Anda di halaman 1dari 77

LAPORAN PERENCANAAN SPASIAL

BERBASIS MITIGASI BENCANA KAWASAN PERDESAAN

PERENCANAAN PENINGKATAN EFEKTIVITAS MITIGASI BENCANA

DI KECAMATAN TURI

Disusun oleh:

Annisa Nisita N. 17/410106/TK/45463

Immanuel Dion P. 17/411466/TK/45851

Baiq Mila S . 18/424936/TK/46631

Ghina Tsabita A. P. 18/424941/TK/46636

Holy Githa N. 18/424942/TK/46637

Rafida Maghfirah 18/431045/TK/47638

PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA

DEPARTEMEN TEKNIK ARSITEKTUR DAN PERENCANAAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan hidayah-
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan Laporan Perencanaan Spasial Berbasis Mitigasi
Bencana Kawasan Perdesaan di Kecamatan Turi, Sleman. Laporan ini dapat terselesaikan
dengan baik atas dukungan moral dan materiil dari berbagai pihak.
Di dalam kata pengantar ini, kami ingin menyampaikan terima kasih kepada seluruh
pihak yang telah membantu penulisan karya tulis ini. Pihak-pihak tersebut antara lain:
1. Ibu Atrida Hadianti, S.T., M.Sc., Ph.D dan Ibu Ratna Eka Suminar, S.T., M.Sc.
sebagai dosen pengampu mata kuliah yang telah memberikan arahan, dukungan,
masukan, dan saran yang bermanfaat bagi kami;
2. Orang tua kami masing-masing yang telah memberikan dukungan baik material
maupun moral kepada kami; dan

3. Teman-teman Perencanaan Wilayah dan Kota Angkatan 2017 dan 2018 yang
telah memberikan bantuan dan dukungannya.

Kami berharap karya tulis ini dapat bermanfaat untuk menambah wawasan pembaca.
Kami menyadari bahwa karya tulis ini masih memiliki kekurangan, karenanya kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar kami dapat terus memperbaiki karya tulis
ini sehingga layak dipublikasikan.

Penulis

Yogyakarta, 21 April 2020

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN 6
I.1 Latar Belakang 6
I.2 Rumusan Masalah 6
I.3 Tujuan 7
I.4 Ruang Lingkup 7
I.5 Alasan Pemilihan Lokasi 7
I.6 Metode 8
I.7 Kerangka Berpikir 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PRESEDEN 10
II.1 Bencana Banjir 10
II.1.1 Pengertian dan Jenis Bencana Banjir 10
II.1.2 Pengendalian Bencana Banjir 10
II.2 Kerentanan 11
II.2.1 Indeks Kerentanan 12
II.3 Kapasitas 14
II.3.1 Indeks Kapasitas 14
II.4 Preseden 16
II.4.1 Pusat Studi Tsunami dan Mitigasi Bencana Aceh dan Kontribusinya dalam
Penanggulangan Bencana 16
II.4.2 Strategi Pemerintah Daerah dalam Penanggulangan Bencana Banjir di
Kabupaten Bantaeng 17
II.4.3 Community-based Flood Early Warning System di Wilayah Hindu Kush
Himalayan (HKH) 18
BAB III PROFIL LOKASI AMATAN 20
III.1 Kondisi Geografis 20
III.2 Sejarah Kecamatan Turi 20
III.3 Kondisi Fisik 21
III.3.1 Peta Administrasi Desa 21

3
III.3.2 Peta Guna Lahan 22
III.3.3 Peta Topografi 23
III.3.4 Peta Jenis Tanah 24
III.3.5 Peta Curah Hujan 24
III.3.6 Peta Rawan Bencana 25
III.4 Kondisi Sosial/Kependudukan 25
III.5 Kondisi Ekonomi 26
III.6 Sarana dan Prasarana 28
III.6.1 Sarana Perekonomian 28
III.6.2 Sarana Kesehatan 28
III.6.3 Sarana Pemerintahan 29
III.6.4 Prasarana Penanggulangan Bencana 29
III.7 SWOT 31
III.8 Sejarah Kebencanaan 32
III.8.1 Gunung Merapi Meletus (18 Desember 1930) 33
III.8.2 Erupsi Gunung Merapi (5 November 2010) 34
III.8.3 Banjir dan Longsor (1 Maret 2017) 35
III.8.4 Cuaca Ekstrem (8 Maret 2018) 35
III.8.5 Angin Puting Beliung dan Hujan Es (22 Februari 2019) 36
III.8.6 Banjir (21 Februari 2020)36
BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN 38
IV.1 Analisis Ancaman Banjir 38
IV.2 Analisis Kerentanan 39
IV.2.1 Kerentanan Sosial39
IV.2.2 Kerentanan Ekonomi 42
IV.2.3 Kerentanan Fisik 44
IV.2.4 Kerentanan Lingkungan 47
IV.3 Analisis Kapasitas 51
IV.3.1 Ketahanan Daerah 52
IV.3.2 Analisis Kapasitas Ketahanan Daerah 53
IV.3.3 Kesiapsiagaan Masyarakat 59

4
IV.4 Analisis Risiko Bencana 61
BAB V PEMILIHAN ALTERNATIF RENCANA 62
V.1 Kriteria dan Alternatif Rencana 62
V.1.1 Kriteria 62
V.1.2 Alternatif Rencana 62
V.1.3 Kekurangan dan Kelebihan Rencana 62
V.2 Pemilihan Rencana dengan Metode Analytical Hierarchy Process 63
BAB VI DETAIL RENCANA 64
VI.1 Rencana Aksi 64
VI.1.1 Penguatan Sistem Informasi untuk Pengkajian Risiko Bencana 67
VI.1.2 Penggalakan Riset Terkait Strategi dan Inovasi Mitigasi Bencana 68
VI.1.3 Peningkatan Kapasitas Melalui Pelatihan Peringatan Dini dan Evakuasi
69
VI.2 Rencana Spasial 70
VI.2.1 Pembangunan Early Warning System (Sistem Peringatan Dini) terhadap
Bencana Banjir 70
VI.2.2 Optimalisasi Penataan Ruang 72
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................................................

5
1.
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia. Letaknya yang berada
di pertemuan tiga lempeng tektonik dunia serta berada di jalur Cincin Api Pasifik (Pacific Ring
of Fire) menjadikan negara Indonesia sangat rawan terhadap bencana, terutama bencana alam.
Pertemuan ketiga lempeng besar yaitu Lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Lempeng Pasific
terdapat di negara Indonesia. Lempeng Indo-Australia bertemu dengan Lempeng Eurasia di lepas
pantai Sumatra, Jawa dan Nusa Tenggara, sedangkan dengan Lempeng Pasific berada di utara
Papua dan Maluku Utara. Pada titik disekitar pertemuan lempeng-lempeng tektonik ini terjadi
tumbukan energi yang sangat besar yang menyebabkan gempa bumi. Gempa bumi tersebut
kemudian mengakibatkan bencana alam lainnya seperti gelombang seismic, tsunami, longsor,
dan likuifaksi.
Selain berada di pertemuan lempeng tektonik dunia, keberadaan Indonesia yang dilewati
Cincin Api Pasifik (Pacific Ring of Fire) yang merupakan jalur gunung berapi aktif. Indonesia
terletak di antara Cincin Api sepanjang kepulauan timur laut berbatasan langsung dengan New
Guinea dan di sepanjang sabuk Alpide Selatan dan barat dari Sumatera, Jawa, Bali, Flores, dan
Timor. Menurut data PVMBG (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi), saat ini
terdapat 127 gunung aktif di Indonesia, dan 19 diantaranya berada di Pulau Jawa yang
merupakan pulau dengan kepadatan penduduk tertinggi di Indonesia bahkan dunia.
Dengan kondisi Indonesia yang rawan terhadap bencana terutama bencana alam, maka
Indonesia sudah seharusnya meningkatkan kewaspadaan dan memiliki program-program untuk
mengurangi resiko terhadap bencana. Terlebih, dengan jumlah penduduk Indonesia yang
menempati posisi keempat di dunia sebagai negara dengan penduduk terbanyak. Ketidaksiapan
terhadap penanggulangan bencana dapat mengakibatkan kerugian materiil dan immateriil yang
dapat dialami oleh sebagian besar penduduknya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis merumuskan masalah sebagai berikut.
1. Bagaimana ancaman, kerentanan, dan kapasitas Kecamatan Turi baik dari segi
sosial, ekonomi, fisik dan lingkungan?

6
2. Seperti apa perhitungan dan pemetaan dari analisis risiko bencana di Kecamatan
Turi?

3. Bagaimana bentuk rencana aksi dan rencana spasial yang harus dirumuskan dalam
rangka pengurangan risiko rencana?

1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang ada, secara spesifik didapat beberapa tujuan yang
ingin dicapai dalam penelitian ini di antaranya yaitu:
1. Mengidentifikasi ancaman, kerentanan, dan kapasitas Kecamatan Turi baik dari
segi sosial, ekonomi, fisik dan lingkungan.
2. Menghitung dan memetakan analisis risiko bencana di Kecamatan Turi.

3. Merumuskan rencana spasial dan rencana aksi yang terintegrasi dalam rangka
pengurangan risiko rencana.

1.4 Ruang Lingkup


Pada laporan ini pembahasan ini terfokus pada:
1. Ruang Lingkup Substantial: Aspek kebencanaan di Kecamatan Turi, Kabupaten
Sleman, D.I. Yogyakarta dan perumusan rencana terkait aspek kebencanaan tersebut
2. Ruang Lingkup Spasial: Kecamatan Turi, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta

3. Ruang Lingkup Temporal: Data yang digunakan pada laporan ini ada pada rentang
tahun 1930-2019

1.5 Alasan Pemilihan Lokasi


BPBD Sleman menetapkan Kecamatan Turi ke dalam Kawasan Rawan Bencana II dan III
Gunung Merapi. Namun, kecamatan tersebut juga rawan terkena bencana hidrometeorologis
(bencana yang disebabkan cuaca ekstrem), seperti bencana banjir. Banjir bandang yang terjadi
pada 21 Februari 2020 yang lalu menimbulkan korban jiwa yang cukup banyak. Hal tersebut
disebabkan oleh minimnya pengetahuan masyarakat akan kondisi geografis dan morfologi
sungai, sehingga tidak siap untuk menghadapi banjir yang sewaktu-waktu terjadi.

7
Kecamatan Turi memiliki potensi pariwisata yang dapat dilihat dari banyaknya desa wisata
yang ada di sana. Banyak masyarakat setempat yang menggantungkan Sebagian besar dari desa
wisata tersebut menjadikan keindahan alam, termasuk sungai, sebagai daya tarik pengunjung.
Berdasarkan kondisi tersebut, kami berpendapat bahwa penting untuk merencanakan strategi
pengurangan risiko bencana di Kecamatan Turi. Hal tersebut bertujuan untuk meminimalisasi
kerugian baik dari segi ekonomi, lingkungan, dan sosial.
1.6 Metode
Metode pengumpulan data dilakukan melalui survei sekunder melalui studi literatur dan
pengambilan data dari laman resmi Kecamatan Turi dan laman-laman terkait. Data yang telah
terkumpul kemudian dianalisis menggunakan metode analisis SWOT, skoring kerentanan dan
kapasitas, serta weighted overlay pada ArcGis.
1.7 Kerangka Berpikir

Gambar Kerangka Berpikir Pengumpulan Data

Sumber: Hasil Analisis Penyusun, 2020

8
Gambar Kerangka Berpikir Analisis Data

Sumber: Hasil Analisis Penyusun, 2020

9
2.
TINJAUAN PUSTAKA DAN PRESEDEN

2.1 Bencana Banjir


2.1.1 Pengertian dan Jenis Bencana Banjir
Banjir adalah keadaan di mana daratan terendam aliran air yang berlebihan. Secara teknis,
banjir adalah aliran air sungai yang mengalir melampaui kapasitas tampung badan air sehingga
meluap ke daerah di sekitarnya. Luapan air tersebut dapat menyebabkan kerugian ekonomi
hingga korban jiwa (Hewlet, 1992).
Menurut Windarta (2009), ditinjau dari bentuk kejadiannya banjir dapat dikategorikan
menjadi dua: banjir bandang dan banjir genangan. Banjir bandang terjadi secara tiba tiba dan
menimbulkan kerusakan akibat kecepatan arus air, sedangkan banjir genangan biasanya terjadi di
hilir dan dataran rendah dan menimbulkan kerusakan akibat genangan air. Bencana banjir
melibatkan dua objek yang meliputi keberadaan manusia beserta harta benda dan kejadian banjir
itu sendiri. Dengan kata lain, jika terjadi luapan/genangan air yang mengganggu kehidupan
manusia dan merusak harta benda, maka terjadilah bencana banjir.
Terdapat dua jenis penyebab banjir, yaitu akibat fenomena alam dan akibat tindakan
manusia. Fenomena alam yang menyebabkan banjir di antaranya tingginya curah hujan yang
menyebabkan air sungai meluap, topografi lokasi, morfologi sungai, dan air laut pasang yang
memperlambat aliran air dari sungai ke laut. Adapun tindakan manusia yang dapat menyebabkan
banjir misalnya penggundulan hutan dan pengalihfungsian lahan yang menyebabkan
berkurangnya daerah resapan air, serta permukiman informal di bantaran sungai dan
pembuangan sampah ke sungai yang menghambat aliran air.
2.1.2 Pengendalian Bencana Banjir
Pengendalian banjir merupakan kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan pemeliharaan
yang pada dasarnya bertujuan untuk mengatasi banjir dan mencegah adanya bahaya atau
kerugian akibat banjir. Ada 4 strategi dasar untuk pengelolaan daerah banjir yang meliputi
(Grigg, 1996):
1. Modifikasi kerentanan dan kerugian banjir (penentuan zona atau pengaturan tata guna
lahan)

10
2. Modifikasi banjir yang terjadi (pengurangan) dengan bantuan pengontrol (waduk) atau
normalisasi sungai.

