Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH KEPERAWATAN MENJELANG

AJAL DAN PALIATIF

DIABETES MELLITUS

DISUSUN OLEH :
IRHANUDIN
IRMAWATI
LIA IRAWATI
LIDYA CAROLINA
MISNA SUSNUSI
MOH. ICHSAN
YULIUS

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN STIKES


HUSADA MANDIRI POSO
2021

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perawatan paliatif merupakan perawatan yang aktif dan holistik dan


diberikan sejalan dengan kemajuan penyakit. Perawatan paliatif diberikan dari awal
penyakit didiagnosis, menjalani pengobatan, serta kematian dan proses berkabung.
Perawatan paliatif mencakup bagaimana memanajemen gejala dan nyeri,
memberikan dukungan sosial dan spiritual. Perawatan paliatif merupakan perawatan
yang dicapai dengan efektif dengan mengelola rasa sakit dan hal lainnya yang
membuat tidak nyaman seperti kelelahan, dyspnea, mual, muntah, gelisah, sembelit,
anoreksia, depresi, kebingungan, serta menyediakan psikologis dan perawatan
spiritual dari awal di diagnosis dan terus sepanjang seluruh program pengobatan
dalam kehidupan pasien. Perawatan paliatif tidak berfokus untuk menunda kematian
tetapi berusaha untuk membimbing dan membantu pasien serta keluarga dalam
membuat keputusan yang dapat memaksimalkan kualitas hidup mereka (Craig et al.,
2008).

Perawatan paliatif bertujuan untuk meningkatkan kenyamanan pasien dalam


mengontrol intensitas penyakit atau memperlambat kemajuannya, apakah ada atau
tidak ada harapan untuk sembuh. Perawatan paliatif merupakan bagian penting
dalam perawatan pasien terminal yang dapat dilakukan secara sederhana, prioritas
utama perawatan ini adalah untuk meningkatkan kualitas hidup dan bukan
kesembuhan dari penyakit pasien, termasuk salah satunya adalah pasien dengan
penyakit diabetes mellitus (Sari & Nuraini, 2016).

Penyakit diabetes merupakan salah satu penyakit progresif yang memerlukan


penanganan lama dan biaya yang besar. Pasien dengan penyakit progresif tidak
hanya mengalami berbagai masalah fisik seperti nyeri, sesak nafas, penurunan berat
badan, gangguan aktivitas, tetapi juga mengalami gangguan psikososial dan spiritual
yang mempengaruhi kualitas hidup pasien dan keluarganya. Maka kebutuhan pasien
yang memiliki penyakit pada stadium lanjut tidak hanya pemenuhan atau
pengobatan gejala fisik, tetapi juga membutuhkan dukungan terhadap kebutuhan
psikologis, sosial, dan spiritual yang dikenal sebagai perawatan paliatif (Doyle &
Macdonald, 2003). Hal ini sejalan dengan Keputusan Kemenkes RI (2007) yang

1
mengatakan bahwa kardiovaskuler, kanker, penyakit pencernaan, diabetes, dan
penyakit PTM lainnya tidak hanya membutuhkan perawatan kuratif dan rehabilitatif
tetapi juga membutuhkan perawatan paliatif dalam rangka meningkatkan kualitas
pelayanan kesehatan bagi pasien (Sari & Nuraini, 2015).

Berdasarkan data Kemenkes RI (2007), pelayanan kesehatan Indonesia belum


banyak yang menyediakan program perawatan paliatif untuk pasien yang memiliki
penyakit kronik terutama pada penyakit stadium lanjut. Berdasarkan data Kemenkes RI
(2007), rumah sakit yang mampu memberikan pelayanan perawatan paliatif di Indonesia
masih terbatas di 5 (lima) ibu kota propinsi yaitu Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar
dan Makassar. Jika ditinjau dari besarnya kebutuhan pasien maka bisa dikatakan jumlah
tenaga kesehatan yang mampu memberikan pelayanan perawatan paliatif juga masih
terbatas (Kemenkes RI, 2007). Selain itu, keadaan sarana dan prasarana pelayanan
perawatan paliatif di Indonesia juga masih belum merata sedangkan pasien memiliki hak
untuk mendapatkan pelayanan yang bermutu, komprehensif dan holistik.

