Anda di halaman 1dari 111

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.

Apendisitis merupakan peradangan yang terjadi di apendiks vermiformis

dan merupakan penyebab tersering nyeri akut abdomen yang tersering dan

dapat mengenai semua usia dengan angka kejadian tertinggi pada usia 20-30

tahun menjadikan apendektomi sebagai jenis bedah abdomen yang paling

sering dilakukan di rumah sakit.1,2

Gejala awal apendisitis akut adalah rasa nyeri tumpul atau rasa tidak

nyaman di sekitar umbilicus kemudian berpindah ke titik McBurney atau ke

kuadran kanan bawah diikuti atau bahkan diawali gejala lain seperti demam,

anoreksia, mual dan muntah. Evaluasi yang baik dari apendisitis akut dapat

mengurangi intervensi untuk operasi awal, dengan harapan dapat mengurangi

risiko operasi yang tidak diperlukan.21,22

Apendisitis merupakan kausa laparotomi tersering pada anak dan orang

dewasa. Jenis tindakan bedah yang umum dilakukan pada kasus apendisitis

adalah laparoskopi apendektomi dan laparotomi apendektomi, laparatomi

apendektomi masih umum dilakukan pada banyak pasien apendisitis akut

tanpa komplikasi.20
2

Kasus apendisitis di Amerika Serikat terjadi sekitar 250.000 pertahun dan di

Inggris sekitar 40.000 pertahun. Terjadi 7% dari populasi di Amerika Serikat,

dengan insiden 1,1 kasus per 1000 penduduk pertahun. Di RSUD Undata Palu

penderita apendisitis pada tahun 2013 berjumlah 107, dan 2015 berjumlah 87

orang.9,10,11,14,15

Apendektomi dilakukan di Amerika Serikat sekitar 280.000 pertahun. di

Sweden, dilaporkan 12.500 apendektomi pertahun. Di RSUD Undata palu

dilaporkan ada 30 orang pada tahun 2016 dan 29 orang pada tahun 2017

sedangkan di RSU Anutapura palu dilaporkan 315 orang pada tahun 2016 dan

189 orang pada tahun 2017. 34,35,36,14,15

Sayatan pada bedah apendektomi menimbulkan luka yang berukuran

besar dan dalam sehingga dapat menimbulkan beberapa risiko komplikasi

pasca operasi dan memerlukan waktu untuk sembuh secara total dengan

perawatan yang berkelanjutan dan menentukan lama hari rawat inap di rumah

sakit. (Potter et al, 2006). Lama Perawatan atau Lama Hari Rawat Inap adalah

berapa hari lamanya dirawat dalam satu periode perawatan dan mengukur

durasi lama rawat inap pasien Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi

lama rawat inap antara lain antara lain penyembuhan luka pasca pembedahan,

nyeri yang dapat memperpanjang masa penyembuhan karena akan

mengganggu kembalinya aktivitas pasien dan menjadi salah satu alasan

pasien untuk tidak ingin bergerak atau melakukan mobilisasi dini.1,47


3

B. Perumusan Masalah

Terdapat banyak faktor yang berpengaruh kepada lama penyembuhan luka

post operasi apendektomi. Apabila faktor-faktor tersebut tidak dipelajari lebih

lanjut dan dilakukan penatalaksanaan dan pencegahan yang tidak sesuai,

memberikan dampak proses penyembuhan luka pada pasien post operasi

apendektomi akan berlangsung lama dan hal ini juga akan mengakibatkan

dampak pada lama hari rawat yang panjang. Semakin lama masa rawat inap

pasien maka semakin besar biaya yang dikeluarkan untuk biaya pengobatan

dan mengurangi efisiensi pelayanan rumah sakit.51

Adapun faktor-faktor yang menjadi penyebab memanjangnya lama hari

rawat khususnya pasien post apendektomi belum diketahui dengan pasti yang

menyebabkan perpanjangan lama hari rawat melebihi indikator yang

ditetapkan sehubungan dengan hal tersebut diatas mendorong saya

melakukan penelitian, dengan rumusan masalah : Faktor-Faktor yang ada

Hubungan Dengan Lama Perawatan Penderita Post Apendektomi Bagian

Bedah RSUD Undata dan RSU Anutapura Palu Tahun 2018.


4

C Pertanyaan Penelitian.

1. Adakah hubungan antara jenis kelamin penderita dengan dengan lama

perawatan penderita post apendektomi di bagian bedah di RSUD

UndataPalu dan RSU Anutapura Palu Tahun 2018 ?

2. Adakah hubungan antara usia penderita dengan dengan lama perawatan

penderita post apendektomi di bagian bedah di RSUD Undata dan RSU

Anutapura Palu Tahun 2018 ?

3. Adakah hubungan antara penyakit status gizi penderita dengan lama

perawatan penderita post apendektomi di bagian bedah di RSUD Undata

dan RSU Anutapura Palu Tahun 2018 ?

4. Adakah hubungan antara penyakit penyerta penderita dengan dengan lama

perawatan penderita post apendektomi di bagian bedah di RSUD Undata

dan RSU Anutapura Palu Tahun 2018 ?

5. Adakah hubungan antara kualitas mobilisasi dini penderita dengan dengan

lama perawatan penderita post apendektomi di bagian bedah di RSUD

Undata dan RSU Anutapura Palu Tahun 2018 ?


5

D. Hipotesis

1. Terdapat hubungan antara jenis kelamin penderita dengan dengan lama

perawatan penderita post apendektomi di bagian bedah di RSUD Undata

dan RSU Anutapura Palu Tahun 2018.

2. Terdapat hubungan antara usia penderita dengan lama perawatan penderita

post apendektomi di bagian bedah RSUD Undata dan RSU Anutapura Palu

Tahun 2018.

3. Terdapat hubungan antara status gizi penderita dengan lama perawatan

penderita post apendektomi di bagian bedah RSUD Undata dan RSU

Anutapura Palu Tahun 2018.

4. Terdapat hubungan antara penyakit penyerta penderita dengan lama

perawatan penderita post apendektomi di bagian bedah RSUD Undata dan

RSU Anutapura Palu Tahun 2018.

5. Terdapat hubungan antara mobilisasi dini penderita dengan lama perawatan

penderita post apendektomi di bagian bedah RSUD Undata dan RSU

Anutapura Palu Tahun 2018.


6

E. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum
Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan lama perawatan

penderita post apendektomi.

2. Tujuan Khusus :
a. Mengetahui hubungan jenis kelamin penderita dengan lama perawatan

penderita post apendektomi di bagian bedah di RSUD Undata dan RSU

Anutapura Palu Tahun 2018.

b. Mengetahui hubungan usia penderita dengan lama perawatan penderita

post apendektomi di bagian bedah di RSUD Undata dan RSU Anutapura

Palu Tahun 2018.

c. Mengetahui hubungan status gizi penderita dengan lama perawatan

penderita post apendektomi di bagian bedah di RSUD Undata dan RSU

Anutapura Palu Tahun 2018.

d. Mengetahui hubungan penyakit penyerta penderita dengan lama perawatan

penderita post apendektomi di bagian bedah di RSUD Undata dan RSU

Anutapura Palu Tahun 2018.

e. Mengetahui hubungan kualitas mobilisasi dini penderita dengan lama

perawatan penderita post apendektomi di bagian bedah di RSUD Undata

dan RSU Anutapura Palu Tahun 2018.


7

F. Manfaat Penelitian.

1. Pengembangan Ilmu

a. Untuk Peneliti

Penelitian ini dapat menjadi bahan pembelajaran bagi peneliti baik dari segi

teori kedokteran, teori statistik serta pengalaman yang dapat diaplikasikan

nantinya dalam bidang manajemen rumah sakit.

b. Untuk peneliti lain

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dalam penelitian-

penelitian yang berhubungan selanjutnya.

c. Untuk institusi pendidikan kesehatan

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu rujukan dalam

memperluas ilmu pengetahuan manajemen rumah sakit.

2. Aplikasi

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman

pada masyarakat tentang faktor-faktor yang ada berhubungan dengan lama

perawatan penderita post laparatomi di bagian bedah RSUD Undata sehingga

dapat memperpendek lama perawatan penderita post laparatomi apendektomi.


8

G. Sistematika dan Organisasi Penulisan

1. Sistematika penulisan

Bab I menjelaskan tentang hal-hal yang melatar belakangi, tujuan, dan

manfaat penelitian ini dilakukan.

Bab II berisikan tentang landasan teori penelitian, kerangka teori, kerangka

konsep dan definisi operasional.

Bab III berisi tentang metode penelitian yang digunakan dalam melakukan

penelitian ini, Bab IV berisi tentang hasil dan pembahasan penelitian, Serta

Bab V berisi tentang kesimpulan dan saran.

2. Organisasi penulisan

a. Penulisan proposal

b. Seminar proposal, pada semester V dan semester VI

c. Mengurus izin penelitian di Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu

(KP2ST) Provinsi Sulawesi Tengah

d. Mengirim surat izin penelitian ke kantor Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan

Perlindungan Masyarakat di Jakarta

e. Mengurus surat izin penelitian di Kantor Badan Kesatuan Bangsa, Politik

dan Perlindungan Masyarakat (KESBANG) Kota Palu

f. Mengantar surat izin penelitian di Kantor Dinas Kesehatan Kota Palu


9

g. Mengurus surat izin penelitian di RSUD Undata dan RSU Anutapura Palu

h. Meminta izin kepada Penanggung jawab RSUD Undata dan RSU Anutapura

Palu

i. Pengurusan Rekomendasi Etik pada Komisi Etik Penelitian Kesehatan di

Universitas Alkhairaat Palu

j. Melakukan penelitian di ruang Perawatan bedah RSUD Undata dan RSU

Anutapura Palu

k. Penulisan skripsi
10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Appendisitis

a. Definisi

Apendisitis merupakan peradangan yang terjadi di apendiks vermiformis

dan merupakan penyebab tersering nyeri akut abdomen yang menjadikan

apendektomi sebagai jenis bedah abdomen yang paling sering dilakukan di

rumah sakit . Apendisitis akut mampu berkembang menjadi perforasi apendiks

yang nantinya dapat mengakibatkan 67% kematian pada kasus-kasus

apendisitis akut. Apendektomi CITO telah menjadi terapi utama apendisitis

akut dikarenakan risiko progresivitas apendisitis menuju pada perforasi

memiliki angka kejadian yang tinggi.1,2

b. Anatomi Apendiks.

Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10cm

(kisaran 3- 15cm), dan berpangkal di caecum. Lumen apendiks lebih sempit di


11

bagian proksimal dan melebar di bagian distal. Namun demikian, pada bayi,

apendiks berbentuk kerucut, lebar pada bagian pangkal dan menyempit ke

arah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insiden

appendicitis pada usia itu. Pada 65% kasus, apendiks terletak intraperitoneal.

Posisi tersebut memungkinkan apendiks bergerak dimana ruang geraknya

bergantung pada panjang mesoapendiks penggantungnya. Pada kasus

selebihnya, apendiks terletak retroperitoneal, yaitu di belakang caecum, di

belakang colon ascendens, atau di tepi lateral colon ascendens. Secara

umum, permukaan eksternal apendiks tampak halus dan berwarna merah

kecoklatan hingga kelabu.3,4

Permukaan dalam atau mukosa secara umum sama seperti mukosa kolon,

berwarna kuning muda dengan gambaran nodular, dan komponen limfoid yang

prominen. Komponen folikel limfoid ini mengakibatkan lumen dari apendiks

seringkali berbentuk irregular (stelata) pada potongan melintang dengan

diameter 1-3 cm.3,4

Persarafan sekum dan apendiks vermiformis berasal dari saraf simpatis

dan parasimpatis dari pleksus mesenterica superior. Serabut saraf simpatis

berasal dari medula spinalis torakal bagian kaudal, dan serabut parasimpatis

berasal dari kedua nervus vagus. Serabut saraf aferen dari apendiks

vermiformis mengiringi saraf simpatis ke segmen medula spinalis thorakal 10.

Gejala klinis appendicitis sendiri ditentukan oleh letak apendiks. Oleh karena
4,5
itu, nyeri visceral pada appendicitis bermula di sekitar umbilikus.
12

Gambar 1. Variasi Posisi Apendiks


Sumber : Grays Anatomy 40th ed, 2008
Posisi apendiks terbanyak adalah retrocaecal (65%), pelvical (30%),

patileal (5%), paracaecal (2%), anteileal (2%) dan preleal (1%). Pendarahan

apendiks berasal dari arteri Apendikularis yang merupakan arteri tanpa

kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena thrombosis pada infeksi

apendiks akan mengalami gangren.4,5,6

Gamber 2. Persentase Variasi Posisi Apendiks


13

Sumber : Journal of Coloproctology, 2015

c. Histologi Apendiks

Histologi apendiks memiliki banyak kesamaan struktur dengan usus besar,

dimana terdiri dari empat lapisan yakni mukosa, submukosa, muskularis

eksterna, dan lapisan serosa. Mukosa apendiks terdiri dari satu lapis sel epitel

di permukaan. Pada lapisan epitel ini terdapat sel- sel absorbtif, sel-sel goblet,

sel-sel neuro endokrin, dan beberapa sel paneth. Lamina propria dari mukosa

tersusun dari lapisan selular dengan banyak komponen sel-sel migratori, dan

aggregasi limfoid. Pada apendiks, folikel limfoid sangat banyak dijumpai

terutama pada apendiks individu berusia muda berbeda halnya dengan usus

besar. Lapisan terluar dari mukosa apendiks adalah lapisan muskularis

mukosa, yang merupakan lapisan fibromuskular yang kurang berkembang

pada apendiks.7

Lapisan submukosa memisahkan mukosa dengan muskularis eksterna.

Lapisan ini tersusun oleh jaringan serat kolagen dan elastin yang longgar,

serta fibroblas. Pembuluh darah dan limfe merupakan komponen yang

dominan pada lapisan ini. Pembuluh limfatik terdapat dibawah dasar dari folikel

limfoid. Di lapisan ini juga terdapat struktur neural berupa pleksus Meissner.

Pleksus saraf ini terdiri dari ganglia, sel-sel ganglion, kumpulan neuron dengan

prosesusnya, dan sel Schwann yang saling berinterkoneksi membentuk

jaringan saraf di lapisan submukosa.7


14

Lapisan otot polos yang tebal berada diantara submukosa dan serosa,

merupakan lapisan muskularis eksterna dari apendiks. Lapisan ini terpisah

menjadi 2 bagian, yakni lapisan sirkular di dalam dan lapisan longitudinal di

sebelah luar. Pada lapisan ini sering terlihat degenerasi granular sitoplasmik

eosinofilik terutama pada lapisan sirkular. Di antara dua lapisan otot ini

terdapat pleksus myenterik/pleksus Auerbach, yang serupa secara morfologi

dan fungsi dengan pleksus Meissner di lapisan submukosa. Sebagai

tambahan, pembuluh limfatik dan pembuluh darah juga terdapat pada lapisan

ini.7

Lapisan terluar dari apendiks adalah lapisan serosa, diantara lapisan serosa

dan muskularis eksterna terdapat regio subserosal, yang terdiri dari jaringan

penyambung longgar, pembuluh darah, limfe, dan saraf. Lapisan serosa

sendiri merupakan selapis sel-sel mesotelial kuboidal, yang terdapat pada

lapisan tipis jaringan fibrosa.7

Gambar 3. Gambaran Histologi Lumen Apendiks


15

Sumber : Atlas Histologi di Fiore hal. 207


d. Fisiologi Apendiks
Apendiks vermiformis menghasilkan mmuno sebanyak 1-2 ml per hari yang

secara normal di curahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke

sekum. Adanya hambatan aliran pada mmuno di muara apendiks vermiformis

berperan dalam mmunoglobul apendisitis.

GULT (gut associated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran

pencernaan, termasuk apendiks vermiformis menghasilkan IgA yaitu suatu

mmunoglobulin sekretoar. IgA sangat efektif sebagai pelindung terhadap

infeksi. Tetapi karena jumlah jaringan limfe pada apendiks vermiformis kecil

sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna menyebabkan

pengangkatan apendiks vermiformis tidak mempengaruhi sistem imun tubuh.

Gambar 4. Gambaran Penumpukan Mukus pada Apendisitis


Sumber : Parswa Ansari, 2017
16

Seperti struktur usus besar, apendiks terdiri dari sel-sel migratori di lapisan

lamina propria dari mukosa, yang terutama terdiri dari sel plasma dan limfosit

T, juga tersebar makrofag, eosinofil, limfosit B, dan sel mast. Persebaran

struktur nodul limfoid yang terorganisasi dalam lamina propria, muskularis

mukosa, hingga submucosa bergantung pada usia seseorang. Jumlah jaringan

limfoid pada apendiks juga berfluktuasi sesuai dengan usia, pada bayi baru

lahir, apendiks hanya mengandung sedikit atau bahkan tidak ada jaringan

limfoid. Seiring meningkatnya usia, nodul limfoid berakumulasi dan mencapai

puncaknya pada dekade pertama kehidupan. Agregasi limfoid kemudian

berkurang secara stabil seiring bertambahnya usia. Namun, terdapat variasi

untuk hal ini, misalnya pada orang yang lebih tua, masih terdapat jaringan

limfoid yang banyak.8

e. Etiologi

Kebanyakan kasus dari apendisitis akut merupakan akibat dari obstruksi,

yang kemudian menyebabkan gangguan resistensi mukosa apendiks terhadap

invasi mikroorganisme. Penyebab tersering dari obstruksi adalah fecalith.

