B1 Skenario 1

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 15

Pendekatan Klinis pada Meningitis Tuberkulosa

Robert Tupan Us Abatan (102012335), Jacub Desvano Matitaputy (102014225), Niko Julian
(102016052), Steven Hartanto Kurniawan (102016280), Stella Wimona (102014071),
Thersia Ervina (102016033), Wahyu Ari Agustina (102016102), Gratia Erlinda Tomasoa
(102016187), Syela Charlin Akasian (102016250)

B1
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510, Telp. (021) 56942061

Abstrak

Meningitis merupakan peradangan pada meninges cranial yang dapat disebabkan oleh
berbagai faktor seperti bakteri, virus, dan jamur. Salah satu jenis meningitis yang diketahui
dan memiliki angka mortalitas yang tinggi bila tidak didiagnosa dan diobati sesegera
mungkin adalah meningitis tuberkulosa yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium
tuberculosis. Meningitis tuberkulosa ini terjadi karena adanya penyebaran bakteri menuju ke
susunan sistem saraf pusat secara hematogen. Meningitis tuberkulosa seringkali terjadi pada
neonatus dan anak-anak berusia di bawah 5 tahun dan orang tua berusia di atas 50 tahun,
serta pada pasien dengan immunocompromise. Meningitis tuberkulosa menunjukkan gejala
klinis seperti demam, kaku leher, dan nyeri kepala, disertai dengan penurunan kesadaran
mulai dari lethargi sampai koma. Selain gejala-gejala tersebut, meningitis tuberkulosa juga
menyebabkan berbagai komplikasi seperti hidrosefalus dan kerusakan-kerusakan pada sistem
saraf pusat. Meningitis tuberkulosa dapat diobati dengan menggunakan obat anti tuberculosis
dan juga kortikosteroid. Pencegahan meningitis tuberkulosa dapat dilakukan dengan
melakukan pencegahan terhadap agen penyebab yaitu Mycobacterium tuberculosis seperti
imunisasi BCG dan penggunaan masker, serta pencegahan tuberculosis lainnya.

Kata kunci : Meningitis, Meningitis tuberkulosa, Mycobacterium tuberculosis

Abstract
Meningitis is an inflammation of the meningeal which can be caused by various factors such
as bacteria, viruses, and fungi. One of the known types of meningitis and has a high mortality
rate if not diagnosed and treated as soon as possible is tuberculous meningitis caused by the
bacteria Mycobacterium tuberculosis. Meningitis tuberkulosa happen because of the

1
hematogenous spread of the bacteria to the central nervous system. Tuberculous meningitis
often occur in neonates and children under age 5 years and older peoples aged over 50
years, as well as in patients with immunocompromise. Clinical symptoms that indicate
tuberculous meningitis is fever, stiff neck, and the pain of the head, accompanied by a
decrease in consciousness ranging from lethargi to a comma. In addition to these symptoms,
tuberculous meningitis also cause various complications such as hydrocephalus and
damages to the central nervous system. Tuberculous meningitis can be treated with anti-
tuberculosis drugs and corticosteroids as well. Prevention of tuberculous meningitis can be
done by conducting a prevention against the causative agents Mycobacterium tuberculosis
such as immunization BCG and the use of masks in crowded places, as well as other
tuberculosis prevention

Keywords : Meningitis, Tuberculous meningitis, Mycobacterium tuberculosis

Pendahuluan

Otak manusia merupakan salah satu organ penting yang mengatur kerja tubuh. Selain
dilindungi tulang tengkorak, otak juga dilindungi oleh selaput otak yang disebut selaput
meninges. Oleh sebab itu, kelainan-kelainan yang terjadi pada meninges cranial dapat
menyebabkan terjadinya gangguan fungsi pada normal otak. Meningitis merupakan salah satu
kelainan yang terjadi pada meninges cranial dikarenakan adanya suatu infeksi baik infeksi
olah bakteri, virus, jamur maupun mikroorganisme lainnya. Salah satu jenis meningitis yang
seringkali terjadi dan memiliki komplikasi yang berbahaya dikarenakan sifatnya yang
seringkali menginfeksi susunan saraf pusat adalah meningitis akibat dari infeksi bakteri
Mycobacterium tuberculosis.1,2

Meningitis tuberkulosa sendiri merupakan komplikasi tuberculosis primer dan prevalensi


kejadiannya hampir sama dengan prevalensi terjadi infeksi oleh Mycobacterium tuberculosis.
Berbeda dengan meningitis akut, meningitis tuberkulosa memiliki perjalanan penyakit yang
panjang disertai sehingga meningitis ini bersifat subakut ataupun kronik.2

Makalah ini dibuat berdasarkan skenario dimana seorang perempuan berusia 25 tahun
memiliki keluhan nyeri kepala yang disertai demam sejak 2 minggu sebelum masuk rumah
sakit.

