Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN HIPERGLIKEMI

Untuk Memenuhi
Tugas kelompok GADAR

Disusun Oleh :
1. Indah Dwi Mahgfiro (20180100
2. Indah Sari (201801007)
3. Lidiya Riski Apriliya (201801008)

PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN


STIKES BANYUWANGI
T/A 2020/2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat rahmat dan karunia-Nya, makalah yang berjudul: “Asuhan keperawatan
Hiperglikemi” ini dapat terselesaikan dengan tepat waktu.
Penulisan makalah ini merupakan salah satu syarat yang harus diselesaikan
dalam mengikuti mata kuliah Gadar. Dalam penyelesaian makalah ini banyak
terdapat keterbatasan, kekurangan dan kelemahan. Namun berkat bantuan dan
bimbingan serta kerja sama dari anggota kelompok maka makalah ini dapat
terselesaikan.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna,
untuk itu kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan dari
pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Akhirnya penulis ucapkan terima kasih yang kepada semua pihak yang telah
membantu penyelesaian makalah ini.

Banyuwangi, November 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................i
DAFTAR ISI.................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................1
1.1 Latar Belakang................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah...........................................................................................2
1.3 Tujuan.............................................................................................................2
1.3.1 Tujuan Umum..........................................................................................2
1.3.2 Tujuan Khusus.........................................................................................2
1.4 Manfaat...........................................................................................................3
1.4.1 Akademi...................................................................................................3
1.4.2 Praktek Klinik..........................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................4
2.1 Konsep Hiperglikemia....................................................................................4
2.1.1 Pengertian hiperglikemia.............................................................................4
2.1.2 Pengertian Hiperglikemi Hiperosmolaritas.................................................4
2.1.3 Etiologi........................................................................................................5
2.1.4 Klasifikasi....................................................................................................6
2.1.5 Patofisiologi................................................................................................7
2.1.6 Manifestasi Hiperglikemia..........................................................................8
2.1.7 Komplikasi................................................................................................10
2.1.8 Pemeriksaan Diagnostik............................................................................10
2.1.9 Penatalaksanaan........................................................................................12
2.2 Konsep Asuhan Keperawatan Gawat Darurat Hiperglikemia......................18
2.2.1 Pengkajian.............................................................................................18
2.2.2 Diagnosa Keperawatan..........................................................................22
2.2.3 Intervensi...............................................................................................22
BAB III TINAUAN KASUS DAN PEMBAHASAN................................................28
3.1 Kasus.............................................................................................................28
3.2 Pembahasan Kasus.......................................................................................29
3.2.1 Pengkajian :...........................................................................................29
3.2.2 Anallisa Data.........................................................................................31
3.2.3 Diagnosa Keperawatan :........................................................................32
3.2.4 Intervensi :.............................................................................................32
BAB III PENUTUP.....................................................................................................36
3.1 Kesimpulan...................................................................................................36
3.2 Saran.............................................................................................................36
Daftar Pustaka

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hiperglikemia merupakan pengertian dari suatu kondisi ketika kadar
glukosa darah meningkat melebihi batas normalnya. Hiperglikemia menjadi
salah satu gejala awal seseorang mengalami gangguan metabolik yaitu diabetes
mellitus (Kementerian Kesehatan RI, 2014).
Data Riset Kesehatan Dasar 2013 menunjukkan bahwa jumlah penderita
diabetes dengan ciri khusus yaitu kondisi hiperglikemia di Indonesia semakin
meningkat sejak tahun 2007 yaitu sebesar 5,7% menjadi 6,8% di tahun 2013.
Hiperglikemia dapat disebabkan oleh ketidakmampuan pankreas dalam
menghasilkan insulin maupun ketidakmampuan tubuh dalam menggunakan
insulin yang dihasilkan dengan baik (Kementerian Kesehatan RI, 2014).
Insulin merupakan hormon berbasis protein yang berfungsi untuk
mengatur kadar glukosa darah dalam tubuh. Peran insulin sangat penting
terutama saat terjadi peningkatan kadar glukosa darah yang berlebih
(hiperglikemia) dalam tubuh (Kementerian Kesehatan RI, 2014). Berbagai
penelitian telah dilakukan untuk meningkatkan produksi insulin dalam tubuh
sebagai upaya untuk menstabilkan atau menurunkan kadar glukosa darah yang
berlebih (hiperglikemia).
Penelitian oleh Floyd et.,al (1966) menunjukkan bahwa konsumsi
makanan tinggi protein khususnya asam amino l-leusin terbukti dapat
meningkatkan secara signifikan kadar plasma insulin dalam tubuh. Hal ini
menunjukkan bahwa tingkat konsumsi asam amino tertentu dari bahan pangan
dapat mempengaruhi sekresi insulin dalam tubuh. Penelitian ini didukung oleh
penelitian lanjutan yang dilakukan oleh Floyd et.,al (1966) bahwa pemberian
campuran asam amino selain asam amino l-leusin secara intravena pada subjek
sehat dapat memacu pengeluaran insulin dalam tubuh. Hal ini semakin

1
membuktikan bahwa secara tidak langsung protein berperan penting dalam
memicu pembentukan insulin dalam tubuh.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimanakah konsep asuhan keperawatan gawat darurat pada klien dengan
Kritis Krisis Hiperglikemi?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui konsep asuhan keperawatan gawat darurat pada klien dengan Kritis
Krisis Hiperglikemi.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Mengetahui pengertian Kritis Krisis Hiperglikemi
b. Mengetahui etiologi Kritis Krisis Hiperglikemi
c. Mengetahui manifestasi klinis Kritis Krisis Hiperglikemi
d. Mengetahui patofisiologi Kritis Krisis Hiperglikemi
e. Mengetahui pemeriksaan diagnostik Kritis Krisis Hiperglikemi
f. Mengetahui penatalaksanaan Kritis Krisis Hiperglikemi
g. Mengetahui komplikasi Kritis Krisis Hiperglikemi
h. Mengetahui konsep dasar asuhan keperawatan gawat darurat pada klien Kritis
Krisis Hiperglikemi
1.4 Manfaat
1.4.1 Akademi
Menambah wawasan para akademisi, khususnya mahasiswa keperawatan,
serta menambah literatur pembelajaran tentang asuhan keperawatan gawat darurat
pada klien dengan Kritis Krisis Hiperglikemi.
1.4.2 Praktek Klinik
Mengetahui serta dapat menerapkan asuhan keperawatan gawat darurat pada
klien dengan Kritis Krisis Hiperglikemi dengan tepat.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Hiperglikemia


