Anda di halaman 1dari 51

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Seiring dengan kemajuan di berbagai bidang, tuntutan masyarakat akan

pelayanan kesehatan paripurna semakin tinggi. Hal ini perlu dicermati oleh para

pelaku profesi kesehatan, tidak terkecuali profesi gizi. Ahli gizi, sebagai bagian

dari tim asuhan kesehatan, dituntut untuk memberikan asuhan gizi yang

berkualitas yakni melakukan asuhan gizi dengan benar, pada waktu yang tepat,

dengan menggunakan cara yang benar serta pada individu yang tepat untuk

mencapai hasil yang optimal. Apabila pelayanan ini tidak memadai, maka erat

kaitannya dengan peningkatan risiko penyakit maupun komplikasinya, serta

memperpanjang lama perawatan pasien di rumah sakit (Waspadjie S, 2005).

Pelayanan gizi yang berkualitas dari asuhan gizi pasien rawat inap dapat

berupa rancangan diet yang tepat, edukasi dan konseling gizi yang sesuai dengan

permasalahan dan kebutuhan gizi yang terdokumentasi, serta hasil asuhan gizi

dapat terukur dan tidak bias. Kualitas pelayanan dinilai melalui hasil kerja dan

kepatuhan mentaati proses terstandar yang disepakati. Semua hal tersebut akan

dapat dicapai apabila dietisien memberikan asuhan gizi dengan menggunakan

Nutrition Care Process (NCP), sebagaimana yang direkomendasikan oleh

American Dietetics Association (ADA) (Sumaprdja, 2011).

NCP merupakan siklus proses asuhan gizi yang memiliki 4 langkah

kegiatan yang berurutan dan saling berkaitan, yaitu pengkajian gizi, diagnosis

gizi, intervensi gizi dan monitoring evaluasi. Perbedaan mendasar antara NCP

dengan asuhan gizi sebelumnya terletak pada diagnosis gizi yang tersusun

1
sistematis meliputi permasalahan, etiologi serta tanda dan gejala. Permasalahan

yang teridentifikasi pada diagnosis gizi merupakan dasar untuk menentukan

rencana intervensi, dengan sasaran terapi pada etiologi dan pencapaian hasil dapat

dilihat dari perbaikan tanda dan gejala yang dialami pasien (Sumapradja, 2011).

Pasien yang menjadi prioritas mendapatkan asuhan gizi dengan pendekatan NCP

adalah pasien yang teridentifikasi risiko gizi dan membutuhkan gizi khusus secara

individual, salah satu contohnya adalah penyakit Diabetes Melitus (DM).

Diabetes melitus merupakan kumpulan gejala yang timbul pada seseorang

yang disebabkan karena adanya peningkatan gula darah akibat kekurangan insulin

baik absolut maupun relatif (Syahbuddin, 2009). Penyandang diabetes akan

mengalami defisiensi atau retensi insulin kronik, terganggunya metabolisme

karbohidrat, protein, dan lemak sehingga dapat menyebabkan hiperglikemia

(peningkatan glukosa darah) (Dwijayanthi, 2011). Hiperglikemia kronik pada DM

berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi dan atau kegagalan

beberapa organ tubuh terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah

(Soegondo, 2009).

Di Indonesia, Diabetes Melitus berada diurutan ke-4 penyakit kronis

berdasarkan pravalensinya. Data Riskesdas tahun 2013, menyatakan prevalensi

nasional penyakit Diabetes Melitus yang terdiagnosis dokter sebesar 1,5% dan

DM terdiagnosis dokter atau gejala sebesar 2,1%. (Kementrian Kesehatan RI,

2013). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, proporsi penduduk

≥15 tahun dengan DM adalah 6,9%. Prevalensi penderita DM berdasarkan

wawancara (pernah didiagnosa dan ada gejala) mengalami peningkatan dari 1,1%

(tahun 2007) menjadi 2,1% (tahun 2013). Proporsi penduduk umur ≥15 tahun

2
dengan toleransi glukosa terganggu (TGT) mencapai 29,9%. Hal ini berarti akan

semakin banyak penduduk yang berisiko tinggi untuk menderita DM (Badan

Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013).

Hiperglikemia kronik pada DM berkontribusi terhadap munculnya

berbagai komplikasi, kerusakan jangka panjang, disfungsi dan kegagalan berbagai

organ seperti mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah (Dabla P.K, 2010).

Risiko penyakit yang terjadi oleh penderita diabetes melitus jika dibandingkan

dengan penderita non diabetes melitus adalah 2 kali lebih mudah stroke, 25 kali

lebih mudah mengalami buta, 2 kali lebih mudah mengalami PJK (Penyakit

Jantung Koroner), 17 kali lebih mudah mengalami gagal ginjal kronik, dan 5 kali

lebih mudah mengalami selulitis atau gangrene (Tjokroprawiro, 2006).

Gagal ginjal akibat DM disebut juga nefropati diabetik. Tingkat insidensi

gagal ginjal kronik di Indonesia cenderung meningkat. Masih diperkirakan angka

terjadinya gagal ginjal terminal di Indonesia sebesar 200 – 250 orang/1.000.000

penduduk/tahun (Bakri S, 2005). Terjadinya gagal ginjal terminal dapat

mempengaruhi kualitas hidup, sehingga insidensi kematian karena gagal ginjal

terminal (end stage renal disease) juga semakin meningkat sesuai dengan

peningkatan kejadiannya. Kematian yang terjadi di Amerika Serikat dilaporkan

mencapai 71.000 jiwa pada tahun 2000 dan diperkirakan akan meningkat

mencapai 352.000 jiwa pada tahun 2030 (Schoolwerth, 2006).

Untuk mencegah terjadinya komplikasi dari diabetes melitus, diperlukan

pengontrolan yang terapeutik dan teratur melalui perubahan gaya hidup pasien

DM yang tepat, tegas dan permanen. Pengontrolan diabetes melitus diantaranya

adalah pembatasan diet, peningkatan aktivitas fisik, regimen pengobatan yang

3
tepat, kontrol medis teratur dan pengontrolan metabolik secara teratur melalui

pemeriksaan labor (Golien C.E et al dalam Ronquillo et al, 2003).

Pilar utama pengelolaan diabetes melitus meliputi edukasi, terapi gizi

medis, latihan jasmani, dan terapi farmakologis. Terapi gizi medis melalui

perencanaan makanan merupakan salah satu langkah pertama yang harus

dilakukan dalam pengelolaan diabetes melitus (Waspadji, 2009). Pengelolaan

yang tepat dan berhasil yaitu dengan memberikan dukungan gizi yang tepat

melalui pelayanan asuhan gizi yang berkualitas.

Kasus yang diambil untuk studi kasus ini adalah asuhan gizi pada pasien

Diabetes Melitus tipe 2 dengan komplikasi Gagal Ginjal Kronik. Asuhan gizi

dengan menggunakan Nutritional Care Procces (NCP) yang dimulai dari

assessmen, diagnosis gizi, intervensi gizi, monitoring dan evaluasi. Asuhan gizi

ini diharapkan dapat membantu menstabilkan kadar gula darah, kadar ureum dan

kadar kreatinin dalam tubuh pasien Diabetes Melitus tipe 2 dengan komplikasi

Gagal Ginjal Kronik.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka perumusan masalah dari

penelitian ini yaitu bagaimana asuhan gizi pada pasien Diabetes Melitus tipe 2

dengan komplikasi Gagal Ginjal Kronik di RSUD Pasar Minggu Jakarta Selatan.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk melaksanakan asuhan gizi

pada pasien Diabetes Melitus tipe 2 dengan komplikasi Gagal Ginjal Kronik.

4
1.3.2 Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus pada penelitian ini adalah:

1. Mampu melakukan assessment gizi yang meliputi pengkajian pada data

antropometri, biokimia, fisik klinis, dan riwayat gizi pada pasien dengan

Diabetes Melitus tipe 2 dengan komplikasi Gagal Ginjal Kronik.

2. Mampu menegakkan diagnosis gizi pada pasien dengan Diabetes Melitus

tipe 2 dengan komplikasi Gagal Ginjal Kronik.

3. Mampu merencanakan intervensi gizi yang tepat berdasarkan data-data

diagnosis pada pasien dengan Diabetes Melitus tipe 2 dengan komplikasi

Gagal Ginjal Kronik.

4. Mampu merencanakan dan melakukan monitoring evaluasi gizi terhadap

intervensi gizi yang diberikan pada pasien Diabetes Melitus tipe 2 dengan

komplikasi Gagal Ginjal Kronik.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Bagi Peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan keterampilan

bagi peneliti dalam melakukan asuhan gizi pada pasien Diabetes Melitus tipe 2

dengan komplikasi Gagal Ginjal Kronik.

2. Bagi Institusi

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan gambaran

tentang asuhan gizi khususnya bagi pasien penyakit Diabetes Melitus tipe 2

dengan komplikasi Gagal Ginjal Kronik.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus Tipe 2

2.1.1 Definisi Diabetes Melitus

Diabetes Melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik atau kelainan

heterogen dengan karakteristik kenaikan kadar glukosa dalam darah atau

hiperglikemia dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang

disebabkan karena kelainan sekresi insulin, gangguan kerja insulin atau keduanya,

yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf dan

pembuluh darah (American Diabetes Association, 2012).

Menurut kriteria diagnostik Persatuan Endokrinologi Indonesia (2015),

seseorang dikatakan menderita Diabetes Melitus jika memiliki kadar gula darah

puasa >126 mg/dl dan pada tes gula darah sewaktu >200 mg/dl. Kadar gula darah

sepanjang hari bervariasi dimana akan meningkat setelah makan dan kembali

normal dalam waktu 2 jam.