2
Makalah ini dibuat bertujuan agar mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan mengenai
meningitis tuberkulosa dan penyebab lainnya.

Pembahasan

Anamnesis :

Anamnesis merupakan wawancara dokter pasien yang dilakukan guna membantu


mendiagnosis pasien. Anamnesis dapat dilakukan baik antara dokter dan pasien secara
langsng (autoanamnesis) ataupun antara dokter dengan keluarga pasien yang mengetahui
pasti keadaan pasien (allo-anamnesis) apabila pasien berada dalam keadaan yang tidak
memungkinkan untuk menjawab pertanyaan. Dari anamnesis didapatkan informasi seperti
berikut :

• Keluhan Utama : Nyeri kepala disertai demam 2 minggu sebelum masuk rumah
sakit.

• RPS : Nyeri kepala terjadi terus menerus dan terasa seperti tertusuk-
tusuk di seluruh bagian kepala. Demam terasa tinggi pada
malam hari, mual muntah sejak 1 hari sebelum masuk rumah
sakit. Batuk-batuk selama 2 bulan dan tidak minum obat
teratur (minum obat warung.

• Riwayat penyakit dahulu :-

• Riwayat penyakit keluarga : -

• Riwayat pribadi :-

Pemeriksaan fisik :

Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis

3
TTV : Tekanan darah 110/70 mmHg, frekuensi napas 20 kali/menit, nadi
90 kali/menit, suhu tubuh. 37,5ºC.

Pada pemeriksaan fisik seluruh tubuh kaku kuduk positif, Kernig's sign positif, Brudzinki's
sign positif, dan paralysis N. VI bilateral.

Pemeriksaan penunjang

Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan guna menegakkan dan


menyingkirkan diagnosis, antara lain;

1. Pemeriksaan darah lengkap3

Pemeriksaan darah lengkap dapat dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya


perubahan pada komponen dan respon tubuh terhadap penyakit. Pemeriksaan darah
lengkap terdiri dari pemeriksaan hemoglobin, eritrosit, leukosit, trombosit,
hematokrit, laju endap darah.

2. Pemeriksaan LCS3-5

Pemeriksaan liquor cerebrospinalis dilakukan setelah melakukan lumbal pungsi untuk


mengetahui perubahan komponen yang terjadi pada LCS. Pada meningitis
tuberkulosis, LCS tidak mengalami perubahanya yang begitu besar dibanding dengan
meningitis bakterial dimana pada meningitis tuberkulosa yang dominan bukanlah sel
PMN (polymorfonuklear) melainkan sel MN (mononuklear). Pada meningitis
tuberkulosa juga dapat ditemukan adanya peningkatan protein (150-200 mg/dL) dan
penurunan dari glukosa (<40mg/dL). Secara makroskopik, pada meningitis
tuberkulosa tidak tampak adanya kekeruhan dengan bekuan halus (fibrin web) pada
LCS.

3. Tes Tuberkulin3

Merupakan pemeriksaan yang digunakan untuk mengetahui apakah pasien sedang


atau pernah terinfeksi tuberkulosis dengan menggunakan antigen Mycobacterium
tuberculosis yang disuntikan subkutan.

4
4. Pewarnaan BTA3

Pewarnaan batang tahan asam atau pewarnaan Ziehl Neelsen merupakan pewarnaan
yang digunakan untuk mengetahui ada tidaknya bakteri Mycobakterium tuberculosis
pada sputum pasien.

Tabel 1. Hasil pemeriksaan BTA3

5. Foto thorax1,4

Pemeriksaan ini untuk mengetahui ada tidaknya gambaran lesi tuberculosis aktif
ataupun inaktif pada paru. Pada tuberculosis aktif dapat dilihat kesuraman pada
gambaran paru seperti cavitas, lesi berawan pada segmen apical, dan superior lobus
bawah. Selain itu juga dapat ditemukannya adanya bercak milier dan efusi pleura
unilateral pada paru. Pada tuberculosis inaktif, gambaran foto thorax yang dapat
terlihat adalah gambaran fibrotik ataupun kalsifikasi.

