Anda di halaman 1dari 15

ASUHAN KEPERAWATAN HIV/AIDS PADA ANAK DAN

REMAJA DAN PENYALAHGUNAAN NAPZA

KELOMPOK 5 :
- Monika Maarebia ( 1814201005)
- Iwan Sarwanto ( 18142010
- Allbright Umboh ( 1814201030)

MATA KULIAH :
Keperawatan HIV-AIDS

DOSEN :
Ns. Engryn Nindi, S.Kep., M.Kes

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN INDONESIA


FAKULTAS KEPERAWATAN
KELAS A1 SEMESTER IV
LAPORAN PENDAHULUAN
HIV/AIDS PADA ANAK DAN REMAJA

A. DEFINISI
HIV ( Human Immunodeficiency Virus ) adalah virus pada manusia yang
menyerang sistem kekebalan tubuh manusia yang dalam jangka waktu yang
relatif lama dan menyebabkan AIDS ( Acquired Immunodeficiency Syndrome )
adalah sindroma yang menunjukkan defisiensi imun selueler pada seseorang
tanpa adanya penyebab yang diketahui untuk dapat menerangkan terjadinya
defisiensi tersebut seperti keganasan, obat-obatan, supresi imun, penyakit
infeksi yang sudah dikenal sebaginya. AIDS juga adalah penyakit yang
disebabkan oleh virus yang merusak sistem kekebalan tubuh.

B. ETIOLOGI
Penyebab penyakit AIDS adalah HIV yaitu virus yang masuk dalam kelompok
retrovirus yang biasanya menyerang organ-organ vital sistem kekebalan tubuh
manusia. Penyakit ini dapat ditularkan melalui penularan seksual, kontaminasi
patogen di dalam darah, dan penularan masa perinatal.
1) faktor risiko untuk tertular HIV pada bayi dan anak adalah :
a. bayi yang lahir dari ibu dengan pasangan biseksual,
b. bayi yang lahir dari ibu dengan pasangan berganti,
c. bayi yang lahir dari ibu atau pasangannya penyalahguna obat intravena,
d. bayi atau anak yang mendapat transfusi darah atau produk darah
berulang,
e. anak yang terpapar pada infeksi HIV dari kekerasan seksual (perlakuan
salah seksual), dan
f. anak remaja dengan hubungan seksual berganti-ganti pasangan.

C. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis infeksi HIV pada anak bervariasi dari asimtomatis sampai
penyakit berat yang dinamakan AIDS. AIDS pada anak terutama terjadi pada
umur muda karena sebagian besar (>80%) AIDS pada anak akibat transmisi
vertikal dari ibu ke anak. 50% kasus AIDS anak berumur < 1 tahun dan 82%
berumur < 3 tahun. Meskipun demikian ada juga bayi yang terinfeksi HIV
secara vertikal belum memperlihatkan gejala AIDS pada umur 10 tahun.
Gejala klinis yang terlihat adalah akibat adanya infeksi oleh mikroorganisme
yang ada di lingkungan anak. Oleh karena itu, manifestasinya pun berupa
manifestasi nonspesifik berupa :
a) gagal tumbuh
b) berat badan menurun,
c) anemia,
d) panas berulang,
e) limfadenopati, dan
f) hepatosplenomegali
Gejala yang menjurus kemungkinan adanya infeksi HIV adalah adanya infeksi
oportunistik, yaitu infeksi dengan kuman, parasit, jamur, atau protozoa yang
lazimnya tidak memberikan penyakit pada anak normal. Karena adanya
penurunan fungsi imun, terutama imunitas selular, maka anak akan menjadi
sakit bila terpajan pada organisme tersebut, yang biasanya lebih lama, lebih
berat serta sering berulang. Penyakit tersebut antara lain kandidiasis mulut
yang dapat menyebar ke esofagus, radang paru karena Pneumocystis carinii,
radang paru karena mikobakterium atipik, atau toksoplasmosis otak. Bila anak
terserang Mycobacterium tuberculosis, penyakitnya akan berjalan berat
dengan kelainan luas pada paru dan otak. Anak sering juga menderita diare
berulang.
Manifestasi klinis lainnya yang sering ditemukan pada anak adalah pneumonia
interstisialis limfositik, yaitu kelainan yang mungkin langsung disebabkan oleh
HIV pada jaringan paru. Manifestasi klinisnya berupa :
a) hipoksia
b) sesak napas,
c) jari tabuh, dan
d) limfadenopati.
e) Secara radiologis terlihat adanya infiltrat retikulonodular difus bilateral,
terkadang dengan adenopati di hilus dan mediastinum.
Manifestasi klinis yang lebih tragis adalah yang dinamakan ensefalopati kronik
yang mengakibatkan hambatan perkembangan atau kemunduran ketrampilan
motorik dan daya intelektual, sehingga terjadi retardasi mental dan motorik.
Ensefalopati dapat merupakan manifestasi primer infeksi HIV. Otak menjadi
atrofi dengan pelebaran ventrikel dan kadangkala terdapat kalsifikasi. Antigen
HIV dapat ditemukan pada jaringan susunan saraf pusat atau cairan
serebrospinal.