B. Tujuan

1. Untuk mengetahui Pengertian Diabetes Melitus


2. Untuk mengetahui Etiologi Diabetes melitus
3. Untuk mengetahaui Tanda dan Gejala Diabetes Melitus
4. Untuk mengetahui Patofisiologi dan Pathway penyakit Diabetes Melitus
5. Untuk mengetahui Pemeriksaan Penunjang dan Penatalaksanaan penyakit Diabetes
Melitus
6. Peran Perawat Paliatif

2
BAB II

KONSEP TEORI

A. Pengertian Diabetes Mellitus


Diabetes Mellitus adalah penyakit metabolik yang ditandai dengan
hiperglikemia dan glukosuria disertai dengan atau tidak adanya gejala klinik akut
maupun kronik, sebagai akibat kurangnya insulin di dalam tubuh, gangguan primer
terletak pada metabolisme karbohidrat yang biasanya disertai dengan gangguan
metabolisme lemak dan protein (Trisnawati & Setyorogo, 2013).
Diabetes Mellitus merupakan penyakit gangguan metabolisme kronis yang
ditandai dengan peningkatan glukosa darah (hiperglikemi) disebabkan karena
ketidakseimbangan antar suplai dan kebutuhan insulin. Insulin dalam tubuh
dibutuhkan memfasilitasi masuknya glukosa dalam sel agar dapat digunakan untuk
metabolisme dan pertumbuhan sel. Berkurang atau tidak adanya insulin menjadikan
glukosa tertahan di dalam darah dan menimbulkan peningkatan gula darah, sedangkan
sel menjadi kekurangan glukosa yang sangat dibutuhkan dalam kelangsungan dan
fungsi sel (Tarwoto & Wartonah, 2015). Diabetes Mellitus adalah salah satu penyakit
dimana kadar gula di dalam darah meningkat tinggi karena tubuh tidak dapat
melepaskan insulin secara adekuat (Novitasari, 2012).
Diabetes Mellitus merupakan penyakit yang disebabkan oleh adanya gangguan
metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein dalam tubuh. Gangguan tersebut
disebabkan oleh berkurangnya produksi insulin yang diperlukan dalam proses
perubahan gula menjadi tenaga. Kekurangan insulin menyebabkan terjadinya
peningkatan kadar gula dalam darahatau terdapatnya kandungan gula dalam air
kencing (American Diabetes Association, 2017). Klasifikasi diabetes mellitus menurut
(American Diabetes Association, 2017):
1. Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) yaitu defisiensi insulin karena
kerusakan sistem imunitas (kekebalan tubuh) yang kemudian merusak sel-sel
pulau langerhans di pankreas. Kelainan ini berdampak pada penurunan produksi
insulin.
2. Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) yaitu diabetes resisten
sering terjadi pada dewasa, tapi dapat terjadi pada semua umur. Kebanyakan
3
penderita mengalami kelebihan berat badan, ada kecenderungan familiar,
mungkin perlu insulin pada saat hiperglikemik selama stres.
3. Diabetes type lain adalah DM yang terjadi karena penyakit lain, penyakit
pankreas, hormonal, obat atau bahan kimia, endokrinopati, kelainan reseptor
insulin, sindroma genetik tertentu.
4. Impaired Glukosa Tolerance (gangguan toleransi glukosa) yaitu kadar glukosa
antara normal dan diabetes, dapat menjadi diabetes atau menjadi normal atau
tetap tidak berubah.
5. Gestasional Diabetes Mellitus (GDM) yaitu intoleransi yang terjadi selama
kehamilan

B. Etiologi Diabetes Mellitus


Menurut Nurarif & Kusuma (2015), etiologi diabetes mellitus adalah :
1. Diabetes Mellitus tipe I
Diabetes yang tergantung insulin ditandai dengan penghancuran sel-sel beta
pankreas yang disebabkan oleh :
a. Faktor genetik
Penderita tidak mewarisi diabetes tipe itu sendiri, tetapi mewarisi suatu
predisposisi atau kecenderungan genetic kearah terjadinya diabetes tipe I.
b. Faktor imunologi
Adanya respon autoimun yang merupakan respon abnormal dimana
antibodi terarah padaaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap
jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing.
c. Faktor lingkungan
Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses autonium yang
menimbulkan ekstruksi sel beta.
2. Diabetes Mellitus tipe II
Disebabkan oleh kegagalan relative sel beta dan resistensi insulin. Faktor resiko
yang berhubungan dengan proses terjadinya diabetes mellitus tipe II antara lain :
a. Usia
Resistensi insulin cenderung meningkat pada usia diatas 65 tahun, tetapi pada
usia remaja pun diabetes mellitus dapat terjadi juga pada umur 11 sampai
13 tahun karena sejak awal pankreas tidak menghasilkan insulin.