3. Modifikasi dampak banjir dengan penggunaan teknis mitigasi seperti asuransi,


penghindaran banjir (flood proofing).

4. Pengaturan peningkatan kapasitas alam untuk dijaga kelestariannya seperti penghijauan.

Sumber: Hasil Analisis Penyusun, 2020

2.2 Kerentanan
Menurut Bakornas (2007) kerentanan merupakan suatu kondisi dari suatu komunitas atau
masyarakat yang mengarah atau menyebabkan ketidakmampuan dalam menghadapi ancaman
bahaya, sehingga apabila terjadi bencana akan memperburuk kondisi masyarakat. Kondisi-
kondisi yang ditentukan oleh faktor-faktor atau proses-proses fisik, sosial, ekonomi, dan
lingkungan, yang bisa meningkatkan rawannya sebuah komunitas terhadap dampak bahaya.

11
2.2.1 Indeks Kerentanan
Kerentanan fisik, yang meliputi: umur dan konstruksi bangunan, materi penyusun
bangunan, infrastruktur jalan, fasilitas umum, dsb. Kerentanan fisik terdiri dari parameter rumah,
fasilitas umum dan fasilitas kritis. Jumlah nilai rupiah rumah, fasilitas umum, dan fasilitas kritis
dihitung berdasarkan kelas bahaya di area yang terdampak. Distribusi spasial nilai rupiah untuk
parameter rumah dan fasilitas umum dianalisis berdasarkan sebaran wilayah pemukiman seperti
yang dilakukan untuk analisis kerentanan sosial. Masing-masing parameter dianalisis dengan
menggunakan metode skoring sesuai Perka BNPB No. 2 Tahun 2012 untuk memperoleh nilai
skor kerentanan fisik.

Tabel Parameter Skoring Kerentanan Fisik (Perka BNPB, 2012)

12
Kerentanan sosial, yang meliputi: persepsi tentang risiko dan pandangan hidup masyarakat
yang berkaitan dengan budaya, agama, etnik, interaksi sosial, umur, jenis kelamin, kemiskinan,

dsb. Kerentanan sosial terdiri dari parameter kepadatan penduduk dan kelompok rentan.
Kelompok rentan terdiri dari rasio jenis kelamin, rasio kelompok umur rentan, rasio penduduk
miskin, dan rasio penduduk cacat. Secara spasial, masing-masing nilai parameter didistribusikan
di wilayah pemukiman per desa/kelurahan dalam bentuk grid raster (piksel) berdasarkan acuan
data WorldPop atau metode dasimetrik yang telah berkembang. Setiap piksel merepresentasikan
nilai parameter sosial (jumlah jiwa) di seluruh wilayah pemukiman.

Tabel Parameter Skoring Kerentanan Sosial (Perka BNPB, 2012)

Kerentanan ekonomi, yang meliputi: pendapatan, investasi, potensi kerugian


barang/persediaan yang timbul, dsb. Kerentanan ekonomi terdiri dari parameter konstribusi
PDRB dan lahan produktif. Nilai rupiah lahan produktif dihitung berdasarkan nilai konstribusi
PDRB pada sektor yang berhubungan dengan lahan produktif (seperti sektor pertanian) yang
dapat diklasifikasikan berdasarkan data penggunaan lahan.

Tabel Parameter Skoring Keretanan Ekonomi (Perka BNPB, 2012)

13
Kerentanan lingkungan, yang meliputi: air, udara, tanah, flora dan fauna, dsb. Kerentanan
lingkungan terdiri dari parameter hutan lindung, hutan alam, hutan bakau/mangrove, semak
belukar, dan rawa. Setiap parameter dapat diidentifikasi menggunakan data tutupan lahan.
Masing-masing parameter dianalisis dengan menggunakan metode skoring sesuai Perka BNPB
No. 2 Tahun 2012 untuk memperoleh nilai skor kerentanan lingkungan.

Tabel Parameter Skoring Kerentanan Lingkungan (Perka BNPB, 2012)

2.3 Kapasitas
Menurut Perka BNPB No. 2 Tahun 2012, kapasitas adalah kemampuan daerah dan
masyarakat untuk melakukan tindakan pengurangan tingkat ancaman dan tingkat kerugian akibat
bencana. Kondisi tangguh berarti mampu bertahan dan kembali pada kondisi sebelumnya setelah
adanya suatu gangguan.

14
2.3.1 Indeks Kapasitas
Pada pedoman kajian risiko bencana, indeks kapasitas ditentukan berdasarkan 5 komponen
berdasarkan Indikator HFA, yaitu: 1) Aturan dan kelembagaan penanggulangan bencana; 2)
Peringatan dini dan kajian risiko bencana; 3) Pendidikan kebencanaan; 4) Pengurangan faktor
risiko dasar; dan 5) Pembangunan kesiapsiagaan pada seluruh lini. Komponen-komponen
tersebut diukur lagi berdasarkan tingkat ketercapaiannya yang dibagi menjadi 5 tingkatan, yaitu:
• Level 1, daerah telah memiliki pencapaian kecil dalam upaya pengurangan risiko
dengan melaksanakan beberapa tindakan dalam beberapa rencana atau kebijakan.
• Level 2, daerah telah melaksanakan beberapa tindakan pengurangan bencana
dengan pencapaian yang bersifat tersebar karena belum ada komitmen kelembagaan
atau kebijakan yang sistematis,

• Level 3, komitmen pemerintah dan beberapa komunitas terkait pengurangan risiko


bencana di suatu daerah telah tercapai dan didukung dengan kebijakan sistematis,
namun capaian yang diperoleh tersebut belum cukup berarti untuk mengurangi
dampak negatif bencana.

• Level 4, dengan dukungan komitmen serta kebijakan mengenai pengurangan risiko


bencana yang menyeluruh, daerah tersebut berhasil memperoleh capaian-capaian
yang diinginkan. Hanya saja, masih ada keterbatasan dalam komitmen, sumber
daya finansial, atau kapasitas operasional dalam pelaksanaan upaya pengurangan
risiko bencana.

• Level 5, capaian komprehensif telah dicapai dengan komitmen dan kapasitas yang
memadai di seluruh tingkat komunitas dan jenjang pemerintahan.

Indeks Kapasitas diperoleh dengan melaksanakan diskusi terfokus kepada beberapa pelaku
penanggulangan bencana pada suatu daerah. Panduan diskusi dan alat bantu untuk memperoleh
Tingkat Ketahanan Daerah terlampir. Berdasarkan Tingkat Ketahanan Daerah yang diperoleh
dari diskusi terfokus, diperoleh Indeks Kapasitas. Hubungan Tingkat Ketahanan Daerah dengan
Indeks Kapasitas terlihat pada tabel berikut :

15
Tabel Komponen Indeks Kapasitas (Perka BNPB, 2012)

2.4 Preseden
2.4.1 Pusat Studi Tsunami dan Mitigasi Bencana Aceh dan Kontribusinya dalam
Penanggulangan Bencana
Pusat Studi Tsunami dan Mitigasi Bencana (TDMRC-Tsunami and Disaster Mitigation
Research Center) Universitas Syiah Kuala adalah lembaga riset yang didirikan pada tahun 2006.
Keberadaan TDMRC bertujuan untuk meningkatkan sumber daya riset kebencanaan yang
berkualitas, memberikan advokasi pada pemerintah dalam membuat kebijakan, mengumpulkan
dan menyediakan data terbaik dengan mempercepat proses pengumpulan data yang tepat
berkaitan dengan dampak dari bencana. 
Dilansir dari official website Dinas Perhubungan Aceh, sudah ada salah satu kajian
strategis yang sudah dikembangkan oleh TDMRC Aceh, yaitu proses evakuasi yang merupakan
kajian strategis dalam bidang perencanaan transportasi dan pemodelan lalu lintas. Beberapa
metode telah dikembangkan menjadi satu konsep yang dapat digunakan dalam mengoptimalkan
evakuasi, termasuk mengenai pemilihan rute perjalanan, pemilihan moda, serta kesiapan
infrastruktur jalan untuk memberikan pelayanan pada pelaku evakuasi agar dapat selamat sampai
ke tujuan.
Kegiatan pengembangan dan penerapan kajian strategis dari hasil riset yang telah
dilakukan oleh pemerintah Aceh dapat diterapkan pada kasus Kecamatan Turi. Dengan
diterapkannya hasil riset teknologi dan inovasi mitigasi bencana di Kecamatan Turi, diharapkan
dapat mengurangi terjadinya banjir.

16
2.4.2 Strategi Pemerintah Daerah dalam Penanggulangan Bencana Banjir di Kabupaten
Bantaeng
Dikutip dari jurnal Strategi Pemerintah Daerah dalam Penanggulangan Bencana Banjir di
Kabupaten Bantaeng (Badjido, et al., 2015), strategi yang di lakukan pemerintah dalam
penanggulangan banjir antara lain :
A. Membangun Waduk
Dengan adanya waduk/tempat penampungan air akan memudahkan untuk mengatur dan
mengendalikan Daerah Aliran Sungai (DAS), sehingga tidak terjadi lagi bencana banjir, air yang
biasanya mengalir ke daerah hilir yang menyebabkan banjir dapat dilarikan ke tempat
penampungan. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu faktor pemicu terjadi banjir karena tidak
terkendalinya Daerah Aliran Sungai (DAS), dapat menimbulkan bencana banjr dan dampak yang
buruk bagi manusia bahkan dapat merenggut nyawa manusia.
Pembangunan waduk sangat dibutuhkan oleh semua pihak baik pemerintah lebih-lebih di
kalangan masyarakat untuk menopang ekonomi mereka. Tidak adanya waduk yang dibangun
oleh pemerintah dalam menanggulangi bencana banjir, dapat berakibat fatal bagi masyarakat
yang berada di daerah tersebut (Baca: Daerah Aliran Sungai). Peran pemerintah daerah yang
menjadi penanggung jawab utama dalam mensejahterakan masyarakat dan melestarikan
lingkungan, agar akselarasi pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat bisa
tercapai.
B. Menyiapkan Sarana dan Prasarana
- Membentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)
- Penyediaan alat penyedok tanah dan sampah
- Penyediaan lahan pembangunan waduk
C. Melakukan Penghijauan sebagai Resapan Air dari Daerah Hulu (Pegunungan) untuk
Mengurangi Banyaknya Aliran Debit Air ke Daerah Hilir
Penghijauan merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten
Bantaeng untuk mencegah banyaknya debit air serta meresap air, hal ini dilakukan daerah hulu
dengan cara menanam pohon.
D. Membangun Dinding Pesisir Pantai
17
Tanggul dan dinding penahan banjir dapat menghalangi aliran pada sistem drainase yang
ada pada daerah dataran banjir ke laut, sehingga diperlukan perencanaan khusus pada daerah
tersebut, yaitu pada saluran drainase dari sungai yang ada dibangun pintu-pintu air atau pintu
klep dapat mengalirkan air secara gravitasi ke laut agar tidak mengalir ke daratan rendah atau
pemukiman warga.
E. Membangun Kesadaran Masyarakat
Diwujudkan dengan membentuk suatu lembaga kemasyarakatan yang melibatkan
masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam hal mencegah dan penanggulangan banjir yang
dilakukan secara bertahap, mulai dari pencegahan sebelum banjir, penanganan saat banjir, dan
pemulihan setelah.
2.4.3 Community-based Flood Early Warning System di Wilayah Hindu Kush
Himalayan (HKH)
Penerapan Community-based Flood Early Warning System di wilayah Hindu Kush
Himalayan (HKH). Wilayah Hindu Kush Himalayan (HKH) rentan terhadap bahaya alam seperti
banjir, glacial lake outburst, kekeringan, tanah longsor, dan gempa bumi. Kondisi geologis yang
tidak stabil dan medan yang curam, dikombinasikan denganperubahan iklim dan seringnya
kondisi cuaca ekstrem, menimbulkan banyak sekali tantangan bagi masyarakat. Itu sering terjadi
banjir bandang, salah satu bencana alam utama di HKH, mengancam kehidupan, mata
pencaharian dan infrastruktur, baik di pegunungan dan hilir. Kelompok rentan seperti orang
miskin, perempuan, anak-anak, orang tua dan para penyandang cacat seringkali menderita
dampak terburuk.
Beberapa keberhasilan terkaitan penerapan Community-Based Early Warning System ini
diantaranya:

18
• Komunitas di Dihiri, Assam, dapat menyelamatkan aset mereka hingga
USD 3,300.
• Pada 3 Agustus 2017, CBFEWS membunyikan sirine yang membangunkan
2.800 orang di 350 rumah tangga di Sherquilla. Dalam satu jam, masyarakat
mampu memindahkan sekitar 2.000 ekor ternak dan barang-barang berharga
ke tempat yang aman sebelum banjir memasuki desa.

• Ketika CBFEWS di Bardibas, Nepal membuat alarm, penjaga CBFEWS


kemudian mengikuti protokol yang ditentukan sebelumnya dan
mengaktifkan saluran komunikasi, menyebarkan informasi peringatan dini
banjir. Sehingga, masyarakat di hilir di seberang perbatasan di Bhitthamore,
Bihar, India menerima peringatan ini empat jam sebelum air banjir tiba di
sana. Ada banyak waktu untuk mengamankan keadaan sehingga orang-
orang dapat diungsikan ke gedung sekolah yang aman dan ternak
dipindahkan ke tempat yang lebih tinggi.

