Anda di halaman 1dari 58

LAPORAN TUGAS BESAR KL4114 MANAJEMEN KAWASAN PESISIR

PENATAAN KAWASAN PESISIR SAYUNG YANG


TERINTEGRASI BERWAWASAN LINGKUNGAN DAN
BERKELANJUTAN:
SUDUT PANDANG LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT

Oleh:
Riyadi Zakia S 12920069
Peterson P Siahaan 15516055
Angellita A Siahaan 15519041
Christian William 15519043
Dyas Mella R 15519046
M Fadhilah Sidik 15519048
Insan Rafi R 15519050
Viony Shinta Dwi C 15520006

Dosen:
Dr. Nita Yuanita S.T., M.T.

PROGRAM STUDI TEKNIK KELAUTAN


FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN
INSTITUT TEKNOLOGIBANDUNG
2022
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur dan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
rahmat dan berkat-Nya, sehingga laporan Tugas Besar Mata Kuliah KL4114 Manajemen
Kawasan Pesisir dapat diselesaikan dengan baik. Penyusunan laporan ini merupakan gabungan
hasil diskusi dengan peran sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat perihal studi Kecamatan
Sayung di Kabupaten Demak. Laporan ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk
menyelesaikan Mata Kuliah KL4114 Manajemen Kawasan Pesisir.

Kami sebagai kelompok Lembaga Swadaya Masyarakat menyadari bahwa laporan ini
tidak dapat terselesaikan tanpa adanya bantuan, dukungan dan bimbingan dari banyak pihak
selama pelaksanaan tugas besar. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima
kasih yang dengan tulus kepada:
1. Ibu Dr. Nita Yuanita S.T., M.T., selaku dosen pengampu mata kuliah KL4114
Manajemen Kawasan Pesisir.
2. Ibu Devi Ulumit dan Pak Muhammad Rizki Saleh, selaku asisten dosen yang telah
membantu, memberikan masukan dan memfasilitasi keberjalanan diskusi dan
pengerjaan laporan.
3. Orang tua, rekan sahabat, dan pihak-pihak lainnya yang tidak bisa kami kelompok LSM
sebutkan satu persatu.

Kami sebagai kelompok Lembaga Swadaya Masyarakat sadar betul, bahwa laporan
yang sudah kami buat masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan
kritik dan saran yang membangun agar dapat menyempurnakan penulisan laporan ini serta
bermanfaat bagi kelompok kami dan para pembaca.

Bandung, 21 Desember 2022

Kelompok Lembaga Swadaya Masyarakat

i
ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
DAFTAR GAMBAR iv
DAFTAR TABEL v
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Tujuan 1
1.3. Metodologi 1
1.4. Sistematika Penulisan 2
BAB II DASAR TEORI 3
2.1. Konsep Integrated Coastal Management Zone (ICZM) 3
2.1.1. Pengertian Integrated Coastal Management Zone (ICZM) 3
2.1.2. Tujuan Integrated Coastal Management Zone (ICZM) 3
2.2. Kondisi Fisik Kecamatan Sayung 5
2.2.1 Gambaran Umum Daerah Kecamatan Sayung 5
2.2.2 Potensi Umum Daerah Kecamatan Sayung 8
2.2.3 Permasalahan Daerah Pesisir Sayung 13
BAB III ANALISIS DAN PEMBAHASAN 25
3.1. Sudut Pandang Lembaga Swadaya Masyarakat 25
3.2. Kondisi Eksisting Mangrove Kecamatan Sayung 25
3.3. Usulan Peta Zonasi Lembaga Swadaya Masyarakat 27
3.4. Usulan Penyelesaian Masalah 28
3.4.1 Solusi Jangka Pendek 28
3.4.2 Solusi Jangka Menengah 28
3.4.3 Solusi Jangka Panjang 28
BAB IV HASIL DISKUSI STAKEHOLDERS 46
4.1. Poin Penting Diskusi 46
4.2. Peta Zonasi yang Disepakati 46
4.3. Nilai Positif dan Negatif Hasil Diskusi 48
BAB V PENUTUP 50
5.1. Kesimpulan 50

ii
iii

5.2. Saran 50
DAFTAR PUSTAKA 51

iii
iv

DAFTAR GAMBAR
Gambar 2. 1. Hubungan antara Kawasan Pesisir dengan Sumber Daya Pesisir ........................ 4
Gambar 2. 2. Peta Administrasi Kecamatan Sayung ................................................................. 6
Gambar 2. 3. Topografi Kecamatan Sayung .............................................................................. 9
Gambar 2. 4. Tata Guna Lahan Kabupaten Demak ................................................................. 10
Gambar 2. 5. Geologi Regional dan Aspek Oseanografi Utara Pulau Jawa ............................ 11
Gambar 2. 6. Kondisi Tanah Kabupaten Demak ..................................................................... 12
Gambar 2. 7. Desa Pesisir di Kecamatan Sayung .................................................................... 13
Gambar 2. 8. Laju Penurunan Tanah di Demak....................................................................... 15
Gambar 2. 9. Peta Land Subsidence di Kabupaten Demak ..................................................... 15
Gambar 2. 10. Rerata Permukaan Tanah di Elevasi 0 Hingga Saat Pasang ............................ 16
Gambar 2. 11. Data Sekunder Grafik Pasang Surut Daerah Pesisir Utara .............................. 16
Gambar 2. 12. Intrusi Air Laut Menyebabkan Laju Land Subsidence .................................... 17
Gambar 2. 13. Kerusakan Mangrove ....................................................................................... 18
Gambar 2. 14. Sebagian Besar Erosi (Garis Merah), Sedikit Akresi (Kuning) ...................... 19
Gambar 2. 15. Wind Rose Daerah Semarang dan Sekitarnya ................................................. 19
Gambar 2. 16. Peta Kemunduran Garis Pantai 1999 – 2015 ................................................... 20
Gambar 2. 17. Orientasi Garis Pantai Pesisir Sayung .............................................................. 20
Gambar 2. 18. Sampah Plastik Di Akar Mangrove dan Upaya Mengurangi Sampah ............. 21
Gambar 2. 19. Tambak Dan Sawah Yang Tenggelam............................................................. 22
Gambar 2. 20. Masalah Kawasan Pesisir ................................................................................. 23
Gambar 2. 21. Kenaikan Muka Air Laut Dikarenakan Efek Rumah Kaca .............................. 23
Gambar 2. 22. Prediksi Kenaikan Muka Air Laut Pada Tahun 2050 ...................................... 24
Gambar 3. 1. Peta Persebaran Mangrove dan Peta Kerusakan Mangrove pada Tahun 2020 .. 26
Gambar 3. 2. Peta Kerusakan Mangrove pada Tahun 2015 dan 2020 ..................................... 26
Gambar 3. 3. Peta Zonasi Usulan LSM ................................................................................... 27
Gambar 3. 4. Mekanisme Sumber Daya Air Tanah ................................................................. 29
Gambar 3. 5. Mekanisme Aquifer............................................................................................ 31
Gambar 3. 6. Konservasi Mangrove Terintegrasi Tambak Ikan .............................................. 32
Gambar 3. 7. DAS Citarum Jawa Barat ................................................................................... 34
Gambar 3. 8. Klasifikasi Bangunan Pelindung Pantai ............................................................. 40
Gambar 3. 9. Pembentukan Tombolo pada Pantai Detach Breakwater ................................... 42
Gambar 3. 10. Traditional BW (breakwater) ........................................................................... 42
Gambar 3. 11. Rubble–mound Groins ..................................................................................... 43
Gambar 3. 12. Rock Armors .................................................................................................... 44
Gambar 4. 1. Peta Zonasi yang Disepakati .............................................................................. 47
Gambar 4. 2. Peta Zonasi Jangka Pendek ................................................................................ 47
Gambar 4. 3. Peta Zonasi Jangka Menengah ........................................................................... 48
Gambar 4. 4. Peta Zonasi Jangka Panjang ............................................................................... 48

iv
v

DAFTAR TABEL
Tabel 2. 1. Desa Kecamatan Sayung .......................................................................................... 5
Tabel 2. 2. Penggunaan Peternakan Kabupaten Demak ................................................................ 7
Tabel 2. 3. Penggunaan Lahan dan Prosentase di Kecamatan Sayung ............................................. 7
Tabel 2. 4. Data Kependudukan Kabupaten Demak ..................................................................... 8

v
BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kawasan Sayung terkena dampak banjir rob yang menimbulkan banyak masalah seperti
hilangnya lahan pemukiman, lahan budidaya dan mata pencaharian, yang berdampak langsung
pada kualitas hidup masyarakat. Masyarakat pesisir seperti nelayan, petani, dan pembuat
tambak bergantung pada sumber daya alam untuk mata pencaharian mereka. Kondisi
lingkungan dan sumber daya alam pesisir yang terancam mempengaruhi aspek sosial ekonomi
dan sosial budaya penduduk. Kegiatan ini meliputi industri, daur ulang, perumahan, pertanian,
transportasi laut dan operasi pelabuhan. Berbagai kerusakan lingkungan tersebut mengancam
kelangsungan perusahaan dan hajat hidup orang banyak. Pengetahuan tentang dampak
lingkungan sosial dari erosi dan banjir rob penting untuk mempertimbangkan arah
pengembangan kebijakan dan strategi mitigasi dan adaptasi. Karena gesekan menjadi ancaman
yang semakin serius dari tahun ke tahun. Disisi lain, masih banyak orang yang ingin bertahan.
1.2. Tujuan
Tujuan penulisan laporan kelompok Lembaga Swadaya Masyarakat adalah:
Menata kawasan pesisir Kecamatan Sayung yang Terintegrasi Berwawasan Lingkungan dan
Berkelanjutan, dengan memperhatikan:
1. Sosialisasi permasalahan Kecamatan Sayung pada masyarakat untuk menyelamatkan
masyarakat yang terdampak banjir rob, dan mengurangi dampak land subsidence.
2. Penanaman mangrove dan usulan peta zonasi berdasarkan konsep ICZM.

1.3. Metodologi
Metodologi pengerjaan tugas besar KL4114 Manajemen Kawasan Pesisir ini yaitu:
1. Perkuliahan
Materi yang diterima selama kegiatan perkuliahan mendukung kelompok Lembaga
Swadaya Masyarakat dalam mengerjakan tugas besar Kecamatan Sayung mengenai
materi Integrated Coastal Zone Management.
2. Studi Literatur
Informasi dan data tambahan yang didapatkan dari dokumen atau referensi yang
berkaitan dengan pengerjaan tugas besar Kecamatan Sayung diakses melalui internet
sebagai bentuk studi literatur yang dilakukan oleh kelompok Lembaga Swadaya
Masyarakat.

