Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit
Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual
kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
PENGEMBANGAN DESA TANGGUH BENCANA
Chatarina Muryani
Sorja Koesuma
Yasin Yusup
PENGEMBANGAN DESA TANGGUH BENCANA
Penulis:
Chatarina Muryani
Sorja Koesuma
Yasin Yusup
Penata letak
Sorja Koesuma
Penerbit
CV. Pramudita Press
Goresan Rt.2 Rw.8 Demakan, Mojolaban, Sukoharjo
www.pramudita.wordpress.com
email: penerbit.pramudita@gmail.com
November 2020
ISBN: 978-623-6815-07-6
Page: 102 + viii
Puji dan Sukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas penyertaan dan
lindungaNYa sehingga buku kami yang berjudul ―PENGEMBANGAN DESA
TANGGUH BENCANA‖ ini dapat selesai kami susun dan berhasil terbit. Buku ini
merupakan salah satu luaran penelitian kami yang berjudul ―PENGEMBANGAN
DESA TANGGUH BENCANA MANDIRI DI KOTA SURAKARTA‖ , berisi
bagaimana langkah-langkah yang harus diambil dalam mengembangkan Desa
Tangguh Bencana (DESTANA)
Atas terselesaikanya buku ini kami tim penyusun mengucapkan banyak terima kasih
kepada :
1. Bapak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia yang telah
memberi ijin dan membeayai penelitian kami ini,
2. Bapak Rektor Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan ijin
penelitian kami ini
3. Ibu Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdiak kepada Masyarakat (LPPM)
Universitas Sebelas Maret yang telah memberi ijin dan mendorong
tersusunnya buku ini
4. Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Surakarta yang telah
bersedia menjadi mitra dan sekaligus memberikan fasilitas-fasilitas untuk
keberhasilan penelitian ini
5. Teman-teman Peer Group Pusat Studi Bencana atas kerjasama dalam
berbagai kegiatan di PSB LPPM Universitas Sebelas Maret
6. Hikari, Tanasiva, Abdul, Fitria dan Meylida yang telah membantu penelitian
dan penyusunan buku ini
Buku ini masih jauh dari sempurna. Kritik dan saran untuk perbaikan buku ini akan
kami terima dengan senang hati
Terima kasih
Tim Penyusun
vi
DAFTAR ISI
Kata Pengantar i
Daftar Isi ii
BAB I. PRB (Pengurangan Risiko Bencana) Berbasis 1
Masyarakat……………………………………………….
BAB II. Kesiapsiagaan dan Ketangguhan Bencana…………….. 17
2.1 Kesiapsiagaan Bencana 17
2.3 Ketangguhan Bencana 27
BAB III. Konsepsi DESTANA (Desa Tangguh Bencana)……….. 42
3.1 Pengertian 42
vii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
viii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
ix
BAB 1
PENGURANGAN RISIKO BENCANA BERBASIS MASYARAKAT
Era saat ini kegiatan pembangunan tidak terkendali yang berdampak pada
tekanan sumberdaya alam serta degradasi lingkungan yang sangat serius, hal ini
membuat kerentanan terhadap bahaya semakin meningkat. Berbagai kegiatan
mitigasi telah dilakukan pemerintah baik mitigasi struktural dan non struktural,
namun akhir-akhir ini kegiatan ini melibatkan partisipasi masyarakat karena
pemerintah atau pembuat kebijakan mulai memahami bencana secara kompleks
dan menyadari bahwa diperlukanannya tindakan structural yang memadai untuk
menangani masalah kerentanan masyarakat (Pribadi, Argo, Mariani, Parlan, &
Hening, 2011). Akhir – akhir ini karakteristik bencana telah berubah sedemikian
rupa sehingga masyarakat sekarang perlu bersiap menghadapi bencana yang tidak
pernah alami dan yang mereka sulit dapat informasinya (Takeuchi, Mulyasari, &
Shaw, 2011). Masyarakat dapat berbuat banyak untuk meningkatkan
kesiapsiagaan dan meningkatkan kapasitas respons mereka sendiri atau untuk
melakukan tindakan mintigasi dari bahaya fisik wilayah setempat. Namun
masyarakat tidak mampu mengontrol sumberdaya sehingga mendekatkan mereka
terhadap bahaya, oleh karena itu diperlukannya keterlibatan masyarakat dan
melibatkan actor supra-lokal seperti instansi pemerintah pusat dan daerah serta
Lembaga Swadaya Mayarakat (LSM) untuk mendukung kegiatan penanggulangan
bahaya. Oleh karena itu, tantangannya bukanlah mendorong masyarakat untuk
berpartisipasi dalam kegiatan pengurangan risiko di tingkat lokal, karena sebagian
besar masyarakat sudah melakukan pengolaan risiko dengan sumberdaya yang
terbatas, namun tantangan sebenarnya adalah mendorong pemerintah dan actor
supra-lokal lainnya untuk berpartisipasi dalam mendukung proses berbasis
masyarakat (Maskrey, 2011).
