Anda di halaman 1dari 15

Diagnosis dan Penatalaksanaan pada Laki-Laki Berusia 50 Tahun dengan Keluhan

Nyeri pada Tungkai Kiri

Elisabeth Elida Elyus Mandalahi

102015062/D2

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Abstrak
Penyakit arteri perifer, penyakit yang terjadi pada pembuluh darah setelah jantung dan aorta.
Dimana penyakit ini resiko nya meningkat seiring bertambahnya usia. Dan penyakit arteri
perifer sendiri diperiksa dengan ankle bracial index (ABI) yang digunakan untuk mengukur
derajat ringan dan beratnya dari keparahan penyakit arteri perifer itu sendiri. Faktor resiko
dalam pembentukan penyakit arteri perfier serupa dengan penyakit arteri koroner, seperti
merokok, diabetes, hipertensi. Dan umumnya merupakan akibat dari aterosklerosis.
Kata kunci: penyakit arteri perifer, ankle bracial index, faktor resiko
Abstract
Peripheral artery disease, a disease that occurs in blood vessels after the heart and aorta.
Where is this disease the risk increases with age. And peripheral artery disease itself is
examined by ankle bracial index (ABI) which is used to measure the degree of mildness and
severity of the severity of peripheral artery disease itself. Risk factors for the formation of
perfiered artery disease are similar to those of coronary artery disease, such as smoking,
diabetes, hypertension. And generally a result of atherosclerosis.
Keywords: artery peripheral diseases, ankle bracial index, risk factors
Pendahuluan

Penyakit arteri perifer (PAP) adalah semua penyakit yang terjadi pada pembuluh darah
setelah keluar dari jantung dan aorta. Penyakit arteri perifer meliputi arteri karotis, arteri
renalis, arteri mesenterika dan semua percabangan setelah melewati aortoiliaka, termasuk
ekstremitas bawah dan ekstremitas atas.Penyakit arteri perifer diderita oleh 12-14% populasi
secara umum. Di Amerika Serikat, penyakit arteri perifer diderita sekitar 8,5 juta populasi
berusia ≥40 tahun. Prevalensi tertinggi penyakit arteri perifer didapatkan pada individu
dengan usia tua, ras kulit hitam non hispanik dan wanita.

Risiko penyakit arteri perifer meningkat seiring bertambahnya usia. Individu berusia ≥40
tahun memiliki risiko menderita penyakit arteri perifer sebesar 4,3%, dibandingkan dengan
individu berusia ≥70 tahun yang memiliki risiko sebesar 14,5%. Sebuah penelitian yang
dilakukan pada tujuh negara Asia termasuk Indonesia terhadap pasien diabetes mellitus tipe

1
2, didapatkan penyakit arteri perifer pada 17,7% populasi. 1 Pada makalah ini akan dibahas
lebih jelas mengenai penyakit arteri perifer.

Anamnesis

Anamnesis adalah suatu wawancara medis yang merupakan tahap awal dari suatu rangkaian
pemeriksaan terhadap pasien. Baik bersangkutan dengan pasien maupun dengan relasi
terdekatnya. Anamnesis harus dilakukan dengan teliti, teratur dan lengkap karena sebagian
besar data yang diperlukan dari anamnesis untuk menegakkan diagnosis. Yang perlu
dilakukan pada anamnesis adalah sebagai berikut:2
a. Menanyakan identitas pasien
Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, jenis kelamin, umur, suku agama, alamat.
Pada kasus ini, pasien seorang laki-laki berusia 50 tahun.
b. Menanyakan keluhan utama
Yaitu gangguan atau keluhan yang dirasakan penderita sehingga mendorong ia untuk
datang berobat dan memerlukan pertolongan serta menjelaskan tentang lamanya
keluhan tersebut. Keluhan utamanya adalah nyeri pada tungkai kiri yang memburuk
sejak 2 minggu lalu.
c. Menanyakan riwayat penyakit sekarang
Riwayat perjalanan penyakit merupakan rangkaian kejadian yang kronologis, terinci.
Pada pasien ditemukan nyeri yang semakin berat jika berjalan lebih dari 10 meter,
nyeri membaik setelah istirahat, kuku dan jari kaki kiri berwarna pucat serta rapuh.
d. Menanyakan riwayat penyakit dahulu