2.1.1 Pengertian
Hiperglikemia merupakan kondisi berupa terjadinya peningkatan kadar glukosa
darah dalam tubuh melebihi batas normal (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia,
2015).
Hiperglikemia adalah suatu gejala yang timbul akibat ketidakmampuan
pankreas dalam menghasilkan cukup insulin maupun ketidakmampuan tubuh dalam
menggunakan insulin yang dihasilkan dengan baik (Kementerian Kesehatan RI,
2014).
Hiperglikemia menjadi salah satu tanda awal seseorang mengalami diabetes
mellitus (DM) (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2015). Jumlah penderita
diabetes yang ditandai dengan hiperglikemia terus meningkat yaitu sebesar 5,7% pada
tahun 2007 menjadi 6,8% pada tahun 2013 (Kementerian Kesehatan RI, 2014).
Pada semua krisis hiperglikemik, hal yang mendasarinya adalah defisiensi
insulin, relatif ataupun absolut, pada keadaan resistensi insulin yang meningkat.
Kadar insulin tidak adekuat untuk mempertahankan kadar glukosa serum yang
normal dan untuk mensupres ketogenesis. Hiperglikemia sendiri selanjutnya
dapat melemahkan kapasitas sekresi insulin dan menambah berat resistensi
insulin sehingga membentuk lingkaran setan dimana hiperglikemia bertambah
berat dan produksi insulin makin kurang.

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-tanda dehidrasi berat seperti


turgor yang buruk, mukosa pipi yang kering, mata cekung, perabaan ekstremitas yang
dingin dan denyut nadi yang cepat dan lemah. Temuan laboratorium awal pada pasien
dengan HHS adalah kadar glukosa darah yang sangat tinggi ( >600 mg per dL) dan
osmolaritas serum yang tinggi ( >320 mOsm per kg air [normal = 290 ± 5]) dengan
Ph lebih besar dari 7,30 dan disertai ketonemia ringan. HHS menyebabkan tubuh

3
banyak kehilangan berbagai macam elektrolit. Kadar natrium harus dikoreksi jika
kadar glukosa darah pasien sangat meningkat. Penatalaksanaan HHS meliputi lima
pendekatan yaitu 1). Rehidrasi intravena agresif; 2). Penggantian elektrolit; 3.) Baru
kemudian dilakukan pemberian insulin intravena untuk menghindari cairan akan
berpindah ke intrasel dan berpotensi menyebabkan perburukan hipotensi serta kolaps
vaskular, 4.) Diagnosis dan manajemen faktor pencetus dan penyakit penyerta dan 5).
Pencegahan.

2.1.2 Pengertian Hiperglikemi Hiperosmolaritas


Hyperglycaemic hyperosmolar state (HHS) adalah satu keadaan
kegawatdaruratan medis. HHS berbeda dengan ketoasidosis diabetik (KAD) dan
penatalaksanaannya memerlukan pendekatan yang beerbeda. Meskipun biasanya
terjadi pada orang dewasa, HHS pernah terjadi pada orang dewasa muda dan remaja,
sering sebagai kejadian awal dari diabetes mellitus tipe 2 (DMT2). HHS
menyebabkan kematian lebih tinggi daripada KAD dan mungkin disertai oleh
komplikasi vaskular seperti infark miokard, stroke atau trombosis arteri perifer.
Kejang, edema serebral dan mielinolisis pons sentral (CPM) merupakan komplikasi
jarang tapi dijelaskan sebagai komplikasi dari HHS. Ada beberapa bukti bahwa
perubahan yang cepat dalam Osmolalitas selama pengobatan mungkin sebagai faktor
presipitasi dari CPM. Sementara DKA memiliki onset beberapa jam, HHS terjadi
dalam beberapa hari, dan akibatnya dehidrasi dan gangguan metabolisme yang lebih
ekstrim.

2.1.3 Etiologi
Penyebab tidak diketahui dengan pasti tapi umumnya diketahui kekurangan
insulin adalah penyebab utama dan faktor herediter yang memegang peranan penting.
Penyebab yang lain akibat pengangkatan pankreas, pengrusakan secara kimiawi sel
beta pulau langerhans, Faktor predisposisi herediter, obesitas, faktor imunologi; pada
penderita hiperglikemia khususnya DM terdapat bukti adanya suatu respon autoimun.
Respon ini merupakan repon abnormal dimana antibody terarah pada jaringan normal

4
tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggap sebagai jaringan
asing.
Krisis hiperglikemia pada diabetes tipe 2 biasanya terjadi karena ada keadaan
yang mencetuskannya. Faktor pencetus krisis hiperglikemia ini antara lain :
a. Infeksi : meliputi 20 –55% dari kasus krisis hiperglikemia dicetuskan oleh
Infeksi. Infeksinya dapat berupa : Pneumonia, Infeksi traktus urinarius, abses,
sepsis.
b. Penyakit vaskular akut: Penyakit serebrovaskuler, Infark miokard akut, emboli
paru, thrombosis vena mesenterika
c. Trauma, luka bakar, hematom subdural. Heat stroke
d. Kelainan gastrointestinal : Pankreatitis akut, kholesistitis akut. obstruksi intestinal
e. Obat-obatan :Diuretika, steroid, Lain-lain
Pada diabetes tipe 1, krisis hiperglikemia sering terjadi karena yang
bersangkutan menghentikan suntikan insulin ataupun pengobatannya tidak
adekuat. Keadaan ini terjadi pada 20-40% kasus KAD. Pada pasien muda
dengan DM tipe 1, permasalahan psikologis yang diperumit dengan gangguan
makan berperan sebesar 20% dari seluruh faktor yang mencetuskan ketoasidosis.
Faktor yang bisa mendorong penghentian suntikan insulin pada pasien muda
meliputi ketakutan akan naiknya berat badan pada keadaan kontrol metabolisme
yang baik, ketakutan akan jatuh dalam hypoglikemia, pemberontakan terhadap
otoritas, dan stres akibat penyakit kronis.
Etiologi HHS:
a. Dehidrasi
b. Pneumonia
c. UTI
d. Penyakit akut: stroke, perdarahan intrakranial, miokard infark, meningkatkan
hormon (kortisol, katekolamin, stress, emboli pulmo, meningkatkan level glukosa,
glukagon)
e. Disfungsi ginjaL.
f. Gagal jantung kongestif