Obstruksi ini diyakini meningkatkan tekanan di dalam lumen. Peningkatan

tersebut menyebabkan adanya kontinuitas aliran sekresi cairan dan mukus

dari mukosa dan stagnansi dari material tersebut. Hal ini kemudian akan

menyebabkan, terjadi iskemia dinding apendiks, yang menyebabkan hilangnya


17

keutuhan epitel dan invasi bakteri ke dinding apendiks. Bakteri intestinal yang

ada di dalam apendiks kemudian bermultiplikasi, hal ini menyebabkan

rekrutmen dari leukosit, pembentukan pus dan tekanan intraluminal yang

tinggi. Dalam beberapa jam, kondisi ini dapat semakin parah karena trombosis

dari arteri maupun vena apendiks menyebabkan perforasi dan gangren

apendiks. Berlanjutnya proses ini dapat menyebabkan abses periapendikular

atau peritonitis. Jaringan limfoid pada apendiks dapat membengkak dan

menutup apendiks. Pembesaran atau hiperplasia folikel limfoid yang

disebabkan antara lain oleh infeksi virus (cth: campak), pajanan barium, cacing

(pinworms, Ascaris, Taenia) dan tumor yang juga dapat mengobstruksi lumen

dan menyebabkan apendisitis.1,4

Terjadinya obstruksi pada apendiks juga dapat terjadi karena benda asing

seperti permen karet, kayu (biasanya lebih umum ditemukan pada anak-anak),

dental amalgam, batu, sisa makanan, barium, metastatis tumor. Walaupun

tumor primer bisa terjadi, yang termasuk ke dalam tumor apendiks adalah

termasuk carcinoid, adenocarcinoma, sarcoma Kaposi, limfoma Burkitt, dan

dapat juga terjadi disebabkan oleh endometriosis (Schwartz, 2014).


18

f. Epidemiologi.

Tabel 1. Angka Kejadian Apendisitis di Dunia

No Penulis Tahun Lokasi Kejadian


.
1 Craig Sandy 2014 Amerika Serikat 250.000
1,1/1000
populasi
2 Gul Tamjeed 2014 Inggris 40.000
3 Ballehanina K. U. 2013 Amerika Serikat 7%

Di Amerika Serikat setiap tahunnya terdapat 250.000 kasus apendisitis. Per

tahun dengan insiden 1,1 per 1000 penduduk pertahun dan di Inggris sekitar

40.000 pertahun. Terjadi 7% dari populasi Amerika Serikat dengan insiden 1,1

kasus per 1000 penduduk.9,10,11.

Tabel 2. Angka Kejadian Apendisitis di Indonesia

No Penulis Tahun Lokasi Kejadian


.
1 Depkes RI 2006 Indonesia 28.004
2 Depkes RI 2014 Indonesia, 4.351 kasus
Jakarta
3 Yuliafanto FA 2016 Bandung 129 kasus

Menurut Departemen Kesehatan RI di Indonesia pada tahun 2006,

apendisitis menduduki urutan keempat penyakit terbanyak setelah dispepsia,

gastritis, dan duodenitis dengan jumlah pasien rawat inap sebanyak 28.040.

Selain itu, pada tahun 2008, insidensi apendisitis di Indonesia menempati


19

urutan tertinggi di antar kasus kegawatan abdomen lainnya. Survey di 15

provinsi di Indonesia tahun 2014 menunjukan jumlah apendisitis yang dirawat

di rumah sakit sebanyak 4.351 kasus. Kementrian Kesehatan menganggap

apendisitis merupakan isu prioritas kesehatan di tingkat lokal dan nasional

karena mempunyai dampak besar pada kesehatan masyarakat. Insidensi

apendisitis paling tinggi terdapat pada usia 10-30 tahun, dan jarang ditemukan

pada anak usia kurang dari 2 tahun. Setelah usia 30 tahun insiden apendisitis

menurun, tapi apendisitis dapat terjadi pada setiap kelompok usia. Pada

remaja dan dewasa muda rasio perbandingan antara laki-laki dan perempuan

sekitar 3 : 2. Setelah usia 25 tahun, rasionya menurun sampai pada usia

pertengahan 30 tahun menjadi seimbang antara laki-laki dan perempuan.

Insidensi apendisitis akut di Bandung ada 129 kasus pada tahun 2016. 12,13.
20

500

450

400

350

300

250

200

150

100

50

0
2016 2017

RSUD Undata RSU Anutapura

Gambar 5. Angka Kejadian Apendisitis RSUD Undata dan RSU Anutapura

RSUD Undata Palu penderita appendisitis pada tahun 2016 berjumlah 107

orang dan tahun 2017 berjumlah 54 orang. Di RSU Anutapura Palu berjumlah

434 orang pada tahun 2016 dan 310 0rang pada tahun 2017. 14,15

g. Klasifikasi.
1) Apendisitis akut.

(a) Apendisitis akut sederhana (Cataral appendicitis)

Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa disebabkan

obstruksi. Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen appendiks dan terjadi

peningkatan tekanan dalam lumen yang mengganggu aliran limfe, mukosa


21

appendiks jadi menebal, edema, dan kemerahan. Gejala diawali dengan rasa

nyeri di daerah umbilikus, mual, muntah, anoreksia, malaise, dan demam

ringan. Pada apendisitis kataral terjadi leukositosis dan appendiks terlihat

normal, hiperemia, edema, dan tidak ada eksudat serosa. 16,17

(b) Apendisitis akut purulenta (Supurative Appendicitis)

Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan

terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks dan menimbulkan

trombosis. Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada apendiks.

Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding appendiks

menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi

eksudat dan fibrin. Pada appendiks dan mesoappendiks terjadi edema,

hiperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat fibrinopurulen. Ditandai

dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik Mc

Burney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan

defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda- tanda

peritonitis umum.16,17

(c) Apedisitis akut gangrenosa.

Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai

terganggu sehingga terjadi infrak dan ganggren. Selain didapatkan tanda-

tanda supuratif, appendiks mengalami gangren pada bagian tertentu. Dinding


22

appendiks berwarna ungu, hijau keabuan atau merah kehitaman. Pada

apendisitis akut gangrenosa terdapat mikroperforasi dan kenaikan cairan

peritoneal yang purulen.1,16,17

2) Apendisitis rekuren.

Dapat didiagnosa jika adanya riwayat serangan nyeri berulang diperut

bagian kanan bawah yang mendorong dilakukannya apendektomi dan hasil

patologi menunjukan peradangan akut. Kelainan ini dapat terjadi bila serangan

apendisitis akut pertama kali sembuh spontan. Pada apendisitis rekurens

biasanya dilakukan apendektomi karena penderita sering mengalami serangan

akut.1,16,17

3) Apendisitis kronis.

Apendisitis kronik adalah nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu atau

terjadi secara menahun . Apendisitis kronik sangat jarang terjadi. Prevalensi

hanya 1-5 %. Diagnosis apendisitis kronik sulit ditegakkan. Terdapat riwayat

nyeri perut kanan bawah yang biasa terjadi secara berulang. Diagnosa

apendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika ada riwayat serangan nyeri

berulang di perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik appendiks

secara makroskopik dan mikroskopik. Secara histologis, dinding appendiks

menebal, sub mukosa dan muskularis propia mengalami fibrosis. Terdapat


23

infiltrasi sel radang limfosit dan eosinofil pada sub mukosa, muskularis propia,

dan serosa. Pembuluh darah serosa tampak dilatasi. 1,17

h. Patofisiologi.

Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks.

Penyumbatan tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi oleh mukosa

mengalami pembendungan yang mengakibatkan elatisitas dinding apendiks

yang tidak mampu menahan bendungan sehingga terjadi peningkatan tekanan

intralumen. Tekanan tersebut akan menghambat aliran limfe yang

menyebabkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat

inilah terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai nyeri epigastrium.

Bila sekresi mukus berlanjut, tekanan akan terus meningkat dan

menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah dan bakteri akan menembus

dinding. Peradangan yang meluas dan mengenai peritoneum setempat akan

menyebabkan nyeri perut kanan bawah, keadaan ini disebut apendisitis

supuratif akut. Bila aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks

yang diikuti gangren sehingga menyebabkan apendisitis gangrenosa.


24

i. Gambaran klinis.

Secara klasik, manifestasi klinis apendisitis antara lain adalah : 18,19,20

1) Nyeri

Nyeri pada apendisitis akan diawali dari area periumbilikal kemudian


berpindah ke kuadran kanan bawah. Nyeri bersifat viseral, berasal dari
kontraksi atau distensi dari lumen. Biasaanya disertai dengan adanya rasa
ingin defekasi atau flatus. Nyeri biasanya ringan dengan skala nyeri 3-6
biasanya berkisar selama 4-8 jam. Apabila infeksi semakin luas dan menyebar
di permukaan parietal peritoneum, nyeri kemudian menjadi somatik, berlokasi
di kuadran kanan bawah. Gejala ini ditemukan pada 80% kasus. Untuk
mengurangi rasa nyeri ini biasanya pasien berbaring, melakukan fleksi pada
pinggang, serta mengangkat lututnya untuk mengurangi pergerakan. 18,19,20

2) Anoreksia

Anoreksi sering didapatkan pada penderita apendisitis dan biasanya


disertai mual dan muntah pada 50-60% kasus. Keluhan muntah biasanya self-
limited dan tidak memerlukan pengobatan. 18,19,20

3) Abdominal tenderness.

Gejala ini khususnya ditemukan pada regio apendiks. Sebanyak 96%

ditemukan pada kuadran kanan bawah akan tetapi gejala ini merupakan gejala

nonspesifik. Nyeri pada kuadran kiri bawah ditemukan pada pasien dengan

situs inversus atau yang memiliki apendiks panjang.Gejala ini tidak ditemukan

apabila terdapat apendiks retrosekal atau apendiks pelvis, dimana pada

pemeriksaan fisiknya akan ditemukan tenderness pada panggul atau rektal


25

atau pelvis. Kekakuan dan tenderness (defance muscular) dapat menjadi

tanda adanya perforasi dan peritonitis terlokasir atau difus. 18,19,20

4) Febris

Temperatur tubuh berkisar antara 37,2 oC – 38oC, tetapi suhu > 38,3oC

dapat menandakan adanya perforasi.

5) Peningkatan jumlah leukosit perifer

Leukositosis > 20,000 sel/ μL menandakan adanya perforasi atau peritonitis

j. Pemeriksaan fisik

1) Inspeksi

Kadang sudah terlihat waktu penderita berjalan sambil bungkuk dan

memegang perut. Penderita tampak kesakitan. Pada inspeksi perut tidak

ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita dengan

komplikasi perforasi. Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada massa

atau abses appendikuler.21,22

2) Auskultasi

Peristaltik usus sering normal. Peristaltic dapat hilang pada ileus paralitik

karena peritonitis generalisata akibat appendisitis perforate.23

3) Palpasi
26

Dengan palpasi di daerah titik Mc. Burney didapatkan tanda-tanda

peritonitis lokal yaitu :21,23

a) Nyeri tekan (+) Mc. Burney

Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan kuadran bawah atau titik Mc

Burney dan ini merupakan tanda kunci diagnosis.

b) Nyeri lepas (+) karena rangsangan peritoneum

Rebound tenderness (nyeri lepas tekan) adalah rasa nyeri yang hebat

(dapat dengan melihat mimik wajah) di abdomen kanan bawah saat tekanan

secara tiba-tiba dilepaskan, setelah sebelumnya dilakukan penekanan yang

perlahan dan dalam dititik Mc Burney.

c) Defens muskuler(+) karena rangsangan M.Rektus Abdominis

Defens muskuler adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen yang

menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietal. Pada appendiks letak

retroperitoneal, defans muscular mungkin tidak ada, yang ada nyeri pinggang.

4) Pemeriksaan khusus/tanda khusus

a) Rovsing sign

Penekanan perut kiri bawah terjadi nyeri perut kanan bawah, karena

tekanan merangsang peristaltic dan udara usus, sehingga menggerakkan

peritoneum sekitar appendix yang meradang (somatic pain).23

b) Blumberg sign
27

Disebut juga dengan nyeri lepas. Palpasi pada kuadran kiri bawah atau

kolateral dari yang sakit kemudian dilepaskan tiba-tiba, akan terasa nyeri pada

kuadran kanan bawah karena iritasi peritoneal pada sisi yang berlawanan.23

c) Psoas sign

Dilakukan dengan rangsangan muskulus psoas. Ada 2 cara memeriksa:

(1) Aktif : Pasien telentang, tungkai kanan lurus ditahan pemeriksa, pasien

memfleksikan articulation coxae kanan, psoas sign (+) bila terasa nyeri

perut kanan bawah.

(2) Pasif: Pasien miring kekiri, paha kanan dihiperekstensikan pemeriksa,

psoas sign (+) bila terasa nyeri perut kanan bawah.


28

Gambar 6. Cara melakukan Psoas Sign

Sumber : Current Surgical Diagnosis And Treatment Edition 17, 2006


29

d) Obturator sign
Dilakukan dengan menyuruh pasien tidur telentang, lalu dilakukan gerakan
fleksi dan endorotasi sendi panggul atau articulation coxae. Obturator sign (+)
bila terasa nyeri di perut kanan bawah.

Gambar 7. Cara melakukan Obturator Sign

Sumber: Current Surgical Diagnosis And Treatment Edition 17,2006

k. Pemeriksaan Penunjang.

1) Pemeriksaan Hematologi Rutin

Pemeriksaan analisa darah pada pasien apendisitis menunjukkan adanya

kenaikan jumlah leukosit >10.000/mm3 pada 89% pasien dengan apendisitis

dan 93% pasien apendisitis perforasi. Namun kriteria ini juga dapat ditemukan

pada 62% pasien nyeri abdomen yang bukan apendisitis. Pemeriksaan jumlah
30

leukosit juga berperan dalam skoring apendisitis. Menurut studi metaanalisi

selain kenaikan angka leukosit, pada penderita apendisitis juga dapat

ditemukan kenaikan angka C-Reactive Protein (CRP):18,19

2) Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan yang juga dianjurkan ialah pemeriksaan radiologi pada pasien

dengan dugaan klinis apendisitis. Menurut studi metaanalisi, pemeriksaan

radiologi dapat menurunkan 15% angka kejadian negatif apendektomi.

Ultrasonography (USG), computed termography (CT), dan Magnetic

Resonance Imaging (MRI) adalah beberapa pemeriksaan radiologi yang

biasanya dilakukan pada pasien dengan dugaan apendisitis. 18,19

Ultrasonography (USG) adalah pemeriksaan radiologi non- invasifdan dapat

menghindari pasien dari paparan radiasi. USG memiliki rerata sensitivitas

antara 71-94% sementara spesifisitaasnya antara 81-98%. USG memiliki nilai

prediksi positif berkisar antara 6- 46 dan nilai prediksi negatif berkisar antara

0.08-0.30. Menurut studi metaanalisi, USG dapat dijadikan sebagai salah satu

alat konnfirmasi apendisitis yang efektif. 18,19

Temuan dengan USG pada apendisitis akut adalah antara antara lain:

a) Adanya perbedaan densitas pada lapisan apendiks vermiformis / hilangnya

lapisan normal (target sign)

b) Penebalan dinding apendiks vermiformis

c) Hilangnya kompresibilitas dari apendiks vermiformis

d) Peningkatan ekogenitas lemak sekitar


31

e) Adanya penimbunan cairan

Keadaan apendisitis dengan perforasi ditandai dengan:

a) Tebal dinding apendiks vermiformis yang asimetris

b) Cairan bebas intraperitonial

c) Abses tunggal atau multipel.

l. Skor Diagnostik.

Penentuan diagnosis apendisitis akut dapat dilakukan dengan sistem

skoring. Sistem skoring yang akurat guna membantu menegakkan diagnosis

apendisitis akut antara lain adalah:24,25,26

1) Skor Alvarado.

Alfredo Alvarado pada tahun 1986 membuat sistem skor yang didasarkan

atas tiga gejala, tiga tanda dan dua temuan laboratorium sederhana yang

sering didapatkan pada apendisitis akut. Skor ini terdiri dari 10 poin dengan

akronim MANTRELS. Berdasarkan sistem skoring ini, pasien yang dicurigai

menderita apendisitis akut dibagi menjadi tiga kelompok yaitu:. 24,25

a) Skor 7-10 (emergency surgery group) : Semua penderita dengan skor ini

disiapkan untuk operasi apendektomi.

b) Skor 5-6 (observation group) : Semua penderita dengan skor ini dirawat

inap dan dilakukan observasi selama 24 jam dengan evaluasi secara


32

berulang terhadap data klinis dan skoring. Jika kondisi pasien membaik

yang ditunjukkan dengan penurunan skor, penderita dapat dipulangkan

dengan catatan harus kembali bila gejala menetap atau memburuk.

c) Skor 1-4 (discharge home group) : Penderita pada kelompok ini setelah

mendapat pengobatan secara simtomatis dapat dipulangkan dengan

catatan harus segera kembali bila gejala menetap atau memburuk.

Tabel 3. Sistem Skoring Alvarado


Sistem Skoring Alvarado

Manifestasi Klinis Skor

M = Migration of pain to the RLQ 1


A = Anorexia 1
N = Nausea and vomiting 1
T = Tenderness in RLQ 2
R = Rebound pain in RLQ 1
E = Elevated temperature 1
L = Leucocytosis 2
S = Shift to the left of WBC 1

Total 10

Pada penelitian yang memakai sistem skoring Alvarado yang dilakukan di

Khyber Teaching Hospital, Pakistan terhadap 100 penderita yang dicurigai

apendisitis akut mendapatkan angka apendektomi negatif sebesar 15,6% dan

nilai prediksi positif sebesar 84,3%. Chong, et al., (2010) melakukan penelitian

pada skor Alvarado. Dari hasil penelitian yang didapatkan secara statistik

menunjukkan skor Alvarado memiliki nilai sensitivitas 68%, nilai duga negatif
33

71%, dan akurasi 87%, dengan mendapatkan angka appendicektomy negative

6,9%. Terhadap 148 penderita yang dicurigai menderita apendisitis akut,

mendapatkan angka appendectomy negative sebesar 21%, nilai prediksi positif

dan negatif sebesar 97,6%. Pada beberapa penelitian menyebutkan skor

Alvarado memiliki nilai sensitifitas yang lebih rendah pada pasien dengan usia

anak-anak dan pada wanita usia reproduktif. 24,25,26,27

2) Skor AIR (Appendicitis Inflammatory Response).