4
b. Obesitas
Karena ketidakseimbangan hormon dalam tubuh akan membuat hormon insulin
tidak dapat bekerja secara maksimal dalam menghantar glukosa yang ada
dalam darah. Pengurangan berat badan sering kali dikaitkan dengan
perbaikan dalam sensitivitas insulin dan pemulihan toleransi glukosa.
Obesitas terjadi karena tubuh kelebihan lemak minimal 20% dari berat
badan ideal. Menurut Adriani (2012) obesitas digolongkan menjadi 3
kelompok
1). Obesitas ringan : kelebihan berat badan 20-40%
2). Obesitas sedang : kelebihan berat badan 41-100%
3). Obesitas berat : kelebihan berat badan >100%
Klasifikasi IMT (Indeks Masa Tubuh) menurut Tjokoprawiro (2015)
pencegahan diabetes ada 2 yaitu :
1) IMT <18,5 : BB kurang
2) IMT 18,5-22,9 : BB normal
3) IMT > 23,0 : BB lebih
4) IMT 23,0-24,9 : dengan resiko 5) IMT 25,0-29,9 : obesitas I
5) IMT >30 : obesitas II
c. Riwayat dalam keluarga
Pada riwayat keluarga yang salah satunya memiliki riwayat diabetes mellitus
bisa diturunkan sejak remaja pada anaknya. Kaum pria sebagai penderita
sesungguhnya dan perempuan sebagai pihak pembawa gen atau keturunan.
Gen yang mempengaruhi pada diabetes tipe II adalah gen TC7L2. Gen ini
sangat berpengaruh pada pengeluaran insulin dan produksi glukosa.

C. Tanda dan Gejala Diabetes mellitus (DM)


Manifestasi klinis diabetes mellitus menurut Tandra (2013) yaitu :
1. Banyak kencing (poliuri)
2. Rasa haus (polidipsi)
3. Berat badan menurun meski sudah banyak makan (polifagi)
4. Rasa seperti flu dan lemah
5. Pandangan kabur
6. Luka yang sukar sembuh

5
7. Gusi merah dan
bengkak
8. Kesemutan
9. Kulit kering dan gatal
10. Mudah terkena infeksi
11. Gatal pada kemaluan

D. Patofisiologi Diabetes Mellitus


Pada manusia bahan bakar itu berasal dari bahan makanan yang kita makan
sehari-hari, yang terdiri dari karbohidrat ( gula dan tepung-tepungan), protein (asam
amino) dan lemak (asam lemak). Pengolahan bahan makanan dimulai dari mulut
kemudian ke lambung dan selanjutnya ke usus. Di dalam saluran pencernaan,
makanan yang terdiri dari karbohidrat dipecah menjadi glukosa, protein dipecah
menjadi asam amino dan lemak menjadi asam lemak. Ketiga zat makanan itu
diedarkan ke seluruh tubuh untuk dipergunakan oleh organ-organ di dalam tubuh
sebagai energy. Supaya berfungsi sebagai energy zat makanan itu harus diolah,
dimana glukosa dibakar melalui proses kimia yang menghasilkan energy yang disebut
metabolisme. Dalam proses metabolisme insulin memegang peranan penting yaitu
memasukkan glukosa ke dalam sel yang digunakan sebagai bahan bakar ( FKUI,
Depkes, WHO, 2004). Insulin yang dikeluarkan oleh sel beta tadi dapat diibaratkan
sebagai anak kunci yang dapat membuka pintu masuknya glukosa ke dalam sel, untuk
kemudian di dalam sel glukosa itu di metabolismekan menjadi tenaga. Bila insulin tidak
ada, maka glukosa dapat masuk ke sel dengan akibat glukosa akan tetap berada didalam
pembuluh darah yang artinya kadarnya didalam darah meningkat. Dalam keadaan
seperti ini badan akan menjadi lemah karena tidak ada sumber energy di dalam sel.
Inilah yang terjadi pada diabetes mellitus tipe 1.
1. Patofisologi diabetes mellitus tipe 1
Insulin pada diabetes mellitus tipe 1 tidak ada, ini disebabkan oleh karena pada
jenis ini timbul reaksi otoimun yang disebabkan adanya peradangan pada sel
beta insulitis. Ini menyebabkan timbulnya antibody terhadap sel beta yang disebut
ICA ( Islet Cell Antibody). Reaksi antigen (sel beta) dengan antibody
ditimbulkannya menyebabkan hancurnya sel beta.
2. Patofisiologi diabetes mellitus tipe 2