5
g. Obat yang meningkatkan level glukosa, menghambat insulin atau menyebabkan
dehidrasi: diuretik, B-Bloker, antipsikotik atipikal, alkohol, kakain, dextrose.
h. Elder abuse
i. Noncompliance terapi oral hipoglikemik/insulin

2.1.4 Klasifikasi
a. Hiperglikemia sedang
Peningkatan kadar gula dalam darah pada fase awal dimana gula darah dalam
level >126 mg/dl untuk gula darah puasa.
b. Hiperglikemia berat
Peningkatan kadar gula dalam darah pada level 200mg/dl untuk gula darah
puasa setelah terjadi selama beberapa periodik tanpa adanya hypoglikemic
medication. Pada hiperglikemia kronis sudah harus dilakukan tindakan dengan
segera, karena dapat meningkatkan resiko komplikasi pada kerusakan ginjal,
kerusakan neurologi, jantung, retina, ekstremitas dan diabetic neuropathy
merupakan hasil dari hiperglikemi jangka panjang. (Frier, BM et al,.2004).

2.1.5 Patofisiologi
Pada semua krisis hiperglikemik, hal yang mendasarinya adalah defisiensi
insulin, relatif ataupun absolut, pada keadaan resistensi insulin yang meningkat.
Kadar insulin tidak adekuat untuk mempertahankan kadar glukosa serum yang
normal dan untuk mensupres ketogenesis. Hiperglikemia sendiri selanjutnya
dapat melemahkan kapasitas sekresi insulin dan menambah berat resistensi
insulin sehingga membentuk lingkaran setan dimana hiperglikemia bertambah
berat dan produksi insulin makin kurang.
Pada KAD dan SHH, disamping kurangnya insulin yang efektif dalam
darah, terjadi juga peningkatan hormon kontra insulin, seperti glukagon,
katekholamin, kortisol, dan hormon pertumbuhan. Hormon - hormon ini
menyebabkan peningkatan produksi glukosa oleh ginjal dan hepar dan gangguan
utilisasi glukosa dijaringan, yang mengakibatkan hyperglikemia dan perubahan

6
osmolaritas extracellular. Kombinasi kekurangan hormon insulin dan
meningkatnya hormon kontrainsulin pada KAD juga mengakibatkan
penglepasan/release asam lemak bebas dari jaringan adipose (lipolysis) ke dalam
aliran darah dan oksidasi asam lemak hepar menjadi benda keton (ß -
hydroxybutyrate [ß -OHB] dan acetoacetate) tak terkendali, sehingga
mengakibatkan ketonemia dan asidosis metabolik. Pada sisi lain, SHH mungkin di
sebabkan oleh konsentrasi hormon insulin plasma yang tidak cukup untuk
membantu ambilan glukosa oleh jaringan yang sensitif terhadap insulin, tetapi
masih cukup adekuat ( dibuktikan dengan C-peptide) untuk mencegah terjadinya
lipolisis dan ketogenesis; akan tetapi bukti-bukti untuk teori ini masih lemah. KAD
dan SHH berkaitan dengan glikosuria, yang menyebabkan diuresis osmotik,
sehingga air, natrium, kalium, dan elektrolit lain keluar.
Patofisiologi HHS:
Hiperosmolar Hiperglikemik State (HHS) terjadi sebagai akibat dari kombinasi
penurunan fungsi insulin dan peningkatan kontra-regulatori hormon, seperti
glukagon, katecholamin, kortisol, dan growth hormon yang ditandai dengan sindrom
HHS yaitu dehidrasi, hiperglikemia, hiperosmolar tanpa disertai adanya ketosis. Hal
ini menyebabkan peningkatan glukoneogenesis di hati dan produksi insulin di ginjal
serta gangguan penggunaan insulin pada jaringan perifer, yang pada akhirnya dapat
menyebabkan hiperglikemi dan hiperosmolar pada ruang ekstraseluler tanpa ketosis
karena pada HHS insulin plasma tidak adekuat untuk memfasilitasi penggunaan
glukosa oleh jaringan akan tetapi sangat adekuat untuk mencegah lipolisis dan
ketogenesis lewat mekanisme yang belum diketahui. HHS biasanya terjadi pada
orang tua dengan DM, penyakit penyerta, infeksi, efek pengobatan, penyalahgunaan
obat, dan noncompliance.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-tanda dehidrasi berat seperti
turgor yang buruk, mukosa pipi yang kering, mata cekung, perabaan ekstremitas yang
dingin dan denyut nadi yang cepat dan lemah. Temuan laboratorium awal pada pasien
dengan HHS adalah kadar glukosa darah yang sangat tinggi ( >600 mg per dL) dan
osmolaritas serum yang tinggi ( >320 mOsm per kg air [normal = 290 ± 5]) dengan

7
Ph lebih besar dari 7,30 dan disertai ketonemia ringan. HHS menyebabkan tubuh
banyak kehilangan berbagai macam elektrolit. Kadar natrium harus dikoreksi jika
kadar glukosa darah pasien sangat meningkat. Penatalaksanaan HHS meliputi lima
pendekatan yaitu 1). Rehidrasi intravena agresif; 2). Penggantian elektrolit; 3.) Baru
kemudian dilakukan pemberian insulin intravena untuk menghindari cairan akan
berpindah ke intrasel dan berpotensi menyebabkan perburukan hipotensi serta kolaps
vaskular, 4.) Diagnosis dan manajemen faktor pencetus dan penyakit penyerta dan 5).
Pencegahan.

