B1 Skenario 1
B1 Skenario 1
B1 Skenario 1
Robert Tupan Us Abatan (102012335), Jacub Desvano Matitaputy (102014225), Niko Julian
(102016052), Steven Hartanto Kurniawan (102016280), Stella Wimona (102014071),
Thersia Ervina (102016033), Wahyu Ari Agustina (102016102), Gratia Erlinda Tomasoa
(102016187), Syela Charlin Akasian (102016250)
B1
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510, Telp. (021) 56942061
Abstrak
Meningitis merupakan peradangan pada meninges cranial yang dapat disebabkan oleh
berbagai faktor seperti bakteri, virus, dan jamur. Salah satu jenis meningitis yang diketahui
dan memiliki angka mortalitas yang tinggi bila tidak didiagnosa dan diobati sesegera
mungkin adalah meningitis tuberkulosa yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium
tuberculosis. Meningitis tuberkulosa ini terjadi karena adanya penyebaran bakteri menuju ke
susunan sistem saraf pusat secara hematogen. Meningitis tuberkulosa seringkali terjadi pada
neonatus dan anak-anak berusia di bawah 5 tahun dan orang tua berusia di atas 50 tahun,
serta pada pasien dengan immunocompromise. Meningitis tuberkulosa menunjukkan gejala
klinis seperti demam, kaku leher, dan nyeri kepala, disertai dengan penurunan kesadaran
mulai dari lethargi sampai koma. Selain gejala-gejala tersebut, meningitis tuberkulosa juga
menyebabkan berbagai komplikasi seperti hidrosefalus dan kerusakan-kerusakan pada sistem
saraf pusat. Meningitis tuberkulosa dapat diobati dengan menggunakan obat anti tuberculosis
dan juga kortikosteroid. Pencegahan meningitis tuberkulosa dapat dilakukan dengan
melakukan pencegahan terhadap agen penyebab yaitu Mycobacterium tuberculosis seperti
imunisasi BCG dan penggunaan masker, serta pencegahan tuberculosis lainnya.
Abstract
Meningitis is an inflammation of the meningeal which can be caused by various factors such
as bacteria, viruses, and fungi. One of the known types of meningitis and has a high mortality
rate if not diagnosed and treated as soon as possible is tuberculous meningitis caused by the
bacteria Mycobacterium tuberculosis. Meningitis tuberkulosa happen because of the
1
hematogenous spread of the bacteria to the central nervous system. Tuberculous meningitis
often occur in neonates and children under age 5 years and older peoples aged over 50
years, as well as in patients with immunocompromise. Clinical symptoms that indicate
tuberculous meningitis is fever, stiff neck, and the pain of the head, accompanied by a
decrease in consciousness ranging from lethargi to a comma. In addition to these symptoms,
tuberculous meningitis also cause various complications such as hydrocephalus and
damages to the central nervous system. Tuberculous meningitis can be treated with anti-
tuberculosis drugs and corticosteroids as well. Prevention of tuberculous meningitis can be
done by conducting a prevention against the causative agents Mycobacterium tuberculosis
such as immunization BCG and the use of masks in crowded places, as well as other
tuberculosis prevention
Pendahuluan
Otak manusia merupakan salah satu organ penting yang mengatur kerja tubuh. Selain
dilindungi tulang tengkorak, otak juga dilindungi oleh selaput otak yang disebut selaput
meninges. Oleh sebab itu, kelainan-kelainan yang terjadi pada meninges cranial dapat
menyebabkan terjadinya gangguan fungsi pada normal otak. Meningitis merupakan salah satu
kelainan yang terjadi pada meninges cranial dikarenakan adanya suatu infeksi baik infeksi
olah bakteri, virus, jamur maupun mikroorganisme lainnya. Salah satu jenis meningitis yang
seringkali terjadi dan memiliki komplikasi yang berbahaya dikarenakan sifatnya yang
seringkali menginfeksi susunan saraf pusat adalah meningitis akibat dari infeksi bakteri
Mycobacterium tuberculosis.1,2
Makalah ini dibuat berdasarkan skenario dimana seorang perempuan berusia 25 tahun
memiliki keluhan nyeri kepala yang disertai demam sejak 2 minggu sebelum masuk rumah
sakit.