Bertujuan untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan adanya hubungan antara


penyakit yang pernah diderita dengan penyakitnya sekarang. Pasien menderita
Diabetes Melitus sejak 10 tahun yang lalu.
e. Menanyakan riwayat penyakit dalam keluarga
Segala hal yang berhubungan dengan peranan herediter dan kontak antar anggota
keluarga mengenai penyakit yang dialami pasien.
f. Menanyakan riwayat pribadi
Meliputi data sosial, ekonomi, pendidikan, kebiasaan, pekerjaan,
riwayatperkawinan. Pada kasus ini pasien tidak rutin meminum obat.

Pemeriksaan Fisik

2
Setelah anamnesis selesai dilakukan, maka pemeriksaan fisik biasanya dimulai dengan
pemeriksaan objektif yaitu tekanan darah, denyut nadi, pernapasan, suhu dan tingkat
kesadaran, serta look, feel, move.3
a) Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat, antara lain :3
- Cicatrix (jaringan parut baik yang alamiah maupun yang buatan-bekas pembedahan)
- Fistulae
- Warna kemerahan/ kebiruan (livide) atau hiperpigmentasi
- Benjol/ pembengkakan/ cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa
- Posisi serta bentuk dari extremitas (deformitas)
- Jalannya waktu masuk kamar periksa

b. Feel (palpasi)

Pada waktu mau meraba, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki agar dimulai dari posisi
netral atau posisi anatomi. Pada dasarnya, ini merupakan pemeriksaan yang memberikan
informasi dua arah, baik pemeriksa maupun pasien yang diperiksa; karena itu perlu selalu
diperhatikan wajah pasien atau menanyakan perasaan pasien.3

Yang dicatat dalam pemeriksaan palpasi ini adalah :3

- Perubahan suhu terhadap sekitarnya serta kelembaban kulit


- Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau hanya oedema, terutama
daerah persendian
- Nyeri tekan (tenderness), krepitasi
- Pada otot : tonus pada waktu relaksasi atau kontraksi; benjolan yang terdapat di
permukaan tulang atau melekat pada tulang . Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan
perlu ditentukan permukaannya, konsistensinya dan pergerakan terhadap permukaan atau
dasar, nyeri atau tidak dan ukurannya.
c. Move (gerak)
Setelah pemeriksaan palpasi, pemeriksaan diteruskan dengan menggerakkan anggota gerak
dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Krepitasi dan gerakan abnormal
dapat ditemukan, tetapi lebih pentinguntuk menanyakan apakah pasien dapat menggerakan
sendi - sendi. Gerakan sendi dengan ukuran derajat gerakan dari tiap arah pergerakan mulai
dari titik 0 (posisi netral) atau dengan ukuran metrik. Pencatatan ini penting untuk
mengetahui apakah ada gangguan gerak.Pergerakan yang perlu dilihat adalah gerakan aktif

3
(apabila penderita sendiri disuruh menggerakkan) dan gerakan pasif (dilakukan pemeriksa).
Selain pencatatan pemeriksaan, penting untuk mengetahui gangguan gerak, hal ini juga
penting untuk melihat kemajuan/ kemunduran pengobatan.3

Hasil pemeriksaan fisik pada pasien ini yaitu:


- Keadaan umum: sakit sedang
- Kesadaran: compos mentis
- Tanda-tanda vital:
o Tekanan darah: 110/80 mmHg
o Nadi: 88x/menit
o Pernapasan: 28x/menit
o Suhu: afebris
- Mata normal
- Leher JVP 5-2 cmH2O
- Thorax paru normal
- Jantung normal
- Arteri dorsalis pedis dan arteri tibialis posterior kaki kiri pulsasi menurun
- Warna kulit pucat dibawah malleolus.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan darah lengkap penting dilakukan untuk mengetahui kondisi kesehatan secara
keseluruhan, termasuk mendeteksi kemungkinan adanya penyakit. Terutama beberapa
penyakit yang erat kaitannya dengan darah, seperti kekurangan darah (anemia), kanker darah
(leukemia), infeksi, masalah pembekuan darah dan penyakit gangguan imunitas.4

