Anda di halaman 1dari 27

Laporan Kasus

DERMATITIS KONTAK ALERGI

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepanitraan Klinik Senior Departemen/ SMF
Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Abulyatama
RSUD Meuraxa Banda Aceh

Oleh :

Nurul Azizah Harahap


21174070

Pembimbing :
dr. Surya Nola, M. Ked (DV), Sp. DV

DEPARTEMEN/SMF ILMU PENYAKIT


KULIT DAN KELAMIN RUMAH SAKIT
UMUM DAERAH MEURAXA
BANDA ACEH
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan karunia-Nya
penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan kasus yang berjudul “Dermatitis
Kontak Alergi”. Shalawat beriringkan salam kepad Nabi Muhammad SAW
beserta keluarga dan sahabat yang telah membuat perubahan Islam bagi umat
manusia. Laporan kasus ini dibuat untuk melengkapi persyaratan dalam mengikuti
kegiataan kepaniteraan klinik dibagian Stase Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin
yang dilaksanakan di RSUD Meuraxa Banda Aceh
Pada kesempatan ini saya ucapkan terima kasih kepada dokter pembimbing
yaitu dr. Surya Nola, M. Ked (DV), Sp. DV yang telah bersedia meluangkan
waktu untuk memberikan pengarahan dan bimbingan kepada penulis sehingga
laporan kasus ini dapat terselesaikan.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam laporan kasus ini terdapat
kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, penulis berharap dari semua pihak
yangmembaca unutk memberikan kritik dan saran yang membangun agar dapat
menjadi masukan untuk masa yang akan datang bagi penulis dan pembaca. Besar
harapan penulis agar laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi para pembaca serta
dapat memberikan suatu pengetahuan baru bagi mahasiswa untuk meningkatkan
keilmuannya.

Banda Aceh, 6 juli 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…...........................................................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................................ii
BAB I......................................................................................................................................4
PENDAHULUAN...................................................................................................................4
I.I Latar Belakang.......................................................................................................4
BAB II.....................................................................................................................................5
LAPORAN KASUS................................................................................................................5
BAB III....................................................................................................................................9
TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................................................9
3.1 DEFENISI............................................................................................................9
3.2 EPIDEMIOLOGI................................................................................................10
3.3 ETIOLOGI.........................................................................................................10
3.4 PATOFISIOLOGI...............................................................................................10
3.4.1 Fase sensitasi...............................................................................................10
3.4.2 Fase elisitasi................................................................................................11
3.5 MANIFESTASI KLINIS......................................................................................12
3.6 DIAGNOSIS.......................................................................................................13
3.7 DIAGNOSIS BANDING.....................................................................................15
3.8 TATALAKSANA...............................................................................................16
3.8.1 Farmakologi................................................................................................16
3.8.2 Non Farmakologi.........................................................................................16
3.9 KOMPLIKASI....................................................................................................17
3.10 PROGNOSIS....................................................................................................17
KESIMPULAN.....................................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................23

ii
BAB I
PENDAHULUAN
I.I Latar Belakang

Dermatitis kontak alergi merupakan reaksi imunologis yang cenderung melibatkan


kulit sekitarnya dan dapat menyebar pada area sekitarnya. Penyakit kulit ini merupakan salah
satu masalah dermatologi yang paling sering dan menghabiskan biaya. . Penyakit ini
terhitung sebesar 7% dari penyakit yang terkait dengan pekerjaan di Amerika Serikat.
Berdasarkan beberapa studi yang dilakukan, insiden dan tingkat prevalensi DKA
dipengaruhi oleh alergen-alergen tertentu. Dalam data terakhir, lebih banyak
perempuan (18,8%) ditemukan memiliki DKA dibandingkan laki-laki (11,5%).
Namun, harus dipahami bahwa angka ini mengacu pada prevalensi DKA dalam
populasi (yaitu, jumlah individu yang potensial menderita DKA bila terkena alergen),
dan ini bukan merupakan angka insiden (yaitu, jumlah individu yang menderita DKA
setelah jangka waktu tertentu). Tidak ada data yang cukup tentang epidemiologi
dermatitis kontak alergi di Indonesia, namun berdasarkan penelitian pada penata rias
di Denpasar, sekitar 27,6 persen memiliki efek samping kosmetik, dimana 25, 4
persen dari angka itu menderita DKA.

