi makrovaskuler dan komplikasi mikrovaskuler. Penyakit jantung
koroner, penyakit pembuluh darah otak, dan penyakit pembuluh darah perifer
merupakan jenis komplikasi makrovaskular, sedangkan retinopati, nefropati, dan
neuropati merupakan jenis komplikasi mikrovaskuler.(Soelistijo et al., 2015).

Pilar utama pengelolaan DM meliputi edukasi, terapi gizi medis, latihan


jasmani, dan terapi farmakologis. Terapi gizi medis melalui perencanaan makanan
merupakan salah satu langkah pertama yang harus dilakukan dalam pengelolaan
DM. Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit degeneratif yang diperkirakan
terus meningkat prevalensinya. Laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
mengatakan bahwa penderita diabetes melitus di Indonesia meningkat pada tahun
2013 dibandingkan dengan Riskesdas tahun 2007. Prevalensi Diabetes Mellitus
pada tahun 2013 adalah 2,1% sedangkan prevalensi diabetes melitus tahun 2007
adalah sebesar 1,1% (Riskesdas 2013).

Berdasarkan latar belakang, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian


tentang Gambaran Proses Asuhan Gizi Terstandar (PAGT) terhadap pasien
diabetes mellitus tipe 2 di Rumah Sakit Umum Daerah Depati Bahrin Sungailiat.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana gambaran


Proses Asuhan Gizi Terstandar pada Pasien Diabetes Mellitus di RSUD
Depati Bahrin Sungailiat?”

C. TujuanPenelitian
1. Tujuan
Mengetahui gambaran Proses Asuhan Gizi Terstandar pada pasien
Diabetes Mellitus di RSUD Depati Bahrin Sungailiat

2. Tujuan Khusus
a. Menganalisis Asesmen Gizi, Diagnosa Gizi, Intervensi Gizi, Monitoring dan
Evaluasi Gizi pasien Diabetes Melitus Tipe II.
b. Menganalisis kepuasan pasien Diabetes Melitus Tipe II dalam penerapan
Proses Asuhan Gizi Terstandar (PAGT) di Rumah Sakit Umum Daerah Depati
Bahrin Sungailiat.
c. Menganalisis lama hari rawat pasien Diabetes Melitus Tipe II dalam
penerapan Proses Asuhan Gizi Terstandar (PAGT) di Rumah Sakit Umum
Daerah Depati Bahrin Sungailiat..

B.
D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Peneliti
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengalaman dan
menambah wawasan sebagai calon ahli gizi khususnya mengenai
asuhan gizi klinik pada pasien Diabetes Mellitus.
2. Bagi Institusi
Penelitian ini diharapkan berguna sebagai informasi dan bermanfaat
untuk mengembangkan ilmu gizi sehingga dapat digunakan oleh
mahasiswa/i sebagai panduan dalam memberikan asuhan gizi klinik
pada pasien Diabetes Melitus.
3. Bagi Pasien
Diharapkan pasien dapat menerima tatalaksana diet sesuai dengan
penyakit dan dapat menerapkan edukasi yang di berikan.

E. Keaslian Penelitian
1. Rijanti Abdurrachim dan Malinda Eliyanti (2016) yang berjudul “Proses

Asuhan Gizi Terstandar (PAGT) Terhadap Tingkat Kepuasan Dan Lama

Hari Rawat Pasien Anak Infeksi (Studi Di Ruang Rawat Inap Anak Rsud

Ulin Banjarmasin)”. Jenis penelitian observasional analitik dengan rancang

cohort prospektif. Sampel berjumlah 36 pasien, 18 pasien tidakditerapkan

PAGT dan 18 pasien diterapkan PAGT. Variabel yang diteliti yaitu PAGT,

tingkat kepuasan dan lama hari rawat. Analisis menggunakan uji korelasi

reank spearman ( = 0,05). Responden didominasi oleh pasien berjenis

kelamin laki-laki (52,8%) rentang umur 0 s/d 5 tahun (38,9%), diagnosa

DHF Grade I (38,9%), tingkat kepuasan tidak puas (38,9%) dan lama hari

rawat pendek (77,8%). Ada hubungan antara Proses Asuhan Gizi Terstandar

(PAGT) dengan tingkat kepuasan

(p-value = 0,000) dan lama hari rawat (p-value = 0,001).

2. Yunita, Ahmad Husein Asdie, Susetyowati (2013) yang berjudul

“Pelaksanaan Proses Asuhan Gizi Terstandar (PAGT) Terhadap Asupan Gizi

dan Kadar Glukosa Darah Pasien Diabetes Melitus Tipe 2”. Penelitian ini

adalah sebuah eksperimen semu yang dilakukan paralel pada dua kelompok,

yaitu kelompok perlakuan (kelompok PAGT) dan kelompok kontrol

(kelompok asuhan gizi konvensional). Hasil penelitian ini menunjukkan

asupan zat gizi (energi, protein, lemak, karbohidrat) pada awal penelitian

(awal pasien masuk rumah sakit) dikategorikan kurang (asupan<80%).


Namun, setelah dilakukan intervensi asuhan gizi, asupan kedua kelompok

mengalami peningkatan. Rerata asupan energi, protein, lemak, dan

karbohidrat pada akhir penelitian lebih tinggi pada kelompok PAGT

dibandingkan asuhan gizi konvensional (p<0,001). Penelitian ini

menunjukkan bahwa pelaksanaan PAGT dapat meningkatkan asupan zat gizi

yang lebih tinggi dibandingkan dengan pelaksanaan asuhan gizi

konvensional. Namun, penelitian ini tidak meneliti hubungan asupan zat gizi

dengan kadar glukosa darah. Peningkatan asupan gizi lebih tinggi pada

kelompok PAGT disebabkan adanya perbedaan metode pemecahan masalah

terhadap asupan zat gizi.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Proses Asuhan Gizi Terstandar (PAGT)

1. Definisi

Menurut American Dietetic Association (2006), PAGT adalah metoda

pemecahan masalah yang sistematis, yang mana dietisien profesional

menggunakan cara berfikir kritisnya dalam membuat keputusan untuk

menangani berbagai masalah yang berkaitan dengan gizi, sehingga dapat

memberikan asuhan gizi yang efektif dan berkualitas tinggi (Sumapradja

dkk,2011).

Proses Asuhan Gizi Terstandar (PAGT) adalah pendekatan sistematik

dalam memberikan pelayanan asuhan gizi yang berkualitas yang dilakukan

oleh tenaga gizi, melalui serangkaian aktivitas yang terorganisir yang meliputi

identifkasi kebutuhan gizi sampai pemberian pelayanannya untuk memenuhi

kebutuhan gizi.

Proses asuhan gizi hanya dilakukan pada pasien/klien teridentifikasi risiko

gizi atau sudah malnutrisi dan membutuhkan dukungan gizi individual.

Identifikasi risiko gizi dilakukan melalui skrining/penapisan gizi, dimana

metodenya tergantung dari kondisi dan fasilitas setempat. Misalnya

menggunakan Subjective Global Assessment (SGA) (Sumapradja dkk,2011).