1
2

1.4. Sistematika Penulisan


Sistematika penulisan laporan tugas besar Kecamatan Sayung ini yaitu:
BAB 1 PENDAHULUAN
Pada bab ini terdapat latar belakang, tujuan, metodologi, dan sistematika penulisan.
BAB 2 DASAR TEORI
Pada bab ini dijelaskan deskripsi lokasi tugas besar, teori dasar terkait tugas besar dan
Integrated Coastal Management Zone (ICZM).
BAB 3 ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini dibahas sudut pandang dari Lembaga Swadaya Masyarakat, kondisi eksisting
Mangrove pada Kecamatan Sayung, dan usulan peta zonasi dari Lembaga Swadaya
Masyarakat.
BAB 4 HASIL DISKUSI STAKEHOLDERS
Pada bab ini terdapat poin penting dari hasil diskusi bersama stakeholders, peta zonasi yang
disepakati stakeholders, dan nilai positif dan negatif yang didapat dari hasil diskusi.
BAB 5 PENUTUP
Pada bab ini berisikan kesimpulan dan saran dari pengerjaan tugas besar Kecamatan Sayung
secara keseluruhan.

2
3

BAB II DASAR TEORI

2.1. Konsep Integrated Coastal Management Zone (ICZM)


2.1.1. Pengertian Integrated Coastal Management Zone (ICZM)
Integrated Coastal Management Zone (ICZM) adalah suatu proses tata kelola yang
terdiri dari kerangka hukum dan kelembagaan yang diperlukan untuk memastikan bahwa
rencana pembangunan dan pengelolaan wilayah pesisir terintegrasi dengan tujuan lingkungan
(termasuk sosial) dan dibuat dengan partisipasi mereka yang terkena dampak. ICZM juga
berarti suatu proses pengelolaan pantai dengan pendekatan terpadu, mengenai semua aspek
wilayah pesisir, termasuk batas-batas geografis dan politik, dalam upaya mencapai kelestarian.
Konsep ICZM juga berhubungan dengan Sustainable Development atau Pembangunan
Berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan
saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan
mereka sendiri (World Commission on Environment and Development, 1987: Our Common
Future). Terdapat dua kunci yang terkandung, yaitu konsep kebutuhan, khususnya kebutuhan
pokok kaum miskin dunia, yang harus diberi prioritas utama dan gagasan keterbatasan yang
dipaksakan oleh keadaan teknologi serta organisasi sosial terhadap kemampuan lingkungan
untuk memenuhi kebutuhan sekarang dan masa depan.
Konsep ICZM lahir pada tahun 1992 saat Earth Summit di Rio de Janeiro dalam proses
KTT dalam Agenda 21, Bab 17. ICZM adalah proses yang dinamis, multidisiplin dan berulang
untuk mempromosikan pengelolaan zona pesisir yang berkelanjutan. Hal ini mencakup siklus
penuh pengumpulan informasi, perencanaan, pengambilan keputusan, manajemen dan
pemantauan implementasi. ICZM menggunakan partisipasi informasi dan kerja sama semua
pemangku kepentingan untuk menilai tujuan masyarakat di wilayah pesisir tertentu, dan untuk
mengambil tindakan. ICZM dalam jangka panjang berusaha untuk menyeimbangkan tujuan
lingkungan, ekonomi, sosial, budaya dan rekreasi, serta semua dalam batas yang ditentukan
oleh dinamika alam.

2.1.2. Tujuan Integrated Coastal Management Zone (ICZM)


Kata ‘integrated’ mengacu pada integrasi tujuan dan juga integrasi banyak instrumen
yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut. Hal ini berarti integrasi dalam semua bidang
kebijakan yang relevan, sektor, dan tingkat administrasi seperti integrasi komponen darat dan
laut dari wilayah sasaran, baik dalam ruang maupun waktu. Berikut merupakan karakteristik
zona pesisir:
3
4

1. Berisi habitat dan ekosistem yang menyediakan barang dan jasa bagi masyarakat
pesisir.
2. Persaingan sumber daya darat dan laut dan ruang angkasa oleh berbagai pemangku
kepentingan.
3. Berfungsi sebagai sumber atau tulang punggung perekonomian nasional (untuk
negara/negara pesisir).
4. Padat penduduk.

Pengelolaan kawasan pesisir tidak bisa lepas dari hubungan antara lingkungan darat,
lingkungan laut, dan aktivitas manusia. Berikut merupakan hubungan antara kawasan pesisir
dengan sumber daya pesisir:

Gambar 2. 1. Hubungan antara Kawasan Pesisir dengan Sumber Daya Pesisir


Sistem yang digunakan dalam pengelolaan pesisir adalah sebagai berikut:
1. Orang yang hidup, menggunakan atau berkepentingan.
2. Pembuat kebijakan atau manajer.
3. Anggota komite ilmiah.

Program ICZM yang layak harus komprehensif tetapi konten dan kompleksitasnya akan
bervariasi dari satu wilayah ke wilayah lainnya sesuai dengan tren pembangunan, kebutuhan
konservasi, tradisi, norma, sistem pemerintahan, dan masalah serta konflik kritis saat ini.
Tujuan penggunaan ganda yang kompatibel harus selalu menjadi fokus utama. Jika sumber
daya manusia dan keuangan terbatas, program ICZM dapat disederhanakan menjadi hanya
mencakup komponen-komponen berikut:
1. Harmonisasi kebijakan dan tujuan sektoral;

4
5

2. Mekanisme penegakan lintas sektoral;


3. Kantor koordinasi dan,
4. Persetujuan izin dan prosedur Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).

Tujuan ICZM di suatu wilayah dapat berbeda satu sama lain. Beberapa kemungkinan
tujuan ICZM di area tertentu:
1. Penggunaan sumber daya yang berkelanjutan
2. Keanekaragaman hayati
3. Perlindungan terhadap bahaya alam
4. Kontrol polusi
5. Pemgembangan ekonomi
6. Kesejahteraan sosial masyarakat pesisir
7. Berbagai macam kegunaan yang optimal

2.2. Kondisi Fisik Kecamatan Sayung


2.2.1 Gambaran Umum Daerah Kecamatan Sayung
Kecamatan Sayung merupakan kecamatan wilayah pesisir yang memiliki 20 desa
disajikan pada tabel sebagai berikut :
Tabel 2. 1. Desa Kecamatan Sayung

Desa Banjarsari Desa Bulusari Desa Surodadi Desa Dombo

Desa Jetaksari Desa Bedono Desa Karangasem Desa Loireng

Desa Pilangsari Desa Kalisari Desa Sayung Desa Sidogemah

Desa Sriwulan Desa Purwosari Desa Tambakroto Desa Timbulsloko

Desa Gemulak Desa Perampelan Desa Sidorejo Desa Tugu

5
6

Gambar 2. 2. Peta Administrasi Kecamatan Sayung


Kecamatan Sayung sebagai salah satu kecamatan di Kabupaten Demak secara geografis
terletak pada koordinat 7°70’– 8°40’ Lintang Selatan dan 140°60’– 140°80’ Bujur Timur.
Dengan luas wilayah 7.869 Ha. Wilayah Kecamatan Sayung dibatasi oleh :
Sebelah Barat : Kota Semarang
Sebelah Utara : Laut Jawa
Sebelah Timur : Kecamatan Karang Tengah
Sebelah Selatan : Kecamatan Mranggen
Jarak Kecamatan Sayung ke pusat kecamatan lainnya:
● Menuju Kecamatan Karangtengah : ± 8 km
● Menuju Kecamatan Guntur : ± 12 km
● Menuju Kecamatan Mranggen : ± 10 km
● Menuju Kecamatan Karangawen : ± 15km

Sebagai daerah agraris, maka sebagian besar wilayah Kecamatan Sayung terdiri atas
lahan tanam yang mencapai luas 3396 ha. Sedangkan produksi terbesar adalah komoditi padi
dengan jumlah produksi sebesar 21285 ton. Selain itu, lahan di Kecamatan Sayung juga

6
7

dimanfaatkan sebagai hortikultura. Jenis komoditi hortikultura dengan luas panen terluas di
Kecamatan Sayung adalah komoditi kangkung dengan luas panen sebesar 81 ha Sedangkan
produksi terbesar adalah komoditi kangkung dengan jumlah produksi sebesar 3721 kwintal.
Perkebunan, jenis komoditi perkebunan dengan luas panen terluas di Kecamatan Sayung
adalah komoditi kelapa dengan luas panen sebesar 97,28 ha Sedangkan produksi terbesar
adalah komoditi kelapa dengan jumlah produksi sebesar 213500 ton. Serta peternakan, pada
tahun 2020 populasi ternak di Kecamatan Sayung terdiri atas 78 sapi potong, 47 kerbau, 3 kuda,
dan 1231 kambing Sedangkan untuk populasi unggas terdiri atas 0 ekor ayam kampung, 400
ekor ayam petelur, 5058000 ekor ayam pedaging, dan 9265 ekor itik. Berikut ini adalah tabel
penggunaan lahan Kabupaten Demak :
Tabel 2. 2. Penggunaan Peternakan Kabupaten Demak

Tabel 2. 3. Penggunaan Lahan dan Prosentase di Kecamatan Sayung


(Sumber: Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Demak)

Berdasarkan data dari BPS, Kecamatan Sayung Dalam Angka (2020), tercatat jumlah
total penduduk Kabupaten Demak sebanyak 105.712 jiwa. Terdiri atas 51.993 berjenis kelamin
laki-laki dan 552.162 perempuan.

7
8

Tabel 2. 4. Data Kependudukan Kabupaten Demak

2.2.2 Potensi Umum Daerah Kecamatan Sayung


1. Topografi

8
9

Wilayah pesisir Sayung merupakan dataran rendah dengan topografi relatif datar yaitu
kurang dari 2% atau ketinggian 0 - 5 meter dari permukaan laut. Bahkan kini beberapa wilayah
di pesisir Sayung justru lebih rendah dari permukaan laut. Hal ini terjadi sebagai akibat dari
adanya penurunan muka tanah atau land subsidence. Selain itu, kenaikan permukaan laut juga
memperparah area tersebut sehingga semakin tenggelam.

Gambar 2. 3. Topografi Kecamatan Sayung

2. Tata Guna Lahan


Secara penggunaan lahan sudah dirancang oleh pemerintah Kabupaten Demak dalam
Rencana Tata Ruang dan Wilayah Tahun 2011 - 2031 dengan Kecamatan Sayung difokuskan
sebagai Kawasan Industri, Kawasan Sawah Irigasi, Kawasan Perikanan, dan Kawasan
Permukiman. Akan tetapi, seiring semakin meningkatnya penurunan muka tanah dan kejadian
banjir rob yang semakin tinggi, kesesuaian lahan pun semakin berkurang. Perubahan yang jelas
terlihat pada area permukiman dan industri yang mulai ditinggalkan karena banjir rob dan
penurunan muka tanah.