6. CT-scan dan MRI1,4-6

Pemeriksaan CT-scan dan MRI dengan kontras digunakan untuk neuroimaging pada
otak. Dengan melakukan pemeriksaan ini, dapat ditemukan adanya gambaran
meningeal enhancement, hidrocephalus, eksudat basal, dan tuberculoma.

5
Anatomi Meninges Cranial7-8

Meninges cranial merupakan lapisan selaput otak yang terletak tepat di sebelah dalam dari
cranium. Meninges cranial memiliki tiga fungsi, antara lain;

1. Melindungi otak.

2. Menopang pembuluh darah dan sinus venosus.

3. Menutupi rongga yang terisi cairan, spatium arachnoideum, guna menjaga fungsi
normal otak.

Meninges terdiri dari tiga lapisan jaringan ikat, yaitu;

1. Lapisan dura mater, merupakan lapisan terluar yang terbentuk dari lapisan fibrosa
eksternal yang tebal dan keras. Dura mater terdiri dari yang terluar lapisan periosteal
yang menempel pada permukaan internal cranium dan yang terdalam lapisan
meningeal.

2. Lapisan arachnoidea, merupakan lapisan meninges cranial intermedia yang tipis.


Lapisan arachnoidea bersama dengan lapisan pia mater membentuk suatu membran
tipis (leptomeninx) dan membentuk spatium leptomeningeal yang nantinya akan terisi
oleh cairan serebrospinali yang berfungsi untuk membantu mempertahankan
keseimbangan cairan ekstraseluler pada otak. Lapisan ini mengandung fibroblas,
serat kolagen dan beberapa serat elastik.

3. Lapisan pia mater, bagian terdalam dari meninges cranial dimana pada lapisan ini
merupakan lapisan yang kaya akan pembuluh darah halus. Lapisan ini menempel dan
mengikuti kontur pada permukaan otak.

Dalam menjalankan fungsinya, meninges cranial diperdarahi oleh beberapa pembuluh darah.
Pembuluh darah terbesar yang menyuplai darah bagi meninges adalah arteria meningea
media yang merupkan percabangan dari a. maxilaris. Arteria meningea media ini nantinya
akan bercabang menjadi ramus anterior dan ramus posterior untuk memperdarahi bagian
meninges lainnya. Selain itu, terdapat area-area kecil pada meninges yang diperdarahi oleh
percabangan dari arteri-arteri lain seperti ramus meningeus A. ophtalmica, cabang A.
occipitalis, dan cabang kecil dari A. vertebralis.

6
Selain itu, meninges juga memiliki beberapa persarafan yang berasal dari percabangan saraf
cranialis. Pada bagian fossa cranii anterior dan fossa crani posterior, meninges cranii
dipersarafi baik secara langsung maupun tidak langsung oleh nervus trigeminus ( N. V) yang
terbagi menjadi tiga divisi (Ramus meningeus anterior N. ethmoidalis (N.V1), ramus
meningeus N. maxillaris (N.V2) dan N. mandibularis (N.V3). Selain N. V, nervus Vagus
(N.X) dan nervus hypoglossus (N.XII) juga ikut mempersarafi fossa cranii posterior.

Working Diagnosis

Meningitis Tuberkulosa

Meningitis tuberkulosa merupakan komplikasi tuberculosis primer. Meningitis tuberkulosa


adalah peradangan pada selaput meningen otak yang disebabkan oleh adanya infeksi dari
Mycobacterium tuberculosis. Meningitis tuberkulosa merupakan meningitis yang bersifat
kronis dikarenakan perjalanan penyakitnya yang panjang.

Epidemiologi Meningitis Tuberkulosa1,4

Meningitis tuberkulosa merupakan salah satu komplikasi tuberculosis primer. Meningitis


tuberkulosa memiliki angka morbiditas dan mortalitas serta prognosis yang buruk bila tidak
didiagnosa dan ditangani sesegara mungkin. Meningitis tuberkulosa merupakan kasus yang
tergolong langka pada negara maju. Di Amerika Serikat tercatat 100-150 kasus meningitis
tuberkulosa per tahunnya, kurang dari 3% dari 4100 kasus meningitis bakterial yang tercatat
pertahunnya. Meningitis tuberkuosa memiliki faktor predisposisi yang sama dengan
tuberculosis primer, yaitu sosio-ekonomi (semakin rendah semakin tinggi insidensinya),
hygiene masyarakat, usia, faktor imun (HIV, keganasan, penggunaan kortikosteroid, kelainan
genetik). Pada umumnya, meningitis tuberkulosa lebih sering dijumpai pada anak usia 0-5
tahun dibanding pada orang dewasa.

