BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
dan merupakan penyebab tersering nyeri akut abdomen yang tersering dan
dapat mengenai semua usia dengan angka kejadian tertinggi pada usia 20-30
Gejala awal apendisitis akut adalah rasa nyeri tumpul atau rasa tidak
kuadran kanan bawah diikuti atau bahkan diawali gejala lain seperti demam,
anoreksia, mual dan muntah. Evaluasi yang baik dari apendisitis akut dapat
dewasa. Jenis tindakan bedah yang umum dilakukan pada kasus apendisitis
tanpa komplikasi.20
2
dengan insiden 1,1 kasus per 1000 penduduk pertahun. Di RSUD Undata Palu
penderita apendisitis pada tahun 2013 berjumlah 107, dan 2015 berjumlah 87
orang.9,10,11,14,15
dilaporkan ada 30 orang pada tahun 2016 dan 29 orang pada tahun 2017
sedangkan di RSU Anutapura palu dilaporkan 315 orang pada tahun 2016 dan
pasca operasi dan memerlukan waktu untuk sembuh secara total dengan
perawatan yang berkelanjutan dan menentukan lama hari rawat inap di rumah
sakit. (Potter et al, 2006). Lama Perawatan atau Lama Hari Rawat Inap adalah
berapa hari lamanya dirawat dalam satu periode perawatan dan mengukur
durasi lama rawat inap pasien Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
lama rawat inap antara lain antara lain penyembuhan luka pasca pembedahan,
B. Perumusan Masalah
apendektomi akan berlangsung lama dan hal ini juga akan mengakibatkan
dampak pada lama hari rawat yang panjang. Semakin lama masa rawat inap
pasien maka semakin besar biaya yang dikeluarkan untuk biaya pengobatan
rawat khususnya pasien post apendektomi belum diketahui dengan pasti yang
C Pertanyaan Penelitian.
D. Hipotesis
post apendektomi di bagian bedah RSUD Undata dan RSU Anutapura Palu
Tahun 2018.
E. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan lama perawatan
2. Tujuan Khusus :
a. Mengetahui hubungan jenis kelamin penderita dengan lama perawatan
F. Manfaat Penelitian.
1. Pengembangan Ilmu
a. Untuk Peneliti
Penelitian ini dapat menjadi bahan pembelajaran bagi peneliti baik dari segi
2. Aplikasi
1. Sistematika penulisan
Bab III berisi tentang metode penelitian yang digunakan dalam melakukan
penelitian ini, Bab IV berisi tentang hasil dan pembahasan penelitian, Serta
2. Organisasi penulisan
a. Penulisan proposal
d. Mengirim surat izin penelitian ke kantor Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan
g. Mengurus surat izin penelitian di RSUD Undata dan RSU Anutapura Palu
h. Meminta izin kepada Penanggung jawab RSUD Undata dan RSU Anutapura
Palu
Anutapura Palu
k. Penulisan skripsi
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Appendisitis
a. Definisi
b. Anatomi Apendiks.
bagian proksimal dan melebar di bagian distal. Namun demikian, pada bayi,
appendicitis pada usia itu. Pada 65% kasus, apendiks terletak intraperitoneal.
Permukaan dalam atau mukosa secara umum sama seperti mukosa kolon,
berwarna kuning muda dengan gambaran nodular, dan komponen limfoid yang
berasal dari medula spinalis torakal bagian kaudal, dan serabut parasimpatis
berasal dari kedua nervus vagus. Serabut saraf aferen dari apendiks
Gejala klinis appendicitis sendiri ditentukan oleh letak apendiks. Oleh karena
4,5
itu, nyeri visceral pada appendicitis bermula di sekitar umbilikus.
12
patileal (5%), paracaecal (2%), anteileal (2%) dan preleal (1%). Pendarahan
kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena thrombosis pada infeksi
c. Histologi Apendiks
eksterna, dan lapisan serosa. Mukosa apendiks terdiri dari satu lapis sel epitel
di permukaan. Pada lapisan epitel ini terdapat sel- sel absorbtif, sel-sel goblet,
sel-sel neuro endokrin, dan beberapa sel paneth. Lamina propria dari mukosa
tersusun dari lapisan selular dengan banyak komponen sel-sel migratori, dan
terutama pada apendiks individu berusia muda berbeda halnya dengan usus
pada apendiks.7
Lapisan ini tersusun oleh jaringan serat kolagen dan elastin yang longgar,
dominan pada lapisan ini. Pembuluh limfatik terdapat dibawah dasar dari folikel
limfoid. Di lapisan ini juga terdapat struktur neural berupa pleksus Meissner.
Pleksus saraf ini terdiri dari ganglia, sel-sel ganglion, kumpulan neuron dengan
Lapisan otot polos yang tebal berada diantara submukosa dan serosa,
sebelah luar. Pada lapisan ini sering terlihat degenerasi granular sitoplasmik
eosinofilik terutama pada lapisan sirkular. Di antara dua lapisan otot ini
tambahan, pembuluh limfatik dan pembuluh darah juga terdapat pada lapisan
ini.7
Lapisan terluar dari apendiks adalah lapisan serosa, diantara lapisan serosa
dan muskularis eksterna terdapat regio subserosal, yang terdiri dari jaringan
infeksi. Tetapi karena jumlah jaringan limfe pada apendiks vermiformis kecil
Seperti struktur usus besar, apendiks terdiri dari sel-sel migratori di lapisan
lamina propria dari mukosa, yang terutama terdiri dari sel plasma dan limfosit
limfoid pada apendiks juga berfluktuasi sesuai dengan usia, pada bayi baru
lahir, apendiks hanya mengandung sedikit atau bahkan tidak ada jaringan
untuk hal ini, misalnya pada orang yang lebih tua, masih terdapat jaringan
e. Etiologi
dari mukosa dan stagnansi dari material tersebut. Hal ini kemudian akan
keutuhan epitel dan invasi bakteri ke dinding apendiks. Bakteri intestinal yang
tinggi. Dalam beberapa jam, kondisi ini dapat semakin parah karena trombosis
disebabkan antara lain oleh infeksi virus (cth: campak), pajanan barium, cacing
(pinworms, Ascaris, Taenia) dan tumor yang juga dapat mengobstruksi lumen
Terjadinya obstruksi pada apendiks juga dapat terjadi karena benda asing
seperti permen karet, kayu (biasanya lebih umum ditemukan pada anak-anak),
tumor primer bisa terjadi, yang termasuk ke dalam tumor apendiks adalah
f. Epidemiologi.
tahun dengan insiden 1,1 per 1000 penduduk pertahun dan di Inggris sekitar
40.000 pertahun. Terjadi 7% dari populasi Amerika Serikat dengan insiden 1,1
gastritis, dan duodenitis dengan jumlah pasien rawat inap sebanyak 28.040.
apendisitis paling tinggi terdapat pada usia 10-30 tahun, dan jarang ditemukan
pada anak usia kurang dari 2 tahun. Setelah usia 30 tahun insiden apendisitis
menurun, tapi apendisitis dapat terjadi pada setiap kelompok usia. Pada
remaja dan dewasa muda rasio perbandingan antara laki-laki dan perempuan
Insidensi apendisitis akut di Bandung ada 129 kasus pada tahun 2016. 12,13.