Diagnosis daripada dermatitis kontak alergi dibuat berdasarkan anamnesis,


pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, dan harus dibedakan dengan penyakit eksema
kulit lainnya. Dengan gejala klinis DKA pada umumnya gatal. Kelainan kulit
bergantung pada tingkat keparahan dan lokasi dermatitisnya. Pada stadium akut
didapatkan bercak eritematosa, edema, papul vesikel, bula, erosi, eksudasi. Pada
dermatitis kontak alergi kronis terlihat kulit kering, berskuama, papul, likenifikasi,
dan mungkin juga fisur, berbatas tidak tegas.

4
BAB II
LAPORAN KASUS

IDENTITAS
Nama : Asmiatun
Jenis Kelamin : Perempuan
Bangsa/Suku : Suku Aceh
Kawin/Tidak Kawin : Kawin
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

ANAMNESIS
Keluhan Utama :Pasien datang dengan keluhan kulit mengelupas dan rasa
panas di punggung bawah
Riwayat Perjalan Penyakit :Pasien datang dengan keluhan panas di bagian punggung
bawah,sebelumnya pasien memiliki keluhan nyeri punggung
bawah,keluhan panas dirasakan sejak seminggu yang
lalu,rasa panas ini muncul sesudah pasien mengoleskan
lengkuas dan garam ke bagian punggung bawahnya,rasa
panas yang dirasakan pasien menyebabkan timbulnya bercak
kemerahan dibagain punggung bawah setelah itu pasien
mengkompres kemerahan dengan es batu. Besoknya pasien
merasakan kemerahan yang lebih parah disertai dengan
memar dan rasa terbakar setelah itu pasien mengoleskan obat
cina lalu luka pada punggung bawah mulai mengelupas.
Riwayat Penyakit Keluarga : Disangkal
Riwayat Penyakit Terdahulu : Disangkal

PEMERIKSAAN
STATUS GENERALISATA

5
Keadaan Umum :

 Kesadaran : Compos Mentis


 Gizi : Tidak Dilakukan Pemeriksaan
 Suhu badan : Dalam Batas Normal
 Nadi : Tidak Dilakukan Pemeriksaan
 Tekanan darah : Tidak Dilakukan Pemeriksaan
 Pernafasan : Tidak Dilakukan Pemeriksaan
Keadaan Spesifik

 Kepala : Normocephali
 Leher : Dalam Batas Normal
 Abdomen : Dalam Batas Normal
 Genitalia : Tidak Dilakukan Pemeriksaan
 Thoraks : Tidak Dilakukan Pemeriksaan

Ekstremitas : Dalam Batas Normal

STATUS DERMATOLOGIKUS
Lokalisasi : Regio coxae,regio sacralis
Ruam

 Primer : Makula,eritema
Bentuk : Tidak Beraturan
Ukuran : Plakat
Susunan : Lesi Polisiklic
Distribusi : Regional
Warna : kemerahan

 Sekunder : Skuama Berbatas Tegas hiperpigmentasi


Bentuk : Tidak Beraturan
Ukuran : Plakat
Susunan : Lesi Polisiklic
Distribusi : Regional
Warna : Kehitaman

6
7
TES – TES YANG DILAKUKAN

PEMERIKSAAN LABOLATORIUM

Rutin :-
Khusus :-

RINGKASAN : Pasien datang dengan keluhan rasa panas disertai kulit seperti terkelupas
pada bagian punggung bawah keluhan ini dirasakan sejak seminggu yang
lalu.
DIAGNOSA BANDING : Dermatitis Kontak Iritan, Dermatitis Numularis, Dermatitis
Atopi,Psoriasis
DIAGNOSIS : Dermatitis Kontak Alergi
DIAGNOSA SEMENTRA : Dermatitis Kontak Alergi
PENTALAKSANAAN :
 Umum : Menjaga kebersihan dan kesehatan tubuh seperti mandi dan menghindari
penyebab alergen,mematuhipengobatan yang diberikan untuk mencegah resistensi
obat,pastikan kulit dalam keadaan kering.
 Khusus :
1. Topikal : Metilprednison 4mg 3x1
Kloderma cream
Gentamicin cream untuk bagian yang luka
2. Sistemik : Cetrizine tab 1x1