Skor AIR (Appendicitis Inflammatory Response) pertama kali diperkenalkan

tahun 2008 oleh Manne E. Andersson dan Roland E. Andersson di

Amsterdam. Castro de, (2012) mengatakan bahwa penggunaan skor AIR

dalam menegakkan diagnosis apendisitis akut khususnya pada anak-anak,

wanita reproduksi dan orang tua memberikan hasil lebih baik atau lebih unggul

daripada skoring Alvarado. Hal ini dikarenakan variabel pada skoring AIR lebih

mudah diterapkan pada anak-anak dimana Alvarado skoring mengharuskan

anak-anak untuk dapat mengidentifikasi nausea, anoreksia dan berpindahnya

nyeri yang sifatnya subjektif, sedangkan pada skoring AIR hal ini

disederhanakan menjadi yang bersifat objektif. Kelebihan lainnya yang dimiliki

oleh skoring AIR data yang diperoleh berdasarkan data prospektif, variabel

bersifat objektif dan lebih spesifik, serta memiliki kekuatan diskriminasi yang

lebih baik dibandingkan skor Alvarado. 26


34

Castro de, (2012) mengatakan nilai ROC yang dicapai oleh skoring AIR

mencapai 0.96 lebih unggul dibandingkan dengan Alvarado skor 0,82. Chong,

et al.,(2010) menyebutkan nilai sensitivitas, spesifisitas dan akurasi dari

skoring AIR 96 %, 99%, dan 97%. Pada skor AIR didapatkan variabel C –

Reactive Protein (CRP) yang tidak terdapat pada skor Alvarado, dimana

banyak penelitian telah membuktikan peranan protein ini dalam penilaian

pasien dengan apendisitis akut.25,26

Berdasarkan sistem skoring ini, pasien yang dicurigai menderita apendisitis

akut dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu :

a) Skor AIR 0-4 (low probability) : Kelompok pasien yang tidak menderita

apendisitis akut.

b) Skor AIR 5-8 (intermediate group) : Semua penderita dengan skor ini

dirawat inap dan dilakukan observasi selama 24 jam dan di evaluasi secara

berulang terhadap data klinis dan skoring. Jika kondisi pasien membaik

yang ditunjukkan dengan penurunan skor, penderita dapat dipulangkan

dengan catatan harus kembali bila gejala menetap atau memburuk.

c) Skor AIR 9-12 (high probability) : Kelompok pasien yang menderita

apendisitis akut.
35

Tabel 4. Sistem Skoring AIR


Sistem Skoring AIR
Manifestasi Klinis Skor

1. Vomiting 1

2. Pain in RLQ 1

3. Rebound tenderness or muscular defense


Light 1
Medium 2
Strong 3

4. Body temperature >38,5° 1

5. Polymorphonuclear leukocytes
70-84% 1
≥ 85% 2

6. WBC count
>10.0 x 109/l 1
≥ 15.0 x 109/l 2

7. CRP concentration
10-49 g/l 1
≥ 50 g/l 2

Total score 12

m. Penatalaksanaan.
36

Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita apendisitis meliputi

penanggulangan konservatif dan operatif.

1) Penanggulangan konservatif

Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang tidak

mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian antibiotik.

Pemberian antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada penderita

apendisitis perforasi, sebelum operasi dilakukan penggantian cairan dan

elektrolit, serta pemberian antibiotik sistemik. 28

2) Operatif

Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan apendisitis maka tindakan

yang dilakukan adalah operasi membuang appendiks. Penundaan

appendektomi dengan pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses dan

perforasi. Pada abses apendiks dilakukan drainase. 22,23,28

a) Apendektomi Konvensional

b) Apendektomi Laparoskopik

n. Komplikasi.

1) Massa periapendikuler.

Massa apendiks terjadi apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi ditutupi

atau dibungkus oleh omentum atau lekuk usus halus. Pada massa
37

periappendikuler dengan pembentukan dinding yang belum sempurna, dapat

terjadi penyebaran pus ke seluruh rongga peritoneum jika perforasi diikuti oleh

peritonitis purulenta generalisata. 1

2) Apendisitis perforasi.

Perforasi apendiks akan mengakibatkan peritonitis purulenta yang ditandai

demam tinggi, nyeri makin hebat yang meliputi seluruh perut, perut menjadi

tegangdan kembung,. Nyeri tekan dan defans muskuler terjadi diseluruh perut ,

mungki disertai dengan pungtum maksimum di region kanan iliaka. Peristaltik

usus dapat menurun atau menghilang akibat adanya ileus paralitik. 1

2. Apendektomi

a. Definisi

Tindakan pembedahan yang dilakukan pada apendiks akibat peradangan

baik bersifat akut maupun kronik. Teknik apendektomi dengan irisan Mc.

Burney secara terbuka.1,29,30

b. Teknik Operasi

Pembedahan konvensional pada apendisitis dilakukan dengan membuat

irisan pada bagian perut kanan bawah, panjang sayatan kurang lebih adalah

7cm. Eksplorasi dilakukan untuk memastikan tidak adanya kelainan atau


38

infeksi penyerta. Apendiks kemudian ditarik ke lapang pandang yang terbuka

lalu apendiks dibebaskan dari caecum lalu diangkat. Jaringan tempat apendiks

menempel kemudian dijahit kemudian dimasukkan kembali ke dalam perut.

Lapisan otot dan kulit dijahit kembali.4,29,30

c. Perawatan Pasca Operasi

1) Observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya perdarahan di

dalam, syok, hipertermia atau gangguan pernafasan.

2) Angkat sonde lambung bila pasien telah sadar sehingga aspirasi cairan

lambung dapat dicegah

3) Baringkan pasien dalam posisi semi fowler

4) Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan, selam

pasien dipuasakan

5) Bila tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforata, puasa

dilanjutkan sampai fungsi usus kembali normal.

6) Berikan minum mulai 15 ml/jam selama 4 – 5 jam lalu naikkan menjadi 30

ml/jam. Keesokan harinya berikan makanan saring dan hari berikutnya

diberikan makanan lunak

7) Satu hari pascar operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak di tempat

tidur selama 2x30 menit

8) Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk di luar kamar
39

9) Hari ke-7 jahitan dapat diangkat dan pasien diperbolehkan pulang

10) Apendiktomi harus dilakukan dalam beberapa jam setelah diagnosis

ditegakkan. Jika apendiks telah perforata, terutama dengan peritonitis

menyeluruh, resusitasi cairan yang cukup dan antibiotik spektrum luas

mungkin diperlukan beberapa jam sebelum apendektomi. Pengisapan

nasogastrik harus digunakan jika ada muntah yang berat atau perut

kembung. Antibiotik harus mencakup organisme yang sering ditemukan

(Bacteroides, Escherichia coli, Klebsiella, dan pseudomonas spesies).

Regimen yang sering digunakan secara intravena adalah ampisilin (100

mg/kg/24 jam), gentamisin (5 mg/kg/24 jam), dan klindamisin (40 mg/kg/24

jam), atau metrobnidazole (Flagyl) (30 mg/kg/24 jam). Apendiktomi

dilakukan dengan atau tanpa drainase cairan peritoneum, dan antibiotik

diteruskan sampai 7-10 hari.30

d. Epidemiologi

Tabel 5. Angka kejadian kasus Apendektomi di Dunia


Angka
No Nama Penulis Tahun Negara Ket.
Kejadian
Laparatomi
1.
emergensi
2001- Nepalgunj, 43.50 –
Khan,S. Et al dan
2003 Nepal 56.49%
Laparatomi
Elektif
2. Murtaza, B., 2010 Pakistan 20.19- Laparatomi
et al 79.80 % emergensi
dan
40

Laparatomi
Elektif
Ngowe,N.M., Cameroon, Bagian Bedah
3. 2014 37.9%
et al Afrika Umum
Bagian Bedah
4 Baison, G.N. 2015 Rwanda,Afrika 65 %
Umum

Angka kejadian kasus laparatomi selama dua tahun di Nepalgunj dari 177

kasus laparatomi terdapat 100 kasus (56.49%) tindakan elektif dengan

penyebab tersering dari operasi abdomen elektif adalah cholecystitis kronis

dengan cholelithiasis diikuti oleh apendisitis rekuren dan 77 kasus (43.50%)

tindakan emergensi dengan penyebab tersering adalah peritonitis (ulkus

peptikum, perforasi enterik dan apendikular) diikuti oleh apendisitis akut dan

obstruksi usus sedangkan di pakistan terdapat 104 kasus dengan 83 kaus

(79.80%) tindakan emergensi dan 21 kasus (20.19%) tindakan elektif.31,32,33

Di Amerika Serikat, apendektomi dilakukan sekitar 280.000/ tahun. Di

Sweden, dilaporkan ada 12.500 apendektomi / tahun. Di RSUD Undata palu

dilaporkan apendektomi dilakukan sekitar 30 orang pada tahun 2016 dan 29

orang pada tahun 2017 Di RSUD Undata palu sedangkan pada RSU

Anutapura palu dilaporkan 315 orang pada tahun 2016 dan 189 orang pada

tahun 2017.34,35,36,14,15

e. Indikasi
41

Apendektomi diindikasikan untuk pasien dengan apendisitis akut

(Santacrope L, 2013). Pasien dengan apendisitis selalu memerlukan

penanganan cepat. Lamanya penanganan akan meningkatkan resiko

komplikasi.37,38

f. Komplikasi pasca apendektomi


1) Stich Abcess

Biasanya muncul pada hari ke-10 post operasi atau bisa juga sebelumnya,

sebelum jahitan insisi tersebut diangkat. Abses ini dapat superfisial atau lebih

dalam. Jika dalam ia dapat berupa massa yang teraba dibawah luka, dan

terasa nyeri jika diraba.30,37,38

2) Infeksi Luka Operasi

Biasanya jahitan akan terkubur didalam kulit sebagai hasil dari edema dan

proses inflamasi sekitarnya. Infeksi luka sering muncul pada 36 jam sampai 46

jam post operasi. Penyebabnya dapat berupa Staphylococcus Aureus, E. Colli,

Streptococcus Faecalis, Bacteroides. Pasien biasanya akan mengalami

demam, sakit kepala, anorexia dan malaise.30

3) Gas Gangrene
42

Biasanya berupa rasa nyeri yang sangat pada luka operasi, biasanya 12

jam sampai 72 jam post operasi, peningkatan temperature (39°C sampai

41°C), takikardia, dan syok yang berat. 30

4) Hematoma

Kejadian ini kira-kira 2% dari komplikasi operasi. Keadaan ini bisa hilang

dengan sendirinya.

5) Keloid Scar.

Keloid adalah kelainan kulit yang terjadi akibat deposisi kolagen secara

berlebihan pada proses proliferasi penyembuhan luka, penyebab keloid yaitu

peningkatan pigmentasi kulit akibat genetik, trauma pada kulit, baik fisik

(misalnya penindikan dan bedah) dan patologis (jerawat dan cacar air),

kehadiran benda asing,infeksi dan hematoma atau ketegangan kulit yang

meningkat dapat menyebabkan keloid atau pembentukan bekas luka

hipertrofik pada individu yang rentan. Transformasi TGF β dan adiponektin

terlibat dalam patogenesis tersebut.30,39

6) Abdominal Wound Disruption and Evisceration


Disrupsi ini dapat partial ataupun total. Insidensinya sendiri bervariasi

antara 0% sampai 3% dan biasanya lebih umum terjadi pada pasien lebih dari

60 tahun.
43

3. Fisiologi penyembuhan luka

Mekanisme penyembuhan luka terdiri dari 4 fase yaitu hemostasis,

inflamasi, proliferasi, inflamasi, proliferasi, dan remodelling dan maturasi. 40

a) Hemostasis

Hemostatis merupakan proses penghentian perdarahan dari pembuluh

darah yang rusak. Hemostasis terdiri dari tiga proses utama yaitu spasme

vaskuler, pembentukan sumbat trombosit dan koagulasi darah. 41

Untuk mengurangi atau memperlambat aliran darah yang keluar akibat

rusaknya pembuluh darah yang rusakatau robek tersebut harus segera

berkontraksi atau mengalami spasme vaskuler. Selanjutnya akan terbentuk

gumpalan trombosit untuk menyumbat pembuluh darah yang rusak. Trombosit

akan menjadi aktif akibat kolagen yang terpajan dan melekat pad endotel

pembuluh darah. Trombosit- trombosit tersebut juga akan mengeluarkan

beberapa bahan kimia, salah satunya ADP yang menyebabkan perlekatan

antara trombosit-trombosittersebut sehingga semakin banyak trombosit yang

menumpuk ditempat defek.40,41


44

Langkah terakhir yaitu pembentukan bekuan atau koagulasi melalui

perubahan fibrinogen menjadi fibrin yang dikatalisis oleh enzim thrombin di

tempa cedera. Molekul-molekul fibrin melekat ke permukaan pembuluh darah,

membentuk jala longgar dan menjerat sel-sel darah. Jala-jala fibrin awalnya

lemah namun dengan cepat dikatalisis oleh pembentukan faktor XIII yang

menyebabkan ikatan antara jala-jala fibrin berdekatan untuk memperkuat dan

menstabilitaskan jala bekuan.40,41

b) Inflamasi

Tujuan akhir fase peradangan atau inflamasi adalah membawa fagosit dan

protein plasma ke tempat invasi atau kerusakan untuk mengisolasi dan

menghancurkan penyerangan, membersihkan derbis, dan mempersiapkan

proses penyembuat dan perbaikan.41

Peradangan ditandai dengan tiga kompoen utama, yaitu

(1) Vasodilatasi

Setelah vasokontriksi berlangsung terjadi vasodilatasi yang terutama dipicu

oleh histaminyang dibebaskan oleh sel mast dan bradikinin dan anafilaktoksin

c3a dan c5a yang dirilis oleh proses menyebabkan vasodilatasi dan

permeabilitas vaskuler, meningkat terbukanya anyaman kapiler dan

meningkatkan aliran darah lokal yang membawa lebih banyak leukosit fagositik

dan protein plasma.41,42,43


45

(2) Meningkatnya permeabilitas vaskuler

Histamin yang dikeluarkan juga meningkatkan permeabilitas dengan

memperbesar pori vaskuler menyebabkan cairan kaya protein keluar dari

pembuluh darah ke intersisium sehingga tekanan onkotik intersisium

meningkat disertai peningkatan takanan hidrostatik akibat vasodilatasi. Kedua

tekanan tersebut cenderung memindahkan cairan keluar dari pembuluh darah,

terjadi penimbunan cairan di intersisium yang disebut edema. 41,42

(3) Transmigrasi / emigrasi leukosit dari sirkuasi ke tempat jejas

Leukosit dapat bermigrasi dari darah ke jaringan melalui beberapa tahap.

Dimulai dari melekatnya leukosit ke lapisan endotel (marginasi). Leukosit yang

telah melekat segera meninggalkan pembuluh darah (transmigrasi) dan

bergerak ke arah jejas karena adanya kemoaktraktan (kemotaksis). 41,42

Sel darah putih yang pertama mencapai luka yaitu PMN yang memulai

proses fagosit. Selanjutnya, jenis fagosit lain yang akan mendominasi adalah

makrofag mempunyai dua peran penting. Selain berperan untuk memfagosit

sel debris dan patogen, merangsang limfosit dan sel kekebalan lainnya,

makrofag juga berpengaruh dalam mengurangi bekas luka, oleh karena tidak

hanya menyerang dan menelan bakteri tetapi juga membuang jaringan

nekrotik pada luka.


46

Makrofag menelan mikroorganisme dan mengeluarkan produk pencernaan

berupa asam askorbat, hidroksi peroksida, dan asam laktat sebagai akibat dari

fagositosis. Hidrogen peroksida membantu dalam mengendalikan

pertumbuhan mikroba anaerob, sedangkan asam askorbat dan asam laktat

untuk merangsang lebih banyak makrofag sehingga luka akan sembuh tanpa

infeksi karena kapasitas mikrobiosidal sel makrofag. 44

c) Proliferasi

Proliferasi dikarakteristikam dengan re-epitelisasi, angiogenesis dan

fibroplasia. 44,45

Angiogenesis adalah pertumbuhan pembuluh darah baru yang mematok

oksigen dan nutrisi ke cedera akut. Faktor-faktor angiogenik seperti

FGF,VEGF,PDGF, angiotensin, TGF-α dan TGF-β dikeluarkan oleh makrofag

dan juga pengaruh hipoksia merangsang pembentukan pembuluh darah baru.

