Anda di halaman 1dari 39

PROPOSAL RENCANA TINDAK KOMUNITAS KOLABORATIF DALAM

SEKTOR SANITASI DAN DRAINASE DI DESA KARANGJOMPO, KABUPATEN


PEKALONGAN

Disusun guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengembangan Masyarakat (PTPW 6703)

Dosen pengampu :
Dr. Ing. Asnawi, S.T.
Dr.Ir. Ragil Haryanto, M.SP.
Holi Bina Wijaya, S.T., MUM

Disusun oleh Kelompok 7A:

Salma Ayyasi 21040118120021


Muhammad Audi Daffi 21040118130090
Rusdiaro Fadhil Zulafa 21040118140067
Salsabila Salamah Wulandari 21040118120019
Wildan Adhi Henrieza 21040118140070
Muhammad Fawaz Luthfi 21040118130086
Nesia Pertiwi 21040118130099
Fita Ameliya 21040118120032
Bagas Darmawan 21040115130147

DEPARTEMEN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA


FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO
KOTA SEMARANG
TAHUN 2021
DAFTAR ISI

BAB I 3
PENDAHULUAN 3
1.1 Latar Belakang 3
1.2 Rumusan Masalah 4
1.3 Tujuan dan Sasaran 4
1.3.1 Tujuan 5

1.3.2 Sasaran 5

1.4 Ruang Lingkup 5


1.4.1 Ruang Lingkup Wilayah 5

1.4.2 Ruang Lingkup Materi 6

1.5 Kerangka Pikir 7


1.6 Sistematika Penulisan 8
BAB II 10
STUDI LITERATUR 10
2.1 Partisipasi dan Pemberdayaan Masyarakat 10
2.1.1 Partisipasi Masyarakat 10

2.1.2 Pemberdayaan Masyarakat 11

2.2 Community Action Plan (CAP) 14


2.2.1 Konsep Community Action Plan (CAP) 15

2.2.2 Peraturan Community Action Plan (CAP) 16

2.3 Pengembangan Masyarakat Dalam Sektor Sanitasi dan Drainase 17


2.3.1 Isu Sanitasi dan Drainase 17

2.3.2 Best Practice 19

BAB III 23
KONSTELANSI WILAYAH DAN GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI 23
3.1 Konstelasi Wilayah 23
3.2 Kondisi Fisik 24
3.2.1 Topografi 24

3.2.2 Kemiringan Lereng 25

3.2.3 Curah Hujan 25


3.2.4 Jenis Tanah 25

3.3 Kondisi Non Fisik 26


3.3.1 Kependudukan 26

3.3.2 Pendidikan 27

3.3.3 Jenis Pekerjaan 28

3.3.4 Sosial Budaya 29

3.4 Analisis Stakeholder 31

2
DAFTAR GAMBAR
Y
Gambar 1. 1 Peta Administrasi Desa Karangjompo 6
Gambar 1. 2 Bagan Kerangka Pikir
Gambar 2. 1 Perbaikan dan Pelebaran Saluran Drainase 20
Y
Gambar 3. 1 Konstelasi Wilayah Studi 23
Gambar 3. 2 Jumlah Penduduk Desa Karangjompo Tahun 2017-2020 26
Gambar 3. 3 Piramida Penduduk Desa Karangjompo 27
Gambar 3. 4 Jenjang Pendidikan Tertinggi Desa Karangjompo 28
Gambar 3. 5 Jenis Pekerjaan di Desa Karangjompo 29
Gambar 3. 6 Grafik Rumah Tangga Miskin Desa Karangjompo 30
Gambar 3. 7 Bantuan Sosial Desa Karangjompo 31