20
500
450
400
350
300
250
200
150
100
50
0
2016 2017
RSUD Undata Palu penderita appendisitis pada tahun 2016 berjumlah 107
orang dan tahun 2017 berjumlah 54 orang. Di RSU Anutapura Palu berjumlah
434 orang pada tahun 2016 dan 310 0rang pada tahun 2017. 14,15
g. Klasifikasi.
1) Apendisitis akut.
appendiks jadi menebal, edema, dan kemerahan. Gejala diawali dengan rasa
dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik Mc
Burney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan
defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda- tanda
peritonitis umum.16,17
Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai
2) Apendisitis rekuren.
patologi menunjukan peradangan akut. Kelainan ini dapat terjadi bila serangan
akut.1,16,17
3) Apendisitis kronis.
Apendisitis kronik adalah nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu atau
nyeri perut kanan bawah yang biasa terjadi secara berulang. Diagnosa
apendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika ada riwayat serangan nyeri
berulang di perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik appendiks
infiltrasi sel radang limfosit dan eosinofil pada sub mukosa, muskularis propia,
h. Patofisiologi.
supuratif akut. Bila aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks
i. Gambaran klinis.
1) Nyeri
2) Anoreksia
3) Abdominal tenderness.
ditemukan pada kuadran kanan bawah akan tetapi gejala ini merupakan gejala
nonspesifik. Nyeri pada kuadran kiri bawah ditemukan pada pasien dengan
situs inversus atau yang memiliki apendiks panjang.Gejala ini tidak ditemukan
4) Febris
Temperatur tubuh berkisar antara 37,2 oC – 38oC, tetapi suhu > 38,3oC
j. Pemeriksaan fisik
1) Inspeksi
komplikasi perforasi. Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada massa
2) Auskultasi
Peristaltik usus sering normal. Peristaltic dapat hilang pada ileus paralitik
3) Palpasi
26
Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan kuadran bawah atau titik Mc
Rebound tenderness (nyeri lepas tekan) adalah rasa nyeri yang hebat
(dapat dengan melihat mimik wajah) di abdomen kanan bawah saat tekanan
retroperitoneal, defans muscular mungkin tidak ada, yang ada nyeri pinggang.
a) Rovsing sign
Penekanan perut kiri bawah terjadi nyeri perut kanan bawah, karena
b) Blumberg sign
27
Disebut juga dengan nyeri lepas. Palpasi pada kuadran kiri bawah atau
kolateral dari yang sakit kemudian dilepaskan tiba-tiba, akan terasa nyeri pada
kuadran kanan bawah karena iritasi peritoneal pada sisi yang berlawanan.23
c) Psoas sign
(1) Aktif : Pasien telentang, tungkai kanan lurus ditahan pemeriksa, pasien
memfleksikan articulation coxae kanan, psoas sign (+) bila terasa nyeri
d) Obturator sign
Dilakukan dengan menyuruh pasien tidur telentang, lalu dilakukan gerakan
fleksi dan endorotasi sendi panggul atau articulation coxae. Obturator sign (+)
bila terasa nyeri di perut kanan bawah.
k. Pemeriksaan Penunjang.
dan 93% pasien apendisitis perforasi. Namun kriteria ini juga dapat ditemukan
pada 62% pasien nyeri abdomen yang bukan apendisitis. Pemeriksaan jumlah
30
2) Pemeriksaan Radiologi
prediksi positif berkisar antara 6- 46 dan nilai prediksi negatif berkisar antara
0.08-0.30. Menurut studi metaanalisi, USG dapat dijadikan sebagai salah satu
Temuan dengan USG pada apendisitis akut adalah antara antara lain:
l. Skor Diagnostik.
1) Skor Alvarado.
Alfredo Alvarado pada tahun 1986 membuat sistem skor yang didasarkan
atas tiga gejala, tiga tanda dan dua temuan laboratorium sederhana yang
sering didapatkan pada apendisitis akut. Skor ini terdiri dari 10 poin dengan
a) Skor 7-10 (emergency surgery group) : Semua penderita dengan skor ini
b) Skor 5-6 (observation group) : Semua penderita dengan skor ini dirawat
berulang terhadap data klinis dan skoring. Jika kondisi pasien membaik
c) Skor 1-4 (discharge home group) : Penderita pada kelompok ini setelah
Total 10
nilai prediksi positif sebesar 84,3%. Chong, et al., (2010) melakukan penelitian
pada skor Alvarado. Dari hasil penelitian yang didapatkan secara statistik
menunjukkan skor Alvarado memiliki nilai sensitivitas 68%, nilai duga negatif
33
Alvarado memiliki nilai sensitifitas yang lebih rendah pada pasien dengan usia
wanita reproduksi dan orang tua memberikan hasil lebih baik atau lebih unggul
daripada skoring Alvarado. Hal ini dikarenakan variabel pada skoring AIR lebih
nyeri yang sifatnya subjektif, sedangkan pada skoring AIR hal ini
oleh skoring AIR data yang diperoleh berdasarkan data prospektif, variabel
bersifat objektif dan lebih spesifik, serta memiliki kekuatan diskriminasi yang
Castro de, (2012) mengatakan nilai ROC yang dicapai oleh skoring AIR
mencapai 0.96 lebih unggul dibandingkan dengan Alvarado skor 0,82. Chong,
skoring AIR 96 %, 99%, dan 97%. Pada skor AIR didapatkan variabel C –
Reactive Protein (CRP) yang tidak terdapat pada skor Alvarado, dimana
a) Skor AIR 0-4 (low probability) : Kelompok pasien yang tidak menderita
apendisitis akut.
b) Skor AIR 5-8 (intermediate group) : Semua penderita dengan skor ini
dirawat inap dan dilakukan observasi selama 24 jam dan di evaluasi secara
berulang terhadap data klinis dan skoring. Jika kondisi pasien membaik
apendisitis akut.
35
1. Vomiting 1
2. Pain in RLQ 1
5. Polymorphonuclear leukocytes
70-84% 1
≥ 85% 2
6. WBC count
>10.0 x 109/l 1
≥ 15.0 x 109/l 2
7. CRP concentration
10-49 g/l 1
≥ 50 g/l 2
Total score 12
m. Penatalaksanaan.
36
1) Penanggulangan konservatif
2) Operatif
Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan apendisitis maka tindakan
a) Apendektomi Konvensional
b) Apendektomi Laparoskopik
n. Komplikasi.