2.1.2 Etiologi

Menurut Smeltzer & Bare (2002) Diabetes Melitus tipe 2 disebabkan

kerena kegagalan relatif sel β dan resisten insulin. Resisten insulin adalah

turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh

jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Sel β tidak

mampu mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi defisiensi

relatif insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin pada

rangsangan glukosa, maupun pada rangsangan glukosa bersama bahan perangsang

6
sekresi insulin lain. Berarti sel β pankreas mengalami desensitisasi terhadap

glukosa.

2.1.3 Faktor Resiko DM

Beberapa faktor yang diketahui dapat mempengaruhi Diabetes Melitus tipe

2 (Smeltzer & Bare, 2002) antara lain:

a. Kelainan genetik

Diabetes dapat menurun menurut silsilah keluarga yang mengidap

diabetes, karena gen yang mengakibatkan tubuh tak dapat menghasilkan

insulin dengan baik.

b. Usia

Penderita Diabetes Melitus tipe 2 mengalami perubahan fisiologi yang

secara drastic. Diabetes Melitus tipe 2 sering muncul setelah usia 30 tahun ke

atas dan pada mereka yang berat badannya berlebihan sehingga tubuhnya

tidak peka terhadap insulin.

c. Gaya hidup stress

Stres kronis cenderung membuat seseorang makan makanan yang

manis-manis untuk meningkatkan kadar lemak seretonin otak. Seretonin ini

mempunyai efek penenang sementara untuk meredakan stresnya. Tetapi gula

dan lemak berbahaya bagi mereka yang beresiko mengidap penyakit Diabetes

Melitus tipe 2.

d. Pola makan yang salah

Pada penderita Diabetes Melitus tipe 2 terjadi obesitas (gemuk

berlebihan) yang dapat mengakibatkan gangguan kerja insulin (resistensi

insulin). Obesitas bukan karena makanan yang manis atau kaya lemak, tetapi

7
lebih disebabkan jumlah konsumsi yang terlalu banyak, sehingga cadangan

gula darah yang disimpan didalam tubuh sangat berlebihan. Sekitar 80%

pasien Diabetes Melitus tipe 2 adalah mereka yang tergolong gemuk.

2.1.4 Manifestasi Klinis

Seseorang yang menderita Diabetes Melitus tipe 2 biasanya mengalami

peningkatan frekuensi buang air (poliuri), rasa lapar (polifagia), rasa haus

(polidipsi), cepat lelah, kehilangan tenaga, dan merasa tidak fit, kelelahan yang

berkepanjangan dan tidak ada penyebabnya, mudah sakit berkepanjangan,

biasanya terjadi pada usia di atas 30 tahun, tetapi prevalensinya kini semakin

tinggi pada golongan anak-anak dan remaja.

Gejala-gejala tersebut sering terabaikan karena dianggap sebagai keletihan

akibat kerja, jika glukosa darah sudah tumpah kesaluran urin dan urin tersebut

tidak disiram, maka dikerubuti oleh semut yang merupakan tanda adanya gula

(Smeltzer & Bare, 2002).

2.1.5 Diagnosis Diabetes Melitus Tipe 2

Diagnosis Diabetes Melitus ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar

glukosa darah. Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan

glukosa secara enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil

pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah

kapiler dengan glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya

glukosuria.

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang Diabetes Melitus.

Kecurigaan adanya Diabetes Melitus perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan

seperti:

8
a. Keluhan klasik Diabetes Melitus yaitu poliuria, polidipsia, polifagia dan

penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

b. Keluhan lain yaitu lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan

disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.

Menurut Perkeni (2011), kriteria diagnosis Diabetes Melitus tipe 2 adalah

sebagai berikut:

a. Pemeriksaan HbA1c (≥6,5%) dilakukan pada sarana laboratorium yang

telah terstandardisasi, atau;

b. Gejala klasik Diabetes Melitus ditambah glukosa plasma sewaktu ≥200

mg/dL. Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada

suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir, atau;

c. Gejala klasik Diabetes Melitus ditambah kadar glukosa darah plasma

puasa ≥126 mg/dL. Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan

sedikitnya 8 jam, atau;

d. Kadar glukosa plasma 2 jam pada tes toleransi glukosa oral (TTGO) ≥200

mg/dL. TTGO yang dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban

glukosa sebesar 75 gram yang dilarutkan ke dalam air.

Kadar tes laboratorium darah untuk menegakkan diagnosis diabetes dan

prediabetes dapat dilihat pada tabel 2.1.

Tabel 2.1 Kadar Tes Laboratorium Darah

Glukosa plasma 2
Glukosa darah puasa
HbA1c (%) jam setelah TTGO
(mg/dl)
(mg/dl)
Diabetes ≥ 6,5 ≥ 126 ≥ 200
Prediabetes 5,7 – 6,4 100 – 125 140 – 199
Normal < 5,7 <100 < 140
(Persatuan Endokrinologi Indonesia, 2015).

9
2.1.6 Penatalaksanaan Diabetes Melitus Tipe 2

Tujuan utama pada penatalaksanaan DM adalah menormalkan aktivitas

insulin dan kadar glukosa darah dalam upaya untuk mengurangi terjadinya

komplikasi vaskuler serta neuropatik, pengobatan utama dari Diabetes Melitus

tipe 1 adalah insulin, sedangkan untuk pengobatan utama Diabetes Mellitus tipe 2

adalah penurunan berat badan (Brunner & Suddart, 2002).

Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup

penyandang diabetes. Tujuan penatalaksanaan meliputi :

1. Tujuan jangka pendek yaitu menghilangkan keluhan DM, memperbaiki

kualitas hidup, dan mengurangi risiko komplikasi akut.

2. Tujuan jangka panjang yaitu mencegah dan menghambat progresivitas

penyulit mikroangiopati dan makroangiopati.

3. Tujuan akhir pengelolaan yaitu turunnya morbiditas dan mortalitas DM.

Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa

darah, tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien

secara komprehensif.

1. Langkah-langkah Penatalaksanaan Umum (PERKENI, 2015)

Perlu dilakukan evaluasi medis yang lengkap pada pertemuan pertama,

yang meliputi:

1. Riwayat Penyakit

a. Usia dan karakteristik saat onset Diabetes.

b. Pola makan, status nutrisi, status aktifitas fisik, dan riwayat perubahan

berat badan.

c. Riwayat tumbuh kembang pada pasien anak/dewasa muda.

10
d. Pengobatan yang pernah diperoleh sebelumnya secara lengkap, termasuk

terapi gizi medis dan DM secara mandiri.

e. Pengobatan yang sedang dijalani, termasuk obat yang digunakan,

perencanaan makan dan program latihan jasmani.

f. Riwayat komplikasi akut (ketoasidosis diabetik, hiperosmolar

hiperglikemia, hipoglikemia).

g. Riwayat infeksi sebelumnya, terutama infeksi kulit, gigi, dan traktus

urogenital.

h. Gejala dan riwayat pengobatan komplikasi kronik pada ginjal, mata,

jantung dan pembuluh darah, kaki, saluran pencernaan.

i. Pengobatan lain yang mungkin berpengaruh terhadap glukosa darah.

j. Faktor risiko seperti merokok, hipertensi, riwayat penyakit jantung

koroner, obesitas, dan riwayat penyakit keluarga (termasuk penyakit

Diabetes Melitus dan endokrin lain).

k. Riwayat penyakit dan pengobatan di luar DM.

l. Karakteristik budaya, psikososial, pendidikan, dan status ekonomi.

2. Pemeriksaan Fisik

a. Pengukuran tinggi dan berat badan.

b. Pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran tekanan darah dalam

posisi berdiri untuk mencari kemungkinan adanya hipotensi ortostatik.

c. Pemeriksaan funduskopi.

d. Pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid.

e. Pemeriksaan jantung.

f. Evaluasi nadi baik secara palpasi maupun dengan stetoskop.

11
g. Pemeriksaan kaki secara komprehensif (evaluasi kelainan vaskular,

neuropati, dan adanya deformitas).

h. Pemeriksaan kulit (akantosis nigrikans, bekas luka, hiperpigmentasi,

necrobiosis diabeticorum, kulit kering, dan bekas lokasi penyuntikan

insulin).

i. Tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DM tipe lain.

3. Evaluasi Laboratorium

a. Pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dan 2 jam setelah tes toleransi

glukosa oral (TTGO).

b. Pemeriksaan kadar HbA1c.

2. Langkah-langkah Penatalaksanaan Khusus

Penatalaksanaan DM dimulai dengan menerapkan pola hidup sehat (terapi

nutrisi medis dan aktivitas fisik) bersamaan dengan intervensi farmakologis

dengan obat anti hiperglikemia secara oral dan/atau suntikan. Obat anti

hiperglikemia oral dapat diberikan sebagai terapi tunggal atau kombinasi.

Pengetahuan tentang pemantauan gula darah mandiri, tanda dan gejala

hipoglikemia dan cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien. Pengetahuan

tentang pemantauan mandiri tersebut dapat dilakukan setelah mendapat pelatihan

khusus.

A. Edukasi

Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan

sebagai bagian dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang sangat penting

dari pengelolaan Diabetes Melitus secara holistik.

12
Edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi dibutuhkan

untuk memberikan pengetahuan mengenai kondisi pasien dan untuk mencapai

perubahan perilaku. Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah mandiri,

tanda, dan gejala hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan kepada

pasien

Perilaku hidup sehat bagi penyandang Diabetes Melitus adalah memenuhi

anjuran:

1. Mengikuti pola makan sehat.

2. Meningkatkan kegiatan jasmani dan latihan jasmani yang teratur

3. Menggunakan obat DM dan obat lainya pada keadaan khusus secara aman

dan teratur.

4. Melakukan pemantauan glukosa darah mandiri (PGDM) dan

memanfaatkan hasil pemantauan untuk menilai keberhasilan pengobatan.

