Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

TYPOID

Disusun Oleh :

Indah Dwi Magfiroh

NIM :201801005

PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN

STIKES BANYUWANGI

2020
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan pendahuluan ini telah di terima dan di setujui pada :

Disetujui

Hari :

Tanggal :

Pembimbing

Ns.Atik Pramesti Wilujeng,M.Kep


NIK. 06.038.0609
BAB I

1.1 DEFINISI

Demam Tifoid merupakan penyakit infeksi akut yang mengenai saluran pencernaan
dengan gejala seperti demam lebih dari tujuh hari, gangguan pada saluran cerna, dan
beberapa kasus yang tergolong berat menyebabkan adanya gangguan kesadaran (Akhsin, Z.
2010).

Demam tyfoidadalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh bakteri
Salmonellatyphi atau Salmonella paratyphi A, B dan C (widoyono,2011).

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi sistemik akut yang mengenai sistem
retikulo-endotelial, kelenjar limfe saluran cerna, dan kandung empedu. Disebabkan terutama
oleh Salmonella enterica serovar typhi (S.typhi) dan menular melalui jalur fekal-oral
(Sidabutar S, 2011).

Typhoid adalah penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan


infeksi Salmonella Thypi. Organisme ini masuk melalui makanan dan minuman yang sudah
terkontaminasi oleh faeses dan urine dari orang yang terinfeksi kuman Salmonella (Smeltzer,
2014).

1.2 ETIOLOGI

Demam tifoid timbul akibat dari infeksi oleh bakteri golongan Salmonella yaitu
Salmonella thypi, S paratyphi A, S paratyphi B dan S paratyphi C. Bakteri tersebut memasuki
tubuh penderita melalui saluran pencernaan (Inawati, 2009).

1.3 MANIFESTASI KLINIS

Menurut Ngastiyah (2012 : 237) Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih
ringan jika dibandingdengan penderita dewasa. Selama inkubasi mungkin di temukan gejala
prodomal perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat.
Kemudian menyusul gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu :

1. Demam
a. Minggu I
Dalam minggu pertama gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya,
yaitu demam, nyeri kepala, pusing, anoreksia, mual, muntah, diare, perasaan tidk enak
di perut, batuk. Pada pemeriksaan fisiknya hanya di dapatkan suhu badan meningkat.

b. Minggu II
Dalam minngu kedua gejala menjadi lebih jelas dengan demam, bradikardi relative,
lidah yang khas (kotor di tengah, tepi dan ujung merah dan tremor), hepatomegali,
splenomegaly, meteroismus, gangguanmental berupa salmonella, stupor, koma,
delirium atau psikosis, roseolae jarang ditemukan pada orang Indonesia.

c. Minggu III
Dalam minggu ke tiga suhu badan berangsur angsur menurun dan normal kembali
pada akhir minggu ketiga.
2. Gangguan pada saluran pencernaan
a. Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap.
b. Bibir kering dan pecah-pecah (ragaden).
c. Lidah ditutupi selaput putih kotor, ujung dan tepinya kemerahan, jarang
disertai tremor.
d. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan perut kembung.
e. Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada perabaan.
f. Biasanya didapatkan konstipasi, akan tetapi mungkin pula normal bahkan
dapat terjadi diare.
3. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapadalam, yaitu apatis
sampai somnolen. Jarang terjadi stupor, koma atau gelisah.

1.4 PATOFISIOLOGI
Patofisiologi Demam Typoid Salmonella thypi dapat ditularkan melalui berbagai cara,
yang dikenal dengan 5 F yaitu Food (makanan), Fingers (jari tangan/kuku), Fomitus
(muntah), Fly (lalat), dan melalui Feses. Yang paling menojol yaitu lewat mulut manusia
yang baru terinfeksi selanjutnya menuju lambung, sebagian kuman akan dimusnahkan oleh
asam lambung dan sebagian lagi lolos masuk ke usus halus bagian distal (usus bisa terjadi
iritasi) dan mengeluarkan endotoksin sehingga menyebabkan darah mengandung bakteri
(bakterimia) primer, selanjutnya melalui aliran darah dan jaringan limpoid plaque menuju
limfa dan hati. Di dalam jaringan limpoid ini kuman berkembang biak, lalu masuk ke aliran
darahsehingga menimbulkan tukak berbentuk lonjong pada mukosa usus. Tukak dapat
menyebabkan perdarahan dan perforasi usus. Perdarahan menimbulkan panas dan suhu tubuh
dengan demikian akan meningkat.sehingga beresiko kekurangan cairan tubuh.Jika kondisi
tubuh dijaga tetap baik, akan terbentuk zat kekebalan atau antibodi. Dalam keadaan seperti
ini, kuman typhus akan mati dan penderita berangsurangsur sembuh (Zulkoni.2011).
Salmonella typhidan Salmonella paratyphimasuk kedalam tubuh manusia melalui
makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan
sebagian lagi masuk ke usus halus dan 14 berkembang biak. Bila respon imunitas humoral
mukosa IgA usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel dan selanjutnya ke
lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit
terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan
selanjutnya dibawa ke plaque Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening
mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag
ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang asimptomatik)
dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-
organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau
ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan
bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi
sistemik, seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepaladan sakit perut (Sudoyo A.W., 2010).
1.5 PATHWAY
Minuman dan makanan
yang terkontaminasi