1) Massa periapendikuler.
atau dibungkus oleh omentum atau lekuk usus halus. Pada massa
37
terjadi penyebaran pus ke seluruh rongga peritoneum jika perforasi diikuti oleh
2) Apendisitis perforasi.
demam tinggi, nyeri makin hebat yang meliputi seluruh perut, perut menjadi
tegangdan kembung,. Nyeri tekan dan defans muskuler terjadi diseluruh perut ,
2. Apendektomi
a. Definisi
baik bersifat akut maupun kronik. Teknik apendektomi dengan irisan Mc.
b. Teknik Operasi
irisan pada bagian perut kanan bawah, panjang sayatan kurang lebih adalah
lalu apendiks dibebaskan dari caecum lalu diangkat. Jaringan tempat apendiks
2) Angkat sonde lambung bila pasien telah sadar sehingga aspirasi cairan
4) Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan, selam
pasien dipuasakan
7) Satu hari pascar operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak di tempat
8) Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk di luar kamar
39
nasogastrik harus digunakan jika ada muntah yang berat atau perut
d. Epidemiologi
Laparatomi
Elektif
Ngowe,N.M., Cameroon, Bagian Bedah
3. 2014 37.9%
et al Afrika Umum
Bagian Bedah
4 Baison, G.N. 2015 Rwanda,Afrika 65 %
Umum
Angka kejadian kasus laparatomi selama dua tahun di Nepalgunj dari 177
peptikum, perforasi enterik dan apendikular) diikuti oleh apendisitis akut dan
orang pada tahun 2017 Di RSUD Undata palu sedangkan pada RSU
Anutapura palu dilaporkan 315 orang pada tahun 2016 dan 189 orang pada
tahun 2017.34,35,36,14,15
e. Indikasi
41
komplikasi.37,38
Biasanya muncul pada hari ke-10 post operasi atau bisa juga sebelumnya,
sebelum jahitan insisi tersebut diangkat. Abses ini dapat superfisial atau lebih
dalam. Jika dalam ia dapat berupa massa yang teraba dibawah luka, dan
Biasanya jahitan akan terkubur didalam kulit sebagai hasil dari edema dan
proses inflamasi sekitarnya. Infeksi luka sering muncul pada 36 jam sampai 46
3) Gas Gangrene
42
Biasanya berupa rasa nyeri yang sangat pada luka operasi, biasanya 12
4) Hematoma
Kejadian ini kira-kira 2% dari komplikasi operasi. Keadaan ini bisa hilang
dengan sendirinya.
5) Keloid Scar.
Keloid adalah kelainan kulit yang terjadi akibat deposisi kolagen secara
peningkatan pigmentasi kulit akibat genetik, trauma pada kulit, baik fisik
(misalnya penindikan dan bedah) dan patologis (jerawat dan cacar air),
antara 0% sampai 3% dan biasanya lebih umum terjadi pada pasien lebih dari
60 tahun.
43
a) Hemostasis
darah yang rusak. Hemostasis terdiri dari tiga proses utama yaitu spasme
akan menjadi aktif akibat kolagen yang terpajan dan melekat pad endotel
membentuk jala longgar dan menjerat sel-sel darah. Jala-jala fibrin awalnya
lemah namun dengan cepat dikatalisis oleh pembentukan faktor XIII yang
b) Inflamasi
Tujuan akhir fase peradangan atau inflamasi adalah membawa fagosit dan
(1) Vasodilatasi
oleh histaminyang dibebaskan oleh sel mast dan bradikinin dan anafilaktoksin
c3a dan c5a yang dirilis oleh proses menyebabkan vasodilatasi dan
meningkatkan aliran darah lokal yang membawa lebih banyak leukosit fagositik
Sel darah putih yang pertama mencapai luka yaitu PMN yang memulai
proses fagosit. Selanjutnya, jenis fagosit lain yang akan mendominasi adalah
sel debris dan patogen, merangsang limfosit dan sel kekebalan lainnya,
makrofag juga berpengaruh dalam mengurangi bekas luka, oleh karena tidak
berupa asam askorbat, hidroksi peroksida, dan asam laktat sebagai akibat dari
untuk merangsang lebih banyak makrofag sehingga luka akan sembuh tanpa
c) Proliferasi
fibroplasia. 44,45
Dalam kondisi normal, peristiwa ini terjadi dalam waktu 4 hari setelah cedera
dan tujuan utama pengobatan untuk meminimalkan semua faktor yang dapat
memperpanjang peradangan.44,45
PDGF yang berasal dari platelet . fibroblas berasal dari jaringan mesenkim,
bermigrasi ke dalam luka. Pada fase ini terjadi tiga proses yang berlangsung
secara stimulan yaitu epitelisasi, kontraksi luka dan produksi kolagen. 44,45
47
KGF yang berperan dalam stimuasi mitosis sel epidermal. Kreatinisasi akan
askorbat, dan konfaktor lain seperti zinz, iron, dan copper juga sangat
dibutuhkan. Pada fase ini terjadi proses pematangan, udem dan sel radang
diserap kembali, sel muda menjadi matang, kapiler baru menutup dan terserap
regangan, sehingga dihasilkan jaringan parut yang pucat, tipis dan lentur, serta
antara produksi dan degradasi. Kolagen baru dibuat sedangkan kolagen lama
produksi yang berkurang akan menurunkan kekuatan jaringan parut. Proses ini
Lama Perawatan atau Lama Hari Rawat inap LOS (Length of Stay =Lama
Hari Rawat) adalah berapa hari lamanya dirawat dalam satu periode
Dari penelitian yang dilakukan oleh Islam dan Limpo pada tahun 2001
menyatakan bahwa lama hari rawat pada pasien post operasi bervariasi yaitu
tujuh sampai 30 hari dengan rata-rata hari rawat antara tujuh sampai 14 hari.
Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nursiah (2010) di
tujuh sampai 14 hari sebanyak 74,2% dan lama perawatan jangka panjang
yaitu, lebih dari 14 hari, sebanyak 25,8%. Dimana pada lama perawatan
singkat ditemukan pada pasien yang menjalani mobilisasi dini, pasien yang
49
perawatan luka menggunakan teknik steril, dan frekuensi perawatan luka dua
kali sehari. Sedangkan indikator lama hari rawat menurut Depkes RI (2009)
idealnya adaah 6-9 hari dan untuk lama hari rawat apendektomi idealnya 3-5
hari.48,49
pulang (keluar dari rumah sakit, baik hidup ataupun meninggal) dengan
berikut :47,48
Dimana :
X : Jumlah hari perawatan pasien rawat inap (hidup dan mati) di rumah sakit
Y : Jumlah pasien rawat inap yang keluar ( hidup dan mati ) di rumah sakit
Untuk menghitung jumlah pasien rawat inap yang keluar (hidup atau
meninggal) dalam waktu tertentu diperlukan catatan pasien yang keluar rumah
sakit dari tiap-tiap ruangan rawat inap dan jumlah lama perawaatan pasien
rawat inap yang keluar dari rumah sakit dan jumlah total hari dirawatnya. 47,48
50
Hari rawat yang pendek akan memberi keuntungan antara lain penghematan
biaya dan sumber yang lebih sedikit terhadap rumah sakit terutama bagi
pasien sendiri. Semakin lama masa rawat inap pasien maka semakin besar
Beberapa istilah yang berkaitan dengan indikator LOS atau Lama Hari
Adalah penerimaan secara resmi seorang penderita oleh pihak rumah sakit
pelayanan perawatan yang terus menerus serta fasilitas lain di rumah sakit
2) Pemulangan Pasien
Pelepasan secara resmi seorang penderita oleh pihak rumah sakit sebagai
3) Lama Hari Rawat Seorang Pasien (Length of Stay for One Patient)
pengelolaan rumah sakit bersama dengan tiga indikator lainnya yaitu lamanya
rata-rata tempat tidur tidak terisi (Turn Over Interval), presentase tempat tidur
yang terisi atau presentase tingkat hunian tempat tidur (Bed Occupancy Rate),
dan pasien yang dirawat keluar dalam keadaan hidup dan mati per tempat
4) Diagnosa
Adalah suatu istilah dalam dunia kedokteran yang lazim digunakan oleh
tenaga medis untuk mengenal suatu penyakit yang diderita oleh pasien, atau
perawatan medis.