9
10

Gambar 2. 4. Tata Guna Lahan Kabupaten Demak

3. Infrastruktur
Listrik dan air bersih merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi masyarakat.
Listrik dapat dimanfaatkan masyarakat untuk penerangan, perindustrian dan sebagainya.
Sementara air bersih dapat digunakan masyarakat untuk kebutuhan mandi, memasak dan
sebagainya. Di Wilayah Kabupaten Demak yang terdiri dari 14 Kecamatan dan 249 desa /
kelurahan sudah mendapatkan jaringan listrik dari PLN. Untuk pelanggan air bersih pada tahun
2012 sebanyak 36.225 pelanggan dengan volume pemakaian air sebanyak 6.628,86 ribu m
kubik dengan nilai sekitar 13 milyar lebih. Dari 14 Kecamatan baru 7 kecamatan yang
mendapatkan aliran air bersih dari PDAM Demak.
Infrastruktur jalan di ketiga desa sebagian sudah dibangun dengan konstruksi beton.
Sebagian lagi masih berupa tanah. Jalan merupakan sarana dan prasarana transportasi yang
vital dalam menunjang kegiatan ekonomi suatu daerah. Menurut catatan dari Dinas Pekerjaan
Umum, Permukiman, Pertambangan dan Energi (DPUPPE) Kabupaten Demak, bahwa panjang
jalan di Kabupaten Demak pada tahun 2012 adalah 426,5i km dan panjang jalan provinsi
42.860 km. Menurut jenis permukaannya, jalan kabupaten yang diaspal sepanjang 123.518 km,
berupa beton 208,182 km, kerikil 76.722 km dan berupa tanah 18.088 km. Sedangkan untuk
jalan provinsi 19.050 km sudah beraspal dan 23.810 km dalam keadaan rigid. Sementara untuk

10
11

kondisinya jalan kabupaten 286.351 km dalam kondisi baik, 45.349 km dalam kondisi sedang,
76.222 km dalam kondisi rusak dan 18.088 km dalam kondisi rusak berat.

4. Aspek Oseanografi
Tunggang pasut yang terjadi di daerah pesisir utara pulau jawa khususnya daerah
demak bekisar 1 meter dengan laut dangkal kurang dari 60 meter, musim hujan di daerah demak
terjadi pada bulan november - maret dengan intensitas hujan sebanyak 200 mm/m dengan
musim kemarau terjadi pada bulan mei sampai dengan september dengan curah hujan kurang
dari 200 mm / m. Suhu permukaan di daerah sayung mengalami peningkatan dengan rata-rata
0.2 - 0.3 C pada dekade terakhir, hal ini tidak saja terjadi di pesisir utara jawa juga terjadi di
daerah laut banda dan laut sulawesi. tinggi muka air laut mengalami peningkatan sebesar 0.6 -
0.8 cm per tahunnya, selain itu salinitas permukaan tercatat 33,2 pada tahun 2000 dan
diprediksi akan menjadi 32,1 psu pada tahun 2040, selain itu tinggi gelombang signifikan
(TGS) terjadi dengan ketinggian lebih dari 2 meter pada periode 1990 - 2015 dengan proyeksi
gelombang ekstrim berpotensi meningkatkan gelombang hingga 1,5 m pada kondisi riil, data
yang dipaparkan merupakan dokumen Bappenas (2018) dan dokumen TNC 20017.

Gambar 2. 5. Geologi Regional dan Aspek Oseanografi Utara Pulau Jawa


Sumber : Solihudin, 2021

5. Aspek Geologi dan Klimatologi


Dilihat dari ketinggian permukaan tanah, wilayah Demak terletak mulai dari 0 meter
sampai 100 meter dari permukaan air laut. Sedangkan tekstur tanahnya, wilayah Demak terdiri

11
12

atas tanah halus (liat) seluas 49.066 Ha dan tekstur tanah sedang (lempung) seluas 40.677 Ha.
Penggunaan tanah di Kabupaten Demak tanah sawah mencapai 50.760 Ha (56,56%) dan
selebihnya adalah tanah kering. Formasi pesisir Kabupaten Demak selain diisi oleh bentukan
pantai landai khas pesisir utara Jawa, juga terdapat tambak tambak garam milik masyarakat.
Kondisi batuan/tanah di wilayah Kecamatan Sayung secara umum berupa tanah aluvial
pantai yang tersusun oleh alluvial hidromorf. Sebagian besar kondisi tanah tersebut pada
musim kemarau menjadi keras dan retak – retak, sehingga tidak dapat digarap secara intensif
untuk pertanian, sedang pada musim penghujan tanahnya bersifat lekat sekali dan volumenya
membesar, serta lembab, sehingga agak sukar untuk digarap dan memerlukan sistem drainase
yang memadai. Berdasarkan atas sifat fisik tanah hasil analisis laboratorium mekanika tanah
(Andal Kawasan Industri Sayung, 2014), menunjukkan bahwa tanah di daerah ini mempunyai
ukuran butir dominan lempung, berat tanah basah = 1,5-1,6 gr/cm2 ,berat tanah kering= 0,94 –
1,16 gr/cm2; specific gravity = 2,5-2,6; kadar air = 56,56 -75,67 %; porositas = 58,50-66,72
%; Void ratio =1,42-1,78 %. Berdasarkan kondisi tanah tersebut, secara geoteknik merupakan
kondisi tanah jelek.

Gambar 2. 6. Kondisi Tanah Kabupaten Demak


Sebagaimana musim yang ada di Indonesia, pada umumnya di Kabupaten Demak
hanya memiliki 2 (dua) musim yaitu musim kemarau dan musim penghujan. Musim kemarau
terjadi pada bulan Juni sampai dengan bulan September dengan arus angin berasal dari
Australia dan tidak banyak mengandung uap air, sedangkan musing penghujan terjadi pada
bulan Desember sampai dengan bulan maret dengan arus angin banyak mengandung uap air

12
13

yang berasal dari Asia dan Samudera Pasifik. Keadaan tersebut berganti setiap setengah tahun
setelah melewati masa peralihan pada bulan April-Mei dan Oktober-November. Curah hujan
di Kabupaten Demak berkisar antara 434 mm sampai dengan 2.671 mm

6. Lingkungan Permukiman
Kondisi lingkungan permukiman di desa-desa yang terdampak banjir rob tergolong
kumuh. Hampir setiap tahun warga melakukan peninggian rumah akibat banjir rob yang
merendam rumah mereka. Namun, sebagian dari mereka memilih untuk membiarkan rumah
mereka terendam karena keterbatasan ekonomi keluarga. Sementara untuk memperbaiki
aksesibilitas, pemerintah terus melakukan peninggian jalan sehingga rumah-rumah tersebut
terlihat semakin tenggelam.
Selain konstruksi bangunan yang semakin rendah, kondisi lingkungan diperparah
dengan adanya sampah-sampah yang terbawa banjir rob memasuki area permukiman. Kondisi
ini berpotensi menimbulkan wabah penyakit bagi masyarakat

2.2.3 Permasalahan Daerah Pesisir Sayung


1. Umum
Berikut adalah nama-nama desa di pesisir Sayung yang berada di sebelah utara jalan
nasional Pantura Semarang-Demak : Sriwulan - Bedono - Purwosari - Sidogemah - Gemulak -
Timbulsloko - Surodadi - Tugu - Sidorejo - Banjarsari.

Gambar 2. 7. Desa Pesisir di Kecamatan Sayung

13
14

Dari hasil pengamatan dan membaca data-data sekunder yang ada, permasalahan utama
di Sayung hampir sama dengan di Kota Pekalongan yakni land subsidence (penurunan muka
tanah). Yang membedakan adalah pencemaran dari limbah industri yang berkaitan dengan
batik adalah besar. Yang menguntungkan adalah kepadatan penduduk di pesisir Sayung adalah
tidak sepadat di Kota Pekalongan, sehingga dimungkinkan ekses sosialnya akan sedikit.
2. Land Subsidence
Tanah yang ada di daerah Sayung itu masih tanah muda yakni terbentuk karena faktor
sedimentasi dimana dulunya lautan kemudian menjadi daratan. Karena secara geologi termasuk
dalam kategori tanah aluvial muda, maka secara alami tetap akan mengalami penurunan tanah.
Penurunan dipercepat dengan adanya pemanfaatan air tanah secara massive. Laju penurunan
tanah di pesisir kecamatan Sayung antara 4 cm sampai 12 cm , per tahunnya.
Tenggelamnya sebagian besar lahan di sebelah utara jalan nasional pantura akibat land
subsidence sekitar 4 sd 10 cm/tahun. Sebagian besar tambak dan rumah penduduk telah
tenggelam. Tercatat lebih dari 2200 Ha Kawasan Sayung yang tenggelam akibat rob. Sebagian
besar penduduk yang mampu memilih pindah ke daerah selatan pantura. Selain itu,
Tenggelamnya beberapa tambak sehingga membuat batas tambak dengan jaring (tidak tanggul
seperti dulu, karena memerlukan biaya yang besar akibat tambak dan jalan akses yang telah
tenggelam). Wilayah pesisir Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak menghadapi permasalahan
yang serius terutama sebagian besar lahannya mengalami land subsidence sehingga
pemanfaatan lahan yang dulunya dijadikan tambak dan sawah saat tenggelam. penurunan muka
tanah ini disebabkan oleh:
• Penggunaan air tanah yang berlebihan dan
• Kemungkinan adanya pergeseran lapisan tanah ke arah barat akibat pengerukan yang
ada di tanjung mas.

14
15

Gambar 2. 8. Laju Penurunan Tanah di Demak


(Sumber : Rahmawan dkk, 2016 dalam SaraD, 2019)

Gambar 2. 9. Peta Land Subsidence di Kabupaten Demak


(Sumber : BAPPEDA Kab Demak)

Banjir rob yang kian parah akibat naiknya muka air laut oleh pemanasan global dan
menurunnya muka tanah karena pengambilan air tanah berlebihan. Topografi Demak yang
berupa dataran rendah dengan ketinggian rata-rata 0 sampai dengan 3 meter di atas permukaan
laut, sangat rentan terhadap dampak rob.

15
16

Gambar 2. 10. Rerata Permukaan Tanah di Elevasi 0 Hingga Saat Pasang

Gambar 2. 11. Data Sekunder Grafik Pasang Surut Daerah Pesisir Utara

Dari data sekunder pasang surut tersebut, dapat disimpulkan bahwa beda nilai antara
MSL dan HHWL adalah 70 cm. Sehingga bila daratannya mempunyai elevasi ± 0,00 MSL,
maka daerah tersebut akan tergenang sedalam 70 cm. Kemungkinan besar banyak daerah di
pesisir Sayung mempunyai elevasi di bawah ± 0,00 MSL, sehingga kedalaman airnya akan
bertambah

16
17

3. Kurangnya Suplai Air Baku yang Memadai


Salah satu penyebab land subsidence adalah penggunaan air tanah yang tinggi. Air
tanah harus digantikan dengan air permukaan. Informasi yang ada, terdapat potensi air
permukaan yang bersumber dari Bendungan Jragung dimana saat kegiatan lomba ini diadakan
tengah dalam penyelesaian konstruksi. Amblesan tanah yang semakin parah karena
pengambilan air tanah dan kondisi tanah yang jenuh akibat rob lambat tapi pasti
menenggelamkan permukiman dan sarana publik yang ada.
Pengambilan air tanah yang berlebihan dapat menyebabkan intrusi air laut. Intrusi air
laut menjadi lebih besar jika fungsi resapan di daerah hulu berkurang karena penutupan lahan
oleh lapisan kedap air (seperti berkembangnya pemukiman dan jalan) serta berkurangnya
pepohonan yang memungkinkan air laut dapat meresap. Intrusi air laut dapat menyebabkan laju
land subsidence bertambah besar. Untuk itu penting mengurangi penurunan tanah dengan cara
menghentikan pengambilan air tanah di daerah pesisir. Beberapa alternatifnya adalah :
- Membuat bendungan di hulu dimana airnya untuk mensuplai di kawasan pesisir.
- Membuat waduk di daerah pesisir yang dapat difungsikan selain kolam retensi untuk
menunjang sistem polder, airnya dapat dimanfaatkan pula sebagai air baku dengan
kualitas tertentu.