19
3.
PROFIL LOKASI AMATAN 

3.1 Kondisi Geografis


Kecamatan Turi berada pada ketinggian 418,00 meter diatas permukaan laut, suhu tertinggi
yang tercatat di Kecamatan Turi adalah 24ºC dengan suhu terendah 21,80ºC. Bentangan wilayah
di Kecamatan Turi berupa tanah yang datar dan sedikit berbukit. 
3.2 Sejarah Kecamatan Turi 
Pada tanggal 8 April 1945, Sri Sultan Hamengkubuwono IX melakukan penataan kembali
wilayah Kasultanan Yogyakarta melalui Jogjakarta Koorei angka 2 (dua). Penataan ini
menempatkan Sleman pada status semula, sebagai wilayah Kabupaten dengan Kanjeng Raden
Tumenggung Pringgodiningrat sebagai bupati. Pada masa itu, wilayah Sleman membawahi 17
Kapenewon/Kecamatan (Son) yang salah satunya adalah Kecamatan Turi. Nama Turi diambil
dari banyaknya tanaman pohon turi di wilayah Kecamatan Turi. Dulu konon di lereng Gunung
Merapi banyak tumbuh pohon turi maka wilayah itu diberi nama Tlatah (wilayah-red)
Kecamatan Turi,.
Ada 4 desa di Wilayah Kecamatan Turi, di mana nama-nama desa memakai kata kerta
yang mempunyai makna serba tertata tidak rusuh. Ini mengandung harapan agar desa-desa di
Wilayah Kecamatan Turi menjadi desa yang tata, titi, tentrem kerta raharjo. Adapun desa-desa
tersebut adalah: 
1. Desa Wanakerta dari kata wana yang berarti tata raharja
2. Desa Bangunkerta dari kata mangun

3. Desa Girikerta dari kata redi atau gunung

4. Danakerta dari kata tansah membantu kepada keutamaan agar menjadi tata titi
tentrem raharja.

Berdasarkan Kecamatan Turi Dalam Angka Tahun 2003 bahwa kegiatan utama pada
Kecamatan Turi dahulunya adalah berfokus pada Pertanian(Agropolitan) dengan menggarap
sawah atau pertanian milik pribadi. Namun dengan transformasi penggunaan lahan dari tahun ke
tahun,Kecamatan Turi berubah menjadi desa yang Agrowisata dengan dikembangkan beberapa

20
objek wisata untuk mengembangkan potensi masyarakat setempat. Contohnya adalah agrowisata
salak pondoh di Dusun Gadung, Desa Bangunkerto, desa wisata di Dusun Kembangarum, Desa
Donokerto, dan pembiakan kambing PE (Peranakan Etawa) di Dusun Nganggring, Desa
Girikerto. Pada tahun 2017 Kecamatan Turi memutuskan untuk berfokus pada pembangunan
nonfisik guna mengembangkan potensi-potensi sumber daya manusianya.
3.3 Kondisi Fisik
3.3.1 Peta Administrasi Desa

Kecamatan Turi memiliki 4 desa, 54 padukuhan dan 268 RT. Dengan nama-nama
desanya adalah:
1.       Desa Bangunkerto dengan luas 7,03 km 2

2.       Desa Donokerto dengan luas 7,41 km 2

3.       Desa Girikerto dengan luas 13,07 km 2

4.       Desa Wonokerto dengan luas 15,58 km 2

Kecamatan Turi memiliki total luas sebesar 43,09 km . Dengan berbatasan langsung
2

pada:
Utara :  Hargobinangun, Kecamatan Pakem 
Timur :  Purwobinangun Pakem, Donoharjo Ngaglik

21
Selatan :  Pandawaharjo & Trimulyo Sleman
Barat :  Kecamatan Tempel

3.3.2 Peta Guna Lahan

Pada peta guna lahan tersebut bahwa diketahui Kecamatan Turi masih memiliki cukup
lahan atau ruang yang luas, dengan penggunaan lahan sawah irigasi dan kebun serta
permukiman
 

Penggunaan Lahan Luas (Ha)

Tanah Sawah 448,76

Bangunan Perkarangan 1374,11

Tanah Kering 2130,4

Lainnya 335,03
Sumber: Kecamatan Turi dalam Angka 2019

22
3.3.3 Peta Topografi

Sumber: Hasil Analisis Penyusun, 2020

Kecamatan Turi mayoritas memiliki kemiringan lereng sebesar 3-8%, bagian utara
memiliki kelerengan tinggi sebesar 40% dan 15-25% karena merupakan lereng merapi.
Namun dilihat dari gambar disamping menunjukan bahwa banyak sungai-sungai di
Kecamatan Turi (Sungai Bedog, Sungai Sempor,dan lainnya) yang berhulu di Lereng
Gunung Merapi. Kontur kemiringan yang terjal di hulu sungai akan membuat arus air
menjadi lebih deras sehingga sangat membahayakan.

23
3.3.4 Peta Jenis Tanah

Sumber: Hasil Analisis Penyusun, 2020

Kecamatan Turi memiliki jenis tanah regosol. Tanah Regosol merupakan jenis tanah
yang merupakan butiran kasar yang berasal dari meterial erupsi gunung berapi. Dengan
demikian tanah regosol merupakan salah satu hasil dari peristiwa vulkanisme. Jenis tanah ini
bersifat subur dan cocok untuk digunakan dalam kegiatan pertanian karena mendukung hasil
produktivitas pertanian dan cocok untuk komoditas padi dan ladang.
3.3.5 Peta Curah Hujan

24
Sumber: Hasil Analisis Penyusun, 2020

Kecamatan Turi memiliki 3 variasi curah hujan di 3 daerah. Pada Lereng Merapi dan
sebagian Kecamatan memiliki curah hujan yang cukup tinggi. Dengan kontur/topografi pada
hulu sungai-sungai yang terjal dan curah hujan yang cukup tinggi pada hulu semakin
membahayakan dikarenakan energi dorongan menjadi sangat kuat sehingga arus air menjadi
lebih kencang.
3.3.6 Peta Rawan Bencana

Sumber: Hasil Analisis Penyusun, 2020

Kecamatan Turi termasuk pada kawasan rawan bencana zona II dan zona III serta
rawan gempa yang berada di kawasan kaki gunung merapi, pada zona II dan III merupakan
area terdampak langsung letusan gunung merapi, hal ini juga ditetapkan dalam Peraturan
Daerah Nomor 12 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sleman.
3.4 Kondisi Sosial/Kependudukan
Kecamatan  Turi memiliki 37013 jiwa yang terdiri dari 18484 laki-laki dan 18529
perempuan, dan terdiri atas 12337 KK. Dengan jumlah ini Kecamatan Turi memiliki sex
ratio (rasio jenis kelamin) 99,82 dimana jumlah antara laki-laki dan perempuan tidak begitu
jauh. Sedangkan menurut umur, kelompok umur yang paling banyak ada di Kecamatan Turi
merupakan kelompok umur 30-34 tahun yaitu sebanyak 700 orang. Lalu, dari segi agama,

25
mayoritas penduduk Wukirharjo beragama islam (34597 jiwa), dan sisanya beragama
katolik, kristen, hindu dan aliran kepercayaan buddha.
Tabel Jumlah Penduduk per Desa di Kecamatan Turi Tahun 2015-2018

Desa 2014 2015 2016 2017 2018

Bangunkert 9127 9109 8423 8433 9216


o
Donokerto 8972 9601 8830 8899 9208

Wonokerto 10041 10160 9418 9447 10409

Girikerto 8027 8139 7562 7582 8180

Kecamatan 36167 36469 34233 34361 37013

Sumber: Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Sleman

Tabel Kepadatan Penduduk dan Sex Ratio menurut Desa di Kecamatan Turi Tahun 2018

Desa Luas (km2) Kepadatan per km2 Sex Ratio


Bangunkerto 7,03 1201 100,69
Donokerto 7,41 1210 97,36
Wonokerto 15,58 488 99,13
Girikerto 13,07 725 101,98
Kecamatan 43,09 800 99,82
Sumber: BPS Kabupaten Sleman, 2019

3.5 Kondisi Ekonomi


Di Kecamatan Turi, terdapat beberapa sarana perekonomian antara lain 4 pasar umum yang
terletak di setiap desa, 157 warung kios, 28 warung makan, 1 KUD (Koperasi Unit Desa), 7 non
KUD dan penginapan yang ada di semua desa di Kecamatan Turi. 
Penduduk Kecamatan Turi mayoritas pekerjaannya adalah petani, disusul karyawan
swasta, wiraswasta, dan pekerjaan lainnya.
Tabel Luas Wilayah menurut Jenis Penggunaan Tanah (Ha) per Desa di Kecamatan Turi Tahun 2018

Desa Tanah Sawah Bangunan Pekarangan Tanah Kering Lainnya Jumlah

Bangunkert 34 294,02 324 50,98 703

26
o

Donokerto 124 323,6 137,25 156,15 741

Wonokerto 70 522 866,12 99,88 1558

Girikerto 44 310 820,21 132,79 1307

Kecamatan 272 1449,62 2147,58 439,8 4309

Sumber: BPS Kabupaten Sleman, 2019

Tabel Produksi Padi Sawah per Desa di Kecamatan Turi Tahun 2018

Desa Produksi (ton)

Bangunkert 538,05
o

Donokerto 1943,00

Wonokerto 663,35

Girikerto 1086,75

Kecamatan 4231,15

Sumber: Dinas Pertanian, Pangan, dan Perikanan Kabupaten Sleman

Penduduk di Kecamatan Turi sebagian besar bekerja di pertanian dengan Produksi


pertanian padi mencapai sekitar 5.101 ton per tahun, kacang tanah 39 ton pertahun, sayur-
sayuran 305.2 ton, buah buahan/ salak 270.778,6 ton, tembakau 33.2 ton, kelapa 3.524,15 kwt,
dan jagung 676   ton per tahun. Kecamatan Turi terkenal akan komoditas salak, komoditas ini
juga turut menopang perekonomian mayoritas masyarakat. Komoditas salak pondoh juga
dijadikan  sebagai ciri khas Kecamatan Turi didukung oleh adanya sarana pasar umum berjumlah
4 yang digunakan sebagai tempat distribusi hasil produksi pertanian.
Sedangkan kondisi penduduk keluarga miskin di Kecamatan Turi mencapai sebanyak
18,5% yaitu dari 2.283 KK di turi dicatat sebagai keluarga miskin sedangkan banyak KK di

27
Kecamatan Turi adalah 12.337. hal ini dapat disimpulkan bahwa angka kemiskinan masih cukup
tinggi pada Kecamatan Turi.
Di Kecamatan Turi terdapat 14 (empat belas) obyek desa wisata, diantaranya adalah;
Gabugan, Garongan, Kelor, Kembangarum, Nganggring, Pancoh, Plosokuning, Pulesari,
Pulewulung, Sangurejo, Sempu, Tlatar, dan Tunggularum. Obyek desa wisata di Kecamatan Turi
memiliki kesamaan SDA yang digunakan sebagai faktor penarik wisatawan. Sedangkan
perbedaan yang paling menonjol antar tiap obyek desa wisata di Kecamatan Turi adalah pada
parameter-parameter penunjang pariwisata dan kreasi masyarakat terhadap desa wisatanya
masing-masing.
3.6 Sarana dan Prasarana
3.6.1 Sarana Perekonomian
Tabel Banyaknya Sarana Perekonomian per Desa di Kecamatan Turi Tahun 2018

Desa Pasar Warung Kios Warung Makan


Umum

Bangunkerto 1 45 7

Donokerto 1 42 12

Wonokerto 1 40 5

Girikerto 1 30 4

Kecamatan 4 157 28

Sumber: Kantor Desa, 2019

3.6.2 Sarana Kesehatan


Tabel Banyaknya Sarana Kesehatan per Desa di Kecamatan Turi Tahun 2018

Desa Puskesmas Puskesmas Dokter Praktik Rumah Bersalin


Pembantu

Bangunkert 0 1 2 2

28
o

Donokerto 0 0 4 0

Wonokerto 0 1 2 3

Girikerto 0 1 2 2

Kecamatan 0 3 10 7

Sumber: Kantor Desa, 2019

3.6.3 Sarana Pemerintahan


Tabel Banyaknya Sarana Pemerintahan per Desa di Kecamatan Turi, 2018

Desa Kantor Camat Kantor Desa Polsek Koramil KUA

Bangunkerto 0 1 1 0 0

Donokerto 0 1 0 1 0

Wonokerto 1 1 0 0 1

Girikerto 0 1 0 0 0

Kecamatan 1 4 1 1 1

Sumber: Kantor Desa, 2019

3.6.4 Prasarana Penanggulangan Bencana


Kecamatan Turi memiliki sejumlah infrastruktur untuk meminimalisasi dampak negatif
bencana dari erupsi Gunung Merapi berupa early warning system untuk mendeteksi banjir lahar
yang terpasang di beberapa titik sungai dan jalur evakuasi. Adapun infrastruktur yang berfungsi
untuk mencegah bencana banjir yaitu berupa talud yang terletak di Desa Donokerto.

Menurut BPBD Sleman, terdapat sejumlah program yang difokuskan untuk menangani bencana
29
hidrometeorologis. Program-program tersebut meliputi pembangunan sistem peringatan dini
bencana, mitigasi non-struktural, penyelenggaraan Operasi Darurat Bencana, dan lain
sebagainya. Namun tidak diketahui bagaimana efektivitas pelaksanaan program tersebut di
Kecamatan Turi.
Saat ini data mengenai infrastruktur terkait mitigasi bencana yang ada di Kecamatan Turi
yang kami miliki sangat terbatas. Oleh sebab itu, terdapat kemungkinan adanya infrastruktur lain
yang belum kami sebutkan.