6
Pada diabetes mellitus tipe 2 jumlah insulin normal malah mungkin lebih
banyak tetapi jumlah reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel yang
kurang. Reseptor insulin ini dapat diibaratkan sebagai lubang kunci pintu masuk ke
dalam sel.
Penyebab resistensi insulin pada diabetes mellitus tipe 2 sebenarnya tidak
begitu jelas, tetapi faktor-faktor dibawah ini bayak berperan: obesitas terutama bersifat
sentral ( bentuk apel), Diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat, Kurang gerak badan
dan Factor keturunan

E. Pathway Diabetes Mellitus

7
8
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Kadar glukosa darah
a. Kadar Glukosa darah sewaktu (mg/dl) menurut Nurarif & Kusuma (2015)
Tabel 1 kadar glukosa darah sewaktu
Kadar Glukosa darah sewaktu DM Belumpasti DM
Plasma vena >200 100-200
Darah kapiler >200 80-100

b. Kadar glukosa darah puasa (mg/dl) menurut Nurarif & Kusuma


(2015)
Tabel 2 kadar glukosa darah puasa
Kadar glukosa darah puasa DM Belum pasti DM
Plasma vena >120 110-120
Darah kapiler >110 90-110

2. Kriteria diagnostik WHO untuk diabetes mellitus pada sedikitnya 2 kali


pemeriksaan
a. Glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl (11,1 mmol/L)
b. Glukosa plasma puasa >140 mg/dl (7,8mmol/L)
c. Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudian sesudah
mengkonsumsi 75 gr karbohidrat (2 jam post prandial (pp) >200 mg/dl)
d. Tes Laboratorium DM
Jenis tes pada pasien DM dapat berupa tes saring, tes diagnostik, tes
pemantauan terapi dan tes untuk mendeteksi komplikasi.
1) Tes saring
Tes-tes saring pada DM
a) GDP, GDS
b) Tes glukosa urin

9
c) Tes konvensional (metode reduksi/ benedict)
d) Tes carik celup (metode glucose oxidase/ hexodinase)
2) Tes diagnostik
Tes-tes diagnostik pada DM adalah GDP, GDS, GD2PP (Glukosa darah
2 jam post prandial), Glukosa jam ke 2 TTGO.
3) Tes monitoring terapi
Tes-tes monitoring terapi DM adalah
a) GDP plasma vena, darah kapiler
b) GD2PP : plasma vena
c) A1c darah vena, darah kapiler
4) Tes untuk mendeteksi komplikasi
Tes-tes untuk mendeteksi komplikasi adalah :
a. Mikroalbuminuria urine
b. Ureum, kreatinin, asam urat
c. Kolesterol total plasma vena (puasa)
d. Kolesterol LDL: plasma vena (puasa)
e. Kolesterol HDL: plasma vena (puasa)
f. Trigliserida: plasma vena (puasa)

G. Penatalaksanaan
1. Terapi Farmakologi
Menurut Riyadi & Sukarmin (2008), antara lain:
a. Obat-obatan Hipoglikemik Oral (OHO)
1) Golongan sulfoniluria
Cara kerjanya merangsang sel beta pankreas untuk mengeluarkan insulin.
Jadi golongan sulfoniluria hanya bekerja bila sel-sel beta utuh,
mengalangi pengikatan insulin, mempertinggi kepekaan jaringan
terhadap insulin dan menekan pengeluaran glukagon. Indikasi pemberian
obat golongan sulfoniluria adalah bila berat badan sekitar ideal kurang
lebih 10% dari berat badan ideal, bila kebutuhan insulin kurang dari 40
u/hari, bila tidak ada stres akut, seperti infeksi berat.
2) Golongan biguanid
Cara kerjanya tidak merangsang sekresi insulin. Golongan biguanid dapat
menurunkan kadar gula darah menjadi normal dan istimewanya tidak

