Anda di halaman 1dari 25

perpustakaan.uns.ac.

id 19
digilib.uns.ac.id

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Tentang Kontrak
a. Pengertian Hukum Kontrak
Kata kontrak merupakan pengambilalihan dari bahasa Latin yakni
contractus, yang berarti perjanjian. Istilah kontrak semula hanya
merupakan padanan kata dari Perjanjian (P.J. Supratignyo, 1997:1).
BW (Burgerlijk Wetboek) menggunakan istilah overeenkomst dan
contract untuk pengertian yang sama. Hal ini secara jelas dapat disimak
dari judul Buku III Bab kedua tentang “Perikatan-perikatan yang lahir
dari Kontrak atau Perjanjian” yang dalam bahasa Belanda berbunyi
“Van verbintenissen die uit contract of overeenkomst geboren
worden”. Pengertian ini menurut Hofmann dan J. Satrio
(J.Satrio,1995:19).
Subekti menganggap istilah kontrak mempunyai pengertian lebih
sempit daripada perjanjian/perikatan, karena kontrak ditujukan kepada
perjanjian/perikatan yang tertulis. Sedangkan Pothier membedakan
contract dan convention (pacte). Disebut convention yaitu perjanjian
antara dua orang atau lebih untuk menciptakan, menghapuskan atau
mengubah perikatan (Subekti,1991:1).

b. Syarat Sah Kontrak


Suatu kontrak dapat dikatakan berlaku secara sah dan mengikat bagi
para pihak yang membuatnya apabila memenuhi syarat-syarat yang
diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Adapun syarat-syarat dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata tersebut adalah terdiri dari sebagai berikut (Subekti, 1991:17):

commit to user
19
perpustakaan.uns.ac.id 20
digilib.uns.ac.id

a) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.


Syarat pertama yaitu kata sepakat dimaksudkan bahwa
kontrak itu telah terjadi dan disetujui oleh kedua belah pihak
yang mengadakan kontrak tersebut tanpa adanya intervensi
ataupun tekanan dari salah satu pihak ataupun pihak luar atau
pihak ketiga.
b) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
Cakap menurut hukum berarti bahwa orang yang membuat
dan menandatangani suatu kontrak tersebut pada dasarnya
harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
(1) Sudah dewasa menurut ukuran undang-undang atau akil
baliq;
(2) Sehat pikirannya, yang berarti secara kejiwaan dalam ilmu
kesehatan tidak mengalami gangguan mental.
c) Mengenai suatu hal tertentu
Suatu hal tertentu, artinya tentang apa yang diperjanjikan
oleh para pihak yang membuat atau terikat dalam suatu kontrak
tersebut, yang merupakan hak dan kewajiban maupun barang
haruslah ditentukan jenisnya. Artinya suatu kontrak harus
mempunyai objek tertentu sekurang-kurangnya dapat
ditentukan (Mariam Darus Badrulzaman, 1994:26).
d) Suatu sebab yang halal.
Mengenai sebab yang halal, pengertian sebab yang halal
adalah sebagai berikut:
(1) Sebab yang tidak dilarang atau tidak bertentangan dengan
undang-undang;
(2) Sebab yang sesuai dengan kesusilaan;
(3) Sebab yang sesuai dengan ketertiban umum (Hardijan
Rusli, 1993:99).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 21
digilib.uns.ac.id

c. Asas-asas Hukum Kontrak


Dalam Pasal 1319 KUH Perdata menyatakan bahwa semua
perjanjian baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak
dikenal dengan suatu nama tertentu tunduk pada peraturan umum yang
termuat dalam bab ini dan bab yang lalu. Dengan demikian asas-asas
hukum kontrak innominaat mengikuti asas-asas yang tercantum dalam
Buku III KUH Perdata antara lain:
1) Asas Kebebasan Berkontrak;
Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal
1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi “semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya”. Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas
yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk (Salim H.S,
2010:9):
a) membuat atau tidak membuat perjanjian;
b) mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
c) menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;
d) menentukan bentuk perjanjiannya yaitu tertulis atau lisan.
2) Asas Konsensualisme;
Dapat disimpulakan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata
yang menentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian yaitu
adanya kesepakatan kedua belah pihak. Asas konsensualisme
merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada
umumnya tidak diadakan secara formal tetapi cukup dengan
adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan merupakan
persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh
kedua belah pihak (Salim H.S, 2010:10).
3) Asas Pacta Sunt Servanda;
Disebut juga dengan asas kepastian hukum, asas ini
berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda
adalah asas bahwacommit
hakimtoatau
userpihak ketiga harus menghormati
perpustakaan.uns.ac.id 22
digilib.uns.ac.id

substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana


layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan
intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak
(Salim H.S, 2010:10) sedangkan menurut Juaji Sumardi(1995:42)
sesuai dengan Pasal 1338 ayat (1) dan (2) KUHPerdata, pada
dasarnya setiap kontrak adalah mengikat sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya, tidak boleh di ubah dengan jalan
dan cara apapun, kecuali atas persetujuan kedua belah pihak.
Kekuatan mengikat kontrak ini dimulai sejak saat dipenuhinya
syarat sahnya kontrak berarti sejak saat itu pihak-pihak harus
memenuhi apa yang diperjanjikan
4) Asas Kepribadian
Merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan
melakukan dan atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan
perseorangan saja (Salim H.S, 2010:13).