2
Makalah ini dibuat bertujuan agar mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan mengenai
meningitis tuberkulosa dan penyebab lainnya.
Pembahasan
Anamnesis :
• Keluhan Utama : Nyeri kepala disertai demam 2 minggu sebelum masuk rumah
sakit.
• RPS : Nyeri kepala terjadi terus menerus dan terasa seperti tertusuk-
tusuk di seluruh bagian kepala. Demam terasa tinggi pada
malam hari, mual muntah sejak 1 hari sebelum masuk rumah
sakit. Batuk-batuk selama 2 bulan dan tidak minum obat
teratur (minum obat warung.
• Riwayat pribadi :-
Pemeriksaan fisik :
3
TTV : Tekanan darah 110/70 mmHg, frekuensi napas 20 kali/menit, nadi
90 kali/menit, suhu tubuh. 37,5ºC.
Pada pemeriksaan fisik seluruh tubuh kaku kuduk positif, Kernig's sign positif, Brudzinki's
sign positif, dan paralysis N. VI bilateral.
Pemeriksaan penunjang
2. Pemeriksaan LCS3-5
3. Tes Tuberkulin3
4
4. Pewarnaan BTA3
Pewarnaan batang tahan asam atau pewarnaan Ziehl Neelsen merupakan pewarnaan
yang digunakan untuk mengetahui ada tidaknya bakteri Mycobakterium tuberculosis
pada sputum pasien.
5. Foto thorax1,4
Pemeriksaan ini untuk mengetahui ada tidaknya gambaran lesi tuberculosis aktif
ataupun inaktif pada paru. Pada tuberculosis aktif dapat dilihat kesuraman pada
gambaran paru seperti cavitas, lesi berawan pada segmen apical, dan superior lobus
bawah. Selain itu juga dapat ditemukannya adanya bercak milier dan efusi pleura
unilateral pada paru. Pada tuberculosis inaktif, gambaran foto thorax yang dapat
terlihat adalah gambaran fibrotik ataupun kalsifikasi.
Pemeriksaan CT-scan dan MRI dengan kontras digunakan untuk neuroimaging pada
otak. Dengan melakukan pemeriksaan ini, dapat ditemukan adanya gambaran
meningeal enhancement, hidrocephalus, eksudat basal, dan tuberculoma.
5
Anatomi Meninges Cranial7-8
Meninges cranial merupakan lapisan selaput otak yang terletak tepat di sebelah dalam dari
cranium. Meninges cranial memiliki tiga fungsi, antara lain;
1. Melindungi otak.
3. Menutupi rongga yang terisi cairan, spatium arachnoideum, guna menjaga fungsi
normal otak.
1. Lapisan dura mater, merupakan lapisan terluar yang terbentuk dari lapisan fibrosa
eksternal yang tebal dan keras. Dura mater terdiri dari yang terluar lapisan periosteal
yang menempel pada permukaan internal cranium dan yang terdalam lapisan
meningeal.
3. Lapisan pia mater, bagian terdalam dari meninges cranial dimana pada lapisan ini
merupakan lapisan yang kaya akan pembuluh darah halus. Lapisan ini menempel dan
mengikuti kontur pada permukaan otak.
Dalam menjalankan fungsinya, meninges cranial diperdarahi oleh beberapa pembuluh darah.
Pembuluh darah terbesar yang menyuplai darah bagi meninges adalah arteria meningea
media yang merupkan percabangan dari a. maxilaris. Arteria meningea media ini nantinya
akan bercabang menjadi ramus anterior dan ramus posterior untuk memperdarahi bagian
meninges lainnya. Selain itu, terdapat area-area kecil pada meninges yang diperdarahi oleh
percabangan dari arteri-arteri lain seperti ramus meningeus A. ophtalmica, cabang A.
occipitalis, dan cabang kecil dari A. vertebralis.