10
pernah menyebabkan hipoglikemia. Efek samping obat ini (metformin)
menyebabkan anoreksia, nausea, nyeri abdomen dan diare.
3) Alfa glukosidase inhibitor
Cara kerjanya menghambat kerja insulin alfa glukosidase di dalam saluran
cerna sehingga dapat menurunkan penyerapan glukosa dan menurunkan
hiperglikemia post prandial. Obat ini bekerja di lumen usus dan tidak
menyebabkan hiperglikemia dan tidak berpengaruh pada kadar insulin.
4) Insulin sensitizing agent
Mempunyai efek farmakologi meningkatkan sensitifitas berbagai masalah
akibat resistensi insulin tanpa menyebabkan hipoglikemia.
2. Terapi non farmakologi
a. Jenis makanan
1) Karbohidrat
Sebagai sumber energi yang diberikan pada dibetisi tidak boleh lebih dari
55-65% dari total kebutuhan energi sehari atau tidak boleh lebih dari
70% jika dikombinasi dengan pemberian asam lemak tidak jenuh rantai
tunggal. Pada setiap hari karbohidrat terdapat kandungan energi sebesar 4
kilokalori.
2) Protein
Jumlah kebutuhan protein yang direkomendasikan sekitar 10-15% dari
total kalori per hari. Pada penderita dengan kelainan ginjal dimana
diperlukan pembatasan asuhan protein sampai 40 gram per hari, maka
perlu ditambahkan pemberian suplementasi asam amino esensial. Protein
mengandung energi sebesar 4 kilokalori/ gram.
3) Lemak
Lemak mempunyai kandungan energi sebesar 9 kilokalori/ gram. Bahkan
makanan ini sangat penting untuk membawa vitamin larut dalam lemak
seperti vitamin A, D, E, dan K. Berdasarkan ikatan rantai karbonnya,
lemak dikelompokkan menjadi lemak jenuh dan tidak jenuh. Pembatasan
lemak jenuh dan kolesterol sangat disarankan bagi diabetisi karena
terbukti dapat memperbaiki profil lipid tidak normal yang sering
dijumpai pada diabitis.

11
b. Jadwal makan
Jadwal makan pengidap diabetes mellitus dianjurkan lebih sering dengan
porsi sedang. Disamping jadwal makan utama pagi, siang, dan malam
dianjurkan juga porsi makanan ringan di sela- sela waktu tersebut.
b. Jumlah kalori
Jumlah kalori perhitungan jumlah kalori ditentukan oleh status gizi, umur,
ada tidaknya stress akut dan kegiatan jasmani. Penentuan 24 status gizi dapat
dipakai indeks massa tubuh (IMT) atau rumus Brocca. Klasifikasi Status Gizi
berdasarkan IMT berdasarkan rumus Brocca.
Tabel 3 Klasifikasi gizi berdasarkan IMT
No Indeks Massa Tubuh Klasifikasi
1 <18,5 Berat badan kurang
2 18,5-22,9 Berat badan normal
3 >23,0 Berat badan rendah
23-24,9 Berat badan lebih beresiko
25-29,9 Obesitas I
>30 Obesitas II

