Anda di halaman 1dari 23

PEREKONOMIAN INDONESIA

KEBIJAKAN PANGAN DAN PEMBANGUNAN PERTANIAN

Dosen :
Desak Made Sukarnasih, S.E.,M.M.

Puhantania Putuhena
119211216

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSITAS PENDIDIKAN NASIONAL
DENPASAR
2020
A. Kebijakan Ketahanan Pangan

Kebijakan pangan pemerintah sebagai pelaksanaan Undang-undang Nomor 7 tahun 1996,


dituangkan dalam Peraturan Pemerintah nomor 68 tahun 2002 mengenai ketahanan pangan, yang
secara garis besar mengatur:
 Ketersediaan pangan Dilakukan dengan pengembangan sistem produksi, efisiensi sistem
usaha pangan, teknologi produksi pangan, sarana dan prasarana produksi pangan dan
mempertahankan lahan produktif.
 Cadangan pangan nasional Berasal dari cadangan pangan masyarakat dan cadangan
pemerintah (dari tingkat desa, kabupaten/kota, propinsi sampai pemerintah pusat).
Selanjutnya cadangan masyarakat dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat,
organisasi masyarakat, swasta, koperasi dan atau perorangan.
 Penganekaragaman pangan Konsumsi pangan yang beraneka ragam dengan prinsip gizi
yang seimbang
 Pencegahan dan penanggulangan masalah pangan Suatu langkah antisipatif untuk
menghindari terjadinya masalah pangan (kelebihan/kekurangan pangan dan kemampuan
rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan pangan).
 Peran pemerintah daerah dan masyarakat Pemerintah daerah melaksanakan ketahanan
pangan di wilayahnya masing - masing melalui pemberian informasi dan pendidikan,
meningkatkan motivasi masyarakat dan kemandirian rumah tangga dalam meningkatkan
ketahanan pangan. Selanjutnya peran masyarakat dalam ketahanan pangan dilakukan
melalui kegiatan produksi, perdagangan dan distribusi pangan, serta cadangan pangan.
 Pengembangan sumber daya manusia dan kerjasama internasional Pengembangan sumber
daya manusia dilakukan melalui pendidikan/ pelatihan di bidang pangan, penyebarluasan
ilmu dan teknologi di bidang pangan, serta penyuluhan pangan. Kerjasama interna sional
meliputi bidang produksi, perdagangan dan distribusi pangan; cadangan pangan;
pencegahan dan penanggulangan masalah pangan; serta riset dan teknologi pangan.

Badan Ketahanan Pangan menyusun kebijakan umum mengenai ketahanan pangan yang arahnya
adalah mewujudkan kemandirian pangan untuk menjamin ketersediaan dan konsumsi pangan
yang cukup, aman, bermutu, dan bergizi seimbang pada tingkat rumah tangga, daerah dan
nasional sepanjang waktu dan merata melalui pemanfaatan sumber daya dan budaya lokal,
teknologi inovatif dan peluang pasar, serta memperkuat ekonomi kerakyatan dan mengentaskan
dari kemiskinan.
Faktor Utama Penentu Ketahanan Pangan

Sangat ironis melihat kenyataan bahwa Indonesia sebagai sebuah negara agraris
terbesar mengalami masalah ketahanan pangan. Menurut Suyadi, pada tingkat nasional,
Indonesia tidak punya masalah dengan pangan, namun secara mikro, krisis pangan telah
terjadi di tingkat keluarga, terutama di daerah-daerah terpencil, terutama di kelompok
masyarakat yang sepenuhnya mengandalkan pertanian untuk hidup. Ketahanan pangan
sangatlah dientukan oleh sejumlah faktor berikut: (a) lahan, (b) infrastruktur, (c) teknologi,
keahlian, dan wawasan, (d) energi, (e) dana, (f) lingkungan fisik/iklim, (g) relasi kerja, dan
(h) ketersediaan input lainnya.

Lahan

Menurut berita di Kompas, lahan sawah di Indonesia hanya 4,5% dari total luas
daratan. Sekitar 8,5% merupakan tanah perkebunan, 7,8% lahan kering, 13% dalam bentuk
rumah, tegalan, ilalang, serta 63% merupakan kawasan hutan. Menurut BPS, pada tahun
2030 kebutuhan beras di Indonesia mencapai 59 juta ton.

Keterbatasan lahan pertanian, khususnya untuk komoditas pangan, memang sudah


merupakan salah satu persoalan serius dalam kaitannya dengan ketahanan pangan di
Indonesia selama ini. Konversi lahan sawah ke nonswah justru banyak terjadi di wilayah-
wilayah sentra produksi pangan. Umumnya lahan sawah yang dikonversi tidak hanya sangat
subur tetapi lokasinya juga strategis. Selama ini sekitar 56%-60% produksi padi bertumpu
pada sawah-sawah yang subur di Jawa. Konversi lahan sawah secara besar-besaran ini
sebagian telah disetujui oleh DPRD setempat dalam bentuk peraturan daerah. Menurut BPN,
secara nasional, tiap tahun terjadi konversi lahan sebesar 100.000 ha (termasuk 35.000 ha
lahan beririgasi). Masalah lahan pertanian akibat konversi yang tidak bisa dibendung
menjadi tambah serius akibat distribusi lahan yang timpang. Pertumbuhan penduduk di
perdesaan menambah jumlah petani yang tidak memiliki lahan sendiri, luas lahan yang
semakin sempit tidak mungkin menghasilkan produksi yang optimal. Lahan pertanian yang
semakin terbatas juga akan menaikkan harga jual atau sewa lahan, sehinga hanya sedikit
peani yang mampu membeli atau menyewanya, akibatnya kepincangan dalam distribusi
lahan tambah besar.

Hal tersebut diperburuk lagi dengan tidak adanya usaha pencegahan dari pemerintah
terhadap pembelian lahan milik petani-petani msikin seenaknya oleh orang kaya atau
perusahaan besar. Selain konversi lahan dan distribusinya yang pincang, tingginya laju
degradasi lahan juga merupakan masalah serius. Hasil penghitungan dari Deptan
menunjukkan bahwa luas lahan kritis meningkat hingga 2,8 juta ha rata-rata per tahun.
Infrastruktur

Khomsan (2008) dalam tulisannya di Kompas mengatakan bahwa lambannya


pembangunan infrastruktur boleh jadi ikut berperan mengapa pertanian di Indonesia kurang
kokoh dalam mendukunng ketahanan pangan. Irigasi merupakan bagian terpenting dari
infrastruktur pertanian. Ketersediaan jaringan irigasi yang baik, dalam pengertian tidak
hanya kuantitas tetapi juga kulaitas, dapat meningkatkan volume produksi dan kualitas
komoditas pertanian, terutama tanaman pangan.Menurut Hilman Manan, Direktur Jenderal
Pengelolaan Lahan dan Air Deptan, yang dikutip oleh Prabowo, persoalan irigasi di
Indonesia terkait erat dengan kualitas hutan, pengelolaan tata ruang, serta fokus kebijakan
ekonomi secara umum. Jika kebijakan ekonomi lebih pro industrialisasi, jangan harapkan
pemerintah akan memberikan perhatian yang serius terhadap pertanian.