Dalam kondisi normal, peristiwa ini terjadi dalam waktu 4 hari setelah cedera

dan tujuan utama pengobatan untuk meminimalkan semua faktor yang dapat

memperpanjang peradangan.44,45

Dengan segera fibroblas menanggapi sinyal dari makrofag TGF-β dan

PDGF yang berasal dari platelet . fibroblas berasal dari jaringan mesenkim,

bermigrasi ke dalam luka. Pada fase ini terjadi tiga proses yang berlangsung

secara stimulan yaitu epitelisasi, kontraksi luka dan produksi kolagen. 44,45
47

Proses selanjutnya adalah re-epitelisasi dimana fibroblas mengeluarkan

KGF yang berperan dalam stimuasi mitosis sel epidermal. Kreatinisasi akan

dimulai dari pinggir lukadan akhirnya membentuk barier yang menutupi

permukaan luka. Untuk membentuk jaringan baru tersebut menutupi luka,

fibroblas akan mengubah strukturnya menjadi myofibroblas yang mempunyai

kapasitas melakukan kontraksi pada jaringan.44,45

d) Remodeling atau maturasi

Tujuan fase maturasi adalah menyempurnakan terbentuknya jaringan baru

menjadi jaringan yang kuat. Migrasi fibroblast kedalam luka merangsang

sintesis dan sekresi kolagen. Penumpukan asam laktat mempengaruhi jumlah

kolagen yang di produksi. Selain itu, kecukupan pasokan oksigen, asam

askorbat, dan konfaktor lain seperti zinz, iron, dan copper juga sangat

dibutuhkan. Pada fase ini terjadi proses pematangan, udem dan sel radang

diserap kembali, sel muda menjadi matang, kapiler baru menutup dan terserap

kembali, kolagen berlebih diserap dan sisanya mengerut sesuai besarnya

regangan, sehingga dihasilkan jaringan parut yang pucat, tipis dan lentur, serta

mudah digerakan dari dasar.43.45

Untuk mencapai penyembuhan yang optimal diperlukan keseimbangan

antara produksi dan degradasi. Kolagen baru dibuat sedangkan kolagen lama

dihancurkan secara seimbang oleh enxim kolagenase. Kolagen yang berlebih


48

akan menyebabkan penebalan jaringan parut (hypertonic scar), sebaliknya

produksi yang berkurang akan menurunkan kekuatan jaringan parut. Proses ini

berlanjut sampai proses renovasi berakhir sekitar 6 bulan sampai 1 tahun.

Namun, kecepatan sintesis kolagen adalah tergantung usia dan semakin

menurun akibat bertambahnya usia.44.45

4. Lama Perawatan Kasus Bedah.

a. Definisi Lama Hari Rawat (LOS).

Lama Perawatan atau Lama Hari Rawat inap LOS (Length of Stay =Lama

Hari Rawat) adalah berapa hari lamanya dirawat dalam satu periode

perawatan dan mengukur durasi lama rawat inap pasien.46,47

Dari penelitian yang dilakukan oleh Islam dan Limpo pada tahun 2001

menyatakan bahwa lama hari rawat pada pasien post operasi bervariasi yaitu

tujuh sampai 30 hari dengan rata-rata hari rawat antara tujuh sampai 14 hari.

Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nursiah (2010) di

RSUD Labuang Baji Makasar terhadap pasien yang menjalani tindakan

pembedahan laparatomi menyatakan bahwa lama perawatan singkat yaitu

tujuh sampai 14 hari sebanyak 74,2% dan lama perawatan jangka panjang

yaitu, lebih dari 14 hari, sebanyak 25,8%. Dimana pada lama perawatan

singkat ditemukan pada pasien yang menjalani mobilisasi dini, pasien yang
49

perawatan luka menggunakan teknik steril, dan frekuensi perawatan luka dua

kali sehari. Sedangkan indikator lama hari rawat menurut Depkes RI (2009)

idealnya adaah 6-9 hari dan untuk lama hari rawat apendektomi idealnya 3-5

hari.48,49

Cara menghitung lama perawatan yaitu menghitung selisih antara tanggal

pulang (keluar dari rumah sakit, baik hidup ataupun meninggal) dengan

tanggal masuk pasien dirumah sakit, Sedangkan cara perhitungan rata-rata

lama hari rawat menurut Departemen Kesehatan RI (2009), adalah sebagai

berikut :47,48

Rata-rata lama hari rawat (Average Length of Stay) = X : Y

Dimana :

X : Jumlah hari perawatan pasien rawat inap (hidup dan mati) di rumah sakit

pada suatu periode tertentu

Y : Jumlah pasien rawat inap yang keluar ( hidup dan mati ) di rumah sakit

pada periode waktu yang sama

Untuk menghitung jumlah pasien rawat inap yang keluar (hidup atau

meninggal) dalam waktu tertentu diperlukan catatan pasien yang keluar rumah

sakit dari tiap-tiap ruangan rawat inap dan jumlah lama perawaatan pasien

tersebut dalam sehari, sehingga diperoleh data pehitungan jumlah pasien

rawat inap yang keluar dari rumah sakit dan jumlah total hari dirawatnya. 47,48
50

Fokus rumah sakit dalam pemberian pelayanan perawatan yang berkualitas

bertujuan untuk memulangkan pasien lebih awal dengan aman kerumahnya.

Hari rawat yang pendek akan memberi keuntungan antara lain penghematan

biaya dan sumber yang lebih sedikit terhadap rumah sakit terutama bagi

pasien sendiri. Semakin lama masa rawat inap pasien maka semakin besar

biaya yang dikeluarkan untuk biaya pengobatan dan mengurangi efisiensi

pelayanan rumah sakit.50,51

Beberapa istilah yang berkaitan dengan indikator LOS atau Lama Hari

Rawat, antara lain;50,51

1) Penerimaan Pasien ( Inpatient admission )

Adalah penerimaan secara resmi seorang penderita oleh pihak rumah sakit

dimana yang bersangkutan diberi fasilitas berupa ruangan, tempat tidur,

pelayanan perawatan yang terus menerus serta fasilitas lain di rumah sakit

dimana penderita tersebut umumnya tinggal paling sedikit satu malam.

2) Pemulangan Pasien

Pelepasan secara resmi seorang penderita oleh pihak rumah sakit sebagai

batas akhir waktu ia dirawat di rumah sakit.

3) Lama Hari Rawat Seorang Pasien (Length of Stay for One Patient)

Jumlah hari perawatan (sesuai dengan kalender) mulai saat penerimaan

sampai saat pemulangan pasien yang bersangkutan.


51

Lama hari rawat ini berkaitan dengan indikator penilaian efisiensi

pengelolaan rumah sakit bersama dengan tiga indikator lainnya yaitu lamanya

rata-rata tempat tidur tidak terisi (Turn Over Interval), presentase tempat tidur

yang terisi atau presentase tingkat hunian tempat tidur (Bed Occupancy Rate),

dan pasien yang dirawat keluar dalam keadaan hidup dan mati per tempat

tidur yang tersedia dalam periode tertentu (Bed Turn Over).

4) Diagnosa

Adalah suatu istilah dalam dunia kedokteran yang lazim digunakan oleh

tenaga medis untuk mengenal suatu penyakit yang diderita oleh pasien, atau

kondisi yang menyebabkan pasien menginginkan ,mencari atau menerima

perawatan medis.

Lama hari rawat ini berkaitan dengan indikator penilaian efisiensi

pengelolaan rumah sakit bersama dengan tiga indikator lainnya yaitu lamanya

rata-rata tempat tidur tidak terisi (Turn Over Interval), presentase tempat tidur

yang terisi atau presentase tingkat hunian tempat tidur (Bed Occupancy Rate),

dan pasien yang dirawat keluar dalam keadaan hidup dan mati per tempat

tidur yang tersedia dalam periode tertentu (Bed Turn Over).

5. Perawatan Post Bedah di Ruang Perawatan.

Perawatan post bedah adalah bentuk pelayanan perawatan yang diberikan

kepada pasien-pasien yang telah menjalani operasi pembedahan abdomen,


52

akibat sayatan pada bedah menimbulkan luka yang berukuran besar dan

dalam, sehingga membutuhkan waktu penyembuhan yang lama dan

perawatan berkelanjutan.52

Perawatan postoperatif dilakukan dalam dua tahap, yaitu periode

pemulihan segera dan pemulihan berkelanjutan setelah fase postoperatif.

Untuk pasien yang menjalani bedah sehari, pemulihan normalnya terjadi hanya

dalam satu sampai dua jam, dan penyembuhan dilakukan di rumah. Untuk

pasien yang dirawat di rumah sakit, pemulihan terjadi selama beberapa jam

dan penyembuhan berlangsung selama satu hari atau lebih, tergantung pada

luasnya pembedahan dan respon pasien. 52

Pasien yang mengalami tindakan operasi, biasanya dipindahkan ke unit

pemulihan tahap I untuk menstabilkan kondisi pasien sebelum pulang atau

sebelum dibawa ke ruang rawat inap. Pada ruang pemulihan tahap I, pasien

akan membutuhkan pemantauan ketat dan biasanya hal yang sering dikaji

adalah tanda-tanda vital, status pernapasan, sirkulasi, tingkat kesadaran,

kondisi luka, dan tingkat nyeri. Waktu rata-rata yang diperlukan untuk

pemulihan tahap I adalah satu jam, jika tidak ada komplikasi. Setelah kondisi

pasien sudah stabil dan tidak lagi membutuhkan pemantauan ketat, perawat

akan memindahkan pasien ke ruang pemulihan tahap II. Setelah pasien

kembali ke bagian perawatan, perawatan postoperatif dimulai sampai

kesehatan pasien membaik dan pasien dinyatakan pulang. 52


53

Untuk mencegah terjadinya komplikasi dan mengembalikan status

kesehatan fungsional pasien dengan cepat, maka pada tahap pemulihan

berkelanjutan, perawat membutuhkan informasi untuk membuat rencana

perawatan pasien. Adanya data pengkajian terbaru dan analisa riwayat

keperawatan perioperatif memungkinkan perawat untuk membuat rencana

intervensi keperawatan yang spesifik.52

Dalam Potter dan Perry (2006), beberapa tujuan perawatan post operatif

adalah :

a. Menunjukkan kembalinya fungsi fisiologis normal

b. Tidak memperlihatkan adanya infeksi luka bedah

c. Dapat beristirahat dan memperoleh rasa nyaman

d. Mempertahankan konsep diri

e. Kembali pada status kesehatan fungsional dengan keterbatasan yang

ada akibat pembedahan

6. Faktor-faktor yang mempengaruhi lama perawatan post bedah

Lama rawat inap pasien post operasi merupakan jumlah hari rawat pasien

sejak menjalani operasi sampai saat pasien sembuh dan dapat dipulangkan. 53

Salah satu hal penting dalam penatalaksanaan pasien post bedah adalah

mengupayakan proses penyembuhan luka akibat pembedahan. Komplikasi

pembedahan dapat menghambat penyembuhan luka, sehingga proses


54

pemulihan semakin memanjang dan akan mengakibatkan bertambahnya lama

hari rawat yang sangat membebani pasien dan keluarga dengan penanganan

dini untuk meningkatkan status kesehatan fungsional pasien akan

mempercepat penyembuhan pasien dan hal ini juga akan mengakibatkan lama

hari rawat pasien dapat dipersingkat. Adapun beberapa faktor dalam

menentukan status kesehatan pasien:53

a. Memantau keadaan pasien

monitor tanda-tanda vital dan keadaan umum pasien, drainase, tube,dan

komplikasi. Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan pertama yang dilakukan

di ruang perawatan post operasi.

b. Status Gizi

Kondisi malnutrisi dan obesitas atau kegemukan lebih berisiko terhadap

pembedahan dibandingkan dengan orang yang mempunyai gizi baik, terutama

pada fase penyembuhan. Pada pasien dengan keadaan malnutrisi,pasien

tersebut mengalami defisiensi nutrisi yang sangat diperlukan pada proses

penyembuhan luka. Pada pasien dengan obesitas, selama pembedahan

terutama jaringan lemak sangat rentan terhadap infeksi. Selain itu obesitas

meningkatkan permasalahan teknik dan mekanik. Oleh karenanya sering

terjadi dehisensi dan infeksi luka yang menyebabkan hari rawat inap menjadi

lebih panjang.54
55

c. Usia

Makin besar besar usia penderita mempengaruhi lama hari rawat lebih

lama. faktor usia mempengaruhi panjang lama hari rawat pasien bedah, usia

mempunyai hubungan dengan tingkat keterpaparan, besarnya resiko, serta

sifat resistensi tertentu. Di samping itu, usia juga mempunyai hubungan yang

erat dengan beragam sifat yang dimiliki oleh seseorang. Perbedaan penyakit

menurut usia mempunyai pengaruh yang akan berhubungan dengan:

1). Perbedaan tingkat keterpaparan dan kerentanan menurut usia.

2). Perbedaan dalam proses pathogenesis.

3). Perbedaan dalam hal pengalaman terhadap penyakit tertentu

Faktor usia mempengaruhi panjang lama hari rawat pasien bedah. Pasien

lanjut usia ≤ 65 tahun cenderung lebih panjang lama hari rawatnya daripada

pasien berusia muda dan Usia menjadi predaktor terkuat dari risiko kematian

terutama untuk kondisi medis.55,56

Pola penyembuhan usia muda post operasi lebih cepat pada usia tua. Hal

ini dikarenakan pada usia muda jumlah fibroblast dan kolagen lebih banyak

dan lebih cepat dalam pembentukan jaringan granulasi daripada usia tua. 57

d. Komplikasi atau infeksi luka operasi

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi luka operasi dan

komplikasi pada umumnya, yaitu

1) Waktu operasi.
56

Waktu lamanya operasi akan mempengaruhi penyembuhan luka operasi

dan lama penjahitan sayatan operasi berpengaruh terkontaminasinya luka

sayatan operasi dengan bakteri. Infeksi luka operasi 25% menampakan gejala

saat terinfeksi dirumah sakit dengan masa inkubasi lebih lama, meningkatnya

meningkatkan infeksi luka operasi, sehingga lama hari rawat akan lebih

panjang. 47,58,59

2) Penggunaan antibiotik

penggunaan antibiotik dapat mengurangi kejadian infeksi akan tetapi

manfaat tersebut harus dipertimbangkan, munculnya bakteri resisten, interaksi

obat, superinfeksi dan biaya mengakibatkan sekitar 5% pasien menerima

antibiotik diperkirakan mengalami infeksi , bukti ekonomi hasil dari investigasi

audit sistemik mendapatkan bukti ekonomi terkait infeksi nosokomial terjadi

akibat bakteri resisten antibiotik yang berdampak peningkatan lama rawat

pasien lebih panjang akibat penggunaan antibiotik yang tidak rasional. 60,61

Perkembangan jumlah dan sifat resistensi terhadap antibiotik merupakan

ancaman baru bagi pelayanan kesehatan dirumah sakit. 62

3) Peralatan operasi.

sekitar 1-2% pasien mengalami infeksi setelah penggunaan peralatan

bertenaga listrik yang digunakan saat tindakan pembedaan dan perlu

diperhatikan selama penggunaan alat-alat operasi yaitu jenis, jumlah,

kebersihan dan sterilitas, tata letak dan kondisi alat, alat-alat tersebut

dipertahankan sterilitasnya sampai pelaksanaan operasi dan segera


57

dibersihkan setelah selesai penggunaanya untuk mencegah kontaminasi

bakteri yang menyebabkan infeksi luka operasi.63

4) Tehnik operasi

Operasi menyebabkan kerusakan jaringan semakin luas beresiko terjadinya

infeksi luka operasi lebih besar, selain hal tersebut semakin beragam tehnik

operasi menyebabkan lama waktu operasi mengakibatkan meningginya besar

stress yang dialami pasien dan risiko infeksi.47,64

Pada pasien yang menggunakan prosedur laparoskopik menunjukan hasil

lebih cepat waktu pemulihanya dari pada teknik operasi terbuka , Bedah

laparoskopi menyebabkan sedikit rasa sakit untuk pasien , yang menyebabkan

kebutuhan yang lebih rendah dari analgesik dan mengurangi lama waktu

pemulihan.65

5) Penyakit penyerta.

Pasien yang mempunyai penyakit penyerta seperti diabetes, kanker,

gangguan faal hati, gangguan faal ginjal mempunyai resiko infeksi dan

komplikasi lebih besar akibat stress anestesi dan pembedahan akan

meningkatkan sekresi hormon counter regulator dan menekan sekresi insuli

yang berakibat hiperglikemi selama operasi sehingga lama rawat inap pasien

semakin lama.59,66

6) Jenis Operasi

Jenis operasi elektif persiapan pra-operasi dipersiapkan secara optimal

sedangkan operasi jenis cyto atau emergensi persiapannya tidak sebaik pada
58

operasi berjenis elektif karena dengan penundaan tindakan operasi yang

membahayakan jiwa pasien pada operasi cyto sehingga persiapan pada

operasi tersebut kurang optimal dan resiko terjadinya infeksi luka operasi

menjadi lebih besar, di instalasi gawat darurat RSCM operasi laparotomi

Emergensi atau cyto mencapai 48,5% persen mempunyai faktor-faktor

risiko akibat waktu penundaan operasi, komorbid diabetes melitus, sifat

operasi, durasi operasi dan cedera vaskuler. 47,67

7) Jenis kasus atau penyakit

Penyakit akut dan kronis mempunyai lama hari rawat berbeda, dimana

kasus kronis memerlukan hari rawat lebih lama , demikian dengan penyakit

tunggal pada satu penderita dengan lama perawatan lebih pendek yang

berbeda dengan penyakit ganda pada satu penderita.

e. Mobilisasi dini

Mobilisasi adalah suatu kebutuhan dasar manusia yang diperlukan oleh

individu untuk melakukan aktivitas sehari-hari yang berupa pergerakan sendi,

sikap, gaya berjalan, latihan maupun kemampuan aktivitas (Potter et al, 2006).

Mobilisasi dini adalah suatu upaya mempertahankan kemandirian sedini

mungkin dengan cara membimbing penderita untuk mempertahankan fungsi

fisiologis
59

Mobilisasi dini yang dapat dilakukan yaitu ROM, napas dalam dimana

tujuannya adalah untuk mengaktifkan kembali fungsi neuromuskular. Dengan

bergerak, hal ini akan mencegah kekakuan otot dan sendi sehingga

mengurangi nyeri, menjamin kelancaran peredaran darah, memperbaiki

metabolisme, mengembalikan kerja fisiologis organ-organ vital yang pada

akhirnya akan mempercepat proses penyembuhan luka. 54,68

Menggerakkan badan atau melatih otot-otot dan sendi post operasi di sisi

lain akan menyehatkan pikiran dan mengurangi dampak negatif dari beban

psikologis yang tentu saja berpengaruh baik terhadap pemulihan fisik. Hasil

penelitian mengatakan bahwa keberhasilan mobilisasi dini tidak hanya

mempercepat proses pemulihan luka post pembedahan namun juga

mempercepat pemulihan peristaltik usus pada pasien post pembedahan.