Etiologi Meningitis Tuberkulosa1,3,6

Meningitis tuberkulosis disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Mycobaterium


tuberculosis dapat menyebar dan menular melalui droplet orang yang terinfeksi ke orang lain
Mycobacterium dapat hidup dan menyebar dengan cepat pada ruang tertutup namun mudah

7
mati saat terpapar sinar matahari. Mycobacterium tuberculosis mrupakan bakteri batang gram
positif yang bersifat aerob, tidak bergeral, dan tidak menghasilkan spora dengan ukuran
panjang 2-4 um dan lebar 0,2-5 um. Mycobacterium merupakan bakteri yang seringkali
menyebabkan infeksi yang bersifat kronis dikarenakan pertumbuhannya yang tergolong lama
dibanding bakteri lain, yaitu 3-8 minggu pada media solid. Mycobacterium tuberculosis
memiliki dinding sel yang tebal yang terdiri dari lipid, peptidoglikan dan arabinomanan.

Patofisiologi Meningitis Tuberkulosa1,5,6

Meningitis tuberkulosa terjadi dikarenakan adanya penyebaran bakteri Mycobacterium


tuberculosis secara hematogen yang diawali oleh adanya infeksi tuberculosis pada paru
melalui inhalasi droplet. Meningitis tuberkulosa mengalami dua tahap dalam perjalanannya
penyakitnya. Pada awalnya M. tuberculosis menyebabkan infeksi lokal pada paru-paru
dimana bakteri ini kemudian menyebar ke kelenjar getah bening regional. Pada tahap ini,
terjadi bakterimia yang signifikan dalam waktu singkat yang memungkinkan bagi tuberkel
basil bakteri M. tuberculosis untuk meyebar ke organ lainnya. Bila tuberkel basil ini berhasil
mencapai meninges ataupun parenkim otak, dapat membentuk foci kecil subpial ataupun
supependimal dimana pada keadaan ini BTA tidak aktif dan belum timbul gejala meningitis.
Setelah terbentuknya foci, barulah masuk ke tahap kedua dimana pada tahap ini terjadi
pembesaran dan ruptur pada foci yang disebabkan karena adanya trauma ataupun penurunan
daya tahan tubuh yang menyebabkan BTA masuk ke dalam ruang subarachnoid. Pada tahap
inilah mulai timbul gejala meningitis.

Manifestasi Klinis Meningitis Tuberkulosa1,2,5,6

Gejala yang tampak pada meningitis tuberkulosa hampir sama dengan meningitis umum
lainnya. Meningitis tuberkulosa secara klinis bersifat subakut dan juga kronik. Trias gejala
meningitis adalah demam, nyeri kepala, dan juga kaku pada leher namun kadang trias ini juga
dapat tidak ditemukan. Pengurangan kesadaran terjadi pada kurang lebih 75% pasien
meningitis mulai dari lethargy sampai koma yang dapat terjadi karena meningkatnya tekanan
intrakranial. Selain itu, gejala umum lainnya yang dapat terlihat adalah mual, muntah, dan
juga photophobia. Meningitis kronik dapat memperlihatkan berbagai gejala seperti nyeri
kepala yang berkepanjangan, sakit dan kaku pada bagian leher yang ditandai oleh
Brudzinski's atau Kernig's sign, Penurunan kesadaran dan perubahan prilaku, kelemahan pada

8
wajah (peripheral seventh cranial nerve palsy), penglihatan ganda (CNs III, IV, VI palsy),
hilangnya penglihatan yang ditandai oleh papilledema dan atrofi optik, penurunan atau
hilangnya pendengaran karena CN. XII palsy, kelemahan dan kaku pada lengan dan kaki
dikarenakan myeolopati ataupun radiculopati, dan disfungsi sfingter yang dapat disebabkan
oleh disfungsi lobus frontal karena adanya hidrosefalus. Selain gejala-gejala meningitis, pada
meningitis tuberkulosa juga dapat menunjukkan adanya gejala-gejala tuberkulosis.