pengelolaan rumah sakit bersama dengan tiga indikator lainnya yaitu lamanya
rata-rata tempat tidur tidak terisi (Turn Over Interval), presentase tempat tidur
yang terisi atau presentase tingkat hunian tempat tidur (Bed Occupancy Rate),
dan pasien yang dirawat keluar dalam keadaan hidup dan mati per tempat
akibat sayatan pada bedah menimbulkan luka yang berukuran besar dan
perawatan berkelanjutan.52
Untuk pasien yang menjalani bedah sehari, pemulihan normalnya terjadi hanya
dalam satu sampai dua jam, dan penyembuhan dilakukan di rumah. Untuk
pasien yang dirawat di rumah sakit, pemulihan terjadi selama beberapa jam
dan penyembuhan berlangsung selama satu hari atau lebih, tergantung pada
sebelum dibawa ke ruang rawat inap. Pada ruang pemulihan tahap I, pasien
akan membutuhkan pemantauan ketat dan biasanya hal yang sering dikaji
kondisi luka, dan tingkat nyeri. Waktu rata-rata yang diperlukan untuk
pemulihan tahap I adalah satu jam, jika tidak ada komplikasi. Setelah kondisi
pasien sudah stabil dan tidak lagi membutuhkan pemantauan ketat, perawat
Dalam Potter dan Perry (2006), beberapa tujuan perawatan post operatif
adalah :
Lama rawat inap pasien post operasi merupakan jumlah hari rawat pasien
sejak menjalani operasi sampai saat pasien sembuh dan dapat dipulangkan. 53
Salah satu hal penting dalam penatalaksanaan pasien post bedah adalah
hari rawat yang sangat membebani pasien dan keluarga dengan penanganan
mempercepat penyembuhan pasien dan hal ini juga akan mengakibatkan lama
b. Status Gizi
terutama jaringan lemak sangat rentan terhadap infeksi. Selain itu obesitas
terjadi dehisensi dan infeksi luka yang menyebabkan hari rawat inap menjadi
lebih panjang.54
55
c. Usia
Makin besar besar usia penderita mempengaruhi lama hari rawat lebih
lama. faktor usia mempengaruhi panjang lama hari rawat pasien bedah, usia
sifat resistensi tertentu. Di samping itu, usia juga mempunyai hubungan yang
erat dengan beragam sifat yang dimiliki oleh seseorang. Perbedaan penyakit
Faktor usia mempengaruhi panjang lama hari rawat pasien bedah. Pasien
lanjut usia ≤ 65 tahun cenderung lebih panjang lama hari rawatnya daripada
pasien berusia muda dan Usia menjadi predaktor terkuat dari risiko kematian
Pola penyembuhan usia muda post operasi lebih cepat pada usia tua. Hal
ini dikarenakan pada usia muda jumlah fibroblast dan kolagen lebih banyak
dan lebih cepat dalam pembentukan jaringan granulasi daripada usia tua. 57
1) Waktu operasi.
56
sayatan operasi dengan bakteri. Infeksi luka operasi 25% menampakan gejala
saat terinfeksi dirumah sakit dengan masa inkubasi lebih lama, meningkatnya
meningkatkan infeksi luka operasi, sehingga lama hari rawat akan lebih
panjang. 47,58,59
2) Penggunaan antibiotik
pasien lebih panjang akibat penggunaan antibiotik yang tidak rasional. 60,61
3) Peralatan operasi.
kebersihan dan sterilitas, tata letak dan kondisi alat, alat-alat tersebut
4) Tehnik operasi
infeksi luka operasi lebih besar, selain hal tersebut semakin beragam tehnik
lebih cepat waktu pemulihanya dari pada teknik operasi terbuka , Bedah
kebutuhan yang lebih rendah dari analgesik dan mengurangi lama waktu
pemulihan.65
5) Penyakit penyerta.
gangguan faal hati, gangguan faal ginjal mempunyai resiko infeksi dan
yang berakibat hiperglikemi selama operasi sehingga lama rawat inap pasien
semakin lama.59,66
6) Jenis Operasi
sedangkan operasi jenis cyto atau emergensi persiapannya tidak sebaik pada
58
operasi tersebut kurang optimal dan resiko terjadinya infeksi luka operasi
Penyakit akut dan kronis mempunyai lama hari rawat berbeda, dimana
kasus kronis memerlukan hari rawat lebih lama , demikian dengan penyakit
tunggal pada satu penderita dengan lama perawatan lebih pendek yang
e. Mobilisasi dini
sikap, gaya berjalan, latihan maupun kemampuan aktivitas (Potter et al, 2006).
fisiologis
59
Mobilisasi dini yang dapat dilakukan yaitu ROM, napas dalam dimana
bergerak, hal ini akan mencegah kekakuan otot dan sendi sehingga
Menggerakkan badan atau melatih otot-otot dan sendi post operasi di sisi
lain akan menyehatkan pikiran dan mengurangi dampak negatif dari beban
psikologis yang tentu saja berpengaruh baik terhadap pemulihan fisik. Hasil
tentu setelah pasien sadar atau anggota gerak tubuh dapat digerakkan
fisik bisa dilakukan di atas tempat tidur dengan menggerakkan tangan dan kaki
Pada 12 jam sampai 24 jam berikutnya atau bahkan lebih awal lagi badan
sudah bisa diposisikan duduk, baik bersandar maupun tidak dan fase
selanjutnya duduk diatas tempat tidur dengan kaki yang dijatuhkan atau
60
seharusnya sudah biasa berdiri dan berjalan di sekitar kamar atau keluar
kamar, misalnya berjalan sendiri ke toilet atau kamar mandi dengan posisi
Bergerak post operasi selain dihambat oleh rasa nyeri terutama di sekitar
lokasi operasi, bisa juga oleh karena beberapa selang yang berhubungan
berhubungan dengan jenis operasi yang dijalani. Namun paling tidak dokter
itu tahap demi tahap seiring dengan perhitungan masa mobilisasi ini.
61
B. Kerangka Teori
post apendektomi karena usia penderita, jenis kelamin, status gizi dan
mobilisasi dini.
luka dengan mengatur berbagai gen yang terkait dengan regenerasi, produksi
dengan peradangan.
kekuatan luka.69
difusi oksigen dan nutrisi terjadi penurunan di daerah perifer sehingga terjadi
Faktor status gizi yaitu pada seseorang dengan status gizinya obesitas
aktifitas fagositosis saat respons inflamsi dan faktor mobilisasi dini yang dapat
C. Kerangka Konsep
Faktor Internal
Jenis Kelamin
Usia
Status Gizi
Lama Perawatan
Penyakit Penderita Post
Penyerta Apendektomi
64
Faktor Eksternal
Mobilisasi Dini
Faktor internal adalah faktor yang berasal dari host sedangkan faktor faktor
eksternal yang berada di luar host. Faktor internal dan eksternal merupakan
dalam penelitian ini adalah lama perawatan. Adapun faktor internal yang
dimaksudkan adalah jenis kelamin, usia, penyakit penyerta, dan status gizi.