Gambar 2. 12. Intrusi Air Laut Menyebabkan Laju Land Subsidence


(Sumber : Dwa Desawarnana, 2020)
4. Kerusakan Mangrove
Kerusakan hutan mangrove yang disebabkan oleh land subsidence sehingga akar
mangrove akan selalu tenggelam, merupakan salah satu faktor dominan yang mengakibatkan
kurang sehatnya mangrove dan akhirnya mati, Alih fungsi hutan mangrove menjadi lahan

17
18

pertanian dan tambak akan menekan kualitas lingkungan pesisir. Akar mangrove dapat
menahan energi gelombang dan arus, sehingga dapat mencegah terjadinya erosi.
Pada tahun 1980-an, terjadi penebangan mangrove yang cukup masive untuk lahan
pertanian dan tambak. Pada saat itu belum menyadari dampak penebangan mangrove pada
degradasi lingkungan. Akibat perlindungan alami (natural protection) hilang sehingga terjadi
erosi/abrasi. Erosi / abrasi semakin masive masuk ke daratan sehingga garis pantai mundur
dengan penyebabnya ini paralel dengan kejadian land subsidence.
Selain rusaknya infrastruktur yang ada, tambak masyarakat juga rusak. Ini
mengakibatkan berkurang signifikannya pendapatan masyarakat pesisir karena menurunnya
tambak yang telah tenggelam dan hasil laut di pesisir terkait berkurangnya mangrove tempat
ikan dan makhluk hidup lainnya untuk berkembang biak.

Gambar 2. 13. Kerusakan Mangrove


5. Erosi Pantai
Terjadinya erosi pesisir pantai. Erosi ini diperparah dengan terjadinya land-subsidence,
sehingga penetrasi tenaga gelombang ke arah daratan semakin besar. Dari hasil perbandingan
garis pantai dengan menggunakan citra satelit Google Earth sejak tahun 2013 s.d 2021, tampak
garis pantai di pesisir Kecamatan Sayung mayoritas terindikasi mundur mencapai lebih dari 2
km. Selain disebabkan abrasi garis pantai, mundurnya ini kemungkinan disebabkan oleh
turunnya permukaan tanah (land subsidence) di pesisir Kecamatan Sayung. Land subsidence
menyebabkan gelombang bisa penetrasi ke daratan. Akibatnya adalah energi gelombang yang
masih besar tersebut dapat meng-abrasi garis pantai. Dengan material sedimen berupa lumpur
(clay), abrasi akan semakin mudah terjadi karena partikel sedimen yang lebih bisa mengalami
suspended (sedimen layang).

18
19

Gambar 2. 14. Sebagian Besar Erosi (Garis Merah), Sedikit Akresi (Kuning)

Gambar 2. 15. Wind Rose Daerah Semarang dan Sekitarnya


(Sumber : Dari Olahan Data Angin BMKG Ahmad Yani Semarang Tahun 1999 s/d
2020)

19
20

Gambar 2. 16. Peta Kemunduran Garis Pantai 1999 – 2015


(Sumber : Data KKP)

Gambar 2. 17. Orientasi Garis Pantai Pesisir Sayung


Orientasi garis pantai pesisir Sayung yang relatif dari Timur Laut ke Barat Daya,
menyebabkan gelombang dominan dari arah Barat Laut relatif tegak lurus terhadap garis
pantai.
Daerah yang diberi garis putus-putus adalah orientasi garis pantai yang relatif
membujur dari arah timur laut – barat daya. Melihat dari wind rose dan orientasi garis pantai
yang kurang lebih membujur dari timur laut ke barat daya, maka gelombang yang berpengaruh

20
21

adalah dari barat, barat laut dan utara. Gelombang dari barat laut menjalar kurang lebih tegak
lurus terhadap garis pantai. Sedangkan gelombang dari arah utara akan menyebabkan arus
sejajar pantai sehingga pengangkutan sedimen akan menuju ke arah barat daya.

6. Kebersihan Lingkungan
Pencemaran lingkungan disebabkan oleh limbah industri dan sampah masyarakat.
Rendahnya kemandirian dan kesadaran masyarakat terhadap pengelolaan pemanfaatan dan
pemeliharaan lingkungan pantai. Diperlukan peran serta gender dalam mengatasi permasalahan
lingkungan rumah tangga.
Kelak keberadaan kawasan sayung yang baru harus mempunyai sistem persampahan
yang cukup baik. Industri yang diusulkan adalah industri kategori clean industry dan low
pollutant industry. Untuk low pollution industry diusulkan adanya waste water treatment,
sehingga air yang keluar dari industri tersebut dapat dimanfaatkan kembali menjadi air baku
seperti untuk menyirami tanaman yang ada di sekitar kawasan.

Gambar 2. 18. Sampah Plastik Di Akar Mangrove dan Upaya Mengurangi Sampah
(Sumber : Mongabay Indonesia)

7. Menurunnya Ekonomi Masyarakat Pesisir


Dahulu, masyarakat di pesisir Sayung termasuk kategori masyarakat dengan
kemakmuran menengah ke atas. Saat tahun 1980 an sd 2000an awal, pertanian dan tambak
menjadi primadona pemasukan masyarakat di pesisir tersebut. Kemudian penurunan tanah
mulai terjadi sehingga permukaan tanah menjadi lebih rendah dari permukaan air laut sehingga
terjadi genangan yang semakin bertambah seiring dengan penurunan muka tanah. Akibat land
subsidence lainnya adalah putusnya akses jalan dan jembatan di kawasan pesisir Belum
tersedia secara memadai sarana dan prasarana pengolahan hasil laut dan tambak. Diperlukan

21
22

pembinaan dan subsidi sehingga mereka bisa mengembangkan bisnis olahan hasil laut dan
tambak secara UMKM.

Gambar 2. 19. Tambak Dan Sawah Yang Tenggelam

8. Belum adanya Pengelolaan Daerah Pantai Secara Terpadu


Belum adanya manajemen pengelolaan daerah pantai secara terpadu (Integrated Coastal
Zone Management) yang melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholder) di daerah
pesisir dan penentu kebijakan terkait pengelolaan wilayah pesisir. Akibatnya adalah
pengelolaan pesisir pada zaman dulu banyak ditekankan pada pengusahaan tambak dan sawah.
Di Kemudian hari di pesisir Sayung berkembang sebagai daerah industri. Pengeksploitasian
kawasan pesisir tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan akan mengakibatkan
kerusakan lingkungan tersebut.
Beberapa hal yang dapat dihasilkan dalam pengelolaan manajemen daerah pesisir
secara terpadu (Integrated Coastal Zone Management) adalah mengoptimalkan fungsi dan
peran lembaga masyarakat pesisir menjadi lembaga yang dapat menjaga keberlanjutan
ekosistem wilayah pesisir. Produk yang dihasilkan misalnya adalah aturan mengenai
penguasaan dan pembukaan areal pertambakan. Walaupun hukum telah dibuat, yang penting
pula adalah penegakan hukum terhadap pelanggaran lingkungan pesisir.

22
23

Gambar 2. 20. Masalah Kawasan Pesisir


Berbagai Kepentingan Dari Masing-Masing Stakeholder Harus Dibicarakan Dan
Dikompromikan Agar Kegiatan Yang Ada Tidak Hanya Mengedepankan Faktor Ekonomi,
Tapi Harus Memperhatikan Keberlanjutan Lingkungan Pula (Sumber :
http://imbrsea.eu/product/44

9. Global Climate Change


Global climate change yang menyebabkan kenaikan muka air laut sekitar 0,5 cm/tahun.
Akibat global climate change lainnya adalah tiupan angin yang besar yang dapat menyebabkan
gelombang besar sampai dipantai masih mempunyai daya rusak yang cukup signifikan.

Gambar 2. 21. Kenaikan Muka Air Laut Dikarenakan Efek Rumah Kaca
(Sumber : www.UNEP-1995)

23
24

Gambar 2. 22. Prediksi Kenaikan Muka Air Laut Pada Tahun 2050
(Intergovernmental Panel of Climate Change (IPPC))

24
25

BAB III ANALISIS DAN PEMBAHASAN

3.1. Sudut Pandang Lembaga Swadaya Masyarakat


Kecamatan Sayung merupakan kawasan pesisir yang terletak di bagian barat Kabupaten
Demak, Jawa Tengah, Indonesia. Terjadinya permasalahan banjir rob yang disebabkan oleh
dampak penurunan muka tanah, muka air pasang, dan abrasi pantai telah menenggelamkan
sebagian wilayah Kecamatan Sayung. Sekitar 1.473 ha daerah pesisir Demak terkena abrasi.
Terdapat 1.174 ha dari 4.563 ha tanaman Mangrove di Demak mengalami kerusakan.
Terdapat 653 ha dari 2.264 ha tanaman Mangrove di Kecamatan Sayung mengalami
kerusakan. Bencana ini mengakibatkan ratusan keluarga terpaksa relokasi, sehingga jumlah
warga berkurang 50% (dari 4000 kepala keluarga menjadi 2000 kepala keluarga). Selain
penyebab alami, pengubahan kawasan lindung menjadi lahan tambak atau pemukiman,
reklamasi Pantai Marina, pembangunan Tanjung Emas berdampak buruk pada masyarakat dan
lingkungan. Pembangunan kawasan industri dan reklamasi menyebabkan perubahan morfologi
pantai. Kebutuhan air industri lebih besar dari kebutuhan air rumah tangga sehingga
mengakibatkan overpumping.