Pertama-tama lakukan perhitungan berat badan ideal berdasarkan rumus berat


badan ideal (BBI kg)= (TB cm-100)- 10%. Untuk laki- laki <160 cm dan
wanita <150 cm, perhitungan bb ideal tidak dikurangi 10%.
c. Olahraga
Dianjurkan latihan jasmani teratur 3-4 kali tiap minggu selama kurang lebih
setengah jam yang sifatnya sesuai CRIPE (Continous Rythmiccal Intensity
Progressive Endurance). Latihan dilakukan terus- menerus tanpa henti, otot-
otot berkontraksi dan relaksasi secara teratur. Latihan CRIPE minimal
dilakukan selama 3 hari dalam seminggu, sedangkan 2 hari yang lain dapat
digunakan untuk melakukan oahraga kesenangannya. Adanya kontraksi otot
yang teratur akan merangsang peningkatan aliran darah dan penarikan
glukosa kedalam sel. Olahraga lebih dianjurkan pada pagi hari (sebelum jam
06.00) karena selain udara yang masih bersih juga suasana yang belum ramai
sehingga membantu penderita lebih nyaman dan tidak mengalami stress yang
tinggi. Olahraga yang teratur akan memperbaiki sirkulasi insulin dengan cara
meningkatkan dilatasi sel dan pembuluh darah sehingga membantu masuknya
glukosa ke dalam sel (Riyadi & Sukarmin, 2008).

12
d. Penyuluhan
Penyuluhan untuk rencana pengelolaan sangat penting untuk memdapatkan hasil
yang maksimal. Edukasi diabetes adalah pendidikan dan pelatihan mengenai
pengetahuan dan keterampilan bagi pasien diabetes yang bertujuan menunjang
perubahan perilaku untuk meningkatkan pemahaman pasien akan penyakitnya,
yang diperlukan untuk mencapai keadaan sehat optimal, dan penyesuaian
keadaan sehat optimal, dan penyesuaian keadaan psikologik serta kualitas hidup
yang lebih baik. Edukasi merupakan bagian integral dari asuhan perawatan
pasien diabetes. Tujuan dari penyuluhan penyakit diabetes mellitus ialah:
1) Meningkatakan pengetahuan
2) Mengubah sikap
3) Mengubah perilaku serta meningkatkan kepatuhan
4) Mengubah kualitas hidup

H. Peran Perawat Paliatif


Pasien terminal adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami
penyakit/sakit yang tidak mempunyai harapan untuk sembuh sehingga sangat dekat
dengan proses kematian (Suseno, 2004). Respon pasien dalam kondisi terminal sangat
individual tergantung kondisi fisik, psikologis, sosial yang dialami, sehingga dampak
yang ditimbulkan pada tiap individu juga berbeda. Keadaan ini mempengaruhi tingkat
kebutuhan dasar yang ditunjukan oleh pasien terminal. Perawat harus memahami apa
yang dialami pasien dengan kondisi terminal, tujuannya untuk dapat menyiapkan
dukungan dan bantuan bagi pasien sehingga pada saat-saat terakhir dalam hidup bisa
bermakna dan akhirnya dapat meninggal dengan tenang dan damai (Potter & Perry,
2010).
Meningkatnya jumlah pasien dengan penyakit yang belum dapat disembuhkan
(penyakit terminal), baik pada dewasa dan anak seperti penyakit kanker, penyakit
degeneratif, penyakit paru obstruktif kronis, cystic fibrosis, stroke, Parkinson, gagal
jantung/heart failure, penyakit genetika dan penyakit infeksi seperti HIV/AIDS yang
memerlukan perawatan paliatif, disamping kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif. Namun pada saat ini, pelayanan kesehatan di Indonesia belum menyentuh
kebutuhan pasien dengan penyakit yang sulit disembuhkan tersebut, terutama pada
stadium lanjut dimana prioritas pelayanan tidak hanya pada penyembuhan tetapi juga
perawatan agar mencapai kualitas hidup yang terbaik bagi pasien dan keluarganya.