Darah merupakan cairan berwarna merah. Sesungguhnya cairan ini merupakan suspense,
karena terdiri dari bagian cair yang disebut plasma dan bagian padat yang terdiri dari bagian
cair yang disebut plasma dan bagian padat yang terdiri dari sel-sel darah yaitu eritrosit,
leukosit dan trombosit. Dengan demikian darah bukan larutan, meskipun dalam plasma
terlarut berbagai macam zat.5

Pemeriksaan darah lengkap yaitu:

4
Hemoglobin (Hb)

Adanya tingkat hemoglobin yang tidak normal, menandakan tubuh mengalami anemia atau


kelainan darah seperti talasemia. Hemoglobin berada di dalam sel darah merah, tugasnya
adalah membawa oksigen ke seluruh tubuh.

Hematrokrit (Ht)

Adanya tingkat hematrokrit yang tinggi menandakan Anda kemungkinan mengalami


dehidrasi. Sebaliknya, jika hematokrit rendah, mungkin Anda mengalami kekurangan darah
(anemia). Tingkat hematokrit yang tidak normal ini juga bisa menandakan adanya gangguan
pada darah atau sumsum tulang. Hematokrit sendiri merupakan jumlah persentase
perbandingan sel darah merah terhadap volume darah.

Trombosit

Tingkat trombosit yang tidak normal dapat menyebabkan gangguan pada proses pembekuan
darah. Gangguan ini bisa berupa terlalu banyak pembekuan sehingga terjadi penggumpalan
darah, atau justru kurangnya pembekuan yang dapat menimbulkan perdarahan. Dengan
sifatnya yang membekukan darah, trombosit berfungsi untuk menutup atau menyembuhkan
luka serta menghentikan perdarahan.

Sel darah merah

Pemeriksaan darah lengkap tentu saja juga melibatkan pemeriksaan sel darah merah. Fungsi
sel darah merah adalah membawa oksigen dan nutrisi lain ke seluruh tubuh. Tingkat sel darah
merah yang tidak normal, terlalu sedikit atau terlalu banyak, adalah pertanda penyakit
tertentu. Misalnya, anemia, perdarahan, kekurangan cairan atau dehidrasi, dan penyakit lain.

Sel darah putih

Tingkat sel darah putih yang tidak normal, kemungkinan adalah gejala terjadinya infeksi,
gangguan sistem kekebalan tubuh, bahkan mungkin kanker darah (leukemia). Untuk
memastikan, umumnya akan dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk mengetahui jenis sel
darah putih yang abnormal.4

Pada kasus ini didapatkan hasil:

- Hemoglobin: 16 g/dL (wanita 12-15 g/dL) (pria: 13-17 g/dL)

5
- Hematokrit: 48% (wanita: 38 – 46%) (pria: 42 – 54%)

- Leukosit: 9.000/uL (3.500 – 10.500/uL)

- Trombosit: 550.000/L (150.000 – 400.000/L)

Ankle Brachial Index (ABI)

Tes ini merupakan tes non invasif yang penting pada pasien yang dicurigai mengalami
penyakit arteri perifer atau pasien yang beresiko tinggi terjadinya penyakit arteri perifer.
Pemeriksaan ABI memiliki sensitivitas 79% dan spesifisitas 96% dalam mendiagnosis
penyakit arteri perifer. Nilai ABI pada orang sehat berkisar 0,91-1,4. Nilai ABI <0,90
digunakan sebagai batas diagnosis penyakit arteri perifer. Nilai ABI 0,4-0,9 menunjukkan
adanya penyakit arteri perifer ringan-sedang, dan nilai ABI ≤0,4 menunjukkan suatu penyakit
arteri perifer berat. Pada kasus tertentu dimana terdapat kekakuan vascular yang sering
ditemukan pada pasien Diabetes Melitus dan pasien gagal ginjal, nilai ABI dapat berada di
kisaran ≥1,4. Nilai ABI berkorelasi dengan tingkat keparahan Lower Extremity Artery
Disease (LEAD) di mana ABI ≤0,50 memiliki risiko tinggi amputasi.