LSM (lokal, nasional dan internasional) sekarang tampil dalam banyak
rencana pengurangan bencana. Namun mereka sering dianggap sebagai pemain
kecil, terutama di negara-negara yang pemerintahnya tetap enggan menyerahkan
otoritas dan sumber daya kepada masyarakat sipil. Mereka juga terkadang merasa
1
sulit untuk diterima secara internasional. Pemerintah tidak selalu menyambut
pertumbuhan masyarakat sipil dan beberapa menolak perluasan perannya,
terutama jika ini melibatkan kritik terhadap pemerintah. Bencana juga dapat
membuka peluang bagi organisasi masyarakat sipil untuk beroperasi lebih leluasa
dan berkolaborasi dengan mitra baru. Menurut Twigg, 2015 berikut beberapa
lembaga masyarakat yang dapat dilakukan dalam pengurangan risiko bencana :
a. Serikat pekerja aktif dalam kesehatan dan keselamatan di tempat kerja,
dan juga memberikan prioritas tinggi untuk melindungi lingkungan
mempromosikan alam dan pembangunan ekonomi yang bertanggung
jawab secara sosial. Mereka memiliki keterampilan organisasi dan
keanggotaan massal yang dapat dimobilisasi untuk menangani bahaya
dan kerentanan secara umum. Hal yang sama berlaku untuk asosiasi
profesional atau perdagangan dan koperasi lainnya
b. Lembaga keagamaan dan kelompok berbasis keyakinan memiliki tradisi
mendukung mereka yang membutuhkan dan korban bencana. Organisasi
kepercayaan lokal dengan jemaat yang mapan dan afiliasi keanggotaan
sering menjadi sumber sukarelawan dan terkadang pemimpin dalam
keadaan darurat, tetapi ada risiko bahwa kelompok semacam itu akan
menyukai orang-orang yang beragama sendiri, dan anggota agama
minoritas termasuk di antara kelompok yang lebih rentan di beberapa
masyarakat. Namun demikian, jangkauan luas akar rumput dari
kelompok agama memberi mereka peran yang berpotensi signifikan
dalam pengurangan risiko.
c. Universitas dan lembaga penelitian lainnya meningkatkan pemahaman
kita tentang bahaya, kerentanan, dan manajemen bencana. Jaringan
akademik dan publikasi merupakan saluran yang mapan dan efektif untuk
berbagi pengetahuan di antara peneliti. Jaringan internasional dan berbagi
informasi sangat kuat di antara para ilmuwan dan insinyur. Diperlukan
interaksi yang lebih baik antara peneliti bencana, lembaga teknis, dan
praktisi, tetapi ada banyak contoh kolaborasi, seperti ilmuwan yang
memberikan informasi tentang bahaya dan perkiraan jangka panjang,
2
universitas yang melakukan penelitian pasar untuk mendukung
diversifikasi produk mata pencaharian, dan badan teknis yang
mengembangkan pedoman dan standar .
d. Kelompok profesional dengan keahlian dan pengalaman teknis sering
menawarkan dukungan secara sukarela.
1.1. Pengertian
Menurut International Organization for Migration (IOM) , 2011
Pengurangan risiko bencana berbasis masyarakat diartikan sebagai pendekatan
yang digunakan oleh masyarakat untuk mengelola risiko bencana dalam wilayah
geografis mereka. Masyarakat atau komunitas mengacu pada sekelompok orang
yang memiliki minat dan kepentingan yang sama di daerah. Kepentingan bersama
dapat bersifat sosial atau ekonomi, dan biasannya dimiliki bersama oleh
penduduk, sektor swasta, seklah, lembaga keagamaan dan organisasi
kemasyarakatan yang sering berada ditingkat administrasi terendah. Tujuan
prinsip dari pendekatan ini adalah untuk mengelola risiko bencana dengan
meningkatkan kapasitas dan ketahanan lokal serta mengurangi kerentanan. Hal ini
menawarkan solusi yang dibuat khusus untuk mengelola risiko bencana lokal.
Keterlibatan masyarakat telah menjadi salah satu prioritas utama untuk
membangun kemitraan yang efektif dalam pengurangan risiko bencana sesuai
dengan kerangka Aksi Hyogo 2005 – 2015. Berkaitan dengan bencana,
mengidentifikasi faktor-faktor risiko dan memahami cara masyarakat menangani
dan menghadapi bencana serta beradaptasi dengan lingkungan yang berbahaya
dianggap faktor penentu penting bagi pengurangan risiko dan pengambilan
keputusan di tingkat lokal (Hendarsah, 2012). Pengetian lain tentang
pengurangan risiko berbasis masyarakat tertera dalam Peraturan Kepala Badan
Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 1 Tahun 2012 bahwa Pengurangan
Risiko Bencana Berbasis Masyarakat adalah proses pengelolaan risiko bencana
yang melibatkan secara aktif masyarakat yang berisiko dalam mengkaji,
menganalisis, menangani, memantau dan mengevaluasi risiko bencana untuk
mengurangi kerentanan dan meningkatkan kemampuannya.
3
Penanggulangan bencana berbasis masyarakat pada intinya merupakan
sebuah pendekatan penanggulangan bencana yang berbasis komunitas lokal,
pendekatan ini pada dasarnya mensyaratkan adanya sikap politik yang
memberikan keberpihakan kepada kepentingan komunitas lokal. Dalam
praktiknya pendekatan ini mengakomodasi potensi dan modal sosial yang ada
dimasyarakat sebagai sumber daya dalam melaksanakan program penanggulangan
bencana, sehingga masyarakat akan tanggap dan sadar bahwa mereka hidup di
daerah rawan bencana (Sukmana, 2018).
Sifat partisipasi dalam pengurangan risiko bencana berbasis masyarakat
juga sangat bervariasi, sesuai dengan konteks geografis, sosial dan kelembagaan,
berbagai komunitas dan agen eksternal yang terlibat, skala dan sifat masalah yang
akan ditangani, dan jenis pekerjaan proyek yang diusulkan atau dijalankan. .