Komplikasi Meningitis Tuberkulosa2,5

Meningitis tuberkulosa dapat menyebabkan berbagai komplikasi, seperti hidrocephalus


dikarenakan adanya gangguan absorpsi akibat penyebaran inflamasi ataupun tuberkuloma
yang menyebabkan terjadinya oklusi pada sistena basalis. Hidrocephalus merupakan
komplikasi yang sering terjadi pada meningitis tuberkulosa walaupun telah mendapat terapi.
Selain hidocephalus, meningitis tuberkulosa juga dapat menyebabkan terjadinya hilangnya
pendengaran dikarenakan paralysis N. XII dan juga kebutaan mata dikarenakan rusaknya N.
II dan kelumpuhan otot yang dipersarafi oleh N. III, IV, dan VI.

Tatalaksana Meninngitis Tuberkulosa1,2,4,6

Tatalaksana meningitis tuberkulosa dilakukan dengan menggunakan obat-obatan anti


tuberculosis untuk membunuh bakteri penyebab. Pengobatan meningitis tuberkulosa yang
dilakukan secara empiris dilakukan karena kurangnya kepastian dari laboratorium dapat
dilakukan dengan menggunakan kombinasi obat anti tuberkulosis yaitu isoniazid (300
mg/hari), rifampisin (10 mg/ kgBB per hari), pirazinamid (30 mg/ kgBB perhari dalam dosis
yang telah dibagi), ethambutol (15-25 mg/kgBB per hari dalam dosis yang telah dibagi),
pyrodoxine (50 mg/hari). Setelah kepekaan M. tuberculosis akan antimikroba diketahui,
pemberian antibiotika ethambutol dapat dihentikan. Bila respon klinis dinilai bagus,
pemberian pyrazinamid dapat dihentikan setalah 8 minggu dan hanya pemberian rifampisin
dan isoniazid yang terus dilanjutkan selama 6-12 bulan. Pemberian antibiotika dapat
diberhentikan setelah 6 bulan bila gejala meningitis sudah mengilang dan kultur cairan
serebrospinalis menunjukkan hasil yang negatif. Namun, bila gejala meningitis tidak
berkurang atau menghilang, atau bila pada saat pengobatan berjalan kultur CSF masih
menunjukkan hasil yang positif, maka pengobatan pemberian OAT dilakukan 9-12 bulan.

Selain pemberian OAT, meningitis tuberkulosa juga diberikan obat deksametason guna
mengurangi gejala meningitis yang terjadi. Deksametason diberikan dalam dosis 10 mg iv

9
selama 2 minggu dan diturunkan secara perlahan. Pemberian kortikosteroid ini berguna untuk
mengurangi reaksi peradangan seperti edema serebri. Namun, pada kasus meningitis
tuberkulosa dengan penurunan sistem imun akibat dari HIV, pemberian kortikostreoid tidak
dilakukan.

Prognosis Meningitis Tuberkulosa4-6

Meningitis tuberkulosa memiliki prognosis yang buruk dan memiliki angka mortalitas yang
tinggi bila tidak didiagnosis dan diobati sesegara mungkin terutama pada pasien dengan
sistem imun yang lemah. Pada negara maju, meningitis tuberkulosa menunjukkan angka
mortalitas sekitar 7-65%. Sedangkan pada negara berkembang, angka mortalitas meningitis
tuberkulosa lebih tinggi dibanding negara maju, yaitu 69%. Angka mortalitas ini dapat
meningkat bila dipengaruhi beberapa faktor seperti usia (neonatus, balita, dan lansia), adanya
gangguan sistem imun, munculnya komplikasi, tidak mendapat vaksinasi BCG, adanya
syndrome of inappropiate diuretic hormone secretion (SIADH). Kerusakan neurologic yang
terjadi dapat tersisa pada 50% pasien yang telah sembuh dari meningitis tuberkulosa.

Pencegahan Meningitis Tuberkulosa1,4-6

Meningitis tuberkulosa dapat dicegah dengan melakukan pencegahan terhadap agen


penyebab. Pencegahan tuberculosis dapat dilakukan dengan melakukan imunisasi BCG untuk
menghindari atau mengurangi dampak infeksi oleh Mycobacterium tuberculosis.
Menggunakan masker disaat berada di tempat umum dan menjaga kebersihan lingkungan
untuk mencegah terjadinya kolonisasi bakteri. Penggunaan ventilasi yang baik dan
pencahayaan pada tempat tinggal juga dapat membantu mencegah penyebaran bakteri. Pasien
penderita tuberculosis juga ikut bertanggung jawab dalam mencegah penyebaran tuberculosis
dimana pasien tuberculosis diminta untuk menutup mulut disaat batuk.