Teknologi dan Sumber Daya Manusia

Teknologi dan sumber daya manusia (SDM) sangat menentukan keberhasilan


Indonesia dalam mencapai ketahanan pangan. Bahkan dapat dipastikan bahwa pemakaian
teknologi dan input modern tidak akan menghasilkan output yang optimal apabila kualitas
petani dalam arti pengetahuan atau wawasannya mengenai teknologi pertanian, pemasaran,
standar kualitas, dan lain-lain rendah. Seperti di banyak negara berkembang lainnya, di
Indonesia kualitas SDM di pertanian sangat rendah jika dibandingkan di sektor-sektor
ekonomi lainnya seperti industri manufaktur, keuangan, dan jasa. Salah satu penyebab gagal
panen karena pengetahuan petani yang rendah mengenai bagaimana melakukan adaptasi
terhadap perubahan iklim atau tidak memiliki pemahaman cukup terhadap informasi
prakiraan cuaca. Ada sejumlah indikator atau semacam proxy untuk mengukur tingkat
penguasaan teknologi oleh petani. Salah satunya adalah pemakaian traktor. Relatif
rendahnya jumlah traktor per ha di Indonesia memang memunculkan pertanyaan seputar
penyebab utamanya. Kemungkinan bisa disebabkan selain oleh biaya pemakaian dan
pemeliharaannya yang mahal, lahan yang dikerjakan/dikuasai kecil yang membuat
traktorisasi menjadi tidak efisien, karena hambatan budaya, juga pendidikan petani yang
masih rendah.

Energi
Energi sangat penting untuk kegiatan pertanian lewat dua jalur, yakni langsung dan
tidak langsung. Jalur langsung adalah energi seperti listrik atau bahan bakar minyak (BBM)
yang digunakan oleh petani dalam kegiatan bertaninya. Sedangkan jalur tidak langsung
adalah energi yang digunakan oleh pabrik pupuk dan pabrik yang membuat input lainnya
dan alat-alat transportasi dan komunikasi. Yang sering diberitakan di media massa mengenai
pasokan energi yang tidak cukup atau terganggu yang mengakibatkan kerugian bagi petani
sejak reformasi, misalnya, gangguan pasokan gas ke pabrik-pabrik pupuk, atau harga gas
naik yang pada kahirnya membuat harga jual pupuk juga naik. Selain itu, kenaikan harga
BBM sejak dimulainya era reformasi membuat biaya tranportasi naik.

Mungkin di sektor pertanian, yang paling terpukul dengan naiknya harga BBM
adalah subsektor perikanan, khususnya nelayan kecil dan tradisional. Selama ini sebagian
nelayan tidak menikmati subsidi BBM ke sentra-sentra nelayan

Modal

Penyebab lainnya yang membuat rapuhnya ketahanan pangan di Indonesia adalah


keterbatasan dana. Di antara sektor-sektor ekonomi, pertanian yang selalu paling sedikit
memdapat kredit dari perbankan. Bahkan kekurangan modal juga menjadi penyebab banyak
petani tidak mempunyai mesin giling sendiri. Padahal jika petani punya mesin sendiri,
berarti rantai distribusi tambah pendek yang berarti juga kesempatan lebih besar untuk
mendapat lebih banyak penghasilan.

Ada dua alasan utama kenapa selama ini perbankan enggan memberikan kredit
kepada petani. Alasan pertama adalah karena pertanian padi bukan merupakan suatu bisnis
yang menghasilkan keuntungan besar, dan ini bukan jaminan bagi perbankan bahwa
pinjamannya bisa dikembalikan. Sedangkan alasan kedua adalah tidak adanya aset yang
bisa digunakan sebagai agunan seperti rumah atau tanah.

Lingkungan Fisik/Iklim

Tidak diragukan bahwa pemanasan global turut berperan dalam menyebabkan krisis
pangan, termasuk di Indonesia, karena pemanasan global menimbulkan periode musim
hujan dan kemarau yang makin kacau. Pola tanam dan estimasi produksi pertnaian serta
persediaan stok pangan menjadi sulit diprediksi secara baik (Arifin, 2008). Pertanian,
terutama pertanian pangan, merupakan sektor yang paling rentan terkena dampak perubahan
iklim, khususnya yang mengakibatkan musim kering berkepanjangan, mengingat pertnian
pangan di Indonesia masih sangat mengandalkan pada pertanian sawahyng berarti sangat
memerlukan air yang tidak sedikit (Samhadi, 2007a). Dampak langsung dari pemanasan
global terhadap pertanian di Indonesia adalah penurunan produktivitas dan tingkat produksi
sebbagai akibat terganggunya siklus air, karena perubahan pola hujan dan meningkatnya
frekuensi anomali cuaca ekstrem yang mengakibatkan pergeseran waktu, musim, dan pola
tanam (Samhadi, 2007a).

Sebenarnya pemerintah telah berupaya mengurangi dampak buruk dari fenomena


iklim terhadap produksi pertanian khususnya padi, misalnya pada tahun 2007 upaya-upaya
yang dilakukan oleh pemerintah adalah terkait dengan ketersediaan air yakni memobilisasi
185.000 pompa air, pembangunan embung dan dam parit sebanyak 150 unit, membuat hujan
buatan dua kali yang pelaksanaannya masing-masing di DAS Citarum, Brantas, dan
Jatunseluna. Selain itu pemerintah juga melakukan pompanisasi serta hujan buatan untuk
pengisian waduk-waduk yang mengalami krisisair, rehabilitasi jaringan primer dan sekunder
1,5 juta ha selama tiga tahun, membangun Waduk Jatigede, dan merehabilitasi waduk-
waduk yang ada (Prabowo, 2007g).