Secara garis besar, partisipasi dapat dilihat sebagai 'hak yang dimiliki oleh semua
orang untuk terlibat dalam masyarakat dan dalam pengambilan keputusan yang
berdampak pada kehidupan mereka. Istilah 'partisipasi' digunakan dalam berbagai
cara dalam praktiknya: misalnya, dapat merujuk pada swadaya, kesukarelaan,
debat sipil, konsultasi publik, desentralisasi politik / administratif, pendelegasian
tanggung jawab, kemitraan formal antara kelompok atau organisasi,
4
kegiatan yang disepakati, mengevaluasi hasil dan berbagi manfaat. Partisipasi
masyarakat dalam manajemen risiko bencana dapat menjadi tantangan dan sulit
untuk dikelola. Diperlukan fasilitasi yang baik, dan fasilitator perlu memiliki
keterampilan dan kepekaan. Mungkin harus ada perubahan sikap untuk mencapai
rasa saling menghormati dan pengertian di antara keduanya. Berikut gambar
mengenai tingkat keterlibatan dan partisipasi masyarakat dikutip dari buku Twigg,
2015 yang berjudul Pengurangan Risiko Bencana
5
BAB II
KESIAPSIAGAAN DAN KETANGGUHAN BENCANA
17
1. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana, mendefinisikan kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan
yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui
pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya
guna.
2. Peraturan Kepala BNPB Nomor 17 Tahun 2011 tentang Pedoman
Relawan Penaggulangan Bencana, mendefinisikan kesiapsiagaan adalah
serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana
melalui langkah-langkah yang tepat dan berdaya guna untuk menjamin
adanya respons yang cepat dan efektif bila terjadi bencana.
3. Menurut (Tierney & Lindell, 2001), kesiapan merupakan tindakan yang
dilakukan sebelum dampak bencana yang memungkinkan unit sosial
untuk merespons secara aktif ketika bencana terjadi.
4. Menurut (O‘Leary, 2004), kesiapsiagaan bencana adalah total langkah
yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana yang akan terjadi (mis.,
analisis bahaya, pengawasan, peringatan, latihan, logistik).
5. Menurut (Coppola & Maloney, 2009), kesiapan adalah kegiatan yang
melibatkan dan memperlengkapi orang-orang yang mungkin terkena
dampak bencana, atau yang mungkin dapat membantu mereka yang
terkena dampak, dengan alat untuk meningkatkan kemungkinan mereka
untuk bertahan hidup dan untuk meminimalkan kerugian finansial dan
kerugian lainnya.
Secara garis besar, kesiapsiagaan bencana diselenggarakan dengan
maksud dan tujuan tertentu (BNPB, 2017). Maksud penyelenggaraan
kesiapsiagaan bencana sebagai berikut:
- Merencanakan dan melaksanakan latihan kesiapsiagaan sesuai dengan
ancaman di masing-masing daerah, khususnya dalam melakukan
aktivasi sirine peringatan dini (early warning system), latihan evakuasi
mandiri di sekolah/madrasah, rumah sakit, gedung, serta pemukiman
dan uji terap tempat pengungsian sementara/akhir (shelter) se-
Indonesia.
18
- Mendorong latihan kesiapsiagaan yang dilakukan oleh pemerintah, baik
pusat maupun daerah, dan para pemangku kepentingan lainnya, seperti
NGO/LSM, masyarakat, sekolah, perguruan tinggi, pihak swasta seperti
hotel, perusahaan, pengelola mall, LSM, yang memerankan sesuai
dengan fungsinya masing-masing.
19
mempertahankan properti dari paparan bencana. Kondisi lapangan terutama
berkaitan dengan faktor yang memicu terjadinya bencana.
Ukuran kesiapsiagaan secara keseluruhan ditentukan sebagai tingkat
keterpaparan yang mampu dipertahankan oleh seorang penduduk.
Kesiapsiagaan dihitung dengan menentukan kapasitas minimum di seluruh
kapasitas personal, peralatan yang tersedia, dan kondisi lahan. Berikut
penggambaran grafis dari sub-model kesiapsiagaan:
Capacity
of
Defend
20
5. Sumber daya ekonomi, seperti pendapatan dan kekayaan;
6. Jenis kelamin; dan
7. Pengaruh sosio-demografis terkait.
Faktor sosial ekonomi dan sosial budaya mempengaruhi paparan bahaya dan
strategi dalam mengelola risiko bencana. Keuangan menjadi sumber daya yang
menentukan tindakan perlindungan diri serta mempengaruhi akses mereka ke
berbagai bentuk bantuan pascabencana. Sumber daya keuangan membeli tingkat
keamanan yang lebih tinggi, sedangkan orang yang kurang mampu cenderung
untuk tinggal perumahan berkualitas buruk yang rentan terhadap kerusakan akibat
bencana. Bahasa, ras, etnis, dan jaringan sosial memengaruhi cara orang memberi
peringatan bencana dan apa yang mereka lakukan sebagai tanggapan atas
peringatan tersebut. Kesiapsiagaan bencana berhubungan erat dengan kerentanan
bencana. Pendekatan untuk menjelaskan kerentanan bencana sejalan dengan teori
tentang cara-cara yang dilakukan untuk membentuk peluang hidup dan
pengalaman hidup.
21
BAB III
KONSEPSI DESA TANGGUH BENCANA
Indonesia adalah negara paling rawan bencana kedua di dunia, dengan lebih
banyak gempa bumi dan gunung berapidaripada negara lain (Maarif, 2010).