D. PATOFISIOLOGI
HIV secara khusus menginfeksi limfosit dengan antigen permukaan CD4, yang
bekerja sebagai reseptor viral. Subset limfosit ini, yang mencakup limfosit
penolong dengan peran kritis dalam mempertahankan responsivitas imun, juga
meperlihatkan pengurangan bertahap bersamaan dengan perkembangan
penyakit. Mekanisme infeksi HIV yang menyebabkan penurunan sel CD4.
HIV secara istimewa menginfeksi limfosit dengan antigen permukaan CD4,
yang bekerja sebagai reseptor viral. Subset limfosit ini, yang mencakup linfosit
penolong dengan peran kritis dalam mempertahankan responsivitas imun, juga
memperlihatkan pengurangan bertahap bersamaan dengan perkembangan
penyakit.
Mekanisme infeksi HIV yang menyebabkan penurunan sel CD4 ini tidak pasti,
meskipun kemungkinan mencakup infeksi litik sel CD4 itu sendiri; induksi
apoptosis melalui antigen viral, yang dapat bekerja sebagai superantigen;
penghancuran sel yang terinfeksi melalui mekanisme imun antiviral penjamu
dan kematian atau disfungsi precursor limfosit atau sel asesorius pada timus
dan kelenjar getah bening. HIV dapat menginfeksi jenis sel selain limfosit.
Infeksi HIV pada monosit, tidak seperti infeksi pada limfosit CD4, tidak
menyebabkan kematian sel. Monosit yang terinfeksi dapat berperang sebagai
reservoir virus laten tetapi tidak dapat diinduksi, dan dapat membawa virus ke
organ, terutama otak, dan menetap di otak. Percobaan hibridisasi
memperlihatkan asam nukleat viral pada sel-sel kromafin mukosa usus, epitel
glomerular dan tubular dan astroglia. Pada jaringan janin, pemulihan virus
yang paling konsisten adalah dari otak, hati, dan paru. Patologi terkait HIV
melibatkan banyak organ, meskipun sering sulit untuk mengetahui apakah
kerusakan terutama disebabkan oleh infeksi virus local atau komplikasi infeksi
lain atau autoimun.
Infeksi HIV biasanya secara klinis tidak bergejala saat terakhir, meskipun “
priode inkubasi “ atau interval sebelum muncul gejala infeksi HIV, secara
umum lebih singkat pada infeksi perinatal dibandingkan pada infeksi HIV
dewasa. Selama fase ini, gangguan regulasi imun sering tampak pada saat tes,
terutama berkenaan dengan fungsi sel B; hipergameglobulinemia dengan
produksi antibody nonfungsional lebih universal diantara anak-anak yang
terinfeksi HIV dari pada dewasa, sering meningkat pada usia 3 sampai 6 bulan.
Ketidakmampuan untuk berespon terhadap antigen baru ini dengan produksi
imunoglobulin secara klinis mempengaruhi bayi tanpa pajanan antigen
sebelumnya, berperang pada infeksi dan keparahan infeksi bakteri yang lebih
berat pada infeksi HIV pediatrik. Deplesi limfosit CD4 sering merupakan
temuan lanjutan, dan mungkin tidak berkorelasi dengan status simtomatik.
Bayi dan anak-anak dengan infeksi HIV sering memiliki jumlah limfosit yang
normal, dan 15% pasien dengan AIDS periatrik mungkin memiliki resiko limfosit
CD4 terhadap CD8 yang normal. Panjamu yang berkembang untuk beberapa
alasan menderita imunopatologi yang berbeda dengan dewasa, dan
kerentanan perkembangan system saraf pusat menerangkan frekuensi relatif
ensefalopati yang terjadi pada infeksi HIV anak.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DAN REMAJA DENGAN
HIV/AIDS

A. Pengkajian

1. Data Subjektif, mencakup :


a. Pengetahuan klien tentang AIDS
b. Data Nutrisi, seperti masalah cara makan, BB turun
c. Dispneu ( Serangan)
d. Ketidaknyamanan ( lokasi, karakteristik, lamanya)