Pemeriksaan dilakukan dengan memposisikan sphygmomanometer di atas pergelangan kaki


dan instrument doppler di distal untuk mengukur tekanan pada arteri dorsalis pedis dan
posterior. Nilai tekanan arteri tertinggi pada pergelangan kaki (arteri tibialis posterior atau
arteri dorsalis pedis) kemudian dibagi dengan tekanan tertinggi antara kedua lengan. Bila
pada pemeriksaan didapatkan hasil ABI yang normal namun dicurigai atau memiliki faktor
risiko untuk terjadinya LEAD, pemeriksaan ABI data diulangi setelah aktivitas. Pasien
diminta untuk berjalan di treadmill dengan kecepatan 3,2km/jam dan kecuraman 10-20%
sampai pasien merasakan klaudikasio. Bila terdapat kondisi dimana pasien tidak dapat
dilakukan pemeriksaan ABI atau nilai ABI ≥1,4 dapat dilakukan pemeriksaan toe-brachial
index.1

Hasil pemeriksaan ABI pasien:kaki kanan 1.0 dan kaki kiri 0,5.

6
Gambar 1. Pemeriksaan ABI.

Toe Brachial Index (TBI)

TBI juga merupakan suatu pemeriksaan non-invasif yang dilakukan pada pasien diabetes
dengan PAD khususnya pada pasien yang mengalami kalsifikasi pada pembuluh darah
ekstremitas bawah yang menyebabkan arteri tidak dapat tertekan dengan menggunakan
teknik tradisional (ABI >1,30) sehingga pemeriksaan ini lebih terpercaya sebagai PAD
dibandingkan ABI. Nilai TBI yang ≥ 0,75 dikatakan normal atau tidak terdapat stenosis
arteri.6 Nilai toe brachial index <0,7 dinilai diagnostik untuk PAP.1

Gambar 2. Pemeriksaan Toe Brachial Index.

Duplex Ultrasound

7
Dupleks ultrasonografi memiliki beberapa keuntungan dalam menilai sistem arteri perifer.
Pemeriksaan yang noninvasive ini tidak memerlukan bahan kontras yang nefrotoksik
sehingga alat skrining ini digunakan untuk mengurangi kebutuhan akan penggunaan
angiografi dengan kontras. Modalitas diagnostic ini juga dapat digunakan sebagai alat
pencitraan tunggal sebelum dilakukan intervensi pada sekitar 90% pasien dengan PAD
dimana sensitivitas dan spesifisitas untuk mendeteksi dan menentukan derajat stenosis PAD
berkisar anatara 70% dan 90%. Dupleks ultrasonografi juga dapat menggambarkan
karakteristik dinding arteri sehingga dapat menentukan apakah pembuluh darah tersebut
dapat diterapi dengan distal bypass atau tidak. Selain itu, alat ini juga dapat digunakan untuk
menentukan apakah suatu plak pada arteri tersebut merupakan suatu resiko tinggi terjadinya
embolisasi pada bagian distal pembuluh darah pada saat dilakukan intervensi endovascular.6

Diagnosis Kerja

Penyakit Arteri Perifer (PAP) / Peripheral Artery Disease (PAD)

Yang dimaksud dengan peripheral arterial disease (PAD) adalah semua penyakit yang terjadi
pada pembuluh darah setelah ke luar dari jantung dan aorta iliaka. Jadi penyakit arteri perifer
meliputi keempat ekstremitas, arteri karotis, arteri renalis, arteri mesenterika dan semua
percabangan setelah ke luar dari aortailiaka. Penyebab terbanyak dari penyakit arteri perifer
pada usia 40 tahun adalah penyumbatan pada ateri perifer yang dihasilkan dari proses
atherosklerosis atau proses inflamasi yang menyebabkan lumen menyempit (stenosis), atau
dari pembentukan thrombus. Ketika kondisi ini muncul maka akan terjadi peningkatan
resistensi pembuluh darah yang dapat menimbulkan penurunan tekanan perfusi ke area distal
dan laju darah. Faktor resiko dari penyakit arteri perifer adalah merokok, diet tinggi lemak
atau kolesterol (hiperkolesterolemia), hipertensi, diabetes mellitus, dan riwayat penyakit
jantung, serangan jantung, atau stroke.6