d. Subjek dan Objek Kontrak


Dalam mengadakan suatu kontrak, setiap subjek hukum harus
memenuhi suatu kondisi tertentu agar dapat mengikat para pihak yang
membuatnya. Jika subjek hukumnya adalah “orang”, maka orang
tersebut harus sudah dewasa, namun jika subjeknya “badan hukum”
harus memenuhi syarat formal suatu badan hukum. Sehingga kedua
jenis subjek hukum tersebut memiliki hak dan kewajiban yang sama
dalam melakukan kontrak. Subjek kontrak adalah setiap pihak yang
menjadi pendukung hak dan kewajiban dalam melakukan hubungan
hukum, subjek kontrak juga berhak atas hak-hak subjektif dan pelaku
dalam hukum objektif (Chidir Ali, 2005:6).
Objek kontrak dapat berupa benda/barang yang sifatnya berwujud
nyata (materiil) maupun tidak berwujud nyata (immateriil) juga dapat
berupa berupa perbuatan atau pekerjaan aktif atau pasif yang sifatnya
commit
berwujud nyata dan konkrit to user
yang merupakan kepentingan bagi subjek
perpustakaan.uns.ac.id 23
digilib.uns.ac.id

hukum karena menyangkut pelaksanaan hak dan kewajiban dari subjek


hukum dimaksud dalam hubungan-hubungan hukum dengan subjek
hukum lainnya (Muhammad Syaifuddin, 2012: 66).

e. Jenis-jenis Kontrak
Masing-masing para ahli mempunyai pandangan yang berbeda-beda
antara satu dengan yang lain, dalam hal membagi-bagi jenis-jenis
kontrak, antara lain, sebagai berikut :
a) Kontrak menurut sumbernya;
Menurut pendapat Sudikno Mertokusumo, yang dikutip oleh
Salim H.S dalam bukunya menggolongkan (kontrak)
berdasarkan dari sumber hukumnya menjadi 5 (lima) jenis,
yaitu sebagai berikut (Salim H.S, 2010:17) :
(1) Kontrak yang bersumber dari hukum keluarga;
(2) Kontrak yang bersumber dari kebendaan;
(3) Kontrak obligatoir;
(4) Kontrak yang bersumber dari hukum acara;
(5) Kontrak yang bersumber dari hukum publik.
b) Kontrak menurut namanya. Ada 2 (dua) jenis, yaitu sebagai
berikut:
(1) Kontrak nominaat (bernama) adalah yang di kenal dalam
KUHPerdata, yang terbagi atas: jual beli, tukar menukar,
sewa menyewa, persekutuan perdata, hibah, penitipan
barang, pinjam pakai, pinjam meminjam, pemberian kuasa,
penanggungan utang, perdamaian, dan lain-lain.
(2) Kontrak innominaat (tidak bernama) adalah kontrak yang
timbul, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
Sehingga belum di kenal dalam KUHPerdata, yang terbagi
atas: leasing, beli sewa, franchise, kontrak rahim, joint
venture, kontrak karya, keagenan, production sharing dan
commit
lain-lain (Salim to 2010:18).
H.S, user
perpustakaan.uns.ac.id 24
digilib.uns.ac.id

c) Kontrak menurut bentuknya;


Berdasarkan Pasal 1320 dan 1682 KUHPerdata yaitu kontrak
tertulis dan tidak tertulis.
d) Kontrak timbal balik;
Menurut pendapat Vollmar, yang dikutip oleh Salim H.S
dalam bukunya, membagi menjadi 2 (dua), yaitu kontrak
timbal balik tidak sempurna dan kontrak timbal balik sepihak
(Salim H.S, 2010:19).
e) Kontrak cuma-cuma atau dengan alas hak yang membebani;
Penggolongan kontrak cuma-cuma dengan alas hak yang
membebani didasarkan pada keuntungan salah satu pihak saja
dan adanya prestasi dari pihak lainnya (Salim H.S, 2010:20).
f) Kontrak berdasarkan sifatnya;
Terbagi atas 2 (dua) jenis yaitu kontrak kebendaan dan
kontrak obligatoir (Salim H.S, 2010:20).
g) Perjanjian dari aspek larangannya
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,
membagi atas (Salim H.S, 2010:22) :
(1) Kontrak oligopoly;
(2) Kontrak penetapan harga;
(3) Kontrak dengan harga berbeda;
(4) Kontrak dengan harga di bawah harga pasar;
(5) Kontrak yang memuat persyaratan;
(6) Kontrak pembagian wilayah;
(7) Kontrak pemboikotan;
(8) Kontrak kartel;
(9) Kontrak trust;
(10) Kontrak oligopsoni;
(11) Kontrak integrasi vertikal;
commit to
(12) Kontrak tertutup; user
dan
perpustakaan.uns.ac.id 25
digilib.uns.ac.id

(13) Kontrak dengan pihak luar negeri.

f. Kewajiban Para Pihak dalam Pelaksanaan Kontrak


Kontrak timbul karena adanya kebutuhan hidup dalam masyarakat.
Seiring dengan berjalannya waktu, para anggota masyarakat merasa
yakin banyak kebutuhan-kebutuhan di dalam hidupnya yang tidak dapat
dipenuhi sendiri. Untuk itulah diperlukan bantuan orang lain dengan
mengadakan kontrak di mana 2 (dua) pihak sepakat sesuai dengan
kebutuhan para pihak. Tanpa adanya bantuan orang lain tidak akan ada
perkembangan dan kemajuan dalam hubungan antara para anggota,
terutama dalam dunia bisnis dan ekonomi (J.Satrio,1995:359).
Menurut Riduan Syahrani, menyatakan bahwa seseorang tidak dapat
di minta pertanggungjawabannya, apabila ia telah berusaha dengan
sekuat tenaga untuk melaksanakan kontrak dan menghindarkan diri
dari segala malapetaka, tetapi tetap tidak membawa hasil apa-apa,
walaupun kontrak itu telah di buat secara sah dan mengikat orang
tersebut (Riduan Syahrani, 1985:248). Suatu kontrak yang telah di buat
para pihak dan sah menurut hukum, membawa konsekuensi kontrak
tersebut mengikat para pihak sendiri. Hal ini adalah logis, dalam arti
bahwa hak dan kewajiban yang timbul dari padanya hanyalah untuk
para pihak sendiri (J. Satrio, 1995:75).