13
Pada stadium lanjut, pasien dengan penyakit kronis tidak hanya mengalami berbagai
masalah fisik seperti nyeri, sesak nafas, penurunan berat badan, gangguan aktivitas,
tetapi juga mengalami gangguan psikososial dan spiritual yang mempengaruhi kualitas
hidup pasien dan keluarganya (Guo et al., 2020).
Perawatan paliatif pada pasien terminal juga dilakukan di ruang rawat inap,
seperti ruang ICU (Intensive Care Unit). ICU merupakan unit rumah sakit yang
memberikan perawatan intensif dan monitoring yang ketat bagi pasien. ICU memiliki
teknologi yang canggih seperti monitor jantung dengan dukungan mesin komputer dan
ventilator mekanis (Potter & Perry, 2010). Perawat yang bekerja di unit perawatan
intensif (ICU) disebut perawat perawatan kritis yang berperan penting dalam merawat
pasien dan mempunyai kemampuan serta pengalaman dalam merawat pasien
terminal/menjelang ajal (Muflihatin, 2015).
Kegiatan perawat dalam memberikan perawatan paliatif meliputi
penatalaksanaan nyeri, penatalaksanaan keluhan fisik lain, asuhan keperawatan,
dukungan psikologis, dukungan sosial, dukungan kultural dan spiritual, dukungan
persiapan dan selama masa dukacita (bereavement) (Kepmenkes RI Nomor: 812,
2007). Menurut Coyne (2007), pelaksanaan perawatan paliatif sebaiknya menerapkan
prinsip-prinsip perawatan paliatif khusus, seperti menyediakan perawatan yang
berpusat pada keluarga, mengurangi rasa nyeri atau ketidaknyamanan selama tindakan
pengobatan, meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarga, serta menyediakan
perawatan yang cukup dan membantu dalam proses berkabung ketika pasien
meninggal.
Perasaan emosional yang dirasakan oleh perawat sebagai manusia biasa, seperti
kesedihan dan kecemasan saat memberikan perawatan paliatif pada pasien, dapat
menimbulkan rasa kehilangan semangat (merasa gagal). Peningkatan kejadian ini
sering terjadi saat di rumah sakit. Selama memberikan perawatan perawat sering
merasa stress, membutuhkan keterampilan koping, kepercayaan diri untuk mencapai
keberhasilan perawatan dan pelaksanaan perawatan pada pasien (Alimuddin, 2018).
Berdasarkan penelitian Aranda dan Graves (2005) terkait dengan pengalaman
perawat dalam melaksanakan perawatan paliatif pada pasien anak yang mengalami
penyakit kanker menyatakan bahwa perawat mengalami ketakutan, frustrasi, sedih dan
kehilangan harapan ketika perawat tidak mampu memberikan kenyamanan pada
pasien saat meninggal dunia. Perawat mengalami kejenuhan sehingga tidak tergambar
sebagai “perawat yang baik” (good nursing) karena ketidakmampuan perawat dalam

14
menemukan kebutuhan perawatan khusus pada pasien dengan kondisi terminal.
Beberapa penelitian yang dilakukan untuk mengeksplorasi pengalaman perawat dalam
pemberian perawatan paliatif, yakni antara lain penelitian yang dilakukan oleh
Johnston. B (2006) tentang persepsi perawat dalam pemberian perawatan paliatif pada
pasien dewasa yang mengalami penyakit terminal di rumah sakit bahwa ada empat
tema dari hasil penelitian yang didapatkannya yakni penghubung (komunikasi),
memberikan kenyamanan pada pasien, bekerjasama (teamwork) dan tahu apa yang
mereka lakukan. Komunikasi yang efektif merupakan alat yang digunakan oleh
perawat kepada pasien untuk mengetahui kebutuhan pasien. Memberikan kenyamanan
kepada pasien dapat dilakukan dengan cara mengontrol dan mengurangi rasa nyeri
pada pasien. Dalam pemberian perawatan paliatif diperlukan kerjasama antar tim dari
multi disiplin ilmu seperti dokter, perawat, terapis, petugas sosial-medis, psikolog,
rohaniawan, relawan dan profesi lain yang dibutuhkan agar perawatan paliatif yang
diberikan menjadi lebih maksimal. Dalam pemberian perawatan paliatif perawat
bekerja berdasarkan pengalaman professional dan pengalaman pribadinya.

15
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Diabetes Mellitus merupakan penyakit gangguan metabolisme kronis yang
ditandai dengan peningkatan glukosa darah (hiperglikemi) disebabkan karena
ketidakseimbangan antar suplai dan kebutuhan insulin.
Perawatan paliatif bertujuan untuk meningkatkan kenyamanan pasien dalam
mengontrol intensitas penyakit atau memperlambat kemajuannya, apakah ada atau
tidak ada harapan untuk sembuh. Perawatan paliatif merupakan bagian penting
dalam perawatan pasien terminal yang dapat dilakukan secara sederhana, prioritas
utama perawatan ini adalah untuk meningkatkan kualitas hidup dan bukan
kesembuhan dari penyakit pasien, termasuk salah satunya adalah pasien dengan
penyakit diabetes mellitus.
Kegiatan perawat dalam memberikan perawatan paliatif meliputi
penatalaksanaan nyeri, penatalaksanaan keluhan fisik lain, asuhan keperawatan,
dukungan psikologis, dukungan sosial, dukungan kultural dan spiritual, dukungan
persiapan dan selama masa dukacita
B. Saran
Diharapkan pihak manajemen keperawatan dapat mengidentifikasi hambatan
apa saja yang dihadapi oleh perawat dalam pemberian perawatan paliatif dan
menindaklanjutinya dengan cara meningkatkan pendidikan dan pelatihan bagi
perawat guna meningkatkan keterampilan perawat. Diharapkan pihak manajemen
rumah sakit dapat meningkatkan kebijakan perawatan paliatif. Meningkatkan
sarana prasarana, SDM (membentuk tim perawatan paliatif) dan yang lainnya demi
menunjang berjalannya perawatan paliatif secara komprehensif.
.