8
Gambar 3. Penderita PAP.

Gambaran Klinis PAP

Penyakit Arteri Ekstremitas Bawah atau LEAD memiliki berbagai gambaran klinis
berdasarkan kriteria Fontaine dan Rutherford, meskipun sebagian besar pasien tidak
mengalami gejala apapun,. Gejala LEAD yang paling tipikal adalah klaudikasio intermiten
dengan karakteristik nyeri pada betis yang diperberat dengan berjalan dan membaik dengan
istirahat. Klaudikasi akan terjadi pada lokasi distal tempat lesi sumbatan tersebut. Pada
kondisi berat (Fontaine III) atau disebut dengan iskemia tungkai kritis (Critical Limb
Ischemia) nyeri dapat muncul meskipun pada saat istirahat dan membaik dengan perubahan
posisi. Nyeri klaudikasio harus dapat dibedakan dari nyeri penyakit vena di mana nyeri
terjadi pada saat istirahat dan menghilang dengan aktivitas, nyeri artritis, dan neuropati
perifer di mana terdapat instabilitas berjalan.1

Tabel 1. Klasifikasi Penyakit Arteri Ekstremitas Bawah.

Diagnosis Banding

Tromboangitis Obliterans (Buerger’s Disease)


Penyakit ini disebut juga penyakit Buerger’s, yang merupakan kelainan vaskular berupa
inflamasi dan penyumbatan. Yang mengenai pembuluh darah ukuran sedang dan kecil dan
juga vena distal pada ekstremitas atas dan bawah. Dapat juga mengebai pembuluh darah otak,
visceral dan koroner. Lebih sering terjadi pada laki-laki di bawah umur 40 tahun.
Prevalensinya lebih tinggi pada orang asia dan eropa timur. Penyebabnya belum diketahui,
tetapi berhubungan dengan kebiasaan merokok.

9
Pada tahap awal lekosit polimorfonuklear menginfiltrasi dinding pembuluh darah arteri dan
vena. Lapisan elastika interna terkena dan terbentuk thrombus pada lumen pembuluh darah.
Pada tahap lanjut neutrophil akan digantikan oleh sel mononuklir, fibroblast dan sel giant.
Ditandai dengan adanya fibrosis perivaskular dan rekanalisasi.
Sering kali berupa trias klaudikasio yang melibatkan ekstremitas, fenomena Reynaud, dan
thrombophlebitis vena superficial yeng berpindah-pindah. Biasanya terjadi pada betis dan
kaki atau pada lengan bawah dan tangan, karena memang terutama mengenai pembuluh
darah daerah distal. Kelainan yang ditemukan dapat berupa iskemia digital yang berat,
perubahan kuku, ulkus yang nyeri dan gangrene dapat timbul pada ujung jari atau tumit. Pada
pemeriksaan klinis nadi arteri brakialis dan poplitea normal, tetapi nadi dapat berkurang atau
hilang pada arteri radialis, ulnaris, dan tibialis.7

Gambar 4. Penyakit Buerger’s Disease.

Deep Vein Thrombosis (DVT)

Vena-vena tidak mempunyai lapisan otot yang signifikan, dan disana tidak ada darah yang
dipompa balik ke jantung kecuali fisiologi. Darah kembali ke jantung karena otot-otot tubuh
yang besar menekan/memeras vena-vena ketika mereka berkontraksi dalam aktivitas normal
dari gerakan tubuh. Aktivitas-aktivitas normal dari gerakan tubuh mengembalikan darah ke
jantung.Ada dua tipe dari vena-vena di kaki; vena-vena superficial (dekat permukaan) dan
vena-vena deep(yang dalam). Vena-vena superficial terletak tepat dibawah kulit dan dapat
terlihat dengan mudah pada permukaan. Vena-vena deep, seperti yang disiratkan namanya,
berlokasi dalam didalam otot-otot dari kaki. Darah mengalir dari vena-vena superficial
kedalam sistim vena dalam melalui vena-vena perforator yang kecil. Vena-vena superficial
dan perforator mempunyai klep-klep (katup-katup) satu arah didalam mereka yang
mengizinkan darah mengalir hanya dari arah jantung ketika vena-vena ditekan.8