Gambar Jalur Evakuasi, Talud, dan EWS Banjir Lahar di Kecamatan Turi

Sumber: Tribun News, 2017

3.7 SWOT 
Strength
• Memiliki beberapa desa wisata yang mulai merambah taraf nasional
30
• 68% masyarakatnya merupakan penduduk usia produktif

• Hasil produksi pertanian dan peternakan yang melimpah

Weakness
• Terletak di kawasan rawan bencana Merapi II dan III, rawan gempa bumi, dan
bencana hidrometeorologis
• Belum memiliki infrastruktur pengendalian bencana banjir yang mumpuni
 Opportunity
• Letaknya yang berada di area pegunungan dapat dijadikan sebagai peluang untuk
membuka desa wisata/villa/bumi perkemahan
• Lahan kosong masih luas sehingga dapat dimanfaatkan untuk pertanian atau
peternakan

Threats
• Sebagian kecamatan memiliki curah hujan yang cukup tinggi dengan
kontur/topografi pada hulu sungai yang terjal sehingga semakin membahayakan
dikarenakan energi dorongan menjadi sangat kuat dan mengakibatkan arus air
menjadi lebih kencang
• Terpapar bencana alam erupsi gunung berapi dan bencana hidrometeorologis
seperti banjir, longsor, hujan es, dan angin putting beliung

31
3.8 Sejarah Kebencanaan

Gambar Skema Sejarah Kebencanaan


Sumber Hasil Analisis Penyusun, 2020

Pedesaan di Kecamatan Turi dikenal sebagai desa yang berpotensi terkena bencana. Hal ini
disebabkan banyak sejarah kebencanaan yang ada di desa-desa tersebut. Bencana yang terjadi
bervariasi, mulai dari gunung meletus, erupsi gunung, banjir, longsor, cuaca esktrem, angin
puting beliung dan hujan salju.

32
Peta Lokasi Bencana Desa di Kecamatan Turi
Sumber: Hasil Analisis Penyusun, 2020

3.8.1 Gunung Merapi Meletus (18 Desember 1930)


Pada tanggal 18 Desember 1930, terjadi bencana Gunung Merapi meletus yang
menimpa Kab.Sleman, termasuk desa-desa di Kecamatan Turi. Hal ini menyebabkan 1369
jiwa di Kab.Sleman tewas, menghancurkan 13 desa, meratakan lahan pertanian penduduk
setempat serta mematikan ribuan hewan ternak warga. Letusan bersifat eksplosif dan mampu
memuntahkan material vulkanik hingga 26 juta meter kubik serta membentuk awan panas
mencapai 15 kilometer mengarah ke barat-barat laut yang disebut dengan Wedhus Gembel.
Letusan gunung ini disebabkan oleh 3 hal. Pertama, adanya dorongan akibat tekanan
air dengan panas di bawah kawah gunung yang memantik letusan. Kedua, karena adanya
dorongan Magmatik ke permukaan dengan frekuensi yang besar. Terakhir, terdapat aktivitas
magma. Gunung Merapi berada di zona subduksi tempat lempeng bumi, sehingga terjadi
tekanan satu lempeng ke lempeng bawahnya terkena injeksi batuan cair. Injeksi batuan cair
terjadi di ruang magma, dimana panas inti bumi mencairkan Sebagian batuan menjadi
magma baru. Saat ruang magma sudah penuh, maka magma akan mengeluarkan
kelebihannya melalui letusan. Tidak terdapat kronologi pasti mengenai bencana ini

33
dikarenakan kurangnya data pendukung. Namun, bencana ini termasuk bencana gunung api
besar di Indonesia.

Gambar Letusan Merapi Tahun 1930

3.8.2 Erupsi Gunung Merapi (5 November 2010)


Erupsi kedua dan terbesar terjadi pada 5 November 2010. Erupsi ini menyebabkan 16
warga desa Kecamatan Turi dari 277 warga Kab. Sleman tewas, dan menghancurkan 2.586
rumah di desa Kecamatan Turi. Kejadian dimulai pada tanggal 3 November dimana aktivitas
Gunung Merapi meningkat dikarenakan adanya awan panas beruntun mulai pukul 11:11
sampai 15.00 WIB dan awan panas yang meluncur hingga 9 KM dari puncak gunung. Pada
tanggal 5 November 2010 pukul 01.00 WIB daerah aman ditetapkan pada luar radius 20 KM
dari puncak. Tidak lama setelah itu, terdengar gemuruh yang terdengar hingga jarak 29 KM
dari puncak gunung. Hujan kerikil dan pasir mencapai ke Kota Yogyakarta di bagian utara
sedangkan terjadi hujan abu vulkanik dari Purwokerto hingga Cilacap. Erupsi diperkirakan
terjadi karena adanya tekanan gas dengan material magmatis yang sangat besar dan
menghasilkan SO2 di udara sebesar 250-300 kiloton. Warga yang tinggal dekat gunung
bergerak secara cepat dengan mengungsi.

34
Gambar Erupsi Gunung Merapi

3.8.3 Banjir dan Longsor (1 Maret 2017)


Hujan deras terjadi di desa Wonokerto, Kecamatan Turi pada 1 Maret 2017. Hujan
yang deras tersebut mengakibatkan banjir akibat tanggul di belakang balai desa tidak dapat
menampung air hujan yang melimpah dan meluber memasuki bangunan warga. Banjir
tersebut memancing longsor datang tepatnya di Sungai Bedog, Dusun Tunggularum, Desa
Wonokerto. Tidak ada kronologi lebih lanjut mengenai peristiwa ini namun menurut data
tidak terdapat korban jiwa dalam, namun terjadi kerusakan pada beberapa titik desa dan air
menggenangi balai desa. Longsor sebagai dampak banjir mengakibatkan 5 orang pencari
rumput terjebak, namun berhasil dievakuasi oleh warga setempat.

Gambar Banjir dan Longsor di Desa Wonokerto

3.8.4 Cuaca Ekstrem (8 Maret 2018)


Terdapat cuaca ekstrem yang menimpa desa di Kecamatan Turi, Kab. Sleman pada
Rabu, 8 Maret 2018. Tidak ditemukan korban jiwa dalam peristiwa tersebut, namun terdapat
satu rumah tertimpa pohon tumbang. Cuaca ekstrem disebabkan angin kencang dan banjir
yang datang secara bersamaan. Beberapa relawan sudah melakukan penanganan awal terkait
dengan kasus tersebut.

35
Gambar Cuaca Ekstrem di Pedesaan Kecamatan Turi

3.8.5 Angin Puting Beliung dan Hujan Es (22 Februari 2019)


Pada tanggal 22 Februari 2019 terjadi angin putting beliung dan hujan es di Desa
Donokerto, Bangun kerto dan Wonokerto, Kecamatan Turi. Hal ini tidak menimbulkan
korban jiwa, namun terdapat kerusakan di tiga desa tersebut. Di desa Donokerto terdapat 18
pohon tumbang, 7 rumah rusak ringan, 2 rumah rusak sedang, 1 rumah rusak berat, 2 masjid
rusak ringan dan 1 warga mengalami luka ringan. Pada Desa Bangunkerto terdapat 3 pohon
tumbang dan 3 rumah rusak sedang. Di Desa Wonokerto, terdapat 6 pohon tumbang, 5
rumah rusak sedang dan 1 kadang ternak roboh. Di seluruh Kab. Sleman, desa di Kecamatan
Turi terkena paling banyak kerusakan. Kejadian terjadi pada siang hari waktu setempat. 

Gambar Puting Beliung dan Hujan Salju Merusak Infrastuktur

3.8.6 Banjir (21 Februari 2020)


Banjir menimpa ratusan siswa SMPN 1 , Desa Donokerto, Kecamatan Turi. Kronologi
bencana tersebut terjadi pada Jumat 21 Februari 2020 dari pukul 13:30 sampai 15:30 WIB.
Saat itu siswa melakukan kegiatan susur sungai sebagai pelajaran wajib pramuka di Kali

36
Sempor.Tiap siswa dikelompokkan menjadi 7-8 regu. Para siswa turun menyusur sungai
tidak ditemani oleh keseluruhan kakak pembina. Saat para siswa turun ke sungai, kondisi
cuaca cukup baik, tetapi di bagian hulu sudah mulai turun hujan. Di tengah perjalanan,
kedalaman air semakin dalam dan bervariasi, mulai dari 50 cm sampai 1 meter.
Diusut lebih lanjut, banjir disebabkan oleh karakteristik area di desa Donokerto,
dimana area hulu Sungai Sempor berada di sekitar lereng terjal, yang mana sangat sering
terjadi banjir yang datang tiba-tiba saat hujan (time of concentration yang pendek). Kejadian
ini mengakibatkan 257 siswa terseret banjir dimana 23 siswa luka-luka dan 10 siswa
meninggal.

Gambar Bencana banjir di Sungai Sempor, Kecamatan Turi

37
4.
HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN

4.1 Analisis Ancaman Banjir

Sumber: Hasil Analisis Penyusun, 2020

Tabel Parameter Ancaman Banjir

No Variabel Parameter Dataset Sumber

    Elevasi Lahan     

  Bahaya Raster Inarisk BNPB


Banjir Kemiringan Lereng

38
Curah Hujan

Jarak Terhadap Aliran Sungai

Kapasitas Infiltrasi
 

1. Limpasan Permukaan

Sumber: INARISK BNPB

Peta Ancaman atau Bahaya Banjir didapatkan dari ketersediaan data service INARISK BNPB.
Adapun untuk mengetahui tingkatan kelas pada masing-masing area mengacu pada Perka BNPB
No.2 Tahun 2012 yaitu tingkat ketinggian genangan banjir yang merupakan hasil dari overlay
parameter di atas sebagai berikut:
 

Kedalaman (m) Kelas Nilai Bobot Skor

<0.75 Rendah 1   0.333333

100%
0.76-1.5 Sedang 2 0.666667

>1.5 Tinggi 3 1.000000

Sumber: INARISK BNPB

4.2 Analisis Kerentanan


4.2.1 Kerentanan Sosial
Tabel Parameter Kerentanan Sosial

Kelas
Parameter Bobot
Rendah Sedang Tinggi
(%)
<5 5-10 >10
Kepadatan Penduduk 60 jiwa/ha jiwa/ha jiwa/ha
Sex Ratio 10 >40 20-40 <20

39
Rasio Tingkat
Pendidikan 10
Dependency Ratio 10
<20 20-40 >40
Rasio Penduduk Cacat 10
Sumber: INARISK BNPB dengan Penyesuaian Penulis

Tabel Skoring Kerentanan Sosial

Rasio Rasio
Kepadatan Rasio Tingkat
Sex Ratio Kelompok Penduduk
Desa Penduduk Pendidikan
Umur Rentan Cacat
Nilai Kelas Nilai Kelas Nilai Kelas Nilai Kelas Nilai Kelas
Bangunkert
12,01 101 11 16,30 0,31
o Tinggi Rendah Rendah Rendah Rendah
Donokerto 12,1 Tinggi 97 Rendah 12 Rendah 16,02 Rendah 0,23 Rendah
Wonokerto 4,88 Rendah 99 Rendah 10 Rendah 15,14 Rendah 0,30 Rendah
Girikerto 7,25 Sedang 102 Rendah 10 Rendah 20,98 Sedang 0,55 Rendah
Sumber: Hasil Analisis Penyusun, 2020

Keterangan Skor:

• Rendah = 1
• Sedang = 2

• Tinggi = 3

A. Kepadatan Penduduk
Kepadatan penduduk menunjukkan hubungannya dengan tingkat kerentanan suatu wilayah,
dimana semakin tinggi kepadatan penduduk maka akan semakin rentan daerah tersebut terhadap
bahaya banjir lahar. Semakin padat penduduk di wilayah permukiman yang terjangkau bahaya
banjir lahar maka akan semakin besar pula jumlah penduduk yang terkena dampak dari bahaya
banjir lahar tersebut. Kondisi kepadatan penduduk di wilayah penelitian menunjukkan wilayah
dengan kepadatan penduduk yang tinggi ada di Desa Bangunkerto dan Donokerto.
B. Sex Ratio
Rasio jenis kelamin ini digunakan untuk melihat apakah jumlah penduduk berjenis kelamin
laki-laki sudah mengimbangi jumlah penduduk berjenis kelamin perempuan. Hal ini dikarenakan
adanya asumsi semakin tinggi jumlah penduduk wanita di suatu wilayah, maka wilayah tersebut
akan cenderung lebih rentan. Kondisi rasio jenis kelamin di wilayah penelitian cenderung

40
seimbang antara jumlah penduduk perempuan dan laki-lakinya, sehingga parameter ini tidak
dianggap begitu menyumbang nilai kerentanan yang tinggi.
C. Rasio Kelompok Umur Rentan
Penduduk non produktif akan menjadi paling rentan dibandingkan dengan dengan
penduduk lainnya apabila terkena bahaya atau ancaman bencana. Penduduk dengan usia non
produktif dianggap tidak dapat menyelamatkan dirinya sendiri atau kurangnya kemampuan
dalam evakuasi karena keterbatasan gerak yang mereka punya tepat pada saat terjadinya
bencana. Rasio kelompok umur rentan di Kecamatan Turi tergolong rendah.
D. Rasio Tingkat Pendidikan
Pemakaian parameter ini ini terkait dengan kondisi pendidikan masyarakat di wilayah
penelitian. Pendidikan masyarakat sangat penting kaitannya dengan usaha mereka dalam
meminimalisasi dampak maupun pengambilan keputusan baik langkah evakuasi maupun
recovery pasca bencana. Rasio dihitung dengan membandingkan jumlah penduduk yang tidak
bersekolah dengan jumlah penduduk seluruhnya. Semakin tinggi rasio berarti semakin rentan.
Pada lokasi amatan rasio tingkat pendidikan tergolong rendah di seluruh kecamatan, kecuali di
Desa Girikerto yang tergolong sedang.
E. Rasio Tingkat Pendidikan
Pemakaian parameter ini terkait dengan aspek kondisi kesehatan masyarakat. Semakin
tinggi rasio penyandang cacat di suatu wilayah mengindikasikan kondisi kesehatan masyarakat
yang buruk. Apabila kondisi kesehatan masyarakat buruk maka akan semakin rentan wilayah
tersebut dalam menghadapi ancaman bahaya. Penduduk cacat dianggap tidak mampu
menyelamatkan dirinya sendiri apabila terjadi bencana, Pada lokasi amatan rasio penduduk cacat
tergolong rendah di seluruh kecamatan. Rasio yang paling tinggi ada di Desa Girikerto.