PEMERIKSAAN PENUNJANG :-

PROGNOSIS : Quo ad vitam

Quo ad functionam : ad bonam

Quo ad sanationam : ad bonam

Quo ad kosmetikum : ad bonam

8
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 DEFENISI
Dermatitis Kontak Alergika (DKA) merupakan suatu penyakit keradangan
kulit yang ada dalam keadaan akut dan kronik dimana DKA akut atau subakut,
ditandai dengan rasa gatal, eritema, disertai timbulnya papula, edema dan vesikula di
tempat yang terkena. Keadaan kronik dapat ditandai dengan plak terlikenifikasi
dengan hiperkeratosis, skuama, danfissura biasanya disebakan oleh pajanan yang
berkelanjutan. Penyakit ini disebabkan oleh reaksi hipersensitifitas tipe IV dan
merupakan respon hipersensitifitas tipe lambat dan timbul akibat pajanan suatu
alergen, yang sebelumnya sudah terpajan oleh alergen yang sama.1

9
3.2 EPIDEMIOLOGI

Epidemiologi DKA sering terjadi. Penyakit ini terhitung sebesar 7% dari


penyakit yang terkait dengan pekerjaan di Amerika Serikat. Berdasarkan beberapa
studi yang dilakukan, insiden dan tingkat prevalensi DKA dipengaruhi oleh alergen-
alergen tertentu. Dalam data terakhir, lebih banyak perempuan (18,8%) ditemukan
memiliki DKA dibandingkan laki-laki (11,5%). Namun, harus dipahami bahwa angka
ini mengacu pada prevalensi DKA dalam populasi (yaitu, jumlah individu yang
potensial menderita DKA bila terkena alergen), dan ini bukan merupakan angka
insiden (yaitu, jumlah individu yang menderita DKA setelah jangka waktu tertentu).
Tidak ada data yang cukup tentang epidemiologi dermatitis kontak alergi di
Indonesia, namun berdasarkan penelitian pada penata rias di Denpasar, sekitar 27,6
persen memiliki efek samping kosmetik, dimana 25, 4 persen dari angka itu
menderita DKA.2

3.3 ETIOLOGI

Penyebab DKA pada umumnya adalah bahan kimia yang terkandung dalam
alat- alat yang dikenakan oleh penderita (asesoris, pakaian, sepatu, kosmetika, obat-
obat topikal) atau yang berhubungan dengan pekerjaan (semen, sabun cuci, pestisida,
bahan pelarut, bahan cat atau polutan yang lain).1

3.4 PATOFISIOLOGI

3.4.1 Fase sensitasi


Alergen yang belum diproses disebut haptens, kecil, molekul lipofilik
dengan berat molekul rendah (500 dalton). Sekali hapten menembus kulit,
mengikat dengan epidermal protein pembawa untuk membentuk kompleks
hapten-protein, yang menghasilkan antigen lengkap. Serentak, imunitas