Mulut

Saluran pencernaan

Typhus Abdominalis

Peningkatan asam lambung Usus

Proses infeksi Limfoid plaque penyeri di


Perasaan tidak enak pada
perut, mual, muntah ileum terminalis
(anorexia) Merangsang peningkatan
peristaltic usus Perdarahan dan
perforasi intestinal
Diare
Kuman masuk aliran
Hipovolemia limfe mesentrial

Menuju hati dan limfa

Kuman berkembang biak

Kekurangan
volume cairan Jaringan tubuh (limfa) Hipertrofi
(hepatosplenomegali)

Peradangan Penekanan pada saraf di hati


Kurang intake cairan

Pelepasan zat pyrogen Nyeri ulu hati Nyeri Akut

Pusat termogulasi tubuh

Hipertermia
1.6 KLASIFIKASI

ada 3 macam klasifikasi demam tifoid dengan perbedaan gejala klinis:


1) Demam tifoid akut nonkomplikasi
Demam tifoid akut dikarakteristikkan dengan adanya demam berkepanjangan
abnormalis, fungsi bowel (konstipasi pada pasien dewasa, dan diare pada anak
%anak), sakit kepala, malaise, dan anoksia. Bentuk bronchitis biasa terjadi pada
fase awal penyakit selama periode demam, sampai 25% penyakit menunjukkan
adanya rose spot pada dada, abdomen dan punggung.
2) Demam tifoid
Dengan komplikasiPada demam tifoid akut, keadaan mungkin dapat berkembang
menjadi komplikasi parah. Bergantung pada kualitas pengobatan dan keadaan
kliniknya, hinngga 10% pasien dapat mengalami komplikasi, mulai dari melena,
perforasi, usus dan peningkatan ketidak nyamanan abdomen.
2) Keadaan karier
Keadaan karier tifoid terjadi pada 1-5% pasien, tergantung umur pasien. Karier
tifoid bersifatkronis dalam hal sekresi Salmenella typhidifeses.
(Fitrianggraini, A., 2012)
1.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan diagnostik untuk pasien dengan kasus febris typhoid menurut Corwin (2000)


antara lain:
1.    Pemeriksaan Leukosit
Pada febris typhoid terhadap ileumopenia dan limfobrastis relatif tetap kenyataan
leukopenia tidaklah sering dijumpai. Pada kasus febris typhoid jumlah leukosit pada
sediaan darah tepi pada berada dalam batas normal, walaupun kadang-kadang terikat
leukositanis tidak ada komplikasi berguna untuk febris typhoid.
2.    Pemeriksaan SGOT dan SGPT
Sering kali meningkat tetapi kembali normal setelah sembuhnya febris typhoid,
kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan pembatasan pengobatan.
3.    Biakan Darah
Bila biakan darah (+) memastikan febris typhoid tetapi biakan (-) tidak menutup
kemungkinan akan terjadi febris typhoid. Hal ini karena hasil biakan darah bergantung
pada beberapa faktor, yaitu :
a)   Tekhnik pemeriksaan laboratorium.
Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan laboratorium yang lain, hal
ini disebabkan oleh perbedaan teknik dan media biakan yang digunakan. Waktu
pengambilan darah yang baik adalah pada saat demam tinggi yaitu pada saat
bakteremia berlangsung.
b)   Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit.
Biakan darah terhadap salmonella thypi terutama positif pada minggu pertama
dan berkurang pada minggu-minggu berikutnya. Pada waktu kambuh biakan
darah dapat positif kembali.
c)    Vaksinasi di masa lampau.
Vaksinasi terhadap demam typhoid di masa lampau dapat menimbulkan antibodi
dalam darah klien, antibodi ini dapat menekan bakteremia sehingga biakan darah
negatif.
d)   Pengobatan dengan obat anti mikroba.
Bila klien sebelum pembiakan darah sudah mendapatkan obat anti mikroba
pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil biakan mungkin
negatif.