2. Data Objektif, mencakup :


a. Kulit, Lesi, Integritas terganggu
b. Bunyi napas
c. Kondisi mulut dan genetalia
d. BAB ( frekuensi dan karakternya)
e. Gejala cemas

3. Pemeriksaan Fisik :
a. Pengukuran TTV
b. Pengkajian kardiovaskuler
c. Suhu tubuh meningkat, nadi cepat, tekanan darah meningkat. Gagal
jantung komgesif sekunder akibat kardiomiopati karena HIV
d. Pengkajian respiratori
e. Batuk lama dengan atau tanpa sputum, sesak napas, takipnea, hipoksia,
nyeri daada, napas pendek waktu istirahat, gagal napas.
f. Pengkajian neurologik
g. Sakit kepala, somnolen, sukar konsentrasi, perubahan perilaku, nyeri
otot, kejang-kejang, enselofati, gangguan psikomotor, penurunan
kesadaran, meningitis, keterlambatan perkembangan
h. Pengkajian gastrointestinal
i. Berat badan menurun, neyri menelan, kesulitan menelan, bercak putih
kekuningan pada mukosa mulut, faringitis, selaput lendir kering,
pembesaran hati, mual, muntah, colitis akibat diare kronis, pembesaran
limfa.
j. Pengkajian renal
k. Nyeri otot, nyeri persendian, letih, gangguan gerak.
l. Pengkajian muskuloskeletal
m. Pengkajian hematologik
n. Pengkajian endokrin

4. Kaji status nutrisi


a. Kaji adanya infeksi oportunistik
b. Kaji adanya pengetahuan tentang penularan

B. Diagnosa Keperawatan
1. Defisit Nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan menelan makanan
ditandai dengan nafsu makan menurun, berat badan menurun, otot
menelan lemah.

C. Perencanaan
Asuhan keperawatan pada anak dengan HIV/AIDS sederhana adalah :
 Diagnosa Keperawatan : Defisit Nutrisi berhubungan dengan
ketidakmampuan menelan makanan ditandai dengan nafsu makan
menurun, berat badan menurun, oto menelan lemah.
 Intervensi :
1. Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
2. Identifikasi status nutrisi
3. Identifikasi makanan yang disukai
4. Monitor asupan makanan
5. Monitor berat badan
6. Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
7. Berikan makanan tinggi kalori dam tinggi protein
8. Berikan suplemen makanan
9. Anjurkan posisi duduk
10.Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan
D. Pelaksanaan
Implementasi adalah pelaksanaan dari rencana intervensi untuk mencapai
tujuan spesifik. Tahap implementasi dimulai setelah rencana intervensi disusun
dan ditujukkan pada nursing orders untuk membantu klien mencapai tujuan
yang diharapkan.

E. Evaluasi
Fase terakhir dari proses keperawatan adalah evaluasi terhadap asuhan
keperawatan yang diberikan dengan melihat perkembangan masalah klien
sehingga dapat diketahui tingkatan-tingkatan keberhasilan intervensi. Evaluasi
hasil perencanaan keperawatan dari masing-masing diagnosa keperawatan
dapat dilihat.
LAPORAN PENDAHULUAN
PENYALAHGUNAAN NAPZA