2.1.6 Manifestasi Hiperglikemia


a. Hiperglikemia Sedang
Pada hiperglikemia akut belum terlihat tanda dan gejala yang bermakna,
namun seseorang yang memiliki hiperglikemia akut biasanya mengalami osmotik
dieresis. Keadaan ini biasanya terjadi karena kontrol gula darah yang rendah.
b. Hiperglikemia Berat
- Weight loss (Kehilangan berat badan tanpa alasan)
- Poor wound healing (Proses penyembuhan luka lama)
- Dry mouth (Mulut kering)
- Dry or itchy skin (Kulit kering atau gatal)
- Tingling in feet or heels (Kesemutan pada ekstremitas)
- Erectile dysfunction (Disfungsi ereksi)
- Recurrent infections, external ear infections (swimmer's ear) (Rentan terjhadap
infeksi)
- Cardiac arrhythmia (Peningkatan irama jantung)
- Stupor (Kejang)
- Coma (Koma)
- Seizures (Pingsan) (Jauch Chara K, et al,. 2007).
Manifestasi HHS:
a. Hiperglikemia : glukosa serum 600 mg/dl atau lebih
b. Hiperosmolaritas : osmolalitas 320 mOsm/kg atau lebih

8
c. Dehidrasi berat
d. pH >7,3
e. Konsentrasi bikarbonat >15 mEq/L
f. Tanpa ketoasidosis bermakna, ketonuria sedikit, ketonemia rendah/tidak ada
g. Pada pasien DM tipe 2
h. Poliuri, polidipsi, polifagi
i. BB turun drastis
j. Mual, muntah
k. Nyeri perut tidak tipikal
l. Dehidrasi
m. Badan lemas
n. Deficit neurology fokal/global: kejang, hemiparesis, deficit sensoris, pandangan
kabur
o. Gangguan kesadaran (apatis-koma)

2.1.7 Komplikasi
Hiperglikemia akan menjadi masalah yang serius jika tidak ditangani dengan
tepat. Ketoasidosis (KAD) merupakan salah satu komplikasi dari hiperglikemia
jangka panjang dimana tanda gejalanya antara lain: nafas pendek, nafas bau buah,
mual muntah dan mulut kering. Selain ketoasidosis, hiperglikemia juga dapat
meningkatkan komplikasi pada gagal jantung dan ginjal. Jika hiperglikemia terjadi
lama hal ini dapat menyebabkan penurunan aliran darah terutama pada kaki dan
terjadi kerusakan saraf, sehingga kaki mudah mendapat luka dan sulit sembuh
(Gangren

2.1.8 Pemeriksaan Diagnostik


Diagnosis dapat dibuat dengan gejala-gejala diatas + GDS > 200 mg% (Plasma
vena). Bila GDS 100-200 mg% → perlu pemeriksaan test toleransi glukosa oral.
Kriteria baru penentuan diagnostik DM menurut ADA menggunakan GDP > 126
mg/dl. Pemeriksaan lain yang perlu diperhatikan:

9
a. Glukosa darah
b. Hb
c. Gas darah arteri
d. Insulin darah
e. Elektrolit darah
f. Urinalisis
g. Ultrasonografi
Evaluasi Laboratorium awal pasien dengan kecurigaan KAD atau SHH
meliputi penentuan kadar glukosa plasma, urea nitrogen/kreat inin serum, keton,
elektrolit (dengan anion gap), osmolaritas, analisa urine, benda keton urin
dengan dipstik, analisa gas darah pemeriksaan sel darah lengkap dengan hitung
jenis, dan elektrokardiogram. Kultur bakteri dari air seni, darah, dan
tenggorokan dan lain-lain harus dilakukan dan antibiotik yang sesuai harus
diberikan jika dicurigai ada infeksi. A1c mungkin bermanfaat untuk menentukan
apakah episode akut ini adalah akumulasi dari suatu proses evolusiner yang
tidak di diagnosis atau DM yang tidak terkontrol ,atau suatu episodeakut pada
pasien yangterkendali dengan baik. Foto thorax harus dikerjakan jika ada indikasi.
Konsentrasi natrium serum pada umumnya berkurang oleh karena
perubahan osmotik yang terjadi terus menerus dari intr asellular ke extracellular
dalam keadaan hiperglikemia. Konsentrasi kalium serum mungkin meningkat
oleh karena pergeseran k alium extracellular yang disebabkan oleh kekurang an
hormon insulin, hypertonisitas, dan asidemia. Pasien dengan konsentrasi kalium
serum rendah atau lownormal pada saat masuk, mungkin akan kekurangan
kalium yang berat pada saat perawatan sehingga perlu diberi kalium dan perlu
monitoring jantung yang ketat, sebab terapi krisis hiperglikemia akan
menurunkan kalium lebih lanjut dan dapat menimbulkan disritmia jantung.
Adanya stupor atau koma pada pasien DM tanpa peningkatan osmolalitas
efektif ( > 320 mOsm/kg) perlu pertimbangan kemungkinan lain penyebab
perubahan status mental. Pada mayoritas pasien DKA kadar amilase meningkat,
tetapi ini mungkin berkaitan dengan sumber nonpankreatik. Serum lipase

10
bermanfaat untuk menentukan diagnosa banding dengan pankreatitis. Nyeri
abdominal dan peningkatan kadar amilase dan enzim hati lebih sering terjadi pada
DKA dibandingkan dengan SHH.
Kriteria diagnostik dan klasifikasi HHS
Glukosa plasma(dalam mg/dL) > 600
pH arteri > 7,3
Bikarbonat serum(dalam mEq/L) > 15
Keton urin + ringan/-
Keton serum + ringan/-
Osmolalitas serum (dalam > 320
mOsm/kg)*
Anion Gap <>