6
Selain itu, meninges juga memiliki beberapa persarafan yang berasal dari percabangan saraf
cranialis. Pada bagian fossa cranii anterior dan fossa crani posterior, meninges cranii
dipersarafi baik secara langsung maupun tidak langsung oleh nervus trigeminus ( N. V) yang
terbagi menjadi tiga divisi (Ramus meningeus anterior N. ethmoidalis (N.V1), ramus
meningeus N. maxillaris (N.V2) dan N. mandibularis (N.V3). Selain N. V, nervus Vagus
(N.X) dan nervus hypoglossus (N.XII) juga ikut mempersarafi fossa cranii posterior.
Working Diagnosis
Meningitis Tuberkulosa
7
mati saat terpapar sinar matahari. Mycobacterium tuberculosis mrupakan bakteri batang gram
positif yang bersifat aerob, tidak bergeral, dan tidak menghasilkan spora dengan ukuran
panjang 2-4 um dan lebar 0,2-5 um. Mycobacterium merupakan bakteri yang seringkali
menyebabkan infeksi yang bersifat kronis dikarenakan pertumbuhannya yang tergolong lama
dibanding bakteri lain, yaitu 3-8 minggu pada media solid. Mycobacterium tuberculosis
memiliki dinding sel yang tebal yang terdiri dari lipid, peptidoglikan dan arabinomanan.
Gejala yang tampak pada meningitis tuberkulosa hampir sama dengan meningitis umum
lainnya. Meningitis tuberkulosa secara klinis bersifat subakut dan juga kronik. Trias gejala
meningitis adalah demam, nyeri kepala, dan juga kaku pada leher namun kadang trias ini juga
dapat tidak ditemukan. Pengurangan kesadaran terjadi pada kurang lebih 75% pasien
meningitis mulai dari lethargy sampai koma yang dapat terjadi karena meningkatnya tekanan
intrakranial. Selain itu, gejala umum lainnya yang dapat terlihat adalah mual, muntah, dan
juga photophobia. Meningitis kronik dapat memperlihatkan berbagai gejala seperti nyeri
kepala yang berkepanjangan, sakit dan kaku pada bagian leher yang ditandai oleh
Brudzinski's atau Kernig's sign, Penurunan kesadaran dan perubahan prilaku, kelemahan pada
8
wajah (peripheral seventh cranial nerve palsy), penglihatan ganda (CNs III, IV, VI palsy),
hilangnya penglihatan yang ditandai oleh papilledema dan atrofi optik, penurunan atau
hilangnya pendengaran karena CN. XII palsy, kelemahan dan kaku pada lengan dan kaki
dikarenakan myeolopati ataupun radiculopati, dan disfungsi sfingter yang dapat disebabkan
oleh disfungsi lobus frontal karena adanya hidrosefalus. Selain gejala-gejala meningitis, pada
meningitis tuberkulosa juga dapat menunjukkan adanya gejala-gejala tuberkulosis.
Selain pemberian OAT, meningitis tuberkulosa juga diberikan obat deksametason guna
mengurangi gejala meningitis yang terjadi. Deksametason diberikan dalam dosis 10 mg iv
9
selama 2 minggu dan diturunkan secara perlahan. Pemberian kortikosteroid ini berguna untuk
mengurangi reaksi peradangan seperti edema serebri. Namun, pada kasus meningitis
tuberkulosa dengan penurunan sistem imun akibat dari HIV, pemberian kortikostreoid tidak
dilakukan.
Meningitis tuberkulosa memiliki prognosis yang buruk dan memiliki angka mortalitas yang
tinggi bila tidak didiagnosis dan diobati sesegara mungkin terutama pada pasien dengan
sistem imun yang lemah. Pada negara maju, meningitis tuberkulosa menunjukkan angka
mortalitas sekitar 7-65%. Sedangkan pada negara berkembang, angka mortalitas meningitis
tuberkulosa lebih tinggi dibanding negara maju, yaitu 69%. Angka mortalitas ini dapat
meningkat bila dipengaruhi beberapa faktor seperti usia (neonatus, balita, dan lansia), adanya
gangguan sistem imun, munculnya komplikasi, tidak mendapat vaksinasi BCG, adanya
syndrome of inappropiate diuretic hormone secretion (SIADH). Kerusakan neurologic yang
terjadi dapat tersisa pada 50% pasien yang telah sembuh dari meningitis tuberkulosa.