Proses asuhan gizi terstandar (PAGT) harus dilaksanakan secara berurutan

dimulai dari langkah asesmen, diagnosis, intervensi dan monitoring dan

evaluasi gizi (ADIME). Langkah-langkah tersebut saling berkaitan satu

dengan lainnya dan merupakan siklus yang berulang terus sesuai

respon/perkembangan pasien. Berdasarkan fakta tersebut ditegakanlah

diagnosa gizi kemudian ditentukan rencana intervensi gizi untuk dilaksanakan

berdasarkan diagnosa gizi yang terkait. Kemudian monitoring dan evaluasi

gizi dilakukan setelahnya untuk mengamati perkembangan dan respon pasien

terhadap intervensi yang diberikan. Bila tujuan tercapai maka proses ini

dihentikan, namun bila tidak tercapai atau terdapat masalah gizi baru maka

proses berulang kembali mulai dari pengkajian gizi yang baru (Sumapradja

dkk, 2011).

Proses asuhan gizi terstandar merupakan siklus yang terdiri dari langkah

yang berurutan dan saling berkaitan yaitu (Sumapradja dkk, 2011):

a. Pengkajian gizi

b. Diagnosa gizi

c. Intervensi gizi

d. Monitoring dan evaluasi gizi

2. Pengkajian Gizi

Pengkajian gizi merupakan kegiatan mengumpulkan, mengintegrasikan dan

menganalisis data untuk identifikasi masalah gizi yang terkait dengan aspek-
aspek asupan zat gizi dan makanan serta aspek klinis dan perilaku lingkungan

yang disertai penyebabnya. Langkah pertama PAGT ini merupakan proses

yang dinamakan proses berkelanjutan, bukan hanya pengumpulan data awal

tetapi merupakan pengkajian dan analisis ulang kebutuhan pasien. Langkah ini

merupakan dasar untuk menegakkan diagnosis gizi (Sumapradja dkk, 2011).

Pengkajian gizi dilakukan oleh tenaga kesehatan dengan mengumpulkan sata

yang diperlukan.

Asesmen Gizi bertujuan mengidentifkasi problem gizi dan faktor

penyebabnya melalui pengumpulan, verifkasi dan interpretasi data secara

sistematis.

a. Langkah-langkah Pengkajian Gizi

1) Kumpulkan dan pilih data yang merupakan faktor yang dapat

mempengaruhi status gizi dan kesehatan pasien diabetes melitus tipe II

2) Kelompokkan data berdasarkan kategori asesmen gizi:

a) Riwayat gizi dengan kode FH (Food History)

Terdiri dari pemberian makanan dan gizi, penggunaan obat/herbal

suplemen, pengetahuan/kepercayaan, ketersediaan makanan dan persediaan,

serta aktifitas fisik. Pengumpulan data riwayat gizi dilakukan dengan cara

interview, termasuk interview khusus seperti recall makanan 24 jam, food

frequency questioner (FFQ) atau dengan metoda asesmen gizi lainnya.

Berbagai aspek yang digali adalah:


b) Asupan makanan dan zat gizi, yaitu pola makanan utama dan snack,

menggali komposisi dan kecukupan asupan makan dan zat gizi, sehingga

tergambar mengenai:

(1) Jenis dan banyaknya asupan makanan dan minuman,

(2) Jenis dan banyaknya asupan makanan enteral dan parenteral,

(3) Total asupan energi,

(4) Asupan makronutrien,

(5) Asupan mikronutrien,

(6) Asupan bioaktif.

c) Cara pemberian makan dan zat gizi yaitu menggali mengenai diet saat

ini dan sebelumnya, adanya modifkasi diet, dan pemberian makanan

enteral dan parenteral, sehingga tergambar mengenai:

(1) Order diet saat ini,

(2) Diet yang lalu,

(3) Lingkungan makan,

(4) Pemberian makan enteral dan parenteral.

d) Penggunaan medika mentosa dan obat komplemen alternatif (interaksi

obat dan makanan) yaitu menggali mengenai penggunaan obat dengan resep

dokter ataupun obat bebas, termasuk penggunaan produk obat komplemen-

alternatif.

e) Pengetahuan/keyakinan/sikap yaitu menggali tingkat pemahaman

mengenai makanan dan kesehatan, informasi dan pedoman mengenai gizi


yang dibutuhkan, selain itu juga mengenai keyakinan dan sikap yang kurang

sesuai mengenai gizi dan kesiapan pasien untuk mau berubah.

f) Perilaku yaitu menggali mengenai aktivitas dan tindakan pasien yang

berpengaruh terhadap pencapaian sasaran-sasaran yang berkaitan dengan gizi,

sehingga tergambar mengenai:

(1) Kepatuhan,

(2) Perilaku melawan,

(3) Perilaku makan berlebihan yang kemudian dikeluarkan lagi (bingeing

and purging behavior),

(4) Perilaku waktu makan,

(5) Jaringan sosial yang dapat mendukung perubahan perilaku.

g) Faktor yang mempengaruhi akses ke makanan yaitu mengenai faktor

yang mempengaruhi ketersediaan makanan dalam jumlah yang memadai,

aman dan berkualitas.

h) Aktivitas dan fungsi fisik yaitu menggali mengenai fisik, kemampuan

kognitif dan fisik dalam melaksanakan tugas spesifk seperti menyusui atau

kemampuan makan sendiri sehingga tergambar mengenai:

(1) Kemampuan menyusui

(2) Kemampuan kognitif dan fisik dalam melakukan aktivitas makan bagi

orang tua orang cacat

(3) Level aktivitas fisik yang dilakukan

(4) Faktor yang mempengaruhi akses ke kegiatan aktivitas fisik


3) Antropometri dengan kode AD (Anthropometry Data)

Pengukuran Antropometri merupakan pengukuran individu dari ukuran

tubuh seperti tinggi badan, berat badan, persen lemak tubuh, densitas tulang

dan lingkar pinggang yang dapat digunakan untuk menilai status gizi (Brown,

2005).

4) Laboratorium dengan kode BD (Biochemical Data)

Data biokimia meliputi hasil pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan yang

berkaitan dengan status gizi, status metabolik dan gambaran fungsi organ

yang berpengaruh terhadap timbulnya masalah gizi. Pengambilan kesimpulan

dari data laboratorium terkait masalah gizi harus selaras dengan data assesmen

gizi lainnya seperti riwayat gizi yang lengkap, termasuk penggunaan

suplemen, pemeriksaan fisik dan sebagainya. Disamping itu proses penyakit,

tindakan, pengobatan, prosedur dan status hidrasi (cairan) dapat

mempengaruhi perubahan kimiawi darah dan urin, sehingga hal ini perlu

menjadi pertimbangan. (Kementrian Kesehatan RI, 2013).

a) Glukosa

PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia) pada tahun 2006

menjelaskan bahwa, kadar gula darah puasa yang berkisar 80-100 mg/dL

dinyatakan normal. Seseorang dikatakan menderita diabetes melitus (DM) jika

memiliki kadar gula darah ≥126 mg/dL (Lestari, 2013).


Kadar glukosa darah sepanjang hari bervariasi dimana akan meningkat

setelah makan dan kembali normal dalam waktu 2 jam. Kadar glukosa darah

yang normal pada pagi hari setelah malam sebelumnya berpuasa adalah 70-

110 mg/dL darah. Kadar glukosa darah biasanya kurang dari 120-140 mg/dL

pada 2 jam setelah makan atau minum cairan yang mengandung glukosa

maupun karbohidrat lainnya (Price, 2005).

b) Hemoglobin

Kadar hemoglobin normal untuk pria 13-18 g/dL dan wanita 12-16 g/dL

(Kemenkes, 2011).