16
DAFTAR PUSTAKA

Alimuddin, T. (2018). Pengaruh Spiritual Mindfullness Based On Breathing Exercise


Terhadap Kecemasan, Kadar Glukosa Darah dan Tekanan Darah Pasien Diabetes
Meilitus Tipe 2. Repository.Unair.Ac.Id.
American Diabetes Association. (2017). Standards of Medical Care in Diabetes-2017
Abridged for Primary Care Providers. Clinical Diabetes : A Publication of the
American Diabetes Association, 35(1), 5–26. https://doi.org/10.2337/cd16-0067
Craig, F., Abu-Saad Huijer, H., Benini, F., Kuttner, L., Wood, C., Feraris, P. C., &
Zernikow, B. (2008). IMPaCCT: Standards pädiatrischer Palliativversorgung in
Europa. Der Schmerz, 22(4), 401–408. https://doi.org/10.1007/s00482-008-0690-4
Guo, W., Li, M., Dong, Y., Zhou, H., Zhang, Z., Tian, C., … Hu, D. (2020). Diabetes is a
risk factor for the progression and prognosis of <scp>COVID</scp> ‐19.
Diabetes/Metabolism Research and Reviews, 36(7). https://doi.org/10.1002/dmrr.3319
Muflihatin, S. K. (2015). Hubungan Tingkat Stres Dengan Kadar Glukosa Darah Pasien
DM Tipe 2 Di RSUD Abdul Wahab Syahranie Samarinda. Samarinda.
Novitasari, R. (2012). Diabetes Melitus Medical Book. Yogyakarta: Nuha Medika.
Potter, P. A., & Perry, A. G. (2010). Fundamental Of Nursing: Consept, Proses and
Practice (7th ed.). Jakarta: EGC.
Sari, I. N. I., & Nuraini, T. (2015). Gambaran Tingkat Kepuasan Pasien Diabetes Melitus
Yang mendapatkan Keperawatan paliatif. Jurnal Keperawatan, FK UI, 1–13.
Retrieved from http://www.lib.ui.ac.id/naskahringkas/2018-09/S60556-Iin Indahsari.
Sari, I. N. I., & Nuraini, T. (2016). Kepuasan Pasien Diabetes Melitus terhadap Perawatan
Paliatif: Tingkat Terendah pada Dimensi Tampilan Fisik. Jurnal Keperawatan
Indonesia, 19(2), 100–106. https://doi.org/10.7454/jki.v19i2.458
Tarwoto, & Wartonah. (2015). Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan (4th
ed.). Jakarta: Trans Info Medika.
Trisnawati, S. K., & Setyorogo, S. (2013). Faktor Risiko Kejadian Diabetes Melitus Tipe II
Di Puskesmas Kecamatan Cengkareng Jakarta Barat Tahun 2012. Jurnal Ilmiah
Kesehatan, 5(1), 6–11.
Ganong, 2007. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 4, Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Ilyas, 2004 . Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. Edisi II Cetakan Ke-5.
Jakarta: Fakultas Kedokteran UI.
Jannah, R. 2019. Konsep Diabetes Mellitus (DM). https://repository.unair.ac.id.
Diakses 23 oktober 2021 pukul 19.30.
Rukhiyatun, Nimah. 2019. Diabetes Mellitus Tipe 2. http://eprints.umpo.ac.id. Diakses
23 oktober pukul 21.00.

17

Anda mungkin juga menyukai