Hasil laboratorium yang perlu dipantau pada SHH:


a. Natrium : Efek osmotik dari keadaan hiperglikemia membuat cairan
berpindah dari ekstravaskular ke intravaskular. Untuk setiap 100 mg/dL glukosa
(jika kadar glukosa > 100 mg/dL), kadar natrium serum dapat menurun hingga 1,6
mEq/L. Ketika kadar glukosa turun, maka natrium serum dapat meningkat.
b. Kalium : Kadar kalium dapat bervariasi. Kondisi asidosis pada pasien dapat
menyebabkan perpindahan kalium dari intraseluler ke ekstraseluler sehingga akan
terjadi hiperkalemia.1 Keadaan defisiensi insulin yang lama pada pasien DM
membuat pasien mengalami hiperkalemia ringan yang kronik. Pada keadaan akut,
pasien dapat mengalami ekskresi kalium yang berlebih melalui ginjal ataupun
gastrointestinal karena kondisi diuresis osmotik, sehingga terjadi masking effect
yang dapat membuat kadar kalium dalam kisaran normal. Oleh karena itu, pada
penatalaksanaan keadaan akut pasien DM, baik pada pemberian kalium maupun
terapi insulin, kadar kalium harus selalu dievaluasi dengan ketat agar tidak terjadi
aritmia jantung. Elektrokardiogram dapat digunakan sebagai sarana evaluasi
keadaan jantung.
c. Peningkatan kadar BUN, sebagai pengaruh dari keadaan dehidrasi pasien.
Kadarnya harus dipantau untuk melihat ada tidaknya insufusiensi renal.

11
d. Urinalisis : Digunakan untuk menilai adanya glukosuria atau ketosis urin.
Selain itu, urinalisis juga dapat digunakan jika dicurigai terjadi infeksi pada traktus
urinarius.

2.1.9 Penatalaksanaan
Tujuan utama terapi Hiperglikemia adalah mencoba menormalkan aktivitas
insulin dan kadar glukosa darah dan upaya mengurangi terjadinya komplikasi
vaskuler serta neuropati. Ada 4 komponen dalam penatalaksanaan hiperglikemia :
a. Olahraga (namun jika gula darah diatas 240 mg/dl dan ketika diperiksa terdapat
keton dalam urin maka olahraga harus dihentikan)
b. Diet rendah gula
c. Terapi insulin
d. Hypoglicemic medication
Penanganan komplikasi Hiperglkemia yaitu ketoasidosis (KAD)
membutuhkan koreksi dehidrasi, hiperglikemia dan gangguan keseimbangan
elektrolit; identifikasi komorbid yang merupakan faktor presipitasi; dan yang sangat
penting adalahperlu dilakukan monitoring pasien yang ketat. Faktor presipitasi
diobati, serta langkah-langkah pencegahan rekurensi perlu dilaksanakan denganbaik.
a. Terapi cairan:
1. Pasien Orang dewasa
Terapi cairan pada awalnya dit ujukan untuk memperbaiki volume
intravascular dan extravascular dan mempertahankan perfusi ginjal. Terapi
cairan juga akan menurunkan kadar glukosa darah tanpa bergantung pada
insulin, dan kadar hormon kontra insulin (dengan demikian memperbaiki
sensitivitas terhadap insulin).
Pada keadaan tanpa kelainan ja ntung, NaCl 0.9% diberikan seb
anyak 15–20 ml/kg berat badan/jam atau lebih besar pad a jam pertama
( 1 –1.5 l untuk rata-rata orang dewasa).
Pilihan yang berikut untuk mengganti cairan tergantung pada status
hidrasi, kadar elektrolit darah, dan banyaknya urin. Secara umum, NaCl 0.45%

12
diberikan sebanyak 4–14 ml/kg/jam jika sodium serum meningkat atau normal;
NaCl 0.9% diberikan dengan jumlah yang sama jika Na serum rendah. Selama
fungsi ginjal diyakinkini baik, maka perlu ditambahkan 20–30 mEq/l kalium
( 2/3 KCl dan 1/3KPO4) sampai pasien stabil dan dapat diberikan secara oral.
Keberhasilan penggantian cairan dapat dilihat dengan pemantauan
hemodinamik (perbaikan dalam tekanan darah), pengukuran input/output
cairan, dan pemeriksaan fisik. Penggantian cairan diharapkan dapat
mengkoreksi defisit dalam 24 jam pertama. Perbaikan osmolaritas serum
mestinya tidak melebihi 3 mOsm· kg -1 H2O· h-1 (14–20,22). Pada pasien
dengan gangguan ginjal atau jantung, pemantauan osmolaritas serum dan
penilaian jantung, ginjal, dan status mental harus sering dilakukan selama
pemberian cairan untuk menghindari overload yang iatrogenic (1-5).
2. Pasien berusia < 20 tahun
Terapi cairan pada awalnya ditujukan untuk memperbaiki volume
intravascular dan extravascular, dan mempertahankan perfusi ginjal. Kebutuhan
untuk mempertahankan volume vaskuler harus disesuaikan untuk menghindari
risiko edema cerebral karena pemberian cairan yang terlalu cepat. Dalam 1 jam
pertama cairan yang bersifat isotonik (NaCl 0.9%) sebanyak 10–20
ml/kgbb/jam. Pada pasien dengan dehidrasi berat, pemberian ini perlu diulang,
tetapi awal pemberian kembali mestinya tidak melebihi 50 ml/kg pada 4 jam
pertama therapy. Terapi Cairan selanjutnya untuk menggantikan defisit cairan
dilakukan dalam 48 jam. Secara umum NaCl, 0.45–0.9% (tergantung pada
kadar sodium serum) diberikan dengan kecepatan 1.5 kali dari kebutuhan
pemeliharaan selama 24 -h (5 ml/kg/jam) akan mencukupi kebutuhan rehidrasi,
dengan penurunan osmolaritas tidak melebihi 3 mOsm· kg-1 H2O· h-1. Sekali
lagi jika fungsi ginjal diyakini baik dan kalium serum diketahui, ma ka perlu
diberikan 20 –40 mEq/l kalium ( 2 /3 KCl atau potassium-acetate dan 1/3
KPO4). Jika gl ukosa serum mencapai 250 mg/dl, cairan harus diubah
menjadi dextrose 5% dan NaCl 0.45 –0.75%, dengan kalium seperti d
iuraikan di atas.