Relasi Kerja

Seperti yang diungkapkan oleh Yustika (2008) bahwa relasi kerja akan menentukan
proporsi nisbah ekonomi yang akan dibagi kepada para pelaku ekonomi di pedesaan. Dalam
kata lain, pola relasi kerja yang ada di sektor pertanian akan sangat menentukan apakah
petani akan menikmati atau tidak hasil pertaniannya. Salah satu indikator atau proxy yang
dapat digunakan untuk mengukur hasil yang dinikmati oleh petani adalah nilai tukar petani
(NTP), yang diperoleh dari perbandingan indeks harga yang diterima petani (IT) terhadap
indeks harga yang dibayar petani (IB).

Ketersediaan Input Lainnya

Terutama keterbatasan pupuk dan harganya yang meningkat terus merupakan


hambatan serius bagi pertumbuhan pertanian di Indonesia dalam beberapa tahun belakangan
ini dilihat dari ketersediaan input lainnya. Dalam implementasi di lapangan, pemerintah
selama ini kelihatan kurang konsisten dalam memenuhi pupuk bersubsidi untuk petani agar
ketahanan pangan tidak terganggu.

Berikut merupakan tabel mengenai luas lahan panen , produksi, produktivitas padi
2014-2015

1.1.1 Sistem Ketahanan Pangan

Ketahanan pangan merupakan suatu sistem yang terintegrasi yang terdiri atas
berbagai subsistem. Subsistem utamanya adalah ketersediaan pangan, distribusi pangan dan
konsumsi pangan. Terwujudnya ketahanan pangan me-rupakan sinergi dari interaksi ketiga
subsistem tersebut.
 Subsistem ketersediaan pangan mencakup aspek produksi, cadangan serta
keseimbangan antara impor dan ekspor pangan. Ketersediaan pangan harus dikelola
sedemikian rupa sehingga walaupun produksi pangan bersifat musiman, terbatas dan
tersebar antar wilayah, tetapi volume pangan  yang tersedia bagi masyarakat harus
cukup jumlah dan jenisnya serta stabil penyediaannya dari waktu ke waktu.
 Subsistem distribusi pangan mencakup aspek aksesibilitas secara fisik dan ekonomi atas
pangan secara merata. Sistem distribusi bukan semata-mata menyangkut aspek fisik
dalam arti pangan tersedia  di semua lokasi yang membutuhkan, tetapi juga masyarakat.
Surplus pangan di tingkat wilayah belum menjamin kecukupan pangan bagi individu
masyarakatnya.  Sistem distribusi ini perlu dikelola secara optimal dan tidak
bertentangan dengan mekanisme pasar terbuka agar tercapai efisiensi dalam proses
pemerataan akses pangan bagi seluruh penduduk.
 Subsistem konsumsi pangan menyangkut upaya peningkatan pengetahuan dan
kemampuan masyarakat agar mempunyai pemahaman atas pangan, gizi dan kesehatan
yang baik, sehingga dapat mengelola konsumsinya secara optimal. Konsumsi pangan
hendaknya memperhatikan asupan pangan dan gizi yang cukup dan berimbang, sesuai
dengan kebutuhan bagi pembentukan manusia yang sehat, kuat, cerdas dan produktif.
 Kebijakan Pertanian Era SBY

Revitalisasi Pertanian

Presiden SBY pertama kali mencanangkan Revitalisasi Pertanian di waduk


Jatihulur , Kabupaten Purwakarta tanggal 11Juni 2005. Revitalisasi pertanian (termasuk
perikanan dan kehutanan) mengandung arti sebagai kesadaran untuk menempatkan
kembali arti penting sektor pertanian dalam arti luas secara proporsional dan
kontekstual: dalam arti menyegarkan kembali vitalitas; memberdayakan kemampuan
dan meningkatkan kinerja pertanian dalam pembangunan nasional dengan tidak
mengabaikan sektor lain. Pada awalnya, tuntuntan akan adanya revitalisasi pertanian
timbul sebagai akibat dari semakin merapuhnya struktur dan kinerja sektor pertanian di
Indonesia, mengingat sektor ini merupakan sektor vital bagi kehidupan sebagian besar
penduduk di negeri ini. Pada saat itu pula kenyataanya masih banyak anak negeri yang
menderita busung lapar dan kurang gizi mencerminkan bahwa adanya kegagalan
pemerintah dalam mengelola sektor pertanian. Jadi, Pemerintah SBY mencoba
mengatasi masalah ketahanan pangan di dalam negeri dengan melakukan kebijakan
revitalisasi pertanian (termasuk perikanan dan kehutanan ) yang pada prinsipnya adalah
menempatkan kembali peran strategis dari sektor pertanian di dalam perekonomian
nasional, dan pada akhirnya bukan hanya menjamin ketahanan pangan tetapi
swasembada pangan.
Ada enam fokus awal kegiatan revitalisasi pertanian yang disimbolikkan saat
pencanangan program ini di Jatiluhur, 11 Juni 2005, yaitu: 

1. Revitalisasi Pemantapan Ketahanan Pangan melalui program penyediaan sarana


produksi, benih, pupuk, pestisida, dan alat mesin pertanian untuk 16 provinsi.
2. Program Revitalisasi Peningkatan Kesempatan Usaha dan Pertumbuhan di 141
daerah aliran sungai dengan total lahan seluas 500.000 ha, di 370 kabupaten, 30
provinsi. Program pengembangan produksi hasil hutan non-kayu; pengembangan
jasa berbasis hutan; peningkatan produktivitas, pendapatan, dan kesejahteraan
petani.
3. Revitalisasi Eksport Produk Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan yang difokuskan
untuk jangka pendek melalui program revitalisasi tambak udang nasional. 
4. Revitalisasi Pengembangan Produk Baru yaitu melalui program pengembangan
sumber bahan bakar terbaharukan sebagai bahan bakar migas dan peningkatan nilai
tambah melalui pengembangan alat pengolah rumput laut. 
5. Revitalisasi pertanian melibatkan masyarakat. Misalnya, kegiatan percepatan
peningkatan produktivitas tebu nasional 2002-2007, sampai tahun 2004, telah
melibatkan 45 Koperasi Petani Tebu Rakyat (KPTR) di Jatim dengan total anggota
9.070 petani.
6. Program jangka pendek selanjutnya adalah Revitalisasi SDM Pertanian. Institut
Pertanian Bogor dan beberapa instansi pemerintah pusat maupun daerah
memberikan beasiswa kepada 250 orang untuk belajar pertanian di IPB.