41
Sumber: Hasil Analisis Penyusun, 2020

4.2.2 Kerentanan Ekonomi


Tabel Parameter Kerentanan Ekonomi

Parameter Bobot (%) Kelas

Rendah (1) Sedang (2) Tinggi (3)

Lahan 60 <50 juta 500-200 juta >200 juta


Produktif

PDRB 40 <100 juta 100 juta-300 juta >300 juta

Tabel Asumsi Kontribusi PDRB per Desa di Kecamatan Turi menggunakan Persentase Luas Wilayah

Nama Desa Luas Luas Luas PDRB ADHK (juta PDRB Desa

42
(km2) Kabupaten Desa/Luas rupiah) (juta
Sleman (km2) Kabupaten rupiah)

Bangunkerto 7,03 574,82 0,0122 33 139 204,9 405 289,674

Donokerto 7,41 0,0129 427197,224

Wonokerto 15,58 0,0271 898 209,548

Girikerto 13,07 0,0227 753 504,415

Sumber: Hasil Analisis Penyusun, 2020

Tabel Asumsi Luas Lahan Produktif Desa di Kecamatan Turi menggunakan Persentase Luas Wilayah

Nama Desa Luas Lahan Luas Lahan Persentase PDRB Nilai Rupiah
Produktif Produktif Desa Sektor Lahan
Desa (Ha) Kab. Sleman terhadap Pertanian Produktif
(Ha) Kabupaten (juta rupiah) (juta rupiah)

Bangunkerto 34 24517,36 0,0014 2 071 604,2 2 872,843

Donokerto 124 0,0051 10 477,429

Wonokerto 70 0,0029 5 914,678

Girikerto 44 0,0018 3 717,798


Sumber: Hasil Analisis Penyusun, 2020

Kerentanan ekonomi dihitung melalui nilai rupiah lahan produktif dan kontribusi PDRB.
Indikator lahan produktif yang digunakan adalah lahan produktif yang difungsikan sebagai
sarana ekonomi yang menghasilkan nilai jual seperti sawah, ladang, kebun yang menghasilkan
nilai panen/ nilai lahan produktif. Nilai rupiah lahan produktif di tingkat desa dihitung
berdasarkan perbandingan luas lahan produktif di tingkat desa dengan luas lahan produktif di
tingkat kabupaten yang kemudian dikalikan dengan PDRB sektor pertanian. Sedangkan
kontribusi PDRB dihitung berdasarkan perbandingan luas wilayah di tingkat desa dengan luas
wilayah di tingkat kabupaten yang kemudian dikalikan dengan PDRB Atas Dasar Harga Konstan
2010. 

43
Sumber: Hasil Analisis Penyusun, 2020

4.2.3 Kerentanan Fisik


Perhitungan kerentanan fisik menggunakan metodologi yang telah ditetapkan oleh
Badan Nasional Penanggulangan Bencana di Indonesia. Parameter yang ditetapkan terdiri
dari parameter rumah, fasilitas umum dan fasilitas kritis. Jumlah nilai rupiah rumah, fasilitas
umum, dan fasilitas kritis dihitung berdasarkan kelas bahaya di area yang terdampak.
Masing-masing parameter dianalisis dengan menggunakan metode skoring sesuai Perka
BNPB No. 2 Tahun 2012 untuk memperoleh nilai skor kerentanan fisik. Kemudian
perhitungan kerentanan fisik dilakukan berdasarkan desa/kelurahan pada suatu kecamatan.
A. Desa Wonokerto  

Parameter Kelas Bahaya Jumlah Kelas Skor


Parameter

Rumah Tinggi 192 x 15jt = Rp 2,88 M Tinggi 3

44
Sedang 816 x 10jt = Rp 8,16 M

Rendah 2.889 x 5jt = Rp 14,445 M

Fasilitas   10 Rendah 1
Umum

Fasilitas        
Kritis

Sumber: Open Street Map dan Geoportal, 2020


Hasil Analisis Penyusun, 2020

Kerentanan fisik
= (0,4 x 3) + (0,3x1)
= 1,2+0,3
= 1,5
B. Desa Girikerto

Paramete Kelas Jumlah Kelas Skor


r Bahaya Parameter

Rumah Sedang 38 x 10jt = Rp 380jt Tinggi 3

Rendah 2.827 x 5jt = Rp14,135


M

Fasilitas   9 Rendah 1
Umum

Fasilitas        
Kritis
Sumber: Open Street Map dan Geoportal, 2020
Hasil Analisis Penyusun, 2020

Kerentanan fisik
= (0,4 x 3) + (0,3x1)
= 1,2+0,3
= 1,5
 
C. Desa Bangunkerto

45
Paramete Kelas Jumlah Kelas Skor
r Bahaya

Rumah Tinggi 7 x 15jt = Rp105jt Tinggi 3

Sedang 943 x 10jt = Rp 9,43 M

Rendah 3.073 x 5jt = 15,365 M

Fasilitas   8 Rendah 1
Umum

Fasilitas        
Kritis
Sumber: Open Street Map dan Geoportal, 2020
Hasil Analisis Penyusun, 2020

Kerentanan fisik
= (0,4 x 3) + (0,3x1)
= 1,2+0,3
= 1,5
D. Desa Donokerto

Paramete Kelas Bahaya Jumlah Kelas Skor


r

Rumah Tinggi 172 x 15jt = Rp 2,85 M Tinggi 3

Sedang 1.668 x 10jt = Rp 16,68 M

Rendah 2.429 x 5jt = Rp 12,145 M

Fasilitas   8 Rendah 1
Umum

Fasilitas        
Kritis
Sumber: Open Street Map dan Geoportal, 2020
Hasil Analisis Penyusun, 2020

Kerentanan fisik
= (0,4 x 3) + (0,3x1)

46
= 1,2+0,3
= 1,5
Setelah dilakukan skoring setiap parameter pada setiap desa, maka dapat
disimpulkan kerentanan fisik pada Kecamatan Turi sebagai berikut:  

                                                                       
Keterangan:
• Fasilitas umum termasuk Pendidikan dan Kesehatan
• Fasilitas umum mayoritas berada pada kawasan kelas bahaya sedang,
sehingga diasumsikan biaya pembangunan kembali < Rp 50jt

• Data untuk fasilitas kritis tidak ditemukan

4.2.4 Kerentanan Lingkungan


Kerentanan lingkungan di Kecamatan Turi dilihat dari tutupan lahan atau guna lahan
berupa hutan yaitu hutan lindung dan hutan rakyat. Di Kecamatan Turi memiliki total luas
hutan lindung sebesar  226 ha dan memiliki total luas hutan rakyat sebesar 421 ha yang
tersebar di seluruh desa pada Kecamatan Turi yang mana memiliki total luas sebesar 4309
ha,semakin luas hutan lindung atau hutan rakyat pada desa maka semakin tinggi kerentanan
lingkungan pada desa tersebut.
 

Nama Desa Hutan Lindung Hutan Rakyat

Desa Wonokerto - 70 Ha

Desa Girikerto 226 Ha 63 Ha

Desa Bangunkerto - 256 Ha

Desa Donokerto - 32 Ha

47
 Sumber: Kecamatan Turi dalam Angka 2019

Tabel Skoring Kerentanan Lingkungan

Parameter Kelas

Rendah (1) Sedang (2) Tinggi (3)

Tata Guna Lahan:  

Hutan Lindung <20 ha 20-50 ha >50 ha


(30%)

Hutan Rakyat (30%) <25 ha 25-75 ha >75 ha


     Sumber: BNPB dan Hasil Analisis Penyusun, 2020

*tidak terdapat kawasan hutan bakau,rawa,dan semak belukar


 
A. Desa Wonokerto

Parameter Kelas Bahaya Kelas Parameter Skor

Hutan       -      - -


Lindung

Hutan Rakyat Tinggi: 70 X 100 % = 70 Ha Tinggi 3

Sedang: 70 X 50% = 35 Ha

Rendah: 70 X 0% = 0 Ha

Sumber: BNPB dan Hasil Analisis Penyusun, 2020

Kerentanan Lingkungan (Bencana Banjir) = (0,3x3) = 0.9


 
B. Desa Girikerto

Parameter Kelas Bahaya Kelas Parameter Skor

48
Hutan Rendah: 226 X Rendah 1
Lindung 0%=

0 Ha

Hutan Rendah: 63 X 0% = Rendah 1


Rakyat
0 Ha
Sumber: BNPB dan Hasil Analisis Penyusun, 2020

Kerentanan Lingkungan (Bencana Banjir) = (0,3x1) + (0.3x1) = 0.6


 
C. Desa Bangunkerto

Parameter Kelas Bahaya Kelas Parameter Skor

Hutan     -      -       -


Lindung

Hutan Rakyat Rendah = 256 X 0%= Tinggi 3

0 Ha

Sedang = 256 X 50%=

128 Ha

Sumber: BNPB dan Hasil Analisis Penyusun, 2020

Kerentanan Lingkungan (Bencana Banjir) = (0,3x3) = 0.9


 
D. Desa Donokerto

Parameter Kelas Bahaya Kelas Parameter Skor

Hutan Lindung -              -      -

49
Hutan Rakyat Rendah = 32 X 0%= Rendah 1

0 Ha

Sedang = 32 X 50%=

16 Ha

Sumber: BNPB dan Hasil Analisis Penyusun, 2020

Kerentanan Lingkungan (Bencana Banjir) = (0,3x1) = 0.3


Maka Kerentanan Lingkungan pada Kecamatan Turi adalah 0.675
Kerentanan dituangkan dalam Indeks Kerentanan dengan skala 0 (tidak rentan) hingga 1
(sangat rentan). Semakin mendekati nilai 1 maka sifatnya akan semakin rentan. Pada luas area
hutan diatas dapat ditunjukkan bahwa desa wonokerto dan bangunkerto memiliki tingkat
kerentanan yang tinggi (0.9) diakibatkan oleh luasnya lahan tutupan di desa tersebut sedangkan
pada desa girikerto memiliki tingkat kerentanan yang sedang(0.6) dan pada desa donokerto
memiliki tingkat kerentanan yang rendah(0.3) dikarenakan luas lahan hutan yang tidak luas dan
tidak terkena atau terdampak oleh peta bahaya atau ancaman.. Parameter dan kelas pada skoring
mengikuti acuan dari Perka BNPB No.2 Tahun 2012.

50
Sumber: Hasil Analisis Penyusun, 2020

4.3 Analisis Kapasitas


Kapasitas adalah kekuatan yang dimiliki oleh perorangan, keluarga dan masyarakat
yang menunjukkan kemampuan seseorang maupun komunitas dalam mengurangi resiko,
dampak, ancaman dan tingkat kerugian dari bencana. Kapasitas mampu mencegah,
mengurangi, siap siaga dan menanggapi secara cepat permasalahan kedaruratan dan bencana
tersebut. Diharapkan masyarakat memiliki kapasitas yang tinggi agar mampu bertahan dan
kembali pada kondisi yang sebelumnya setelah ada suatu gangguan. Melihat potensi bencana
yang terjadi di desa ini, maka diperlukan suatu analisis untuk memberikan gambaran sejauh
apa kapasitas yang ada di pedesaan Kecamatan Turi. Analisis kapasitas bertujuan untuk
mengkaji dan menemukan kemampuan komunitas dalam melakukan usaha pengurangan
resiko bencana melalui pencegahan, mitigasi dan penanganan darurat. Analisis kapasitas
dibagi menjadi dua komponen, yaitu ketahanan daerah dan kesiapsiagaan masyarakat.

51
4.3.1 Ketahanan Daerah
Ketahanan daerah adalah komponen analisis kapasitas yang dinilai berdasarkan
capaian para pemangku kebijakan seperti instansi atau lembaga di level pemerintahan
kabupaten atau kota. Ketahanan daerah bersifat dinamis dan berubah sesuai dengan kondisi
lingkungannya. Pada tahun 2016, berdasarkan RPJMN tahun 2015-2019, ketahanan daerah
dihitung melalui indeks ketahanan daerah (IKD) dengan 7 fokus prioritas, 16 sasaran aksi
dan 71 indikator pencapaian. 7 fokus prioritas tersebut antara lain:
1. Penguatan kebijakan dan kelembagaan
2. Pengkajian risiko dan perencanaan terpadu

3. Pengembangan sistem informasi, diklat dan logistik

4. Penanganan tematik kawasan rawan bencana

5. Peningkatan efektivitas pencegahan dan mitigasi bencana

6. Perkuatan kesiapsiagaan dan penanganan darurat bencana

7. Pengembangan sistem pemulihan bencana

Data yang didapatkan dalam analisis ini dianalisis secara deskriptif. Hasil pengukuran
parameter akan dibagi menjadi 5 tingkatan (level), yaitu:
1. Level 1
Daerah memiliki pencapaian kecil atau tidak ada sama sekali dalam upaya
pengurangan resiko bencana dengan melaksanakan beberapa tindakan dalam
beberapa rencana atau kebijakan
2. Level 2
Daerah melaksanakan beberapa tindakan pengurangan bencana dengan
pencapaian yang bersifat tersebar namun belum ada kebijakan kelembagaan
secara sistematis.
3. Level 3
Terdapat beberapa komitmen pemerintah dalam melakukan kebijakan yang
telah tercapai dan terbentuk secara sistematis namun belum bisa mengurangi
dampak negatif dari bencana tersebut.