5) Pemeriksaan fisik dan klinis gizi dengan kode PD (Physical Data)

Pemeriksaan fisik klinis dilakukan untuk mendeteksi adanya kelainan klinis

yang berkaitan dengan gangguan gizi atau dapat menimbulkan masalah gizi

(PGRS, 2013)

a) Kesadaran

b) Suhu

c) Tensi

d) Nadi

6) Riwayat klien dengan kode CH (Client History)

Riwayat medis/kesehatan/keluarga, perawatan dan penggunaan pengobatan

komplementer/alternatif, riwayat social, status sosial ekonomi, situasi tempat

tinggal, dukungan sosial, lokasi geografis, dan akses terhadap pelayanan

kesehatan untuk gizi.


7) Data diinterpretasi dengan membandingkan terhadap kriteria atau

standar yang sesuai untuk mengetahui terjadinya penyimpangan.

Data asesmen gizi dapat diperoleh melalui wawancara; catatan medis;

observasi serta informasi dari tenaga kesehatan lain yang merujuk.

Terdapat 3 langkah untuk melakukan pengkajian gizi, yaitu:

a. Review: mengumpulkan, memilah, validasi data. Jenis data dan metoda

pengambilan data disesuaikan dengan situasi dan kondisi pasien.

b. Cluster: Data dikelola dan dikelompokkan sesuai dengan 5 domain.

Tentukan “defining characteristic” atau karakter penentu (tanda dan gejala)

dari diagnosis yang diduga.

c. Identifikasi: Membandingkan data-data dengan standar rujukan yang

disepakati (standar pembanding = norma dan standar nasional, institusional

atau peraturan); Mengidentifikasi kemungkinan problem, etiology, sign and

symptom.

3. Diagnosa Gizi

Diagnosis gizi sangat spesifik dan berbeda dengan diagnosis medis.

Diagnosis gizi bersifat sementara sesuai dengan respon pasien. Diagnosis gizi

adalah masalah gizi spesifk yang menjadi tanggung jawab dietisien untuk

menanganinya.

Diagnosis gizi adalah kegiatan mengidentifikasi dan memberi nama masalah

gizi yang aktual dan atau beresiko menyebabkan masalah menanganinya secara
mandiri. Diagnosis gizi diuraikan atas komponen masalah

gizi (problem), penyebab masalah (etiologi) serta tanda dan gejala adanya

masalah (sign & symptoms) (Sumapradja dkk, 2011).

Penulisan diagnosis gizi disusun dengan urutan:

Problem (P), Etiologi (E), Sign/Simptoms (S).

Problem berkaitan Etiologi ditandai Sign/Simptoms

(P) berkaitan dengan (E) ditandai dengan (S)

Diagnosis gizi berbeda dengan diagnosa medis baik dari sifatnya maupun

cara penulisannya. Diagnosis gizi dapat berubah sesuai dengan respon pasien,

khususnya terhadap intervensi gizi yang dilakukan. Pengelompokan diagnosis

gizi: domain asupan, domain klinis, domain perilaku lingkungan (Sumapradja

dkk, 2011).

Diagnosa gizi bertujuan untuk mengidentifkasi adanya problem gizi, faktor

penyebab yang mendasarinya, dan menjelaskan tanda dan gejala yang melandasi

adanya problem gizi. Langkah ini dilakukan untuk mencari pola dan hubungan

antar data yang terkumpul dan kemungkinan penyebabnya. Penulisan diagnosis

gizi terstruktur dengan konsep PES atau Problem Etiologi dan Signs/Symptoms

(PGRS, 2013).

Diagnosis gizi dikelompokkan menjadi tiga domain yaitu:

a. Domain Asupan adalah masalah aktual yang berhubungan dengan asupan

energi, zat gizi, cairan, substansi bioaktif dari makanan baik yang melalui oral
maupun parenteral dan enteral. Termasuk ke dalam kelompok domain asupan

adalah:

1) Problem mengenai keseimbangan energi

2) Problem mengenai asupan diet oral atau dukungan gizi

3) Problem mengenai asupan cairan

4) Problem mengenai asupan zat bioaktif

5) Problem mengenai asupan zat gizi, yang mencakup

problem mengenai: Lemak dan Kolesterol; Protein; Vitamin; Mineral; dan

Multinutrien.

b. Domain Klinis adalah masalah gizi yang berkaitan dengan kondisi

medis atau fisik/fungsi organ. Termasuk ke dalam kelompok domain klinis

adalah:

1) Problem fungsional, perubahan dalam fungsi fisik atau mekanik yang

mempengaruhi atau mencegah pencapaian gizi yang diinginkan.

2) Problem biokimia, perubahan kemampuan metabolisme zat gizi akibat

medikasi, pembedahan atau yang ditunjukkan oleh perubahan nilai laboratorium.

3) Problem berat badan, masalah berat badan kronis atau perubahan berat badan

bila dibandingkan dengan berat badan biasanya

c. Domain Perilaku/lingkungan adalah masalah gizi yang berkaitan

dengan pengetahuan, perilaku/kepercayaan, lingkungan fisik dan akses dan

keamanan makanan (Kementrian Kesehatan RI, 2014).

1) Problem pengetahuan dan keyakinan


2) Problem aktivitas fsik dan kemampuan mengasuh diri sendiri

3) Problem akses dan keamanan makanan

Penyebab masalah (etiologi) merupakan faktor penyebab yang memiliki

kontribusi penyebab terjadi masalah. Penyebab dapat berkaitan dengan faktor

fisiologis, sosial, lingkungan dan prilaku. Tanda dan gejala ada masalah (sign

dan simptom) menunjukkan keadaan pasien, sign umumnya menunjukkan data

objektif sementara simptom merupakan data subjektif. Sign dan simptom

merupakan dasar monitoring dan evaluasi (Sumapradja dkk, 2011).

4. Intervensi Gizi

Intervensi adalah serangkaian aktivitas spesifik dan berkaitan dengan

penggunaan bahan untuk menanggulangi masalah. Aktivitas ini merupakan

tindakan yang terencana secara khusus dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan

gizi pasien, klien atau kelompok. Pemilihan intervensi gizi ditentukan oleh

diagnosa gizi dan dapat menentukan dampak intervensi yang akan diukur dan

dievaluasi kemudian. Semua tindakan intervensi dilakukan berdasarkan prinsip

ilmiah dan rasional bila memungkinkan dibuat berdasarkan bukti

penilitian (Sumapradja dkk, 2011).

Tujuan intervensi gizi adalah mengatasi masalah gizi yang teridentifkasi

melalui perencanaan dan penerapannya terkait perilaku, kondisi lingkungan atau

status kesehatan individu, kelompok atau masyarakat untuk memenuhi kebutuhan

gizi klien.
Intervensi gizi terdiri dari 2 (dua) komponen yang saling berkaitan yaitu

perencanaan dan Implementasi.

a. Perencanaan

Langkah langkah perencanaan sebagai berikut:

1) Tetapkan prioritas diagnosis gizi berdasarkan derajat kegawatan masalah,

keamanan dan kebutuhan pasien. Intervensi diarahkan untuk menghilangkan

penyebab (etiologi dari problem), bila etiologi tidak dapat ditangani oleh ahli

gizi maka intervensi direncanakan untuk mengurangi tanda dan gejala masalah

(signs/simptoms).