Strategi Revitalisasi

a. Strategi dan Kebijakan Pembangunan Ketahanan Pangan


Kebijakan ketahan pangan di Indonesia dikelompokan menjadi tiga menurut jangka
waktu implementasinya, yaitu :
1. Kebijakan jangka pendek
Kebijakan yang ditempuh dalam jangka pendek adalah memberlakukan
kebijakan stabilisasi harga bahan pangan pokok.
2. Kebijakan jangka menengah
Selama jangka menengah pemerintah menargetkan tercapainya swasebada
pangan pada lima komoditas strategis yakni : padi, jagung, kedelai , gula, sapi
potong. Swasembada pada komoditas padi merupakan swasembada yang
sifatnya berkelabjutan
3. Kebijakan jangka panjang
Kebijakan yang dilakukan dalam jangka menengah dan jangka panjang secara
berturut-turut adalah mempercepat pencapaian swasembada komoditas pangan
strategis dan percepatan deversifikasi pangan.
Pokok-pokok kebijakan ketahanan pangan yang harus mendapat prioritas dalam
pembangunan jangka panjang, yaitu :
a. Mengembangkan sistem pengaturan perdagangan pangan yang adil
b. Melakukan pengendalian konversi lahan.
c. Meningkatkan produktivitas usaha pangan.
d. Peningkatan pengelolaan konsumsi pangan yang beragam, bergizi dan
berimbang.
e. Meningkatkan kutu dan keamanan pangan.
f. Melakukan antisipasi terhadap dinamika perubahan iklim dan sumberdaya air.
g. Meningkatkan pengelolaan pertumbuhan penduduk.
h. Mengembangkan aliansi solidaritas masyarakat mengatasi masyarakat mengatasi
kerawanan pangan.
b. Strategi dan Kebijakan Pembiayaan pertanian

Strategi yang ditempuh dalam rangka mengembangkan pembiayaan pertanian adalah


sebagai berikut:

 Menyempurnakan kebijaksanaan pembiayaan yang ada sehingga dapat


meningkatkan aksesibilitas petani dan pelaku agribisnis terhadap sumber
pembiayaan;
 Mengembangkan pola subsidi bunga kredit agar kredit perbankan terjangkau
oleh petani kecil di pedesaan;
 Mengembangkan pola penjaminan kredit dan pola pendampingan bagi UMKM
agribisnis;
 Mengembangkan pembiayaan pola bagi hasil/syariah untuk pembiayaan sektor
pertanian;
 Mengembangkan lembaga keuangan khusus pertanian dan lembaga keuangan
mikro (LKM) pedesaan untuk pembiayaan UMKM agribisnis;
 Mengembangkan skim kredit yang tersedia menjadi skim kredit agribisnis yang
mudah diakses oleh petani;
 Mensosialisasikan sumber-sumber pembiayaan yang telah ada;
 Meningkatkan kerja sama dengan lembaga keuangan dan negara donor di luar
negeri untuk pengembangan pembiayaan agribisnis; dan
 Meningkatkan partisipasi/memobilisasi dana masyarakat untuk pengembangan
agribisnis.
c. Strategi dan kebijakan Pengembangan Ekspor Produk Pertanian

Target ekspor komoditas pangan, perkebunan, dan perternakan tahun 2005


diharapkan dapt mencapai 7,6 milliar dollar AS. Nilai ekspor diharapkan tumbuh
minimal 5% per tahun sehingga pada tahun 2009 total ekspor mencapai 12 miliar
dollar AS. Strategi pengembangan ekspor yang perlu ditempuh adalah:

 Meningkatkan daya saing produksi dalam negeri melalui: (i) Pemberdayaan


petani dan pelaku usaha pertanian untuk mampu mengakses teknologi pengolahan
hasil dan informasi pasar; (ii) Menumbuh kembangkan industri pengolahan hasil
pertanian di perdesaan untuk meningkatkan daya saing dan nilai tambah hasil
pertanian, menciptakan lapangan kerja baru dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat; (iii) Meningkatkan volume, nilai dan keragaman produk ekspor baik
segar maupun olahan; (iv) Penumbuhan kawasan agroindustri melalui Pelayanan
Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (P3HP); (v) Pengembangan sarana
dan prasarana pasar termasuk cold storage dan packing house;  (vi)Harmonisasi
tarif, pajak/pungutan ekspor & standardisasi mutu.
 Peningkatkan pangsa pasar ekspor melalui: (i) Pengembangan informasi pasar
& market intelligence; (ii) Penguatan diplomasi, negosiasi dalam membuka pasar;
(iii) Perluasan akses pasar melelui promosi dan pengembangan Free Trade Area
(FTA); (iv) Peningkatan kerjasama internasional; (v) Peningkatan kemampuan
negosiasi dan diplomasi (sekretariat WTO, training, magang), dan (vi) Sosialisasi
hasil-hasil negosiasi & diplomasi.
d. Strategi dan Kebijakan Pendayagunaan Sumber Daya Lahan Pertanian
Sektor pertanian dihadapan kepada berbagai masalah, antara lain sempitnya
lahan pertanian per-kapita penduduk Indonesia (900 m2/ kapita), cepatnya konversi
lahan pertanian menjadi non pertanian, dan tidak amannya status penguasaan lahan.
Oleh karena itu , revitalisasi pertanian perlu dipercepat antara lain melalui : 1)
kompensasi konversi lahan sawah; 2) pembukaan lahan pertanian baik ; 3)
penciptaan suasana yang kondusif untuk pertanian pendesaan sebagai penyedia
lapangan pekerjaan dan peluang peningkatan pendapatan serta kesejahteraan
keluarga tani
e. Strategi dan kebijakan Pengembangan produk Pertanian baru
Untuk mempercepat peningkatan nilai tambah yang pada gilirannya akan
berdampak kepada peningkatan kesejahteraan pelakunya, maka strategi
pengembangan komoditi pertanian harus difokuskan kepada produk hilir
agroindustri.  Mengingat besarnya investasi untuk mengembangkan produk hilir,
maka komoditi yang akan dikembangkan produk hilirnya harus dipilih yang
mempunyai nilai tambah besar, investasinya tidak terlalu besar, pasar produknya
cukup luas, penguasaan sumberdaya manusia mencukupi dan tersedianya berbagai
prasyarat normatif lain yang mampu dipenuhi. Untuk itu pengembangan komoditi
akan diprioritaskan kepada komoditi sebagai berikut: (1) Padi; (2) Jagung; (3)
Kedelai;  (4) Pisang; (5) Jeruk; (6) Bawang merah; (7) Anggrek; (8) Kelapa Sawit;
(9) Karet; (10) Kakao;  (11) Kelapa; (12) Tebu; (13) Sapi; (14) Ayam
 Kebijakan Pertanian Era Presiden Jokowi