g. Prestasi, Wanprestasi, Somasi, dan Ganti Kerugian


Prestasi menurut ketentuan fakultatif dalam Pasal 1234 KUH
Perdata bahwa prestasi itu dapat berupa memberikan sesuatu, berbuat
sesuatu dan tidak berbuat sesuatu. Kontrak yang prestasinya
memberikan sesuatu benda/barang ditegaskan secara normatif dalam
Pasal 1237 KUH Perdata dan kontrak yang prestasinya berbuat sesuatu
ditegaskan secara normatif dalam Pasal 1241 KUH Perdata. Sedangkan
kontrak yang prestasinya tidak berbuat sesuatu ditegaskan secara
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 26
digilib.uns.ac.id

normatif dalam Pasal 1242 KUH Perdata (Muhammad Syaifuddin,


2012: 67).
Wanprestasi mempunyai hubungan yang sangat erat dengan
somasi. Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan
kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat
antara kreditur dengan debitur. Akibat dari wanprestasi itu biasanya
dapat dikenakan sanksi berupa ganti rugi, pembatalan kontrak,
peralihan risiko, maupun membayar biaya perkara (Abdul R. Saliman.
2011:48).
Istilah pernyataan lalai atau somasi merupakan terjemahan
dari ingebrekestelling. Somasi diatur dalam Pasal 1238 KUH Perdata,
pengertian somasi menurut pasal 1238 KUH Perdata yaitu
pemberitahuan terlebih dahulu kepada debitur tentang kelalaiannya atau
wanprestasinya (Ahmadi Miru,2012:8).
Ada dua sebab timbulnya ganti rugi, yaitu :
a) Ganti rugi karena wanprestasi.
Ganti rugi karena wanprestasi adalah suatu bentuk ganti rugi
yang dibebankan kepada debitur yang tidak memenuhi isi
perjanjian yang telah dibuat antara kreditur dengan debitur.
Ganti rugi karena wanprestasi ini diatur dalam Buku III KUH
Perdata, yang dimulai dari Pasal 1243 KUH Perdata sampai
dengan. Pasal 1252 KUH Perdata (Ahmadi Miru, 2012:13).
b) Perbuatan melawan hukum.
Ganti rugi karena perbuatan melawan hukum adalah suatu
bentuk ganti rugi yang dibebankan kepada orang yang telah
menimbulkan kesalahan kepada pihak yang dirugikannya. Ganti
rugi itu timbul karena adanya kesalahan, bukan karena adanya
perjanjian.
Ganti rugi karena perbuatan melawan hukum ini diatur dalam
Pasal 1365 KUH Perdata. Ganti kerugian yang dapat dituntut
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 27
digilib.uns.ac.id

oleh kreditur kepada debitur menurut Pasal 1246 KUH Perdata


adalah sebagai berikut (Ahmadi Miru, 2012:14) :
a) kerugian yang telah dideritanya, yaitu berupa
penggantian biaya-biaya dan kerugian, dan
b) kehilangan keuntungan yang diharapkan.

h. Keadaan Memaksa dan Resiko


Keadaan memaksa diartikan sebagai suatu keadaan yang terjadi
bukan karena adanya unsur kesalahan tetapi di luar kehendak dan tidak
dapat diketahui atau diduga pada saat perancangan, pembuatan, dan
pelaksanaan kontrak oleh debitur atau pihak yang mempunyai
kewajiban melaksanakan prestasi dalam kontrak yang disebabkan
adanya kejadian yang berada di luar kekuasaannya. Misalnya karena
adanya gempa bumi, banjir, lahar, dan lain-lain (Muhammad
Syaifuddin, 2012:355).
Ada tiga hal yang menyebabkan debitur tidak melakukan
penggantian biaya, kerugian dan bunga, yaitu (Abdul R. Saliman,
2011:52) :
a) adanya suatu hal yang tak terduga sebelumnya;
b) terjadinya secara kebetulan;
c) keadaan memaksa.
Risiko berarti kewajiban untuk memikul kerugian jika ada suatu
kejadian di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang
dimaksud dalam kontrak. Setiap kontrak, risiko diletakan dan menjadi
tanggung jawab kedua belah pihak (Abdul R. Saliman, 2011:47).

i. Berakhirnya Kontrak
Seperti yang diatur dalam Pasal 1381 KUH Perdata, kontrak dapat
berakhir karena (Abdul R. Saliman, 2011:67) :
a) pembayaran;
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 28
digilib.uns.ac.id

b) penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan produk


yang hendak dibayarkan itu di suatu tempat;
c) pembaruan utang;
d) kompensasi;
e) percampuran utang;
f) pembebasan utang;
g) hapusnya produk yang dimaksud dalam kontrak;
h) pembatalan kontrak;
i) akibat berlakunya suatu syarat pembatalan;
j) lewat waktu.