Pemerintah Indonesia menghubungkan kebijakan pusat dan undang-undang
penanggulangan bencana untuk menanggulangi risiko bencana yang signifikan. Salah
satu strategi yang akan digunakan untuk mewujudkan pengurangan risiko bencana
adalah melalui pengembangan desa-desa dan kelurahan-kelurahan yangtangguh
terhadap bencana(Perka BNPB Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Pedoman Umum
Desa/Kelurahan Tangguh Bencana, 2012). Pengembangan Desa/Kelurahan
TangguhBencana juga sejalan dengan Visi Badan Nasional Penanggulangan
Bencana: ―Ketangguhan bangsa dalam menghadapi bencana‖.
Kajian risiko bencana sebagai upaya pengurangan risiko bencana,
memperhatikan tiga aspek yang terdiri dari ancaman, kerentanan, dan kapasitas dalam
menghadapi bencana (Wardani & Putra, 2016). Salah satuupaya pengurangan risiko
bencana yang sedang dilakukan memperkuat kapasitas masyarakat. Penguatan
kapasitas masyarakat yang dilakukan adalah pengembangan Desa Tangguh Bencana
(DESTANA).
3.1. Pengerian
Berdasarkan Perka BNPB Nomor 1 Tahun 2012 menerangkan, Desa/Kelurahan
Tangguh Bencana adalah desa/kelurahan yang memiliki kemampuan mandiri untuk
beradaptasi dan menghadapi ancaman bencana,serta memulihkan diri dengan segera
dari dampak bencana yang merugikan,jika terkena bencana. Dengan demikian sebuah
Desa/Kelurahan TangguhBencana adalah sebuah desa atau kelurahan yang memiliki
kemampuan untukmengenali ancaman di wilayahnya dan mampu mengorganisir
sumber dayamasyarakat untuk mengurangi kerentanan dan sekaligus
meningkatkankapasitas demi mengurangi risiko bencana. Kemampuan ini
42
diwujudkandalam perencanaan pembangunan yang mengandung upaya-
upayapencegahan, kesiapsiagaan, pengurangan risiko bencana dan
peningkatankapasitas untuk pemulihan pasca keadaan darurat.
Tujuan dari adanya program Desa Tangguh Bencana (DESTANA) dalam Perka
BNPB Nomor 1 Tahun 2012 sebagai berikut:
1. Memberikan panduan bagi pemerintah dan/atau pemerintah daerah
dalammengembangkan Desa/Kelurahan Tangguh Bencana sebagai bagian
dariupaya untuk melaksanakan pengurangan risiko bencana berbasismasyarakat;
2. Memberikan acuan bagi pelaksanaan pengembangan Desa/KelurahanTangguh
Bencana bagi aparatur pelaksana dan pemangku kepentinganPRB.
43
3. Kelembagaan: pembentukan forum Penanggulangan BencanaDesa/Kelurahan
yang berasal dari unsur pemerintah dan masyarakat,kelompok/tim relawan
penanggulangan bencana di dusun, RW dan RT,serta pengembangan kerjasama
antar sektor dan pemangku kepentingandalam mendorong upaya pengurangan
risiko bencana;
4. Pendanaan: rencana mobilisasi dana dan sumber daya (dari APBDKabupaten/
Kota, APBDes/ADD, dana mandiri masyarakat dan sektorswasta atau pihak-
pihak lain bila dibutuhkan);
5. Pengembangan Kapasitas: pelatihan, pendidikan, dan penyebaraninformasi
kepada masyarakat, khususnya kelompok relawan dan parapelaku
penanggulangan bencana agar memiliki kemampuan dan berperanaktif sebagai
pelaku utama dalam melakukan perencanaan, pelaksanaan,dan evaluasi
kegiatan-kegiatan pengurangan risiko bencana;
6. Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana: kegiatan-kegiatan mitigasi fisik
struktural dan non-fisik; sistem peringatan dini; kesiapsiagaan untuktangggap
darurat, dan segala upaya pengurangan risiko melalui intervensipembangunan
dan program pemulihan, baik yang bersifat struktural-fisikmaupun non-
struktural.
44
Desa/Kelurahan Tangguh Bencana Madya (skor 36-50)
Desa/Kelurahan Tangguh Bencana Pratama (skor 20-35)
45
Kelembagaan wakil dari masyarakat dan pemerintah, termasuk
kelompok perempuan dan kelompok rentan telah
terbentuk dan mulai berfungsi walau belum
terlalu aktif?
(Bila ‘Tidak’ lanjutkan ke pertanyaan no. 10,
bila ‘Ya’ lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)
9. Apakah forum PRB yang terbentuk telah
berfungsi aktif dengan program-program
pengurangan risiko yang terencana dan
diimplementasikan dengan baik?
(Lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)
10. Apakah telah ada upaya-upaya awal untuk
membentuk tim relawan/siaga PB
Desa/Kelurahan yang terutama akan terlibat
dalam tanggap darurat bencana, PRB dan
pendidikan kebencanaan?
(Bila ‘Tidak’ lanjutkan ke pertanyaan no. 13,
bila ‘Ya’ lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)
Kelembagaan 11. Apakah tim relawan/siaga PB Desa/Kelurahan
telah terbentuk dan memiliki kelengkapan
personil dan peralatan yang memadai untuk
melaksanakan tugasnya?