13
Pengelolaan juga meliputi pemantauan status mental agar dapat
dengan cepat mengidentifikasi perubahan apa bila terjadi overload yang
iatrogenik, yang dapat mengakibatkan edema cerebral.
Terapi cairan pada HHS
Jika kadar gula darah mencapai 300 mg/dL pada HHS, penggantian
cairan harus mengandung glukosa 5-10% untuk mencegah terjadinya
hipoglikemia karena pemberian insulin juga akan dilakukan untuk koreksi
keadaan ketonemia. Tujuan dari terapi ini adalah untuk mengganti setengah
defisit cairan selama 12 – 24 jam. Kegagalan koreksi keadaan dehidrasi dapat
mengakibatkan penundaan pada koreksi elektrolit.

b. Terapi Insulin
Pada keadaan KAD ringan, insulin reguler diberikan dengan infus intravena
secara kontinu adalah terapi pilihan. Pada pasien dewasa, jika tidak ada
hipokalemia (K+< 3.3 mEq/l, maka pemberian insulin intravena secara bolus
dengan dosis 0.15 unit /kg bb, diikuti pemberian insulin reguler secara infus
intra vena yang kontinu dengan dosis 0.1 unit· kg -1· h-1 ( 5–7 unit/jam
pada orang dewasa). Pemberian insulin secara bolus tidak dianjurkan pada
pasien pediatrik; pemberian insulin reguler dengan infus intravena secara kontinu
dengan dosis 0.1 unit· kg -1· h-1 dapat diberikan pada pasien pasien
tersebut. Dosis insulin rendah ini pada umumnya dapat menurunkan
konsentrasi glukosa plasma sebanyak 50–75 mg· dl-1· h-1, sebanding dengan
pemberian insulin dosis tinggi (1 -5) . Jika plasma glukosa tidak turun
sebanyak 50 mg/dl dari awal pada jam pertama, periksa dulu status hidrasi;
jika baik, infus insulin dapat digandakan tiap jam sampai tercapai penurunan
glukosa yang stabil antara 50 dan 75 mg/jam dicapai.
Ketika glukosa plasma mencapai 250 mg/dl untuk KAD atau 300 mg/dl
untuk SHH, mungkin dosis insulin perlu diturunkan menjadi 0.05–0.1 unit· kg-1·
h-1 ( 3–6 units/jam), dan dextrose ( 5–10%) ditambahkan pada cairan
intravena. Sesudah itu, dosis insulin atau konsentrasi dextrose perlu

14
disesuaikan untuk memelihara rata-rata kadar glukosa sampai asidosis pada
KAD atau status mental dan hyperosmolaritas pada SHH membaik. Ketonemia
biasanya lebih lama hilang dibandingkan dengan hiperglikemia. Pengukuran ß-
OHB dalam darah secara langsung adalah metoda yang lebih disukai untuk
pemantauan KAD. Metoda Nitroprusside hanya mengukur aseton dan asam
acetoacetic. Bagaimanapun, ß-OHB, asam yang paling banyak dan paling kuat
pada KAD, tidaklah terukur dengan metoda nitroprusside. Selama therapy, ß-
OHB dikonversi ke asam asetoacetik, yang membuat para klinisi percaya bahwa
ketosis memperburuk keadaan.
Oleh karena itu, penilaian benda keton dari urin atau serum dengan
metoda nitroprusside tidak digunakan sebagai suatu indikator terapi . Selama
terapi untuk KAD atau SHH, darah harus diperiksa tiap 2 –4 jam untuk
memeriksa elektrolit serum, glukosa, urea -N, creatinine, osmolaritas, da n
pH vena (untuk DKA). Biasanya, analisa gas darah tidak perlu dilakukan
berulang-ulang; pH vena (pada umumnya 0.03 unit lebih rendah dari pH arteri)
dan gap anion dapat diikuti, untuk memonitor resolusi asidosis.
Pada KAD yang ringan, insulin reguler baik secara subkutan maupun
intramuskular tiap jam adalah sama efektif seperti pemberian intravena dalam
menurunkan glukosa darah dan benda keton. Pertama-tama diberikan dosis dasar
sebanyak 0.4–0.6 units/kg bb, separuh sebagai suntikan bolus intravena, dan
setengah secara subkutan atau intramuskular. Sesudah itu, 0.1 unit· kg-1· h-1
insulin reguler diberi secara subkutan atau intramuscular. Kriteria untuk resolusi
KAD meliputi kadar glukosa < 200 mg/dl, bikarbonat serum > 18 mEq/l, dan pH
vena > 7.3. Bila KAD membaik, dan pasien masih NPO (Nothing Per Oral),
insulin intravena yang kontinyu dan penggantian cairan dilanjutkan dan ditambah
dengan suplemen insulin subcutan sesuai kebutuhan tiap 4 jam. Ketika pasien
sudah bisa makan, jadwal multiple-dose harus dimulai menggunakan
kombinasi insulin kerja pendek/singkat dengan insulin kerja menengah atau
lama untuk mengendalikan glukosa plasma. Pemberian insulin intravena tetap
diberikan untuk 1–2 jam setelah regimen campuran insulin dimulai untuk