Diagnosis Banding
Meningitis Bekterial2
Meningitis bakterial merupakan infeksi purulen akut pada meningitis yang paling sering
terjadi. Meningitis bakterial memiliki angka kejadian yang cukup tinggi yaitu lebih dari 25
kasus per 100.000 populasi pertahunnya. Mikroorganisme yang sering kali menyebabkan
infeksi di komunitas masyarakat adalah Streptococcus pneumoniae (50%), Neisseria
10
meningitidis (25%), group B Streptococci (15%), dan Listeria monocytogenes (10%), dan
bakteri lainnya seperti Haemophilus influenzae menyebabkan kurang dari 10% kasus
meningitis bakterial. Untuk mendiagnosis meningitis bakterial ini dapat dilakukan dengan
melakukan pemeriksaan dan kultur CSF untuk mengetahui penyebab dari infeksi.
Streptococcus pneumoniae merupakan bakteri tersering yang menyebabkan meningitis
bakterial pada orang dewasa dengan usia di atas 20 tahun dengan faktor predesposisi adanya
riwayat sinusitis ataupun otitis media, meminum alkohol, diabetes, splenectomy, dan
gangguan imun lainnya. Walaupu sudah diobati dengan antibiotik, meningitis bakterial yang
disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae masih memiliki angka mortalitas sekitar 20%.
Meningitis bakterial yang disebabkan oleh N. meningitidis sudah mulai berkurang
dikarenakan adanya imunisasi (serogrup A,C,W-125,Y). Namun imunisasi tersebut tidak
mencakup N. meningitidis yang menyebabkan satu pertiga infeksi meningococcal.
Munculnya petechiae atau purpuric skin dapat menjadi penunjuk diagnosis pada infeksi oleh
penyakit ini. Grup B Streptococci atau S. agalactaie juga merupakan salah satu penyebab
meningitis bakterial yang umumnya terjadi pada bayi dan neonatus serta orang dengan usia di
atas 50 tahun. Sama halnya dengan S. agalactiae, Listeria monocytogenes juga dapat
menyebabkan meningitis bakterial pada neonatus dan pada pasien dengan usia diatas 60
tahun serta pasien-pasien dengan sistem imun yang lemah (immunocompromise). Listeria
monocytogenes merupakan bakteri yang menyebabkan infeksi melalui makanan yang
terkontaminasi bakteri ini seperti susu, keju, dan makanan siap saji lainnya. Staphylococcus
aureus juga merupakan salah satu kausatif agen pada meningitis bakterial dengan riwayat
prosedur neurogical yang bersifat invasive. Meningitis bakterial dapat terjadi dikarenakan
adanya kolonisasi bakteri yang kemudian menyebabkan terjadinya bakterimia yang
memungkinkan bakteri untuk bermigrasi ke berbagai organ tubuh manusia termasuk otak
sehingga muncul respon sistem imun yang menyebabkan terjadinya inflamasi. Gambaran
klinis yang dapat muncul pada meningitis bakterial adalah demam, nyeri kepala, dan kaku
leher. Penurunan kesadaran yang berat pun dapat terlihat pada pasien dengan meningitis
bakterial mulai dari lethargi hingga koma. Mual, muntah, dan photophobia juga merupakan
hal umum yang dikeluhkan oleh pasien. Gejala kejang terjadi pada 20-40% pasien dengan
meningitis bakterial. Peningkatan tekanan intrakranial juga merupakan komplikasi yang
kemungkinan besar terjadi pada meningitis bakterial sehingga gejala-gejala klinis yang
disebabkan oleh meningkatnya tekanan intrakranial dapat muncul seperti penurunan
kesadaran, papilledema, penurunan reflek penglihatan, palsy pada CN. VI, dan reflek
Cushing (bradikardi, hipertensi, napas ireguler). Komplikasi terberat dari meningitis bakterial
11
adalah terjadinya herniasi otak akibat dari peningkatan tekanan intrakranial yang terlalu berat.