4.    Uji Widal
Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin).
Aglutinin yang spesifik terhadap salmonella thypi terdapat dalam serum klien dengan
typhoid juga terdapat pada orang yang pernah divaksinasikan. Antigen yang
digunakan pada uji widal adalah suspensi salmonella yang sudah dimatikan dan
diolah di laboratorium. Tujuan dari uji widal ini adalah untuk menentukan adanya
aglutinin dalam serum klien yang disangka menderita typhoid. Akibat infeksi oleh
salmonella thypi, klien membuat antibodi atau aglutinin yaitu :
·      Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh
kuman).
·      Aglutinin H, yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal dari flagel
kuman).
·      Aglutinin Vi, yang dibuat karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai
kuman)

Pada orang normal, aglutinin O dan H positif. Aglutinin O bisa sampai 1/10
sedangkan aglutinin H normal bisa 1/80 atau 1/160. 1/10. 1/80, 1/160 ini merupakan
titer atau konsentrasi. Pada orang normal tetap ditemukan positif karena setiap waktu
semua orang selalu terpapar kkuman Salmonella. Tes widal dikatakan positif jika H
1/800 dan O 1/400. Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang
ditentukan titernya untuk diagnosa, makin tinggi titernya makin besar klien menderita
typhoid.

1.8 Penatalaksanaan (Inawati, 2009)

1. Tirah baring absolut minimal 7-14 hari sampai bebas demam


2. Terapi suportif misalnya pemberian cairan, elektrolit, bila terjadi gangguan
keseimbangan cairan, vitamin, dan mineral yang dibutuhkan oleh tubuh dan
kortikosteroid untuk mempercepat penurunan demam.
3. Obat :
a. Kloramfenikol
b. Tiamfenikol
c. Ko-trimoksazol
d. Ampisilin dan Amoksisilin
e. Sefalosporin
f. Fluorokinolon
g. Furazolidon

1.9 PENCEGAHAN
Usaha yang bisa dilakukan untuk mencegah penyakit ini adalah :
1). Vaksinasi untuk mencegah agar seseorang terhindar dari penyakit ini dilakukan
vaksinasi, kini sudah ada vaksin tipes atau tifoid yang disuntikan atau diminum
dan dapat melindungi seseorang dalam waktu 3 tahun.
2). Pendidikan kesehatan pada masyarakat : hygiene, sanitasi, personal hygiene.
3). Dari sisi lingkungan hidup :
a. Penyediaan air minum yang memenuhi syarat kesehatan.
b. Pembuangan kotoran manusia yang higienis.
c. Pemberantasan lalat
d. Pengawasan terhadap masakan dirumah dan penyajian pada penjual makanan
(Akhsin Zulkoni, 2011)
BAB 2

KONSEP ASKEP

TYPHOID

2.1 PENGKAJIAN

Pengkajian mencangkup data yang dikumpulkan melalui wawancara, pengumpulan


riwayat kesehatan,pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dan reviuw dari catatan
sebelumnya

a. Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat, dan pekerjaan.
b. Riwayat keluhan utama
Keluhan yang dijelaskan oleh pasien pertama kali datang
c. Riwayat keluhan masa lalu
Keluhan yang pernah dialami sebelumnya.
d. Pengkajian fisik
Keadaan umum
Tingkah laku
BB dan TB
Pengkajian head to toe
e. Nutrisi
Kebiasaan makan, frekuensi makan, nafsu makan, alergi, minum, dikaji riwayat
sebelum dan sesudah masuk RS
f. Eliminasi
Kebiasaaan BAB dan BAK, frekuensi ,warna, konsistensi sebelum dan sesudah
masuk RS
g. Istirahat tidur
Kebiasaan tidur, lama sebelum dan sesudah masuk RS
h. Personal hygine
Frekuensi mandi,gosok gigi, dan mencuci rambut