52
4. Level 4
Dengan dukungan komitmen serta kebijakan pengurangan resiko bencana,
daerah berhasil mencapai hal yang diinginkan namun masih agak terbatas
dalam komitmen, sumber daya finansial dan kapasitas operasional dalam
pelaksanaan pengurangan risiko bencana
5. Level 5
Capaian yang diinginkan telah dicapai dan komitmen pemerintahan dalam
melakukan kebijakan sudah memadai di seluruh tingkat komunitas yang ada di
suatu daerah.
Nantinya level-level tersebut akan dibagi menjadi beberapa kelas yaitu rendah, sedang
dan dtinggi dimana level 1 dan 2 untuk kapasitas rendah, level 3 dan 4 untuk kapasitas
sedang serta level 4 dan 5 untuk kapasitas tinggi.
4.3.2 Analisis Kapasitas Ketahanan Daerah
A. Perkuatan Kebijakan dan Kelembagaan
Terdapat beberapa aturan dan kelembagaan dijadikan indikator dalam menentukan
rekomendasi tindakan dalam penyelenggaraan penanggulangan risiko bencana. Untuk itu
diperlukan penguatan kebijakan dan kelembagaan agar tercapai sasaran yang efektif. Aturan
dan kelembagaan tersebut meliputi:
1. Peraturan penanggulangan bencana
2. Peraturan pembentukan forum PRB

3. Peraturan penyebaran informasi kebencanaan

4. Lembaga BPBD,

5. Lembaga forum PRB dan DPRD.

Kondisi umum: 
1. Saat ini peraturan penanggulangan bencana di Desa Turi diatur dalam Perda
Kabupaten Sleman No 7 tahun 2013. 
2. Sudah ada peraturan pembentukan forum PRB yaitu Perda Kab Sleman no 11 tahun
2016 tentang pembentukan dan susunan perangkat daerah pemerintah kabupaten
Sleman, yang juga mengatur desa di Kecamatan Turi.

53
3. Saat ini belum ada aturan mengenai penyebaran informasi penanggulangan bencana,
namun sudah tersedia informasi publik yang dapat diakses pada website BPBD
Sleman.

4. Sudah terdapat lembaga BPBD yang dapat diakses pada laman website BPBD
Sleman.

5. Terdapat lembaga forum PDRB D.I.Yogyakarta dan DPRD.

Sehingga dapat disimpulkan kapasitas kawasan pada aspek Perkuatan kebijakan dan
kelembagaan tergolong tinggi (level 5), karena semua aspek kelembagaan sudah terpenuhi.
B. Pengkajian Resiko dan Perencanaan Terpadu
Dalam perencanaan penanggulangan bencana, diperlukan pengkajian tiap resiko
bencana. Pengkajian itu diperbaharui dan dikembangkan secara berkala tiap 5 tahun sekali,
sesuai dengan kondisi tiap kawasan itu sendiri. Karena pengkajian resiko digunakan untuk
menilai risiko bencana daerah, maka pengkajian harus dilakukan secara mendalam dan
dilengkapi oleh peta bahaya, peta kerentanan, peta kapasitas, peta risiko dan peta resiko
multi bahaya dari seluruh bencana.
Kondisi umum:
1. Pemerintah Kabupaten Sleman belum memiliki data dan informasi yang cukup
mengenai bencana dalam bentuk peta bahaya. Peta ini digunakan dalam menyusun
kajian risiko bencana yang menghasilkan rekomendasi kebijakan.
2. Pemerintah Kabupaten Sleman belum memiliki data dan informasi yang cukup
mengenai bencana dalam bentuk peta kerentanan. Peta ini dapat mengetahui tingkat
kerentanan dari ancaman dan menggambarkan jumlah penduduk terpapar serta
potensi kerugian yang akan didapatkan dari tiap bencana.

3. Sudah terdapat peta resiko bencana dalam BPBD Sleman dengan berbagai jenis
bencana, antara lain: peta resiko banjir, tanah longsor, gempa bumi, kebakaran hutan,
letusan gunung api, dan kekeringan. Peta ini menjangkau keseluruhan Sleman
termasuk pedesaan Kecamatan Turi

54
4. Sudah terdapat peta risiko bencana multi bahaya di Kabupaten Sleman yang
disediakan oleh BPBD Sleman

Sehingga dapat disimpulkan kapasitas kawasan pada Pengkajian resiko dan


perencanaan terpadu tergolong sedang (level 3), karena hanya menyediakan beberapa peta
pendukung.
C. Pengembangan Sistem Informasi, Diklat dan Logistik
Terdapat beberapa pengembangan sistem informasi diklat dan logistik yang dilakukan
untuk menyampaikan informasi yang dapat menjangkau masyarakat, sosialisasi pencegahan
dan kesiapsiagaan, Pusdalops PB, pendataan yang dapat menjangkau, pelatihan penggunaan
PB, penyelenggaraan latihan kesiapsiagaan dan kajian pengadaan kebutuhan peralatan atau
logistik. Dalam pengembangan sistem informasi, diklat dan logistik dibutuhkan penyebaran
data, informasi, sosialisasi, peralatan/logistik dan lembaga yang mengkoordinir hal hal
tersebut sehingga pengembangan dapat berjalan lancar.
Kondisi umum:
1. Pemerintah Kabupaten Sleman belum menyusun aturan penyebaran data dan
informasi kebencanaan yang diperbaharui secara periodik.
2. Kegiatan sosialisasi pencegahan dan kesiapsiagaan bencana belum terlaksana
secara maksimal di desa pada Kecamatan Turi.

3. Informasi kebencanaan di Kecamatan Turi belum dilakukan secara maksimal

4. Pemerintah Kabupaten Sleman telah membentuk Pusat Pengendali Operasi


(Pusdalops) Penanggulangan Bencana. Namun Pusdalops belum dilengkapi
oleh website yang memadai dalam menjalankan peringatan dan penanganan
bencana.

5. Sistem pendataan bencana yang didukung oleh sarana dan prasarana tidak
tersedia dan belum dimanfaatkan secara baik

6. Sudah terdapat pelatihan kesiapsiagaan dalam penanggulangan bencana banjir


pada 9 November 2018 di Desa Wonokerto, Kecamatan Turi.

55
7. Sudah terdapat kajian pengadaan kebutuhan peralatan atau logistik di
Kabupaten Sleman yang menjangkau kecamatan Turi dan desa-desa
didalamnya.

Sehingga dapat disimpulkan Pengembangan sistem informasi, diklat dan logistik


tergolong sedangi (level 4), karena 4 dari 7 aspek sudah terpenuhi.
D. Penanganan Tematik Kawasan Rawan Bencana
Penanganan tematik kawasan rawan bencana diperlukan untuk merencanakan
penanggulan bencana melalui penataan ruang dan peningkatan ketangguhan sumber daya
berbasis PRB. Penataan ini mampu mencegah dan/ atau mengurangi keterpaparan terhadap
resiko bencana. Selain itu, penguatan kapasitas aparatur dan masyarakat merupakan daya
dulung dalam efektifitas penanganan tematik kawasan rawan bencana.
Kondisi umum:
1. Belum terdapat pengkajian kembali (review) tata ruang kota untuk
mengintegrasikan penanggulangan bencana/ manajemen resiko bencana secara
inklusif di Kecamatan Turi. Review masih dilakukan di beberapa kecamatan
yaitu KecamatanGodean, KecamatanBerbah dan KecamatanNgaglik
Kabupaten Sleman.
2. Belum terdapat sosialisasi tentang hasil, manfaat dan tujuan dari program
Sekolah dan Madrasah Aman Bencana (SMAB) di Kecamatan Turi.

3. Belum terdapat sosialisasi tentang hasil, manfaat dan tujuan dari program
Rumah Sakit Aman Bencana (RSAB) di Kecamatan Turi.

Sehingga dapat disimpulkan Penanganan tematik kawasan rawan bencana tergolong


rendah (level 1), karena semua aspek tidak terpenuhi.
E. Peningkatan Efektivitas Pencegahan dan Mitigasi Bencana
Pencegahan bencana dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan resiko bencana,
baik melalui pengurangan ancaman maupun kerentanan pihak yang terancam oleh bencana
tersebut. Sedangkan mitigasi diperlukan untuk mengurangi resiko bencana, baik
pembangunan fisik maupun penyandaran dan peningkatan kemampuan. Untuk efektifitas
pencegahan bencana diperlukan langkah yang tepat.

56
Kondisi umum:
1. Sudah terdapat aturan mengenai pengelolaan lingkungan hidup di Kabupaten
Sleman yang menjangkau pedesaan di Kecamatan Turi yaitu Perda Kab. Sleman
No 1 tahun 2016. Aturan ini memuat penerapan upaya pengurangan resiko
bencana.
2. Pemerintahan Kabupaten Sleman belum melakukan upaya perlindungan daerah
tangkapan air untuk mengurangi resiko bencana banjir

3. Pemerintahan Kabupaten Sleman belum mengeluarkan kebijakan restorasi sungai


di Kabupaten Sleman yang menjangkau keseluruhan pedesaan di Kecamatan Turi.

Sehingga dapat disimpulkan Peningkatan efektivitas pencegahan dan mitigasi bencana


tergolong rendah (level 1), karena tidak semua aspek terpenuhi.
F. Penguatan Kesiapsiagaan Dan Penanganan Darurat Bencana
Dalam melakukan kesiapsiagaan diperlukan langkah yang tepat untuk mengantisipasi
bencana melalui tiga tahap yaitu kontijensi,sistem peringatan dini dan evakuasi. Hal ini
dilakukan untuk menangani dampak buruk yang dapat ditimbulkan. Perlu adanya penguatan
kesiapsiagaan dan penanganan darurat bencana untuk melaksanakan rekomendasi aksi.
Kondisi umum:
1. Pemerintah Kabupaten Sleman belum melakukan penyusunan rencana
kontingensiuntuk bencana banjir dan longsor. Rencana kontinjensi baru
dilakukan pada Gunung Merapi. Hal ini menyebabkan tidak adanya rencana
operasi tanggap darurat untuk bencana banjir dan tanah longsor.
2. Terdapat beberapa data adanya Early Warning System (EWS) banjir lahar di
Kecamatan Turi namun belum terdaftar di Badan Pusat Statistik (BPS)
Kecamatan Turi.

3. Terdapat beberapa data mengenai jalur evakuasi saat terjadi erupsi Gunung
Merapi di beberapa desa pada Kecamatan Turi namun belum ada data lengkap
mengenai jalur evakuasi tersebut.

Sehingga dapat disimpulkan Penguatan kesiapsiagaan dan penanganan darurat


bencana tergolong rendah (level 2), karena tidak semua aspek terpenuhi.

57
G. Pengembangan Sistem Pemulihan Bencana
Pemerintah sekaligus masyarakat memiliki kepentingan untuk menyelenggarakan
pemulihan dampak bencana yang memerlukan waktu dan tahapan yang cukup lama.
Pemulihan ini meliputi penyelenggaraan rehabilitasi, rekontruksi infrastruktur, serta upaya
normalisasi kehidupan pasca bencana. Harus ada langkah konkrit dari Pemerintahan
Kabupaten Sleman untuk melakukan optimalisasi pemulihan tersebut.
Kondisi umum:
1. Sudah terdapat penyelenggaraan rehabilitasi yang mumpuni tercantum di
BPBD Sleman untuk memberi tunjangan psikologi korban bencana.
2. Sudah terdapat rekonstruksi infrastruktur dalam bidang sosial dan ekonomi
pasca bencana di Kabupaten Sleman yang menjangkau pedesaan di Kecamatan
Turi pula. Bantuan berupa dana dan bantuan calon induk sapi perah bagi
korban erupsi merapi untuk membantu perekonomian masyarakat pasca
bencana.

3. Belum terdapat upaya normalisasi yang tercantum dalam BNPB untuk


mengembalikan kondisi kehidupan pasca bencana di pedesaan Kecamatan Turi

Sehingga dapat disimpulkan aspek Pengembangan sistem pemulihan bencana


tergolong sedang (level 2), karena beberapa aspek tidak terpenuhi.
Berdasarkan data tersebut, maka tabel analisis kapasitas pedesaan di Kecamatan Turi
sebagai berikut:

KELAS
BOBOT
PARAMETER
TOTAL
RENDAH SEDANG TINGGI

Penguatan kebijakan dan LEVEL 5 100%


kelembagaan

58
Pengkajian risiko dan
LEVEL 3
perencanaan terpadu

Pengembangan sistem
LEVEL 4
informasi, diklat dan logistik

Penanganan tematik kawasan


LEVEL 1
rawan bencana

Peningkatan efektivitas
pencegahan dan mitigasi LEVEL 1
bencana

Perkuatan kesiapsiagaan dan


LEVEL 2
penanganan darurat bencana

Pengembangan sistem
LEVEL 2
pemulihan bencana

Tabel Analisis Kapasitas Ketahanan Pedesaan di Kecamatan Turi

Sumber: Hasil Analisis Penyusun, 2020

Keterangan: 
• LEVEL 1-LEVEL 2 = Kapasitas Rendah
• LEVEL 2-LEVEL 4 = Kapasitas Sedang

• LEVEL 5 = Kapasitas Tinggi

4.3.3 Kesiapsiagaan Masyarakat


Kesiapsiagaan masyarakat pada dasarnya merupakan semua upaya dan kegiatan yang
dilakukan sebelum terjadi bencana alam untuk secara cepat dan efektif merespon
keadaan/situasi pada saat bencana dan segera setelah bencana. Upaya ini sangat diperlukan