(Bila ‘Tidak’ lanjutkan ke pertanyaan no. 13,
bila ‘Ya’ lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)
12. Apakah tim relawan/siaga PB Desa/Kelurahan
telah secara rutin melakukan kegiatan pelatihan,
praktik simulasi, dan geladi respons tanggap
darurat bagi para anggotanya dan masyarakat,
melalui kegiatan-kegiatan yang terencana dan
terprogram dengan baik?
(Lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)
13. Dalam upaya pengurangan risiko bencana,
apakah sudah ada pembicaraan untuk menjalin
kerjasama dengan desa/kelurahan lain,
kecamatan, kabupaten, pihak swasta, organisasi
sosial dll ?
(Bila ‘Tidak’ lanjutkan ke pertanyaan no.
Kelembagaan 16, bila ‘Ya’ lanjutkan ke pertanyaan
selanjutnya)
14. Apakah sudah ada perjanjian kerjasama yang
disepakati bersama dengan desa/kelurahan lain,
kecamatan, kabupaten, pihak swasta, organisasi
sosial, dll?
(Bila ‘Tidak’ lanjutkan ke pertanyaan no. 16,
bila ‘Ya’ lanjutkan ke pertanyaan
selanjutnya)
46
BAB IV
PENILAIAN RISIKO BENCANA
62
―Potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu kawasan dan kurun
waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya
rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan
masyarakat‖ (BNPB, 2012).
1. Bahaya (Hazard)
Bahaya adalah fenomena ataupun aktivitas manusia yang dapat
menyebabkan hilangnya nyawa atau luka, kerusakan harta benda, kehidupan
sosial ekonomi terganggu maupun penurunan kualitas lingkungan. Setiap
ancaman atau bahaya memiliki karakteristik berupa keterkaitannya terhadap
peluang, lokasi, waktu, dan besarnya dampak (intensitas atau magnitudo).
Dampak yang ditimbulkan dari terjadinya sebuah bencana dapat diminimalisir
bahkan dihindari dengan cara mengenali dan memahami terlebih dahulu
ancaman atau bahaya yang ada. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah
dengan penilaian bahaya (hazard assessment). Penilaian bahaya yang
dilakukan meliputi kegiatan analisis aspek fisik yang berasal dari fenomena
atau kejadian alam melalui pengumpulan data historis, interpretasi data
topografi, geologi, hidrologi untuk mendapatkan prakiraan kemungkinan
spasial dan temporal datangnya kejadian dan besarnya bahaya. Kemudian
dapat dilakukan pemetaan bahaya (hazard mapping), untuk menampilkan
karakteristik dari bahaya tersebut baik dari sifat dan jenis bahaya yang terjadi,
waktu terjadinya bencana dan durasi dampak yang ditimbulkan serta luas
daerah pengaruh sebagai zona-zona bahaya yang berguna untuk langkah
mitigasi bencana.
2. Kerentanan (Vulnerability)
Kondisi dari suatu komunitas atau masyarakat yang mengarah atau
menyebabkan ketidakmampuan dalam menghadapi ancaman bencana. Disebut
sebagai kerentanan (BNPB, 2012). Kerentanan disebutkan sebagai komponen
yang digunakan untuk menggambarkan keterpaparan daerah tersebut ketika
bencana terjadi, dengan kata lain kerentanan juga dapat disebut sebagai
63
kecenderungan seseorang. Sistem seperti masyarakat atau ekonomi, struktur
atau aset yang terpengaruh oleh dampak bahaya alam. Komponen risiko
kerentanan ini jika dikompilasikan dengan bahaya, kerentanan yang tinggi
adalah faktor yang mempertinggi nilai risiko yang dihadapi. Kerentanan disini
dilihat dari emapt segi yaitu segi sosial, fisik, ekonomi, dan lingkungan.
3. Kapasitas (Capacity)
Berdasarkan Perka nomor 3 tahun 2012 tentang Panduan Penilaian Kapasitas
Daerah Dalam Penanggulangan Bencanaapasitas adalah kemampuan daerah
dan masyarakat untuk melakukan tindakan pengurangan ancaman dan potensi
kerugian akibat bencana secara terstruktur, terencana dan terpadu.
Penentuan risiko bencana menggunakan tiga tahap yang terbagi menjadi klasifikasi
data, pembobotan dan skoring (IRBI, 2018).
64
1. Klasifikasi Data
Data yang digunakan terdiri dari data bahayaper jenis bencana untuk
mewakili komponen bahaya, data jiwa terpapar, kerugian rupiah dan
kerusakan lingkungan (ha) per jenis bencana untuk mewakili komponen
kerentanan dan data kapasitas pemerintah daerah perkabupaten/kota.untuk
mewakili komponen kapasitas.
2. Pembobotan
Penentuan bobot per jenis bahaya (komponen 1) ditentukan berdasarkan
hubungan antara frekuensi kejadian dengan adanya tidakperingatan. Bobotper
jenis bahaya dan nilai tingkat bahaya 1 untukrendah, 2 untuk sedang dan 3
untuk tinggi.
Bobot kerentanan (komponen 2) berbeda dengan komponen bahaya
yang dihitung berdasarkanindeks penduduk terpapar dalam jiwa,kerugian
dalam rupiah dan kerusakan lingkungan dalam hektar.Komponen kapasitas
disusun untuksemua jenis bencana berdasarkan parameterkapasitas regulasi,
kelembagaan, sistemperingatan dini, pendidikan, pelatihan,
keterampilan,mitigasi, dan sistem kesiapsiagaan.