Dalam penatalaksanaannya, meningitis bakterial termasuk dalam kasus gawat darurat dimana
pemberian antibiotik harus segera dilakukan dalam satu jam pertama pasien masuk ke rumah
sakit. Pemberian antiobiotik diberikan secara empiris terlebih dahulu sebelum hasil kultur
keluar dengan memberikan kortikosteroid deksametason untuk mengurangi reaksi inflamasi
dan pemberian antibiotik cephalosposin baik generasi tiga maupun empat (ceftriaxone,
cefotaxime, atau cefepime), dan vancomycin. Setelah diketahui agen penyebab, barulah
dilakukan pengobatan secara spesifik. Meningitis bakterial yang disebabkan oleh bakteri
meningococcal dapat diterapi dengan menggunakan penicillin dan ampicillin yang
merupakan drug of choice bagi bakteri ini. Pada bakteri pneumococcal dan basil gram
negatif, antibiotika cephalosporin generasi tiga merupakan DOC yang digunakan dalam
terapinya. Pada Staphylococcal meningitis, vancomycin merupakan DOC yang seringkali
diberikan dikarenakan adanya methicilin resistant Staphylococcus aureus (MRSA).
Sedangkan pada Listeria meningitis, pasien diobati dengan menggunakan ampicillin selama
setidaknya tiga minggu. Bila pasien memiliki alergi terhadap penisillin, trimethoprim (10-20
mg/kgBB/hari) dan sulfamethoxazole (50-100 mg/kgBB/hari) dapat diberikan selama 6 hari.
Pada pasien dengan infeksi berat, antibiotika gentamisin dapat diberikan (2 mg/kgBB loading
dose, lalu 7,5 mg/kgBB/hari dapat diberikan setiap 8 jam diikuti dengan pengamatan serum
dan fungsi ginjal. Prognosis meningitis bakterial cukup buruk dibandingkan dengan
meningitis viral dimana tingkat mortalitas pada infeksi H. influenzae, N. meningitidis, atau
grup b streptococci mencapai 3-7%, 15 % pada L. monocytogenes dan 20% pada S.
pneumoniae. Peningkatan mortalitas ini akan terus meningkat bersamaan dengan adanya
penurunan kesadaran, kejang dalam 24 jam perawatan, peningkatan tekanan intrakranial, usia
(neonatus dan lansia). Pasien yang sembuh dari meningitis bakterial ini akan menyisakan
gejala seperti penurunan intelektual, gangguan fungsi memori, kejang, gangguan atau
hilangnya pendengaran, pusing, dan gangguan gaya jalan.
Meningitis Viral2
Meningitis viral merupakan peradangan pada meninges yang disebabkan oleh infeksi virus.
Virus-virus yang dapat menyebabkan meningitis pada manusia umumnya adalah enterovirus
(echovirus, coxsackievirus, dan virus enterovirus lainnya, herpes simplex virus tipe 2 (HSV-
2), HIV, dan arbovirus. Virus lainnya yang dapat menyebabkan meningitis viral adalah
varicella zoster virus, Epstein-Barr virus, dan lymphocytic choriomeningitis virus. Meningitis
viral ini dapat diagnosis dengan menggunakan PCR cairan serebrospinalis, kultur dan
12
serologi. Meningitis viral tercatat memiliki angka kejadian sekitar 75000 kasus pertahunnya
di dunia. Meningitis viral memperlihatkan gejala klinis berupa sakit kepala, demam, dan
gejala iritasi meninges disertai tanda-tanda peradangan pada CSF. Sakit kepala pada
meningitis viral biasanya menunjukkan adanya sakit kepala pada bagian frontal dan
retroorbital dan adanya photophobia dan rasa nyeri saat menggerakan mata. Gejala kaku pada
leher juga dapat muncul namun muncul hanya pada anterfleksi. Gejala lainnya yang dapat
muncul pada meningitis viral adalah malaise, myalgia, anorexia, mual dan muntah, nyeri
abdominal, dan diare. Pasien biasanya mengalami penurunan kesadaran sepertil lethargi
ataupun mengantuk. Namun penuruan kesadaran yang berat seperti stupor ataupun koma
tidak terjadi pada meningitis voral. Kejang, gejala neurologic focal, dan kelainan pada
neuroimaging menunjukkan adanya keterlibatan parenkim otak yang dapat mengindikasikan
adanya encephalitis ataupun gangguan sistem saraf pusat lainnya. Tatalaksana yang
dilakukan dalam menangani meningitis viral biasanya dilakukan untuk mengobati gejala-
gejala yang ada, seperti pemberian antiopiretik, analgesik, dan antiemetik. Monitor cairan dan
elektrolit tubuh juga dilakukan. Pada meningitis viral, pengobatan antiviral yang diberikan
disesuaikand dengan virus penyebab yang terlah teridentifikasi. Pasien meningitis viral yang
disebabkan oleh HSV virus, Epstein-Barr' virus, dan VZV dapat diberikan antiviral acyclovir
15-30 mg/kgBB per hari yang dibagi menjadi tiga dosis dan diberikan secara intravena.