Sementara untuk faktor eksternal yang berkaitan dengan lama rawat inap
D. Definisi Operasional
Adalah periode lama pasien dirawat di rumah sakit (dalam hari), dihitung mulai
dari penderita setelah operasi sampai pasien pulang dari rumah sakit. Standar
49
ideal lama hari rawat apendektomi adalah 3 – 5 hari dan dicatat di case
report
yang telah dilakukan pembedahan apendektomi oleh dokter ahli Bedah umum,
dari buku registrasi penderita di RSUD Undata dan RSU Anutapura Palu dan
3. Jenis Kelamin
Yang dimaksud dengan jenis kelamin pada penelitian ini adalah berdasarkan
hasil observasi ada tidaknya tanda-tanda kelamin laki-laki dan di catat pada
digit 2 dari no kode subjek pada case report dan kuisuiner dengan kriteria
obyektif :
4. Usia
66
Yang dimaksud dengan umur pada penelitian ini adalah lama hidup mulai dari
lahir sampai saat penelitian, dinyatakan dalam tahun yang dapat dilihat dari
Kartu tanda penduduk atau identitas lainnya, kemudian di catat pada digit 3 di
5. Status Gizi
Yang dimaksud dengan status gizi pada penelitian ini adalah keadaan gizi
- Laki-laki : 29,3 cm
- Perempuan : 28,5 cm
Kriteria Objektif
a. Kurang : <90%
b. Normal : 90-100%
67
c. Lebih : 110-120%
6. Penyakit penyerta
melitus, kanker, gangguan faal hati, gangguan faal ginjal yang mempunyai
resiko infeksi dan komplikasi lebih besar akibat stress anestesi dan
faal ginjal.
7. Mobilisasi dini
Yang dimaksud dengan mobilisasi dini pada penelitian ini adalah pergerakkan
badan atau melatih otot-otot dan sendi pasca operasi di sisi lain yang
BAB III
METODE PENELITIAN
waktu pengukuran atau observasi data dalam satu kali pada satu waktu yang
2. Tempat : Penelitian ini dilakukan di ruang rawat inap bagian bedah umum
1. Populasi
2. Sample
RSUD Undata Palu dan RSU Anutapura yang memenuhi kriteria inklusi dan
1. Kriteria inklusi
2. Kriteria ekslusi.
E. Besar Sample
z2 α P (1- p) N
1−
2
n=
d 2 (N - 1) + z2 α P (1− p)
1−
2
Ket:
n = jumlah sampel minimal yang diperlukan
Z1-/2 = nilai pada distribusi normal standar yang sama dengan tingkat
kemaknaan ( = 0,05 adalah 1,96)
p0 = proporsi pada kelompok kontrol atau tidak sakit
Undata berjumlah 29 orang dan RSU Anutapura Palu tahun berjumlah 189
z2 α P (1- p) N
1−
2
n=
d 2 (N - 1) + z2 α P (1− p)
1−
2
162,53
¿
0,0025
¿ 65,012
Diketahui besar populasi penderita apendektomi yang berobat di RSUD
Undata berjumlah 29 orang dan RSU Anutapura Palu tahun berjumlah 189
G. Alur Penelitian
Informed Consent
Memenuhi Kriteria
Subyek Penelitian
Pengambilan Data
Pemeriksaan Wawancara
Case Report Kuesioner
Pengumpulan Data
73
SPSS
Analisa Data
Penulisan Hasil
Penyajian Hasil
H. Prosedur Penelitian
dirawat dibagian bedah RSUD Undata dan RSU Anutapura Palu dengan
bedah RSUD Palu dan RSU Anutapura Tahun 2018. diberikan penjelasan
Palu dan RSU Anutapura yang berpengaruh terhadap besar biaya yang
c. Tujuan : apabila terbukti ada hubungan antara jenis kelamin, usia, status
gizi, penyakit penyerta, dan mobilisasi dini maka dapat memperpendek lama
melakukan tanya jawab dan penilaian pengukuran status gizi yang diukur
e. Dijelaskan juga hak dan kewajiban subjek penelitian, terutama hak untuk
menolak menolak ikut tanpa konsekuensi dan jaminan serta keamanan data
biaya yang dibutuhhkan dalam penelitian ini akan ditanggung oleh peneliti.
inklusi dan tidak memiliki kriteria ekslusi akan diikutkan dalam penelitian
dilihat secara observasi dan dicatat di case report dan kusioner. Selanjutnya
lengan atas penderita kemudian akan ditulis di case report. Peneliti akan
6. Semua data data yang telah tertulis terkumpul akan di input ke dalam
komputer
7. pengolahan data data mengunakan program SPSS 21.0 for windows. Data
yang ada akan sangat dijaga kerahasiaannya dengan memakai nomor kode
9. Hasil penelitian kemudian disajikan secara lisan dalam ujian skripsi dan
Analisis data yang digunakan adalah untuk melihat hubungan antara jenis
kelamin, usia, status gizi, penyakit penyerta, dan imobilisasi dini dengan lama
2. Uji Chi-Square dan Uji Kruskal Walls untuk melihat hubungan antara
3. Uji Chi-Square dan Uji Kruskal Walls untuk melihat hubungan antara
2. Penderita yang akan diteliti setuju dan mempunyai hak untuk bertanya dan
ikut ataupun menolak untuk mengikuti penelitian ini, tanpa ada paksaan
report, dan kuisioer biasa yang menggunakan alat yang sangat aman sesuai
pengumpulan data (case report dan kuesioner) yang akan diisi oleh peneliti
dan semua data disimpan dengan aman dan disajikan secara lisan maupun
BAB IV
A. HASIL
1. Karakteristik Sampel
Penelitian ini dilakukan di dua rumah sakit yaitu Rumah Sakit Umum
Daerah Undata dan Rumah Sakit Umum Anutapura Palu pada 3 Juli 2018
penelitian. Data yang diperoleh antara lain lama perawatan, jenis kelamin,
Remaja Akhir dari 17-25 tahun (26,2%), Dewasa dari 25-45 tahun (46,2%),
dan Lansia dari 45-65 tahun (27,7%). Status Gizi Kurang (18,5%), Normal
No
Variabel Kategori Frekuensi Presentase
.
1 laki-laki 34 52,3
1 Jenis Kelamin
2 Perempuan 31 47,7
1 Remaja akhir 17 26,2
2 Usia 2 Dewasa 30 46,2
3 Lansia 18 27,7
1 Kurang 12 18,5
3 Status Gizi 2 Normal 43 66,2
3 Lebih 10 15,4
sebanyak 35 (53,8%) dan kelompok sampel lama perawatan lebih dari standar
yang terdapat penyakit penyerta (55,4%) dan tidak terdapat penyakit penyerta
(44,6%). Mobilisasi dini yang dilakukan (43,1%) dan tidak dilakukan (56,9%).
81
No
Variabel Kategori Frekuensi Presentase
.