2. Tinjauan Tentang Asas Itikad Baik dan Asas Proporsional


a. Asas Itikad Baik
Asas itikad baik dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (3)
KUH Perdata yang berbunyi “perjanjian harus dilaksanakan
dengan itikad baik.” Asas itikad baik merupakan asas bahwa para
pihak yaitu pihak kreditur dan debitur melaksanakan substansi
kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau
kemauan baik dari para pihak. Menurut E.Allan Farnsworth yang
dikutip oleh Ridwan Khairandy didalam bukunya menerangkan
bahwa di Inggris doktrin itikad baik masih merupakan sesuatu
yang kontroversial karena pengadilan belum mampu menemukan
makna itikad baik yang konkret dalam konteks hukum kontrak.
Tanpa makna itikad baik yang jelas, doktrin itikad baik dapat
menjadi suatu ancaman bagi kesucian prinsip kepastian hukum. Di
Amerika sendiri banyak terdapat pandangan yang mencoba
memberikan pengertian itikad baik (Ridwan Khairandy. 2003:130).
Akibatnya timbul ketidakjelasan terhadap penerapan itikad baik
seringkali lebih banyak didasarkan pada intuisi pengadilan yang
hasilnya seringkali tidak dapat diprediksi dan tidak konsisten
commit to user
(Steven J. Burton.1980:370).
perpustakaan.uns.ac.id 29
digilib.uns.ac.id

In particular, the duty of good faith was deemed as an


integrating part of any contract and source of additional burdens
and obligations for the parties. Atau dapat dikatakan bahwa secara
khusus, tugas itikad baik dianggap sebagai mengintegrasikan
bagian dari kontrak dan sumber tambahan beban dan kewajiban
untuk para pihak sehingga asas itikad baik dalam hukum perjanjian
di Indonesia bermakna bahwa perjanjian harus dilaksanakan
dengan itikad baik (Marco Farina, 2012:6).
Pendapat lainnya mengatakan bahwa meskipun Pasal 1338
KUH Perdata merupakan pasal yang penting mengenai perjanjian,
karena merupakan sandaran dari asas itikad baik yakni bahwa
setiap perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik (Ahmadi
Miru,2012:79). Namun pasal tersebut merupakan pasal yang paling
tidak jelas maknanya terutama mengenai definisi atau ruang
lingkup dari itikad baik yang sulit didefinisikan (J.Satrio.
1995:367). Istilah itikad baik berasal dari hukum Romawi yaitu
“bona fides” dengan pengertian bona diartikan sebagai salah dan
fides diartikan sebagai percaya, dengan demikian bona fides
diartikan dengan pengertian yang baik, jujur, dan lurus. Sehingga
pada intinya bahwa prinsip mengenai itikad baik lebih ditekankan
pada saat pelaksanaan perjanjian, sebab dalam proses pembuatan
perjanjiannya unsur itikad baik yang dimasukan dalam syarat
sahnya perjanjian yakni “kausa yang halal”. Tetapi apabila dalam
proses pelaksanaan perjanjian tidak diterapkan maka perjanjian
tersebut akan sulit dilakukan dengan kondisi yang baik dan
seimbang,sehingga akhirnya perjanjian itu tidak saling
menguntungkan karena ada pihak yang dirugikan (Samuel M.P
Hutabarat, 2010:44).
Menurut pendapat Bayu Seto yang dikutip oleh Samuel M.P.
Hutabarat di dalam bukunya, menyatakan bahwa dapat
commit
disimpulkan jika dalam to user
itikad baik itu terdapat 3 (tiga) unsur, yakni
perpustakaan.uns.ac.id 30
digilib.uns.ac.id

unsur kejujuran (honesty), kepatutan (reasonableness), dan tidak


sewenang-wenang (fairness). Unsur kejujuran (honesty) adalah
pembentukan dan pelaksanaan perjanjian para pihak secara aktif
ataupun pasif yang harus menjunjung tinggi nilai kejujuran, dan
unsur kepatutan (reasonableness) adalah bahwa dalam diri para
pihak sendiri terdapat kesadaran untuk melakukan atau tidak
melakukan tindakan yang baik. Sedangkan unsur tidak sewenang-
wenang (fairness) adalah bahwa pihak yang memiliki posisi tawar
(bargaining position) lebih kuat tidak memanfaatkan kekuatan
tersebut untuk memperoleh keuntungan yang tidak wajar dari pihak
lain dalam kontrak yang memiliki posisi tawar lebih lemah
(Samuel M.P. Hutabarat, 2010:45).
Dengan demikian asas itikad baik yang baru diterapkan setelah
perjanjian ditandatangani sebagaimana ketentuan yang tercantum
didalam KUH Perdata Pasal 1338 ayat (3), untuk saat ini
penerapannya sudah tidak sesuai lagi karena seharusnya asas itikad
baik sudah harus diterapkan sejak saat perundingan atau
prakontraktual.
Seperti yang dikatakan oleh Marco Farina di dalam jurnalnya
bahwa good faith is expression of the compulsory principle of
mutual protection which requires cooperation by the contracting
parties with a view to achieving the expected benefits. Oleh karena
itu, itikad baik adalah ekspresi prinsip wajib saling melindungi dan
memerlukan kerjasama dari pihak-pihak yang tujuan untuk
mencapai manfaat yang diharapkan (Marco Farina,2012:6).
Untuk mengetahui ada tidaknya itikad baik dalam suatu
hubungan kontraktual terdapat dua jenis pengujian yaitu pengujian
objektif (objective test) dan pengujian subjektif (subjective test).
Objective test berkaitan dengan kepatutan yang dalam arti bahwa
salah satu pihak tidak dapat membela diri dengan mengatakan
commitjujur
bahwa ia telah bertindak to user
manakala ternyata ia tidak bertindak
perpustakaan.uns.ac.id 31
digilib.uns.ac.id

secara patut. Sedangkan subjective test yaitu kewajiban itikad baik


dikaitkan dengan keadaan karena ketidaktahuan (lack of notice)
seperti dalam perolehan hak milik atas benda bergerak yang
diserahkan oleh orang yang tidak berhak (Y. Sogar Simamora,
2013: 189).