15
memastikan hormon insulin plasma cukup. Suatu penghentian mendadak insulin
intravena dengan penundaan insulin subcutan akan memperburuk keadaan; oleh
karena itu, perlu diberikan insulin intravena dan inisiasi subkutan secara
bersamaan.
Pasien yang telah diketahui menderita diabetes dapat diberikan insulin
dengan dosis seperti sebelum mereka terkena serangan KAD atau SHH dan jika
dibutuhkan dilakukan penyesuaian. Pada pasien diabetes yang baru, total insulin
awal mungkin berkisar antara 0.5 –1.0 unit· kg - 1· day -1, dibagi menjadi
sedikitnya dua dosis dalam bentuk campuran insulin kerja pendek dan panjang
sampai mencapai suatu dosis optimal yang diinginkan. Akan tetapi perlu diingat
bahwa dosis insulin ini sangat individual. Pada akhirnya, ada penderita-penderita
DM tipe 2 yang bisa diberi obat antihiperglikemia oral dan pengaturan diit.
Terapi insulin pada HHS
Jika glukosa darah telah mencapai 250 mg/dL pada KAD atau 300 mg/dL pada
SHH, kecepatan pemberian insulin dikurangi menjadi 0,05 U/kgBB/jam (3-5
U/jam) dan ditambahkan dengan pemberian dextrosa 5-10% secara intravena.
Pemberian insulin tetap diberikan untuk mempertahankan glukosa darah pada nilai
tersebut sampai keadaan ketoasidosis dan hiperosmolalitas teratasi.
c. Kalium
Untuk mencegah hipokalemia, penambahan kalium diindikasikan pada
saat kadar dalam darah di bawah 5.5 mEq/l, dengan catatan output urin
cukup. Biasanya, 20–30 mEq kalium ( 2/3 KCl dan 1/ 3 KPO4) pada setiap
liter cairan infus cukup untuk mempertahankan konsentrasi kalium serum antara
4–5 mEq/l. Penderita dengan KAD jarang menunjukkan keadaan hipokalemia
yang berat. Pada kasus-kasus demikian, kalium penggantian harus dimulai
bersamaan dengan cairan infus, danterapi insulin harus ditunda sampai konsentrasi
kalium > 3. 3 mEq/l untuk menghindari aritmia atau cardiac arrest dan kelemahan
otot pernapasan.
Di samping kekurangan kalium dalam tubuh, hiperkalemia ringan
sampai sedang sering terjadi pada penderita dengan krisis hiperglikemia.

16
Terapi insulin, koreksi asidosis, dan penambahan volume cairan akan
menurunkan konsentrasi kalium serum.
d. Bikarbonat
Penggunaan larutan bikarbonat pada KAD masih merupakan kontroversi.
Pada pH > 7.0, aktifitas insulin memblok lipolysis dan ketoacidosis dapat hilang
tanpa penambahan bikarbonat. Beberapa penelitian prospektif gagal membuktikan
adanya keuntungan atau perbaikan pada angka morbiditas dan mortalitas dengan
pemberian bikarbonat pada penderita KAD dengan pH antara 6.9 dan 7.1. Tidak
ada laporan randomized study mengenai penggunaan bikarbonat pada KAD
dengan pH < 6.9. Asidosis yang berat menyebabkan efek vaskuler yang kurang
baik, jadi sangat bijaksana pada pasien dewasa dengan pH < 6.9, diberikan sodium
bikarbonat. Tidak perlu tambahan bikarbonat jika pH > 7.0.
Pemberian insulin, seperti halnya bikarbonat, menurunkan kalium serum;
oleh karena itu supplemen Kalium harus diberikan dalam cairan infus seperti
diuraikan di atas dan harus di monitor dengan ketat. Sesudah itu, pH aliran
darah vena harus diukur tiap 2 jam sampai pH mencapai 7.0, dan terapi
bikarbonat harus diulangi tiap 2 jam jika perlu.
e. Fosfat
Pada KAD serum fosfat biasanyanormal atau meningkat. Konsentrasi fosfat
berkurang dengan pemberian terapi insulin. Beberapa penelitian prospektif gagal
membuktikan adanya keuntungan dengan penggantian fosfat pada KAD, dan
pemberian fosfat yang berlebihan dapat menyebabkan hypocalcemia yang berat
tanpa adanya gejala tetani. Bagaimanapun, untuk menghindari kelainan jantung
dan kelemahan otot dan depresi pernapasan oleh karena hipofosfatemia,
penggantian fosfat kadang-kadang diindikasikan pada pasien dengan kelainan
jantung, anemia, atau depresi pernapasan dan pada mereka dengan konsentrasi
fosfat serum < 1.0 mg/dl. Bila diperlukan, 20–30 mEq/l kalium fosfat dapat
ditambahkan ke larutan pengganti. Tidak ada studi mengenai penggunaan fosfat
dalam HHS.

17
2.2 Konsep Asuhan Keperawatan Gawat Darurat Hiperglikemia
2.2.1 Pengkajian
a. Identitas pasien
Nama, alamat, usia, pekerjan,jenis kelamin, agama,dll.
b. Data objektif
1. Primary Survey
a) Airway : kaji kepatenan jalan nafas pasien, ada tidaknya sputum atau benda
asing yang menghalangi jalan nafas
b) Breathing: hiperventilasi, napas bau aseton
c) Circulation: lemah, tampak pucat ( disebabkan karena glukosa Intra Sel
Menurun sehingga Proses Pembentukan ATP/Energi Terganggu)
d) Disability: perubahan kesadaran (jika sudah terjadi ketoasidosis metabolik)
2. Secondary Survey
a) Exposure: -
b) Five Intervension:
a. Glukosa Darah : meningkat 100-200 mg/dL, atau lebih,
b. Aseton plasma (keton) : positif secara mencolok,
c. Asam lemak bebas : kadar lipid dan kolesterol meningkat,
d. Osmolaritas serum : meningkat tetapi biasanya kurang dari 330mOsm/l,
e. Elektrolit :
• Natrium: mungkin normal, meningkat atau menurun.
• Kalium : normal atau peningkatan semu (perpindahan seluler),
selanjutnya akan menurun
• Fosfor : lebih sering menurun.
f. Hemoglobin glikosilat : kadarnya meningkat 2-4 kali lipat dari normal
yang mencerminkan kontrol DM yang kurang selama 4 bulan terakhir
(lama hidup SDM) dan karenanya sangat bermanfaat dalam membedakan
DKA dengan kontrol tidak adekuat versus DKA yang berhubungan
dengan insiden.