Setelah pemberian acyclovir intravena, pengobatn dapat dilanjutkan dengan memberikan
acyclovir oral (800 mg), famciclovir (500 mg), atau valacyclovir (1000 mg) selama 7-14 hari.
Pada pasien meningitis viral yang disebabkan oleh enterovirus, dapat diberikan obat
pleconaril yang menunjukkan bioavailbilitas oral yang baik dan dapat masuk ke sistem saraf
pusat. Pada pasien dengan HIV, pemberian antiretroviral juga ikut diberikan. Prognosis
meningitis viral tergolong baik dibandingkan dengan meningitis bakterial. Pada beberapa
kasus yang tergolong langka, pasien mengalami nyeri kepala persisten, gangguan mental
ringan, gangguan koordinasi tubuh, ataupu asthenia selama beberapa minggu sampai
beberapa bulan. Pada bayi dan neonatal berusia dibawah satu tahun, meningitis viral dapat
menyebabkan terjadinya gangguan intelektual, gangguan belajar, gangguan pendengaran, dan
gangguan neurologik lainnya. Beberapa pencegahan yang dapat dilakukan untuk mencegah
terjadinya meningitis viral adalah dengan melakukan vaksinasi terhadap virus penyebab.
13
Penutup
Kesimpulan
Meningitis tuberkulosa memiliki angka mortalitas yang tinggi dan harus segera didiagnosa
dan ditatalaksana seawal mungkin. Meningitis tuberkulosa dapat diterapi dengan
menggunakan obat anti tuberculosis, yaitu rifampisin, ethambutol, pyrazinamid, dan isoniazid
disertai dengan obat kortikosteroid deksametason untuk mengurangi reaksi inflamasi.
Meningitis tuberkulosa sendiri dapat dicegah dengan melakukan imunisasi BCG dan
menggunakan masker pada saat berada di tempat umum yang padat penduduk. Memberi
ventilasi yang baik dan pencahayaan yang baik pada ruangan juga dapat mencegah terjadinya
penyebaran bakteri.
Daftar pustaka
1. Bennet JE, Dolin R, Blaser MJ. Principle and practice of infectious disease. Edisi 8.
New York: Elsevier Inc; 2015. hal. 1525-62
2. Longo DL, Kasper DL, Fauci AS, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrison's
principle of internal medicine. Edisi 18. Jakarta: McGraw-Hill Companies; 2012. hal.
3410-34.
3. Brooks GF, Butel JS, Morse SA. Mikrobiologi kedokteran jawetz, melnick, dan
adelberg. Edisi 23. Jakarta: EGC; 2008. hal 325-7.
14
4. Chin JH. Tuberculous meningitis diagnostic and therapeutic. Neurologi Clinical
Practice. June 2014. hal 199-205.
5. Ramachandran TS, Singh NN. Tuberculous meningitis. 07 desember 2017. diambil
dari https://emedicine.medscape.com/article/1166190-overview#a2. Diakses pada 30
desember 2018.
6. Thwaites G, Chau TTH, Mai MTH, Drobniewski F, McAdam K, et al. Tuberculous
meningitis. J Neurol Neurosurg Psychiatry. March 2000. Vol 268. hal. 289-99.
7. Moore KL, Dalley AF, Agur AMR, Moore ME. Anatomi berorientasi klinis jilid tiga.
Edisi 5. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2013. hal. 24-35.
8. Netter FH. Atlas anatomi manusia. Edisi 6. Singapura: Elsevier; 2014. hal 101-16
15