2.2 DIAGNOSA

1. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit


2. Hipovolemia berhubungan dengan kehilangan cairan aktif
3. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan

2.3 INTERVENSI

No Diagnosa Kriteria hasil Intervensi


1. Hipertermia Setelah dilakukan asuhan Manajemen hipertermia (I.
berhubungan dengan keperawatan selama 3 x 24 jam 15506) :
proses penyakit diharapkan tidak terjadi hipertermia Observasi :
dengan kriteria hasil : 1. Identifikasi penyebab
Termoregulasi (L.14134) hipertermia
1. Pucat menurun (5) 2. Monitor suhu tubuh
2. Suhu tubuh membaik (5) 3. Monitor kadar elektrolit
3. Suhu kulit membaik (5) 4. Monitor haluaran urine
5. Monitor komplikasi
akibat hipertermi
Terapeutik :
1. Sediakan lingkungan
yang dingin
2. Longgarkan pakaian
3. Basahi dan kibasi
bagian tubuh
4. Berikan cairan oral
5. Ganti linen lebih sering
jika berkeringan lebih
6. Lakukan pendinginan
eksternal
Edukasi ;
1. Anjurkan tirah baring
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian
cairan dan elektrolit iv
jika perlu
2. Hipovolemia Setelah dilakukan asuhan Manajemen hipovolemia
berhubungan dengan keperawatan selama 3 x 24 jam (I.03116):
kehilangan cairan diharapkan tidak terjadi kehilangan Observasi :
aktif cairan lagi dengan kriteria hasil 1. Periksa tanda dan gejala
:status cairan (L.03028) hipovolemia
1. Turgor kulit membaik 2. Monitor intake dan
(5) output cairan
2. Berat badan membaik Terapeutik :
(5) 1. Hitung kebutuhan
3. Intake cairan membaik cairan
(5) 2. Berikan asupan cairan
4. Suhu tubuh membaik (5 oral
Edukasi :
1. Anjurkan
memperbanyak cairan
oral
2. Anjurkan menghindari
perubahan posisi
mendadak
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian
cairan iv isotonis
2. Kolaborasi pemberian
cairan iv hipotonis
3. Kolaborasi pemberian
cairan koloid
3. Intoleransi aktifitas Setelah dilakukan asuhan Manajemen energy (I.05178) :
berhubungan dengan keperawatan selama 3 x 24 jam Observasi :
kelemahan diharapkan tidak terjadi toleransi 1. Identifikasi gangguan
aktifitas akibat kelelahan dengan fungsi tubuh yang
kriteria hasil : toleransi aktifitas mengakibatkan
(L.05047) kelelahan
1. Keluhan lelah menueun (5) 2. Monitor krlrlahan fisik
2. Kemudahan melakukan Terapeutik:
aktifitas sehari hari 1. Lakukan latihan
meningkat (5) rentanggerak pasif dan
3. Perasaan lemah menurun aktif
(5) 2. Fasilitasi duduk di sisi
tempat tidur
Edukasi :
1. Anjurkan tirah baring
2. Anjurkan melakukan
aktivitas secara
bertahap
3. Anjurkan menghubungi
perawat jika tanda dan
gejala kelelahan tidak
berkurang
4. ajarkan stategi koping
untuk mengurangi
kelelahan
Kolaborasi :
1. Kolaborasi dengan ahli
gizi tentang cara
meningkatkan asupan
makanan

2.4 Implementasi
Oleh tindakan untuk tujuan yang spesifik. Pelaksanaan implementasi
merupakan aplikasi dari perencanaan keperawatan oleh perawat dan klien
(Nursallam, 2017).

Ada beberapa tahap dalam tindakan keperawatan yaitu :

1. Tahap persiapan menurut perawatan mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan


dalam tindakan.
2. Tahap intervensi adalah kegiatan pelaksanaan dari rencana yang meliputi kegiatan
independent, dependent, dan interdependent.
3. Tahap implementasi adalah pencatatan yang lengkap dan akurat terhadap suatu
kegiatan dalam proses keperawatan.

2.5 Evaluasi

Evaluasi adalah suatu yang direncanakan dan perbandingan yang sistematis pada
system kesehatan klien, tipe pernyataan evaluasi ada dua yaitu formatif dan surmatif.
Pernyataan formatif merefleksi observasi perawatan dan analisa terhadap klien
terhadap respon langsung dari intervensi keperawatan.Pernyataan surmatif adalah
merefleksi rekapitulasi dan synopsis observasi dan analisa mengenai status kesehatan
klien terhadap waktu.Pernyataan ini menguraikan kemajuan terhadap pencapaian
kondisi yang dijelaskan dalam hasil yang diharapkan (Nursallam, 2017).

Daftar pustaka
Akhsin, Z. Parasitologi. 1. Yogyakarta: Nuha Medika. 2010.

Widoyono. Penyakit Tropis : Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, dan Pemberantasannya.


Jakarta: Erlangga; 2011.

Sidabutar S, Satari HI. Pilihan Terapi Empiris Demam Tifoid pada Anak: Kloramfenikol atau
Seftriakson?. Sari Pediatri. 2010; 11 (6): 434-439.

Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth, edisi 8. Jakarta : EGC

Inawati. (2009). Demam Tifoid. Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma. Edisi Khusus.
Hal 31-36.
Ngastiyah, 2012. Perawatan anak sakit.EdisiII. Jakarta: EGC.

Sudoyo, A. W. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.

Fitrianggraini, A., 2012.Evaluasi Pola Penggunaan Antibiotik pada Pasien Anak Penderita
Demam Tifoid

Zulkoni Akhsin. 2011.Parasitologi. Yogyakarta : Nuha Medika.

Nursalam. 2017. Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Edisi 3. Jakarta. Salemba Medika

LEMBAR KONSUL
HARI/TANGGAL REVISI PARAF

Anda mungkin juga menyukai