2) Pertimbangkan panduan Medical Nutrition Theraphy (MNT), penuntun diet,

konsensus dan regulasi yang berlaku.

3) Diskusikan rencana asuhan dengan pasien, keluarga atau pengasuh pasien.

4) Tetapkan tujuan yang berfokus pada pasien.

5) Buat strategi intervensi, misalnya modifkasi makanan, edukasi/konseling.

6) Merancang Preksripsi diet. Preskripsi diet adalah rekomendasi kebutuhan zat

gizi pasien secara individual, mulai dari menetapkan kebutuhan energi,

komposisi zat gizi yang mencakup zat gizi makro dan mikro, jenis diet, bentuk

makanan, frekuensi makan, dan rute pemberian makanan. Preskripsi diet

dirancang berdasarkan pengkajian gizi, komponen diagnosis gizi, rujukan

rekomendasi,

kebijakan dan prosedur serta kesukaan dan nilainilai yang dianut oleh pasien

/klien.
7) Tetapkan waktu dan frekuensi intervensi.

8) Identifkasi sumber-sumber yang dibutuhkan.

b. Implementasi

Langkah langkah implementasi meliputi :

1) Komunikasi rencana intervensi dengan pasien, tenaga kesehatan atau tenaga

lain

2) Melaksanakan rencana intervensi

Intervensi gizi dikelompokan dalam 4 (empat) kategori sebagai berikut:

a. Pemberian makanan/ diet (Kode internasional –ND Nutrition Delivery)

Penyediaan makanan atau zat gizi sesuai kebutuhan melalui pendekatan

individu meliputi pemberian Makanan dan snack (ND.1); enteral dan

parenteral (ND.2); suplemen (ND.3); substansi bioaktif (ND.4); bantuan saat

makan (ND.5); suasana makan (ND.4) dan pengobatan terkait gizi (ND.5)

b. Edukasi (Kode internasional – E- Education)

Merupakan proses formal dalam melatih ketrampilan atau membagi

pengetahuan yang membantu pasien/ klien mengelola atau memodifkasi diet

dan perubahan perilaku secara sukarela untuk menjaga atau meningkatkan

kesehatan. Edukasi gizi meliputi:

1) Edukasi gizi tentang konten/materi yang bertujuan untuk meningkatkan

pengetahuan (E.1)

2) Edukasi gizi penerapan yang bertujuan untuk meningkatkan keterampilan

(E.2)
Pedoman dasar pada edukasi gizi, mencakup:

1) Sampaikan secara jelas tujuan dari edukasi

2) Tetapkan prioritas masalah gizi sehingga edukasi yang disampaikan tidak

komplek.

3) Rancang materi edukasi gizi menyesuaikan dengan kebutuhan individu

pasien, melalui pemahaman tingkat pengetahuannya, keterampilannya, dan

gaya/cara belajarnya.

c. Konseling (C)

Konseling gizi merupakan proses pemberian dukungan pada pasien/klien yang

ditandai dengan hubungan kerjasama antara konselor dengan pasien/klien

dalam menentukan prioritas, tujuan/target, merancang rencana kegiatan yang

dipahami, dan membimbing kemandirian dalam merawat diri sesuai kondisi

dan menjaga kesehatan. Tujuan dari konseling gizi adalah untuk

meningkatkan motivasi pelaksanaan dan penerimaan diet yang dibutuhkan

sesuai dengan kondisi pasien.

d. Koordinasi asuhan gizi

Strategi ini merupakan kegiatan dietisien melakukan konsultasi, rujukan atau

kolaborasi, koordinasi pemberian asuhan gizi dengan tenaga

kesehatan/institusi/ dietisien lain yang dapat membantu dalam merawat atau

mengelola masalah yang berkaitan dengan gizi.

Tahapan intervensi gizi ini mengharuskan dietisien untuk berpikir kritis dalam

hal:
1) Menetapkan prioritas dan target/goals

2) Menentukan preskripsi gizi atau perencanaan dasar

3) Menggalang hubungan interdisipliner

4) Intervensi perilaku awal dan hal terkait gizi lainnnya

5) Memadukan strategi intervensi gizi dengan kebutuhan

pasien, diagnosis gizi, dan nilai nilai pasien

6) Menentukan waktu dan frekuensi asuhan

Pelaksanaan intervensi dimulai dengan menetapkan tujuan, prinsip, macam

diet, serta syarat diet. kemudian melakukan perhitungan kebutuhan enegi dan

zat gizi serta menyusun menu dan waktu makan pasien (Sumapradja dkk,

2011).

5. Monitoring dan Evaluasi Gizi

Monitoring dan evaluasi gizi dilaksanakan untuk mengukur keberhasilan dari

pemberian intervensi selama implementasi yang dilakukan. Jika tujuan tercapai,

pasien diperbolehkan untuk pulang. Namun, jika tujuan masih belum tercapai

maka pasien kembali ke tahapan pengkajian gizi ulang atau kembali ke tahapan

sebelumnya sehingga tujuan intervensi tercapai dan terlaksanakan (Sumapradja

dkk, 2011).

a. Monitor perkembangan:

1) Cek pemahaman dan kepatuhan pasien/klien terhadap intervensi gizi


2) Tentukan apakah intervensi yang dilaksanakan/ diimplementasikan sesuai

dengan preskripsi gizi yang telah ditetapkan.

3) Berikan bukti/fakta bahwa intervensi gizi telah atau belum merubah perilaku

atau status gizi pasien/ klien.

4) Identifkasi hasil asuhan gizi yang positif maupun negative

5) Kumpulkan informasi yang menyebabkan tujuan asuhan tidak tercapai

6) Kesimpulan harus di dukung dengan data/ fakta.

b. Mengukur hasil

1) Pilih indikator asuhan gizi untuk mengukur hasil yang diinginkan

2) Gunakan indikator asuhan yang terstandar untuk meningkatkan

validitas dan reliabilitas pengukuran perubahan.

c. Evaluasi hasil

1) Bandingkan data yang di monitoring dengan tujuan preskripsi gizi atau

standar rujukan untuk mengkaji perkembangan dan menentukan

tindakan selanjutnya

2) Evaluasi dampak dari keseluruhan intervensi terhadap hasil kesehatan

pasien secara menyeluruh.

Dalam kegiatan monitoring dan evaluasi dipilih Indikator asuhan gizi.

Indikator yang di monitor sama dengan indicator pada asesmen gizi,

kecuali riwayat personal.

Hasil monitoring antara lain:


1) Aspek gizi: perubahan pengetahuan, perilaku, makanan dan asupan, zat

gizi

2) Aspek status klinis dan kesehatan: perubahan nilai laboratorium, berat

badan, tekanan darah, faktor risiko, tanda dan gejala, status klinis, infeksi,

komplikasi, morbiditas dan mortalitas

3) Aspek pasien: perubahan kapasitas fungsional, kemandirian merawat diri

sendiri

4) Aspek pelayanan kesehatan: lama hari rawat

B. Diabetes Mellitus

1. Definisi

Diabetes melitus adalah suatu penyakit dimana kadar glukosa (glukosa

sederhana) didalam darah tinggi karena terdapat gangguan pada kelenjar

pankreas dan insulin yang dihasilkan baik secara kualitas maupun kuantitas.

Lebih lanjut, pada penderita yang kronisakan timbul gejala lain, yaitu

terjadinya penurunan berat badan, timbulnya rasa kesemutan atau rasa nyeri

pada tangan atau kaki, timbulnya luka gengren pada kaki, serta hilangnya

kesadaran diri (Supryanto, 2010).