1 Sesuai 53,8
35
standar
1 Lama Perawatan Lebih lama
2 dari 30 46,2
standar
Terdapat 55,4
1 penyakit
36
penyerta
2 Penyakit Penyerta Tidak
terdapat
2 29 44,6
penyakit
penyerta
1 Dilakukan
28 43,1
3 Mobilisasi Dini Tidak 56,9
2 dilakukan 37
Anutapura Palu.
penyerta, status gizi dan mobilisasi dini terhadap lama perawatan penderita
hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dan status gizi karena P>0,05
appendektomi.
Lama Perawatan
Jenis Sesuai Lebih lama Total P OR
83
post apendektomi berjenis kelamin laki-laki dengan lama perawatan lebih lama
dari standar (LOS > 5 hari) 19 orang (55,9%) lebih rendah dibandingkan
dengan lama perawatan lebih lama dari standar 11 orang (35,5%) dengan odd
0,43 kali lebih mempunyai peluang mempengaruhi lama perawatan dari pada
perawatan.
84
appendektomi.
Lama Perawatan
Sesuai Lebih lama Total P
Usia standar dari standar
(n %) (n %)
Remaja akhir 13 (76,5%) 4 (23,5%) 17
(100,0%)
Dewasa 16 (53,3%) 14 (46,7%) 30 0,011
(100,0%)
Lansia 6 (33,3%) 12 (66,7%) 18
(100,0%)
Total 35 (53,8%) 30 (46,2%) 65
(100,0%)
Keterangan: Nilai p dihitung berdasarkan uji Kruskal Wallis. Nilai bermakna.
dengan lama perawatan sesuai standar kategori remaja akhir (17-25 tahun)
orang (53,3%), dan Kategori lansia (46-65 tahun) berjumlah 6 orang (33,3%),
sedangkan Penderita dengan lama perawatan lebih lama dari standar kategori
remaja akhir (17-25 tahun) berjumlah 4 orang (23,5%), kategori dewasa (26-45
Square test dan Kruskal Wallis test dapat dilihat pada tabel 9.
Tabel 10. Hubungan status gizi dengan lama perawatan penderita post
appendektomi.
Lama Perawatan
Status Gizi Sesuai Lebih lama Total P
standar dari standar
(n %) (n %)
86
12
Kurang 6 (50,0%) 6 (50,0%)
(100,0%)
43 0,969
Normal 24 (55,8%) 19 (44,2%)
(100,0%)
10
Lebih 5 (50,0%) 5 (50,0%)
(100,0%)
65
Total 35 (53,8%) 30 (46,2%)
(100%)
Keterangan: Nilai p dihitung berdasarkan uji Kruskal Wallis. Nilai tak
bermakna.
(P>0,05) antara status gizi dengan lama perawatan yaitu status gizi penderita
lebih lama dari standar pada penderita status gizi Kurang sebanyak 6 (50%),
normal 19 orang (44,2%) dan lebih 5 orang (50%), dan frekuensi antara
penderita status gizi kurang dan baik dengan lama perawatan yang sesuai
maupun yang lebih lama dari standar mempunyai jumlah yang sama.
Tabel 11. Hubungan penyakit penyerta dengan lama perawatan penderita post
appendektomi.
Lama Perawatan
Sesuai Lebih lama
Penyakit
standar dari standar Total P OR
Penyerta
(n %) (n %)
36
Terdapat 15 (41,7%) 21 (58,3%) (100,0%)
0,028 0,321
29
Tidak
20 (69,0%) 9 (31,0%) (100,0%)
Terdapat
65
Total 35 (53,8%) 30 (46,2%)
(100,0%)
Keterangan: Nilai p dihitung berdasarkan uji chi-square. Nilai p bermakna
lama perawatan sesuai standar berjumlah 15 orang (41,7%), lebih lama dari
lebih lama dari standar 9 orang (31,0%). Odd rasio 0,321 menunjukkan
penyerta.
88
Tabel 12. Hubungan mobilisasi dini dengan lama perawatan penderita post
appendektomi.
Lama Perawatan
Mobilisasi Sesuai Lebih Total P OR
Dini standar lama dari
(n %) standar
(n %)
Dilakukan 26 (92,9%) 2 (7,1%) 28
(100,0%)
Tidak 9 (24,3%) 28 (75,7%) 37 0,000 40,444
Dilakukan (100,0%)
Total 35 (53,8%) 30 (46,2%) 65
(100,0%)
Keterangan: Nilai p dihitung berdasarkan uji chi-square. Nilai p bermakna
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa ada hubungan yang bermakna P<0,05
melakukan mobilisasi dini dengan lama perawatan lebih lama dari standar
dengan lama perawatan tidak sesuai standar berjumlah 9 orang (24,3%) dan
penderita tidak melakukan mobilisasi dini kurang 4,4 kali lebih mempunyai
mobilisasi dini mempunyai lama perawatan lama dan tidak sesuai standar.
B. PEMBAHASAN
penyembuhan luka yang cepat akan tetapi pada perempuan berusia lanjut dan
penyembuhan luka.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh bayhan
zulfu tahun 2016 di dapatkan hasil tidak ada hasil bermakna pada jenis
90
kelamin terhadap lama perawatan apendektomi Hal ini didasarkan pada hasil
penyembuhan luka adalah estrogen dan testoteron. Pada kulit, estrogen dan
androgen terbawa dalam proses proliferasi dan diferensiasi sel epitel dan
fibroblas kulit yang akibat dari penurunan regulasi migrasi makrofag inhibitor
deposisi matrix.75,76,77
penyerta dan laki-laki beusia muda dan penderita yang lama perawatannya
tidak sesuai standar yaitu penderita lansia yang mempunyai penyakit penyerta,
91
perawatan penderita
penderita post apendektomi. diperoleh dari Uji Kruskal Wallis test penelitian
menurut usia dibuktikan dengan penderita usia remaja akhir (17-25 tahun)
dengan lama perawatan sesuai standar sebanyak 13 orang dan lansia (46-65
tahun) ditemukan angka tertinggi pada lama perawatan tidak sesuai standar
sebanyak 12 orang.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh wagih
menggunakan Chi Square Test. Hal ini disebabkan terlambatnya onset gejala
yang tidak khas seperti “stomach flu” atau gastroenteritis dan penanganan
menunjukkan gejala awal yang cepat dan spesifik sehingga diagnosis cepat
ditegakkan dan tidak ada penundaan operasi yang secara tidak langsung
69,6% penderita muda dirawat < 3 hari setelah operasi sementara pada
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
uzlifafatil jannah tahun 2016 didapatkan hasil tidak ada hubungan yang
itu proliferasi keratinosit yang berkurang akan mempengaruhi turn over yaitu
jumlah hari untuk keratinosit untuk bermigrasi dari lapisan basal ke permukaan
menunjukkan jumlah fibroblas, makrofag dan sel mast yang lebih sedikit,
dan degradasi kolagen, kualitas kolagen yang tersisa juga berubah dimana
93
secara mikroskopis terlihat lebih sedikit ikatan seperti tali dan tingkat
dan sekresi terhadap Growth Factors dan sekresi sitokin yang mengakibatkan
fase remodeling jaringan pada usia lansia tedapat penurunan regulasi inhibitor
diagnosis yang lambat dengan gejala yang tidak khas pada penderita berusia
jaringan subkutan dan membutuhkan fraksi oksigen inspirasi yang lebih besar
untuk mencapai tekanan oksigen arteri yang sama pada pasien dengan berat
penyembuhan luka selain itu karena sel imun juga membutuhan oksigen yang
fibroblast tidak dapat membentuk kolagen dan sel yang bergantung pada
disimpulkan terdapat hubungan tidak bermakna antara status gizi dengan lama
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh nurul
huda syamsiatun tahun 2004 di dapatkan hasil tidak ada hubungan status gizi
terhadap lama perawatan Hal ini didasarkan pada hasil analisis dengan uji chi
dengan status gizi kurang (< 90%) dan status gizi lebih (110-120%) dengan
lama perawatan sesuai standar dan lama perawatan lebih dari standar
adanya luka tidak sembuh bukan hanya dipengaruhi oleh faktor status gizi
namun juga dipengaruhi oleh beberapa faktor-faktor lainnya seperti usia dan
penyakit penyerta.