10
bawaan diaktifkan oleh pelepasan keratinosit beberapa sitokin termasuk
interleukin 1,8, dan 18, tumor necrosis factor- , dan granulocyte-macrophage
faktor perangsang koloni. Selanjutnya, penyajian antigen sel kulit (sel
Langerhans [LCs] dan / atau sel dendritik dermal), ambil protein hapten
kompleks ("antigen") dan mengekspresikannya di permukaan sel pada
molekul antigen leukosit manusia. Antigen-Presenting Cell(APC) tersebut
kemudian bermigrasi melalui limfatik ke kelenjar getah bening regional
tempat ia menyajikan human leukosit antigen kompleks ke antigen naif- Sel T
spesifik. Sel T naif ini kemudian disiapkan dan berdiferensiasi ke dalam sel T
memori (efektor), yang berkembang secara klonal, dapatkan antigen homing
khusus kulit, dan berimigrasi ke sirkulasi di mana mereka dapat bertindak
sebagai efektor pada sel target yang menyajikan antigen yang sama di masa
depan Fase sensitisasi berlangsung 10 sampai 15 hari dan sering asimtomatik.
Selanjutnya paparan antigen (disebut rechallenge) mengarah ke fase elisitasi
dan dapat terjadi melalui beberapa rute, termasuk transepidermal, subkutan,
intravena, intramuskular, inhalasi, dan konsumsi oral. Sebagai catatan, LC
telah lama dianggap sebagai APC yang bertanggung jawab untuk
menginduksi sel T. Pada ACD, karena kelimpahannya pada epidermis, akses
mudah haptens dan antigenpresentation untuk kemampuan in vitro. Namun,
penelitian terbaru mengungkapkan bahwa penipisan LC selama fase
sensitisasi tidak sepenuhnya merusak kontak respon hipersensitivitas.
Selanjutnya, penting untuk dicatat bahwa sensitisasi bisa merangsang sel T
helper (Th) dan sitotoksik (Tc).3

3.4.2 Fase elisitasi


Selama fase ini, paparan alergen selanjutnya pada pasien sudah mengarah ke klinis
penyakit. Pertama, paparan hapten mengarah ke peradangan nonspesifik tingkat
rendah melalui stres seluler juga aktivasi toll reseptor dan nucleotide binding
oligomerization receptors mengarah ke perekrutan neutrofil dan sel-T efektor. Setelah

11
sel T efektor spesifik antigen direkrut ke dalam kulit yang mengandung antigen target
mereka, mereka berinteraksi dengan sel penyaji antigen (LCs dan sel dendritik
dermal) dalam sebuah cluster di sekitar postkapiler venula. Gugus sel imun ini
sebelumnya dianggap sebagai jaringan limfoid terkait kulit tetapi sekarang disebut
jaringan limfoid terkait kulit yang diinduksi karena gugus sel imun hanya muncul
ketika mereka diinduksi oleh peradangan, bukan dalam keadaan matang. Sebagai
tanggapan, sel T antigen-spesifik memperkuat respons imun spesifik, melepaskan
sitokin, termasuk interferon- dan nekrosis tumor faktor-, yang, pada gilirannya,
merekrut sel inflamasi lainnya sambil merangsang makrofag dan keratinosit untuk
melepaskan lebih banyak sitokin.

Respon Peradangan terjadi saat monosit bermigrasi ke daerah yang


terpengaruh, matang menjadi makrofag, dan menarik lebih banyak sel T.
Respon inflamasi yang ditimbulkan biasanya berlangsung beberapa minggu,
dan jika dibiarkan berjalan dengan sendirinya, benar dugaan bahwa sel T
regulator terlibat dalam penekanan dari respon. Menariknya, LC mungkin
terlibatdalam mempromosikan pengembangan sel T regulasi selanjutnya
menekan respon imun di ACD,meskipun mekanisme pastinya belum jelas.4

3.5 MANIFESTASI KLINIS


Gejala klinis DKA pada umumnya gatal. Kelainan kulit bergantung
pada tingkat keparahan dan lokasi dermatitisnya. Pada stadium akut
didapatkan bercak eritematosa, edema, papul vesikel, bula, erosi, eksudasi.
Pada dermatitis kontak alergi kronis terlihat kulit kering, berskuama, papul,
likenifikasi, dan mungkin juga fisur, berbatas tidak tegas. Dermatitis kontak
alergi dapat meluas ke tempat lain,misalnya dengan cara autosensitisasi.
Berbagai lokasi kejadian dermatitis kontak alergi yaitu tangan, lengan, wajah,
telinga, leher, badan, genitalia, tungkai atas dan bawah.5