18
c) Pemeriksaan mikroalbumin, Mendeteksi komplikasi pada ginjal dan
kardiovaskular
d) Nefropati Diabetik, Salah satu komplikasi yang ditimbulkan oleh penyakit
diabetes adalah terjadinya nefropati diabetic, yang dapat menyebabkan gagal
ginjal terminal sehingga penderita perlu menjalani cuci darah atau
hemodialisis. Nefropati diabetic ditandai dengan kerusakan glomerolus
ginjal yang berfungsi sebagai alat penyaring. Gangguan pada glomerulus
ginjal dapat menyebabkan lolosnya protein albumin ke dalam urine. Adanya
albumin dalam urin (=albuminoria) merupakan indikasi terjadinya nefropati
diabetic.
e) Pemeriksaan HbA1C atau pemeriksaan A1C, Dapat Memperkirakan Risiko
Komplikasi Akibat DM HbA1c atau A1C Merupakan senyawa yang
terbentuk dari ikatan antara glukosa dengan hemoglobin (glycohemoglobin).
Jumlah A1C yang terbentuk, tergantung pada kadar glukosa darah. Ikatan
A1c stabil dan dapat bertahan hingga 2-3 bulan (sesuai dengan sel darah
merah) Kadar A1C mencerminkan kadarglukosa darah rata-rata dalam
jangka waktu 2-3 bulan sebelum pemriksaan.
Give Comfort : Nyeri di bagian abdomen karena ketoasidosis diabetik
.
2.2.2 Diagnosa Keperawatan
a. Hipovolemia Berhubungan dengan: Kehilangan cairan aktif

2.2.3 Intervensi
A. Hipovolemia Berhubungan dengan: Kehilangan cairan aktif

Diagnosa Keperawatan/ Rencana keperawatan


Masalah Kolaborasi Tujuan dan Kriteria Intervensi
Hasil
Hipovolemia Status cairan : Manajemen hipovolemia
Berhubungan dengan: 1. Output urine Observasi :
- Kehilangan cairan meningkat - periksa tanda dan gejala
aktif 2. Membran hipovolemia
mukosa lembab -monitor intake dan output

19
cairan
Terapeutik :
- hitung kebutuhan cairan dan
berikan asupan cairan oral
-berikan posisi modified
trendelenburg
-berikan asupan cairan oral
Edukasi:
-anjurkan memperbanyak
asupan cairan oral
-anjurkan menghindari
perubahan posisi mendadak
Kolaborasi:
-kolaborasi pemberian cairan
-kolaborasi pemberian iv
hipotonis
-kolaborasi pemberian cairan
koloid
-Kolaborasi pemberian
produk darah

20
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
a. Kasus krisis hiperglikemi dapat memicu berbagai macam komplikasi salah satu
komplikasi yang paling sering terjadi pada hiperglikemi krisis adalah KAD dan
HHS.
b. Tujuan utama penanganan Hiperglikemia adalah dengan menormalkan aktivitas
insulin dan kadar glukosa darah dan upaya mengurangi terjadinya komplikasi
vaskuler serta neuropati. Ada 4 komponen dalam penatalaksanaan hiperglikemia
1. Olahraga (namun jika gula darah diatas 240 mg/dl dan ketika diperiksa terdapat
keton dalam urin maka olahraga harus dihentikan)
2. Diet rendah gula
3. Terapi insulin
4. Hypoglicemic medication
c. Dalam penaganan kegawatdaruratan hiperglikemia krisis ketoasidosis Diabetik
berfokus pada ABCD dengan 4 komponen utama intervensi :
1. Penggantian cairan tubuh dan garam yang hilang.
2. Menekan lipolisis sel lemak dan menekan glukoneogenesis sel hati dengan
pemberian insulin.
3. Mengatasi stres sebagai pencetus KAD.
4. Mengembalikan keadaan fisiologi normal dan menyadari pentingnya
pemantauan serta penyesuaian pengobatan.

3.2 Saran
Kasus hiperglikemi dapat memicu berbagai macam komplikasi, maka perawat
harus berperan aktif dalam memberikan edukasi pada pasien diabetes mellitus dan
keluarga sebagai support sistem untuk mencegah terjadinya hiperglikemik dan
perawat juga hendaknya meningkatkan pengetahuan dalam penanganan pasien
dengan hiperglikemik untuk mencegah komplikasi lebih lanjut pada pasien

21
Daftar Pustaka

Hyperglycemic crises in patients with diabetes mellitus. American Diabetes


Association. Diabetes Carevol27 supplement1 2004, S94-S102.
Gaglia JL, Wyckoff J, Abrahamson MJ. Acute hyperglycemic crisis in elderly. Med
Cli N Am 88: 1063-1084, 2004. 16
Kitabchi AE, Fisher JN, Murphy MB, Rumbak MJ : Diabetic ketoacidosis and the
hyperglycemic hyperosmolar nonketotic state. In Joslin’s Diabetes Mellitus.
13th ed. Kahn CR, Weir GC, Eds. Philadelphia, Lea & Febiger, 1994, p.738–
770
Marshall SM, Walker M, Alberti KGMM : Diabetic ketoacidosis and hyperglycaemic
nonketotic coma. In International Textbook of Diabetes Mellitus. 2nd ed.
Alberti KGMM, Zimmet P, DeFronzo RA, Eds. New York, John Wiley, 1997,
p. 1215–1229.
Ennis ED, Stahl EJ, Kreisberg RA : Diabetic ketoacidosis. In Diabetes Mellitus :
Theory and practice. 5th ed.Porte D Jr, Sherwin RS, Ed. Amsterdam,
Elsevier,1997, 827-844.
Rosenbloom AL : Intracerebral crises during treatment of diabetic ketoacidosis.
Diabetes Care 13: 22-23, 1990.
Umpierrez GE, Murphy MB, Kitabchi AE. Diabetic ketoacidosis and hyperglycemic
hyperosmolar syndrome. 2002. Diunduh dari:
http://spectrum.diabetesjournals.org/cgi/content/full/15/1/28
Sergot PB. Hyperosmolar hyperglycemic states. Emedicine. 2008. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/766804-overview.

22

Anda mungkin juga menyukai