5. Melakukan perawatan kaki secara berkala.

6. Memiliki kemampuan untuk mengenal dan menghadapi keadaan sakit akut

dengan tepat.

7. Mempunyai keterampilan mengatasi masalah yang sederhana, dan mau

bergabung dengan kelompok penyandang diabetes serta mengajak

keluarga untuk mengerti pengelolaan penyandang DM.

8. Mampu memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada.

B. Terapi Nutrisi Medis (TNM)

Terapi Nutrisi Medis merupakan bagian penting dari penatalaksanaan

Diabetes Melitus tipe 2 (DMT2) secara komprehensif. Kunci keberhasilannya

adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas

13
kesehatan yang lain serta pasien dan keluarganya). Guna mencapai sasaran terapi

nutrisi medis sebaiknya diberikan sesuai dengan kebutuhan setiap penyandang

DM.

Prinsip pengaturan makan pada penyandang DM hampir sama dengan

anjuran makan untuk masyarakat umum, yaitu makanan yang seimbang dan sesuai

dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Penyandang DM

perlu diberikan penekanan mengenai pentingnya keteraturan jadwal makan, jenis

dan jumlah kandungan kalori, terutama pada mereka yang menggunakan obat

yang meningkatkan sekresi insulin atau terapi insulin itu sendiri.

A. Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:

1. Karbohidrat

a. Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45–65% total asupan energi.

Terutama karbohidrat yang berserat tinggi.

b. Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan.

c. Glukosa dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang diabetes dapat

makan sama dengan makanan keluarga yang lain.

d. Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.

e. Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti glukosa, asal tidak

melebihi batas aman konsumsi harian (Accepted Daily Intake/ADI).

f. Dianjurkan makan tiga kali sehari dan bila perlu dapat diberikan makanan

selingan seperti buah atau makanan lain sebagai bagian dari kebutuhan

kalori sehari.

14
2. Lemak

a. Asupan lemak dianjurkan sekitar 20–25% kebutuhan kalori, dan tidak

diperkenankan melebihi 30% total asupan energi.

b. Komposisi yang dianjurkan:

- Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori.

- Lemak tidak jenuh ganda < 10 %.

- Selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal.

c. Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung

lemak jenuh dan lemak trans antara lain daging berlemak dan susu

fullcream.

d. Konsumsi kolesterol dianjurkan < 200 mg/hari.

3. Protein

a. Kebutuhan protein sebesar 10–20% total asupan energi.

Sumber protein yang baik adalah ikan, udang, cumi, daging tanpa lemak,

ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu dan

tempe.

b. Pada pasien dengan nefropati diabetik perlu penurunan asupan protein

menjadi 0,8 g/kg BB perhari atau 10% dari kebutuhan energi, dengan 65%

diantaranya bernilai biologik tinggi. Kecuali pada penderita DM yang

sudah menjalani hemodialisis asupan protein menjadi 1-1,2 g/kg BB

perhari.

4. Natrium

a. Anjuran asupan natrium untuk penyandang Diabetes Melitus sama dengan

orang sehat yaitu <2300 mg perhari.

15
b. Penyandang Diabetes Melitus yang juga menderita hipertensi perlu

dilakukan pengurangan natrium secara individual.

c. Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan

pengawet seperti natrium benzoat dan natrium nitrit.

5. Serat

a. Penyandang Diabetes Melitus dianjurkan mengonsumsi serat dari kacang-

kacangan, buah dan sayuran serta sumber karbohidrat yang tinggi serat.

b. Anjuran konsumsi serat adalah 20-35 gram/hari yang berasal dari berbagai

sumber bahan makanan.

B. Kebutuhan Kalori

Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan

penyandang DM, antara lain dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal

yang besarnya 25-30 kal/kg BB ideal. Jumlah kebutuhan tersebut ditambah atau

dikurangi bergantung pada beberapa faktor yaitu: jenis kelamin, umur, aktivitas,

berat badan, dan lain-lain. Beberapa cara perhitungan berat badan ideal adalah

sebagai berikut:

1. Perhitungan berat badan ideal (BBI) menggunakan rumus Broca yang

dimodifikasi:

a. Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg.

b. Bagi pria dengan tinggi badan <160 cm dan wanita <150 cm, rumus

dimodifikasi menjadi:

Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm - 100) x 1 kg

2. Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh (IMT).

a) Indeks massa tubuh dapat dihitung dengan rumus: IMT = BB (kg)/TB (m2)

16
b) Klasifikasi Indeks Massa Tubuh menurut Kementrian Kesehatan RI

(2013):

- Kategori kurus yaitu IMT <18,5 kg/m2.

- Kategori normal yaitu IMT ≥18,5 - <24,9 kg/m2.

- Kategori BB lebih yaitu IMT ≥25,0 - <27,0 kg/m2.

- Kategori obesitas yaitu IMT ≥27,0 kg/m2.

Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain:

1) Jenis Kelamin

Kebutuhan kalori basal perhari untuk perempuan sebesar 25 kal/kg

BB sedangkan untuk pria sebesar 30 kal/kg BB.

2) Umur

a. Pasien usia >40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5% untuk setiap

dekade antara 40 – 59 tahun.

b. Pasien usia 60 – 69 tahun, dikurangi 10%.

c. Pasien usia ≥70 tahun, dikurangi 20%.

3) Aktivitas Fisik atau Pekerjaan

Kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan intensitas aktivitas

fisik.

a. Penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada

keadaan istirahat.

b. Penambahan sejumlah 20% pada pasien dengan aktivitas ringan:

pegawai kantor, guru, ibu rumah tangga.

c. Penambahan sejumlah 30% pada aktivitas sedang: pegawai industri

ringan, mahasiswa, militer yang sedang tidak perang.

17
d. Penambahan sejumlah 40% pada aktivitas berat: petani, buruh, atlet,

militer dalam keadaan latihan.

e. Penambahan sejumlah 50% pada aktivitas sangat berat: tukang becak,

tukang gali.

4) Stres Metabolik

Penambahan 10-30% tergantung dari beratnya stress metabolik

(sepsis, operasi, trauma).

5) Berat Badan

a. Penyandang DM yang gemuk, kebutuhan kalori dikurangi sekitar 20-

30% tergantung kepada tingkat kegemukan.

b. Penyandang DM kurus, kebutuhan kalori ditambah sekitar 20-30%

sesuai dengan kebutuhan untuk meningkatkan BB.

Jumlah kalori yang diberikan paling sedikit 1000-1200 kal perhari

untuk wanita dan 1200-1600 kal perhari untuk pria.

C. Jasmani

Latihan jasmani merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan Diabetes

Melitus Tipe 2, apabila tidak disertai adanya nefropati. Kegiatan jasmani sehari-

hari dan latihan jasmani dilakukan secara secara teratur sebanyak 3–5 kali

perminggu selama sekitar 30–45 menit, dengan total 150 menit perminggu. Jeda

antar latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut. Dianjurkan untuk melakukan

pemeriksaan glukosa darah sebelum latihan jasmani. Apabila kadar glukosa darah

<100 mg/dL pasien harus mengkonsumsi karbohidrat terlebih dahulu dan bila

>250 mg/dL dianjurkan untuk menunda latihan jasmani. Kegiatan sehari-hari atau

18
aktivitas sehari-hari bukan termasuk dalam latihan jasmani meskipun dianjurkan

untuk selalu aktif setiap hari.

Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan

berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki

kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani

yang bersifat aerobik dengan intensitas sedang (50 – 70% denyut jantung

maksimal) seperti jalan cepat, bersepeda santai, jogging, dan berenang.

Pada penderita DM tanpa kontraindikasi (contoh: osteoartritis, hipertensi

yang tidak terkontrol, retinopati, nefropati) dianjurkan juga melakukan resistance

training (latihan beban) 2 – 3 kali/perminggu sesuai dengan petunjuk dokter.

Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran

jasmani. Intensitas latihan jasmani pada penyandang DM yang relatif sehat bisa

ditingkatkan, sedangkan pada penyandang DM yang disertai komplikasi intesitas

latihan perlu dikurangi dan disesuaikan dengan masing-masing individu.

3. Kriteria Pengendalian DM

Kriteria pengendalian didasarkan pada hasil pemeriksaan kadar glukosa,

kadar HbA1C, dan profil lipid. Definisi DM yang terkendali baik adalah apabila

kadar glukosa darah, kadar lipid, dan HbA1c mencapai kadar yang diharapkan,

serta status gizi maupun tekanan darah sesuai target yang ditentukan. Kriteria

keberhasilan pengendalian DM dapat dilihat pada Tabel 2.2.

19
Tabel 2.2 Sasaran Pengendalian DM

Parameter Sasaran
IMT (kg/m2) ≥18,5 – <24,9
Tekanan darah sistolik (mmHg) < 140
Tekanan darah diastolik (mmHg) < 90
Glukosa darah preprandial kapiler 80 – 130**
(mg/dl)
Glukosa darah 1-2 PP kapiler (mg/dl) < 180**
HbA1c (%) < 7 (atau individual)
< 100 (< 70 bila risiko KV sangat
Kolestrol LDL (mg/dl)
tinggi)
Kolestrol HDL (mg/dl) Laki-laki: > 40; Perempuan: > 50
Trigliserida (mg/dl) <150
Keterangan : KV = Kardiovaskular, PP = Post prandial
*Kementrian Kesehatan RI, 2013
** Standards of Medical Care in Diabetes, ADA 2015
(Persatuan Endokrinologi Indonesia, 2015).