b. Asas Proporsional
Pemikiran mengenai asas keseimbangan (proporsionalitas) perlu
dikemukakan disamping asas keseimbangan dalam kontrak. Dalam
beberapa kamus, dua istilah itu dibedakan artinya, namun ada juga
yang menyamakan artinya. Kata“keseimbangan” berarti keadaan
seimbang (sama berat, setimbang, sebanding, setimpal); sedang
kata “proporsionalitas” atau “proporsional” berarti sesuai dengan
proporsi, sebanding, berimbang (Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
1995:373).
Ruang lingkup dan daya kerja asas proporsionalitas tampak
lebih dominan pada kontrak komersial. Dengan asumsi dasar
bahwa karakter kontrak komersial menempatkan posisi para pihak
pada kesetaraan, maka tujuan para pihak yang berkontrak (disebut
juga para kontraktan) yang berorientasi pada keuntungan bisnis
akan terwujud apabila terdapat pertukaran hak dan kewajiban yang
fair (proporsional). Asas proporsional tidak dilihat dari konteks
keseimbangan matematis, tetapi pada proses dan mekanisme
pertukaran hak dan kewajiban yang berlangsung secara fair (Agus
Yudha Hernoko, 2011:89).
Pada dasarnya asas proporsionalitas merupakan perwujudan
doktrin “keadilan berkontrak” yang mengoreksi dominasi asas
kebebasan berkontrak yang dalam beberapa hal justru
menimbulkan ketidakadilan. Perwujudan keadilan berkontrak
ditentukan melalui commit to user
dua pendekatan.Pertama,pendekatan prosedural,
perpustakaan.uns.ac.id 32
digilib.uns.ac.id

pendekatan ini menitikberatkan pada persoalan kebebasan


kehendak dalam suatu kontrak.Pendekatan kedua, yaitu pendekatan
substantif yang menekan kandungan atau substansi serta
pelaksanaan kontrak. Dalam pendekatan substanstif perlu
diperhatikan adanya kepentingan yang berbeda.
Terkait dengan kontrak komersial yang berorientasi
keberlangsungan hubungan para pihak, fungsi asas proporsionalitas
menunjukkan pada karakter kegunaan yang “operasional dan
implementatif” dengan tujuan mewujudkan apa yang dibutuhkan
para pihak. Dengan demikian fungsi asas proporsionalitas, baik
dalam proses pembentukan maupun pelaksanaan kontrak
komersial, termasuk ketika terjadi kegagalan kontrak yang
bermuara pada sengketa dapat diuraikan dalam proses mata rantai
berikut ini (Peter Mahmud Marzuki, 2003:194):
a) Dalam tahap pra kontrak, asas proporsionalitas membuka
peluang negosiasi bagi para pihak untuk melakukan pertukaran
hak dan kewajiban secara fair. Oleh karena itu adalah tidak
proporsional dan harus ditolak proses negosiasi dengan itikad
buruk;
b) Dalam pembentukan kontrak, asas proporsional menjamin
kesetaraan hak serta kebebasan dalam menentukan/mengatur
proporsi hak dan kewajiban para pihak berlangsung secara fair;
c) Dalam pelaksanaan kontrak, asas proporsional menjamin
terwujudnya distribusi pertukaran hak dan kewajiban menurut
proporsi yang disepakati/dibebankan pada para pihak;
d) Dalam hal terjadi kegagalan dalam pelaksanaan kontrak, maka
harus dinilai secara proporsional apakah kegagalan tersebut
bersifat fundamental (fundamental breach) sehingga
menggangu pelaksanaan sebagaian besar kontrak atau sekedar
hal-hal yang sederhana/kesalahan kecil (minor important).
Oleh karena itucommit to user
pengujian melalui asas proporsionalitas sangat
perpustakaan.uns.ac.id 33
digilib.uns.ac.id

menentukan dalil kegagalan pelaksanaan kontrak, agar jangan


sampai terjadi penyalahgunaan oleh salah satu pihak dalam
memanfaatkan klausula kegagalan pelaksanaan kontrak,
semata-mata demi keuntungan salah satu pihak dengan
merugikan pihak lain;
e) Bahkan dalam hal terjadi sengketa kontrak, asas
proporsionalitas menekankan bahwa proporsional beban
pembuktian kepada para pihak harus dibagi menurut
pertimbangan yang fair.

3. Tinjauan Tentang Kontrak Karya


a. Pengertian Kontrak Karya
Kontrak karya merupakan kontrak yang dikenal dalam bidang
pertambangan di luar minyak dan gas bumi, seperti kontrak karya
dalam penambangan batu bara dan pertambangan umum. Istilah
kontrak karya merupakan terjemahan dari kata work of contract.
Menurut pendapat Sri Woelan Aziz, yang dikutip oleh Salim H.S
dalam bukunya yang berjudul Perkembangan Hukum Kontrak
Innominaat di Indonesia mengartikan kontrak karya adalah “Suatu
kerja sama di mana pihak asing membentuk suatu badan hukum
Indonesia dan badan hukum Indonesia ini bekerja sama dengan badan
hukum Indonesia yang menggunakan modal nasional.” Definisi
tersebut disempurnakan oleh Salim H.S., yaitu “Suatu kontrak yang di
buat antara Pemerintah Indonesia dengan perusahaan asing semata-
mata atau merupakan patungan antara badan hukum asing dengan
badan hukum domestik dalam bidang pertambangan di luar minyak
dan gas bumi sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan oleh kedua
belah pihak.” Sehingga berdasarkan definisi tersebut, yang tidak
hanya mengatur kerja sama antara badan hukum asing dengan badan
hukum Indonesia, tetapi mengatur mengenai(Salim H.S, 2010:22):
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 34
digilib.uns.ac.id