Mobilisasi sudah dapat dilakukan sejak 6 - 8 jam setelah pembedahan,

tentu setelah pasien sadar atau anggota gerak tubuh dapat digerakkan

kembali setelah dilakukan pembiusan regional. Pada saat awal pergerakan

fisik bisa dilakukan di atas tempat tidur dengan menggerakkan tangan dan kaki

yang bisa ditekuk atau diluruskan, mengkontraksikan otot-otot dalam keadaan

statis maupun dinamis termasuk juga menggerakkan badan lainnya, miring ke

kiri atau miring ke kanan.54,68

Pada 12 jam sampai 24 jam berikutnya atau bahkan lebih awal lagi badan

sudah bisa diposisikan duduk, baik bersandar maupun tidak dan fase

selanjutnya duduk diatas tempat tidur dengan kaki yang dijatuhkan atau
60

ditempatkan di lantai sambil digerak-gerakkan. hambatan fisik untuk berjalan,

seharusnya sudah biasa berdiri dan berjalan di sekitar kamar atau keluar

kamar, misalnya berjalan sendiri ke toilet atau kamar mandi dengan posisi

infus yang tetap terjaga.54,58

Bergerak post operasi selain dihambat oleh rasa nyeri terutama di sekitar

lokasi operasi, bisa juga oleh karena beberapa selang yang berhubungan

dengan tubuh, seperti infuse, kateter, pipa nasogastrik (nasogastric tube),

selang drainase, kabel monitor, dan lain-lain. Perangkat ini pastilah

berhubungan dengan jenis operasi yang dijalani. Namun paling tidak dokter

bedah akan menginstruksi perawat untuk membuka atau melepas perangkat

itu tahap demi tahap seiring dengan perhitungan masa mobilisasi ini.
61

B. Kerangka Teori

Gambar 8. Kerangka Teori


62

Pada kerangka teori diatas, dapat dijelaskan lama perawatan penderita

post apendektomi karena usia penderita, jenis kelamin, status gizi dan

mobilisasi dini.

Faktor jenis kelamin berpengaruh dalam penyembuhan luka berdasarkan

hormon seks pada perempuan yaitu Estrogen mempengaruhi penyembuhan

luka dengan mengatur berbagai gen yang terkait dengan regenerasi, produksi

matriks, penghambatan protease, fungsi epidermal, dan gen terutama terkait

dengan peradangan.

Perubahan yang berkaitan dengan usia dalam penyembuhan ketika umur

bertambah menunjukkan bahwa setiap fase penyembuhan mengalami

karakteristik perubahan yang berkaitan dengan usia, termasuk peningkatan

trombosit agregasi, peningkatan sekresi mediator inflamasi, infiltrasi tertunda

makrofag dan limfosit, terganggu fungsi makrofag, menurunnya sekresi faktor

pertumbuhan, tertunda re-epitelisasi, tertunda angiogenesis dan kolagen

deposisi, pengurangan turnover dan remodeling kolagen, dan menurunkan

kekuatan luka.69

Faktor penyakit penyerta seperti diabetes melitus terjadi penimbunan

glukosa di jaringan perifer menyebabkan kerusakan jaringan perifer akibat

difusi oksigen dan nutrisi terjadi penurunan di daerah perifer sehingga terjadi

hipoxia jaringan dan aktifitas neutrofil dalam fagositosis menurun . 70


63

Faktor status gizi yaitu pada seseorang dengan status gizinya obesitas

dapat meningkatkan faktor risiko infeksi akibat ketebalan jaringan adiposa

daripada seseorang yang mempunyai status gizi normal yang menyebabkan

penurunan distribusi oksigen dan nutri ke jaringan perifer yang menrunkan

aktifitas fagositosis saat respons inflamsi dan faktor mobilisasi dini yang dapat

dilakukan yaitu ROM, napas dalam dimana tujuannya adalah untuk

mengaktifkan kembali fungsi neuromuskular. Dengan bergerak, hal ini akan

mencegah kekakuan otot dan sendi sehingga mengurangi nyeri, menjamin

kelancaran peredaran darah, memperbaiki metabolisme dengan meingkatkan

motilitas usus dan peristaltik, mengembalikan kerja fisiologis organ-organ vital

yang pada akhirnya akan mempercepat proses penyembuhan luka. 71

C. Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Faktor Internal

Jenis Kelamin

Usia

Status Gizi
Lama Perawatan
Penyakit Penderita Post
Penyerta Apendektomi
64

Faktor Eksternal

Mobilisasi Dini

Gambar 9. Kerangka Konsep

Faktor internal adalah faktor yang berasal dari host sedangkan faktor faktor

eksternal yang berada di luar host. Faktor internal dan eksternal merupakan

variabel independen (variabel bebas) sedangkan untuk variabel dependen

dalam penelitian ini adalah lama perawatan. Adapun faktor internal yang

dimaksudkan adalah jenis kelamin, usia, penyakit penyerta, dan status gizi.

Sementara untuk faktor eksternal yang berkaitan dengan lama rawat inap

pasien adalah mobilisasi dini.

D. Definisi Operasional

1. Lama Perawatan Post Operasi

Adalah periode lama pasien dirawat di rumah sakit (dalam hari), dihitung mulai

dari penderita setelah operasi sampai pasien pulang dari rumah sakit. Standar
49
ideal lama hari rawat apendektomi adalah 3 – 5 hari dan dicatat di case

report

Dalam hal ini lama hari rawat dibagi menjadi 2 yaitu :


65

a. Sesuai dengan standar (LOS 3-5 hari)

b. Lebih lama dari standar (LOS >5 hari)

2. Penderita Post Apendektomi

Yang dimaksud dengan penderita post apendektomi adalah semua penderita

yang telah dilakukan pembedahan apendektomi oleh dokter ahli Bedah umum,

dari buku registrasi penderita di RSUD Undata dan RSU Anutapura Palu dan

dicatat di case report.

3. Jenis Kelamin

Yang dimaksud dengan jenis kelamin pada penelitian ini adalah berdasarkan

hasil observasi ada tidaknya tanda-tanda kelamin laki-laki dan di catat pada

digit 2 dari no kode subjek pada case report dan kuisuiner dengan kriteria

obyektif :

a. Laki-laki: memiliki jakun

b. Perempuan: tidak memiliki jakun

4. Usia
66

Yang dimaksud dengan umur pada penelitian ini adalah lama hidup mulai dari

lahir sampai saat penelitian, dinyatakan dalam tahun yang dapat dilihat dari

Kartu tanda penduduk atau identitas lainnya, kemudian di catat pada digit 3 di

nomor kode subyektif pada case report dan kuisuiner.

Kriteria obyektif berdasarkan Kriteria usia WHO 2009:

a. Kelompok usia remaja akhir : berusia 17 – 25 tahun

b. Kelompok usia dewasa : berusia 26 – 45 tahun

c. Kelompok usia lansia : berusia 46 – 65 tahun

5. Status Gizi

Yang dimaksud dengan status gizi pada penelitian ini adalah keadaan gizi

seorang penderita yang didapat dengan pengukuran LLA (Lingkar Lengan

Atas), dan hasil dicatat di case report.

Hasil Pengukuran LILA


Rumus = % LILA = ×100 %
Standar LILA
Standar LILA

- Laki-laki : 29,3 cm

- Perempuan : 28,5 cm

Kriteria Objektif

a. Kurang : <90%

b. Normal : 90-100%
67

c. Lebih : 110-120%

6. Penyakit penyerta

Yang dimaksud dengan penyakit penyerta dalam penelitian ini adalah

penderita yang mempunyai penyakit sebelum pembedahan seperti diabetes

melitus, kanker, gangguan faal hati, gangguan faal ginjal yang mempunyai

resiko infeksi dan komplikasi lebih besar akibat stress anestesi dan

pembedahan diukur wawancara dan dicatat dikuisioner menggunakan skala

nominal bersifat kategorik.

Kriterian objektif berdasarkan :

a. Terdapat penyakit penyerta : penderita mempunyai penyakit sebelum

pembedahan seperti diabetes melitus, kanker, gangguan faal hati, gangguan

faal ginjal.

b. Tidak terdapat penyakit penyerta : penderita tidak mempunyai penyakit

sebelum pembedahan seperti diabetes melitus, kanker, gangguan faal hati,

gangguan faal ginjal.

7. Mobilisasi dini

Yang dimaksud dengan mobilisasi dini pada penelitian ini adalah pergerakkan

badan atau melatih otot-otot dan sendi pasca operasi di sisi lain yang

dilakukan sejak 6 jam setelah pembedahan, yang dapat diukur dengan

wawancara dan dicatat dikuisioner menggunakan skala Guttman, pertanyaan


68

berjumlah 4 pertanyaan, setiap jawaban ya diberi score 1 dan tidak diberi

score 0 (Echazaretta, 2015; Indayani, 2016).

Dengan kriteria objektif sebagai berikut :

a. Dilakukan : Jika mobilisasi dilakukan sesegera mungkin (minimal

6 jam pasca pembedahan).

a. Tidak Dilakukan : Jika mobilisasi tidak dilakukan sama sekali

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode dan Design Penelitian

Desain yang digunakan untuk penelitian ini adalah observasional analitik

dengan pendekatan cross sectional yaitu penelitian yang menekankan pada


69

waktu pengukuran atau observasi data dalam satu kali pada satu waktu yang

dilakukan pada variabel terikat dan variabel bebas.

Gambar 10 Desain Penelitian

B. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Waktu : Tahun 2018 setelah mendapat rekomendasi etik 3 Juli- 18 Agustus.

2. Tempat : Penelitian ini dilakukan di ruang rawat inap bagian bedah umum

RSUD Undata dan RSU Anutapura Palu tahun 2018.

C. Populasi dan Subyek Penelitian.


70

1. Populasi

Seluruh penderita post apendektomi yang di rawat dibagian Bedah Umum

di RSUD Undata dan RSU Anutapura Palu.

2. Sample

Seluruh penderita post apendektomi yang di rawat dibagian Bedah di

RSUD Undata Palu dan RSU Anutapura yang memenuhi kriteria inklusi dan

tidak memiliki kriteria eklusi.

D. Kriteria Subjek Penelitian

1. Kriteria inklusi

a) penderita yang dirawat inap setelah operasi apendektomi dinyatakan

pulang di bagian bedah umum.

b) Bersedia ikut penelitian tanpa paksaan.

c) Laki-laki dan perempuan

d) berusia 17- 65 tahun.

e) Penderita dapat berkomunikasi..

2. Kriteria ekslusi.

a. Penderita yang meninggal dunia


71

E. Besar Sample

Penentuan besarnya sampel penelitian dengan menggunakan rumus besar

sampel penelitian analitik cross sectional.

Rumus yang digunakan:

z2 α P (1- p) N
1−
2
n=
d 2 (N - 1) + z2 α P (1− p)
1−
2

Ket:
n = jumlah sampel minimal yang diperlukan
Z1-/2 = nilai pada distribusi normal standar yang sama dengan tingkat
kemaknaan ( = 0,05 adalah 1,96)
p0 = proporsi pada kelompok kontrol atau tidak sakit

p1 = proporsi pada kelompok kasus atau sakit

q0 = 1-p0 dan q1 = 1-p1

Diketahui besar populasi penderita apendektomi yang berobat di RSUD

Undata berjumlah 29 orang dan RSU Anutapura Palu tahun berjumlah 189

orang dengan total keseluruhan 218 orang.

z2 α P (1- p) N
1−
2
n=
d 2 (N - 1) + z2 α P (1− p)
1−
2

1,96 2 . 0,38 .218


n=
(0,05)2
3,8 . 0,38 . 218
n=
0,0025
72

162,53
¿
0,0025
¿ 65,012
Diketahui besar populasi penderita apendektomi yang berobat di RSUD

Undata berjumlah 29 orang dan RSU Anutapura Palu tahun berjumlah 189

orang dengan total keseluruhan 218 orang.

F. Cara Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan non-probability

Sampling yaitu consecutive sampling dengan mengumpulkan semua sampel

setiap hari yang memenuhi kriteria penelitian.

G. Alur Penelitian

Penderita Post Apendektomi Bagian Bedah RSUD Undata Palu

Informed Consent

Memenuhi Kriteria
Subyek Penelitian

Pengambilan Data

Pemeriksaan Wawancara
Case Report Kuesioner

Pengumpulan Data
73

SPSS
Analisa Data

Penulisan Hasil

Penyajian Hasil

Gambar 11. Alur Penelitian

H. Prosedur Penelitian

1. Peneliti mengambil semua populasi penderita post apendektomi yang

dirawat dibagian bedah RSUD Undata dan RSU Anutapura Palu dengan

tehnik consecutive sampling hingga mendapat calon subjek sesuai jumlah

sampel yang dibutuhkan.

2. Kepada semua semua penderita post apendektomi yang dirawat dibagian

bedah RSUD Palu dan RSU Anutapura Tahun 2018. diberikan penjelasan

kepada subyek penelitian mengenai

a. Latar belakang : pada lama perawatan penderita post operasi apendektomi

yang mengalami pemanjang lama perawatan, maka perlu diperhatikan

faktor-faktor yang berpengaruh seperti jenis kelamin, usia, status gizi,

penyakit penyerta, dan mobilisasi dini yang mengakibatkan besar biaya

yang dikeluarkan untuk biaya pengobatan dan mengurangi efisiensi

pelayanan rumah sakit.


74

b. Manfaat penelitian : penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor

lama perawatan penderita post apendektomi bagian bedah RSUD Undata

Palu dan RSU Anutapura yang berpengaruh terhadap besar biaya yang

dikeluarkan penderita dan efisiensi pelayanan rumah sakit.

c. Tujuan : apabila terbukti ada hubungan antara jenis kelamin, usia, status

gizi, penyakit penyerta, dan mobilisasi dini maka dapat memperpendek lama

perawatan penderita post apendektomi sehingga menekan biaya yang

dikeluarkan dan meningkatkan efisiensi pelayanan rumah sakit

d. Kerahasiaan data serta keselamatan selama tindakan penelitian: setiap data

yang didapat akan dijaga kerahasiannya dengan menulis data responden

anonim.penelitian ini tidak menimbulkan efek samping karena tidak

dilakukan intervensi apapun pada subjek penelitian, melainkan hanya

melakukan tanya jawab dan penilaian pengukuran status gizi yang diukur

dari lingkar lengan atas penderita.

e. Dijelaskan juga hak dan kewajiban subjek penelitian, terutama hak untuk

menolak menolak ikut tanpa konsekuensi dan jaminan serta keamanan data

dan penyediaan data yang anonim. Kemudian meminta consent/izin

populasi penelitian yang bersangkutan. Subjek diberi tahu bahwa semua

biaya yang dibutuhhkan dalam penelitian ini akan ditanggung oleh peneliti.

3. Setelah subyek mengerti dengan semua penjelasan, maka peneliti akan

meminta persetujuan untuk menjadi subyek penelitian dengan

menandatangani formulir persetujuan.


75

4. Setelah subyek penelitian setuju, subyek penelitian yang memenuhi kriteria

inklusi dan tidak memiliki kriteria ekslusi akan diikutkan dalam penelitian

5. Pengambilan data akan diambil setiap hari pada penderita post

apendektomi dengan menanyakan beberapa pertanyaan berkaitan umum,

penyakit penyerta, dan mobilisasi dini dicatat di kuisioner. Jenis kelamin

dilihat secara observasi dan dicatat di case report dan kusioner. Selanjutnya

dilakukan pemeriksaan status gizi kepada subyek dengan mengukur lingkar

lengan atas penderita kemudian akan ditulis di case report. Peneliti akan

mencatat setiap hasil penelitian

6. Semua data data yang telah tertulis terkumpul akan di input ke dalam

komputer

7. pengolahan data data mengunakan program SPSS 21.0 for windows. Data

yang ada akan sangat dijaga kerahasiaannya dengan memakai nomor kode

mengunci data di komputer.

8. Setelah data diolah, dilakukan penulisan hasil sebagai laporan.

9. Hasil penelitian kemudian disajikan secara lisan dalam ujian skripsi dan

secara tulisan sebagai skripsi

I. Instrumen dan Alat Penelitian


76

Instrumen atau alat penelitian yang digunakan untuk pengumpulan data


yaitu menggunakan formulir laporan kasus (case report), lembar kuesioner,
dan pita ukur.

J. Pengelolaan dan Analisis Data

Analisis data yang digunakan adalah untuk melihat hubungan antara jenis

kelamin, usia, status gizi, penyakit penyerta, dan imobilisasi dini dengan lama

perawatan penderita post apendektomi, menggunakan program computer

SPSS 21 dengan langkah sebagai berikut :

1. Uji Chi-Square untuk melihat hubungan antara jenis kelamin dengan

lama perawatan penderita post apendektomi.

2. Uji Chi-Square dan Uji Kruskal Walls untuk melihat hubungan antara

usia dengan lama perawatan penderita post apendektomi.

3. Uji Chi-Square dan Uji Kruskal Walls untuk melihat hubungan antara

status gizi dengan lama perawatan penderita post apendektomi

4. Uji Chi-Square Test untuk melihat hubungan antara penyakit penyerta

dengan lama perawatan penderita post apendektomi.

5. Uji Chi-Square Test untuk melihat hubungan antara imobilisasi dini

dengan lama perawatan penderita post apendektomi.