59
masyarakat untuk mengurangi risiko/dampak bencana alam, termasuk korban jiwa, kerugian
harta benda, dan kerusakan lingkungan.
A. Pembuatan Talud atau Tanggul
Dalam menghadapi bencana khususnya banjir, masyarakat Turi telah membangun
talud atau tanggul yang terletak di sepanjang Desa Donokerto. Talud ini memiliki tujuan
utama yaitu mencegah banjir di dataran yang dilindunginya, dengan cara mengunkung aliran
air sungai, sehingga menghasilkan aliran yang lebih cepat dan muka air yang lebih tinggi.
Kondisi umum dari talud atau tanggul ini kurang baik, karena sering mengalami
kebocoran atau kerusakan. Sehingga masih sering adanya kerugian dan korban. Maka dari
itu, dalam klasifikasi tingkat ketercapaian menurut pedoman kajian risiko bencana, aspek
kapasitas ini tergolong dalam level 2, dengan pencapaian yang sifatnya menyebar namun
masih minim dalam mengurangi dampak negatif.
B. Pembuatan Jalur Evakuasi
Kecamatan Turi memiliki dua jalur evakuasi sebagai sebuah wujud mitigasi bencana
untuk mengurangi jumlah korban yang dapat timbul yang memudahkan pemindahan korban
bencana dari lokasi bencana ke tempat yang aman atau penampungan pertama untuk
mendapatkan tindakan penanganan lebih lanjut. Jalur evakuasi yang terdapat di Kecamatan
Turi mengarahkan masyarakat ke sebuah barak pengungsian yaitu Barak Girikerto dan
Barak Wonokerto.
Kondisi umum dari jalur evakuasi ini cukup baik dan cukup mengurangi dampak
negatif yang disebabkan oleh bencana. Jalur evakuasi ini memiliki aksesibilitas yang baik
dan rute yang mudah untuk mengarahkan masyarakat ke barak pengungsian. Sehingga
dalam klasifikasi tingkat ketercapaian menurut pedoman kajian risiko bencana, aspek
kapasitas ini tergolong dalam level 4, dengan dukungan komitmen serta kebijakan mengenai
pengurangan risiko bencana yang menyeluruh, daerah tersebut berhasil memperoleh
capaian-capaian yang diinginkan. Hanya saja, masih ada keterbatasan dalam komitmen,
sumber daya finansial, atau kapasitas operasional dalam pelaksanaan upaya pengurangan
risiko bencana.
C. Pembuatan Early Warning System
Kesiapsiagaan masyarakat Turi juga dilengkapi dengan Early Warning System (EWS)
Banjir Lahar atau sensor peringatan dini ketika terjadi banjir lahar yang dipasang di

60
beberapa titik sungai. Peringatan dini pada masyarakat atas bencana merupakan tindakan
memberikan informasi dengan bahasa yang mudah dicerna oleh masyarakat. Ketika sensor
mendapat tanda akan terjadi bencana, sistem ini kemudian membunyikan sirine sebagai
penyampaian informasi kepada masyarakat Turi bahwa akan terjadi bencana.
Kondisi umum dari EWS ini cukup baik dalam memperingatkan warga akan adanya
bencana. Namun terkadang sensor peringatan dini ini kurang reaktif terhadap bencana yang
akan terjadi sehingga peringatan kadang terlambat dalam menyampaikan informasi. Maka
dari itu, dalam klasifikasi tingkat ketercapaian menurut pedoman kajian risiko bencana,
aspek kapasitas ini tergolong dalam level 3, dengan komitmen pemerintah dan beberapa
komunitas terkait pengurangan risiko bencana di suatu daerah telah tercapai dan didukung
dengan kebijakan sistematis, namun capaian yang diperoleh tersebut belum cukup berarti
untuk mengurangi dampak negatif bencana.
Berdasarkan data tersebut, maka tabel analisis kapasitas kesiapsiagaan masyarakat
Kecamatan Turi adalah sebagai berikut:
KELAS
BOBOT
PARAMETER
TOTAL
RENDAH SEDANG TINGGI

Pembuatan talud atau LEVEL 2


tanggul

Pembuatan jalur evakuasi LEVEL 4 100%

Pembuatan Early Warning LEVEL 3


System

Tabel Analisis Kapasitas Kesiapsiagaan di Kecamatan Turi

Sumber: Hasil Analisis Penyusun, 2020

4.4 Analisis Risiko Bencana


Risiko bencana merupakan hasil kali dari kerentanan dan ancaman dibagi dengan
kapasitas. Dengan menggunakan skoring kerentanan dan kapasitas yang sudah dijelaskan, maka
dapat diperoleh hasil perhitungan risiko bencana banjir Kecamatan Turi melalui peta di bawah.

61
Sumber: Hasil Analisis Penyusun, 2020

Dapat dilihat bahwa risiko banjir kecamatan Turi didominasi risiko banjir sedang dan memiliki
titik risiko tertinggi di daerah tengah dusun Wonokerto dan sebagian Donokerto. Sedangkan
risiko bencana banjir rendah terdapat di sebelah utara dusun Girikerto dan Wonokerto. Atas
dasar perhitungan tersebut, maka rencana mitigasi yang akan disusun memprioritaskan area-area
dengan risiko bencana banjir yang paling tinggi.

62
5.
PEMILIHAN ALTERNATIF RENCANA

5.1 Kriteria dan Alternatif Rencana


5.1.1 Kriteria
1. Biaya yang dibutuhkan relatif lebih sedikit
2. Membutuhkan jangka waktu pendek-menengah untuk direalisasikan

3. Dapat menyelesaikan masalah secara komprehensif

5.1.2 Alternatif Rencana


A. Pengarusutamaan Penanggulangan Bencana dalam Pembangunan
Tujuan: integrasi penanggulangan bencana dan kegiatan pembangunan
Rencana ini berangkat dari fakta bahwa penyelenggaraan penanggulangan bencana
merupakan upaya lintas sektor dan bersifat holistik. Untuk mewujudkan penyelenggaraan
penanggulangan bencana yang konsisten dan dinamis dibutuhkan integrasi antara rencana
penanggulangan bencana dan dokumen perencanaan yaitu RPJMN.
B. Peningkatan Efektivitas Mitigasi Bencana
Tujuan: optimalisasi upaya pencegahan bencana
Rencana ini mencakup aspek peningkatan partisipasi masyarakat dalam mitigasi
bencana, pengembangan bidang keilmuan tentang mitigasi bencana, dan penataan ruang
yang mempertimbangkan pengelolaan sumber daya alam. Rencana ini diimplementasikan
berdasarkan kajian risiko bencana dan kajian lingkungan hidup strategis daerah yang
diperbarui secara berkala.
C. Peningkatan Kesiapsiagaan dan Penanganan Darurat Bencana
Tujuan: antisipasi keadaan darurat secara efektif
Peningkatan kapasitas kesiapsiagaan bencana difokuskan pada kegiatan-kegiatan
yang mempersiapkan penanganan bencana secara efektif, seperti peningkatan kapasitas
masyarakat dan penguatan strategi advokasi serta informasi publik.
5.1.3 Kekurangan dan Kelebihan Rencana
No. Rencana Kelebihan Kekurangan

1. Pengarusutamaan - Bersifat holistik - Membutuhkan waktu yang lama


penanggulangan - Membutuhkan dukungan dan

63
bencana dalam konsistensi dari banyak pihak
pembangunan

2. Peningkatan - Memiliki cakupan - Membutuhkan biaya yang besar


efektivitas aspek yang luas
mitigasi bencana

3. Peningkatan - Mempersiapkan - Tidak menjangkau aspek


kesiapsiagaan penanganan keruangan
bencana keadaan darurat
secara matang
Sumber: Hasil Analisis Penyusun, 2020

5.2 Pemilihan Rencana dengan Metode Analytical Hierarchy Process

Sumber: Hasil Analisis Penyusun, 2020

Proses ini dilakukan berdasarkan kelebihan dan kekurangan masing-masing alternatif


rencana dan kesesuaiannya dengan kriteria yang ada, Dapat dilihat pada grafik di atas bahwa
kriteria I menempati peringkat prioritas paling tinggi, disusul oleh kriteria II dan kriteria III.
Peningkatan Efektivitas Mitigasi Bencana merupakan alternatif rencana dengan nilai yang paling
tinggi, sehingga kami menggunakannya untuk merumuskan rencana aksi dan rencana spasial.

64
6.
DETAIL RENCANA

6.1 Rencana Aksi

Pentahapan
Pelaksana
Sumber
Rencana Sasaran Aksi Indikator Tahun ke- Anggaran
Dana

1 2 3 4 5 Utama Pendukung

Peningkatan Meningkatny Penguatan Tersedianya         DISKOMINFO BPBD 300.000.000 APBD Murni


efektivitas a upaya sistem website atau Provinsi,
mitigasi mitigasi informasi aplikasi SETDA,
bencana untuk untuk penyedia data BAPPEDA
mencegah Pengkajian dan informasi
timbulnya Risiko terkait
kerugian Bencana kebencanaan
ekonomi,
korban jiwa, Terlaksananya
dan pembaharuan
kerusakan data dan
lingkungan informasi secara
akibat berkala
bencana

Penggalakan Adanya         Kementrian BPBD Sleman, 150.000.000 APBN


riset terkait anggaran dari ESDM, BPBD
strategi dan pemerintah Kemenristekdi Provinsi,
inovasi untuk kti, Perguruan BNPB, BMKG,
mitigasi melakukan riset Tinggi IABI
bencana setempat

65
Adanya
penyerapan
hasil
riset/inovasi
teknologi oleh
pemerintah

Pembangunan Terpasangnya       BPBD Sleman BNPB, BPBD 50.000.000 APBD P


Early Warning sistem Provinsi,
System peringatan dini BMKG, SAR,
(Sistem di daerah Orari/Rapi
Peringatan sepanjang aliran
Dini) terhadap sungai yang
Bencana rawan bencana
Banjir

Peningkatan Terlaksananya BPBD Sleman BNPB, BPBD 75.000.000 APBD P


kapasitas workshop Provinsi,
melalui kesiapsiagaan SKPD yang
pelatihan bencana di terkait, UGM
peringatan dini setiap desa
dan evakuasi untuk setiap
lapisan
masyarakat

Optimalisasi Adanya peta         BPBD Sleman BPBD 350.000.000 APBD Murni


penataan zonasi rawan Provinsi,
ruang banjir dan BNPB, SKPD
adanya (ESDM, PU,
penyesuaian LH), UGM,
lahan di daerah Masyarakat
rawan bencana
banjir

Adanya
pembatasan izin

66
mendirikan
bangunan di
daerah-daerah
rawan banjir

Sumber: Buku Renas PB 2015-2019


Hasil Analisis Penyusun, 2020

67
6.1.1 Penguatan Sistem Informasi untuk Pengkajian Risiko Bencana
Dalam melakukan pengambilan keputusan guna melakukan pencegahan dan
pengurangan risiko bencana perlu didukung oleh ketersediaan data dan informasi yang
akurat. Untuk itu sangat diperlukan sebuah sistem untuk mendukung dan memperlancar
pengolahan data kebencanaan baik dari segi input, proses maupun output yang
dihasilkan. Saat ini telah terdapat Sistem Informasi Kebencanaan di Kabupaten Sleman.
Melalui aplikasi tersebut, masyarakat dapat melapor dengan mengirim foto kejadian
bencana. Dengan adanya aplikasi ini, masyarakat Sleman, terutama yang berada di daerah
rawan bencana dapat lebih sadar dan paham mengenai bencana yang terjadi di sekitarnya.

Gambar Aplikasi Sistem Indormasi Kebencanaan Sleman

Sumber: Media Center Sleman, 2019

Adapun inovasi yang kami tawarkan yaitu penambahan fitur terkait ketersediaan
data mengenai lokasi titik kumpul, jalur evakuasi yang dapat dilewati, fasilitas pelayanan
umum yang dapat diakses, dan lokasi pengungsian saat terjadi bencana. Selain itu,
pengguna yang sedang dalam keadaan darurat dapat mengirimkan permohonan bantuan
melalui fitur “Panggil Bantuan” yang akan mengirim lokasi pengguna secara otomatis
kepada tim teknis dan menghubungkan pengguna dengan call center. Sistem ini akan
terintegrasi dengan infrastruktur pendukung penanganan bencana lain sehingga data
dapat disajikan secara real time. Ketika ada bahaya atau potensi bahaya yang terdeteksi,
aplikasi ini akan memberikan notifikasi pada pengguna. Selain melaporkan bencana,
aplikasi ini juga dapat mewadahi aspirasi atau usulan masyarakat terkait upaya-upaya
pencegahan dan mitigasi bencana yang telah dilakukan dan melaporkan apabila terjadi

68
malfungsi atau kerusakan infrastruktur. Berikut merupakan tampilan user interface dari
aplikasi tersebut.

Gambar Visualisasi User Interface Rencana

Sumber: Hasil Analisis Penyusun, 2020

6.1.2 Penggalakan Riset Terkait Strategi dan Inovasi Mitigasi Bencana


Riset memerlukan waktu yang panjang dan melibatkan alat serta teknologi yang
tidak murah. Hal inilah yang menjadikan  adanya anggaran dari pemerintah menjadi salah
satu indikator kinerja dari rencana aksi ini. Anggaran untuk melakukan riset di
Kecamatan Turi nantinya akan bersumber dari APBN dengan pelaksana utama
Kementerian ESDM, Kemenristekdikti, dan Perguruan Tinggi Setempat. Dengan
tersedianya anggaran untuk riset oleh pemerintah, maka akan muncul lebih banyak para
ahli maupun kelompok siaga bencana yang terinisiasi untuk melakukan riset.
Hasil dari riset berupa kajian strategi atau inovasi mitigasi bencana dan data terbaik
yang diproses dengan tepat terkait dampak bencana. Data yang dihasilkan diharapkan
dapat membantu pemerintah dalam membuat kebijakan. Sedangkan kajian strategi atau

69
inovasi diharapkan dapat menjadi proyek percontohan yang dikembangkan menjadi suatu
konsep dan kemudian diterapkan oleh pemerintah dalam menyusun perencanaan terkait
mitigasi bencana.