12
13
3.6 DIAGNOSIS
Langkah-langkah penegakan diagnosis untuk penyakit dermatitis kontak alergi antara
lain :

 Anamnesis
o Anamnesis terarah tentunya diperlukan untuk mengeksplor riwayat pajanan
terhadap bahan atau substansi kimia tertentu .
o Onset penyakit sangat penting ditanyakan untuk mengetahui tipe dermatitis
kontak iritan. Onset penyakit sampai timbulnya gejala klinis dalam hitungan
menit sampai jam tergolong tipe simpel akut. Tipe akut lambat biasanya
dalam hitungan 8-24 jam. Tipe kumulatif cenderung merupakan konsekuensi
dari pajanan berulang dengan konsentrasi substansi yang rendah. Penting juga

14
o menyertai riwayat keluarga atau orang di sekitar yang juga mengalami gejala
yang sama. Riwayat atopik dan alergi juga ditanyakan.

 Pemeriksaan fisik
o Pemeriksaan fisik sangat penting, karena dengan melihat lokasi dan pola
kelainan kulit sering kali dapat diketahui kemungkinan penyebabnya.
o Pemeriksaan hendaknya dilakukan di tempat yang cukup terang, pada seluruh
permukaan kulit untuk melihat kemungkinan kelainan kulit lain karena
berbagai sebab endogen.5
 Pemeriksaan penunjang
o Uji Tempel Atau Patch Test (In Vivo)
Patch test adalah uji kulit yang dilakukan secara in vivo dengan cara
menempelkan bahan kimia (alergen) yang dicurigai secara oklusif dalam
bentuk dan konsentrasi tertentu pada kulit normal pasien yang sensitif. Uji ini
merupakan visualisasi fase elisitasi reaksi hipersensititas tipe lambat, yang
hasilnya tidak selalu sama dengan hasil kontak dengan lingkungan pasien
sehari-hari, sebab dipengaruhi oleh absorsi perkutan. Oleh karena itu untuk
menjamin dan membantu absorbsi dari bahan yang diuji, maka harus
dilakukan secara tertutup (oklusif).
o Provocative Use Test
Uji photopatch digunakan untuk menegvaluasi fotoalergi kontak terhadap zat
seperti sulfonamid,fenotiazin,p-aminobenzoic acid,oxybenzone,6-metil
kumarin,musk ambrette,atau tetrachlorsalicylanilide. Sebuah uji tempel
standar diterapkan selama 24 jam , hl ini kemudian terekspos 5 sampai 15J/m2
dari ultraviolet dan dibaca 48 jam.
o Tes In Vitro
Tes in vitro dan tes pada hewan untuk mendiagnosis DKA telah menerima
banyak perhatian dalam dekade terakhir. Labarotarium studi seperti

15
transformasi limfosit atau inhibisi makrofag telah dievaluasi sebgai
pengukuran DKA pada manusia dan hewan. Masalah untama dalam
menembangkan sistem in vitro adalah kurangnya penegtauan tentang apa yang
merupakan bagian antigenik dari suatu bahan kimia tertentu.6

3.7 DIAGNOSIS BANDING


 dermatitis kontak iritan
Dermatitis kontak iritan (DKI) adalah peradangan pada kulit yang dapat berupa
eritema, edema, dan scale/skuama. DKI merupakan respons nonspesifik kulit
terhadap berbagai kerusakan kimia dengan melepaskan mediator inflamasi
terutama dari sel-sel epidermis
 dermatitis atopik
o Pada gambaran klinis terdapat vesikel-vesikel dan papul-papul serta
eritem, untuk membedakan dengan dermatitis kontak iritan, pada
dermatitis atopik mempunyai tiga tanda khas yaitu :7
 Pruritus.
 Morfologi dan distribusi khas pada wajah (khusus pada anak)
dan daerah lipatan kulit (fosa kubiti, fosa poplitea, leher, dan
pergelangan tangan).
 Cenderung menjadi kronis kambuh.
o Pada dermatitis atopik juga didapatkan riwayat atopik (rhinitis alergi,
asma bronkial),dan pada pemeriksaan penunjang di temukan eosinofilia
dan peningkatan kadar IgE, sedangkan pada dermatitis kontak iritan
tidak terdapat riwayat atopik.
 dermatitis numularis
Dermatitis numularis atau eksim numular atau eksim diskoid merupakan
peradangan berupa lesi berbentuk mata uang (koin) atau agak lonjong, berbatas
tegas, dengan efloresensi atau lesi awal berupa papul disertai vesikel
(papulovesikel), biasanya mudah pecah sehingga basah (oozing), biasanya
menyerang ekstremitas.