A. DEFINISI
NAPZA adalah singkatan dari narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif lainnya,
meliputi zat alami atau sintetis yang bila dikonsumsi menimbulkan perubahan
fungsi fisik dan psikis, serta menimbulkan ketergantungan. NAPZA (Narkotika,
psikotropika, dan zat adiktif) adalah zat yang apabila masuk ke dalam tubuh
manusia akan mempengaruhi system saraf pusat (SPP) sehingga menimbulkan
perubahan aktivitas mental, emosional, dan perilaku penggunanya dan sering
menyebabkan ketagihan dan ketergantungan terhadap zat tersebut NAPZA
adalah zat yang memengaruhi struktur atau fungsi beberapa bagian tubuh
orang yang mengonsumsinya. Manfaat maupun risiko penggunaan NAPZA
bergantung pada seberapa banyak, seberapa sering, cara menggunakannya,
dan bersamaan dengan obat atau NAPZA lain yang dikonsumsi.
Penyalahgunaan NAPZA adalah penggunaan NAPZA yang bersifat patologis,
paling sedikit telah berlangsung satu bulan lamanya sehingga menimbulkan
gangguan dalam pekerjaan dan fungsi sosial. Sebetulnya NAPZA banyak dipakai
untuk kepentingan pengobatan, misalnya menenangkan klien atau mengurangi
rasa sakit. Tetapi karena efeknya “enak” bagi pemakai, maka NAPZA kemudian
dipakai secara salah, yaitu bukan untuk pengobatan tetapi untuk mendapatkan
rasa nikmat. Penyalahgunaan NAPZA secara tetap ini menyebabkan pengguna
merasa ketergantungan pada obat tersebut sehingga menyebabkan kerusakan
fisik
B. TANDA DAN GEJALA
1. Mata memerah, pupil yang mengecil atau lebih besar dari normal
2. Mual muntah
3. Pilek tanpa sebaB
4. Sering sakit
5. Keluhan mulut sakit, timbul bintik-bintik di sekitar mulut
6. Sakit kepala
7. ‘Mulut kapas’, sering membasahi bibir atau rasa haus berlebihan
8. Depresi
9. Keringat berlebih
10.Luka di kulit atau memar
11.Sering mimisan, yang terkait dengan obat yang dihisap melalui hidung
(seperti methamphetamine atau kokain)
12.Perubahan nafsu makan atau pola tidur. Kenaikan atau penurunan berat
badan mendadak dan drastis
13.Kejang tanpa riwayat epilepsi
14.Penampilan dan kebersihan pribadi yang menurun: tampak kumal,
berantakan, menunjukkan kurangnya kepedulian mengenai penampilan
15.Gangguan koordinasi, cedera/kecelakaan/memar yang mereka tidak
mau/bisa beri tahu Anda sebabnya, atau bahkan mereka sendiri tidak
tahu penyebabnya
16.Bau aneh yang tercium dari napas, tubuh, atau pakaian
17.Gemetar, tremor, bicara melantur atau tidak dapat dipahami. Koordinasi
yang rusak atau tidak stabil
18.Wajah dan pipi memerah
19.Bekas suntikan atau jeratan di lengan atau kaki (bisa disembunyikan
dengan memaksa memakai lengan panjang, bahkan di hari yang sangat
panas)
20.Luka bakar atau gosong pada jari atau bibir (dari bakaran rokok ganja
atau menghisap substansi lainnya)

C. ETIOLOGI
Penyalahgunaan narkoba atau NAPZA umumnya terjadi karena adanya rasa
ingin tahu yang tinggi. Di sisi lain, kondisi ini juga dapat dialami oleh penderita
gangguan mental, misalnya gangguan bipolar atau skizofrenia. Seseorang yang
menderita gangguan mental dapat lebih mudah menyalahgunakan NAPZA yang
awalnya bertujuan untuk meredakan gejala yang dirasa. Selain rasa ingin tahu
yang tinggi dan menderita gangguan mental, terdapat pula beberapa faktor
lain yang dapat meningkatkan risiko seseorang melakukan penyalahgunaan
NAPZA, antara lain:
 Memiliki teman yang seorang pecandu NAPZA.
 Mengalami masalah ekonomi.
 Pernah mengalami kekerasan fisik, emosi, atau seksual.
 Memiliki masalah hubungan dengan pasangan, kerabat, atau keluarga.
D. DAMPAK PENYALAGUNAAN NAPZA
Menurut Alatas (2010), penyalahgunaan NAPZA akan berdampak sebagai
berikut:
1) Terhadap kondisi fisik
a) Akibat zat itu sendiri
Termasuk di sini gangguan mental organik akibat zat, misalnya intoksikasi yaitu
suatu perubahan mental yang terjadi karena dosis berlebih yang memang
diharapkan oleh pemakaiannya. Sebaliknya bila pemakaiannya terputus akan
terjadi kondisi putus zat.
(1) Ganja: pemakaian lama menurunkan daya tahan sehingga mudah terserang
infeksi. Ganja juga memperburuk aliran darah koroner.
(2) Kokain: bisa terjadi aritmia jantung, ulkus atau perforasi sekat hidung,
jangka panjang terjadi anemia dan turunnya berat badan.
(3) Alkohol: menimbulkan banyak komplikasi misalnya gangguan lambung,
kanker usus, gangguan hati, gangguan pada otot jantung dan saraf, gangguan
metabolisme, cacat janin dan gangguan seksual.
b) Akibat bahan campuran/pelarut: bahaya yang mungkin timbul antara lain
infeksi, emboli.
c) Akibat cara pakai atau alat yang tidak steril. Akan terjadi infeksi,
berjangkitnya AIDS atau hepatitis.
d) Akibat pertolongan yang keliru misalnya dalam keadaan tidak sadar diberi
minum.
e) Akibat tidak langsung misalnya terjadi stroke pada pemakaian alkohol atau
malnutrisi karena gangguan absorbsi pada pemakaian alkohol.
f) Akibat cara hidup pasien. Terjadi kurang gizi, penyakit kulit, kerusakan gigi
dan penyakit kelamin.