3.2. Kondisi Eksisting Mangrove Kecamatan Sayung


Data terbaru dari penginderaan jauh citra SENTINEL-2 pada tahun 2020 berdasarkan
analisis dengan nilai NDVI kerusakan mangrove menunjukkan:
● Luas persebaran mangrove sebesar 325 ha.
● Mangrove dalam kondisi baik sebesar 166 ha.
● Mangrove dalam kondisi sedang sebesar 16 ha.
● Mangrove dalam kondisi buruk dengan kerusakan berat sebesar 143 ha.
Berikut merupakan peta persebaran mangrove dan peta kerusakan mangrove pada
tahun 2020:

25
26

Gambar 3. 1. Peta Persebaran Mangrove dan Peta Kerusakan Mangrove pada Tahun 2020
Perbandingan data terbaru (2020) dengan data tahun-tahun sebelumnya (2015)
menunjukkan:
● Terjadinya pengurangan luas persebaran mangrove sebesar 8 ha.
● Mayoritas mangrove dalam kondisi buruk tanpa perbaikan di daerah Desa Surodadi.
● Pengurangan mangrove total dalam kondisi buruk akibat perbaikan mangrove di Desa
Bedono yang pernah tenggelam akibat banjir.
Berikut merupakan perbandingan peta kerusakan mangrove pada tahun 2015 dan 2020:

Gambar 3. 2. Peta Kerusakan Mangrove pada Tahun 2015 dan 2020

26
27

3.3. Usulan Peta Zonasi Lembaga Swadaya Masyarakat


Peta zonasi usulan dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) mengacu pada peta
persebaran mangrove kondisi eksisting terbaru, peta keadaan nyata masa sekarang dan regulasi
Pemerintah Demak No. 1 Tahun 2020 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Demak
Tahun 2011-2031 pada pasal 95 sebagai berikut:
Perwujudan kawasan industri terpadu Sayung dilakukan melalui:
1. Pengembangan kawasan industri beserta fasilitasnya
2. Pengembangan kawasan permukiman perkotaan beserta fasilitasnya.
Perwujudan kawasan wisata Pantai Surodadi berada di Kecamatan Sayung dilakukan
melalui:
1. Pembangunan sarana tambat perahu/kapal
2. Pengembangan kegiatan wisata bahari
3. Pembangunan sarana pendukung wisata utama

Kawasan mangrove akan tetap berada ditempatnya dengan perluasan wilayah dan
dilakukan perawatan secara menyeluruh. Kawasan mangrove akan berdekatan dengan kawasan
pemukiman dan tambak sehingga bisa memudahkan masyarakat melakukan pekerjaannya.
Kawasan industri akan dibangun berdekatan dengan jalan tol karena merupakan daerah
perkotaan. Berikut merupakan peta zonasi usulan dari LSM untuk Kecamatan Sayung.

Gambar 3. 3. Peta Zonasi Usulan LSM

27
28

3.4. Usulan Penyelesaian Masalah


3.4.1 Solusi Jangka Pendek
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) juga dapat ikut berperan aktif dalam melakukan
Sosialisasi dan Edukasi kepada masyarakat. Edukasi budaya sadar bencana ini bertujuan
untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang bencana banjir rob. Pemahaman
masyarakat akan bencana tersebut penting guna untuk pencegahan maupun penanganan
dapat dilakukan dengan baik dan masyarakat berperan aktif dalam melakukan pencegahan
maupun penanganan bencana tersebut. Kesenian tradisional dan spiritual bisa menjadi
media pendekatan untuk LSM melakukan sosialisasi dan edukasi, seperti ritual Apitan dan
Ruwatan yang merupakan tradisi untuk keselamatan dari bencana dan penyakit. Dengan
metode pendekatan tersebut LSM akan lebih mudah menjangkau dan menyampaikan
informasi-informasi penting yang dapat meningkatkan pemahaman masyarakat akan
bencana tersebut.
3.4.2 Solusi Jangka Menengah
Dalam hal ini, LSM berperan sebagai komunikator, dinamisator, dan fasilitator. LSM
membantu mendorong kesadaran masyarakat lokal untuk berpartisipasi dalam upaya
rehabilitasi mangrove melalui Gerakan Menanam Mangrove. Gerakan ini menginisiasi suatu
pola strategi adaptasi baru bagi masyarakat lokal untuk mendukung pulihnya kondisi wilayah
pesisir Kecamatan Sayung. Adapun output dari solusi ini antara lain:
● Mengurangi resiko dampak dari erosi dan abrasi di wilayah pesisir Kecamatan Sayung.
● Menjaga kestabilan garis pantai di wilayah pesisir Kecamatan Sayung.
● Meningkatkan peran serta masyarakat dalam perbaikan ekosistem wilayah pesisir
Kecamatan Sayung.
● Meningkatkan motivasi dan kesadaran masyarakat lokal untuk menjaga dan
memanfaatkan mangrove secara bertanggung jawab.
3.4.3 Solusi Jangka Panjang

1. Pengaturan dan Pengelolaan Penggunaan Air Tanah Untuk Menghindari Penurunan


Tanah yang diSebabkan oleh Manusia
Pengaturan dalam pengambilan dan pengelolaan air tanah ini dilakukan untuk
mengatasi penurunan air tanah yang semakin tinggi setiap tahunnya, fakta ini diperparah
dengan karakteristik tanah di daerah Sayung Demak yang merupakan daerah dengan
karakteristik tanah aluvial atau tanah muda yang mudah mengalami degradasi tanah.
Istilah untuk perlindungan terhadap air tanah ini disebut sebagai konservasi atau restorasi

28
29

yang merujuk pada upaya yang dilakukan untuk melestarikan lingkungan dan tetap
memperhatikan manfaat terhadap sosial dan ekonomi, dengan demikian akan adanya
proses keberlanjutan yang dapat rasakan oleh lingkungan sekitar.
Berbagai upaya konservasi sumberdaya air tanah yang dapat dilakukan, agar dapat
digunakan secara efisien sehingga bisa memberikan manfaat sosial dan manfaat ekonomi,
serta masih dapat dinikmati di masa mendatang (berkelanjutan), antara lain :
a. Meningkatkan pelestarian dan perlindungan terhadap elemen penyanggah
sumberdaya air tanah ;Hutan merupakan salah satu elemen penting dalam
proses pengisian ulang (recharge) pada akuifer air tanah. Oleh karena itu
masyarakat perlu dihimbau untuk menjaga dan melestarikan hutan, dan
semua komponen yang ada pada daerah pengimbuhan (recharge area) dari
suatu akuifer. Untuk kasus dimana air tanah di dalam akuifer yang sudah
mengalami degradasi, sebaiknya dilakukan penghijauan kembali (reboisasi)
di area pengimbuhannya. Atau menghentikan sama sekali aktivitas yang
merusak mekanisme pemulihan alami, seperti penggunaan lahan pada area
pengimbuhan sebagai lahan pertanian, dan lain sebagainya.

Gambar 3. 4. Mekanisme Sumber Daya Air Tanah


b. Program hemat air; yaitu melaksanakan program hemat air di
lingkungan sekitar, yang dimulai dari diri sendiri, keluarga inti, tetangga,
lalu dilaksanakan dalam lingkungan yang lebih besar, agar menggunakan air
tetap efisien dan ketersediaan sumberdaya air termasuk air tanah tetap
terjamin. Selektif dalam menggunakan peralatan yang menggunakan air,

29
30

juga merupakan salah satu upaya di dalam menghemat penggunaan air.


Seperti menghindarkan penggunaan alat mesin cuci di rumah tangga, karena
mesin cuci membutuhkan air yang lebih banyak dibanding mencuci secara
manual.
c. Meminimalisir penggunaan sumber air dari tanah; Dalam konsep
pengelolaan air secara terpadu dan berkelanjutan, menempatkan
sumberdaya air tanah sebagai cadangan dalam memenuhi kebutuhan air, dan
air permukaan merupakan potensi yang diprioritaskan dan didahulukan
untuk memenuhi kebutuhan air. Sumber Daya air tanah dimaksudkan
sebagai sumber air cadangan yang tetap ada di dalam tanah agar tidak terjadi
kekeringan, yang nantinya juga akan menjadi sumber penyimpanan air di
dalam tanah (groundwater reservoir).
d. Mencegah pencemaran air tanah ;Sumber polutan yang berasal dari
berbagai aktivitas manusia, sedapat mungkin dicegah untuk masuk ke dalam
badan air tanah. Oleh karena itu bangunan sanitasi permukiman, dan
pengolahan limbah di permukaan harus diupayakan semaksimal mungkin,
agar zat dan cairan yang bersifat polutif tidak ada yang masuk ke dalam
lapisan tanah dan air tanah. Dalam hal air tanah sudah mengalami
pencemaran, maka perlu dibuat beberapa sumur injeksi di daerah yang air
tanahnya tercemar, sehingga pencemaran yang terjadi terhadap air tanah
dapat dihentikan dan zat polutif di dalam air tanah dapat dibersihkan.
e. Membuat penampungan air; penampungan air di permukaan dapat berupa
embung (check dam), waduk (storage reservoir), dan sebagainya. Dengan
membuat penampungan air sementara semacam ini nantinya diharapkan
agar air tampungannya dapat dimanfaatkan pada saat musim kemarau
panjang, atau ketika sumberdaya air sudah mulai tercemar dan tidak layak
untuk digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu penampungan air
di permukaan juga dapat meningkatkan pasokan air tanah, melalui peresapan
air tampungan ke dalam akuifer air tanah.
f. Membuat dan memasang alat atau bangunan pengimbuh buatan (artificial
recharge) untuk memperbesar volume infiltrasi dan perkolasi air permukaan
ke dalam lapisan tanah. Berbagai jenis pengimbuh buatan yang dapat
diterapkan antara lain ; sumur injeksi, sumur resapan, pipa komposter,
biopori, dan lain sebagainya. Pembuatan imbuhan buatan dimaksudkan
30
31

untuk meningkatkan deposit air tanah, juga dapat meminimalkan aliran


limpasan Ketika hujan, sehingga akan mengurangi resiko banjir yang tidak
terkendali.

Gambar 3. 5. Mekanisme Aquifer


g. Memberlakukan syarat yang ketat atas pemberian izin pemanfaatan air
tanah ; Hal ini dimaksudkan pengambilan air tanah tidak melampaui
kapasitas imbuhan yang ada, sehingga sebelum melakukan eksploitasi air
tanah perlu dilakukan analisis neraca air tanah (groundwater balance).
Disamping itu pengetatan syarat perizinan pengambilan air tanah juga
dimaksudkan agar masyarakat lebih sadar akan manfaat air dalam
kehidupan, sehingga akan tumbuh kepedulian terhadap pentingnya
melestarikan sumberdaya air tanah, baik untuk memenuhi keperluan
sekarang maupun untuk menyiapkan sumberdaya air untuk generasi masa
mendatang.
h. Membentuk lembaga pengelola sumberdaya air tanah yang terpadu dan
berkelanjutan ; Dalam lingkungan masyarakat sebaiknya didorong untuk
membuat lembaga-lembaga non pemerintah, yang bertugas untuk mengelola
sumberdaya air tanah agar tetap terjaga, dengan melaksanakan program
program yang bertujuan untuk melestarikan sumberdaya air tanah yang ada

2. Pembuatan Bangungan Berintegrasi Lingkungan (Wanamina)


Wanamina (Wana (hutan) Mina (bahari) ) adalah sistem pengelolaan hutan dan
lautan dengan memakai teknologi tradisional dan memperhatikan kearifan lokal. Salah
satu cara penerapannya adalah dengan mengintegrasikan kegiatan budidaya ikan atau
31
32

udang di tambak dengan kegiatan penanaman, pemeliharaan, pengelolaan, dan


pelestarian hutan mangrove. Melalui sistem ini, hutan mangrove tetap bisa bertahan.
Ekosistemnya pun menjadi semakin kaya karena ada banyak biota laut, seperti ikan,
udang, kerang, dan kepiting yang dapat berkembang biak dengan baik dan nantinya
menghasilkan nilai ekonomi yang tinggi.
Dalam menjalankan sistem wanamina, terdapat paling tidak 3 model tambak
yang dapat dibuat. Pertama adalah model empang parit, yaitu menempatkan mangrove
di tengah tambak dan budidaya hewan laut dilakukan di sekelilingnya hingga
menyerupai parit. Lalu, model tambak yang kedua adalah model komplangan atau
selang-seling. Pada model ini, posisi tambak dan area yang ditanami mangrove
ditempatkan bersebelahan dan berselang-seling. Sementara itu, yang ketiga adalah
model jalur. Model tambak ini sebenarnya sama seperti model empang parit, tapi
ukuran tambaknya dibuat lebih besar, yaitu sekitar 3-5 meter dan kedalaman hingga 80
cm.
Pada saat ini, sistem wanamina telah diterapkan di berbagai hutan mangrove di
Indonesia. Misalnya adalah di Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat, Kabupaten
Tulang Bawang, Lampung, dan juga di Provinsi Bangka Belitung. Dengan dibangunnya
tambak-tambak untuk budidaya hewan laut dan tetap melakukan rehabilitasi serta
pelestarian lahan mangrove, masyarakat sekitar pun bisa memperoleh lebih banyak
keuntungan. Misalnya adalah mendapatkan hasil tangkapan hewan laut yang lebih
banyak dari sebelumnya dan lebih terlindungi dari ancaman abrasi.