16
 Psoriasis
Psoriasis adalah peradangan pada kulit yang menyebabkan kulit bersisik, menebal,
mudah terkelupas, dan kadang juga terasa gatal. Psoriasis biasanya muncul di kulit
bagian lutut, siku, punggung bagian bawah, dan kulit kepala.8

3.8 TATALAKSANA

3.8.1 Farmakologi

o Topikal
a. Untuk lesi basah: beri kompres terbuka dengan larutan NaCL 0,9%
b. Untuk lesi kering: kortikosteroid krim potensi sedang-tinggi misalkan Mometason
furoat, Flutikason propionate, Klobetasol butirat
c. Untuk dermatitis yang kronik: Klobetasol propionat.4

o Sistematik:
a. Simtomatis seperti antihistamin sedatif/nonsedatif untuk mengurangi rasa gatal
b. Kortikosteroid oral untuk derajat berat Kasus berat dan kronik: Inhibitor
kalsineurin atau fototerapi broad/narrow band UVB, obat imunosupresif sistemik
seperti Azatioprin atau Siklosporin. Superinfeksi oleh bakteri: antibiotik oral dan
topikal.8

3.8.2 Non Farmakologi

o Menghindari Alergen
Menghindari Alergen Setelah kemungkinan penyebab masalah dermatologi pasien
telah ditentukan oleh uji tempel, sangat penting untuk menyampaikan informasi ini

17
kepada pasien dengan cara yang mudah dimengerti. Ini melibatkan penjelasan cermat
terhadap bahan yang mengandung alergen.
Namun, untuk beberapa bahan kimia (seperti nikel dan kromium logam),
penghindaran langsung setelah sekali sensitisasi tidak selalu menghasilkan perbaikan
gejala. Secara keseluruhan, prognosis untuk alergi akibat kerja ini buruk. Dengan
demikian, menghindari alergen yang sudah pernah terpapar sekali adalah pencegahan
yang tidak memadai. Selain itu, menasihati pekerja dengan DKA untuk
meninggalkan posisi mereka saat ini mungkin bukan saran terbaik, terutama jika
perubahan pekerjaan akan menghasilkan dampak ekonomi yang signifikan buruk.1

o Induksi Ambang Batas


Pencegahan DKA yang benar terletak pada penentuan ambang batas untuk induksi
penyakit. Berdasarkan informasi ini, produk dapat dipasarkan dan tempat kerja
dirancang agar mengandung alergen pada tingkat bawah ambang batas.

3.9 KOMPLIKASI

Komplikasi Dermatitis kontak alergi dimulai sebagai reaksi lokal terhadap


alergen yang bersentuhan dengan kulit, tetapi reaksi yang parah dapat
menggeneralisasi akibat autoeczematization dan dapat menyebabkan eritroderma.
Menelan alergen kontak jarang dapat menyebabkan sindrom babon atau dermatitis
kontak sistemik umum.8

3.10 PROGNOSIS

Penyakit ini tetap menyerang populasi yang terkena dampak sepanjang hidup
mereka. Penghindaran yang ketat dari alergen perlu menjadi strategi yang diterapkan.
Manajemen respon inflamasi adalah tujuan penting dalam pengobatan. Semakin lama

18
seseorang mengidap Dermatitis Kontak Allergi (DKA),semakin banyak waktu yang
dibutuhkan untuk mengatasinya.4