Diagnosis Banding

Meningitis Bekterial2

Meningitis bakterial merupakan infeksi purulen akut pada meningitis yang paling sering
terjadi. Meningitis bakterial memiliki angka kejadian yang cukup tinggi yaitu lebih dari 25
kasus per 100.000 populasi pertahunnya. Mikroorganisme yang sering kali menyebabkan
infeksi di komunitas masyarakat adalah Streptococcus pneumoniae (50%), Neisseria

10
meningitidis (25%), group B Streptococci (15%), dan Listeria monocytogenes (10%), dan
bakteri lainnya seperti Haemophilus influenzae menyebabkan kurang dari 10% kasus
meningitis bakterial. Untuk mendiagnosis meningitis bakterial ini dapat dilakukan dengan
melakukan pemeriksaan dan kultur CSF untuk mengetahui penyebab dari infeksi.
Streptococcus pneumoniae merupakan bakteri tersering yang menyebabkan meningitis
bakterial pada orang dewasa dengan usia di atas 20 tahun dengan faktor predesposisi adanya
riwayat sinusitis ataupun otitis media, meminum alkohol, diabetes, splenectomy, dan
gangguan imun lainnya. Walaupu sudah diobati dengan antibiotik, meningitis bakterial yang
disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae masih memiliki angka mortalitas sekitar 20%.
Meningitis bakterial yang disebabkan oleh N. meningitidis sudah mulai berkurang
dikarenakan adanya imunisasi (serogrup A,C,W-125,Y). Namun imunisasi tersebut tidak
mencakup N. meningitidis yang menyebabkan satu pertiga infeksi meningococcal.
Munculnya petechiae atau purpuric skin dapat menjadi penunjuk diagnosis pada infeksi oleh
penyakit ini. Grup B Streptococci atau S. agalactaie juga merupakan salah satu penyebab
meningitis bakterial yang umumnya terjadi pada bayi dan neonatus serta orang dengan usia di
atas 50 tahun. Sama halnya dengan S. agalactiae, Listeria monocytogenes juga dapat
menyebabkan meningitis bakterial pada neonatus dan pada pasien dengan usia diatas 60
tahun serta pasien-pasien dengan sistem imun yang lemah (immunocompromise). Listeria
monocytogenes merupakan bakteri yang menyebabkan infeksi melalui makanan yang
terkontaminasi bakteri ini seperti susu, keju, dan makanan siap saji lainnya. Staphylococcus
aureus juga merupakan salah satu kausatif agen pada meningitis bakterial dengan riwayat
prosedur neurogical yang bersifat invasive. Meningitis bakterial dapat terjadi dikarenakan
adanya kolonisasi bakteri yang kemudian menyebabkan terjadinya bakterimia yang
memungkinkan bakteri untuk bermigrasi ke berbagai organ tubuh manusia termasuk otak
sehingga muncul respon sistem imun yang menyebabkan terjadinya inflamasi. Gambaran
klinis yang dapat muncul pada meningitis bakterial adalah demam, nyeri kepala, dan kaku
leher. Penurunan kesadaran yang berat pun dapat terlihat pada pasien dengan meningitis
bakterial mulai dari lethargi hingga koma. Mual, muntah, dan photophobia juga merupakan
hal umum yang dikeluhkan oleh pasien. Gejala kejang terjadi pada 20-40% pasien dengan
meningitis bakterial. Peningkatan tekanan intrakranial juga merupakan komplikasi yang
kemungkinan besar terjadi pada meningitis bakterial sehingga gejala-gejala klinis yang
disebabkan oleh meningkatnya tekanan intrakranial dapat muncul seperti penurunan
kesadaran, papilledema, penurunan reflek penglihatan, palsy pada CN. VI, dan reflek
Cushing (bradikardi, hipertensi, napas ireguler). Komplikasi terberat dari meningitis bakterial
11
adalah terjadinya herniasi otak akibat dari peningkatan tekanan intrakranial yang terlalu berat.
Dalam penatalaksanaannya, meningitis bakterial termasuk dalam kasus gawat darurat dimana
pemberian antibiotik harus segera dilakukan dalam satu jam pertama pasien masuk ke rumah
sakit. Pemberian antiobiotik diberikan secara empiris terlebih dahulu sebelum hasil kultur
keluar dengan memberikan kortikosteroid deksametason untuk mengurangi reaksi inflamasi
dan pemberian antibiotik cephalosposin baik generasi tiga maupun empat (ceftriaxone,
cefotaxime, atau cefepime), dan vancomycin. Setelah diketahui agen penyebab, barulah
dilakukan pengobatan secara spesifik. Meningitis bakterial yang disebabkan oleh bakteri
meningococcal dapat diterapi dengan menggunakan penicillin dan ampicillin yang
merupakan drug of choice bagi bakteri ini. Pada bakteri pneumococcal dan basil gram
negatif, antibiotika cephalosporin generasi tiga merupakan DOC yang digunakan dalam
terapinya. Pada Staphylococcal meningitis, vancomycin merupakan DOC yang seringkali
diberikan dikarenakan adanya methicilin resistant Staphylococcus aureus (MRSA).
Sedangkan pada Listeria meningitis, pasien diobati dengan menggunakan ampicillin selama
setidaknya tiga minggu. Bila pasien memiliki alergi terhadap penisillin, trimethoprim (10-20
mg/kgBB/hari) dan sulfamethoxazole (50-100 mg/kgBB/hari) dapat diberikan selama 6 hari.
Pada pasien dengan infeksi berat, antibiotika gentamisin dapat diberikan (2 mg/kgBB loading
dose, lalu 7,5 mg/kgBB/hari dapat diberikan setiap 8 jam diikuti dengan pengamatan serum
dan fungsi ginjal. Prognosis meningitis bakterial cukup buruk dibandingkan dengan
meningitis viral dimana tingkat mortalitas pada infeksi H. influenzae, N. meningitidis, atau
grup b streptococci mencapai 3-7%, 15 % pada L. monocytogenes dan 20% pada S.
pneumoniae. Peningkatan mortalitas ini akan terus meningkat bersamaan dengan adanya
penurunan kesadaran, kejang dalam 24 jam perawatan, peningkatan tekanan intrakranial, usia
(neonatus dan lansia). Pasien yang sembuh dari meningitis bakterial ini akan menyisakan
gejala seperti penurunan intelektual, gangguan fungsi memori, kejang, gangguan atau
hilangnya pendengaran, pusing, dan gangguan gaya jalan.