2.2 Gambaran Umum Proses Asuhan Gizi Terstandar

Proses asuhan gizi terstandar (PAGT) adalah metode pemecahan masalah

yang sistematis, yang mana dietsien profesional menggunakan cara berfikir

kritisnya dalam membuat keputusan-keputusan untuk menangani berbagai

masalah yang berkaitan dengan gizi, sehingga dapat memberikan asuhan gizi yang

efektif dan berkualitas. Proses asuhan gizi hanya dilakukan pada pasien atau klien

yang terindentifikasi resiko gizi atau sudah malnutrisi dan membutuhkan

dukungan gizi individual. Identifikasi resiko gizi dilakukan melalui skrining gizi,

dimana metodenya tergantung dari kondisi dan fasilitas setempat. Misalnya

menggunakan Subjective Global Assement (SGA) (Sumapradja, 2011).

Kegiatan dalam PAGT diawali dengan melakukan pengkajian lebih

mendalam. Bila masalah gizi yang lebih spesifik telah ditemukan maka dari data

objektif dan subjektif pengkajian gizi dapat ditemukan, penyebab, derajat serta

area masalahnya. Berdasarkan fakta tersebut ditegakkanlah diagnosa gizi

kemudian ditentukan rencana intervensi gizi untuk dilaksanakan berdasarkan

20
diagnosa gizi yang terkait. Kemudian monitoring dan evaluasi gizi dilakukan

setelahnya untuk mengamati perkembangan dan respom pasien terhadap

intervensi yang diberikan. Bila tujuan tercapai maka proses ini dihentikan, namun

bila tidak tercapai atau terdapat masalah gizi baru maka proses berulang kembali

mulai dari pengkajian gizi yang baru (Sumapradja, 2011).

Proses asuhan gizi terstandar merupakan siklus yang terdiri dari langkah

yang berurutan dan saling berkaitan yaitu :

1. Pengkajian gizi (assessment)

2. Diagnosa gizi

3. Intervensi gizi

4. Monitoring dan evaluasi gizi (Sumapradja, 2011).

2.2.1 Pengkajian Gizi (Assessment)

Pengkajian gizi merupakan kegiatan mengumpulkan dan menganalisa data

untuk identifikasi masalah gizi yang terkait dengan aspek-aspek asupan zat gizi

dari makanan serta aspek klinis dan perilaku lingkungan yang disertai

penyebabnya. Langkah pertama dalam PAGT ini merupakan proses yang

dinamakan proses berkelanjutan, bukan hanya pengumpulan data awal tetapi

merupakan pengkajian dan analisi ulang kebutuhan pasien. Langkah ini

merupakan dasar untuk menegakkan diagnosa gizi. Data individual yang

diperoleh langsung dari pasien atau klien melalui wawancara, observasi dan

pengukuran ataupun melalui petugas kesehatan lain atau institusi yang merujuk

seperti rekam medis ataupun pemeriksaan laboratorium. Menurut Sumapradja

(2011) pengelompokan pengkajian data gizi awal terdiri dari :

a. Data antropometri

21
b. Data biokimia

c. Data fisik dan klinis

d. Data riwayat gizi dan makanan

e. Data riwayat personal

2.2.2 Diagnosa Gizi

Diagnosa gizi adalah identifikasi masalah gizi dari data penelitian gizi

yang menggambarkan kondisi gizi pasien saat ini, resiko hingga potensi terjadinya

masalah gizi yang dapat ditindaklanjuti agar dapat diberikan intervensi gizi yang

tepat (Anggraeni, 2012). Langkah diagnosa gizi ini merupakan langkah kritis

menjembatani antara pengkajian gizi dan intervensi gizi. Identifikasi masalah,

penyebab, dan hasil pengkajian gizi masalah tersebut. Melalui langkah ini

dietisien diarahkan untuk membuat prioritas dalam melaksanakan intervensi gizi.

Diagnosa gizi diuraikan atas komponen masalah gizi (problem), penyebab

(etiologi), serta tanda dan gejala adanya masalah (sign and symptoms)

(Sumapradja, 2011).

Diagnosa gizi terdiri dari 3 domain, yaitu:

a. Domain Intake (NI), merupakan kelompok permasalahan gizi

berhubungan dengan intake atau asupan gizi pasien.

b. Domain Klinis (NC), merupakan kelompok permasalahan gizi yang

berhubungan dengan keadaan fisik-klinis, kondisi medis dan hasil

pemeriksaan laboratorium pasien.

c. Domain Perilaku (NB), merupakan kelompok permasalahan gizi yang

berhubungan dengan kebiasaan hidup, perilaku, kepercayaan, lingkungan

dan pengetahuan pasien (Anggraeni, 2012).

22
2.2.3 Intervensi Gizi

Intervensi gizi adalah rangkaian kegiatan terencana dalam melakukan

tindakan kepada pasien untuk mengubah semua aspek yang berkaitan dengan gizi

pada pasien agar didapatkan hasil yang optimal (Anggraeni, 2012). Terdapat dua

komponen intervensi gizi menurut Peraturan Menteri Kesehatan (2013) yaitu:

1. Perencanaan Intervensi

Intervensi gizi dibuat merujuk pada diagnosis gizi yang ditegakkan.

Tetapkan tujuan dan prioritas intervensi berdasarkan masalah gizinya

(Problem), rancangan strategi intervensi berdasarkan penyebab masalahnya

(Etiologi) atau bila penyebab tidak dapat di intervensi maka strategi intervensi

ditujukan untuk mengurangi gejala/tanda (Sign & Symptom). Tentukan pula

jadwal dan frekuensi asuhan. Output dari intervensi ini adalah tujuan yang

terukur, preskripsi diet dan strategi pelaksanaan (implementasi). Perencanaan

intervensi meliputi:

a) Penetapan tujuan intervensi

Penetapan tujuan harus dapat diukur, dicapai dan ditentukan

waktunya.

b) Preskripsi diet

Preskripsi diet secara singkat menggambarkan rekomendasi mengenai

kebutuhan energi dan zat gizi individual, jenis diet, bentuk makanan,

komposisi zat gizi, dan frekuensi makan.

2. Implementasi Intervensi

Implementasi adalah bagian kegiatan intervensi gizi dimana dietsien

melaksanakan dan mengkomunikasikan rencana asuhan kepada pasien dan

23
tenaga kesehatan atau tenaga lain yang terkait. Suatu intervensi gizi harus

menggambarkan dengan jelas “apa, dimana, kapan, dan bagaimana” intervensi

itu dilakukan. Kegiatan ini juga termasuk pengumpulan data kembali, dimana

data tersebut dapat menunjukkan respons pasien dan perlu atau tidaknya

modifikasi intervensi gizi.

Untuk kepentingan dokumentasi dan persepsi yang sama, intervensi

dikelompokkan menjadi 4 domain yaitu pemberian makanan atau zat gizi,

edukasi gizi, konseling gizi dan koordinasi pelayanan gizi. Setiap kelompok

mempunyai terminologinya masing-masing.

2.2.4 Monitoring dan Evaluasi Gizi

Monitoring adalah pengawasan terhadap perkembangan keadaan pasien

serta pengawan penanganan pasien, apakah sudah sesuai dengan yang ditentukan

oleh ahli gizi. Sedangkan evaluasi adalah proses penentuan seberapa jauh tujuan-

tujuan telah tercapai. Kegiatan monitoring dan evaluasi gizi dilakukan untuk

mengetahui respon pasien/klien terhadap intervensi dan tingkat keberhasilannya

(Anggraeni, 2012).

Tiga langkah kegiatan monitoring dan evaluasi gizi menurut Peraturan

Menteri Kesehatan (2013) yaitu :

1. Monitor perkembangan yaitu kegiatan mengamati perkembangan kondisi

pasien yang bertujuan untuk melihat hasil dari intervensi yang telah

diberikan. Kegiatan yang berkaitan dengan monitoring gizi antara lain:

a. Mengecek pemahaman dan ketaatan diet pasien/klien.

b. Mengecek asupan makan pasien/klien.

24
c. Menentukan apakah intervensi dilaksanakan sesuai dengan

rencana/preskripsi diet.

d. Menentukan apakah status gizi pasien/klien tetap atau berubah.

e. Mengidentifikasi hasil lain baik yang positif maupun negatif.

f. Mengumpulkan informasi yang menunjukan alasan tidak adanya

perkembangan dari kondisi pasien/klien.

2. Mengukur hasil.

Kegiatan ini adalah mengukur perkembangan atau perubahan yang

terjadi sebagai respon terhadap intervensi gizi. Parameter yang harus diukur

berdasarkan tanda dan gejala dari diagnosa gizi.

3. Evaluasi hasil

Berdasarkan ketiga tahapan kegiatan diatas akan didapatkan 4 jenis

hasil, yaitu:

a. Dampak perilaku dan lingkungan terkait gizi yaitu tingkat pemahaman,

perilaku, akses, dan kemampuan yang mungkin mempunyai pengaruh

pada asupan makanan dan zat gizi.

b. Dampak asupan makanan dan zat gizi merupakan asupan makanan dan

atau zat gizi dari berbagai sumber, misalnya makanan, minuman,

suplemen dan melalui rute enteral maupun parenteral.

c. Dampak terhadap tanda dan gejala fisik yang terkait gizi yaitu pengukuran

yang terkait dengan antropometri, biokimia dan parameter pemeriksaan

fisik/klinis.

d. Dampak terhadap pasien/klien terhadap intervensi gizi yang diberikan

pada kualitas hidupnya.

25
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Desain Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan desain

studi kasus (case study). Peneliti melakukan asuhan gizi pada 1 orang pasien

Diabetes Mellitus tipe 2.

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari 2018 hingga Mei 2018.

Waktu tersebut telah meliputi pengambilan data, pengajuan proposal penelitian,

pengurusan izin penelitian dan penelitian. Intervensi gizi dilaksanakan pada

tanggal 11 Mei 2018 hingga 14 Mei 2018. Tempat penelitian ini dilaksanakan di

RSUD Pasar Minggu Jakarta Selatan.