1) Adanya kontraktual, yaitu kontrak yang di buat oleh para


pihak;
2) Adanya subjek hukum, yaitu Pemerintah Indonesia dengan
pihak asing dan atau gabungan antara asing dengan pihak
Indonesia;
3) Adanya objek, yaitu pengelolaan dan pemanfaatan tambang di
luar minyak dan gas bumi;
4) Adanya jangka waktu di dalam kontrak.

b. Bentuk dan Substansi Kontrak Karya


Bentuk kontrak karya antara pemerintah Indonesia dengan
perusahaan penanaman modal asing atau antara perusahaan asing
dengan perusahaan domestik untuk melakukan kegiatan di bidang
pertambangan di luar minyak dan gas bumi adalah berbentuk tertulis
(Salim H.S, 2010:78).
Naskah kontrak karya pertambangan memuat berbagai ketentuan,
dan paling sedikit memuat diantaranya (Nanik Trihastuti, 2013:57) :
1) Aspek teknis (eksplorasi dan pertambangan);
2) Aspek umum (masalah lingkungan, pengembangan wilayah,
tenaga kerja dan promosi kepentingan nasional);
3) Aspek pembiayaan dan keuangan (perpajakan dan berbagai
pungutan negara lainnya, pemasaran, fasilitas impor dan ekspor
ulang); dan
4) Aspek hukum (keadaan memaksa, penyelesaian sengketa,
terminasi kontrak dan pengalihan hak).

c. Subjek dan Objek Kontrak Karya


Subjek hukum merupakan para pihak yang terkait dengan kontrak
karya, yaitu pemerintahan Indonesia yang diwakili oleh mentri
pertambangan dan energi dengan pihak asing atau gabungan dari
commit Sedangkan
pihak asing dan domestik. to user objek kontrak karya adalah
perpustakaan.uns.ac.id 35
digilib.uns.ac.id

perjanjian-perjanjian di bidang pertambangan di luar minyak dan gas


bumi seperti pertambangan emas, tembaga, batu bara, dan lain-lain
sepakat (Salim H.S, 2010:80).

d. Berakhirnya Kontrak Karya


Di dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967
tentang Pertambangan, Pasal 38 Peraturan Pemerintah Nomor 32
Tahun 1969 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor
11 Tahun 1967 tentang Pertambangan telah ditentukan cara
berakhirnya kuasa pertambangan. Kuasa pertambangan berakhir
karena :
1) Pertambangan berakhir;
2) Dibatalkan;
3) Habisnya waktu.
Pemegang kuasa pertambangan yang berakhir karena
pertambangan berakhir adalah menyerahkan kembali kuasa
pertambangannya secara tertulis kepada Menteri. Pernyataan tertulis
harus memuat alasan-alasan yang cukup. Apa sebabnya pernyataan itu
disampaikan. Pengembalian kuasa pertambangan dinyatakan sah
setelah disetujui oleh Menteri.
Yang berwenang membatalkan kuasa pertambangan adalah
Menteri, yang dituangkan dalam Keputusan Menteri. Faktor-faktor
yang menyebabkan pembatalan kuasa pertambangan antara lain:
1) Pemegang kuasa pertambangan tidak memenuhi persyaratan
yang ditetapkan;
2) Pemegang kuasa pertambangan ingkar menjalankan perintah
dan petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh pihak yang
berwajib untuk kepentingan negara.
Kuasa pertambangan yang berakhir demi hukum adalah kuasa
pertambangan berakhir karena jangka waktu yang ditentukan dalam
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 36
digilib.uns.ac.id

kuasa pertambangan telah habis dan tidak dilakukan perpanjangan


(Salim H.S, 2010:84).

e. Kontrak Karya Sebagai Kontrak Publik


Terdapat dua fungsi penting dari kontrak yaitu pertama untuk
menjamin terciptanya harapan atas janji yang telah dipertukarkan dan
kedua mempunyai fungsi konstitutif untuk memfasilitasi transaksi
fungsi konstitutif untuk memfasilitasi transaksi yang direncanakan
dan memberikan aturan bagi kelanjutannya ke depan. Dalam kaitan
dengan fungsi kontrak bagi perencanaan transaksi yaitu (Y. Sogar
Simamora, 2013:26) :
1) Kontrak pada umumnya menetapkan nilai pertukaran;
2) Dalam kontrak terdapat kewajiban timbal balik dan standar
pelaksanaan kewajiban;
3) Kontrak membutuhkan alokasi pengaturan tentang risiko
ekonomi bagi para pihak;
4) Kontrak dapat mengatur kemungkinan kegagalan dan
konsekuensi hukumnya.
Kontraktualisasi membawa implikasi kontrak yang dibuat oleh
pemerintah selalu terdapat unsur hukum publik. Inilah yang menjadi
alasan bahwa kontrak pemerintah disebut sebagai kontrak publik.
Kontrak publik merupakan kontrak yang di dalamnya terkandung
hukum publik karena salah satu pihak bertindak sebagai penguasa
(pemerintah). Hal tersebut yang menjadi dasar bahwa kontrak
pemerintah ada yang menilai bukan sebagai kontrak melainkan
sebagai peraturan karena isi yang terkandung di dalamya tidak
mencerminkan adanya persesuaian kehendak. Kuatnya sifat publik
dalam kontrak pemerintah menjadi alasan bahwa aturan dalam hukum
kontrak konvensional tidak sesuai dalam hubungan kontraktual antara
pemerintah dengan individu maupun perusahaan swasta (Y. Sogar
Simamora, 2013: 26).commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 37
digilib.uns.ac.id