Meningitis Viral2

Meningitis viral merupakan peradangan pada meninges yang disebabkan oleh infeksi virus.
Virus-virus yang dapat menyebabkan meningitis pada manusia umumnya adalah enterovirus
(echovirus, coxsackievirus, dan virus enterovirus lainnya, herpes simplex virus tipe 2 (HSV-
2), HIV, dan arbovirus. Virus lainnya yang dapat menyebabkan meningitis viral adalah
varicella zoster virus, Epstein-Barr virus, dan lymphocytic choriomeningitis virus. Meningitis
viral ini dapat diagnosis dengan menggunakan PCR cairan serebrospinalis, kultur dan

12
serologi. Meningitis viral tercatat memiliki angka kejadian sekitar 75000 kasus pertahunnya
di dunia. Meningitis viral memperlihatkan gejala klinis berupa sakit kepala, demam, dan
gejala iritasi meninges disertai tanda-tanda peradangan pada CSF. Sakit kepala pada
meningitis viral biasanya menunjukkan adanya sakit kepala pada bagian frontal dan
retroorbital dan adanya photophobia dan rasa nyeri saat menggerakan mata. Gejala kaku pada
leher juga dapat muncul namun muncul hanya pada anterfleksi. Gejala lainnya yang dapat
muncul pada meningitis viral adalah malaise, myalgia, anorexia, mual dan muntah, nyeri
abdominal, dan diare. Pasien biasanya mengalami penurunan kesadaran sepertil lethargi
ataupun mengantuk. Namun penuruan kesadaran yang berat seperti stupor ataupun koma
tidak terjadi pada meningitis voral. Kejang, gejala neurologic focal, dan kelainan pada
neuroimaging menunjukkan adanya keterlibatan parenkim otak yang dapat mengindikasikan
adanya encephalitis ataupun gangguan sistem saraf pusat lainnya. Tatalaksana yang
dilakukan dalam menangani meningitis viral biasanya dilakukan untuk mengobati gejala-
gejala yang ada, seperti pemberian antiopiretik, analgesik, dan antiemetik. Monitor cairan dan
elektrolit tubuh juga dilakukan. Pada meningitis viral, pengobatan antiviral yang diberikan
disesuaikand dengan virus penyebab yang terlah teridentifikasi. Pasien meningitis viral yang
disebabkan oleh HSV virus, Epstein-Barr' virus, dan VZV dapat diberikan antiviral acyclovir
15-30 mg/kgBB per hari yang dibagi menjadi tiga dosis dan diberikan secara intravena.
Setelah pemberian acyclovir intravena, pengobatn dapat dilanjutkan dengan memberikan
acyclovir oral (800 mg), famciclovir (500 mg), atau valacyclovir (1000 mg) selama 7-14 hari.
Pada pasien meningitis viral yang disebabkan oleh enterovirus, dapat diberikan obat
pleconaril yang menunjukkan bioavailbilitas oral yang baik dan dapat masuk ke sistem saraf
pusat. Pada pasien dengan HIV, pemberian antiretroviral juga ikut diberikan. Prognosis
meningitis viral tergolong baik dibandingkan dengan meningitis bakterial. Pada beberapa
kasus yang tergolong langka, pasien mengalami nyeri kepala persisten, gangguan mental
ringan, gangguan koordinasi tubuh, ataupu asthenia selama beberapa minggu sampai
beberapa bulan. Pada bayi dan neonatal berusia dibawah satu tahun, meningitis viral dapat
menyebabkan terjadinya gangguan intelektual, gangguan belajar, gangguan pendengaran, dan
gangguan neurologik lainnya. Beberapa pencegahan yang dapat dilakukan untuk mencegah
terjadinya meningitis viral adalah dengan melakukan vaksinasi terhadap virus penyebab.

13
Penutup

Kesimpulan

Meningitis tuberkulosa merupakan komplikasi tuberculosis primer yang disebabkan oleh


penyebaran bakteri secara hematogen. Meningitis tuberkulosa disebabkan oleh bakteri
Mycobakterium tuberculosis yang merupakan bakteri aerob batang tahan asam gram positif.
Meningitis tuberkulosa tuberkulosa umumnya terjadi pada anak berusia 0-5 tahun dan lansia
berusia diatas 50 tahun, serta pasien dengan penurunan sistem imun. Meningitis tuberkulosa
umumnya menunjukkan gejala klinis berupa nyeri kepala, kaku leher, demam, penurunan
kesadaran, mual, muntah, juga photophobia , kelemahan pada wajah (peripheral seventh
cranial nerve palsy), penglihatan ganda (CNs III, IV, VI palsy), dan hilangnya penglihatan
yang ditandai oleh papilledema dan atrofi optik.

Meningitis tuberkulosa memiliki angka mortalitas yang tinggi dan harus segera didiagnosa
dan ditatalaksana seawal mungkin. Meningitis tuberkulosa dapat diterapi dengan
menggunakan obat anti tuberculosis, yaitu rifampisin, ethambutol, pyrazinamid, dan isoniazid
disertai dengan obat kortikosteroid deksametason untuk mengurangi reaksi inflamasi.
Meningitis tuberkulosa sendiri dapat dicegah dengan melakukan imunisasi BCG dan
menggunakan masker pada saat berada di tempat umum yang padat penduduk. Memberi
ventilasi yang baik dan pencahayaan yang baik pada ruangan juga dapat mencegah terjadinya
penyebaran bakteri.

Daftar pustaka

1. Bennet JE, Dolin R, Blaser MJ. Principle and practice of infectious disease. Edisi 8.
New York: Elsevier Inc; 2015. hal. 1525-62
2. Longo DL, Kasper DL, Fauci AS, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrison's
principle of internal medicine. Edisi 18. Jakarta: McGraw-Hill Companies; 2012. hal.
3410-34.
3. Brooks GF, Butel JS, Morse SA. Mikrobiologi kedokteran jawetz, melnick, dan
adelberg. Edisi 23. Jakarta: EGC; 2008. hal 325-7.

14
4. Chin JH. Tuberculous meningitis diagnostic and therapeutic. Neurologi Clinical
Practice. June 2014. hal 199-205.
5. Ramachandran TS, Singh NN. Tuberculous meningitis. 07 desember 2017. diambil
dari https://emedicine.medscape.com/article/1166190-overview#a2. Diakses pada 30
desember 2018.
6. Thwaites G, Chau TTH, Mai MTH, Drobniewski F, McAdam K, et al. Tuberculous
meningitis. J Neurol Neurosurg Psychiatry. March 2000. Vol 268. hal. 289-99.

7. Moore KL, Dalley AF, Agur AMR, Moore ME. Anatomi berorientasi klinis jilid tiga.
Edisi 5. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2013. hal. 24-35.
8. Netter FH. Atlas anatomi manusia. Edisi 6. Singapura: Elsevier; 2014. hal 101-16

15

Anda mungkin juga menyukai