2)Terhadap kehidupan mental emosional


Intoksikasi alkohol atau sedatif-hipnotik menimbulkan perubahan pada
kehidupan mental emosional yang bermanifestasi pada gangguan perilaku
tidak wajar. Pemakaian ganja yang berat dan lama menimbulkan sindrom
amotivasional. Putus obat golongan amfetamin dapat menimbulkan depresi
sampai bunuh diri.

3) Terhadap kehidupan sosial


Gangguan mental emosional pada penyalahgunaan obat akan mengganggu
fungsinya sebagai anggota masyarakat, bekerja atau sekolah. Pada umumnya
prestasi akan menurun, lalu dipecat/dikeluarkan yang berakibat makin kuatnya
dorongan untuk menyalahgunakan obat.
Dalam posisi demikian hubungan anggota keluarga dan kawan dekat pada
umumnya terganggu. Pemakaian yang lama akan menimbulkan toleransi,
kebutuhan akan zat bertambah. Akibat selanjutnya akan memungkinkan
terjadinya tindak kriminal, keretakan rumah tangga sampai perceraian. Semua
pelanggaran, baik norma sosial maupun hukumnya terjadi karena kebutuhan
akan zat yang mendesak dan pada keadaan intoksikasi yang bersangkutan
bersifat agresif dan impulsif
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN PENYALAHGUNAAN
NAPZA

A. Pengkajian
Setiap melakukan pengkajian, tulis tangal pengkajian, tanggal dan tempat
klien dirawat.
1. Identitas klien :
Identitas klien yang perlu ditulis adalah : nama klien, jenis kelamin,
umur, pendidikan, pekerjaan, status, alamat kemudian nama perawat.
2. Keluhan utama
3. Riwayat penggunaan Zat sebelumnya
4. Riwayat pengobatan
5. Faktor predisposisi
6. Faktor presipitasi
7. Pemeriksaan fisik :
Keadaan umum, TTV
8. Psikososial
9. Hubungan sosial
10.Spiritual
11.Status mental
12.Tingkat kesadaran

B. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko bunuh diri berhubungan dengan gangguan psikologis.

C. Perencanaan
Asuhan keperawatan pada klien dengan penyalahgunaan Napza
sederhana adalah :
 Diagnosa Keperawatan :
Resiko bunuh diri berhubungan dengan gangguan psikologis.
 Intervensi :
1. Monitor fungsi kognitif
2. Anjurkan berperan aktif dalam pengobatan dan rehabilitasi
3. Anjurkan rawat inap sesuai indikasi
4. Ajarkan mengenali pemicu gangguan mood
5. Kolaborasi pemberian obat
6. Rujuk untuk psikoterapi

D. Perencanaan
Implementasi adalah pelaksanaan dari rencana intervensi untuk mencapai
tujuan spesifik. Tahap implementasi dimulai setelah rencana intervensi disusun
dan ditujukkan pada nursing orders untuk membantu klien mencapai tujuan
yang diharapkan.

E. Evaluasi
Fase terakhir dari proses keperawatan adalah evaluasi terhadap asuhan
keperawatan yang diberikan dengan melihat perkembangan masalah klien
sehingga dapat diketahui tingkatan-tingkatan keberhasilan intervensi. Evaluasi
hasil perencanaan keperawatan dari masing-masing diagnosa keperawatan
dapat dilihat.
DAFTAR PUSTAKA

Adley, B. J., Ladwing, G.B., & Makic, M.B.F. (2017). Nursing Diagnosis
Handbook, An Evidence-Bessed Guide to Planning Care. 11th Ed. St. Louis :
Elsevier
Carpenito-Moyet, L.J. (2013). Nursing Diagnosis Application to Clinical
Practice. 14th Ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Herdman, T.H., & Kamitsuru, S. (2014). Nursing Diagnosis Definitions and
Classification 2015-2017. 10th Ed. Oxford: Wiley Blackwell.
International Council Of Nurses (2015). International Classification of
Nursing Practice, Nursing Diagnosis and Outcomes Statement. Geneva,
Switzerland: International Council of Nurses.
Doenges, M.E., Moorhiuse, M.F., & Murr, A.C (2013). Nursing Diagnosis
manual Planning, Individualizing and Documenting Client Care. 4th. Ed.
Philadelphia: F. A. Davis Company.
Townsend (2011). Nursing Diagnosis in Psychiatric Nursing: Care Plans and
Psychotropic Medications. Philadelphia: F. A. Davis Company.

Anda mungkin juga menyukai