3.3 Subjek Penelitian

` Subjek penelitian ini adalah pasien Diabetes Melitus tipe 2 yang dipilih

menggunakan metode purposive sampling yang memenuhi kriteria sebagai

berikut:

1. Terdiagnosa medis penyakit Diabetes Melitus tipe 2.

2. Merupakan pasien rawat inap.

3. Kadar HbA1c >6,5%

4. Mendapatkan diet Diabetes Melitus tipe 2.

5. Penelitian dilakukan saat pasien masuk rumah sakit pertama kali hingga

kepulangan minimal 4 hari berturut-turut.

6. Bersedia menjadi subjek penelitian yang dibuktikan dengan lembar

persetujuan.

26
3.4 Jenis dan Teknik Pengumpulan Data

3.4.1 Data Primer

Merupakan sumber data yang diperoleh langsung dari subjek penelitian,

data primer meliputi :

a. Data karakteristik pasien yaitu (1) data umum pasien seperti nama, umur,

jenis kelamin, tingkat pendidikan; (2) riwayat obat-obatan atau suplemen

yang sering dikonsumsi; (3) sosial budaya seperti status sosial ekonomi,

budaya, kepercayaan/agama, situasi rumah, dukungan pelayanan kesehatan

dan sosial serta hubungan sosial; (4) riwayat penyakit seperti keluhan utama

yang terkait dengan masalah gizi, riwayat penyakit dulu dan sekarang,

penyakit kronik atau resiko komplikasi, riwayat penyakit keluarga, status

kesehatan mental/emosi serta kemampuan kognitif. Data ini diperoleh

dengan melakukan wawancara langsung kepada pasien ataupun keluarga

pasien.

b. Data antropometri yaitu data tinggi badan (TB) dan berat badan (BB)

pasien. Data tinggi badan dapat didapatkan dengan cara melakukan

pengukuran dengan alat ukur yaitu microtoise dan data berat badan (BB)

dapat didapatkan dengan cara melakukan pengukuran dengan alat ukur yaitu

timbangan.

c. Data riwayat gizi yaitu data asupan makanan pasien termasuk komposisi,

pola makan, diet saat ini yang dapat diperoleh dengan cara melakukan

metode food recall 1 x 24 jam. Metode food recall dilaksanakan melalui

observasi dan wawancara.

27
3.4.2 Data Sekunder

Merupakan sumber data yang diperoleh secara tidak langsung dari subjek

penelitian, data sekunder meliputi:

a. Data biokimia berupa data tes hasil laboratorium terkait gizi, data ini

diperoleh dari catatan rekam medis pasien. Data tes hasil laboratorium

terkait gizi pada penyakit Diabetes Melitus adalah glukosa darah sewaktu,

glukosa darah puasa, HbA1c, HDL, LDL, trigliserida data lainnya.

b. Data pemeriksaan fisik/klinis berupa data terkait evaluasi sistem tubuh,

penampilan keseluruhan, sistem pencernaan serta tanda-tanda vital yang

diperoleh dari catatan rekam medis pasien. Data pemeriksaan fisik/klinis

yang terkait dengan Diabetes Melitus adalah pengukuran tekanan darah,

pemeriksaan palpasi nadi, pemeriksaan kulit apakah ditemukan akantosis

nigrikans, bekas luka, hiperpigmentasi, necrobiosis diabeticorum, kulit

kering dan bekas penyuntikan insulin, apakah ditemukan kelainan

neuropati dan kelainan kulit mikrovaskuler DM tipe 2.

3.5 Pengolahan dan Analisa Data

Pengolahan data dilakukan dengan memeriksa data-data yang telah

dikumpulkan baik melalui pengamatan, wawancara dan rekam medik pasien,

kemudian data tersebut dikelompokkan menurut jenisnya dan dibandingkan

dengan standar yang telah ditetapkan. Data monitoring dan evaluasi diperoleh

dengan membandingkan antropometri, biokimia, klinis/fisik, tingkat konsumsi

sebelum dan setelah dilakukan monitoring. Data yang telah dikumpulkan

kemudian diolah, disajikan dalam tabel dan di analisis secara deskriptif.

28
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum Tempat Penelitian

Rumah Sakit Umum Daerah Pasar Minggu merupakan salah satu Rumah

Sakit milik Pemerintah Daerah tipe B yang beralamat dijalan TB. Simatupang No.

1 Jakarta Selatan. Rumah Sakit Umum Daerah Pasar Minggu melayani pasien

rawat inap dan rawat jalan dan termasuk didalamnya melayani kebutuhan diet

makan pasien. Sistem penyelenggaraan makanan di unit gizi Rumah Sakit Umum

Daerah Pasar Minggu melayani kebutuhan diet seluruh pasien. Sistem

penyelenggaraan makanan Rumah Sakit Umum Daerah Pasar Minggu merupakan

penyelenggaraan makanan full-outsourcing dimana seluruh pelayanan makanan

yang diterima oleh seluruh pasien berasal dari pengusaha jasa boga yang ditunjuk

tanpa menggunakan sarana dan prasarana atau tenaga rumah sakit.

Rumah Sakit Umum Daerah Pasar Minggu melayani pasien dengan

kapasitas 455 tempat tidur yang terbagi menjadi beberapa kelas ruangan, meliputi

kelas VVIP, VIP, kelas 1, kelas 2, kelas 3, ruangan khusus HCU, ruangan khusus

ICU, ruangan khusus ICCU, ruangan khusus NICU dan ruangan khusus PICU.

Untuk semua kelas diberikan makan utama 3 kali sehari, makanan selingan 2 kali

sehari dengan porsi dan diet yang sesuai dan waktu pelayanan selama jam

operasional kerja gizi (RSUD Pasar Minggu, 2018).

29
4.2 Pengkajian Data

4.2.1 Identitas Pasien

Penelitian ini dilakukan melalui observasi tentang identitas pasien yang

meliputi nama, jenis kelamin, usia dan diagnosis medis dengan melihat rekam

medis pasien. Berikut data gambaran umum pasien yang disajikan pada Tabel 4.1:

Tabel 4.1 Identitas Umum Pasien

Keterangan Hasil
Nama Ny. SR
Jenis kelamin Perempuan
Usia 42 tahun 7 bulan 7 hari
Diagnosis medis CKD, Hiperglikemia, HT emergensi
Tanggal masuk RS 10 Mei 2018
Tanggal pengkajian gizi awal 11 Mei 2018
Ruang dan kelas perawatan Alamanda 1109B / III
Keluhan pasien saat kunjungn Lemas,sesak napas dan mual
Riwayat penyakit dahulu Diabetes Melitus tipe 2, Dispepsia,
susp nefropati DM
Pekerjaan Ibu Rumah Tangga
Agama Islam
Suku Jawa

Ny. SR di diagnosis mengalami Diabetes Melitus tipe 2 sejak tahun 2016.

Ny. SR tinggal bersama dengan suami dan 2 orang anak. Sebelumnya, Ny. SR

sudah pernah dirawat dengan diagnosis medis yang sama, hanya saja baru

diketahui mengalami komplikasi saat masuk rumah sakit pada tanggal 10 Mei

2018.

4.2.2 Data Antropometri

Hasil pengukuran antropometri serta status gizi pasien selama pengamatan

disajikan dalam Tabel 4.2.

30
Tabel 4.2 Hasil Antropometri

Keterangan Hasil
Berat badan sekarang 58 kg
Tinggi badan 147 cm
Berat badan ideal 47 kg

Tabel 4.2 menunjukkan hasil pengukuran antropometri pasien. Pada awal

pengamatan dilakukan pengukuran antropometri pasien yaitu dengan

menggunakan berat badan dan tinggi badan untuk mendapatkan hasil Indeks

Massa Tubuh. Pasien mengalami edema, dilakukan perhitungan koreksi berat

badan pasien sebesar 10%, sehingga estimasi perhitungan Indeks Massa Tubuh

pasien yaitu 24,16 kg/m2 yang dikategorikan status gizi normal.

4.2.3 Data Biokimia

Data biokimia meliputi hasil pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan yang

berkaitan dengan status gizi, status metabolik dan gambaran fungsi organ yang

berpengaruh terhadap timbulnya masalah gizi. Pengambilan kesimpulan dari data

laboratorium terkait masalah gizi harus selaras dengan data assessmen gizi lainnya

seperti riwayat gizi yang lengkap termasuk penggunaan suplemen, pemeriksaan

fisik, dan sebagainya (Kementrian Kesehatan RI, 2014).

Adapun hasil pemeriksaan laboratorium pasien pada saat masuk Rumah

Sakit disajikan dalam Tabel 4.3.

31
Tabel 4.3 Data Hasil Pemeriksaan Laboratorium Awal
Tanggal 11 Mei 2018

Pemeriksaan Hasil Lab Nilai normal Keterangan


Hemoglobin 8,9 11.7 – 15.5 mg/dL Rendah
Hematokrit 31 35 – 47% Normal
MCV 77 80 – 100 fl Normal
MCH 23 26 – 34 pg Normal
MCHC 29 32 – 36 g/dL Normal
Glukosa Darah Sewaktu 238 70 – 180 mg/dL Tinggi
HbA1c 12,5 5,7 – 6,4% Tinggi
Ureum 170 <48 mg/dL Tinggi
Kreatinin 5,88 0.6 – 1.1 mg/dL Tinggi
Natrium 144 135 – 147 mEq/L Normal
Kalium 3,6 3.5 – 5 mEq/L Normal
Chlorida 100 95 – 105 mEq/L Normal
Sumber: Data Rekam Medik RSUD Pasar Minggu, Mei 2018

Tabel 4.3 menunjukkan hasil pengukuran biokimia pasien. Pada awal

pengamatan, hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan nilai Glukosa Darah

Sewaktu dan HbA1c tinggi yaitu 238 mg/dL dan 12,5%, tingginya kadar glukosa

darah sewaktu dan kadar HbA1c hingga melebihi normal berkaitan dengan

diagnosis medis pasien yaitu mengalami Diabetes Melitus tipe 2.