pembentukan sel-sel epitel dan kolagen, vitamin A mengurangi efek steroid, vit
c membantu dalam sintesi kolagen dan mineral untuk pembentukan epitel dan
sehingga suplai darah ke daerah luka berkurang. Begitu pula dengan adanya
luka sembuh pada responden status gizi lebih (110-120%) yang seharusnya
lama perawatan lebih lama dari standar (LOS>5 hari), namun karena ada
faktor lain seperti usia, nutrisi yang baik, mobilisasi yang baik, dan tidak
ditemukan pada penderita saat penelitian yaitu Diabetes melitus, asma dan
hipertensi.
distribusi oksigen dan nutrisi lebih rendah terutama pada penderita dengan
fase hemostasis terjadi penurunan Platelet derived growth factor (PDGF) pada
luka.85,86,87
lama perawatan post operasi Hal ini didasarkan pada hasil analisis dengan uji
penderita tetap tidak aktif setelah pembedahan kembalinya fungsi normal usus
dapat terlambat lebih lanjut dan hal ini dapat dicegah dengan mobilisasi dini
yang menggerakan semua sendi secara bertahap secara pasif maupun aktif,
usus. 90,91
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Tia
Mitrawati pada tahun 2015, hasil analisis memperoleh nilai P <0,05 artinya ada
post apendektomi. 89
otot dan sendi sehingga dapat mengurangi nyeri, dan dapat memperlancar
penyembuhan luka cepat. Hal ini sejalan dengan pendapat para ahli bahwa
Mobilisasi sangat penting dalam percepatan hari rawat dan mengurangi resiko
pernapasan dan gangguan peristaltik maupun berkemih dan sal satu faktor
Orang dewasa cenderung tidak mau menyusahkan orang lain dan berusaha
semaksimal mungkin.90,91,92
dan penderita masih merasakan nyeri setelah operasi sehingga mobilisasi dini
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
berikut :
3. Tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara status gizi dengan lama
B. Saran
di ruangan bedah.
3. Bagi peneliti selanjutnya dapat meneliti faktor asupan nutrisi pada penderita
DAFTAR PUSTAKA
1. Sjamsuhidajat R., et al. 2012. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. EGC: Jakarta.
3. Garst GC, Moore EE, Banerjee MN, Leopold DK, et al. 2013. Acute
appendicitis: a disease severity score for the acute care surgeon. J Trauma
Acute Care Surg. 2013 Jan;74(1).
4. Schwartz SI, Shires GT, Spencer FC, Daly JM, Fischer JE, Galloway AC.
2014. Principles of Surgery. United States of America : McGraw-Hill
companies, P: 1241-1243.
5. Moore KL, Dalley AI. 2009. Clinically Oriented Anatomy. 6th edition.
Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, P: 402.
12. Depkes RI. 2013. Hasil Riskesdas 2013. Departeman Kesehatan Republik
Indonesia. (Diakses pada 6 Maret 2018 dari:
http://www.depkes.go.id/resource/download/general/Hasil%20Riskesdas%
202013.pdf.)
13. Yulianto FA, Sakinah RK, Kamil MI, Wahono TYM. 2016. Faktor Prediksi
Perforasi Apendiks pada Penderita Apendisitis Akut di RS Al-Ihsan
Kabupaten Bandung Periode 2013-2014. Global Medical and Health
Communication, (online), Vol. 4, No. 2
(http:ejournal.unisba.ac.id/indeks.php/gmhc/article/view/1844/pdf. Diakses
Tanggal 6 Maret 2018)
17. Brunicardi C, Anderson DK, Billiar T, Duhn DL, Hunter JG, Mathews JB,
Pallock RC. 2010. The Appendix on Chapter 30 in Schwartz’s Principles of
Surgery 9ed ebook. New York: McGraw-Hills.
18. Gorter RR, Eker HH, Gorter MAW, et al. 2015. Diagnosis and management
of acute appendicitis. EAES consensus development conference 2015.
Surg Endosc. Springer 24(2).
19. Garst GC, Moore EE, Banerjee MN, Leopold DK, et al. 2013. Acute
appendicitis: a disease severity score for the acute care surgeon. J
Trauma Acute Care Surg. 2013 Jan;74(1).
21. Shogilev DJ, Duus N, Odhom SR, Shapiro NI, 2014. Diagnosing
Appendicitis ; Evidence-Based Review of Diagnostic Approach, Western
Journal of Emergency Medicine, Vol XV. No 7.
23. Doherty GM.,Way LW. 2006. Current Surgical Diagnosis And Treatment
Edition 17. The McGraw Hill Companies. New York
24. Ohle R, O’Reilly F, O’Brien KK, Fahey T, Dimitrov BD. 2011. The Alvarado
score for predicting acute appendicitis: a systematic review. BMC Med.
Vol. 9. P:139.
25. Kim BS, Ryu DH. 2010. Diagnosis of Acute Appendicitis Using Scoring
System: Compared with the Alvarado Score. J Korean Surg Soc. Vol. 79.
P:207-214.
26. Castro SM, Ünlü C, Steller EP, van Wagensveld BA, Vrouenraets BC.
2012. Evaluation of the Appendicitis Inflammatory Response Score for
Patients with Acute Appendicit. World J Surg. Vol 36. P:1540–1545
27. Chong CF, Adi MIW, Thien A, Suyoi A, Mackie AJ, Tin AS et al.
Development of the ripasa score: a new appendicitis scoring system for the
diagnosis of acute appendicitis. Singapore Med J 2010; 51(3):220
30. Pieter J, Riwanto Ign., Tjambolang T. Usus halus, apendiks, kolon dan
anorektum. In:Sjamsuhidajat R, De Jong W, editors. Buku Ajar Ilmu Bedah
Edisi Revisi, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC 1997, p.833-924
32. Ngowe NM., et al. Prevalence and Risk Factors Associated with Post
Operative Infections in the Limbe Regional Hospital of Cameroon. The
Open Surgery Journal, Vol. 8. 2014. P. 1-8.
35. Chan L, Shin LK, Pai RK, Jeffrey RB. 2014. Pathologic Continuum of Acute
Appendicitis: NCBI, (online), Vol. 27, No. 2, (diakses tanggal 28 februari
2018 dari: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21606789,.)
39. Berman B., et al. 15 June 2017. Keloid and Hypertrophic Scar Clinical
Presentation, Medscape, [online]. (Diakses pada 17 Juni 2017 dari:
http://emedicine.medscape.com/article/1057599-clinical#b1,.)