DAFTAR TABEL

YTabel 3. 1 Kondisi Topografi Kabupaten Pekalongan Per Kecamatan


Tabel 3. 2 Analisis Stakeholder 32
Tabel 3. 3 Keterlibatan Stakeholder 33
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perencanaan merupakan suatu proses untuk membuat masa depan lebih baik dari sekarang.
Menurut Jaqueline Alder (dalam Rustiadi 2008:339), perencanaan merupakan suatu proses untuk
menentukan apa yang ingin dicapai di masa depan serta menetapkan cara dan tahapan untuk
mencapai keinginan tersebut. Perencanaan memiliki berbagai jenis yang dapat disesuaikan
dengan tujuan yang ingin dicapai. Pada laporan ini, perencanaan yang akan dibahas salah
satunya adalah perencanaan pembangunan, dimana perencanaan pembangunan menurut Riyadi
dan Bratakusumah (2005) adalah proses perumusan keputusan berdasarkan data yang digunakan
sebagai bahan dan sumber untuk melakukan kegiatan untuk mencapai tujuan yang lebih baik.
Proses pelaksanaan perencanaan pembangunan bersifat kolaboratif dimana harus dilakukan kerja
sama dengan stakeholder yang berkaitan agar tujuan dari perencanaan pembangunan tersebut
dapat lebih terasa dan nyata.
Dalam proses pelaksanaannya, pelaksanaan pembangunan di Indonesia berbeda-beda pada
setiap daerahnya. Hal tersebut dikarenakan karakteristik dan keanekaragaman potensi yang ada
serta sifat masyarakat Indonesia yang cenderung ramah dan gotong royong. Hal ini terjadi di
berbagai daerah di Indonesia dimana masyarakat di daerah tersebut turut mengambil andil dan
peran dalam pelaksanaan perencanaan pembangunan di daerahnya. Hal tersebut merupakan salah
satu bagian dari perencanaan partisipatif yang dilaksanakan pemerintah dimana perencanaan
tersebut membutuhkan sumber daya dan kontribusi dari masyarakat setempat.
Salah satu permasalahan permukiman kumuh perkotaan sering kali menjadi isu utama.
Secara khusus, permasalahan permukiman kumuh juga berdampak buruk pada penyelenggaran
spemerintahan. Isu yang sering terjadi pada permukiman kumuh pada umumnya permasalahan
pada sanitasi dan drainase. Oleh sebab itu, diperlukan adanya suatu metode Community Action
Plan (CAP) yang bertujuan untuk pencapaian suatu kegiatan dalam mengatasi permasalahan
drainase dan sanitasi tersebut. CAP masyarakat tidak hanya diminta untuk berpartisipasi dalam
perencanaan dan pembangunan, akan tetapi masyarakat juga diberdayakan dan ditingkatkan
kemampuannya dalam pembangunan. Konsep ini membawa banyak dampak positif bagi
masyarakat dimana masyarakat dapat lebih berkembang, kemampuan yang dimiliki bertambah,
dan banyak hal lainnya. Konsep ini harapannya juga dapat menyelesaikan masalah yang ada
dengan lebih baik dan tepat sasaran dikarenakan adanya keterlibatan masyarakat di dalamnya
yang lebih mengetahui secara langsung kondisi yang ada di lapangan.
3
Dengan penerapan Community Action Plan maka dapat membentuk suatu tindakan
masyarakat secara mandiri yang bertujuan untuk merencanakan dan menyelesaikan
permasalahan sebagai upaya peningkatan kualitas permukiman masyarakat Desa Karangjompo,
tepatnya di Kecamatan Tirto, Kabupaten Pekalongan, Provinsi Jawa Tengah. Hal ini dikarenakan
masalah yang ada di Desa Karangjompo tersebut yang berupa masalah sanitasi dan drainase
sebagai masalah utamanya. Banjir, pencemaran sungai, buruknya sanitasi, dan kondisi drainase
yang buruk merupakan masalah utama yang dari tahun ke tahun terus terjadi. Jika terus
dibiarkan, masyarakat desa tersebut akan terus hidup berdampingan dengan lingkungan yang
tidak sehat dan maka dari itu metode CAP yang akan diterapkan dalam perencanaan
pembangunan desa tersebut agar menjadi lebih baik diharapkan dapat menyelesaikan masalah
melalui partisipasi masyarakat, sehingga dapat lebih mengetahui penyebab, kondisi, dan faktor-
faktor yang mempengaruhi mengapa kondisi tersebut terus terjadi setiap tahunnya. Harapannya
masalah tersebut dapat terselesaikan dan masyarakat Desa Karangjompo juga dapat
mempertahankan desa tersebut agar terus menjadi lebih baik.

1.2 Rumusan Masalah


Permasalahan terkait dengan sistem drainase dan sanitasi Desa Karangjompo, Kecamatan
Tirto, Kabupaten Pekalongan yang berkaitan dengan bencana banjir yang disebabkan
permasalahan drainase yang belum memenuhi standar dan juga berdampak pada permasalahan
sanitasi yang disebabkan bencana banjir sehingga berdampak pada sanitasi berupa masih
kurangnya fasilitas BAB. Dari kedua permasalahan tersebut berdampak pada tingkat kualitas
hidup masyarakat Desa Karangjompo. Rumusan masalah terkait dengan sistem drainase dan
sanitasi Desa Karangjompo adalah Bagaimana penyusunan perencanaan untuk mengatasi
permasalahan sistem drainase dan sanitasi Desa Karangjompo melalui kolaborasi antara
pemerintah dan masyarakat serta pihak-pihak lain pembangunan daerah.