Masing-masing parameter kemudian dikelompokkan menjadi 3 kelas
yang kemudian digunakan untuk menghitung risiko bencana dengan
menggunakan rumus risiko. Penentuan interval kelas masing-masing indeks
jenis bencana dilakukan menggunakan nilai indeks dari kelas 1 untuk rendah,
kelas 2 untuk sedang dan kelas 3 untuk tinggi.
3. Skoring
Penentuan skor untuk masing- masing parameter dilakukan dengan
metode pengkalian antarakelas (1, 2, dan 3) dengan bobot yang
telahditentukan. Skor masing- masing parameterkemudian dijumlahkan secara
keseluruhan untukmemperoleh skor total bencana di wilayah kabupaten / kota.
65
BAB V
RENCANA PENANGGULANGAN BENCANA
DAN RENCANA KONTINJENSI
76
Gambar 5.1 Tahapan Penanggulangan Bencana
77
Gambar 5.2 Rencana Penanggulangan Bencana pada Setiap Tahapan
Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana
78
4. Rehabilitation, pada tahap ini mencangkup keputusan dan tindakan yang
diambil setelah bencana dengan tujuan untuk memulihkan kembali kondisi
masyarakat sebelum terjadi bencana, dengan dibarengi dorongan dan
memfasilitasi penyesuaian yang diperlukan untuk mengurangi risiko
bencana.
5. Reconstruction, pada tahap ini kegiatan yang dilakukan yaitu mencangkup
semua kegiatan dari awal prediksi berupa kegiatan mitigasi dan
kesiapsiagaan sampai dengan tahap rehabilitasi dengan kondisi setelah
terjadi bencana sehingga memiliki cara yang berbeda dari sebelum terjadi
bencana dan sesudah terjadi bencana dengan tujuan untuk mitigasi dan
kesiapsiagaan yang lebih baik lagi dan risiko yang ditimbulkan
kedepannya dapat ditekan lagi.
79
bencana yang diartikan disini yaitu bencana alam gempa bumi, tanah
longsor, tsunami, banjir, letusan gunung api, dan kebakaran hutan.
2. Pengenalan kerentanan
Kerentanan (vulnerability) adalah keadaan atau sifat/perilaku manusia
atau masyarakat yang menyebabkan ketidakmampuan menghadapi
bahaya atau ancaman. Kerentanan dapat berupa kerentanan fisik,
kerentanan sosial, kerentanan ekonomi, dan kerentanan lingkungan.
1) Kerentanan fisik yaitu kekuatan menghadapi bencana dalam segi
kekuatan bangunan, baik bangunan rumah atau bangunan seperti
tanggul.
2) Kerentanan sosial yaitu kondisi sosial masyarakat dalam
menghadapi bencana seperti segi pendidikan yang kurang terhadap
pengetahuan mengenai risiko bencana yang kurang menjadikan
masyarakat rentan, tingkat kesehatan yang rendah juga
meingkatkan indeks kerentanan.
3) Kerentanan ekonomi yaitu berdasarkan kondisi ekonomi
masyarakat. Semakin rendah ekonomi masyarakat maka semakin
rentan terhadap suatu bencana karena tidak dapat melakukan upaya
pencegahan dan mitigasi bencana.
4) Kerentanan lingkungan yaitu berupa kondisi lingkungan sekitar
yang mempengaruhi, seperti masyarakat yang tinggal di bantaran
sungai maka rentan bencana banjir, masyarakat yang tinggal di
lereng bukit akan rentan bencana longsor, masyarakat yang tinggal
di kaki gunung api akan rentan bencana gunung meletus, dsb.
3. Analisis kemungkinan dampak bencana
Risiko = f (Bahaya x Kerentanan/Kemampuan)
Semakin tinggi ancaman bahaya di suatu daerah, maka semakin tinggi
risiko daerah tersebut terkena bencana. Demikian pula semakin tinggi
tingkat kerentanan masayarakat atau penduduk, maka semakin tinggi
pula tingkat risikonya. Tetapi sebaliknya, semakin tinggi tingkat
kemampuan masyarakat, maka semakin kecil risiko yang dihadapinya.
80
BAB VI
FORUM PENGURANGAN RISIKO BENCANA
97
pihak dalam upaya penguranag risiko bencana melalui suatu forum PRB. Forum
pengurangan resiko bencana menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BNPB) adalah Wadah yang menyatukan organisasi pemangku kepentingan, yang
bergerak dalam mendukung upaya-upaya pengurangan risiko becana (PRB).
Pembentukan Forum PRB dilakukan pada tingkat nasional maupun lokal yang
meliputi tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota hingga tingkat Desa/Kelurahan.
Pembentukan FPRB merupakan salah satu bentuk penyusunan rencana aksi
pengurangan risiko bencana yang disusun secara menyeluruh dan terpadu yang
meliputi unsur dari Pemerintah, non pemerintah, masyarakat dan lembaga usaha
yang dikoordinasikan oleh BNPB maupun BPBD. Forum pengurangan risiko
bencana dalam PP No. 21 Tahun 2008 merupakan sebuah rencana aksi
pengurangan risiko bencana yang terdiri dari rencana aksi nasional dan daerah.
Perbedaan keduannya adalah rencana aksi nasional ditetapkan oleh kepala BNPB
setelah dikoordinasikan dengan instansi atau lembaga yang bertanggung jawab
dibidang perencanaan pembangunan nasional dan rencana aksi daerah ditetapkan
oleh BPBD setelah dikoordinasikan dengan instansi atau lembaga yang
bertanggung jawab dibidang perencanaan pembangunan daerah dengan mengacu
pada rencana aksi nasional pengurangan risiko bencana. Rencana aksi baik
nasional maupun daerah ditetapkan untuk jangka 3 tahun dan dapat ditinjau sesuai
dengan kebutuhan.
Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Forum PRB
merupakan suatu mekanisme koordinasi dan berperan dalam pembentukan dan
pengembangan sistem PRB menyeluruh. Diharapkan forum PRB akan dapat
mengawal pencapaian upaya-upaya kerja PRB Pembentukan forum PRB harus
memperhatikan partisipasi atau perwakilan dari berbagai unsur meliputi
pemerintahan, lembaga usaha, organisasi masyarakat, kelompok-kelompok
profesi, kategori-kategori lain termasuk kelompok difabel, kelompok perempuan
dan keterwakilan dari wilayah.
Forum pengurangan risiko bencana di Indonesia sudah dilakukan diberbagai
daerah baik skala nasional, provinsi, kabupaten/kota dan desa/kelurahan. Salah
satu forum yang pernah dibentuk di Indonesia adalah Forum PRB DIY – Jawa
98
Tengah yang didirikan pada tahun 2009-2010. Kegiatan yang dilakukan forum
PRB diantarannyan (a) Perencanaan secara cepat (b) Kerjasama dengan
pemerintah daerah (c) Mewadahi anggota forum yang sesuai kebutuhan,
memfasilitasi, koordinasi yang mendorong mengatasi bencana Merapi (e) Rapat
koordinasi forum PRB diadakan dua hari sekali (f) Mengkordinasi dengan pihak –
pihak lain seperti pemerintahan Provinsi, Pemerintah Daerah, Lembaga LSM, dan
media massa (Lestari, Prabowo, & Wibawa, 2012). Unit wilayah terkecil seperti
desa juga perlu dibentuk suatu forum PRB sebagai bentuk pengorganisasian desa
tangguh bencana atau DESTANA. Forum dibentuk untuk mengawal upaya-upaya
kerja PRB dan menjamin keterlibatan, integrasi dan kesinambungan PRB. Forum
ini mempermudah BPBD dalam mengawasi kegiatan serta memberikan
pengarahan kepada masyarakat, sehingga dapat dikatakan bahwa forum ini
sebagai perantara antara masyarakat dan BPBD. Forum pengurangan risiko
bencana yang memiliki tujuan sebagai pihak koordinator dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana pada suatu desa. Forum ini dapat dikatakan BPBD
tingkat desa yang memiliki kewenangan mengatur segala sesuatu yang berkaitan
mengenai penanggulangan bencana (Kusumaratih & Satlita, 2015). Guna
mendukung kerja-kerja operasional dari forum PRB maka dibentuk relawan yang
mendukung dan menjamin kerja penanggulangan benna dari pra bencana, saat
bencana dan pasca bencana yang disusun oleh forum PRB dapat terlaksana.
99
1. Penting menghadirkan dan menyuarakan kepentingan kelompok rentan
dan mereka yang terpinggirkan dalam proses pengambilan keputusan
2. Perlu ada keterwakilan semua unsur masyarakat dan keikutsertaan
kelompok marjinal dalam kepengurusan
3. Perlu dijamin agar forum memiliki kelompok kerja yang kompak, efektif,
dapat dipercaya dan kreatif
4. Forum Pengurangan Risiko Bencana Desa/ Kelurahan perlu diberi
kewenangan yang cukup dan status hokum yang pasti, sehingga dapat
menjalin kerjasama dan hubungan kelembagaan yang baik dengan
pemerintahan Desa/Kelurahan dan pemangku kepentingan lainnya.
5. Forum perlu menyusun rencana kerja yang realistis dan dapat dikerjakan,
lengkap dengan prioritas rencana aksi masyarakat serta sumber
penganggarannya.
Berbagai alasan pembentukan Forum Pengurangan Risiko Bencana di desa
yang akan dibentuk FPRB seperti memiliki potensi atau berada pada kawasan
rawan bencana, belum adanya organisasi masyarakat sosial kemasyarakatan
tingkat desa yang mengurusi mengenai bencana, adanya potensi kemandirian
warga atau masyarakat desa yang belum terwadai dalam hal penanggulangan
bencana, serta belum adanya pendanaan untuk pengurangan risiko bencana yang
terkordinir secara tepat.
100
mendorong kepedulian berbagai pihak, menjunjung nilai-nilai kemanusiaan, dan
mengutamakan kepentingan umum dari kepentingan pribadi.
Mekanisme pembentukan forum pengurangan risiko bencana desa merujuk
pada hasil kajian risiko bencana yang menunjukan adanya kebutuhan masyarakat.
Hasil dari kajian tersebut dibawa ke dalam rembug desa dan disepakati adanya
wadah seluruh elemen masyarakat desa. Wadah tersebut selanjutnya disebut
forum pengurangan risiko bencana desa. Mekanisme pembentukan forum PRB
desa sangat fleksibel sesuai kondisi desa. Menurut Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (2020) tahapan proses pembentukan forum
pengurangan risiko bencana dan relawan tingkat desa meliputi
1. Persiapan (Inisiasi)
Pada tahapan persiapan meliputi beberapa tahapan
a. Pertemuan dengan tokoh-tokoh kunci di tingkat desa untuk
menjelaskan perlunya forum dan relawan untuk meyatukan berbagai
pihak, meliputi pemangku kepentingan, tokoh masyarakat dan elemen
dalam masyarakat yang memiliki perhatian dalam pengurangan risiko
bencana di tingkat desa.
b. Mengidentifikasi keberadaan semua kelompok masyarakat yang dapat
menjadi pendukung pembentukan forum dan organisasi relawan di
desa yang dapat berfungsi sebagai wahana untuk kegiatan
pengurangan risiko bencana bagi masyarakat.
c. Dalam identifikasi ini bisa juga dilakukan dengan mengisi formulir
yang berisi informasi dasar dari setiap kelompok masyarakat. Apabila
menggunakan formulir harus dilakukan di dalam kelompok –
kelompok kecil.