77

K. Aspek Etika Penelitian

Penelitian ini tidak memiliki implikasi etika karena:

1. Sebelum melakukan penelitian, peneliti menjelaskan secara lengkap

tentang tujuan, cara penelitian yang akan dilakukan dan dimintakan

persetujuan dari setiap penderita

2. Penderita yang akan diteliti setuju dan mempunyai hak untuk bertanya dan

ikut ataupun menolak untuk mengikuti penelitian ini, tanpa ada paksaan

dan rasa takut untuk mengikuti penelitian.

3. Penelitian ini tidak menimbulkan kerugian dan bahaya karena hanya

menggunakan metode wawancara, observasi, pemeriksaan fisik, case

report, dan kuisioer biasa yang menggunakan alat yang sangat aman sesuai

dengan yang telah dijelaskan.

4. Peneliti tidak akan mencantumkan nama penderita pada lembar

pengumpulan data (case report dan kuesioner) yang akan diisi oleh peneliti

dan semua data disimpan dengan aman dan disajikan secara lisan maupun

tulisan secara anonym.

5. Semua pemeriksaan yang dilakukan sehubungan dengan penelitian tidak

memungut biaya apapun.


78

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. HASIL

1. Karakteristik Sampel

Penelitian ini dilakukan di dua rumah sakit yaitu Rumah Sakit Umum

Daerah Undata dan Rumah Sakit Umum Anutapura Palu pada 3 Juli 2018

– 10 Agustus 2018. Subjek pada penelitian ini diambil dari 65 penderita

yang telah mengalami operasi Apendektomi di ruangan teratai dan dan


79

kenanga yang merupakan ruang perawatan bedah di RSUD Undata dan

ruangan garuda 1, garuda 2, kenari dan beo di RSU Anutapura selama

kurun waktu penelitian berlangsung yang memenuhi kriteria subjek

penelitian. Data yang diperoleh antara lain lama perawatan, jenis kelamin,

usia, penyakit penyerta dan mobilisasi dini. Hasil analisa statistik

ditampilkan dengan sistematika sebagai berikut.

a) Karakteristik Demografik Sampel

Berdasarkan penelitian kepada 65 subyek penelitian, pada tabel diatas

menunjukkan kelompok sampel Laki-laki sebanyak 34 (52,3%) dan kelompok

sampel Perempuan 31 (47,7%). Sedangkan untuk usia didapatkan usia

Remaja Akhir dari 17-25 tahun (26,2%), Dewasa dari 25-45 tahun (46,2%),

dan Lansia dari 45-65 tahun (27,7%). Status Gizi Kurang (18,5%), Normal

(66,2%), dan Lebih (15,4%).

Tabel 6. Karakteristik Demografik sampel penelitian di ruang perawatan bedah

RSUD Undata dan RSU Anutapura Palu.


80

No
Variabel Kategori Frekuensi Presentase
.
1 laki-laki 34 52,3
1 Jenis Kelamin
2 Perempuan 31 47,7
1 Remaja akhir 17 26,2
2 Usia 2 Dewasa 30 46,2
3 Lansia 18 27,7
1 Kurang 12 18,5
3 Status Gizi 2 Normal 43 66,2
3 Lebih 10 15,4

b) Karakteristik Klinis Sampel

Berdasarkan penelitian kepada 65 subyek penelitian, pada tabel diatas

menunjukkan kelompok sampel lama perawatan sesuai standar 3-5 hari

sebanyak 35 (53,8%) dan kelompok sampel lama perawatan lebih dari standar

>5 hari sebanyak 30 (46,2%). Sedangkan untuk penyakit penyerta didapatkan

yang terdapat penyakit penyerta (55,4%) dan tidak terdapat penyakit penyerta

(44,6%). Mobilisasi dini yang dilakukan (43,1%) dan tidak dilakukan (56,9%).
81

Tabel 7. Karakteristik klinis sampel penelitian di ruang perawatan bedah RSUD

Undata dan RSU Anutapura Palu.

No
Variabel Kategori Frekuensi Presentase
.
1 Sesuai 53,8
35
standar
1 Lama Perawatan Lebih lama
2 dari 30 46,2
standar
Terdapat 55,4
1 penyakit
36
penyerta
2 Penyakit Penyerta Tidak
terdapat
2 29 44,6
penyakit
penyerta
1 Dilakukan
28 43,1
3 Mobilisasi Dini Tidak 56,9
2 dilakukan 37

2. Faktor-faktor yang berhubungan dengan lama perawatan penderita

post appendektomi di bagian bedah RSUD Undata dan RSU

Anutapura Palu.

Pada penelitian ini diteliti hubungan faktor jenis kelamin,usia,penyakit

penyerta, status gizi dan mobilisasi dini terhadap lama perawatan penderita

post appendektomi. Dari 5 variabel tersebut didapatkan hasil tidak ditemukan

hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dan status gizi karena P>0,05

pada uji Chi Square test dan Kruskal Walls.


82

a) Hubungan jenis kelamin dengan lama perawatan penderita post

apendektomi di bagian bedah RSUD Undata dan RSU Anutapura Palu.

Hasil analisa jenis kelamin dengan lama perawatan post apendektomi

menunjukkan tidak ada hubungan bermakna (p>0,05) menggunakan uji Chi-

Square test dapat dilihat pada tabel 8.

Tabel 8. Hubungan jenis kelamin dengan lama perawatan penderita post

appendektomi.

Lama Perawatan
Jenis Sesuai Lebih lama Total P OR
83

standar dari standar


Kelamin (n %) (n %)
34
Laki-laki 15 (44,1%) 19 (55,9%) (100,0%
) 0,099 0,434
31
Perempuan 20 (64,5%) 11 (35,5%) (100,0%
)
65
Total 35 (53,8%) 30 (46,2%) (100,0%
)
Keterangan: Nilai p dihitung berdasarkan uji chi-square. Nilai p tidak bermakna

Berdasarkan tabel diatas tidak ditemukan hubungan yang bermakna

(P>0,05) antara jenis kelamin dengan lama perawatan. Walaupun penderita

post apendektomi berjenis kelamin laki-laki dengan lama perawatan lebih lama

dari standar (LOS > 5 hari) 19 orang (55,9%) lebih rendah dibandingkan

dengan jumlah penderita post apendektomi berjenis kelamin perempuan

dengan lama perawatan lebih lama dari standar 11 orang (35,5%) dengan odd

rasio 0,434 menunjukkan lama perawatan penderita berjenis kelamin laki-laki

0,43 kali lebih mempunyai peluang mempengaruhi lama perawatan dari pada

penderita berjenis kelamin perempuan dan selisi jumlah penderia berjenis

kelamin laki-laki dengan lama perawatan lebih lama dengan perempuan

berjumlah 8 orang sehingga jenis kelamin tidak mempengaruhi lama

perawatan.
84

b) Hubungan usia dengan lama perawatan penderita post apendektomi

di bagian bedah RSUD Undata dan RSU Anutapura Palu.

Hasil analisa usia dengan lama perawatan post apendektomi menunjukkan

ada hubungan bermakna (p<0,05) menggunakan uji Chi-Square dan Kruskal

Wallis test dapat dilihat pada tabel 9.

Tabel 9. Hubungan usia dengan lama perawatan penderita post

appendektomi.

Lama Perawatan
Sesuai Lebih lama Total P
Usia standar dari standar
(n %) (n %)
Remaja akhir 13 (76,5%) 4 (23,5%) 17
(100,0%)
Dewasa 16 (53,3%) 14 (46,7%) 30 0,011
(100,0%)
Lansia 6 (33,3%) 12 (66,7%) 18
(100,0%)
Total 35 (53,8%) 30 (46,2%) 65
(100,0%)
Keterangan: Nilai p dihitung berdasarkan uji Kruskal Wallis. Nilai bermakna.

Berdasarkan tabel diatas didapatkan ditemukan hubungan yang bermakna

(P<0,05) usia dengan lama perawatan penderita post apendektomi. Penderita

dengan lama perawatan sesuai standar kategori remaja akhir (17-25 tahun)

berjumlah 13 orang (76,5%), kategori dewasa (26-45 tahun) berjumlah 16


85

orang (53,3%), dan Kategori lansia (46-65 tahun) berjumlah 6 orang (33,3%),

sedangkan Penderita dengan lama perawatan lebih lama dari standar kategori

remaja akhir (17-25 tahun) berjumlah 4 orang (23,5%), kategori dewasa (26-45

tahun) berjumlah 14 orang (46,7%), dan Kategori lansia (46-65 tahun)

berjumlah 12 orang (66,7%) sehingga dapat disimpulkan semakin meningkat

usia penderita mempengaruhi lama perawatan lebih lama dari standar.

c) Hubungan status gizi dengan lama perawatan penderita post

apendektomi di bagian bedah RSUD Undata dan RSU Anutapura Palu.

Hasil analisa status gizi dengan lama perawatan post apendektomi

menunjukkan tidak ada hubungan bermakna (p>0,05) menggunakan uji Chi-

Square test dan Kruskal Wallis test dapat dilihat pada tabel 9.

Tabel 10. Hubungan status gizi dengan lama perawatan penderita post

appendektomi.

Lama Perawatan
Status Gizi Sesuai Lebih lama Total P
standar dari standar
(n %) (n %)
86

12
Kurang 6 (50,0%) 6 (50,0%)
(100,0%)
43 0,969
Normal 24 (55,8%) 19 (44,2%)
(100,0%)
10
Lebih 5 (50,0%) 5 (50,0%)
(100,0%)
65
Total 35 (53,8%) 30 (46,2%)
(100%)
Keterangan: Nilai p dihitung berdasarkan uji Kruskal Wallis. Nilai tak

bermakna.

Berdasarkan tabel diatas tidak ditemukan hubungan yang bermakna

(P>0,05) antara status gizi dengan lama perawatan yaitu status gizi penderita

berlebihan dan kurang tidak mempengaruhi lama perawatan penderita karena

terdapat penaikan dan penurunan jumlah penderita dengan lama perawatan

lebih lama dari standar pada penderita status gizi Kurang sebanyak 6 (50%),

normal 19 orang (44,2%) dan lebih 5 orang (50%), dan frekuensi antara

penderita status gizi kurang dan baik dengan lama perawatan yang sesuai

maupun yang lebih lama dari standar mempunyai jumlah yang sama.

d) Hubungan penyakit penyerta dengan lama perawatan penderita post

apendektomi di bagian bedah RSUD Undata dan RSU Anutapura Palu.

Hasil analisa penyakit penyerta dengan lama perawatan post apendektomi

menunjukkan ada hubungan bermakna (p<0,05) menggunakan uji Chi-Square

test dapat dilihat pada tabel 11.


87

Tabel 11. Hubungan penyakit penyerta dengan lama perawatan penderita post

appendektomi.

Lama Perawatan
Sesuai Lebih lama
Penyakit
standar dari standar Total P OR
Penyerta
(n %) (n %)
36
Terdapat 15 (41,7%) 21 (58,3%) (100,0%)
0,028 0,321
29
Tidak
20 (69,0%) 9 (31,0%) (100,0%)
Terdapat
65
Total 35 (53,8%) 30 (46,2%)
(100,0%)
Keterangan: Nilai p dihitung berdasarkan uji chi-square. Nilai p bermakna

Berdasarkan tabel diatas didapatkan ditemukan hubungan yang bermakna

(P<0,05) Penyakit penyerta dengan lama perawatan penderita post

apendektomi. Penderita post apendektomi terdapat penyakit penyerta dengan

lama perawatan sesuai standar berjumlah 15 orang (41,7%), lebih lama dari

standar 21 orang (58,3%). penderita post apendektomi tidak terdapat penyakit

penyerta dengan lama perawatan sesuai standar berjumlah 20 orang (69,0%),

lebih lama dari standar 9 orang (31,0%). Odd rasio 0,321 menunjukkan

Penderita dengan penyakit penyerta 0,32 kali lebih banyak mempunyai

peluang mempengaruhi lama perawatan dari pada tidak terdapat penyakit

penyerta.
88

e) Hubungan mobilisasi dini dengan lama perawatan penderita post

apendektomi di bagian bedah RSUD Undata dan RSU Anutapura Palu.

Hasil analisa mobilisasi dini dengan lama perawatan post apendektomi

menunjukkan ada hubungan bermakna (p<0,05) menggunakan uji Chi-Square

test dapat dilihat pada tabel 12.

Tabel 12. Hubungan mobilisasi dini dengan lama perawatan penderita post

appendektomi.

Lama Perawatan
Mobilisasi Sesuai Lebih Total P OR
Dini standar lama dari
(n %) standar
(n %)
Dilakukan 26 (92,9%) 2 (7,1%) 28
(100,0%)
Tidak 9 (24,3%) 28 (75,7%) 37 0,000 40,444
Dilakukan (100,0%)
Total 35 (53,8%) 30 (46,2%) 65
(100,0%)
Keterangan: Nilai p dihitung berdasarkan uji chi-square. Nilai p bermakna

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa ada hubungan yang bermakna P<0,05

antara mobilisasi dini dengan lama perawatan. Penderita yang tidak

melakukan mobilisasi dini dengan lama perawatan lebih lama dari standar

berjumlah 28 orang (75,7%) dan lama perawatan sesuai standar berjumlah 9

orang (24,3%), sedangkan pada penderita yang melakukan mobilisasi dini


89

dengan lama perawatan tidak sesuai standar berjumlah 9 orang (24,3%) dan

lama perawatan sesuai standar berjumlah. Odd rasio 40,444 menunjukkan

penderita tidak melakukan mobilisasi dini kurang 4,4 kali lebih mempunyai

peluang mempengaruhi lama perawatan daripada penderita yang melakukan

mobilisasi dini sehinnga dapat disimpulkan jika penderita tidak melakukan

mobilisasi dini mempunyai lama perawatan lama dan tidak sesuai standar.

B. PEMBAHASAN

a) Hubungan jenis kelamin dengan lama perawatan penderita post

apendektomi di RSUD Undata dan RSU Anutapura Palu.

Dari hasil uji statistic diperoleh hasil p= 0,099 (p>0,05) sehingga

disimpulkan terdapat hubungan tidak bermakna antara jenis kelamin dengan

lama perawatan penderita post apendektomi. diperoleh dari Uji Chi-Square

test penelitian menurut jenis kelamin, faktor usia secara langsung

mempengaruhi variabel diatas karena pada perempuan muda terjadi

penyembuhan luka yang cepat akan tetapi pada perempuan berusia lanjut dan

mengalami menopause terjadi penurunan fungsi hormon yang mempengaruhi

penyembuhan luka.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh bayhan

zulfu tahun 2016 di dapatkan hasil tidak ada hasil bermakna pada jenis
90

kelamin terhadap lama perawatan apendektomi Hal ini didasarkan pada hasil

analisis dengan uji chi square diperoleh p = 0,519 (p > 0,05). 74

Berdasarkan kepustakaan, hormon seks yang berperan dalam

penyembuhan luka adalah estrogen dan testoteron. Pada kulit, estrogen dan

androgen terbawa dalam proses proliferasi dan diferensiasi sel epitel dan

peningkatan aktifitas fibroblast dan sel imun di kulit. Estrogen mempengaruhi

penyembuhan luka dengan mengurangi peradangan dan meningkatkan

produksi matriks. Namun, pada wanita pasca menopause terjadi penurunan

estrogen menyebabkan penyembuhan luka terganggu dan kerentanan

terhadap luka non infeksi kronis meningkat, meskipun kecepatan

penyembuhan terganggu, terjadi peningkatan kualitas jaringan parut akibat

meningkatnya transforming growth factor-β1 (TGF-β1) yang disekresi oleh

fibroblas kulit yang akibat dari penurunan regulasi migrasi makrofag inhibitor

faktor (MIF). Testosteron sebaliknya pada laki-laki lansia meningkatkan

penyembuhan luka dengan mengurangi respons inflamasi dan meningkatkan

deposisi matrix.75,76,77

Akan tetapi, selama melakukan penelitian, ditemukan penderita yang lama

perawatan sesuai standar yaitu penderita perempuan muda tanpa penyakit

penyerta dan laki-laki beusia muda dan penderita yang lama perawatannya

tidak sesuai standar yaitu penderita lansia yang mempunyai penyakit penyerta,
91

sehingga selain faktor usia, penyakit penyerta juga mempengaruhi lama

perawatan penderita

b) Hubungan usia dengan lama perawatan penderita post apendektomi

di RSUD Undata dan RSU Anutapura Palu.