Hasil pemeriksaan laboratorium pasien menunjukkan nilai Ureum dan

Kreatinin tinggi yaitu 170 mg/dL dan 5,88 mg/dL. Nilai Tes Kliren Kreatinin

yang dihasilkan yaitu 11,41 ml/menit. Menurut Almatsier (2010), tingginya kadar

ureum dan kreatinin darah hingga melebihi nilai normal dan TKK <25 ml/menit

berkaitan dengan diagnosis penyakit pasien yaitu CKD (Chronic Kidney

Desease/Gagal Ginjal Kronik).

Dalam pemeriksaan laboratorium ditemukan juga kadar hemoglobin yang

rendah. Pada pasien yang menderita GGK biasanya terjadi anemia (hemoglobin

<11,7 mg/dL) disebabkan hormon erythropoietin di produksi ginjal yang bertugas

memproduksi sel darah merah menurun (Hartono A, 2004).

32
4.2.4 Data Fisik Klinis

Hasil pemeriksaan fisik klinis pasien pada awal pengamatan disajikan

dalam Tabel 4.4.

Tabel 4.4 Hasil Pemeriksaan Fisik Klinis Pasien

Pemeriksaan Hasil Nilai normal


Keadaan umum Pasien pucat, lemas dan sesak -
Kesadaran Composmentis Composmentis
Edema Positif (bengkak pada kaki) Negatif
Tekanan darah 170/100 mmHg 120/80 mmHg
Nadi 70 x/menit 80 – 100 x/menit
Respirasi 20 x/menit 16 – 20x/menit
Suhu 36°C 36,5 – 37,5°C
Keluhan Mual dan agak sesak Tidak ada
Sumber: Data Rekam Medik RSUD Pasar Minggu, Mei 2018.

Tabel 4.4 menunjukkan hasil pemeriksaan fisik klinis pasien pada awal

pengamatan. Pasien masuk rumah sakit dengan keluhan sesak dan kaki bengkak

sejak 1 minggu dan keadaan ini semakin memburuk 2 hari Sebelum Masuk

Rumah Sakit (SMRS) serta mual. Bedasarkan hasil observasi keadaan umum,

pasien pucat, badan lemas, sesak napas dan mengalami mual. Hasil pemeriksaan

fisik klinis juga menunjukkan bahwa pasien memiliki tekanan darah tinggi yaitu

170/100 mmHg tergolong Hipertensi grade 2 dan hasil pemeriksaan nadi

menunjukkan dibawah normal yaitu 70x/menit.

4.2.5 Data Riwayat Gizi

1) Riwayat Gizi Dahulu

Riwayat gizi dahulu meliputi kebiasaan dan pola makan pasien sebelum

masuk rumah sakit. Dalam kasus ini, pasien memiliki kebiasaan makan yang

teratur yaitu 3 kali makan utama dan 2 kali makan selingan dalam sehari, pasien

suka mengonsumsi sayuran sebanyak 1 porsi/penukar setiap waktu makan utama.

Pasien memiliki kebiasan makan selingan pada waktu pagi dan sore, selingan

33
yang biasa dikonsumsi pasien yaitu biskuit atau roti gandum sebanyak 2 potong.

Pasien tidak memiliki riwayat alergi terhadap makanan tertentu.

Pasien di diagnosis menderita Diabetes Melitus tipe 2 semenjak 2 tahun

yang lalu dan di diagnosis GGK semenjak masuk rumah sakit. Pasien sebelumnya

sudah mendapat konsultasi gizi semenjak terdiagnosis Diabetes Melitus tipe 2.

Berdasarkan wawancara, pasien sudah mengikuti anjuran diet yang diberikan oleh

ahli gizi rumah sakit, salah satunya pasien mulai mengkonsumsi beras merah dan

mengurangi pemakaian gula pasir.

2) Riwayat Gizi Sekarang

Selain data riwayat gizi dahulu, diperlukan juga data riwayat gizi saat ini

untuk mengetahui pola dan asupan responden saat dirawat di rumah sakit. Berikut

hasil recall makan pasien saat berada di Rumah Sakit disajikan dalam tabel 4.5.

Tabel 4.5 Hasil Recall 1x24 jam Rumah Sakit tanggal 11 Mei 2018

Zat gizi Asupan Kebutuhan % Asupan Interpretasi


Energi (kkal) 380,15 1.568,72 24,24% Kurang
Protein (g) 12,67 41,76 30,34% Kurang
Lemak (g) 7,78 51,14 15,21% Kurang
Karbohidrat (g) 62,17 235,24 26,43% Kurang

Berdasarkan Tabel 4.5 menunjukkan bahwa semua asupan zat gizi pasien

berada dibawah kebutuhan. Hal ini terjadi akibat nafsu makan pasien menurun

karena mengalami mual dan sesak, sehingga hasil yang didapatkan menunjukkan

rata-rata asupan pasien selama 1x24 jam masuk rumah sakit adalah 24% dari total

kebutuhan zat gizi.

34
4.3 Diagnosis Gizi Pasien

Diagnosis gizi merupakan suatu hubungan antara masalah (problem),

penyebab (etiology) dan tanda dan gejala (sign & symptoms). Diagnosis gizi

terdiri dari tiga domain, yaitu domain asupan (intake), domain klinik (clinic) dan

domain perilaku (behaviour). Adapun diagnosa gizi yang dimiliki pasien disajikan

dalam Tabel 4.6.

Tabel 4.6 Diagnosis Gizi


Problem Etiology Sign/Symptom
NB. Domain Intake
NI.2.1 Asupan oral tidak Berkaitan dengan Ditandai dengan
adekuat terbatasnya daya terima persentase asupan energi
makanan akibat faktor saat masuk rumah sakit
fisiologis pasien yaitu tidak mencukupi
mengalami mual dan kebutuhan energi total,
muntah yaitu hanya 24,24%
NI.3.2 Asupan cairan Berkaitan dengan Ditandai dengan bukti
yang berlebih penyebab fisiologis fisik yaitu terjadinya
pasien yaitu gangguan edema pada kaki
ginjal dan endokrin
(diabetes melitus tipe 2)
NC. Domain Klinis
NC.2.2 Perubahan nilai Berkaitan dengan Ditandai dengan hasil
lab terkait gizi disfungsi endokrin dan GDS tinggi (238 mg/dl),
ginjal (diagnosis medis Ureum tinggi (170
Hiperglikemia pada DM mg/dl), Kreatinin tinggi
tipe 2 dan CKD) (5,88 mg/dl), Hb rendah
(8,9 mg/dl)

Diagnosis penyakit pasien pada saat masuk rumah sakit (MRS) adalah

Hiperglikemia pada Diabetes Melitus tipe 2, CKD (Chronic Kidney

Desease/Gagal Ginjal Kronik) dan Hipertensi. Diagnosis ditegakkan berdasarkan

data subyektif dan obyektif pasien, terutama ditemukan adanya peningkatan kadar

glukosa darah sewaktu, peningkatan kadar ureum dan kreatinin yang tinggi dan

tekanan darah yang tinggi.

35
4.4 Intervensi Gizi

1. Rencana Intervensi

a. Jenis Diet : Diet DM 1500 kkal, R. Protein (P40), R. Garam II

b. Bentuk Makanan : Makanan Lunak

c. Frekuensi Pemberian : 3x Makanan Utama dan 2x Makanan Selingan

d. Rute Pemberian : Oral

e. Tujuan Diet :

1) Memberikan cukup energi untuk mencapai dan mempertahankan status

gizi optimal.

2) Mempertahankan kadar glukosa darah dan tekanan darah supaya

mendekati normal.

3) Memberikan makanan secukupnya tanpa memberatkan kerja ginjal.

4) Mencegah terjadinya penurunan fungsi ginjal.

5) Mencegah retensi garam atau air dalam jaringan tubuh.

f. Prinsip dan Syarat Diet :

1) Energi adekuat, yaitu 25 kkal/kg BB sebesar 1.568,28 kkal yang diberikan

secara bertahap dimulai dengan Energi 1300 kkal

2) Kebutuhan protein rendah, yaitu 10,65% dari kebutuhan energi total atau

0,8 g/kg BB. Diutamakan sumber protein yang bernilai biologik tinggi

karena pasien juga mengalami anemia.

3) Karbohidrat cukup yaitu 60% dari kebutuhan energi total sebesar 235,24 g.

4) Lemak cukup yaitu 29,35% dari kebutuhan energi total sebear 51,14 g.

5) Natrium rendah, yaitu 800 mg terkait dengan pasien mengalami edema dan

hipertensi.

36
6) Makanan mudah cerna dan tidak menimbulkan gas.

7) Bentuk makanan lunak disesuaikan dengan keadaan penyakit pasien.

g. Perhitungan Kebutuhan Energi dan Zat Gizi Pasien

Kebutuhan energi dan zat gizi pasien dihitung dengan menggunakan

rumus Perkeni (2015).