40. Orsted HL, Keast D, Lalende LF, Megie MF. 2011. Basic Principle od
Wound healing. Wound Care Canada, Vol. 9, No. 2, (Online), (diakses
tanggal 28 februari 2018 dari:
http://www.wrha.mb.ca/profesional/woundcare/documen/principleswoundh
ealing.wccspring2011.pdf ,.)
41. Sherwood L, 2016. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Ed. 6. EGC:
Jakarta.
106
42. Sungowati NK. Patogenesis Radang Akut. In: Biomedik dan mekanisme
dasar penyakit. Wahid S, Miskad UA, Masadah R. Ed.3 P; 103-105.
Universitas Kedokteran Universitan Kedokteran. 2012.
44. Mallefet P, Dweck AC. 2008. Mechanisme Involved in Wound Healing. The
Biomedical Scientist, (online). (di akses tanggal 28 februari 2018 dari:
http://www.dweckdata.co.uk/publiherpapers/wound_healing.pdf,. )
47. Wartawan IW. Analisis Lama Hari Rawat Pasien Yang Menjalani
Pembedahan Di Ruang Rawat Inap Bedah Kelas III Rsup Sanglah
Denpasar Tahun 2011. Tesis diterbitkan. Depok: Fakultas Kesehatan
Masyarakat Program Studi Kajian Administrasi Rumah Sakit Universitas
Indonesia. 2012.
48. Undang Undang Republik Indonesia no. 44 tahun 2009 tentang Rumah
Sakit. Jakarta.
50. Imbalo SP. 2007. Jaminan Mutu Layanan Kesehatan. Dasar – Dasar
Pengertian dan Penerapan. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Cetakan I,
Jakarta.
51. Sabarguna BS. 2009. Manajemen Rumah Sakit Jilid 2. Ed.1. Jakarta :
Sagung Seto.
52. Potter PA.,Perry AG. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep,
Proses, dan Praktik. Edisi 4, Volume 1. Alih Bahasa oleh Yasmin Asih,dkk.
EGC: Jakarta, 2005
107
53. Nursiah, et al. Faktor-faktor yang berhubungan dengan lama hari rawat
pada pasien pasca operasi laparatomi di rumah sakit umum daerah
Labuang Baji Makasar. Skripsi tidak diterbitkan. Makasar Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin. 2010.
55. Nordström P, et al. Length of hospital stay after hip fracture and short term
risk of death after discharge: a total cohort study in Sweden. BMJ,2015.
56. Afif A. Hubungan Faktor Komorbid, Umur Dan Status Gizi Dengan Lama
Rawat Inap Pada Pasien Hernia Inguinalis Lateralis Reponibilis Yang
Dioperasi Herniorepair Tanpa Mesh Di Rs Pku Muhammadiyah Surakarta
Periode 2005-2007, Skripsi diterbitkan, Solo: Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2010.
61. Utari GSR. Perbedaan Lama Rawat Inap Pasien Dengan Dan Tanpa
Komorbid Infeksi Saluran Kemih, Skripsi Diterbitkan. Semarang: Program
Pendidikan Sarjana Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro, 2013
63. Apley AG, Et Al. Buku Ajar Ortopedi Dan Fraktur Sistem Apley,
Edisi 7, Jakarta: Widya Medika; 2013. P: 192
64. Sabiston DC. Buku Ajar Bedah Sabiston, jilid 1, Jakarta: EGC, 2012
68. Potter PA., Perry AG. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan:
Konsep, Proses, dan Praktik. Edisi 4, Volume 2. Alih Bahasa oleh Yasmin
Asih,dkk. EGC: Jakarta.
69. DiPietro LA., Guo S, 2010. Factor Affecting Wound Healing. Center for
Wound Healing and Tissue Regeneration, Department of Periodontics,
109
70. Anderson K, Hamm RL. 2014. Factor That Impair Wound Healing. The
Journal of the American College of Clinical Woun Specialist, (online), Vol.
$, P(85-86) : 84-91
72. Indayani. Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan dan Sikap Ibu Post
Partum dengan Pelaksanaan Mobilisasi Dini Di RSUD Syeikh Yusuf Gowa,
Skripsi Diterbitkan, Makassar: Program Studi Diploma IV Sekolah Tinggi
Ilmu Kesehatan Mega Rezky Makassar,2016.
73. Thelwall S., Harrington P., Sheridan E., Lamagni T, 2015. Impact of Obesity
on The Risk of Infection Following Surgery : results from a nationwide
prospective multicentre cohort study in England. Department of Healthcare
Associated Infection and Antimicrobial Resistance, Public Health England,
London, UK (Online), (diakses 12 Agustus 2018 dari https://ac.els-
cdn.com/S1198743X15007193/1-s2.0-S1198743X15007193-main.pdf?
_tid=8846c4a2-a864-4a9b-969a-
14ccdb138395&acdnat=1534087775_5c172099484531ba7a313ed364442
b65.)
75. Struwick X, Powell BC, Cowin AJ. 2006. Role of Sex Hormone in Acute and
Chronic Wound Healing. Skin Biology Laboratory Child Health Research
Institute, Primary Intention. Vol. 14, No.1, P 35;35-38.
76. Gilliver SC, Ashworth JJ, Ashcroft GS. 2007. The hormonal regulation of
cutaneous wound healing. Clin Dermatol 25:56-62.
110
77. Hardman MJ, Ashcroft GS. 2008. Estrogen, not intrinsic aging, is the major
regulator of delayed human wound healing in the elderly. Genome Biol
9:R80
78. Ghnnam WM, 2011. Elderly versus Young Patiend Appendicitis 3 years
experience. Alexandria Journal of Medicine, (Online). Vol 48,
(http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2090506811001047,
diakses 20 Agustus 2018)
81. Goldman RJ: Hyperbaric oxygen therapy for wound healing and limb
salvage: a systematic review. PMR. 2009;1(5):471–489
82. Shipman AR, Millington GW. 2011. Obesity and the skin. Br J Dermatol.
(online) ;165(4):743–750.
(https://onlinelibrary.wiley.com/doi/pdf/10.1111/j.1365-2133.2011.10393.)
83. Syamsiatun NH, Hadi H, Julia M. 2004. Hubungan antara Status Gizi
dengan Status Pulang dan Lama Rawat Inap Pasien Apendectomi di
Rumah Sakit. Jurnal Gizi Klinik Indonesia, (online), Vol. 1, No. 1
(https://journal.ugm.ac.id/jgki/article/view/15358/10306, diakses 20 Agustus
2018)
86. Singer AJ, Clark RA. 2011. Cutaneous wound healing. N Engl J Med. Sep 2
1999, (online);341(10):738–746
(https://www.nejm.org/doi/10.1056/NEJM199909023411006. Diakses 20
agustus 2018)
91. Ditya , Zahari A, Afriwardi. 2016. Hubungan Mobilisasi dini dengan Proses
Penyembuhan Luka pada Pasien Pasca laparatomi di Bangsal Bedah Pria
dan Wanita RSUP Dr. M. Djamil Padang. Fakultas Kedokteran Universitas
Andalas., Artikel Penelitian, P 724; 724-729.