10
Bekuan darah (thrombus) dalam sistim vena dalam dari kaki adalah sebenarnya tidak
berbahaya. Situasi menjadi mengancam nyawa ketika sepotong dari bekuan darah terlepas
(embolus, pleural=emboli), berjalan ke arah muara melalui jantung kedalam sistim peredaran
paru, dan menyangkut dalam paru. Diagnosis dan perawatan dari deep venous thrombosis
(DVT) dimaksudkan untuk mencegah pulmonary embolism.

Gelaja klinis pada pasien DVT dapat terlihat yaitu:9


 50% dari semua pasien tidak menunjukan gejala.
 Obstruksi vena profunda dari tungkai menghasilkan edema dan pembengkakan
ekstremitas.
 Kulit pada tungkai yang terkena dapat teraba hangat; vena superficial dapat lebih
menonjol.
 Pembengkakan bilateral mungkin sulit untu dideteksi.
 Nyeri tekan terjadi kemudian; terdeteksi dengan palpasi ringan pada tungkai.
 Tanda human (nyeri pada betis setelah dorsoflesi tajam kaki), tidak spesifik untuk
thrombosis vena profunda karena nyeri ini dapar didatangkan olehsetiap kondisi yang
menyakitkan pada betis.
 Pada beberapa kasus, tanda embolus pulmonal merupakan indikasi pertama adanya
thrombosis vena profunda.
 Thrombus vena superficial menyebabkan nyeri terkan, kemerahan dan rasa hangat
pada daerah yang terkena.

Gambar 5. Penyakit DVT.


Faktor Risiko
Faktor risiko untuk pembentukkan PAD adalah sangat serupa dengan penyakit arteri coroner,
meliputi:6
 Merokok

11
 Diabetes
 Hipertensi
 Usia (>40)
 Hiperlipidemia (kolesterol low-density lipoprotein/LDL yang tinggi atau high-
densitylipoprotein/HDL yang rendah).
Etiologi
Penyakit arteri perifer umumnya merupakan akibat dari aterosklerosis yang mana
terbentuknya plak pada pembuluh darah. Plak ini membentuk blok yang mempersempit dan
melemahkan pembuluh darah. Penyebab lain dari penyakit arteri perifer, yaitu gumpalan atau
bekuan darah yang dapat memblokir pembuluh darah; diabetes dalam jangka panjang, gula
darah yang tinggi dapat merusak pembuluh darah. Penderita diabetes mellitus juga memiliki
tekanan darah yang tinggi dan lemak yang banyak dalam darah sehingga mempercepat
perkembangan aterosklerosis; infeksi arteri (arteritis); cedera, bisa terjadi bila kecelakaan;
perokok, hiperlipidemia, hipertensi, obesitas, dan lain-lain.7
Epidemiologi
Penyakit arteri perifer diderita oleh 12-14% populasi secara umum. Di Amerika Serikat,
penyakit arteri perifer diderita sekitar 8,5 juta populasi berusia ≥40 tahun. Prevelensi tertinggi
penyakit arteri perifer didapatkan pada individu dengan usia tua, ras kulit hitam non hispanik
dan wanita. Risiko penyakit arteri perifer meningkat seiring bertambahnya usia. Individu
berusia ≥40 tahun memiliki risiko menderita penyakit arteri perifer sebesar 4,3%
dibandingkan dengan individu berusia ≥70 tahun yang memiliki resiko sebesar 14,5%. Di
Eropa juga didapatkan hasil yang tidak terlalu berbeda. Pada populasi kulit putih didapatkan
kejadian 6-18% pada usia diatas 55 tahun dan meningkat seiring bertambahnya usia,
mencapai 20% pada usia diatas 70 tahun dan 60% pada usia diatas 85 tahun. Sebuah
penelitian yang dilakukan padatujuh negara Asia termasuk Indonesia terhadap pasien diabetes
melitus tipe 2, didapatkan penyakit arteri perifer pada 17,7% populasi.1