Pembangunan pertanian kurun waktu 2015-2019 berlandaskan pada Rencana


Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) ke-tiga (2015- 2019), dimana RPJMN
tersebut sebagai penjabaran dari Visi, Program Aksi Presiden/Wakil Presiden Jokowi dan
Jusuf Kalla serta berpedoman pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-
2025. Sebagai implementasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
2015-2019, Kementerian Pertanian (Kementan) telah menyusun Rencana Strategis (Renstra)
2015-2019 yang ditetapkan melalui Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor
19/Permentan/HK.140/4/2015 pada 6 April 2015 lalu. Dalam Renstra 2015-2019 itu terdapat
enam sasaran strategis untuk mempercepat pembangunan infrastruktur pertanian di
Indonesia.Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Pertanian 2015 – 2019 akan
mewujudkan 6 (Enam) Sasaran Strategis yaitu:
1. Pencapaian swasembada beras, jagung dan kedelai serta peningkatan produksi
dagingdan gula
2. Peningkatan diversifikasi pangan,
3. Peningkatan komoditas bernilai tambah, daya saing dalam memenuhi pasar ekspor dan
substitusi impor,
4. Penyediaan bahan baku bioindustri dan bioenergi
5. Peningkatan pendapatan keluarga petani, dan
6. Akuntabililtas kinerja aparatur pemerintah yang baik.
Sasaran strategis tersebut akan dicapai melalui 7 Strategi Utama Penguatan
Pembangunan Pertanian untuk Kedaulatan Pangan (P3KP), yaitu:
1. Peningkatan ketersediaan dan pemanfaatan lahan
Dalam rangka peningkatan ketersediaan dan pemanfaatan lahan, dalam lima tahun
mendatang akan dilaksanakan rencana aksi sebagai berikut:
a. Audit Lahan. Membangun database baik tabular maupun spasial yang lengkap dan
akurat melalui inventarisasi sumber daya lahan pertanian dengan pengembangan sistem
informasi geografi (SIG) atau pemetaan tanah sistematis dan tematik yang terintegrasi
dengan data identitas petani.
b. Mengimplementasikan secara efektif Undang-Undang No. 41/2009 tentang
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) dengan Peraturan
Pemerintah dan Perda. UU PLP2B dan Peraturan Pemerintah pendukungnya merupakan
perangkat hukum untuk melindungi lahan pangan produktif dan menekan laju konversi
lahan pertanian. Selain itu diharapkan mendapat dukungan kesesuaian dengan RTRW
kabupaten.
c. Melakukan upaya-upaya perlindungan, pelestarian dan perluasan areal pertanian
terutama di luar Jawa sebagai kompensasi alih fungsi lahan terutama di Jawa.
d. Mengoptimalkan pemanfaatan lahan pertanian terlantar yang meliputi lahan pertanian
yang selama ini tidak dibudidayakan (lahan tidur atau bongkor), dan kawasan hutan
yang telah dilepas untuk keperluan pertanian tetapi belum dimanfaatkan, atau lahan
pertanian yang masih dalam kawasan hutan (wewenang sektor kehutanan).
e. Membantu petani dalam sertifikasi lahan, mendorong pengelolaan dan konsolidasi
lahan, advokasi petani dalam pengelolaan warisan agar tidak terbagi menjadi lahan
sempit dalam upaya mengurangi segmentasi lahan, dan/atau menjadi lahan non-
pertanian. Upaya-upaya tersebut dimaksudkan untuk menekan laju alih fungsi lahan
pertanian dan segmentasi lahan serta serta mendorong pengembangan usahatani
berskala ekonomi.
f. Mempertahankan kesuburan tanah dan memperbaiki kondisi lahan marjinal dengan
upaya-upaya yang akan dilakukan diantarnya:
 Melakukan perbaikan dan pencegahan kerusakan tanah, dengan menerapkan
teknologi konservasi tanah dan air untuk mengurangi erosi dan mencegah longsor
serta meningkatkan produktivitas lahan.
 Melakukan penanaman tanaman pohon (buah-buahan) dan perkebunan) di daerah
kawasan aliran sungai, dan turut serta dalam sistem komunikasi dan koordinasi
lintas sektor dalam upaya mengurangi pembabatan dan kerusakan hutan dan rangka
memperbaiki dan meningkatkan kualitas sumberdaya lahan dan air serta lingkungan
di kawasan hulu.
 Mendorong petani untuk menggunakan sistem pemupukan berimbang yang
diintegrasikan dengan pupuk organik, dan menerapan praktek budidaya pertanian
yang tepat guna dan ramah lingkungan.
2. Peningkatan infrastruktur dan sarana pertanian
Dalam rangka peningkatan infrastruktur dan sarana pertanian, dalam lima tahun
mendatang akan dilakukan upaya-upaya sebagai berikut:
a. Pembangunan dan perbaikan infrastruktur yang dibutuhkan oleh petani di areal
usahatani seperti jalan usahatani, jalan produksi, jaringan irigasi tingkat (JITUT),
jaringan irigasi desa (JIDES), jaringan irigasi tersier dan kuarter. Disamping itu juga
diperlukan infrastruktur di luar areal usahatani seperti jaringan irigasi primer, jaringan
irigasi sekunder, jalan kabupaten, jalan propinsi, jalan negara, pelabuhan, bandara,
sarana transportasi, jaringan listrik, jaringan komunikasi dan lain sebagainya.
b. Pembangunan infrastruktur tidak hanya dilakukan oleh Kementerian Pertanian sendiri,
tapi juga yang akan dilakukan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat, Kementerian Perhubungan, Pemerintah Propinsi/Kabupaten/ Kota maupun
oleh masyarakat. Untuk itu diperlukan upaya koordinasi yang baik agar tepat lokasi
dan sesuai kebutuhan.
c. Peningkatan sarana pertanian meliputi bantuan sarana pembuatan pupuk organik,
biogas, sarana budidaya, panen, pasca panen, pengolahan dan sarana pemasaran.
d. Penguatan kelembagaan brigade tanam.
e. Penguatan peran kelompok tani dalam pengelolaan Usaha Pelayanan Jasa Alsintan
(UPJA).
3. Pengembangan dan perluasan logistik benih/bibit