Dari hasil uji statistic diperoleh hasil p= 0,011 (p<0,05) sehingga

disimpulkan terdapat hubungan bermakna antara usia dengan lama perawatan

penderita post apendektomi. diperoleh dari Uji Kruskal Wallis test penelitian

menurut usia dibuktikan dengan penderita usia remaja akhir (17-25 tahun)

dengan lama perawatan sesuai standar sebanyak 13 orang dan lansia (46-65

tahun) ditemukan angka tertinggi pada lama perawatan tidak sesuai standar

sebanyak 12 orang.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh wagih

mommtaz ghnam tahun 2011 didapatkan hasil terdapat hubungan yang

signifikan antara usia P=0,001 dengan lama perawatan penderita dengan

menggunakan Chi Square Test. Hal ini disebabkan terlambatnya onset gejala

yang tidak khas seperti “stomach flu” atau gastroenteritis dan penanganan

operasi terlambat akibat gagalnya penegakan diagnosis awal appendesitis

pada lansia sehingga meningkatkan komplikasi post operasi yang

meningkatkan lama perawatan pada lansia sedangkan pada usia muda


92

menunjukkan gejala awal yang cepat dan spesifik sehingga diagnosis cepat

ditegakkan dan tidak ada penundaan operasi yang secara tidak langsung

dapat menurunkan komplikasi post operasi dibuktikan dengan presentase

69,6% penderita muda dirawat < 3 hari setelah operasi sementara pada

penderita lansia dirawat < 3 hari dengan presentase 30,4%. 78

Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

uzlifafatil jannah tahun 2016 didapatkan hasil tidak ada hubungan yang

signifikan antara usia P=0,308 dengan lama perawatan penderita pasca

operasi appendisitis dengan menggunakan Fisher’s Exact Test. Hal ini

disebabkan terdapat faktor kondisi apendiks yang perforasi sebelum operasi

mempengaruhi lama perawatan secara signifikan pada penelitian tersebut. 79

Berdasarkan kepustakaan, perubahan morfologi kulit dan struktural yang

berkaitan dengan usia yang bertambah meliputi penurunan jumlah sel

Langerhans dan melanosit, dan pemerataan dermal-epidermal junction. Selain

itu proliferasi keratinosit yang berkurang akan mempengaruhi turn over yaitu

jumlah hari untuk keratinosit untuk bermigrasi dari lapisan basal ke permukaan

kulit mengalami peningkatan sebesar 50%. Dermis kulit yang menua

menunjukkan jumlah fibroblas, makrofag dan sel mast yang lebih sedikit,

vaskularisasi yang berkurang, dan hilangnya komponen matriks ekstraseluler

seperti kolagen dan glikosaminoglikan. Selain ketidakseimbangan produksi

dan degradasi kolagen, kualitas kolagen yang tersisa juga berubah dimana
93

secara mikroskopis terlihat lebih sedikit ikatan seperti tali dan tingkat

disorganisasi yang lebih tinggi. Morfologi elastin juga tidak teratur,

mengakibatkan elastisitas kulit menurun. Perubahan kulit lainnya terkait usia

antara lain berkurangnya sensasi sentuhan dan tekanan ringan, sekresi

sebum, dan kapasitas untuk menghasilkan vitamin D3. 45,80

Pada penderita berusia lansia, penyembuhan luka juga melambat, terutama

pada fase hemostasis dan inflamasi terjadi peningkatan agreregasi,

degranulasi platelet, dan peningkatan neutrofil. Infiltrasi leukosit terlambat,

fungsi makrofag mengalami deplesi yang mengakibatkan terjadinya hemoragik

dan mengurangi maturasi jaringan yang mempengaruhi fase proliferasi. Pada

fase proliferasi terjadi pengurangan proliferasi dan migrasi, penurunan respons

dan sekresi terhadap Growth Factors dan sekresi sitokin yang mengakibatkan

tertundanya penutupan luka oleh fibroblas dan keratinosis, menurunkan

angiogenesis dan deposisi matriks ekstraselluer sehingga terjadi hipoxia. Pada

fase remodeling jaringan pada usia lansia tedapat penurunan regulasi inhibitor

Metalloproteinase-1 dan -2 sehingga meningkatkan aktifitas proteolitik dan

kemudian menurunkan deposit kolagen yang kita tahu TGF-β1 yang

meningkatkan stimulasi dan sintesis kolagen terjadi penurunan pada fase

proliferasi sehingga penyembukan luka menjadi terlambat dan meningkatkan

infeksi luka operasi secara tidak langsung mempengaruhi lama perawatan ,

diagnosis yang lambat dengan gejala yang tidak khas pada penderita berusia

lanjut dan terdapat penyakit penyerta menyebabkan lambatnya penanganan


94

operasi sehingga faktor yang signifikan terkait dengan meningkatnya

komplikasi post operasi.45,57

c) Hubungan status gizi dengan lama perawatan penderita post

apendektomi di RSUD Undata dan RSU Anutapura Palu.

Pasien dengat status gizi obesitas memiliki kecenderungan hingga

hiperventilasi karena diafragma tidak bias sepenuhnya turun karena

banyaknya jaringan adiposa. Hiperventilasi dan penurunan ekspansi dada

menghasilkan penurunan kapasitas vital dan penurunan oksigenasi darah.73

Pada pasien operasi yang memiliki obesitas terbukti mengurangi oksigenasi

jaringan subkutan dan membutuhkan fraksi oksigen inspirasi yang lebih besar

untuk mencapai tekanan oksigen arteri yang sama pada pasien dengan berat

badan normal mempengaruhi pada suplai darah ke daerah luka yang

mengakibatkan luka mengalami hipoxia, sehingga menurunkan proses

penyembuhan luka selain itu karena sel imun juga membutuhan oksigen yang

tinggi dalam pembentukan mikrobisida spesies oksigen reaktif (ROS) dan

fibroblast tidak dapat membentuk kolagen dan sel yang bergantung pada

oksigen pada proses perbaikan tidak dapat terjadi, sehingga terjadi

keterlambatan penyembuhan luka yang secara tidak langsung mempengaruhi

lama perawatan menjadi panjang.81,82


95

Dari hasil uji statistic diperoleh hasil p= 0,969 (p>0,05) sehingga

disimpulkan terdapat hubungan tidak bermakna antara status gizi dengan lama

perawatan penderita post apendektomi. diperoleh dari diperoleh dari Uji

Kruskal Wallis test penelitian menurut status gizi.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh nurul

huda syamsiatun tahun 2004 di dapatkan hasil tidak ada hubungan status gizi

terhadap lama perawatan Hal ini didasarkan pada hasil analisis dengan uji chi

square diperoleh p = 0,519 (p > 0,05).83

Berdasarkan hasil penelitian, dapat dilihat bahwa masih terdapat responden

dengan status gizi kurang (< 90%) dan status gizi lebih (110-120%) dengan

lama perawatan sesuai standar dan lama perawatan lebih dari standar

mempunyai presentase yang sama, sehingga peneliti berasumsi bahwa masih

adanya luka tidak sembuh bukan hanya dipengaruhi oleh faktor status gizi

namun juga dipengaruhi oleh beberapa faktor-faktor lainnya seperti usia dan

penyakit penyerta.

Nutrisi yang kurang dapat mempengaruhi penyembuhan luka karena

penyembuhan luka membutuhkan nutrisi yang tepat seperti protein dalam

pembentukan sel-sel epitel dan kolagen, vitamin A mengurangi efek steroid, vit

c membantu dalam sintesi kolagen dan mineral untuk pembentukan epitel dan

penyatuan serat-serat kolagen dan mobilisasi dini yang kurang dilakukan


96

sehingga suplai darah ke daerah luka berkurang. Begitu pula dengan adanya

luka sembuh pada responden status gizi lebih (110-120%) yang seharusnya

lama perawatan lebih lama dari standar (LOS>5 hari), namun karena ada

faktor lain seperti usia, nutrisi yang baik, mobilisasi yang baik, dan tidak

terdapat penyakit penyerta, sehingga membuat responden dengan status gizi

lebih mempunyai lama perawatan sesuai standar (LOS 3-5 hari). 84

d) Hubungan penyakit penyerta dengan lama perawatan penderita post

apendektomi di RSUD Undata dan RSU Anutapura Palu.

Dari hasil uji statistic diperoleh hasil p= 0,028 (p<0,05) sehingga

disimpulkan terdapat hubungan bermakna antara penyakit penyerta dengan

lama perawatan penderita post apendektomi. diperoleh dari Uji Chi-Square

test penelitian menurut penyakit penyerta dan 3 penyakit penyerta yang

ditemukan pada penderita saat penelitian yaitu Diabetes melitus, asma dan

hipertensi.

Faktor penyakit penyerta meliputi tuberkulosis, penurunan fungsi paru,

diabetes melitus dan penyakit kardiovaskuler. Penyakit penyerta merupakan

kondisi yang tidak menunjang proses penyembuhan luka disebabkan oleh

distribusi oksigen dan nutrisi lebih rendah terutama pada penderita dengan

diabetes melitus dengan gula darah yang tidak terkontrol menghasilkan

disfungsi seluler yang menghambat semua fase luka penyembuhan terutama


97

fase hemostasis terjadi penurunan Platelet derived growth factor (PDGF) pada

sel endotel dan epitel, menyebabkan keterlambatan masa transisi ke fase

inflamasi. Peningkatan jumlah wound-activated macrophages (WAM’s) yang

diaktifkan oleh luka menyebabkan peningkatan dan ekspresi sitokin inflamasi

berkepanjangan sehingga memperpanjang fase inflamasi pada penyembuhan

luka.85,86,87

Selain faktor penyembuhan luka, gangguan protein pada diabetes melitus

disebabkan hasil metabolisme glukosa berupa sorbitol bersifat toksik memicu

deposisi albumin di perikapiler akibat meningkatnya permeabilitas vaskuler

dermis sehingga mengganggu difusi oksigen dan nutrisi ke jaringan perifer.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh El

rahmayati tahun 2017 di dapatkan hasil hubungan penyakit penyerta terhadap

lama perawatan post operasi Hal ini didasarkan pada hasil analisis dengan uji

chi square diperoleh p = 0,049 (p < 0,05). 88

Sehingga dapat disimpulkan, pada penderita post appendectomi yang

terdapat penyakit penyerta menyebabkan lama perawatan tidak sesuai standar

(LOS >5 hari) diakibatkan perlambatan fase penyembuhan luka yang

dipengaruhi penyakit penyerta sebaliknya pada penderita post appendektomi

yang tidak terdapat penyakit penyerta menyebabkan lama perawatan sesuai

standar (LOS 3-5 hari).


98

e) Hubungan mobilisasi dini dengan lama perawatan penderita post

apendektomi di RSUD Undata dan RSU Anutapura Palu.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa mobilisasi dini mempengaruhi

lama perawatan penderita post appendektomi karena efek agen anastesi

menghambat impuls syaraf parasimpatik ke organ gastrointestinal, sehingga

memperlambat motilitas gastrointestinal dan menyebabkan muntah, apabila

penderita tetap tidak aktif setelah pembedahan kembalinya fungsi normal usus

dapat terlambat lebih lanjut dan hal ini dapat dicegah dengan mobilisasi dini

yang menggerakan semua sendi secara bertahap secara pasif maupun aktif,

sehingga meningkatkan tonus saluran pencernaan dan merangsang peristaltik

usus. 90,91

Dari hasil uji statistic diperoleh hasil p= 0,000 (p<0,05) sehingga

disimpulkan terdapat hubungan bermakna antara mobilisasi dini dengan lama

perawatan penderita post apendektomi. diperoleh dari Uji Chi-Square test

penelitian menurut mobilisasi dini.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Tia

Mitrawati pada tahun 2015, hasil analisis memperoleh nilai P <0,05 artinya ada

hubungan bermakna antara mobilisasi dini terhadap lama perawatan penderita

post apendektomi. 89

Dengan mobilisasi dini, dapat menunjang proses penyembuhan luka pasien

karena dengan menggerakkan anggota badan ini akan mencegah kekakuan


99

otot dan sendi sehingga dapat mengurangi nyeri, dan dapat memperlancar

peredaran darah ke bagian yang mengalami perlukaan agar proses

penyembuhan luka cepat. Hal ini sejalan dengan pendapat para ahli bahwa

salah satu faktor yang mempengaruhi proses penyembuhan luka akibat

operasi pembuangan apendiks (apendektomi) adalah kurangnya tidak

melakukan mobilisasi dini. mobilisasi merupakan faktor yang utama dalam

mempercepat pemulihan dan mencegah terjadinya komplikasi pasca bedah.

Mobilisasi sangat penting dalam percepatan hari rawat dan mengurangi resiko

karena tirah baring lama seperti terjadinya dekubitus, kekakuan atau

penegangan otot-otot di seluruh tubuh, gangguan sirkulasi darah, gangguan

pernapasan dan gangguan peristaltik maupun berkemih dan sal satu faktor

yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan mobilisasi dini yaitu usia.

Orang dewasa cenderung tidak mau menyusahkan orang lain dan berusaha

semaksimal mungkin.90,91,92

Pada saat dilakukan penelitian, sebagian besar penderita tidak melakukan

mobilisasi dini karena kurangnya informasi diberikan perawat kepada mereka

dan penderita masih merasakan nyeri setelah operasi sehingga mobilisasi dini

pada pasien tidak maksimal dilakukan.


100

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dari 65 responden di RSUD Undata dan RSU

Anutapura Palu tahun 2018 tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan

lama perawatan pederita post appendektomi di bagian bedah RSUD Undata

dan RSU Anutapura Palu tahun 2018 diperoleh kesimpulan berdasarkan

berikut :

1. Tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan

lama perawatan penderita post appendektomi.

2. Ditemukan hubungan yang bermakna antara usia dengan lama perawatan

penderita post appendektomi.

3. Tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara status gizi dengan lama

perawatan penderita post appendektomi.

4. Ditemukan hubungan yang bermakna antara penyakit penyerta dengan

lama perawatan penderita post appendektomi.

5. Ditemukan hubungan yang bermakna antara mobilisasi dini dengan lama

perawatan penderita post appendektomi.


101

B. Saran

1. Bagi instansi kesehatan diharapkan hasil peneltian ini dapat memantau

penerapan teknik rehabilitasi medis yaitu mobilisasi dini pada penderita

post operasi sehingga meningkatkan kualitas pelayanan rumah sakit.

2. Bagi petugas kesehatan untuk mengetahui pentingnya mobilisasi dini untuk

meminimalisir perpanjangan lama perawatan pada penderita post operasi

di ruangan bedah.

3. Bagi peneliti selanjutnya dapat meneliti faktor asupan nutrisi pada penderita

post operasi karena asupan protein mempercepat penyembuhan luka yang

secara langsung mempengaruhi lama perawatan pada penderita.


102

DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidajat R., et al. 2012. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. EGC: Jakarta.

2. Penhold R, Chisolm D, Nwomeh B, Kelleher K. Geographic disparities in the


risk of perforated appendicitis among children in Ohio: 2001–2003. Int J
Health Geogr. 2008;7:56.

3. Garst GC, Moore EE, Banerjee MN, Leopold DK, et al. 2013. Acute
appendicitis: a disease severity score for the acute care surgeon. J Trauma
Acute Care Surg. 2013 Jan;74(1).

4. Schwartz SI, Shires GT, Spencer FC, Daly JM, Fischer JE, Galloway AC.
2014. Principles of Surgery. United States of America : McGraw-Hill
companies, P: 1241-1243.

5. Moore KL, Dalley AI. 2009. Clinically Oriented Anatomy. 6th edition.
Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, P: 402.

6. Putz R, Pabst R. 2006. Atlas Anatomi Manusia Sobatta. Jakarta : Buku


Kedokteran ECG.

7. Eroschenko VP. 2010. Atlas Histologi diFiore dengan Korelasi Fungsional


Edisi 11. Jakarta: EGC. Hlm: 324-6, 331, 342.

8. Ansari Parswa. 2012. Intestinal Obstruction. Merck Manual. (diakses pada 4


maret 2018 dari:
https://www.merckmanuals.com/professional/gastrointestinal-
disorders/acute-abdomen-and-surgical-gastroenterology/intestinal-
obstruction#v890928,.)

9. Craig S. 2014. Appendicitis. Emedicine Medscape, (online), (diakses


tanggal 28 Februari 2018 dari:
https://emedicine.medscape.com/article/195778-overview,.)

10. Ballehanina UK. 2013. Open Apendectomy. Emedicine Medscape,


(online), (diakses tanggal 28 Februari 2018 dari:
https://emedicine.medscape.com/article/1582203-overview,.)
103

11. Gul T, Khan MA, Sahar S. 2014 Epidemiological and Deofgraphic


Features of Appendicitis and Ilkuences of Several Environmetal
Development. Park J Surg. Vol. 30, No. 3.

12. Depkes RI. 2013. Hasil Riskesdas 2013. Departeman Kesehatan Republik
Indonesia. (Diakses pada 6 Maret 2018 dari:
http://www.depkes.go.id/resource/download/general/Hasil%20Riskesdas%
202013.pdf.)

13. Yulianto FA, Sakinah RK, Kamil MI, Wahono TYM. 2016. Faktor Prediksi
Perforasi Apendiks pada Penderita Apendisitis Akut di RS Al-Ihsan
Kabupaten Bandung Periode 2013-2014. Global Medical and Health
Communication, (online), Vol. 4, No. 2
(http:ejournal.unisba.ac.id/indeks.php/gmhc/article/view/1844/pdf. Diakses
Tanggal 6 Maret 2018)

14. RSUD Undata Palu, Angka kejadian Appendisitis; 2016-2017

15. RSU Anutapura Palu, Angka kejadian Appendisitis; 2016-2017

16. Annonymmous. Appendicits Type.


http://www.appendicitissymptoms.org.uk/appendicitis-types.htm. Accessed
in Maret,23,2018.

17. Brunicardi C, Anderson DK, Billiar T, Duhn DL, Hunter JG, Mathews JB,
Pallock RC. 2010. The Appendix on Chapter 30 in Schwartz’s Principles of
Surgery 9ed ebook. New York: McGraw-Hills.

18. Gorter RR, Eker HH, Gorter MAW, et al. 2015. Diagnosis and management
of acute appendicitis. EAES consensus development conference 2015.
Surg Endosc. Springer 24(2).

19. Garst GC, Moore EE, Banerjee MN, Leopold DK, et al. 2013. Acute
appendicitis: a disease severity score for the acute care surgeon. J
Trauma Acute Care Surg. 2013 Jan;74(1).

20. Petroianu A, 2012. Diagnosis of acute appendicitis: International journal of


surgery 2012, Elsevier, New york, US, Vol 10(3). 115-9
104

21. Shogilev DJ, Duus N, Odhom SR, Shapiro NI, 2014. Diagnosing
Appendicitis ; Evidence-Based Review of Diagnostic Approach, Western
Journal of Emergency Medicine, Vol XV. No 7.

22. Hiroshi I. 2003. Diagnosis and treatment of appendicitis acute. Department


of Surgery, Sasebo Municipal Hospital . JMAC, May 2003 – Vol.46,No.5.