Patogenesis
Mekanisme terjadinya aterosklerosis sama seperti yang terjadi pada arteri coroner. Lesi
segmental yang menyebabkan stenosis atau oklusi biasanya terjadi pada pembuluh darah
berukuran besar atau sedang. Pada lesi tersebut terjadi plak aterosklerotik dengan
penumpukan kalsium, penipisan tunika media, destruksi otot dan serat elastis di sana-sini,
fragmentasi lamina eastika interna, dan dapat terjadi thrombus yang terdiri dari trombosit dan
fibrin. Lokasi yang terkena terutama pada aorta abdominal dan arteri iliaka (30% dari pasien

12
yang simtomatik), arteri femoralis dan popliteal (80-90%), termasuk arteri tibialis dan
peroneal (40-50%). Proses aterosklerosis lebih sering terjadi pada percabangan arteri, tempat
yang turbulensinya meningkat, memudahkan terjadinya kerusakan tunika intima. Pembuluh
darah distal lebih sering terkena pada pasien usia lanjut dan diabetes mellitus.1

Penatalaksanaan Non Farmakologi


Macam-macam terapi terdiri dari terapi suportif, farmakologis, intervensi non operasi, dan
operasi. Terapi suportif meliputi perawatan kaki dengan tetap menjaga bersih dan lembab
dengan memberikan krim pelembab. Memakai sandal dan sepatu yang ukurannya pas dan
dari bahan sintetis yang berventilasi. Hindari penggunaan bebat elastic karena mengurangi
aliran darah ke kulit. Pengobatan terhadap semua faktor yang dapat menyebabkan
aterosklerosis harus diberikan, berhenti merokok, merubah gaya hidup, mengontrol hipertensi
tapi jangan sampai hipotensi. Latihan fisik (exercise), merupakan pengobatan yang paling
efektif. Latihan fisik dapat meningkatkan jarak tempuh sampai terjadinya gejala klaudikasio.
Hal ini disebabkan karena peningkatan aliran darah kolateral, perbaikan fungsi vasodilator
endotel, respon inflamasi, metabolisme musculoskeletal dan oksigenasi jaringan lebih baik
dengan perbaikan viskositas darah.10

Penatalaksanaan Farmakologi

Penatalaksanaan umum sebaiknya meliputi modifikasi gaya hidup focus pada penghentian
merokok, olahraga teratur 30 menit/hari, normalisasi indeks massa tubuh (≤23kg/m2) dan
diet mediteranian. Terapi farmakologis dapat ditambahkan untuk mengontrol tekanan darah
dan mengontrol kolesterol.

 Statin
Perbaikan profil lemak terbukti dapat menurunkan risiko mortalitas, kejadian kardiovaskular
dan stroke pada pasien dengan penyakit arteri perifer. Pasien dengan penyakit arteri perifer
disarankan memiliki kadar kolesterol LDL <100mg/dL bila memungkinkan 70mg/dL, atau
penurunan paling tidak 50% bila tidak dapat mencapai target.

 Antiplatelet

Pemberian antiplatelet direkomendasikan untuk semua pasien dengan penyakit arteri perifer
yang simptomatik. Efektivitas aspirin dosis rendah (75-150mg) disebutkan sama dengan
dosis harian aspirin yang lebih tinggi. Efektivitas klopidogrel dalam menurunkan insidens
kardiovaskular pada pasien dengan penyakit arteri perifer juga telah diteliti, salah satunya

13
dalam CAPRIE trial. Pemberian kombinasi dua antiplatelet belum direkomendasikan karena
risiko perdarahan yang tinggi.1

Pada beberapa penelitian disinyalir dapat memperbaiki gejala pada klaudikasio. Obat yang
paling banyak terbukti adalah Citostazol 100mg dua kali/ hari dan Naftridrofuryl 600mg/
hari. Selain itu juga beberapa obat juga terbukti dapat menurunkan gejala klaudikasio seperti
Pentoxifylin (1,2 gram/hari), Carnitine, Buflamedil, obat penurun lipid.1