Dalam rangka pengembangan dan perluasan logistik benih/ bibit, dalam lima tahun
mendatang akan dilakukan upaya-upaya diantaranya sebagai berikut:
a. Menata kembali kelembagaan perbenihan/perbibitan nasional mulai dari tingkat pusat
sampai daerah.
b. Melindungi, memelihara dan memanfaatkan sumberdaya genetik nasional untuk
pengembangan varietas unggul lokal.
c. Memperkuat tenaga pemulia dan pengawas benih tanaman hingga di tingkat kabupaten
d. Memberdayakan penangkar dan produsen benih berbasis lokal.
e. Meningkatkan peran swasta dalam membangun industri perbenihan/ perbibitan
f. Membangun industri perbenihan
4. Penguatan kelembagaan petani
Kegiatan pertanian secara alami melibatkan sumberdaya manusia (petani) yang cukup
banyak, serta sarana produksi dan permodalan yang cukup besar. Selain itu juga sangat
berhubungan erat dengan sumber inovasi teknologi dan informasi mulai dari hulu sampai
hilir. Dengan karakteristik seperti ini maka untuk mempermudah melakukan koordinasi
sangat diperlukan kelembagaan petani. Melalui kelembagaan petani, mereka dengan mudah
melakukan koordinasi diantara mereka dan antara kelompok. Demikian juga melalui
kelompok maka akan memperkuat posisi tawar dalam pasar yang kompetitif. Menyadari
manfaat keberadaan kelompok tani maka ke depan upaya-upaya yang perlu dilakukan
diantaranya adalah:
a. Meningkatkan kuantitas dan kualitas dari kelompok dan gabungan kelompok tani;
b. Memberikan bimbingan dan pendampingan teknis untuk memperkuat kemampuan
baik dari segi aspek manajemen kelompok, kegiatan budidaya maupun dalam aspek
pengolahan dan pemasaran;
c. Memperluas jenis kelompok tani sesuai dengan bidang usaha, misalnya kelompok
Pengendalian Hama Terpadu, Inseminasi Buatan, Perhimpunan Petani Pemakai Air,
kelompok usaha pengolahan.
d. Memperkuat modal usaha bagi kelompok/gabungan kelompok melalui pemberian
bantuan modal, serta memperkuat jaringan kelompok tani dengan penyuluh lapangan.
5. Pengembangan dan penguatan pembiayaan pertanian
Dalam rangka pengembangan dan penguatan pembiayaan pertanian, dalam lima
tahun mendatang akan dilakukan upayaupaya diantaranya sebagai berikut:
a. Penyempurnaan sistem skim kredit program pertanian untuk memudahkan penyerapan
oleh masyarakat petani/peternak dalam kegiatan usahatani tanaman dan ternak
termasuk kegiatan pasca panen, pengolahan dan pemasarannya.
b. Menumbuhkembangkan kelembagaan petani, kelompok tani, gapoktan, asosiasi dan
koperasi tani sebagai channeling Agent lembaga keuangan formal, baik perbankan
maupun non perbankan, untuk membiayai permodalan petani.
c. Meningkatkan fungsi penyuluh sebagai fasilitator pembiayaan petani.
d. Mengembangkan pola kerjasama petani dan pengusaha lokal sehingga ada yang
menjadi avalis/penjamin bagi petani dalam meminjam modal usaha pertaniannya.
e. Menumbuh kembangkan Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKM-A) di
perdesaan sebagai jejaring lembaga pembiayaan formal
f. Memfasilitasi pembiayaan bagi petani dan gapoktan melalui program pengembangan
usaha agribisnis perdesaan sesuai potensi wilayah.
g. Mengembangkan skim perlindungan usaha petani dan mitigasi resiko usaha melalui
asuransi pertanian.
h. Mendorong investasi di pedesaan, sehingga mampu mendorong tumbuhnya sektor
pertanian di pedesaan. Untuk hal ini diupayakan pertumbuhan investasi dalam negeri
sebesar 15%/ tahun.
i. Mendorong berdirinya bank pertanian sebagai sumber pembiayaan kegiatan pertanian
dari hulu hingga hilir.
6. Pengembangan dan penguatan bioindustri dan bioenergi
Dalam rangka pengembangan dan penguatan bioindustri dan bioenergi, dalam lima tahun
mendatang akan dilakukan upayaupaya diantaranya sebagai berikut:
a. Menyusun peta jalan pengembangan bahan baku bioindustri dan bioenergi.
b. Penguatan pasokan hasil produksi komoditas bahan baku bioindustri dan bioenergi
melalui pola kawasan produksi.
c. Mengembangkan industri pengolahan sederhana berbasis di pedesaan
d. Mendorong industri menerapkan zero waste management.
e. Mendorong berkembangnya pengolahan lanjutan di dalam negeri dari komoditas
pertanian dengan mengacu pohon industri yang ada dan berkembang.
f. Mendorong investasi PMA dan PMDN bidang pengolahan hasil
pertanian terutama berteknologi menengah dan tinggi.
7. Penguatan jaringan pasar produk pertanian
Dalam rangka pengembangan dan penguatan jaringan pasar produk pertanian, dalam
lima tahun mendatang akan dilakukan upaya upaya diantaranya sebagai berikut:
a. Menyusun peta jalur pemasaran komoditas strategis termasuk komoditas yang sering
terkendala distribusi yaitu cabai dan bawang merah dengan memanfaatkan tol laut
guna membangun pasar yang terintegrasi dengan baik dari daerah produksi hingga ke
konsumen.
b. Memperkuat kelembagaan dan sistem pelayanan informasi pasar dan jaringan pasar
produk pertanian mulai di tingkat sentra produksi hingga ke sentra konsumen sehingga
ketersediaan pasokan dan kestabilan harga terjaga.
c. Fasilitasi kelembagaan pasar dan sistem resi gudang guna meningkatkan nilai tambah
dan posisi tawar bagi petani
d. Memperkuat peran atase pertanian di luar negeri dalam mendukung ekspor produk
pertanian.
e. Menggalakkan kampanye positif produk-produk pertanian andalan ekspor.
f. Memperkuat diplomasi dagang produk pertanian baik secara bilateral, regional
maupun multilateral.
g. Pendampingan penerapan standar mutu sehingga produk pertanian yang dipasarkan
sesuai standar mutu negara tujuan ekspor.