2. Pelaksanaan (pembentukan)
Pembentukan draft struktur organisasi forum dan relawan termasuk personil
tugas-tugasnya:
a. Kelompok kerja memutuskan untuk menguatkan forum dan relawan
yang sudah ada (yang belum ada forum dan relawan membentuk
forum dan relawan lebih dahulu) atau memperbarui yang ada sesuai
101
DAFTAR PUSTAKA
107
http://repositorio.unan.edu.ni/2986/1/5624.pdf
Oktari, R. S. (2019). Peningkatan Kapasitas Desa Tangguh Bencana. Jurnal
Pengabdian Kepada Masyarakat, 4(2), 189–197.
https://doi.org/10.22146/jpkm.29960
Pambudi, N. A. (2018). Geothermal power generation in Indonesia, a country
within the ring of fire: Current status, future development and policy.
Renewable and Sustainable Energy Reviews, 81(March 2017), 2893–2901.
https://doi.org/10.1016/j.rser.2017.06.096
Penman, T. D., Eriksen, C., Blanchi, R., Chladil, M., Gill, A. M., Haynes, K., …
Bradstock, R. A. (2013). Defining adequate means of residents to prepare
property for protection from wildfire. International Journal of Disaster Risk
Reduction, 6, 67–77. https://doi.org/10.1016/j.ijdrr.2013.09.001
Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 02 Tahun
2012 Tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana.
Perka BNPB Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Desa/Kelurahan
Tangguh Bencana, Peraturan Kepala BNPB (2012).
https://doi.org/10.19641/j.cnki.42-1290/f.2012.03.022
Pribadi, K. S., Argo, T., Mariani, A., Parlan, & Hening. (2011).
IMPLEMENTATION OF COMMUNITY BASED DISASTER RISK
MANAGEMENT IN INDONESIA: PROGRESS, ISSUES AND
CHALLENGES. In R. Osti & K. Miyake (Eds.), Forms of Community
Participation in Disaster Risk Management Practices. Nova Science
Publishers.
Shaw, R., Shiwaku, K., & Takeuchi, Y. (2011). Community, Environment and
Disaster Risk Management. https://doi.org/10.1108/s2040-
7262(2011)0000008018
Sukmana, O. (2018). PENGETAHUAN DAN NILAI KEARIFAN SOSIAL
DALAM PROSES MANAJEMEN BENCANA GUNUNG KELUD (Studi
di Desa Pandansari, Kecamatan Ngantang, Kabupaten Malang). Sosio
Konsepsia, 7(3), 190–204. https://doi.org/10.33007/ska.v7i3.1417
Surtiari, G. A. K., Djalante, R., Setiadi, N. J., & Garschagen, M. (2017). Disaster
Risk Reduction in Indonesia. In Disaster Risk Reduction in Indonesia:
Progress, Challenges and Issues. https://doi.org/10.1007/978-3-319-54466-3
Takeuchi, Y., Mulyasari, F., & Shaw, R. (2011). ROLES OF FAMILY AND
COMMUNITY IN DISASTER EDUCATION. Disaster Education
Community, Environment and Disaster Risk Management, 7, 77–94.
Thywissen, K. (2006). Components of Risk. A Comparative Glossary. UNU-EHS
Publications, Germany. https://doi.org/10.1093/iclqaj/24.3.577
Tierney, K. J., & Lindell, M. K. (2001). Facing the Unexpected. In Facing the
Unexpected. https://doi.org/10.17226/9834
Torrens Resilience Institute. (2015). A way to measure Community Disaster
Resilience Community Disaster Resilience Scorecard Toolkit, Version 2
Community Disaster Resilience Scorecard Toolkit. June, 26.
108
Twigg, J. (2015). Disaster Risk Reduction. In Humanitarian Policy Group.
https://doi.org/10.4337/9781782548232.00014
UNISDR. (2009). Terminology on Disaster Risk Reduction. United Na_tions
International Strategy for Disaster Risk Reduction.
Wandasari, Shandra L (2013). Sinkronisasi Peraturan Perundang-Undangan
Dalam Mewujudkan Pengurangan Risiko Bencana. Unnes Law Journal, 2(2),
137–150.
Wolf, S. (2012). Vulnerability and risk: Comparing assessment approaches.
Natural Hazards, 61(3), 1099–1113. https://doi.org/10.1007/s11069-011-
9968-4
Wardani, N. R., & Putra, D. F. (2016). Strengthening Local Capacity for Disaster
Risk Reduction. 1st International Conference on Geography and Education
(ICGE 2016), 79, 13–17.
Zhao, L., He, F., & Zhao, C. (2020). A framework of resilience development for
poor villages after the wenchuan earthquake based on the principle of ―build
back better.‖ Sustainability, 12. https://doi.org/10.3390/su12124979
109
Diterbitkan Oleh:
Pramudita Press
penerbit.pramudita@gmail.com
110