American Diabetes Asociation (2012) mendefinisikan diabetes melitus


adalah salah satu kelompok metabolik yang ditandai oleh hiperglikemia
karena gangguan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduannya. Keadaan
hiperglikemia kronis dari diabetes berhubungandengan kerusakan jangka
panjang, ganguan fungsi dan kegagalan berbagai organ terutama mata, ginjal,
saraf, jantung, dan pembuluh darah

Diabetes Melitus adalah penyakit yang ditandai dengan terjadinya


hiperglikemia dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein
yang dihubungkan dengan kekurangan secara absolut atau relatif dari kerja
dan atau sekresi insulin.Gejala yang dikeluhkan pada penderita
Diabetes Melitus yaitu polidipsia,poliuria,polifagia,penurunan berat
badan,kesemutan. International Diabetes Federation (IDF) menyebutkan
bahwa prevalensi Diabetes Melitus di dunia adalah 1,9% dan telah
menjadikan DM sebagai penyebab kematian urutan ke tujuh di dunia
sedangkan tahun 2012 angka kejadian diabetes me litus didunia adalah
sebanyak 371 juta jiwa dimana proporsi kejadian diabetes melitus tipe 2
adalah 95% dari populasi dunia yang menderita diabetes mellitus. Hasil Riset
Kesehatan Dasar pada tahun 2008, menunjukan prevalensi DM di Indonesia
membesar sampai 57%. Tingginya prevalensi Diabetes Melitus tipe
2disebabkan oleh faktor risiko yang tidak dapat berubah misalnya jenis
kelamin, umur, dan faktor genetik yang kedua adalah faktor risiko yang dapat
diubah misalnya kebiasaan merokok tingkat pendidikan, pekerjaan, aktivitas
fisik, kebiasaan merokok, konsumsi alkohol, Indeks Masa Tubuh, lingkar
pinggang dan umur.4,8Diabetes Mellitus disebut dengan the silent killer karena
penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai
macam keluhan. Penyakit yang akan ditimbulkan antara lain gangguan
penglihatan mata, katarak, penyakit jantung, sakit ginjal, impotensi seksual,
luka sulit sembuh dan membusuk/gangren, infeksi paru-paru, gangguan
pembuluh darah, stroke dan sebagainya. Tidak jarang, penderita DM yang
sudah parah menjalani amputasi anggota tubuh karena terjadi
pembusukan.Untuk menurunkan kejadian dan keparahan dari Diabetes
Melitus tipe 2 maka dilakukan pencegahan seperti modifikasi gaya hidup dan
pengobatan seperti obat oral hiperglikemik dan insulin .

Diabetes mellitus adalalah gangguan metabolisme yang secara genetik


dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi
karbohidrat, jika telah berkembang penuh secara klinis maka diabetes mellitus
ditandai dengan hiperglikemia puasa dan postprandial, aterosklerosis dan
penyakit vaskular mikroangiopati. Diabetes Mellitus Tipe 2 merupakan
penyakit hiperglikemi akibat insensivitas sel terhadap insulin. Kadar insulin
mungkin sedikitmenurun atau berada dalam rentang normal. Karena insulin
tetap dihasilkan oleh sel-sel beta pankreas, maka diabetes mellitus tipe II
dianggap sebagai non insulin dependent diabetes mellitus. Diabetes Mellitus
Tipe 2 adalah penyakit gangguan metabolik yang di tandai oleh kenaikan gula
darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel beta pankreas dan atau
ganguan fungsi insulin (resistensi insulin).
2. Prevalensi Diabetes Melitus Tipe 2

Kejadian DM Tipe 2 pada wanita lebih tinggi daripada laki-laki.Wanita


lebih berisiko mengidap diabetes karena secara fisik wanita memiliki
peluang peningkatan indeks masa tubuh yang lebih besar. Hasil Riset
Kesehatan Dasar pada tahun 2008, menunjukan prevalensi DM di Indonesia
membesar sampai 57%, pada tahun 2012 angka kejadian diabetes melitus
didunia adalah sebanyak 371 juta jiwa, dimana proporsi kejadiandiabetes
melitus tipe 2 adalah 95% dari populasi dunia yang menderita
diabetesmellitus dan hanya 5% dari jumlah tersebut menderita diabetes
mellitus tipe 1

3. Patogenesis

Diabetes melitus merupakan penyakit yang disebabkan oleh adanya


kekurangan insulin secara relatif maupun absolut.Defisiensi insulin dapat
terjadi melalui 3 jalan, yaitu:

a. Rusaknya sel-sel B pankreas karena pengaruh dari luar (virus,zat


kimia,dll)
b. Desensitasi atau penurunan reseptor glukosa pada kelenjar pankreas
c. Desensitasi atau kerusakan reseptor insulin di jaringan perifer.2

4. Patofisologi

Dalam patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang berperan


yaitu :
1. Resistensi insulin
2. Disfungsi sel B pancreas

Diabetes melitus tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin,


namun karena sel sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu merespon
insulin secara normal.Keadaan ini lazim disebut sebagai “resistensi insulin”. 1,8
Resistensi insulinbanyak terjadi akibat dari obesitas dan kurang nya aktivitas
fisik serta penuaan.Pada penderita diabetes melitus tipe 2 dapat juga terjadi
produksi glukosa hepatik yang berlebihan namun tidak terjadi pengrusakan
sel-sel B langerhans secara autoimun seperti diabetes melitus tipe 2.
Defisiensi fungsi insulin pada penderita diabetes melitus tipe 2 hanya bersifat
relatif dan tidak absolut
Pada awal perkembangan diabetes melitus tipe 2, sel B menunjukan
gangguan pada sekresi insulin fase pertama,artinya sekresi insulin gagal
mengkompensasi resistensi insulin. Apabila tidak ditangani dengan baik,pada
perkembangan selanjutnya akan terjadi kerusakan sel-sel B pankreas.
Kerusakan sel-sel B pankreas akan terjadi secara progresif seringkali akan
menyebabkan defisiensi insulin,sehingga akhirnya penderita memerlukan
insulin eksogen. Pada penderita diabetes melitus tipe 2 memang umumnya
ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi
insulin.
5. Faktor Risiko