PEMBANGUNAN TANAMAN NON PANGAN


Pembahasan sampai sejauh ini terfokus pada kebijaksanaan tanaman pangan, sehingga
memberikan kesan bahwa sektor pertanian di Indonesia adalah pangan saja. Sudah pasti
hal yang demikian ini merupakan tidak tepat. Pada tanaman pangan pun tidak hanya
padi, melainkan juga meliputi tanaman jagung, kedelai, kacang tanah, ubi kayu, dan
tanaman pangan lainnya. Tanaman pangan jenis inipun sesungguhnya mendapat
perhatian pengembangannya. Misalnya saja pemerintah mengenalkan bibit unggul untuk
kedelai, jagung dan sebagainya. Teknologi pengembangannya juga dikenalkan namun
tidak dengan paket kredit seperti halnya pada Bimnas padi.

Perkembangan Subsektor Perkebunan


Tanaman non pangan meliputi tanaman mangga, jeruk, teh, tembakau, kelapa, kelapa
sawit, panili, kakao (cokelat), karet, lada, dan sebagainya. Tanaman non pangan ini
sering juga disebut tanaman tahunan, tanaman perkebunan, tanaman pohon dan tanaman
kas (cash crops). Perkembangan tanaman non pangan ini pada penjajahan Belanda
diserahkan kepada perusahaan besar perkebunan milik swasta Belanda, dan untuk
perkebunan rakyatnya boleh dikatakan dibiarkan berkembang sendiri. Tanaman
perkebunan ini tumbuh di ladang (lahan kering) dan oleh karena kurangnya perhatian
pemerintah, pada jaman penjajahan Belanda sampai dengan akhir pemerintahan Sukarno
dan awal pemerintahan Suharto, banyak ladang milik rakyat terlantar kosong tidak
ditanami. Setelah kira-kira pertengahan 1970an, ketika tanaman pangan padi telah
mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah barulah tanaman non pangan
tersebut diperhatikan pemerintah. Kalau di departemen Pertanian terdapat Direktorat
Pangan dan Direktorat Tanaman Perkebunan (non Pangan), sementara Direktorat
Pangannya sangat sibuk mengurus perkebunan Bimas-Inmas, maka Direktorat Tanaman
Perkebunan pun tidak bisa berpangku tangan saja. Mereka juga mengembangkat bibit
unggul dan tanaman perkebuna baru di antaranya, tanaman kakao, panili, jeruk, kelapa,
kelapa sawit dan sebagainya. Bibit unggul ini juga disuntikkan kepada masyarakat
dengan bantuan kredit, sehingga dikenal dengan adannya RPTE (Rencana
Pengembangan Tanaman Ekspor). Untuk di daerah Bali dan daerah lainnya, tanaman
perkebunan yang menonjol adalah cengkeh dan panili. Petani berlomba-lomba
menanamnya. Pendekatannya hamper sama dengan di bidang beras yakni induced
technology, dengan dan tanpa kredit, yakni pendekatan produksi.
h. Kalau dalam hal padi dibentuk lembaga pemasarannya (seperti gudang, transportasi,
lembaga keuangan, dan lain-lain) oleh pemerintah, tidak demikian halnya dengan
pemasaran untuk tanaman pohon. Setelah produksi berhasil ditingkatkan dengan sangat
dramatis, masalah pemasarannya terserah kepada rakyat. Jadi panen yang berlimpah itu
ternyata agak terlantar. Timbul gagasan untuk membuat pabrik rokok baru agar cengkeh
rakyat tertampung , juga gagasan mendirikan badan penyangga harga untuk komoditas
tertentu seperti halnya Bulog untuk padi. Yang telah terbentuk atas inisiatif swasta
adalah BPPC (badan penyangga pemasaran cengkeh). Namun oleh karena masalah
keuangan dan teknis lainnya, BPPC tidak mempunyai kemampuan yang memadai untuk
menangani masalah pemasaran cengkeh. Akhirya kepada para petani disarankan untuk
menebang pohon cengkehnya dengan biaya sendiri untuk menjaga agar harga tetap
stabil.
i. Mengenai kebijakan pemasaran ini, mungkin ada baiknya kita membandingkan cara
yang dilakukan di Negara lain. Misalnya di Brazilia pada saat panen kopi raya, produksi
kopi melonjak dengan tajam. Pada saat itu pemerintah Brazilia membeli kopi rakyat dan
dibuang ke laut hanya untuk mempertahankan harga. Berbeda halnya dengan di Negara
maju Eropa dan Amerika Serikat, dimana pada saat kelebihan produksi pemerintah
membeli hasil produksi rakyat, untuk kemudian, karena tidak ada pembeli potensial
maka disumbangkan ke luar negeri. Itulah sebabnya kita mengenal dan melihat adanya
konsumsi susu gratis untuk siswa sekolah dasar, yang tidak lain merupakan sumbangan
Negara maju karena kelebihan produksi. Jadi di Negara maju, stabilitas harga untuk
tanaman perkebunan ditangani oleh pemerintah baik dengan cara membuang ke laut
(Brazilia), ataupun disumbangkan ke Negara miskin (Amerika Serikat), namun di
Indonesia karena kesulitan dana maka diserahkan kepada petani sendiri.
j. Dengan laju pertumbuhan sekitar 4-5% per tahun subsector perkebunan adalah salah satu
subsector yang mengalami pertumbunan yang konsisten, baik ditinjau dari areal maupun
produksi. Secara keseluruhan areal perkebunan meningkat dengan laju 2,6% per tahun.
pada periode 2000-2003, misalnya total areal pada tahun 2003 mencapai 16.3 juta ha.
Dari beberapa komoditas perkebunan yang penting di Indonesia (karet, kelapa sawit,
kelapa, kopi, kako, teh, dan tebu), kelapa sawit, karet kakao malah tumbuh lebih pesat
dibandingkan tanaman perkebunan lainnya, yakni dengan laju pertumbuhan rata-rata di
atas 5% per tahun (tabel 5.3). Pertumbuhan yang pesat dari ketiga komoditas tersebut
pada umumnya berkaitan dengan tingkat keuntungan pengusahaan komoditas tersebut
relatif lebih baik dan juga kebijakan pemerintah untuk mendorong perluasan areal
komoditas tersebut. CPO dari kelapa sawit dan karet merupakan dua komoditas yang
mempunyai kontribusi yang dominan. Pertumbuhan produksi komoditas kakao dan kopi
juga relatif pesat pada periode tersebut. Meningkatnya harga-harga produk perkebunan
sejak 2003 merupakan salah satu faktor pendorong peningkatan produk tersebut.
Baik pada situasi ekonomi normal maupun krisis, subsector perkebunan
merupakan subsector yang memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia.
Peran penting tersebut menyangkut penyediaan lapangan kerja, devisa, pengentasan
kemiskinan, pembangunan pedesaan dan pelestarian lingkungan.