Gambar 3. 6. Konservasi Mangrove Terintegrasi Tambak Ikan

3. Menyusun Strategi Terpadu Dalam Pengelolaan Air (Hulu-Hilir Dan Hilir-Hilir);

Istilah Daerah Aliran Sungai (DAS) memiliki banyak istilah dan pemaknaan antara lain
catchment area, watershed, atau drainage basin. DAS dalam bahasa Inggris disebut Watershed
atau dalam skala luasan kecil disebut Catchment Area adalah suatu wilayah daratan yang
dibatasi oleh punggung bukit atau batas batas pemisah topografi, yang berfungsi menerima,

32
33

menyimpan dan mengalirkan curah hujan yang jatuh di atasnya ke alur-alur sungai dan terus
mengalir ke anak sungai dan ke sungai utama, akhirnya bermuara ke danau/waduk atau ke laut.
Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur unsur utamanya
terdiri atas sumber daya alam tanah, air, vegetasi, dan sumberdaya manusia sebagai pelaku
pemanfaat sumberdaya alam tersebut.

Daerah Aliran Sungai (DAS) berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor
37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai adalah suatu wilayah daratan yang
merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi
menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke
laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai
dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Sedangkan yang dimaksud
dengan Pengelolaan DAS menurut Pasal 1 ayat (2) PP Nomor 37 Tahun 2012 adalah upaya
manusia dalam mengatur hubungan timbal balik antara sumber daya alam dengan manusia di
dalam DAS dan segala aktivitasnya, agar terwujud kelestarian dan keserasian ekosistem serta
meningkatnya pemanfaatan sumber daya alam bagi manusia secara berkelanjutan. Pengelolaan
DAS pada prinsipnya adalah pengaturan tata guna lahan atau optimalisasi penggunaan lahan
untuk berbagai kepentingan secara rasional serta praktek lainnya yang ramah lingkungan
sehingga dapat dinilai dengan indikator kunci (ultimate indicator) kuantitas, kualitas dan
kontinuitas aliran sungai pada titik pengeluaran (outlet) DAS. Pengelolaan DAS bertujuan
untuk memperbaiki, memelihara dan melindungi kondisi DAS agar menghasilkan kontinuitas
produktivitas air (water yield) untuk kepentingan pertanian, kehutanan, perkebunan,
peternakan, perikanan, industri dan masyarakat. Kerusakan DAS di Indonesia semakin
meningkat dari tahun ke tahun karena antara lain adanya kebutuhan lahan yang semakin tinggi
seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Meningkatnya kepentingan pembangunan
sektoral dan daerah yang berakibat pada berubahnya status, fungsi dan peruntukan kawasan
hutan menjadi penggunaan lain juga menjadi penyebabnya. Kerusakan DAS ini memerlukan
pengelolaan yang tepat sesuai dengan kondisi administrasi pemerintahan, kelembagaan, sosial
kemasyarakatan dan fisiknya.

33
34

Gambar 3. 7. DAS Citarum Jawa Barat

4. Meningkatkan Tata Kelola Dan Pengambilan Keputusan Dengan Meningkatkan


Kemampuan Teknis, Administratif, Dan Kelembagaan;

Terkait persoalan tata kelola dan pengambilan keputusan dengan meningkatkan


kemampuan teknis, administratif dan kelembagaan bagi masyarakat pesisir dalam rangka
peningkatan kesejahteraan memiliki tiga hal yang penting untuk dicermati lebih jauh yakni:
I. Bagaimana penguatan kelembagaan tersebut dapat diupayakan melalui
pengembangan wilayah;
II. Bagaimana penguatan kelembagaan dapat dilakukan sebagai upaya
pemberdayaan masyarakat pesisir untuk menuju terwujudnya kesejahteraan
mereka; dan
III. Bagaimana dampak penguatan kelembagaan masyarakat pesisir bagi
kesejahteraan mereka Berikut adalah pembahasan mengenai tiga hal tersebut.

Salah satu bentuk solusi meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat pesisir adalah
melalui penguatan lembaga masyarakat (pesisir) dengan pendekatan pengembangan kawasan.
Konsep yang konvensional tentang pengembangan kawasan bertumpu pada sejumlah asumsi:
a. Bahwa tingkat hidup masyarakat akan meningkat dengan adanya pertumbuhan
ekonomi;
b. Bahwa pertumbuhan ekonomi akan tercapai melalui akselerasi industrialisasi;

34
35

c. Bahwa akselerasi industri ini akan terjadi di urban-metropolitan economy yang


menjadi focal point hubungan ekonomi;
d. Bahwa urban-metropolitan economy ini merupakan buah pembangunan yang
akan menebar pada bagian lain di suatu daerah atau negara;
e. Bahwa proses globalisasi dan liberalisasi akan menghubungkan urban-
metropolitan economy tersebut pada pusat-pusat pertumbuhan pada tingkat
global dan akan mempercepat pertumbuhan ekonomi; dan
f. Karenanya perlu rencana pengembangan kawasan yang tersentralisasi untuk
mendorong pertumbuhan, industrialisasi dan urbanisasi.

Kebijakan pengembangan kawasan dalam hal ini harus dapat menjawab beberapa
persoalan mendasar yang berkaitan dengan peningkatan kontribusi, partisipasi dan
produktivitas penduduk dari pelapisan sosial bawah (baca: petani nelayan miskin). Persoalan
mendasar terkait dengan pengembangan kawasan itu adalah sebagai berikut:
I. Bagaimana dapat mendorong keikutsertaan keluarga-keluarga petani-nelayan
miskin dan para penghasil komoditas unggulan di dalam proses pembangunan;
II. Bagaimana dapat menciptakan keterkaitan antar sektor di tingkat lokal
(pesisir) sehingga efek sinerginya dapat melestarikan dan menumbuhkan
momentum dinamika ekonomi lokal;
III. Bagaimana dapat mengidentifikasikan unit-spatial supralokal yang lebih
menjamin dinamika ekonomi lokal; dan
IV. Bagaimana dapat mengorganisir fungsi-fungsi perencanaan dan pembangunan
baru dalam satuan teritorial atau wilayah (region).
Representasi dan fungsionalisasi spatial-lokal yang dikembangkan oleh
Friedman dan Douglas (1975) mencakup:
(1) Adanya alokasi sumber yang cukup pada unit regional (teritorial) dalam skala
ekonomi yang memungkinkan efek multiplier dalam agro industri, konstruksi,
perdagangan dan sebagainya;
(2) Mewujudkan keterkaitan antar-sektor atau antar-komoditi yang optimal pada
unit regional (teritorial) yang mendorong optimalisasi efek sinergi dari interaksi
sektoral atau antar komoditi tersebut;
(3) Strategi investasi secara simultan ditujukan secara langsung pada univestable
poor untuk meningkatkan kesejahteraan mereka (para petani-nelayan) sekaligus
menjadikan sebagai pembentukan peluang kerja;

35
36

(4) Di dalam unit teritorial perlu diupayakan adanya kebijaksanaan dualisme


industri, di mana eksistensi industri berskala kecil untuk pasaran domestik
mendapatkan perlindungan dari persaingan industri padat modal yang berskala
besar;
(5) Pembangunan kawasan harus diartikan sebagai upaya meningkatkan
produktivitas dan daya saing masyarakat (terutama petani-nelayan) melalui
pemanfaatan secara optimal sumberdaya , sumber dana dan sumber alam
setempat sekaligus penguatan lembaga/institusi lokal, sehingga akan dapat
mengurangi disparitas sosial;
(6) Dalam unit teritorial (regional), perlu pemanfaatan tenaga kerja secara optimal
melalui pembangunan industri yang resource-based yang menjadikan komoditas
unggulan masing-masing dan melalui pemanfaatan tenaga kerja ini diharapkan
proses dislokasi sosial akan dapat dicegah demikian pula urbanisasi dapat
ditekan;
(7) Untuk menstabilkan tingkat upah di pesisir atau tingkat lokal dan di perkotaan
sekaligus untuk menurunkan disparitas upah, perlu diversifikasi peluang untuk
kerja produktif;
(8) Unit teritorial haruslah merupakan perluasan dari jaringan interaksi sosial supra-
lokal/pesisir, sehingga dapat menciptakan ruang sosio ekonomi dan ruang
politik yang lebih luas dan menyenangkan; dan
(9) Hubungan eksploitatif dengan unit-unit teritorial yang lebih tinggi haruslah
dapat dicegah. Paradigma pengembangan kawasan ini menyangkut community
empowerment yang pada akhirnya akan meningkatkan kemampuan masyarakat
(baca: para petani nelayan) untuk mengendalikan lifespace, pasar dan
meningkatkan kemampuan teritorial self-determination-nya (Tjokrowinoto,
2004: 130).
Solusi lain dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir adalah
dengan pemberdayaan. Pemberdayaan atau pemberkuasaan (empowerment) berasal
dari power (kekuasaan atau keberdayaan). Menurut Webster dan Oxford English
Dictionary dalam Kusdiana (2006) kata to power berarti:
a) to give power or authority berarti memberi kekuasaan atau kewenangan
atau mendelegasikan otoritas kepada pihak lain;
b) to give ability or enable to berarti memampukan atau memberi
kesanggupan atau kemungkinan.
36
37

Terdapat tiga matra 6 pemberdayaan (empowerment setting) yaitu:


1) Aras Mikro. Pemberdayaan dilakukan dengan bimbingan individual
(unit organisasi/lembaga petani-nelayan);
2) Aras Mezzo. Pemberdayaan dilakukan kepada sekelompok klien
(lembaga petani-nelayan serumpun/sejenis); dan
3) Aras Makro. Pendekatan ini juga disebut sebagai Strategi Sistem Besar
(large-system strategi), pemberdayaan dilakukan kepada semua
lembaga petani nelayan se regional Provinsi Jawa Timur (diadopsi dari
Nawawi, 2006:98-99).
Kepada mereka diterapi penciptaan lingkungan yang kondusif, penggalian dan
pengembangan potensi lembaga, perlindungan terhadap yang lemah atas pemberdayaan
yang kuat atau kepada mereka diberikan terapi 5P yaitu: Pemungkinan, Penguatan,
Perlindungan, Penyokongan, dan Pemeliharaan. (Kartasasmita, 1995:19-20). Dalam
kaitan dengan itu, Sumodiningrat, G (1999) mengidentifikasi 3 kendala dalam
pemberdayaan yaitu:
(a) Adanya ketergantungan sumberdaya pada pemerintah;
(b) Rendahnya tingkat partisipasi masyarakat;
(c) Kurangnya pembinaan pasca proyek.
Selanjutnya dinyatakan bahwa ada 5 (lima) kegiatan penting dalam optimalisasi
pemberdayaan masyarakat desa (baca: pesisir) yaitu:
I. Motivasi, masyarakat dapat memahami nilai kebersamaan, interaksi sosial dan
kekuasaan melalui pemahaman akan haknya sebagai warga Negara dan anggota
masyarakat;
II. Peningkatan kesadaran dan pelatihan kemampuan. Hal ini dapat dicapai melalui
pendidikan dasar, pemasyarakatan;
III. Manajemen diri. Masyarakat harus mampu memilih pemimpin mereka sendiri
dan mengatur kegiatan mereka sendiri;
IV. Mobilisasi sumber. Merupakan metode untuk menghimpun sumber-sumber
individu melalui tabungan reguler dan sumbangan sukarela dengan tujuan
menciptakan modal sosial; dan
V. Pembangunan dan pengembangan jaringan. Pengorganisasian kelompok-
kelompok swadaya masyarakat pesisir perlu disertai dengan peningkatan
kemampuan para anggotanya membangun dan mempertahankan jaringan
dengan berbagai sistem sosial di sekitarnya.
37
38

Terkait dengan kegiatan bagi penduduk di wilayah pesisir, sumber daya manusia
umumnya para nelayan memegang peranan penting dalam pengelolaan dan pemanfaatan
potensi sumber daya pesisir dan laut terutama yang berkaitan dengan sumber daya alam yang
dapat diperbarui dan jasa-jasa lingkungan. Namun mengingat kualitas hidup mereka umumnya
miskin dan terbelakang, sehingga menjadi faktor tidak terwujudnya harapan tersebut.
Berdasarkan kondisi objektif tersebut maka proses pemberdayaan petani-nelayan melalui
penumbuhan kelompok tepatnya penguatan kelembagaan tepat untuk dilaksanakan. Hal ini
sebagai antisipasi tantangan pembangunan yang dihadapi para petani-nelayan di masa datang
yakni era pengembangan usaha agribisnis. Pengembangan sistem dan usaha agribisnis dicirikan
oleh adanya (i) persaingan di tingkat pasar, (ii) efisiensi di dalam pengelolaan 7 penanganan
usaha tani, dan (iii) kontinuitas produk yang berkualitas sesuai permintaan pasar. Kelompok
tani diharapkan mampu bersaing, mampu menghadapi resiko usaha dan mampu memanfaatkan
azas skala ekonomi menjadi keunggulan kompetitif dan mempunyai kemampuan mandiri
dalam menghadapi pihak-pihak lain di bidang usaha. Untuk itu perlu dilaksanakan program-
program pembinaan secara sustainable dalam upaya memberikan kesempatan dan kemudahan
bagi petani nelayan dalam mengembangkan diri untuk memiliki kemampuan teknis,
manajemen ekonomi dan sosial, sehingga diharapkan mampu merencanakan kegiatan usaha di
dalam meningkatkan pendapatannya.

Pemberdayaan menekankan adanya otonomi komunitas dalam pengambilan keputusan,


kemandirian dan keswadayaan lokal, demokratis dan belajar dari pengalaman sejarah,
sedangkan pemberdayaan masyarakat merupakan suatu proses di mana masyarakat khususnya
mereka yang kurang memiliki akses kepada sumber daya pembangunan didorong untuk
meningkatkan kemandirian dalam pembangunan perikehidupan mereka. Program
penanggulangan kemiskinan di bidang pertanian disinergikan dengan keinginan pemerintah
untuk menata kembali pembangunan pertanian secara menyeluruh melalui program revitalisasi
pertanian. Hal ini tepat dilakukan mengingat 49,9 juta jiwa penduduk miskin di Indonesia
(2002) sekitar 54% di antaranya adalah petani.

5. Sistem Pemantauan dan Database yang Memadai;


Sistem pemantauan dan database yang memadai dapat berupa pengembangan Sistem
Informasi Pesisir (Coastal Information System/CIS) membutuhkan berbagai data di masing-
masing lapisan yang dapat di-overlay-kan untuk analisis, sehingga membantu pembuatan
keputusan.

38
39

Data Spasial dan non-spatial dari berbagai sumber dapat saling dihubungkan untuk
penyiapan SIP/CIS. Basis SIG untuk SIP/CIS dapat menyediakan semua informasi yang
dibutuhkan guna membantu pihak-pihak yang berwenang dan/atau pengembang/investor dan
masyarakat mengambil keputusan.
Berbagai informasi dan data yang relevan dapat ditambahkan ke peta untuk membuat
peta tersebut up to date. Terdapat beberapa lapisan yang bermanfaat untuk SIP/CIS terdiri dari
data sebagai berikut:
• High resolution satellite data untuk Pasut;
• Batas-batas pelabuhan;
• RTRWP/RTRW Kab./Kota/Peta-peta Rencana;
• Ecological sensitivity/Marine park;
• Data Sensus penduduk, nelayan/ekonomi, dll;
• Informasi rinci/data detail infrastruktur, bangunan pantai, bangunan lepas
pantai;
• Peta-peta navigasi;
• Peta-peta topografi/batimetri;
• Peta perikanan tangkap/budidaya;
• Peta-peta penerimaan fiskal;
• Data rinci lain seperti air tanah, geologi, dsb.

6. Integrasi Aspek Geoteknik Dalam Perencanaan dan Desain Bangunan Dan


Infrastruktur.

Erosi pantai merupakan salah satu permasalahan di daerah pantai yang harus
mendapatkan perhatian yang besar dari semua pihak baik pemerintah pusat, pemerintah
daerah, maupun masyarakat yang tinggal didaerah pantai dan sekitarnya . Karena erosi ini
dapat menimbulkan kerugian yang sangat besar berupa rusaknya kawasan pemukiman dan
fasilitas-fasilitas yang ada di daerah tersebut Untuk menanggulangi erosi pantai, langkah
pertama yang harus dilakukan adalah mencari penyebab terjadinya erosi. Dengan mengetahui
penyebabnya, selanjutnya dapat ditentukan cara penanggulangannya, yang biasanya adalah
dengan membuat bangunan pelindung pantai dan atau menambah suplai sedimen serta
melakukan pengelolaan pantai secara terpadu. Bangunan pantai yang dibangun dapat
digunakan untuk melindungi pantai terhadap kerusakan karena serangan gelombang dan arus
maupun untuk kepentingan lainnya seperti fasilitas untuk menarik wisatawan khususnya

39
40

untuk daerah pantai wisata. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk melindungi pantai,
yaitu :
I. Memperkuat / melindungi muka pantai agar mampu menahan serangan
gelombang,
II. Mengubah laju transpor sedimen pantai,
III. Mengurangi energi gelombang yang sampai ke pantai, d. Beach
nourishment dengan menambah suplai sedimen ke pantai,
IV. Melakukan penghijauan (reboisasi) daerah pantai.
Berdasarkan fungsinya bangunan pantai secara umum dapat diklasifikasikan dalam tiga
kelompok yaitu :
a. Konstruksi yang dibangun di pantai dan sejajar dengan garis pantai,
b. Konstruksi yang dibangun kira kira tegak lurus pantai dan berhubungan dengan
pantai,
c. Konstruksi yang dibangun dilepas pantai dan kira kira sejajar dengan garis
pantai.

Gambar 3. 8. Klasifikasi Bangunan Pelindung Pantai

(Derajat, 2000)

40
41

Dalam Proses beach nourishment diperlukan pengerukan (dredging) dan reklamasi.


Pengerukan adalah kegiatan pemindahan bahan/ material dari suatu lingkungan perairan
dengan menggunakan alat keruk darat dan terapung, sedangkan reklamasi dalam proses beach
nourishment adalah penempatan supai material untuk mengembangkan garis pantai ke arah
laut.

Dalam pemilihan sistem perlindungan pantai pada lokasi pantai tertentu agar bangunan
dapat berfungsi secara optimal, maka perlu mempertimbangkan hal hal berikut (Darajat, 2000)
:
a. Penyebab kerusakan pantai
b. Tujuan yang ingin dicapai
c. Efektifitas bangunan
d. Bahan-bahan bangunan yang tersedia di sekitar lokasi studi
e. Karakter gelombang (tinggi gelombang, periode dan arah datangnya)
f. Kelestarian lingkungan
g. Aktivitas masyarakat di sekitar kawasan studi
h. Estetika pantai

Adapun alternatif bangunan pantai tersebut dapat meliputi :


1. Detached breakwater Cara pengurangan tenaga gelombang yang menghantam
pantai dapat dilakukan dengan membuat bangunan pemecah gelombang sejajar
pantai (detach breakwater). Dengan adanya bangunan ini gelombang yang
datang menghantam pantai sudah pecah pada suatu tempat yang agak jauh dari
pantainya, sehingga energi gelombang yang datang sampai di pantai cukup
kecil. Detach breakwater selain untuk melindungi hantama gelombang juga
dapat untuk menahan sedimen yang kembali ke laut yang disebabkan oleh arus
laut (onshore – offshore transport). Lama kelamaan sedimen yang tertahan
tersebut menumpuk dan membentuk tombolo (lihat gambar 4.2). Tombolo ini
nantinya berfungsi sebagai penahan sedimen sejajar pantai, tapi pembentukan
tombolo ini memerlukan waktu lama.

41
42

Gambar 3. 9. Pembentukan Tombolo pada Pantai Detach Breakwater


(pratikto, dkk, 1996)

Gambar 3. 10. Traditional BW (breakwater)


Traditional BW (breakwater) untuk menahan laju erosi dan inundasi pantai serta meningkatkan
resiliensi pantai di Daerah Gembong Jawa Tengah

42
43

2. Groin Bangunan pelindung ini berfungsi menangkap longshore san transport


sehingga tidak efektif menghentikan laju erosi pada pantai berlumpur dan tidak
efektif untuk merubah karakter surfzone sehingga tinggi gelombang sepanjang
pantai tidak berubah.