Peningkatan jumlah penderita DM yang sebagian besar DM tipe 2,


berkaitan dengan beberapa faktor yaitu faktor risiko yang tidak dapat diubah,
faktor risiko yang dapat diubah dan faktor lain. Menurut American
DiabetesAssociation (ADA) bahwa DM berkaitan dengan faktor risiko yang
tidak dapat diubah meliputiriwayat keluarga dengan DM (first degree
relative), umur ≥45 tahun, etnik, riwayatmelahirkan bayi dengan berat badan
lahir bayi >4000 gram atau riwayat pernah menderita DM gestasional dan
riwayat lahir dengan beratbadan rendah (<2,5 kg).1,9 Faktor risiko yang
dapatdiubah meliputi obesitas berdasarkan IMT ≥25kg/m2 atau
lingkar perut ≥80 cm pada wanita dan ≥90 cm pada laki-laki, kurangnya
aktivitas fisik, hipertensi, dislipidemi dan diet tidak sehat.
Faktor lain yang terkait dengan risiko diabetes adalah penderita
polycystic ovarysindrome (PCOS), penderita sindrom metabolikmemiliki
riwatyat toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa
terganggu (GDPT) sebelumnya, memiliki riwayat penyakit kardiovaskuler
seperti stroke, PJK, atau peripheral rrterial Diseases (PAD), konsumsi
alkohol,faktor stres, kebiasaan merokok, jenis kelamin,konsumsi kopi dan
kafein.
1. Obesitas (kegemukan)
Terdapat korelasi bermakna antara obesitas dengan kadar glukosa darah,
pada derajat kegemukan dengan IMT >
23 dapat menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah menjadi 200mg
%.
2. Hipertensi
Peningkatan tekanan darah pada hipertensi berhubungan erat dengan tidak
tepatnya penyimpanan garam dan air, atau meningkatnya tekanan dari
dalam tubuh pada sirkulasi pembuluh darah perifer.
3. Riwayat Keluarga Diabetes Mellitus
Seorang yang menderita Diabetes Mellitus diduga mempunyai gen
diabetes. Diduga bahwa bakat diabetes merupakan gen resesif. Hanya
orang yang bersifat homozigot dengan gen resesif tersebut yang menderita
Diabetes Mellitus.
4. Dislipedimia
Dislipedimia adalah keadaan yang ditandai dengan kenaikan kadar lemak
darah (Trigliserida > 250 mg/dl). Terdapat hubungan antara kenaikan
plasma insulin dengan rendahnya HDL (< 35 mg/dl) sering didapat pada
pasien Diabetes.
5. Umur
Berdasarkan penelitian, usia yang terbanyak terkena Diabetes Mellitus
adalah > 45 tahun.
6. Riwayat persalinan
Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat atau berat badan bayi >
4000gram
7. Faktor Genetik
DM tipe 2 berasal dari interaksi genetis dan berbagai faktor mental
Penyakit ini sudah lama dianggap berhubungan dengan agregasi familial.
Risiko emperis dalam hal terjadinya DM tipe 2 akan meningkat dua
sampai enam kali lipat jika orang tua atau saudara kandung mengalami
penyakitini.
8. Alkohol dan Rokok
Perubahan-perubahan dalam gaya hidup berhubungan dengan meningkatan
frekuensi DM tipe 2. Walaupun kebanyakan peningkatan ini dihubungkan
dengan peningkatan obesitas dan pengurangan ketidak aktifan fisik, faktor-
faktor lain yang berhubungan dengan perubahan dari lingkungan
tradisional kelingkungan kebarat- baratan yang meliputi perubahan-
perubahan dalam konsumsi alkohol dan rokok, juga berperan dalam
peningkatan DM tipe 2. Alkohol akan menganggu metabolisme gula darah
terutama pada penderita DM, sehingga akan mempersulit regulasi gula
darah dan meningkatkan tekanan darah. Seseorang akan meningkat
tekanan darah apabila mengkonsumsi etil alkohol lebih dari 60ml/hari
yang setara dengan 100 ml proof wiski, 240 ml wine atau 720 ml. Faktor
resiko penyakit tidak menular, termasuk DM Tipe 2, dibedakan menjadi
dua. Yang pertama adalah faktor risiko yang tidak dapat berubah misalnya
umur, faktor genetik, pola makan yang tidak seimbang jenis kelamin,
status perkawinan, tingkat pendidikan, pekerjaan, aktivitas fisik, kebiasaan
merokok, konsumsi alkohol, Indeks Massa Tubuh.
6. Gejala Klinis

Gejala diabetes melitus dibedakan menjadi akut dan kronik Gejala akut
diabetes melitus yaitu, Poliphagia (banyak makan) polidipsia (banyak
minum), Poliuria (banyak kencing/sering kencing di malam hari), nafsu
makan bertambah namu berat badan turun dengan cepat (5-10 kg dalam
waktu 2-4 minggu), mudah lelah.
Gejala kronik diabetes melitus yaitu : Kesemutan, kulit terasa panas atau
seperti tertusuk tusuk jarum, rasa kebas di kulit, kram, kelelahan, mudah
mengantuk, pandangan mulai kabur, gigi mudah goyah dan mudah lepas,
kemampuan seksual menurun bahkan pada pria bisa terjadi impotensi, pada
ibu hamil sering terjadi keguguran atau kematian janin dalam kandungan
atau dengan bayi berat lahir lebih dari 4kg.

7. Diagnosis

Keluhan dan gejala yang khas ditambah hasil pemeriksaan glukosa darah
sewaktu >200 mg/dl, glukosa darah puasa >126 mg/dl sudah cukup untuk
menegakkan diagnosis DM. Untuk diagnosis DM dan gangguan toleransi
glukosa lainnya diperiksa glukosa darah 2 jam setelah beban glukosa.
Sekurang- kurangnya diperlukan kadar glukosa darah 2 kali abnormal untuk
konfirmasi diagnosis DM pada hari yang lain atau Tes Toleransi Glukosa
Oral (TTGO) yang abnormal. Konfirmasi tidak diperlukan pada keadaan
khas hiperglikemia dengan dekompensasi metabolik akut, seperti
ketoasidosis, berat badan yang menurun cepat.
Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji
diagnostik dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala DM, sedangkan
pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak
bergejala, tetapi punya resiko DM (usia > 45 tahun, berat badan lebih,
hipertensi, riwayat keluarga DM, riwayat abortus berulang, melahirkan bayi >
4000 gr, kolesterol HDL <= 35 mg/dl, atau trigliserida ≥ 250 mg/dl). Uji
diagnostik dilakukan pada mereka yang positif uji penyaring. Pemeriksaan
penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu
atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi
glukosa oral (TTGO) standar.

8. Komplikasi Diabetes Melitus

Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik akan menimbulkan


komplikasi akut dan kronis. Menurut PERKENI komplikasi DM dapat dibagi
menjadi dua kategori, yaitu :

a. Komplikasi akut
- Hipoglikemia, adalah kadar glukosa darah seseorang di bawahnilai
normal (< 50 mg/dl). Hipoglikemia lebih sering terjadi pada penderita
DM tipe 1 yang dapat dialami 1-2 kali per minggu, Kadar gula darah
yang terlalu rendah menyebabkan sel-sel otak tidak mendapat pasokan
energi sehingga tidak berfungsi bahkan dapat mengalami kerusakan.
- Hiperglikemia, hiperglikemia adalah apabila kadar gula darah meningkat
secara tiba-tiba, dapat berkembang menjadi keadaan metabolisme yang
berbahaya, antara lain ketoasidosis diabetik, Koma Hiperosmoler Non
Ketotik (KHNK) dan kemolakto asidosis.

b. Komplikasi Kronis
- Komplikasi makrovaskuler,
Komplikasi makrovaskuler yangumum berkembang pada penderita DM
adalah trombosit otak (pembekuan darah pada sebagian otak),
mengalami penyakit jantung koroner (PJK), gagal jantung kongetif, dan
stroke.
- Komplikasi mikrovaskuler, komplikasi mikrovaskuler terutama terjadi
pada penderita DM tipe 1 seperti nefropati, diabetik retinopati
(kebutaan), neuropati, dan amputasi
C. Rumah Sakit

1. Definisi Rumah Sakit

Rumah sakit adalah Institusi pelayanan kesehatan yang

menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna atau

menyeluruh yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat

darurat (Kemenkes RI, 2011).