Peran Subsektor Perkebunan dalam Pembangunan Nasional


Sebagai salah satu subsector penting dalam sector pertanian, subsector perkebunan secara
tradisional mempunyai kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian Indonesia.
Sebagai Negara berkembang dimana penyediaan lapangan kerja merupakan masalah yang
mendesak, subsector perkebunan mempunyai kontribusi yang cukup signifikan. Sampai
dengan tahun 2003, jumlah tenaga kerja yang terserap oleh subsector ini sekitar 17 jutaa
jiwa. Jumlah lapangan kerja tersebut belum termasuk yang bekerja pada industry hilir
perkebunan. Kontribusi dalam penyediaan lapangan kerja menjadi nilai tambah tersendiri,
karena subsector perkebunan menyediakan lapangan kerja di pedesaan dan daerah terpencil.
Subsektor ini mempunyai kontribusi penting dalam hal penciptaan nilai tambah yang
tercermin dari kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Dari segi nilai absolut
berdasarkan harga yang berlaku, PDB terus meningkat dari tahun 2000 sampai tahun 2003
dari sekitar Rp 33,7 triliun menjadi Rp 47,0 triliun, atau dengan laju sekitar 11,7% per tahun.
Dengan peningkatan tersebut, kontribusi PDB subsektor perkebunan terhadap PDB sektor
pertanian adalah sekitar 16%. Terhadap PDB secara nasional tanpa migas, kontribusi
subsektor ini adalah sekitar 2,9% atau sekitar 2,6% PDB total.

k. Sejalan dengan pertumbuhan PDB, subsektor perkebunan mempunyai peran srategis


terhadap pertumbuhan ekonomi. Ketika Indonesia mengalami krisis ekonomi yang
dimulai tahun 1997, subsektor perkebunan kembali menujukkan peran strategisnya. Pada
saat itu, kebanyakan sektor ekonomi mengalami kemunduran bahkan kelumpuhan
dimana ekonomi Indonesia mengalami krisis dengan laju pertumbuhan –13% pada tahun
1998. Dalam situasi tersebut, subsektor perkebunan kembali menunjukkan kontribusinya
dengan laju pertumbuhan antara 4%-6% per tahun. Ketika ekonomi Indonesia mulai
membaik, kontribusi dalam hal pertumbuhan, terus menunjukkan kinerja yang konsisten.
Selama periode 2000-2003, laju pertumbuhan subsektor perkebunan selalu diatas laju
pertumbuhan ekonomi secara nasional. Sebagai contoh, pada tahun 2001, ketika laju
pertumbuhan ekonomi secara nasional adalah sekitar 3.4%, subsektor perkebunan
tumbuh dengan laju sekitar 5.6%.
l. Subsektor perkebunan memiliki posisi yang tidak dapat diremehkan. Perkebunan
merupakan salah satu subsektor andalan dalam menyumbang devisa untuk negara
melalui orientasi pasar ekspor. Produk karet, kopi, kakao, teh dan minyak sawit adalah
produk-produk yang lebih dari 50% dari total produksi adalah untuk ekspor. Hingga
tahun 2004, subsektor perkebunan secara konsisten menyumbang devisa dengan dengan
rata-rata nilai ekspor produk primernya mencapai US$ 4 miliar per tahun. Nilai tersebut
belum termasuk nilai ekspor produk olahan perkebunan, karena ekspor olahan
perkebunan dimasukkan pada sektor perindustrian.

Peran Subsektor Perkebunan dalam Isu Global


Terhadap isu global yang kini menjadi sorotan internasional seperti kemiskinan, ketahanan
pangan, dan isu lingkungan/pembangunan berkelanjutan, subsektor perkebunan mempunyai
kontribusi yang juga tidak dapat diabaikan. Terlepas kegagalan dalam beberapa proyek PIR,
pengembangan berbagai program perkebunan juga telah terbukti mampu mengurangi jumlah
penduduk miskin. Seperti diketahui, pengurangan jumlah orang miskin adalah tujuan
pertama dari Millenium Development Goals (MDGs). Pengembangan perkebunan,
khususnya yang berbasis kelapa sawit, dari berbagai studi telah menunjukkan terjadinya
pengurangan jumalah penduduk miskin. Suatu studi tahun 2002 menunjukan bahwa jumlah
orang miskin di wilayah perkebunan kelapa sawit secara umum kurang dari 6%, sedangkan
secara nasional jumlah penduduk miskin adalah sekitar 17%.
Peran strategis lain dari subsektor perkebunan dalam isu global yang perlu mendapat
perhatian adalah kontribusinya dalam ketahanan pangan. Minyak goreng dan gula
merupakan produk perkebunan yang mempunyai peran penting dalam memelihara
ketahanan pangan. Negara-negara maju seperti Amerika, Jepang, Eropa, berusaha
memaksimalkan tingkat produksi pangannya dalam upaya mencapai ketahanan pangan.
Seperti diketahui, ketahanan pangan merupakan salah satu syarat penting dalam ketahanan
nasional.
Akhirnya, subsektor perkebunan juga berperan penting dalam hal isu lingkungan yang
merupakan isu global yang secara konsisten gaungnya semakin menguat. Pengembangan
komoditas perkebunan di areal yang marginal merupakan wujud kontribusi subsektor
perkebunan dalam memelihara lingkungan/konservasi. Sebagai contoh. pengembangan
tanaman teh di daerah pegunungan dengan kemiringan yang tajam dengan kondisi lahan
yang kritis, berperan penting dalam konservasi lingkungan. Pengembangan komoditas karet
di lahan kering dan kritis juga memberi kontribusi nyata dalam memelihara bahkan
memperbaiki lingkungan. Pengembangan komoditas kelapa sawit di lahan rawa juga
merupakan wujud kontribusi subsektor perkebunan dalam memelihara lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Hanafie, Rita (2010). Pengantar Ekonomi Pertanian. Yogyakarta: ANDI Yogyakarta.

Kuncoro, Mudrajad (2010). Ekonomika Pembangunan. Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama.

Tambunan, Tulus (2010). Pembangunan Pertanian dan Ketahanan Pangan. Jakarta: UI Press.

Arsyad, Lincolin (2010). Ekonomi Pembangunan. Yogyakarta: UPP STIM YKPN

Dumairy (1996). Perekonomian Indonesia. Jakarta: Erlangga

www.bps.co.id

www.pertanian.go.id

Anda mungkin juga menyukai