Gambar 3. 11. Rubble–mound Groins


(US Army CERC,1992)
3. Revetment, Seawall dan Bulkhead Perkuatan tebing dapat dilakukan dengan
beberapa cara diantaranya adalah dengan pemasangan “revetment´ dan
“seawall” ataupun “bulkhead”. Bangunan tersebut berfungsi untuk melindungi
tanah dibelakang seawall / revetment tersebut dari gempuran gelombang.
Kelemahan bangunan ini adalah kemungkinan terjadinya penggerusan yang
cukup dalam di kaki bangunan, sehingga dapat mengganggu stabilitas
bangunan. Oleh karena itu pada bagian kaki bangunan ini harus dibuatkan suatu
perlindungan erosi (toe protection) yang cukup baik.

43
44

Gambar 3. 12. Rock Armors


Contoh Rock armors untuk mempertahankan garis pantai di Daerah Cirebon dan Sandbag
untuk perangkap sedimen dan meningkatkan permukaan tanah di daerah Legon Kulon

4. Beach Nourishment Beach nourishment merupakan sistem pengaman pantai


dengan cara memindahkan sedimen dari suatu tempat ke tempat yang
mengalami erosi atau mengembalikan keadaan dengan memberikan sejumlah
sedimen dari sumber lain. Keuntungan yang didapat dari sistem pengaman
pantai dengan sand nourishment yaitu dari segi pelaksanaannya yang sederhana.
Sedangkan kerugiannya adalah dari seg biaya dimana pengamanan pantai
dengan sand nourishment membutuhkan material yang cukup banyak.
5. Reboisasi Penanaman tumbuhan pelindung pantai seperti pohon bakau atau
pohon api-api sangat cocok untuk pantai lumpur atau lempung. Pohon bakau
selain dapat mematahkan energi gelombang juga bermanfaat untuk beberapa hal
seperti :
I. Perlindungan dan pelestarian terhadap kehidupan pantai, seperti
ikan, burung dan satwa-satwa lain yang hidup di daerah tersebut,
II. Membantu mempercepat pertumbuhan pantai karena lumpur
yang terbawa air dapat diendapkan di sela sela akar,

44
45

III. Sebagai daerah “green belt” yang dapat berfungsi sebagai daerah
produksi oksigen

45
46

BAB IV HASIL DISKUSI STAKEHOLDERS

4.1. Poin Penting Diskusi


Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) menilai bahwa perlu adanya inisiasi Gerakan
Menanam Mangrove, namun masyarakat kurang puas dengan solusi yang ditawarkan LSM.
Masyarakat mengeluh tentang air yang menggenangi tempat tinggal mereka, masyarakat
menilai upaya ini tidaklah efektif dan membutuhkan waktu yang lama. Upaya ini memanglah
tidak instan, sehingga perlu dibarengi oleh upaya lain seperti pembangunan pelindung pantai.
Bangunan pelindung pantai ini bersifat temporer hingga mangrove dapat berfungsi secara
maksimal. Keberadaan mangrove mampu mempercepat proses penyerapan air sehingga
genangan yang ditimbulkan oleh banjir rob tidak berlangsung lama, mangrove mampu menjadi
tanggul alami dalam mencegah banjir rob, keberadaan mangrove juga dapat menahan
permukaan daratan agar tidak mengalami abrasi, serta dapat menghambat masuknya
gelomvang besar air laut ke darat. Perdebatan dan keluhan dari masyarakat ini menunjukkan
bahwa kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya mangrove. Adanya keselarasan misi
dan visi dalam pengambilan keputusan merupakan sebuah keharusan. LSM dan para
stakeholder lain harus saling meyakinkan tentang pentingnya keberadaaan mangrove ini. LSM
juga perlu melakukan pendekatan kepada masyarakat untuk menampung seluruh keluhan dan
aspirasi masyarakat agar dapat memberikan solusi terbaik.

4.2. Peta Zonasi yang Disepakati


Setelah dilakukan diskusi bersama dengan seluruh stakeholders, berikut ini merupakan
peta zonasi Kecamatan Sayung yang disepakati:

46
47

Gambar 4. 1. Peta Zonasi yang Disepakati


Peta zonasi dibuat akan dibuat berdasarkan jangka waktu tertentu yang meliputi jangka
pendek (5 tahun kebawah), jangka menengah (5 - 10 tahun), dan jangka panjang (10 -25 tahun).
Berikut merupakan peta zonasi jangka pendek:

Gambar 4. 2. Peta Zonasi Jangka Pendek


Berikut merupakan peta zonasi jangka menengah:

47
48

Gambar 4. 3. Peta Zonasi Jangka Menengah


Berikut merupakan peta zonasi jangka panjang:

Gambar 4. 4. Peta Zonasi Jangka Panjang


4.3. Nilai Positif dan Negatif Hasil Diskusi
Nilai positif yang diperoleh dari hasil diskusi:
1. Setiap stakeholder dapat menyampaikan kebutuhan dan alternatif masing-masing
dalam usaha melakukan penataan kawasan pesisir Sayung yang terintegrasi.

48
49

2. Diperoleh keputusan solusi peta zonasi bersama yang diharapkan dapat membantu
mengurangi terjadinya banjir rob akibat penurunan permukaan tanah di pesisir Sayung.
3. Rencana penataan wilayah pesisir Sayung diharapkan dapat diterapkan dengan baik
dalam jangka waktu panjang.

Nilai negatif yang diperoleh dari hasil diskusi:


1. Rawan terjadinya ketidakselarasan pendapat yang berujung pada konflik antar
stakeholder.
2. Setiap stakeholder tidak ada yang puas seluruhnya dengan keputusan akhir karena pasti
ada rencana yang harus dikorbankan.
3. Banyaknya aspek yang ditinjau dan stakeholder yang bersangkutan mengakibatkan
besarnya dana yang dibutuhkan untuk proyek penataan kawasan pesisir Sayung.

49
50

BAB V PENUTUP

5.1. Kesimpulan
Berdasarkan diskusi yang telah dilakukan oleh pihak LSM, Pemda, Masyarakat, Akademisi,
dan Pengusaha didapatkan beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Manfaat sosialisasi yang dilaksanakan, masyarakat menjadi mengerti tentang
permasalahan yang terjadi di Kecamatan Sayung dan juga mengerti akan
pentingnya mangrove dalam melindungi kawasan pesisir. Terlaksanakannya
solusi jangka pendek (5 tahun) dan jangka panjang (10-25 tahun).
2. Terbentuknya peta zonasi yang sesuai konsep ICZM dan tertanamnya mangrove
di Kecamatan sayung sesuai peta zonasi.
5.2. Saran
Setelah dibuatnya laporan tugas besar dan dilakukannya diskusi antar berbagai pihak, terdapat
beberapa saran yang diberikan untuk melengkapi peta zonasi dan juga solusi. Berikut saran-
saran yang diberikan:
1. Dibutuhkan komunikasi antar kelompok sebelum dilakukannya diskusi roleplay. Hal
ini dilakukan agar peran antar kelompok saat diskusi dapat berjalan dengan baik. Dalam
hal ini pihak LSM dan Masyarakat yang seharusnya memiliki tujuan yang sama tetapi
malah memiliki tujuan yang berbeda.
2. Diperlukan adanya inovasi yang lebih beragam dari berbagai pihak dalam penyusunan
peta zonasi Kecamatan Sayung.

50
51

DAFTAR PUSTAKA

Chambers, Robert. 1997. Pembangunan Desa Mulai dari Belakang. Jakarta: LP3ES
Dewanta, A.S. 1995. Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia. Yogyakarta: Aditya Media
Effendi, S dan P. Mannan. 1997. Pembangunan Kawasan Pedesaan Terpadu . Yogyakarta:
Gadjah Mada Press.
Hadi, AP, Hilyana, dan Hayati. 2003. Revitalisasi Kelembagaan Petani dan Masyarakat
Pedesaan Melalui Pemberdayaan Kelompok Lokal dalam kerangka Pembangunan Desa
Berkelanjutan. Mataran: Fakultas Pertanian-Univ. Mataram
Korten, David C. 1998. Pembangunan Berdemensi kerakyatan. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia
Pranarka dan Prijono. 1996. Pemberdayaan (Empowerment) dalam Pemberdayaan, Konsep
Kebijakan dan Implementasi. Jakarta: Rineka Cipta.
Priyono Tjipto Herianto dkk. 2002. Kemiskinan dan Ketidakmerataan di Indonesia Jakarta:
Rineka.
Soetrisno R. 2001. Pemberdayaan Masyarakat dan Upaya Pembebasan Kemiskinan
Yogyakarta: Philiosofi Press.
Sumodiningrat, G. 1999. Pemberdayaan Masyarakat dan JPS Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Suyanto, Bagong 1995. Dampak Modernisasi Perikanan dan Kemiskinan Nelayan dalam
Perangkap Kemiskinan: Problem & Strategi Pengentasannya. Editor Bagong Suyanto.
Surabaya: Airlangga University Press.
Suyanto, Bagong dan Septi Ariadi, dkk. 2003. Kajian Model Pemberdayaan Ekonomi Rakyat
di Desa Pantai Madura dan Kawasan Selatan Jawa Timur. Surabaya: Balibang Prov.
Jatim
Sudaryono, “Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Das) Terpadu, Konsep Pembangunan
Berkelanjutan,” Jurnal Teknologi Lingkungan, Volume 3, No. 2, Mei 2002, hlm. 153.
Naharuddin, Herman Harijanto, and Abdul Wahid, Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Dan
Aplikasinya Dalam Proses Belajar Mengajar, Cetakan Pertama, UNTAD Press, Palu,
2018, hlm. 4.
Ismah Pudji Rahayu Ishak, Andi Idham Asman, Despry Nur Annisa Ahmad, “Pemanfaatan
Teknologi Spasial Dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Das) Binanga Lumbua
Kabupaten Jeneponto Sulawesi Selatan”, Jurnal Geomatika, Volume 22 Nomor 1, Mei
2016, hlm. 2.
51
52

Adi Susetyaningsih, “Pengaturan Penggunaan Lahan di Daerah Hulu Das Cimanuk Sebagai
Upaya Optimalisasi Pemanfaatan Sumberdaya Air,” Jurnal Konstruksi Sekolah Tinggi
Teknologi Garut, Volume 10, No. 01, Tahun 2012, hlm.3.
H. Satriawan, Strategi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Das) Dalam Rangka Optimalisasi
Kelestarian Sumber Daya Air (Studi Kasus DAS Peusangan Aceh). Majalah Ilmiah
Universitas Almuslim, Volume 9 (Edisi Khusus Dies Natalies), 2017, hlm. 29.
http://www.jurnal.umuslim.ac.id/index.php/VRS/article/viewFile/ 912/878, diakses
pada tanggal 12 Desember 2022
Menlhk, “DAS Kritis: Tantangan Sains Pengelolaan DAS Di Indonesia,”
http://www.menlhk.go.id/, 2018, http://www.menlhk.go.id/site/single_post/1618.,
diakses pad tanggal 12 Desember 2022

52

Anda mungkin juga menyukai