1) Perhitungan Kebutuhan Energi

a. Kebutuhan kalori basal

= 25 kkal x kg BBA

= 25 kkal x 52,2

= 1305 kkal (a)

b. Faktor koreksi umur

= Kebutuhan Kalori – 5 % (a)

= 1305 kkal – 5 %

= 1239, 75 kkal (b)

c. Faktor koreksi aktifitas fisik

= Kebutuhan Kalori + 10 % (b)

= 1239, 75 kkal + 10 %

= 1363, 72 kkal (c)

d. Faktor koreksi stress metabolik

= Kebutuhan kalori + 15 % (c)

= 1363, 72 kkal + 15 %

= 1568,28 kkal (d)

37
2) Perhitungan Kebutuhan Protein

= 0,8 gr x kg BBA

= 0,8 gr x 52,2 kg

= 41, 76 g

3) Pehitungan Kebutuhan Lemak

= 29,35 % x Kebutuhan Energi (d) / 9 kal

= 29,35 % x 1568,28 kkal / 9 kal

= 460,29 kkal / 9 kal = 51,14 g

4) Perhitungan Kebutuhan Karbohidrat

= 60 % x Kebutuhan Energi (d) / 4 kal

= 60 % x 1568,28 kkal / 4 kal

= 940,96 kkal / 4 kal = 235,24 g

Kebutuhan energi dihitung dengan menggunakan rumus Perkeni

berdasarkan berat badan aktual, faktor koreksi umur, faktor koreksi aktifitas dan

faktor koreksi stress metabolik. Kebutuhan protein dihitung dengan menggunakan

rumus 0,8 g/kg BB/hari sebesar 41,76 g dan diutamakan sumber protein yang

memiliki nilai biologis tinggi. Kebutuhan karbohidrat dihitung dengan

menggunakan nilai 60% dari kebutuhan energi total sebesar 235,24 g dan

kebutuhan lemak 29,35% dari kebutuhan energi total sebesar 51,14 g. Pemberian

rendah garam II sebesar 2 g dengan kandungan natrium sebesar 800 mg, karena

pasien mengalami edema dan hipertensi.

38
2. Rencana Edukasi Gizi

1) Tujuan edukasi gizi :

Memberikan informasi gizi yang berkaitan dengan penyakit pasien agar

pasien dapat mengikuti dan menerapkan anjuran diet setelah pasien keluar dari

rumah sakit. Informasi yang disampaikan yaitu berupa pemilihan bahan makanan

yang dianjurkan dan yang tidak dianjurkan bagi pasien serta bahan makanan yang

harus dibatasi konsumsinya.

2) Waktu edukasi gizi : 30 menit

3) Sasaran edukasi gizi : Pasien dan Keluarga

4) Metode edukasi gizi : Konseling

5) Media edukasi gizi : Leaflet dan Bahan Penukar

6) Tempat dukasi gizi : Ruang rawat inap pasien

7) Materi :

a. Pembahasan mengenai pengertian dan penyebab terjadinya Diabetes

Melitus dan Gagal Ginjal Kronik

b. Tujuan diberikannya diet DM, P40 (R. Protein) dan R. Garam II kepada

pasien.

c. Memberikan edukasi mengenai pemilihan bahan makanan yang

dianjurkan, bahan makanan yang tidak dianjurkan dan bahan makanan

yang harus dibatasi konsumsinya oleh pasien.

39
4.5 Hasil Monitoring dan Evaluasi

1. Monitoring dan Evaluasi Data Antropometri

Antropometri merupakan pengukuran fisik pada individu. Pada kasus ini,

monitoring dan evaluasi tidak dilakukan karena pasien susah berdiri yang

disebabkan adanya edema pada kaki, sehingga untuk menentukan status gizi

menggunakan berat badan pasien saat masuk IGD (Instalasi Gawat Darurat).

2. Monitoring dan Evaluasi Data Biokimia

Pemeriksaan laboratorium merupakan salah satu aspek yang penting dalam

pelaksanaan asuhan gizi pada Diabetes Mellitus tipe 2 dengan komplikasi Gagal

Ginjal Kronik. Data-data biokimia meliputi hasil pemeriksaan laboratorium,

pemeriksaan yang berkaitan dengan status gizi, status metabolik, dan gambaran

fungsi organ yang berpengaruh terhadap timbulnya masalah gizi. Pengambilan

kesimpulan dari data laboratorium terkait masalah gizi harus selaras dengan data

assessmen gizi lainnya seperti riwayat gizi yang selaras termasuk penggunaan

suplemen, pemeriksaan fisik dan sebagainya (Kementrian Kesehatan RI, 2013).

Data pemeriksaan laboratorium pada pasien selama pengamatan disajikan

dalam Tabel 4.7.

Tabel 4.7 Data Monitoring Pemeriksaan Laboratorium


Hasil
Pemeriksaan Nilai Normal
11/05/2018 12/05/2018 13/05/2018 14/05/2018
Hemoglobin 8,9 - 8,6 - 11.7 – 15.5 mg/dL
Hematokrit 31 - 29 - 35 – 47%
MCV 77 - 77 - 80 – 100 fl
MCH 23 - 23 - 26 – 34 pg
MCHC 29 - 30 - 32 – 36 g/dL
Glukosa Darah 238 230 272 163 70 – 180 mg/dL
Ureum 170 - 156 - <48 mg/dL
Kreatinin 5,88 - 5,89 - 0.6 – 1.1 mg/dL
Natrium 144 - 138 - 135 – 147 mEq/L
Kalium 3,6 - 3,30 - 3.5 – 5 mEq/L
Chlorida 100 - 97 - 95 – 105 mEq/L
Sumber: Data Rekam Medik RSUD Pasar Minggu, Mei 2018

40
Pada Tabel 4.7 dapat dilihat bahwa kadar hemoglobin dan hematokrit

masih rendah. Salah satu intervensi gizi yang diberikan untuk meningkatkan kadar

hemoglobin adalah melalui pemberian makanan yang mengandung Fe yang tinggi

seperti daging ayam, daging sapi dan telur. Pada pasien yang menderita GGK

biasanya terjadi anemia (hemoglobin <11,7 mg/dL dan hematokrit <35%)

disebabkan hormon erythropoietin di produksi ginjal yang bertugas memproduksi

sel darah merah menurun (Hartono A, 2004).

Dari Tabel 4.7 dapat dilihat terjadi penurunan kadar glukosa darah

sewaktu, dari awal pengamatan 238 mg/dL menjadi 163 mg/dL di akhir

pengamatan. Hal ini terjadi dikarenakan pengaruh dari pemberian obat-obatan

antidiabetik serta terapi diet berupa diet diabetes melitus 1500 kkal.

Pada akhir pengamatan, terjadi penurunan nilai ureum tetapi masih dalam

kategori tinggi dan kreatinin tidak mengalami perubahan yang signifikan dari

awal hingga akhir pengamatan dikarenakan pasien tidak mengalami hemodialisa.

Hal ini sesuai dengan pernyataan (Brunner & Suddarth, 2002) bahwa diet rendah

protein dapat menghambat progresifitas gagal ginjal dan memperlambat

kemungkinan terapi dialisis tetapi tidak menurunkan kadar ureum dan kreatinin

darah.

3. Monitoring dan Evaluasi Data Fisik Klinis

Hasil pemeriksaan fisik klinis pada awal dan akhir pengamatan dapat

dilihat pada Tabel 4.8.

41
Tabel 4.8 Monitoring Hasil Pemeriksaan Fisik Klinis Pasien

Hasil
Pemeriksaan
11/05/2018 12/05/2018 13/05/2018 14/05/2018
Keadaan umum Sakit Sedang Sakit Sedang Sedang Sedang
Kesadaran Composmentis Composmentis Composmentis Composmentis
Edema + + + +
TD (mmHg) 170/100 140/90 130/70 120/70
Nadi (x/menit) 68 84 86 82
RR (x/menit) 20 20 20 20
Suhu (°C) 36,2 36,3 36 36,3
Lemas, mual, Lemas, mual,
Keluhan Lemas Lemas
sesak napas, sesak napas,
Sumber: Data Rekam Medik RSUD Pasar Minggu, Mei 2018

Dari Tabel 4.8 dapat dilihat bahwa terjadi penurunan tekanan darah. Di

awal pengamatan tekanan darah pasien 170/100 mmHg menjadi 120/70 mmHg di

akhir pengamatan. Hal ini dapat disebabkan karena intervensi gizi berupa

pemberian diet rendah garam II yang bertujuan untuk membantu menurunkan

tekanan darah. Diet rendah garam II mengandung kadar natrium sebesar 800 mg.

Berdasarkan Tabel 4.8 juga dapat dilihat bahwa keluhan pasien mulai berkurang.

Pasien tidak lagi mengalami mual dan sesak napas, hanya masih terlihat lemas.

4. Monitoring dan Evaluasi Terapi Diet

Intervensi terapi diet yang diberikan dapat dilihat pada Tabel 4.9.

Tabel 4.9 Monitoring Terapi Diet

Terapi Diet Hasil


Jenis Diet Diet DM, Rendah Protein (P40),
Rendah Garam II
Bentuk Makanan Makanan Lunak
Frekuensi Pemberian 3x Makanan Utama dan 2x Makanan
Selingan
Rute Pemberian Oral

Tabel 4.9 menunjukkan terapi diet yang diberikan kepada Ny. SR yaitu

jenis diet, bentuk makanan, frekuensi pemberian dan rute pemberian makanan.

Terapi diet dari hari pertama pengamatan hingga hari terakhir pengamatan tidak

mengalami perubahan.

42
Hasil monitoring asupan zat gizi pasien selama dirumah sakit dapat dilihat

pada Tabel 4.10.

Tabel 4.10 Monitoring Asupan Zat Gizi

Zat Gizi
11/05/2018 12/05/2018 13/05/2018 14/05/2018
Tanggal
Energi (kkal) 24,24% 36,98% 69,71% 74,98%
Protein (g) 30,34% 38,31% 83,98% 95,02%
Lemak (g) 15,21% 34,06% 61,38% 57,84%
Karbohidrat (g) 26,43% 36,69% 68,18% 68,18%

Tabel 4.10 menunjukkan hasil asupan Ny. SR selama 4 hari. Setelah

dilakukan pengkajian gizi dan penetapan diagnosis gizi pasien, kemudian

diberikan terapi gizi dengan pemberian makanan yang sesuai dengan kebutuhan.