19
PEMBAHASAN

Temuan pada pasien Berdasarkan teori


Nama : Asmiatun Menurut Yurike Sunaryo di Poliklinik RSUP
Jenis Kelamin : Perempuan Prof. Dr. R. D. Kandou Manado didapat
Bangsa/Suku : Suku Aceh tingkat kejadian dermatitis kontak akibat
Kawin/Tidak Kawin : Kawin kerja terbanyak pada kelompok usia 45-64
Agama : Islam tahun, dengan prevalensi perempuan lebih
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga tinggi dibandingkan laki-laki (2:1).
Pekerjaan ibu rumah tangga menjadi salah
satu pekerjaan yang secara langsung kontak
atau bersentuhan dengan bahan alergen atau
iritan seperti deterjen pada saat mencuci dan
karet pada bahan sandal sebagai alas kaki
dan lokasi tersering terkena pajanan adalah
kaki dan tangan.
Tingginya angka kejadian dematitis kontak
alergi pada kelompok usia dewasa
dikarenakan banyaknya kesempatan individu
untuk berkontak langsung dengan alergen
yang ada di lingkungan. Angka kejadian
lebih tinggi pada perempuan dibandingkan
dengan laki-laki. Tiga alergen penyebab
tertinggi adalah detergen, kosmetik dan
perhiasan.
Pasien datang dengan keluhan keluhan nyeri punggung
panas di bagian punggung bawah,keluhan panas dirasakan
bawah,sebelumnya pasien sejak seminggu yang lalu,rasa
memiliki keluhan nyeri panas. lalu luka pada punggung
punggung bawah,keluhan panas bawah mulai mengelupas.

20
dirasakan sejak seminggu yang
lalu,rasa panas ini muncul Kulit adalah bagian paling luar dari tubuh

sesudah pasien mengoleskan yang berJfungsi sebagai proteksi tubuh. Jika

lengkuas dan garam ke bagian kulit terkena defek buruk dapat dipastikan

punggung bawahnya,rasa panas bahwa fungsi proteksi tidak akan berjalan

yang dirasakan pasien dengan baik sehingga memudahkan virus

menyebabkan timbulnya bercak ataupun bakteri untuk masuk kedalam tubuh.

kemerahan dibagain punggung Salah satu yang menjadi sorotan adalah

bawah setelah itu pasien Dermatitis Kontak.Dermatitis Kontak secara

mengkompres kemerahan dengan umum adalah suatu keadaan inflamasi atau

es batu. Besoknya pasien radang noninfeksi pada kulit yang

merasakan kemerahan yang lebih diakibatkan oleh senyawa yang kontak

parah disertai dengan memar dan dengan kulit. Reaksi Dermatitis Kontak

rasa terbakar setelah itu pasien dapat ditandai berupa kulit menjadi merah

mengoleskan obat cina lalu luka atau coklat. Kadang-kadang disertai dengan

pada punggung bawah mulai rasa panas dan edema atau ada papula,

mengelupas. vesikula dan pastula, kadang-kadang


terdapat bula yang purulen dengan daerah
sekitarnya normal. Pada seluruh kasus yang
berkaitan dengan penyakit kulit akibat kerja
90% diantaranya adalah dermatitis kontak
akibat kerja.Dermatitis kontak akibat kerja
adalah salah satu penyakit kulit yang timbul
pada lingkungan kerja akibat pekerja
mengalami kontak dengan bahan-bahan
iritan maupun alergen yang dapat
menimbulkan kelainan kulit.