23. Doherty GM.,Way LW. 2006. Current Surgical Diagnosis And Treatment
Edition 17. The McGraw Hill Companies. New York

24. Ohle R, O’Reilly F, O’Brien KK, Fahey T, Dimitrov BD. 2011. The Alvarado
score for predicting acute appendicitis: a systematic review. BMC Med.
Vol. 9. P:139.

25. Kim BS, Ryu DH. 2010. Diagnosis of Acute Appendicitis Using Scoring
System: Compared with the Alvarado Score. J Korean Surg Soc. Vol. 79.
P:207-214.

26. Castro SM, Ünlü C, Steller EP, van Wagensveld BA, Vrouenraets BC.
2012. Evaluation of the Appendicitis Inflammatory Response Score for
Patients with Acute Appendicit. World J Surg. Vol 36. P:1540–1545

27. Chong CF, Adi MIW, Thien A, Suyoi A, Mackie AJ, Tin AS et al.
Development of the ripasa score: a new appendicitis scoring system for the
diagnosis of acute appendicitis. Singapore Med J 2010; 51(3):220

28. Oswari E. 2000. Bedah Dan Perawatannya. Edisi 3. Jakarta : balai


penerbit FKUI.

29. Santacroce L, 2013. Appendectomy Emedicine Medscape, (online),


(diakses tanggal 28 Februari 2018 dari:
https://emedicine.medscape.com/article/195778-overview,.)

30. Pieter J, Riwanto Ign., Tjambolang T. Usus halus, apendiks, kolon dan
anorektum. In:Sjamsuhidajat R, De Jong W, editors. Buku Ajar Ilmu Bedah
Edisi Revisi, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC 1997, p.833-924

31. Murtaza B., et all. Postoperative Complication in Emergency Versus


Elective Laparatomies at a Peripheral Hospital. Department of General
105

Surgery Combined Military Hospital, Bahawal Nagar, Pakistan, Vol.3, Issue


22. 2010. P. 43.

32. Ngowe NM., et al. Prevalence and Risk Factors Associated with Post
Operative Infections in the Limbe Regional Hospital of Cameroon. The
Open Surgery Journal, Vol. 8. 2014. P. 1-8.

33. Khan S., et al. Retrospective Analysis of Abdominal Surgeries at


Nepalgunj Medical College (NGMC), Nepalgunz, Nepal: 2 year’s
experience. Kathamandu University Medical Journal, Vol 2, Numb. 4, Issue
8 P. 337: 336-343.

34. Baison GN. Outcomes of Laparatomy at Large Referral Center in Rwanda.


Doctoral dissertation, Harvard Medical School. 2017

35. Chan L, Shin LK, Pai RK, Jeffrey RB. 2014. Pathologic Continuum of Acute
Appendicitis: NCBI, (online), Vol. 27, No. 2, (diakses tanggal 28 februari
2018 dari: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21606789,.)

36. Ruber M. 2012. Immunopathogenic Aspect of Resolving and Progressing


Appendicitis. Disertasi tidak diterbitkan. Sweden. Faculty of Health
Science-Linkoping University.

37. Atahana K, Aslan E, Ureyen O, Cokmez A, Tarcan E. 2012. Effect of time


in the Development of Perforated Appendicitis. J Curr Surg, (online),
(diakses 28 februari 2018 dari: www.jcs.elmepress.com,.)

38. Shuhatovich Y. 2015. Laparoscopy Apendectomy, Emedicine Medscape,


(online), (diaksen 28 februari 2018 dari:
http://emedicine.medscape.com/article/773895-treatment#showall,.)

39. Berman B., et al. 15 June 2017. Keloid and Hypertrophic Scar Clinical
Presentation, Medscape, [online]. (Diakses pada 17 Juni 2017 dari:
http://emedicine.medscape.com/article/1057599-clinical#b1,.)

40. Orsted HL, Keast D, Lalende LF, Megie MF. 2011. Basic Principle od
Wound healing. Wound Care Canada, Vol. 9, No. 2, (Online), (diakses
tanggal 28 februari 2018 dari:
http://www.wrha.mb.ca/profesional/woundcare/documen/principleswoundh
ealing.wccspring2011.pdf ,.)

41. Sherwood L, 2016. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Ed. 6. EGC:
Jakarta.
106

42. Sungowati NK. Patogenesis Radang Akut. In: Biomedik dan mekanisme
dasar penyakit. Wahid S, Miskad UA, Masadah R. Ed.3 P; 103-105.
Universitas Kedokteran Universitan Kedokteran. 2012.

43. Hasibuan LY, Soedjono H, Bisono. 2012. Luka. In: Sjamsuhidayat R,


Karnadihardja W, Prasetyono TOH, Rudiman R. (ed). Buku Ajar Ilmu
Bedah. Ed. 3. Jakarta: EGC, P: 96-97.

44. Mallefet P, Dweck AC. 2008. Mechanisme Involved in Wound Healing. The
Biomedical Scientist, (online). (di akses tanggal 28 februari 2018 dari:
http://www.dweckdata.co.uk/publiherpapers/wound_healing.pdf,. )

45. Sgonc R, Gruber J. 2012. Age Related Aspect of Cutaneus Wound


healing: A Mini-review. Gerontology, (online). ( diakses tanggal 28 februari
2018 dari: http://www.karger.com/article/pdf/342344)

46. Depkes RI. 2009. Profil Kesehatan Indonesia.

47. Wartawan IW. Analisis Lama Hari Rawat Pasien Yang Menjalani
Pembedahan Di Ruang Rawat Inap Bedah Kelas III Rsup Sanglah
Denpasar Tahun 2011. Tesis diterbitkan. Depok: Fakultas Kesehatan
Masyarakat Program Studi Kajian Administrasi Rumah Sakit Universitas
Indonesia. 2012.

48. Undang Undang Republik Indonesia no. 44 tahun 2009 tentang Rumah
Sakit. Jakarta.

49. Ximenes AMG, Mello FST. Appendectomy by Three Diferrent Surgical


Tecniques, in Brazilian Digestive Surgery Journal, Vol. 3, No.27, 2014.
P:188-190

50. Imbalo SP. 2007. Jaminan Mutu Layanan Kesehatan. Dasar – Dasar
Pengertian dan Penerapan. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Cetakan I,
Jakarta.

51. Sabarguna BS. 2009. Manajemen Rumah Sakit Jilid 2. Ed.1. Jakarta :
Sagung Seto.

52. Potter PA.,Perry AG. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep,
Proses, dan Praktik. Edisi 4, Volume 1. Alih Bahasa oleh Yasmin Asih,dkk.
EGC: Jakarta, 2005
107

53. Nursiah, et al. Faktor-faktor yang berhubungan dengan lama hari rawat
pada pasien pasca operasi laparatomi di rumah sakit umum daerah
Labuang Baji Makasar. Skripsi tidak diterbitkan. Makasar Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin. 2010.

54. Majid A., et al. 2011. Keperawatan Perioperatif. Gosyen Publishing :


Yogyakarta.

55. Nordström P, et al. Length of hospital stay after hip fracture and short term
risk of death after discharge: a total cohort study in Sweden. BMJ,2015.

56. Afif A. Hubungan Faktor Komorbid, Umur Dan Status Gizi Dengan Lama
Rawat Inap Pada Pasien Hernia Inguinalis Lateralis Reponibilis Yang
Dioperasi Herniorepair Tanpa Mesh Di Rs Pku Muhammadiyah Surakarta
Periode 2005-2007, Skripsi diterbitkan, Solo: Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2010.

57. Baharestani, et al. 2003. An Overview of Neonatal and Pediatric Wound


Care Knowledge and Considerations. (Online), (diakses 10 November
2013 dari: http://www.o-wm.com/ostemywoundmanagemetjournal.html,.)

58. Arifin MZ.,.Perbandingan Angka Infeksi Luka Sayatan Pascaoperasi


Ventriculoperitoneal Shunt antara Kassa Povidone Iodine 10% dengan
Salep Kloramfenikol 2% pada Penutupan Luka. JKM. Vol.10 ,2010 (1), P :
37-46. (online), (Diakses 10 juli 2015 dari:
http://majour.maranatha.edu/index.php/jurnal-
kedokteran/article/download/pp.%2037-46/pdf )

59. Fatimah S. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan terjadinya infeksi


nosokomial luka operasi di ruang Bedah RSUP Fatmawati tahun 2011.
Skripsi diterbitkan. Jakarta: Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas
Pembangunan Nasional Veteran. 2011. (online), (Diakses 13 juli 2015 dari;
http://library.upnvj.ac.id/pdf/4s1hukum/0910712023/ABSTRAK.pdf )

60. Rasyid HN. Prinsip Pemberian Antibiotik Profilaksis Pada Pembedahan,


Dipresentasikan Pada Seminar Pencegahan & Pengendalian Infeksi
Rumah Sakit, Di Rsup Dr Hasan Sadikin Bandung, Tgl 13-16 Oktober
2008. (online), (Diakses 15 juli 2015 dari: http://pustaka.unpad.ac.id/wp-
content/uploads/2011/09/pustaka_unpad_prinsip_pemberian_antibiotic_pr
ofilaksis.doc)
108

61. Utari GSR. Perbedaan Lama Rawat Inap Pasien Dengan Dan Tanpa
Komorbid Infeksi Saluran Kemih, Skripsi Diterbitkan. Semarang: Program
Pendidikan Sarjana Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro, 2013

62. Nurkusuma DD. Faktor yang Berpengaruh dalam Kejadian Methicillin –


Resistant Staphylococcus aereus (MRSA) pada Kasus Infeksi Luka Pasca
Operasi di Ruang Perawatan Bedah Rumah Sakit Dokter Kariadi
Semarang, Thesis diterbitkan. Semarang: Program Pasca Sarjana
Magister ilmu Biomedik dan proram Pendidikan Dokter-S1 Ilmu Bedah
Universitas Diponegoro, 2009. Diakses tanggal 15 juli 2015 dari:
http://eprints.undip.ac.id/28863/1/Dudy_Disyadi_Nurkusuma_Tesis

63. Apley AG, Et Al. Buku Ajar Ortopedi Dan Fraktur Sistem Apley,
Edisi 7, Jakarta: Widya Medika; 2013. P: 192

64. Sabiston DC. Buku Ajar Bedah Sabiston, jilid 1, Jakarta: EGC, 2012

65. Biondi A, et al. Laparoscopic-Assisted Versus Open Surgery for Colorectal


Cancer: Short- and Long-Term Outcomes Comparison. Journal Of
Laparoendoscopic & Advanced Surgical Techniques, Volume 23, Number
1. 2013, P: 1-7. (Diakses 16 Juli 2015 dari:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3698686/pdf/lap.2012.0276.
pdf)

66. Khoironi MA. Pengaruh Ketamin Sebagai Anestetikum Terhadap Kadar


Gula Darah Pada Penderita Diabetes Mellitus, Proposal tidak diterbitkan,
Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, 2005. (Diakses
16 juli 2015 dari:
http://eprints.undip.ac.id/19014/1/Muhammad_Auli_Khoironi.pdf )

67. Yuwono. Pengaruh Beberapa Faktor Risiko Terhadap Kejadian Surgical


Site Infection (SSI) Pada Pasien Laparotomi Emergensi. JMJ, Vol.1,
Nomor 1, Mei 2013, Hal: 18

68. Potter PA., Perry AG. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan:
Konsep, Proses, dan Praktik. Edisi 4, Volume 2. Alih Bahasa oleh Yasmin
Asih,dkk. EGC: Jakarta.

69. DiPietro LA., Guo S, 2010. Factor Affecting Wound Healing. Center for
Wound Healing and Tissue Regeneration, Department of Periodontics,
109

College of Dentistry (MC 859), University of Illinois at Chicago. 89(3):219-


229.

70. Anderson K, Hamm RL. 2014. Factor That Impair Wound Healing. The
Journal of the American College of Clinical Woun Specialist, (online), Vol.
$, P(85-86) : 84-91

71. Echazarreta G, Manueka GE, Elena DC, Antonio J, Manuel J. 2015.


Appendicitis Management Protocol. Universitas Zaragoza Hospital, Brazil,
P 16; 1-21

72. Indayani. Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan dan Sikap Ibu Post
Partum dengan Pelaksanaan Mobilisasi Dini Di RSUD Syeikh Yusuf Gowa,
Skripsi Diterbitkan, Makassar: Program Studi Diploma IV Sekolah Tinggi
Ilmu Kesehatan Mega Rezky Makassar,2016.

73. Thelwall S., Harrington P., Sheridan E., Lamagni T, 2015. Impact of Obesity
on The Risk of Infection Following Surgery : results from a nationwide
prospective multicentre cohort study in England. Department of Healthcare
Associated Infection and Antimicrobial Resistance, Public Health England,
London, UK (Online), (diakses 12 Agustus 2018 dari https://ac.els-
cdn.com/S1198743X15007193/1-s2.0-S1198743X15007193-main.pdf?
_tid=8846c4a2-a864-4a9b-969a-
14ccdb138395&acdnat=1534087775_5c172099484531ba7a313ed364442
b65.)

74. Bayhan Z, Kocak C, et al. 2016. Does Neutrophil to Lymphocyte Rasio


Predict Hospital Stay in Appendectomy Patients. Department of General
Surgery, Abant Izzet Baysal University Medical School, 14280, Golkoy,
Bolu, Turkey. 101; 222-226

75. Struwick X, Powell BC, Cowin AJ. 2006. Role of Sex Hormone in Acute and
Chronic Wound Healing. Skin Biology Laboratory Child Health Research
Institute, Primary Intention. Vol. 14, No.1, P 35;35-38.

76. Gilliver SC, Ashworth JJ, Ashcroft GS. 2007. The hormonal regulation of
cutaneous wound healing. Clin Dermatol 25:56-62.
110

77. Hardman MJ, Ashcroft GS. 2008. Estrogen, not intrinsic aging, is the major
regulator of delayed human wound healing in the elderly. Genome Biol
9:R80

78. Ghnnam WM, 2011. Elderly versus Young Patiend Appendicitis 3 years
experience. Alexandria Journal of Medicine, (Online). Vol 48,
(http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2090506811001047,
diakses 20 Agustus 2018)

79. Jannah MU. 2016. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Lama


Perawatan Penderita Pasca Appendisitis di RSUD Undata dan RSU
Anutapura Tahun 2016, Fakultas Kedokteran Universitas Alkhairaat Palu.
(Skripisi di terbitkan), P: 47- 48.

80. Valencia I, Falabela P, Lawrence S. 2001. New Development in Wound


Care for Infant and Children. Pediatric Journals: Proquest Medical Library.
(Online), (http://www.proquest.umi.com, diakses 20 Agustus 2018.)

81. Goldman RJ: Hyperbaric oxygen therapy for wound healing and limb
salvage: a systematic review. PMR. 2009;1(5):471–489

82. Shipman AR, Millington GW. 2011. Obesity and the skin. Br J Dermatol.
(online) ;165(4):743–750.
(https://onlinelibrary.wiley.com/doi/pdf/10.1111/j.1365-2133.2011.10393.)

83. Syamsiatun NH, Hadi H, Julia M. 2004. Hubungan antara Status Gizi
dengan Status Pulang dan Lama Rawat Inap Pasien Apendectomi di
Rumah Sakit. Jurnal Gizi Klinik Indonesia, (online), Vol. 1, No. 1
(https://journal.ugm.ac.id/jgki/article/view/15358/10306, diakses 20 Agustus
2018)

84. Yusuf N. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi proses penyembuhan


Luka Post Appendectomy di RSUD Prof. Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo
Tahun 2013.

85. Wetzler C, Kampfer H, Stallmeyer B, Pfeilschifter J, Frank S. 2000. Large


and sustained induction of chemokines during impaired wound healing in
the genetically diabetic mouse: prolonged persistence of neutrophils and
macrophages during the late phase of repair. J Invest Dermatol. Aug
2000;115(2):245–253
111

86. Singer AJ, Clark RA. 2011. Cutaneous wound healing. N Engl J Med. Sep 2
1999, (online);341(10):738–746
(https://www.nejm.org/doi/10.1056/NEJM199909023411006. Diakses 20
agustus 2018)

87. Genco RJ, Grossi SG, Ho A, Nishimura F, Murayama Y. 2005. A proposed


model linking inflammation to obesity, diabetes, and periodontal infections.
J Periodontol. Nov 2005;76(11 suppl l):2075–2084
(https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1902/jop.2005.76.11-S.2075
diakses 20 agustus 2018)

88. Rahmayati E, Al Asbana Z, Aprina. 2017. Faktor-faktor yang Berhubungan


Dengan Lama Perawatan Pasien Post Operasi di Ruang Inap Bedah RSUD
Dr. H. Abdul Moeloek Tahun 2017. Jurnal Keperawatan Poltekes
Tanjungkarang. Vol. 13, No. 2. P; 201.

89. Mitrawati T, Andoko, Hermawan D. 2015. Hubungan Mobilisasi Dini dengan


Lamanya Penyembuhan Post Operasi Apendiktomi di Ruang Bedah RSUD
Jend. A. Yani Metro Tahun 2015. Jurnal Kesehatan Holistik Universitas
Malahayati. Semarang. Vol 9, No. 2, April 2015 P 74: 71-75

90. Carpenito, Lynda J. 2000. Buku Diagnosa Keperawatan. Editor Monica


Ester. EGC : Jakarta.

91. Ditya , Zahari A, Afriwardi. 2016. Hubungan Mobilisasi dini dengan Proses
Penyembuhan Luka pada Pasien Pasca laparatomi di Bangsal Bedah Pria
dan Wanita RSUP Dr. M. Djamil Padang. Fakultas Kedokteran Universitas
Andalas., Artikel Penelitian, P 724; 724-729.

92. Solikin. 2010. Analisis Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan


Pelaksanaan Mobilisasi Dini Pasien Pasca Bedah Digestif di RSUD Ulin
Banjarmasin. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai