Anda di halaman 1dari 3

Ban Bekas Solusi Gempa Bumi di Indonesia

Oleh : Ikhwan (0801183348)


3 IKM 8

Faktanya gempa bumi memang terjadi setiap hari, bukannya hanya akhir akhir ini dan
tidak semua gempa itu bisa dirasakan. Situs US Geological Survey menyebutkan:
Diperkirakan ada 500.000 gempa bumi terdeteksi di dunia setiap tahun. Dari angka itu,
100.000 dapat dirasakan, dan 100 di antaranya menyebabkan kerusakan. Bagaimana dengan
di Indonesia? Indonesia berada pada pertemuan tiga lempeng tektonik utama; Lempeng
Eurasia di bagian utara, kemudian Lempeng Indo-Australia yang menyusup di bawah
Lempeng Eurasia dan Lempeng Pasifik dan Filipina di bagian timur. (Lempeng tektonik
adalah lempengan kerak Bumi yang bergerak dengan sangat perlahan di seluruh permukaan
planet kita.) Pergerakan lempeng-lempeng tersebut menyebabkan terjadinya penimbunan
energi secara perlahan-lahan. Ketika akumulasi energi tersebut dilepaskan dengan tiba-tiba,
maka itulah yang kita namakan gempa tektonik. Bertemunya tiga lempeng utama tersebut
terjadi di Indonesia, maka tidak heran kalau negeri ini menjadi biangnya gempa di seluruh
dunia.
Di tambah lagi indonesia termasuk ke dalam wilayah ring of fire. Sering mendengar
istilah ring of fire?. Faktanya, cincin api pasifik (ring of fire) adalah istilah yang digunakan
untuk menyebut suatu daerah yang sering mengalami letusan gunung berapi aktif dan gempa
bumi, tutur laman Facts of Indonesia. Wilayah ini meliputi sekitar cekungan Samudra Pasifik
dan memiliki bentuk seperti tapal kuda. Panjang area yang termasuk dalam cincin api pasifik
adalah 40.000 km. 90 persen gempa bumi yang terjadi di dunia, 81 persen terjadi di daerah
yang termasuk dalam cincin api pasifik. Setidaknya, terdapat 33 wilayah di bumi yang masuk
dalam cincin api Pasifik, tentu Indonesia termasuk di dalamnya.
Tepat sebulan yang lalu tanggal 2 Agustus 2019 Gempa magnitudo 6,9 mengguncang
wilayah Banten, Gempa ini potensi menimbulkan tsunami hingga ke wilyah Pangandaran dan
Jawa Barat, gempa ini juga mengakibatkan kerugian materiil dengan 113 bangunan rusak,
terdiri dari 34 unit rumah rusak berat, 21 unit rumah rusak sedang, 58 unit rumah rusak
ringan, 1 unit kantor desa rusak ringan, dan 2 unit masjid rusak ringan.
Tahun Lalu tepatnya tangga 28 September 2018 Indonesia juga merasakan gempa bumi di
Sulawesi Tengah dengan magnitudo 7.7. Magnitudo gempa yang besar tersebut menyebabkan
terjadinya Tsunami di kota Palu dan Donggala yang meninggalkan jejak korban jiwa maupun
materialnya hingga 13 triliun lebih. Padahal sebelumnya pada 19 Agustus 2018, Lombok
diguncang gempa dengan magnitudo 6.5 yang terjadi beberapa kali dengan kekuatan besar
dan ratusan kali dengan kekuatan yang kecil, bencana di Lombok menelan korban jiwa lebih
dari 500 jiwa, 2.500 dilarikan kerumah sakit, dan 270.000 masarakat kehilangan tempat
tinggal. Gempa bumi memporak porandakan bangunan di Lombok dan sekitarnya yang di
akibatkan kualitas bangunan dan perencanaan kota yang kurang baik sehingga di daerah
tersebut mengalami kerusakan yang begitu parah.
Juan Bernal-Sanchez dan timnya dari Edinburgh Napier University melakukan
percobaan dengan membuat bangunan yang dapat mengurangi guncangan gempa. Inovasi
yang dilakukan oleh Juan dkk adalah membangun pondasi bangunan menggunakan bahan
utama limbah ban bekas yang kita tahu bahwa limbah tersebut sangat berbahaya karna
mengandung racun dan karbon dioksida. Terlebih perilaku masyarakat Indonesia sering
melakukan pembakaran terhadap limbah sampah tanpa ada pengolahan terlebih dahulu
sehingga berdampak mencemari lingkungan.
Pondasi menggunakan bahan baku ban bekas ini sangat menjanjikan karena selain
mengurangi limbah berbahaya juga dapat mengurangi guncangan pada bangunan saat terjadi
gempa. Butiran ban bekas yang sudah diproses di campur dengan pasir agar berfungsi untuk
meredam getaran. Sebelum riset Juan dkk dilakukan, telah di kembangkan alat penahan
getaran yang disebut Viba oleh University of Brighton. Viba adalah rancangan penahan
getaran bawah tanah yang dapat mengurangi getaran karena gempa bumi hingga 40% – 80%,
terdiri dari karet dan tanah. Viba terlihat sungguh prospektif untuk menahan keruntuhan
bangunan ketika gempa terjadi karena alat tersebut dipasang di bawah tanah dan di sekitar
bangunan yang berdiri. Namun kelemahan dari alat yang masih dalam tahap pengembangan
tersebut adalah pembuatannya yang rumit dan membutuhhkan biaya yang besar (karet dalam
jumlah besar) dalam pembuatan alatnya. Juan dkk berinovasi dengan mengganti karet ke ban
bekas yang setiap tahunnya terkumpul 15 juta ton.
Secara fisika, campuran ban bekas dengan pasir dapat mengubah frekuensi alami
bangunan ketika terjadi getaran tanah akibat gempa bumi. Interaksi antara bangunan dan
fondasi (campuran ban bekas serta pasir)  diharapkan dapat mencegah adanya keruntuhan
bangunan ketika adanya gaya horizontal yang diakibatkan oleh gempa bumi. Mekanisme
tersebut juga dapat dianalogikan layaknya Crumple zone pada mobil keluaran terbaru. Desain
mobil saat ini memiliki rangka yang lebih mudah untuk penyok pada bagian depan dan
belakang mobil di bandingkan dengan mobil yang terdahulu.  Rangka yang rapuh tersebut
berfungsi untuk menyalurkan energi benturan pada mobil agar tidak merusak kabin pada
mobil. Nah, campuran ban bekas pada fondasi bangunan inilah yang akan terkena dampak
terlebih dahulu ketika terjadi gempa.
Eksperimen yang dilakukan oleh Juan dkk menggunakan ban bekas dengan rata rata
ukuran potongan sebesar 1,5 mm, lalu ban bekas tersebut dicampur pasir dengan persentase
ban bekas yang berbeda-beda yakni sebesar 10%, 20%, dan 30%. Kemudian dilakukan
perlakuan terhadap pondasi tersebut dengan memberikan tegangan amplitudo (guncangan)
mulai dari 0.05%, 0.1%, 0.2%, dan 1%. Perlakuan tersebut bertujuan untuk memastikan
apakah campuran pondasi tersebut dapat optimal menahan guncangan gempa yang terjadi.
Hasil percobaan menunjukkan bahwa persentase ban bekas sebesar 30 % dapat secara
signifikan meningkatkan kemampuan bangunan dalam meredam guncangan yang di berikan
dibandingkan persentase-persentase lainnya. Bahkan pada persentase ban bekas 30%,
bangunan tidak mudah hancur ketika di berikan guncangan dengan amplitudo yang semakin
besar.
Juan dkk masih terus menyempurnakan temuan mereka agar pondasi campuran ban
bekas dan pasir dapat efisien dan efektif menahan berbagai macam tipe gempa bumi yang
melanda, seperti menggunakan persentase ban bekas yang lebih besar atau mencampurkannya
dengan bahan lain. Apakah penemuan ini akan memecahkan masalah pergempaan di
Indonesia?. Kita tunggu saja, karna Indonesia sangat membutuhkan teknologi penahan gempa
sebab letak geografis Indonesia yang menjadikannya sebagai negara “Biang”nya gempa.

Anda mungkin juga menyukai