Penatalaksanaan Operatif
a. Angioplasty
Tujuannya untuk melebarkan arteri yang mulai menyempit atau membuka sumbatan
dengan cara mendorong plak ke belakang dinding arteri.
b. Operasi bypass
Bila keluhan semakin memburuk dan sumbatan arteri tidak dapat diatasi dengan
angioplasty. Bagi yang sudah menjalani operasi ini biasanya bebas dari gejala dan tidak
mengalami komplikasi apapun sesudahnya.10
Komplikasi
Pada kasus-kasus yang jarang, sirkulasi yang berkurang ke anggota-anggota tubuh yang
adalah karakteristik dari penyakit arteri perifer dapat menjurus pada luka-luka yang terbuka
yang tidak sembuh, borok-borok, gangrene, atau luka-luka lain pada anggota-anggota tubuh.
Area-area ini yang tidak menerima aliran darah yang cukup juga lebih cenderung
mengembangkan infeksi-infeksi, dan pada kasus-kasus ekstrim, sehingga amputasi mungkin
diperlukan.10
Pencegahan
 Berhenti Merokok
 Jika memiliki diabetes, jaga gula darah dalam kontrol yang baik.
 Berolahraga secara teratur. Selama 30 menit setidaknya tiga kali seminggu
 Menurunkan kolesterol dan tingkat tekanan darah.
 Makan makanan yang rendah lemak jenuh.
 Mempertahankan berat badan yang sehat.11
Prognosis
Pasien dengan PAP kemungkinan mengalami banyak masalah,seperti klaudikasio intermiten,
critical limb ischemia (CLI), ulserasi iskemik, rawat inap berulang, revaskularisasi, dan

14
amputasi anggota tubuh. Hal ini menyebabkan kualitas hidup pasien menjadi buruk dan
meningkatkan kejadian depresi pada pasien.11,12
Kesimpulan
Penyakit arteri perifer (PAP) adalah semua penyakit yang terjadi pada pembuluh darah
setelah ke luar dari jantung dan aorta iliaka. Penyakit diabetes mellitus yang diderita pasien
merupakan salah satu faktor risiko penyebab terjadinya penyakit PAP. Tidak hanya itu,
keluhan terdahulu pasien berupa klaudikasio juga menjadi salah satu gejala pasien terkena
PAP.
Daftar Pustaka

1. Antono D, Hamonangani R. Penyakit arteri perifer. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid II. Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing; 2014.
2. Sudoyo AW, Bambang S, Idrus A, Marcellus SK, Siti S. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Jilid 1. Edisi 6. Jakarta: Internal Publishing; 2014. h. 23-5.
3. Frans D. David P. Pemeriksaan fisik dan anamnesis klinis. Jakarta: EGC; 2009.
4. Alodokter.pemeriksaan darah lengkap dapat mendeteksi penyakit. [internet] 2018.
[diakses 24September 2019] available from: https://www.alodokter.com/pemeriksaan-
darah-lengkap-dapat-mendeteksi-penyakit.html.
5. Sudiono H, Iskandar I, Edward H, Halim SL,Kosasih R. Penuntun patologi klinik
hematologi. Jakarta: PT Sinar Surya Megah Perkasa; 2014.
6. Antono D, Ismail D. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Ed 5. Jilid 3. Jakarta: Interna
Publishing; 2009.
7. Aaronson PI, Ward JPT. At a glance sistem kardiovaskular: anamnesis dan
pemeriksaan fisik kardiovaskular. Ed 3. Jakarta: Buku Kedokteran EGC; 2010.
8. Boughman DC, Ilacklay JC. Medikal-bedah. Jakarta: EGC; 2006.h.184-8.
9. Sabiston. Buku ajar bedah. Jilid 1. Jakarta: EGC; 2007.h.114-8.
10. Dahlan M. Trombosis arterial tungkai akut. Dalam: Buku ajar ilmu penyakit dalam.
Ed 4. Jilid 1. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;2007.
11. Daniela C.In : management of peripheral arterial disease. Vol 69. Germany:
University of Heidelberg School of Medicine, Heidelberg; 2004.
12. National institute for health and clinical excellence. Lower limb peripheral arterial
disease : diagnosis and management. UK; August 2012.

15

Anda mungkin juga menyukai