2. Definisi Rumah Sakit Umum Tipe B

Rumah Sakit kelas B adalah rumah sakit yang mampu memberikan

pelayanan kedokteran medik spesialis luas dan subspesialis terbatas.

Direncanakan rumah sakit tipe B didirikan di setiap ibukota propinsi


(provincial hospital) yang menampung pelayanan rujukan dari rumah sakit

kabupaten. Rumah sakit pendidikan yang tidak termasuk tipe A juga

diklasifikasikan sebagai rumah sakit tipe B.

3. Definisi Kepuasan Pasien

Pasien adalah orang sakit yang dirawat dokter dan tenaga kesehatan

lainnya ditempat praktek (Yuwono; 2003). Sedangkan kepuasan adalah

perasaan senang seseorang yang berasal dari perbandingan antara kesenangan

terhadap aktivitas dan suatu produk dengan harapannya (Nursalam; 2011).

Kotler (dalam Nursalam; 2011) menyebutkan bahwa kepuasan adalah perasan

senang atau kecewa seseorang yang muncul setelah membandingkan antara

persepsi atau kesannya terhadap kinerja atau hasil suatu produk dan harapan-

harapannya.

Menurut Yamit (2002), kepuasan pelanggan adalah hasil (outcome) yang

dirasakan atas penggunaan produk dan jasa, sama atau melebihi harapan yang

diinginkan. Sedangkan Pohan (2007) menyebutkan bahwa kepuasan pasien

adalah tingkat perasaan pasien yang timbul sebagai akibat dari kinerja layanan

kesehatan yang diperolehnya, setelah pasien membandingkan dengan apa

yang diharapkannya. Pendapat lain dari Endang (dalam Mamik; 2010) bahwa

kepuasan pasien merupakan evaluasi atau penilaian setelah memakai suatu

pelayanan, bahwa pelayanan yang dipilh setidak-tidaknya memenuhi atau

melebihi harapan.
Menurut pendapat Budiastuti (2002) mengemukakan bahwa pasien

dalam mengevaluasi kepuasan dengan jasa pelayanan yang diterima

mengacu pada beberapa faktor antara lain :

i. Kualitas Produk atau Jasa

Pasien akan merasa puas bila hasil evaluasi mereka menunjukkan

bahwa produk atau jasa yang digunakan berkualitas. Persepsi konsumen

dengan kualitas produk atau jasa di pengaruhi oleh dua hal yaitu

kenyataan kualitas produk atau jasa yang sesungguhnya dan komunikasi

perusahaan terutama iklan dalam mempromosikan rumah sakitnya.

ii. Kualitas Pelayanan

Memegang peranan penting dalam industri jasa. Pelanggan dalam hal

ini pasien akan merasa puas. Jika mereka memperoleh pelayanan yang

baik atau sesuai dengan yang diharapkan

iii. Faktor emosional

Pasien yang merasa bangga dan yakin bahwa orang lain kagum dengan

konsumen bila dalam hal ini pasien memilih rumah sakit yang sudah

mempunyai pandangan “Rumah Sakit Mahal”, cenderung memiliki

tingkat kepuasan yang lebih tinggi.

iv. Harga

Harga merupakan aspek penting namun yang terpenting dalam

penentuan kualitas guna mencapai kepuasan pasien. Meskipun

demikian elemen ini mempengaruhi pasien dari segi biaya yang


dikeluarkan. Biasanya semakin mahal harga perawatan maka pasien

mempunyai harapan yang lebih besar. Sedangkan rumah sakit yang

berkualitas sama tetapi berharga lebih murah, memberi nilai yang lebih

tinggi pada pasien.

v. Biaya

Mendapatkan produk atau jasa, pasien yang tidak perlu mengeluarkan

biaya tambahan atau tidak perlu membuang waktu untuk mendapatkan

jasa pelayanan, cenderung puas dengan jasa pelayanan tersebut.

4. Definisi Lama Hari Rawat

Lama hari rawat merupakan salah satu unsur atau aspek asuhan dan

pelayanan di rumah sakit yang dapat dinilai atau diukur. Bila seseorang

dirawat di rumah sakit, maka yang diharapkan tentunya ada perubahan akan

derajat kesehatannya. Bila yang diharapkan baik oleh tenaga medis maupun

oleh penderita itu sudah tercapai maka tentunya tidak ada seorang pun yang

ingin berlama-lama di rumah sakit. Lama hari rawat secara signifikan

berkurang sejak adanya pengetahuan tentang hal-hal yang berkaitan dengan

diagnosa yang tepat. Untuk menentukan apakah penurunan lama hari rawat

itu meningkatkan efisiensi atau perawatan yang tidak tepat, dibutuhkan

pemeriksaan lebih lanjut berhubungan dengan keparahan atas penyakit dan

hasil dari perawatan (Indradi, 2007).

Lama hari rawat inap yang terlalu panjang akan menimbulkan

kerugian, antara lain menambah beban biaya perawatan pasien atau keluarga
pasien, mengurangi cakupan pelayanan kesehatan rumah sakit, BOR (Bed

Occupancy Rate) menjadi meningkat dan menjadi pemborosan bagi rumah

sakit (biaya operasional dari rumah sakit akan lebih besar (Depkes RI,

2007). Lama hari rawat berhubungan dengan status gizi awal berdasarkan

SGA (Subjective Global Assesment), IMT (Indeks Masa Tubuh), asupan gizi

(energi, protein, lemak dan karbohidrat), umur, jenis kelamin, kelas

perawatan, jenis penyakit, jumlah diagnosa penyakit, hari masuk, hari

pulang dan sumber biaya. (Tedja, Vicky Riyana, 2012 dalam Abdurrachim

2016).

Pemberian dukungan gizi bagi orang sakit bukan merupakan tindakan

yang berdiri sendiri dan terpisah dari tindakan keperawatan dan pengobatan.

Pengaturan makanan, keperawatan penyakit, dan pengobatan merupakan

satu kesatuan dalam proses penyembuhan penyakit. Malnutrisi dapat timbul

sejak sebelum dirawat di rumah sakit karena penyakitnya atau asupan zat

gizi yang tidak cukup, namun tidak jarang pula malnutrisi ini timbul selama

dirawat di rumah sakit. Penurunan status gizi dapat menyebabkan angka

mortalitas naik dan memperpanjang lama hari rawat (Kusumayati dan

Rosidah, 2012).

Asupan gizi yang adekuat bagi pasien yang dirawat inap di rumah

sakit, puskesmas atau balai kesehatan diperlukan dalam upaya mencegah

penurunan status gizi yang terjadi selama perawatan. Gizi merupakan bagian

integral dengan pengobatan atau proses penyembuhan serta memperpendek


lama hari rawat, sedang lama hari rawat sendiri dikategorikan menjadi 2 yaitu

kurang dari 5 hari dan lebih atau sama dengan 5 hari (Kusumayati dan

Rosidah, 2012).