Adanya unsur hukum publik dalam kontrak pemerintah


menempatkan pemerintah dalam dua peran. Di satu sisi sebagai
kontraktan pemerintah berkedudukan seperti subjek hukum privat dan
di sisi lain dalam kedudukan sebagai badan hukum publik, pemerintah
menjalankan fungsi pelayanan publik. Pelaksanaan fungsi pelayanan
publik selalu terkait dengan anggaran keuangan negara (Y. Sogar
Simamora, 2013: 67). Dalam kaitannya dengan kontrak karya, dengan
masuknya pemerintah menjadi pihak dalam kontrak karya berarti
sebagai sebuah negara yang berdaulat, Indonesia telah menanggalkan
imunitasnya (waiver of imunity) dan masuk dalam suatu tindakan
komersial. Tindakan tersebut dimaksudkan agar tercapai suatu
kedudukan yang seimbang (equality of the parties) antara para pihak
dalam kontrak yang diadakan antara negara sebagai subjek hukum
internasional yang paling sempurna dan perusahaan sebagai subjek
hukum yang memiliki kapasitas terbatas (Nanik Trihastuti. 2013:51).
Latar belakang digunakannya kontrak karya sebagai pola
kerjasama dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya mineral
sudah sesuai dengan amanah yang terkandung dalam Pasal 33 ayar (3)
UUD 1945 dimana negara bukanlah pemilik dari bumi, air, dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya tetapi hanya memiliki
hak untuk menguasai saja dan berdasarkan hal ini maka negara harus
mengusahakannya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Posisi
pemerintah terhadap kontraktor juga lemah akibat tidak dimilikinya
data dan informasi yang lengkap mengenai potensi sumberdaya
mineral yang ada di Indonesia yang tercermin dalam model kontrak
karya yang berupa perjanjian standar dengan substansi yang sama
untuk semua lokasi di Indonesia. Pada umumnya kontrak karya hanya
berbeda dalam aspek perpajakan. Karena kurangnya pengetahuan
pemerintah akan potensi sumber daya mineral yang ada di Indonesia,
maka harapan pemerintah terhadap investor hanya terbatas pada
commit
tujuan untuk menemukan to usermineral.
cadangan
perpustakaan.uns.ac.id 38
digilib.uns.ac.id

Kerugian lainnya adalah bahwa setiap kali investor asing


mengajukan aplikasi kontrak karya, aplikasi ini telah dilengkapi
dengan peta wilayah yang diinginkan. Sumber daya mineral memang
dikuasai oleh negara dan investor berkedudukan sebagai kontraktor
maka seharusnya pemerintah yang menawarkan wilayah kepada
investor dan bukan sebaliknya dimana investor memilih sendiri
wilayah yang akan dikerjakannya. Setelah investor menandatangani
kontrak karya dan mendapatkan kepastian tentang cadangan mineral
tersebut dapat dijadikan asset perusahaan untuk mendapatkan dana
dari pasar modal luar negeri. Sehingga dapat dikatakan bahwa sumber
daya mineral yang sebenernya milik bangsa Indonesia
diperdagangkan oleh investor yang posisinya hanya sebagai
kontraktor pemerintah. Dan untuk menanamkan modalnya, investor
memerlukan jaminan untuk menambang (right to mine) sebelum
melakukan penelitian dan eksplorasi untuk menemukan mineral.
Untuk itulah maka investor menghendaki bahwa semua persyaratan
tentang hak dan kewajiban sudah disepakati (nailed down) sejak
sebelum adanya kegiatan. Sebagai akibatnya, pemerintah tidak dapat
berbuat apa-apa terhadap apapun hasil eksplorasi (Nanik Trihastuti,
2013:55).
Seperti dalam perjanjian lainnya, terdapat kemungkinan
munculnya sengketa anatara para pihak yang terjadi sebagai akibat
adanya wanprestasi. Agar penyelesaian sengketa dapat berjalan
efektif maka diperlukan prasyarat yaitu adanya kemauan para pihak
untuk menyelesaikan sengketa tersebut dan hak dengar (right to hear)
dari kedua belah pihak sama-sama terpenuhi. Kesepakatan para pihak
untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase. Untuk
menyelesaikan sengketa melalui badan arbitrase, hukum yang akan
diberlalukan oleh dewan arbitrase adalah hukum yang dipilih oleh
para pihak sebagaimana tertulis dalam kontrak dan apabila tidak ada
commit
hukum yang tegas-tegas to user
dipilih oleh para pihak maka hukum yang
perpustakaan.uns.ac.id 39
digilib.uns.ac.id

diberlakukan adalah hukum dimana perjanjian dibuat atau hal-hal


lainnya yang memberikan petunjukan tentang hukum yang akan
dipakai (Huala Adolf, 1990:47).

f. Kontrak Karya Berdasarkan Undang-Undang


Dalam Pasal 1 Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor
1409.K/201/M.PE/1996 tentang Tata Cara Pengajuan Pemrosesan
Pemberian Kuasa Pertambangan, Izin Prinsip, Kontrak Karya dan
Perjanjian Karya Pengusahaan Perambangan, Izin Prinsip, Kontrak
Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambanganm Batu Bara
telah ditentukan pengertian kontrak karya. Kontrak Karya (KK) adalah :
“suatu perjanjian antara pemerintah Republik Indonesia dengan
perusahaan swasta asing atau patungan antara asing dengan nasional
(dalam rangka PMA) untuk pengusahaan mineral dengan berpedoman
kepada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman
Modal Asing serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan Umum”

Dalam definisi ini, kontrak karya dikonstruksikan, sebagai sebuah


perjanjian. Subyek perjanjian itu adalah Pemerintah Indonesia dengan
perusahaan asing dan perusahaan nasional. Objeknya adalah
pengusahanan mineral. Pedoman yang digunakan dalam implementasi
kontrak karya adalah Undang-Undang dalam implementasi kontrak
karya adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan Umum.
Definisi lain dari kontrak karya, dapat kita baca dalam Pasal 1
angka 1 Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor
1614 Nomor 2004 tentang Pedoman Pemrosesan Permohonan Kontrak
Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Baru Bara
dalam Rangka Penanamana Modal Asing. Dalam ketentuan itu,
disebutkan pengertian kontrak karya. Kontrak karya adalah Perjanjian
antara Pemerintah Indonesia dengan perusahaan Indonesia dalam
rangka penenaman commit
modal toasing
user untuk melaksanakan usaha
perpustakaan.uns.ac.id 40
digilib.uns.ac.id

pertambangan bahan galian, tidak termasuk minyak bumi, gas alam,


panas bumi, radio aktif, dan batu bara.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 41
digilib.uns.ac.id

B. Kerangka Pemikiran
Penelitian ini berdasarkan acuaan teoritik diatas maka dapat diperjelas dengan
alur berpikir yang akan mendukung serta mempermudah dalam melakukan
penyusunan penelitian hukum ini, berdasarkan sebab tersebut maka penulis dapat
merumuskan alur kerangka berpikir dalam penelitian ini sebagai berikut :

PENGELOLAAN
PERTAMBANGAN

SWASTA ASING PEMERINTAH


PT. NEWMONT NUSA TENGGARA INDONESIA

KERJA SAMA PERTAMBANGAN

KONTRAK KARYA
ASAS ITIKAD BAIK
ASAS PROPORSIONAL

PROBLEMATIKA :
Ketidaksesuaian dengan Asas Itikad Baik dan
Asas Proporsional
a. luas wilayah kerja;
b. kewajiban divestasi;
c. royalti;
d. pajak;
e. kewajiban smelting;
f. program pengembangan masyarakat.

KESEIMBANGAN HAK DAN KEWAJIBAN ANTARA


PT. NEWMONT NUSA TENGGARA DENGAN
PEMERINTAH INDONESIA

PENGATURAN IDEAL
Bagan.1. Kerangka
commit Pemikiran
to user
perpustakaan.uns.ac.id 42
digilib.uns.ac.id

Keterangan:
Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut dapat dijelaskan bahwa kontrak
karya pertambangan merupakan salah satu jenis dari kontrak publik. Salah satu
perusahaan yang melakukan kerjasama dalam pengusahaan bahan galian
(tambang) adalah PT. Newmont Nusa Tenggara (NNT) yang merupakan
perusahaan patungan antara PT. Newmont Indonesia Limited (perusahaan asing)
dan PT. Pukuafu dengan komposisi saham masing-masing 80% dan 20%. Kontrak
Karya antara PT. Newmont Nusa Tenggara dengan Pemerintah Indonesia dibuat
dan ditandatagani pada tanggal 2 Desember 1986. Kepemilikan saham PT.
Newmont Nusa Tenggara sudah dimiliki oleh empat grup besar diantaranya
adalah Nusa Tenggara Partnership sebesar 56%, PT Multi Daerah Bersaing 24%,
PT Pukufu Indah 17, 8% dan PT.Indonesia Masbaga Investama 2.2%. seiringi
munculnya Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara,timbul masalah-masalah yang harus direnegosiasi yaitu mengenai
luas wilayah kerja, penerimaan negara, kewajiban divestasi, kewajiban
pengolahan dan pemurnian (smelting), dan kewajiban penggunaan barang dan jasa
dalam negeri serta mengenai pengatur tentang pemilikan saham dari Kabupaten
Sumbawa Barat padahal Kabupaten Sumbawa Barat merupakan pemilik sumber
daya alam.
Setiap pihak yang membuat kontrak, terutama pihak pemberi kewenangan
dalam hal ini Pemerintah menghendaki adanya pelaksanaan kontrak diusahakan
dengan sempurna sesuai dengan isi kontrak dan disesuaikan dengan peraturan
perundang-undangan yang baru. Di dalam Pasal 13 ayat (9) Kontrak Karya PT
Newmont Nusa Tenggara dengan Pemerintah Indonesia yang menerangkan bahwa
PT. Newmont Nusa Tengggara dibebaskan pajak impor barang modal, peralatan,
mesin dan bahan-bahan. Hal tersebut memperlihatkan ketidakseimbangan dan
diskriminatif hak yang diperoleh PT. Newmont Nusa Tenggara, padahal
perusahaan-perusahaan lain untuk memasukan barang modal harus membayar bea
masuk. Dengan tidak adanya suatu pasal di kontrak karya PT. Newmont Nusa
commit to mengenai
Tenggara dengan Pemerintah Indonesia user pembebasan pajak impor
perpustakaan.uns.ac.id 43
digilib.uns.ac.id

barang modal, peralatan, mesin dan bahan-bahan tersebut menggambarkan tidak


adanya itikad baik. Oleh karena itu dalam pembuatan kontrak yang mengikat bagi
para pihak perlu memperhatikan keseimbangan prestasi para pihak tersebut pada
waktu menutup kontrak. Ketidakseimbangan prestasi antara 2 (dua) pihak dapat
terjadi apabila pihak yang satu mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari
pihak yang lain. Oleh karena itu, asas proporsionalitas dalam kontrak juga
diperlukan untuk melihat kesesuaian hak dan kewajiban dari para pihak dalam
kontrak karya PT. Newmont Nusa Tenggara dengan Pemerintah Indonesia agar
dapat mendapatkan pengaturan yang ideal apabila dikaitkan dengan asas asas
itikad baik dan asas proporsional dalam rangka renegosiasi kontrak karya.

commit to user

Anda mungkin juga menyukai