Diet yang diberikan yaitu diet Diabetes Melitus 1500 kkal dengan Rendah Protein

(P 40 g) dan Rendah Garam II dalam bentuk makanan lunak dengan frekuensi 3

kali makan utama dan 2 kali selingan. Pemberian makanan lunak terkait dengan

kondisi pasien yang mual, muntah dan agak sesak. Sesuai dengan tujuan

pemberian diet yaitu untuk mempertahankan status gizi optimal, mempertahankan

kadar glukosa darah dan tekanan darah supaya mendekati normal dan mencegah

terjadinya penurunan fungsi ginjal.

Hasil intervensi zat gizi yang diberikan kepada Ny. SR akan dibahas pada

Gambar 4.1 :

43
Grafik Asupan Energi
80.00%
Persen Asupan Energi 70.00%
60.00%
50.00%
40.00%
30.00%
20.00%
10.00%
0.00%
11-May-18 12-May-18 13-May-18 14-May-18
Tanggal Pengamatan

Energi

Gambar 4.1 Tingkat Konsumsi Energi Pasien selama Pengamatan di RS

Pada Gambar 4.1 terjadi peningkatan asupan energi dari 24,24% di awal

pengamatan menjadi 75,98% di akhir pengamatan. Peningkatan asupan energi

terjadi karena pasien mampu menghabiskan sedikit demi sedikit makanan yang

disajikan dan mual sudah berkurang dari hari ke hari. Konsumsi energi pasien

yang adekuat penting untuk mencegah terjadi pemecahan protein dan lemak

dalam tubuh pasien sebagai sumber tenaga. Selain itu, konsumsi energi yang

adekuat dapat membantu pasien untuk mencapai dan mempertahankan status

energi yang optimal (Almatsier, 2006).

44
Grafik Asupan Protein
100.00%
Persntase Asupan Protein 90.00%
80.00%
70.00%
60.00%
50.00%
40.00%
30.00%
20.00%
10.00%
0.00%
11-May-18 12-May-18 13-May-18 14-May-18
Tanggal Pengamatan

Protein

Gambar 4.2 Tingkat Konsumsi Protein Pasien selama Pengamatan di RS

Pada Gambar 4.2 terjadi peningkatan asupan protein dari 30,34% di awal

pengamatan menjadi 95,02% di akhir pengamatan. Pemberian makanan sumber

protein selama 4 hari pengamatan sudah sesuai dengan kebutuhan pasien dan tidak

menyalahi aturan dari syarat dan prinsip diet yaitu perlu diperhatikannya

pemberian protein terhadap pasien gagal ginjal kronik. Tingkat konsumsi protein

yang normal ini juga berkaitan dengan kepatuhan pasien mengikuti diet yang telah

diberikan sehingga konsumsi protein tidak melebihi dari diet yang dianjurkan

yang dapat memberatkan kerja ginjal.

45
Grafik Asupan Lemak
70.00%
Persentase Asupan Lemak 60.00%

50.00%

40.00%

30.00%

20.00%

10.00%

0.00%
11-May-18 12-May-18 13-May-18 14-May-18
Tanggal Pengamatan

Lemak

Gambar 4.3 Tingkat Konsumsi Lemak Pasien selama Pengamatan di RS

Pada Gambar 4.3 terjadi peningkatan asupan lemak dari 15,21% di awal

pengamatan menjadi 57,84% di akhir pengamatan. Meskipun tingkat asupan

lemak meningkat dari hari ke hari tetapi belum masuk kedalam kategori baik

(<80%).

Grafik Asupan Karbohidrat


80.00%
Persentase Asupan Karbohidrat

70.00%
60.00%
50.00%
40.00%
30.00%
20.00%
10.00%
0.00%
11-May-18 12-May-18 13-May-18 14-May-18
Tanggal Pengamatan

Karbohidrat

Gambar 4.4 Tingkat Konsumsi Karbohidrat Pasien selama Pengamatan di RS

46
Pada Gambar 4.4 terjadi peningkatan asupan karbohidrat dari 26,43% di

awal pengamatan menjadi 74,82% di akhir pengamatan. Sumber karbohidrat

utama yang paling banyak berasal dari makanan pokok seperti nasi, tetapi pada

penderita diabetes melitus, nasi tidak sepenuhnya dikonsumsi karena mengandung

indeks glikemik tinggi yang dapat membuat kadar glukosa darah pada penderita

diabetes meningkat. Sumber karbohidrat lainnya dapat diperoleh dari

mengkonsumsi buah dan sayuran.

47
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Pengkajian awal gizi pasien adalah status gizi normal (24,16 kg/m2), kadar

glukosa darah sewaktu, HbA1c, ureum dan kreatinin tinggi dan kadar hemoglobin

rendah, pasien terlihat pucat, badan lemas, sesak napas dan mual, tekanan darah

tinggi dan denyut nadi rendah. Asupan makan pasien selama 1x24 jam masuk

rumah sakit kurang (24,24%).

Diagnosis gizi pasien yaitu asupan oral tidak adekuat berkaitan dengan

terbatasnya daya terima makanan akibat mual dan muntah ditandai dengan asupan

energi saat masuk rumah sakit hanya 24,24%. Asupan cairan berlebih berkaitan

dengan gangguan ginjal dan endokrin (Diabetes Melitus tipe 2) ditandai dengan

terjadinya edema di kaki. Perubahan nilai lab terkait gizi berkaitan dengan

disfungsi endokrin dan ginjal (diagnosis Hiperglikemia dan CKD) ditandai

dengan GDS tinggi (238 mg/dL), Ureum tinggi (170 mg/dL), Kreatinin tinggi

(5,88 mg/dL), Hb rendah (8,9 mg/dL).

Intervensi diet berupa pemberian Diet Diabetes Melitus 1500 kkal, Diet

Rendah Protein 40 g dan Rendah Garam II dengan bentuk makanan lunak, 3x

makanan utama dan 2x makanan selingan, diberikan melalui oral. Edukasi gizi

kepada pasien mengenai pengertian dan penyebab terjadinya Diabetes Melitus dan

Gagal Ginjal Kronik, tujuan pemberian diet DM, P40 (R. Protein) dan R. Garam

II serta pemilihan bahan makanan yang dianjurkan, bahan makanan yang tidak

dianjurkan dan bahan makanan yang harus dibatasi konsumsinya oleh pasien.

48
Evaluasi asupan makan selama dirumah sakit mengalami peningkatan,

kadar glukosa darah menjadi normal, kadar ureum dan kreatinin menurun

walaupun tidak signifikan, tekanan darah menjadi normal serta keluhan mual dan

sesak napas berkurang.

5.2 Saran

Bagi Pasien :

1. Perlunya pengawasan dan dukungan dari keluarga terhadap pola dan

kebiasaan makan menjadi lebih sehat.

2. Meningkatkan pengetahuan terkait makanan yang dianjurkan dan tidak

dianjurkan bagi pasien diabetes melitus tipe 2 dengan komplikasi gagal

ginjal kronik.

49
Daftar Pustaka

Almatsier, S. 2010. Penuntun Diet edisi baru. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama

American Diabetes Association. [ADA]. 2012. Diagnosis and Classification of


Diabetes Mellitus. Diabetes Care volume 35 Supplement 1: 64-71.

Anggraeni, A.C. 2012. Asuhan Gizi Nutritional Care Process. Yogyakarta: Graha
Ilmu

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2013. Riset Kesehatan Dasar.


Jakarta: Kementrian Kesehatan.

Bakri, S. 2005. Deteksi Dini dan Upaya-Upaya Pencegahan Progresifitas Penyakit


Gagal Ginjal Kronik. Jurnal Medika Nusantara:26(3):36-9.

Brunner and Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8
volume 2. Jakarta: EGC.

Dabla, P.K. 2010. Renal Function in Diabetic Nephropathy. World J


Diabetes:1(2):48-56.

Dwijayanthi, L. 2010. Ilmu Gizi Menjadi Sangat Mudah, Nutritional Made


Incredibly Easy. Ed 2. Jakarta: EGC.

Hartono, A. 2006. Terapi Gizi dan Diet Rumah Sakit. Jakarta: EGC.

Kementrian Kesehatan RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013.


Jakarta: Kemenkes RI.

Kementrian Kesehatan RI. 2014. Pedoman Gizi Seimbang. Jakarta: Kemenkes RI.

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2015. Konsensus Pengelolaan dan


Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. Jakarta: PERKENI.

Ronquillo, L.H., Zenteno, J.F.T., Espinosa, J.G., & Aceves, G. 2003. Factor
Associated With Therapy Noncomlience In Type 2 Diabetes Patient.
Soilud Publica de Mexico, 45 (3), 191-197.

Schoolwerth, A.C., Engelgau, M.M., Hostetter, T.H., Rufo, K.H., McClelan,


W.M. Chronic Kidney Disease a Public Health Problem That Needs a
Public Health Action Plan. Prevention Chronic Disease:3(2):1-5.

Smeltzer, Suzanne, C., Bare, Brenda, G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Brunner dan Suddarth (Ed.8, Vol. 1,2), Alih bahasa oleh Agung
Waluyo (dkk). Jakarta: EGC.

50
Soegondo, S. 2009. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus Terkini. Dalam:
Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Sumapradja, M.G., Fayakun, Y.L., Widyastuti D. 2011. Proses Asuhan Gizi


Terstandar (PAGT). Jakarta: Abadi Publishing& Printing.

Syahbudin, S. 2009. Diabetes Melitus dan Pengelolaannya.Dalam: Pedoman diet


Diabetes Melitus. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Tjokroprawiro, A. 2006 Hidup Sehat dan Bahagia bersama Diabetes Melitus.


Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Waspadji, S. 2005. Diabetes Mellitus: Mekanisme dasar dan Pengelolaannya yang


Rasional. Dalam Soegondo, S. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu
Penerbit. Jakarta: FKUI.

Waspadji, S. 2009. Diabetes Melitus Mekanisme Dasar dan Pengelolaannya yang


Rasional. Dalam: Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI.

51

Anda mungkin juga menyukai