D. Kerangka Teori

Pasien Masuk

Skrining

Risiko malnutrisi atau malnutrisi Tidak risiko malnutrisi atau tidak


malnutrisi

Pengkajian Gizi
(Riwayat diet, antropometri, labolratorium, fisik-klinis, riawayat pasien)

Intervensi Gizi
Diagnosis Gizi
(Perencanaan, implementasi)
(Problem, etiologi, sign/symptome)

Tujuan tidak tercapai Monitoring dan Evaluasi

(Monitoring, pengukuran hasil, evaluasi hasil)


Tujuan tercapai

Pasien pulang

Gambar 1. Alur Proses Asuhan Gizi Terstandar


Sumber: Jurnal Gizi Klinik Indonesia, Vol. 10, No. 2, Oktober
2013
E. Kerangka Konsep

Penerimaan pasien DM tipe 2

Skrining

Terapi Diit

Tidak perlu Perlu

Perencanaan makanan khusus


Pemesanan makanan biasa (Pengkajian gizi)

Pemesanan makanan khusus

Pemesanan makanan biasa dan makanan khusus

Distribusi makanan biasa dan makanan khusus

Penyajian makanan khusus


Penyajian makanan biasa kepada pasien (Intervensi gizi)

Pengamatan/evaluasi Pengamatan / evaluasi


(Monitoring dan evaluasi)

Terapi diit

Stop Perlu

Perlu peneyesuaian diit? Perlu

Tidak perlu

Penyuluhan gizi pada saat pasien pulang

Gambar 2. Kerangka konsep


Sumber: Jurnal Gizi Klinik Indonesia, Vol. 10, No. 2, Oktober
2013
BAB III

METODELOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif, menggunakan pendekatan

cross sectional. Pasien dengan diagnosa Diabetes Mellitus tipe II dengan

komplikasi Di Rumah Sakit Umum Daerah Depati Bahrin Sungailiat

Penelitian ini digunakan untuk menggambarkan atau menganalisis suatu hasil

penelitian.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Depati Bahrin

Sungailiat pada bulan Desember 2020 samapai dengan bulan Mei 2021.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Pasien dalam penelitian ini adalah seluruh pasien rawat inap Diabetes

Melitus tipe 2 di Rumah Sakit Umum Depati Bahrin Sungailiat.

Penelitian ini diambil dari populasi yang memenuhi kriteria inklusi

responden yang diteliti adalah:

a. Pasien rawat inap DM tipe 2 di Rumah Sakit Umum Daerah Depati

Bahrin Sungailiat

b. Responden berusia 35 tahun keatas

c. Bersedia menjadi responden penelitian selama penelitian berlangsung


d. Kriteria eklusi pada penelitian ini adalah:

Pasien Pasien rawat inap DM tipe 2 dengan komplikasi jantung, gagal

ginjal, stroke di Rumah Sakit Umum Daerah Depati Bahrin Sungailiat

2. Sampel

Pasien penyakit Diabetes Melitus tipe II dengan komplikasi

Hipertensi yang dirawat di Rumah Sakit Umum Depati Bahrin

Sungailiat, yang diambil dengan teknik purposive sampling dengan

menggunakan rumus Slovin:

𝑁
𝑛=
1 + 𝑁 𝑒²
Keterangan:

: Sampel

N : Populasi

e : Taraf kesalahan atau nilai kritis

Dalam rumus Slovin ada ketentuan sebagai berikut:

Nilai e = 0,1 (10%) untuk populasi dalam jumlah besar

Nilai e = 0,2 (20%) untuk populasi dalam jumlah kecil

Jadi rentang sampel yang dapat diambil dari teknik Solvin adalah antara

10-20 % dari populasi penelitian


D. Definisi Operasional

Tabel 1 Definisi Operasional

Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala Ukur

Penerapan PAGT pada Suatu proses/kegiatan asuhan gizi Form PAGT Observasi Diterapkannya Proses Asuhan Interval
Pasien Diabetes Mellitus pada pasien DM tipe II dengan Gizi Terstandar (PAGT) yang
tipe II dengan komplikasi hipertensi pada usia meliputi assesmen, diagnose,
komplikasi hipertensi 35-55 tahun,yang meliputi: intervensi, monitoring dan
pada usia 35-55 tahun. evaluasi gizi pada pasien DM
a. Assesmen Gizi tipe II dengan komplikasi
b. Diagnosa Gizi hipertensi.
c. Intervens Gizi
d. Monitoring Gizi
e. Evaluasi Gizi

Kepuasan pasien Perasaan suka atau tidak suka Kuesioner Wawancara Puas atau tidak puas Ordinal
yang dialami konsumen setelah
membandingkan antara persepsi
kinerja (atau hasil) suatu produk
dengan harapan-harapannya.

Lama hari rawat Periode lama pasien dirawat di Standar lama hari Observasi -Sesuai dengan standar (LOS Ordinal
rumah sakit (dalam hari), dihitung rawat inap 3 - 5 hari ≤ 5 hari)
mulai dari pasien masuk sampai -Lebih lama dari standar
pasien pulang dari rumah sakit. (LOS >5 hari)
E. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian yang digunakan adalah:

1. Kuesioner untuk mengetahui identitas responden

F. Jenis dan Sumber Data

1. Data Primer

Data primer dikumpulkan dengan melakukan wawancara langsung

dan observasi kepada responden menggunakan kuesioner yang sesuai

dengan variabel peneliti.

2. Data Sekunder

Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari hasil laboraturium

biokimia pasien di RSUD Depati Bahrin.

G. Etika Penelitian

Etika penelitian merupakan hal yang sangat penting, mengingat

penelitian yang berhubungan langsung dengan manusia. Penelitian ini

dilakukan berdasarkan etika penelitian menurut Notoatmodjo (2010): 42.

Peneliti memberikan penjelasan tentang tujuan penelitian kemudian

responden membaca dan menyetujui ikut parsitipasi dalam proses

penelitian kemudian peneliti menyerahkan lembar persetujuan menjadi

responden, serta memberikan tanda tangan dilembar persetujuan sebagai

bukti bersedia menjadi responden.


Etika penelitian ini tidak memberikan nama responden pada lembaran

alat ukur, melainkan hanya menulis kode/inisial pada lembar pengumpulan

data. Etika penelitian ini menjamin kerahasiaan dan hasil penelitian baik

informasi maupun masalah lain. Responden diberikan kebebasan

menentukan untuk bersedia atau tidak dalam kegiatan penelitian secara

sukarela.
DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association. (2016). 2016 American Diabetes


Association (ADA) Diabetes Guidelines Summary
Recommendation from NDEI. National Diabetes Education
Initiative.
AsDi. 2011. Pengembanagn Konsep Nutrition
Care Process (NCP), Proses Asuhan Gizi Terstandar
(PAGT). Persagi dan AsDI.
Buraerah, Hakim. Analisis Faktor Risiko Diabetes Melitus tipe 2 di
Puskesmas Tanrutedong, Sidenreg Rappan,. Jurnal Ilmiah
Nasional;2010 [cited 2010 feb 17]. Available from
:http://lib.atmajaya.ac.id/default.aspx?tabID=
61&src=a&id=186192

Kemenkes RI. 2013. Pedoman Pelayanan Gizi Rumah Sakit.


Kementrian Kesehatan RI.

Soelistijo, S. A., Novida, H., Rudijanto, A., Soewondo, P., Suastika, K.,
Manaf, A.,

Tedja, Vicky Riyana. 2012. Hubungan antara Faktor Individu, Sosio


Demografi, dan Administrasi dengan Lama Hari Rawat
Pasien Rawat Inap Rumah Sakit Pantai Indah Kapuk Tahun
2011. Depok : FKM UI.

TAMPILKAN JUGA KUESIONER UMUM, KUESIONER


KEPUASAAN, LAMA RAWAT.

TAMPILKAN JUGA INFORM CONSENT

Anda mungkin juga menyukai