6.1.3 Peningkatan Kapasitas Melalui Pelatihan Peringatan Dini dan Evakuasi


Latihan kesiapsiagaan diartikan sebagai bentuk latihan koordinasi, komunikasi dan
evakuasi dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan pemerintah seperti BNPB,
BPBD Provinsi, SKPD yang terkait, UGM serta masyarakat umum. Salah satu upaya
mendasar untuk meningkatkan kewaspadaan dan kesadaran menumbuhkan budaya siaga
adalah melalui latihan kesiapsiagaan ditambah dengan adanya sejarah-sejarah
kebencanaan di Kecamatan Turi. Jenis-jenis latihan kesiapsiagaan yang dapat dilakukan
antara lain (i) Aktivasi Sirine Peringatan Dini, (ii) Latihan Evakuasi Mandiri di
Sekolah/Madrasah, Rumah Sakit Siaga Bencana, gedung bertingkat, dan pemukiman. (iii)
Uji Terap Tempat Pengungsian Sementara/ Akhir se Indonesia. Latihan kesiapsiagaan
yang dilaksanakan secara khusus, juga melibatkan kelompok rentan, seperti anak-anak,
kaum lansia dan tuna-wisma (homeless), para penyandang disabilitas dan orang
berkebutuhan khusus.
Ada tiga tahapan latihan, yakni tahap pelatihan, tahap simulasi, dan tahap uji
sistem. Ketiganya memilik alur, yakni:
a. Pengertian bertahap dalam latihan kesiapsiagaan dilaksanakan mulai dari tahap
awal analisis kebutuhan, perencanaan, persiapan dan pelaksanaan, serta
monitoring dan evaluasi.
b. Berjenjang, berarti bahwa latihan dilakukan mulai dari tingkat kompleksitas
paling dasar, yakni sosialisasi, hingga kompleksitas paling tinggi, yakni latihan
terpadu/gladi lapang. Semua jenis latihan kesiapsiagaan dimaksudkan untuk
meningkatkan kapasitas pemangku kepentingan, mulai dari peningkatkan
pengetahuan, hingga sikap dan keterampilan dalam menjalankan fungsi dan
tanggung jawab saat situasi darurat.

c. Berkelanjutan, dalam arti latihan kesiapsiagaan dilakukan secara terus menerus


dan rutin.

70
Kegiatan latihan kesiapsiagaan dapat dilakukan secara rutin dan dilakukan minimal
1 tahun sekali guna mengurangi jumlah korban bencana.Ketika melakukan gladi
lapangan atau latihan terpadu masyarakat diharapkan diberi pengetahuan tentang
beberapa area/tempat alternatif yang akan dijadikan sebagai pusat evakuasi, tempat
pengungsian maupun tempat perlindungan sementara. Tempat tersebut bisa
memanfaatkan bangunan, seperti kantor, sekolah, tempat ibadah, gedung, dan area
terbuka lainnya berdasarkan keamanan, aksesibilitas, juga lingkungan lokasi serta
mengetahui penetapan jalur evakuasi.

Gambar Simulasi Bencana Banjir

Sumber: TNI MIL

Catatan: Pembangunan Early Warning System (Sistem Peringatan Dini) terhadap


Bencana Banjir dan Optimalisasi Penataan Ruang akan dijelaskan lebih lanjut pada rencana
spasial.

6.2 Rencana Spasial


6.2.1 Pembangunan Early Warning System (Sistem Peringatan Dini) terhadap Bencana
Banjir
Sejak tahun 1995 hingga tahun 2015, tercatat 90% bencana alam besar yang terjadi
di dunia berkaitan dengan iklim dan cuaca, seperti banjir, badai, heatwaves, dan
kekeringan (UNISDR). Banyak cara yang dapat diusahakan untuk menekan risiko
bencana. Salah satu caranya adalah memanfaatkan teknologi Early Warning System atau
Sistem Peringatan Dini. 
Early Warning System atau Sistem Peringatan Dini merupakan rangkaian sistem
yang bertujuan mengurangi dampak bencana alam dengan cara menyediakan informasi

71
secara tepat waktu, akurat, dan sistematis. Jika diimplementasikan secara efektif, Early
Warning System dapat berkontribusi untuk meningkatkan ketangguhan suatu daerah
terhadap bencana alam dan secara bersamaan dapat ikut serta mendukung pencapaian
Sustainable Development Goals (SDGs) dalam mengurangi hilangnya nyawa dan mata
pencaharian.
Untuk membuat suatu Sistem Peringatan Dini, terdapat 4 (empat) elemen penting
yang perlu diperhatikan:

1. Risk Knowledge: Pengetahuan terhadap risiko bencana yang akan dihadapi,


elemen apa saja yang terancam, serta tingkat kerentanan menjadi dasar
penentuan pembuatan sistem EWS.
2. Monitoring and Warning Service: Pemantauan dilakukan dengan cara
mengumpulkan data yang terjadi di lapangan secara langsung di tempat
maupun dari jarak jauh. Beberapa teknologi yang dapat dimanfaatkan
diantaranya satellite, alat pengukur aliran air, curah hujan, kecepatan angin,
dan lain-lain serta melakukan proyeksi bencana menggunakan data
terdahulu untuk mengetahui trend kedepan.

3. Dissemination and Communication: Penyampaian informasi kepada


komunitas yang rentan terhadap bencana harus disesuaikan dengan
karakteristik komunitas tersebut agar tidak terjadi miskomunikasi dan
masyarakat dapat tanggap dan paham atas ancaman bahaya yang datang.

4. Response Capability: Kapabilitas masyarakat dan pihak berwenang dalam


menghadapi bencana yang terjadi. Untuk meningkatkan kapabilitas

72
masyarakat, maka dapat diadakan sosialisasi serta pelatihan tanggap
bencana, sedangkan untuk meningkatkan kapabilitas pihak berwenang perlu
menyediakan infrastruktur serta layanan yang reliable.

Skema Early Warning System yang diterapkan di Kecamatan Turi adalah sebagai
berikut:

Sumber: Hasil Analisis Penyusun, 2020

Keterangan:
Automatic Water Level Recorder (AWLR) ditempatkan pada area hulu karna air
mengalir dimulai dari hulu ke hilir, sehingga sebaiknya ketinggian muka air diukur pada
hulu. Agar ketika muka air sungai mulai naik di hulu, masyarakat di hilir dapat bersiap-
siap. Radar hujan diletakkan pada area hilir, karena limpasan air hujan paling besar
terjadi di hilir. Penempatan sirine dibagi secara merata khususnya di permukiman padat.
6.2.2 Optimalisasi Penataan Ruang
Optimalisasi penataan ruang dilakukan melalui zonasi kawasan prioritas yang
berhubungan dengan bencana banjir, yaitu Kawasan Sempadan Sungai dan Kawasan

73
Rawan Bencana. Berikut merupakan tabel ketentuan umum peraturan zonasi terkait
kedua kawasan tersebut.
NO. POLA RUANG KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI
KAWASAN
KETENTUAN UMUM KEGIATAN KETERANGAN

DIPERBOLEHKAN TIDAK KETENTUAN KETENTUAN KETENTUAN


DIPERBOLEHKAN UMUM PRASARANA UMUM
INTENSITAS DAN SARANA LAINNYA
BANGUNAN MINIMUM

A. Kawasan Lindung

A.1. Kawasan Perlindungan Setempat

A.1.1 Kawasan Diperbolehkan adanya Dilarang apabila KDB maksimal 0.15, Prasarana dan Bangunan yang
. Sempadan kegiatan, sarana- bangunan menghambat KDH minimal 85% sarana yang dibangun dengan
Sungai prasarana, dan struktur laju air. diizinkan berupa fungsi budidaya
pelindung yang tidak bangunan non diharuskan untuk
merusak fungsi permanen dan jalan memiliki UKL-
lingkungan. setapak. UPL dan atau
AMDAL.

Diperbolehkan apabila Sempadan sungai Tanah di kawasan


kegiatan mampu bertanggul minimal 3 ini dimiliki oleh
memperkuat tepian meter, tidak pemerintah,
sungai. bertanggul minimal apabila dimiliki
10 meter. individu maka
akan dibebaskan
dengan pengganti.

A.2 Kawasan Rawan Bencana

A.2.1 Kawasan Rawan   Terbatas bagi kegiatan KDB maksimal 50%, Diadakannya sarana Penyuluhan dan
. Bencana permukiman, KDH minimal 50% prasarana yang relokasi bagi
persawahan, dan dapat mencegah dan mereka yang
kegiatan budidaya yang menanggulangi bertempat di
dapat membahayakan bencana kawasan rawan
keselamatan manusia bencana.
dan lingkungan.
Prasarana dan Pengembangan
sarana yang teknologi oleh
mendukung pemerintah untuk

74
kegiatan budidaya mengatasi
tidak diadakan permasalahan
bencana.

Sumber: Hasil Analisis Penyusun, 2020

Sumber: Hasil Analisis Penyusun, 2020

75
DAFTAR PUSTAKA

Armaya, D.A.B. and Hizbaron, D.R., 2015. Penaksiran Tingkat Kerentanan Sosial terhadap
Bahaya Banjir Lahar Pasca Erupsi Gunungapi Merapi (Studi Kasus: Kec.
Cangkringan, Kec. Ngemplak dan Kec. Kalasan, Kab. Sleman, Prov. DIY). Jurnal
Bumi Indonesia, 4(4).
BNPB, 2012. Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana. s.l.:BNPB.
Cahyo,Pratomo dkk.2019.Kajian Risiko Bencana Banjir. Jakarta: Badan Nasional
Penanggulangan Bencana.
DEWANGGA, E. K. (2018, November 12). Hujan Lebat, Waspada Pohon Tumbang.
Retrieved from RADAR JOGJA: https://radarjogja.jawapos.com/2018/11/12/hujan-
lebat-waspada-pohon-tumbang/
Dewi, 2020. Aceh Miliki Pusat Studi Tsunami dan Mitigasi Bencana. [Online] Available at:
https://dishub.acehprov.go.id/informasi/berita/aceh-miliki-pusat-studi-tsunami-dan-
mitigasi-bencana/ [Accessed 03 May 2020].
N., M. & Badjido,. M. Y., 2015. STRATEGI PEMERINTAH DAERAH DALAM
PENANGGULANGAN BENCANA BANJIR DI KABUPATEN BANTAENG.
Otoritas: Jurnal Ilmu Pemerintahan, V(2), pp. 157-173.
noname. (2010, DECEMBER 3). Update Data Korban Bencana Erupsi Gunung Merapi
2010. Retrieved from Pemkab Sleman: http://www.slemankab.go.id/category/berita-
seputar-gunung-merapi/update-data-korban-bencana-erupsi-gunung-merapi-2010
noname. (2014, June 03). G. Merapi - Sejarah Letusan. Retrieved from Kementerian Energi
dan Sumber Daya Mineral: https://vsi.esdm.go.id/index.php/gunungapi/data-dasar-
gunungapi/542-g-merapi?start=1
Nur, D., 2018. Purworejo Kabupaten Nomor 2 Paling Rawan Bencana di Jawa Tengah.
[Online] Available at: http://purworejo.sorot.co/berita-7927-purworejo-kabupaten-
nomor-2-paling-rawan-bencana-di-jawa-tengah.html [Accessed 21 April 2020].
Pamungkas, R., 2019. Evaluasi Jalur Evakuasi Bencana Erupsi Gunung Merapi dengan
Menggunakan Least Cost Path Analysis di Kecamatan Turi, Sleman.
 Pradhan, NS; Bajracharya, N; Bajracharya, SR; Rai, SK; Shakya, D (2016) Community
based flood early warning system – Resource manual. Kathmandu: ICIMOD

76
Puri, D. P. & Khaerani, T. R., 2017. Strategi Mitigasi Bencana Tanah Longsor Di Kabupaten
Purworejo. Journal of Public Policy and Management Review, II (6), pp. 51-65.
Rasmi, L. A. (2020, February 21). Ratusan Siswa SMPN 1 Turi Sleman Terseret Banjir di
Sungai Sempor, 5 Ditemukan Tewas, Ini Daftarnya. Retrieved from Tribunnews.com:
https://www.tribunnews.com/regional/2020/02/21/ratusan-siswa-smpn-1-turi-sleman-
terseret-banjir-di-sungai-sempor-5-ditemukan-tewas-ini-daftarnya
Rizky, V. (2020, March 3). Riwayat Erupsi Gunung Merapi dari Masa ke Masa. Retrieved
from mata mata politik: https://www.matamatapolitik.com/riwayat-erupsi-gunung-
merapi-dari-masa-ke-masa-original-listicle/
Somantri, L., 2008. Pemanfaatan Teknik Penginderaan Jauh untuk Mengidentifikasi
Kerentanan dan Risiko Banjir. Jurnal Geografi Gea, 8(2).
Tamtomo, A. B. (2018, May 11). INFOGRAFIK: Riwayat Letusan Merapi Sejak 1990-an.
Retrieved from Kompas.com:
https://regional.kompas.com/read/2018/05/11/16523971/infografik-riwayat-letusan-
merapi-sejak-1990-an
Tkj. (2017, March 1). Hujan Deras Beberapa Titik di Kecamatan Pakem, Turi, Banjir dan
Longsor. Retrieved from BPBD SLEMAN: https://bpbd.slemankab.go.id/hujan-
deras-beberapa-titik-di-kecamatan-pakem-turi-banjir-dan-longsor/
Wibowo, A. W., 2020. Tanggul Sungai Turi Rawan Jebol Lagi, Sleman: SINDONews
Jateng-DIY.
Widjaja, W., 2016. Risiko Bencana Indonesia, s.l.: BNPB.

77

Anda mungkin juga menyukai