21
Kortikosteroid bekerja dengan
1. Topikal : Metilprednison 4mg 3x1 mempengaruhi kecepatan sintesis protein.
Kloderma cream Molekul hormone yang memasuki membran
Gentamicin cream untuk plasma jaringan target secara difusi pasif,
bagian yang luka akan membentuk kompleks reseptor-steroid
2. Sistemik : Cetrizine tab 1x1 terhadap reseptor protein spesifik sehingga
menstimulasi sintesis protein spesifik yang
merupakan perantara efek fisiologi steroid.
Pada beberapa jaringan, misalnya hepar,
hormon steroid merangsang transkripsi dan
sintesis protein spesifik; pada jaringan lain,
misalnya sel limfoid dan fibroblas, hormon
ini bersifat katabolik.
Cetirizine merupakan antihistamin selektif
reseptor H1 dengan efek sedative yang
rendah pada dosis aktif farmakologi dan
mempunyai sifat tambahan sebagai anti
alergi. Cetirizine menghambat pelepasan
histamin pada fase awal dan mengurangi
migrasi sel inflamasi.

22
KESIMPULAN

Dermatitis kontak alergi (DKA) merupakan salah satu penyakit kulit akibat kerja
yang cukup sering. Hal ini tidak terkait dengan atopi dan merupakan reaksi imunologi tipe
IV yang dimediasi terutama oleh limfosit yang sudah tersensitisasi sebelumnya. Tanda dan
gejala klinis yang sering yaitu pruritus, menyengat, nyeri, eritema berbatas tegas, edema,
vesikel, papula, bula, erosi, kerak, scaling, lichenifikasi, ekskoriasi, dan pigmentasi. Alat-alat
diagnostik yang digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis adalah uji tempel sebagai baku
emas.
Kita harus memahami interpretasi masing-masing. Mereka adalah reaksi ragu, reaksi
positif lemah (non-vesikular), reaksi positif yang kuat (vesikuler), reaksi positif yang ekstrim
(bulosa), reaksi negatif, dan reaksi iritasi. Untuk mengkonfirmasi diagnosis, kita harus
menggabungkan dengan anamnesis. Dalam aspek ini, kita harus mempertimbangkan tentang
etiologi. Etiologi yang beragam dan berkisar dari logam sampai antibiotik, pewarna sampai
produk tanaman.
Dengan demikian, alergen yang ditemukan dalam perhiasan, produk perawatan
pribadi, obat topikal, tanaman, dan bahan kimia yang memungkinkan kontak terhadap
individu dengan pekerjaan tertentu. Setelah kita mengetahui etiologi, kita dapat mencegah
penyakit dengan menghindari alergen. Namun, tidak hanya menghindari alergen yang bisa
kita gunakan sebagai pencegahan, karena alasan pekerjaan (juga dampak ekonomi), kita juga
dapat menyarankan pakaian pelindung atau krim pelindung. Untuk mengurangi keparahan
DKA, kita dapat memberikan terapi simtomatis, seperti aluminium sulfat topikal,
antihistamin oral, glukokortikoid, macrolaktam, dan radiasi ultraviolet

23
24
DAFTAR PUSTAKA

1. SCHWARTZ L. Allergic contact dermatitis. Clinics. 1946;5(2):436-466.


2. Tersinanda TY, Rusyati LMM. e-Jurnal Medika Udayana. E-Jurnal Med
Udayana. 2013;2(8):1446-1461.
3. Lachapelle JM, Wigger-Alberti W, Boman A, et al. Prevention and therapy.
Contact Dermatitis. Published online 2011:831-867. doi:10.1007/3-540-
31301-X_44
4. : Dr. dr. Ago Harlim, MARS SK. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Kulit Dan
Kelamin Penyakit Alergi Kuli. Vol 7.; 2015.
5. Batasina T, Pandaleke H, Suling P. Profil dermatitis kontak alergi di poliklinik
rsup prof. Dr. R.D. Kandou Manado periode Januari – Desember 2013. e-
CliniC. 2017;5(1). doi:10.35790/ecl.5.1.2017.14735
6. Dermatitis IC. Irritant Contact Dermatitis : Introduction Etiology and
Pathogenesis Exogenous Factors. :1-18.
7. James WD, Berger TG ED. Andrews’ diseases of the skin: Clinical
dermatology, 13th edition. J Am Acad Dermatol. 2019;81(6):e187.
doi:10.1016/j.jaad.2019.08.041
8. Djuanda A. Ilmu Penyakit. Published online 2021.

25
26

Anda mungkin juga menyukai