1.3 Tujuan dan Sasaran


Pada bagian ini menjelaskan mengenai tujuan dan sasaran yang akan dicapai dalam
penyusunan laporan rencana tindak komunitas atau Community Action Planning (CAP). Pada
bagian tujuan akan dijelaskan apa yang menjadi target utama dari penyusunan laporan dan
bagian sasaran akan dijelaskan urutan langkah-langkah yang digunakan untuk mencapai target
yang sebelumnya telah ditetapkan.

4
1.3.1 Tujuan

Tujuan penyusunan laporan ini adalah untuk merumuskan dokumen rencana tindak
komunitas atau Community Action Planning (CAP) dan masterplan dalam sektor infrastruktur,
khususnya adalah bidang drainase dan sanitasi di Desa Karangjompo, Kecamatan Tirto,
Kabupaten Pekalongan.

1.3.2 Sasaran
Adapun sasaran yang akan dicapai untuk mewujudkan tujuan penyusunan laporan ini
meliputi:
1. Mengkaji teori, konsep, peraturan yang berlaku serta best practice
2. Merumuskan strategi, metode, dan teknik fasilitasi Community Action Planning
3. Merumuskan potensi dan masalah serta penetapan visi dan misi perencanaan
4. Menyusun masterplan sektoral secara partisipatif
5. Menyusun usulan rencana tindak, rencana anggaran, model kelembagaan kerjasama, dan
instrumen monitoring dan evaluasi

1.4 Ruang Lingkup


1.4.1 Ruang Lingkup Wilayah

Ruang lingkup wilayah yang dibahas di dalam penyusunan laporan ini dibatasi hanya di
Desa Karangjompo, Kecamatan Tirto, Kabupaten Pekalongan. Dipilihnya lokasi tersebut
didasarkan hasil observasi secara daring di mana di Desa Karangjompo terdapat permasalahan
sanitasi dan drainase. Desa Karangjompo sendiri terletak di antara dua sungai sehingga jika saat
musim hujan rawan terjadi bencana banjir. Maka dari itu dengan dilakukannya penyusunan
dokumen Community Action Planning (CAP) serta masterplan infrastruktur sanitasi dan drainase
diharapkan permasalahan di Desa Karangjompo dapat teratasi. Berikut merupakan peta
administrasi Desa Karangjompo.

5
Gambar 1. 1 Peta Administrasi Desa Karangjompo
Sumber : RTRW Kabupaten Pekalongan, 2020

1.4.2 Ruang Lingkup Materi


Ruang lingkup materi pada kegiatan ini yaitu membahas mengenai pengembangan dan
pemberdayaan masyarakat di Desa Karangjompo, Kecamatan Tirto, Kabupaten Pekalongan
terkait program pengelolaan sanitasi dan drainase. Kegiatan ini mencakup analisis terkait potensi
dan masalah, sistem pengelolaan sanitasi, sistem pengelolaan drainase yang baik untuk menjaga
kesejahteraan dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat Desa karangjompo. Sehingga dapat
dirumuskan suatu strategi dan memfasilitasi untuk menghimpun aspirasi masyarakat dalam
sistem pengelolaan santasi dan drainase dengan tidak lepas dari campur tangan stakeholder
setempat. Dengan demikian diharapkan masyarakat Desa Karangjompo dapat berpartisipasi
pada perumusan proses perencanaan dan pengelolaan sanitasi dan drainase di Desa
Karangjompo.

6
1.5 Kerangka Pikir
Adapun kerangka pikir sebagai konsep dasar pengerjaan laporan ini sebagai berikut.

Gambar
1. 2 Bagan
Kerangka
Pikir
Sumber :
Analisis
Kelompok
7, 2021

7
1.6 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam laporan rencana tindak komunitas terdiri atas sembilan
bagian bab. Adapun penjabarannya sebagai berikut.
BAB I PENDAHULUAN
Bab pertama berisi mengenai latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan sasaran, ruang
lingkup wilayah dan materi, kerangka pikir, dan sistematika laporan.
BAB II STUDI LITERATUR
Bab kedua berisi mengenai kajian pustaka yang diperoleh dari berbagai sumber mengenai
partisipasi dan pemberdayaan masyarakat, community action plan (CAP), pengembangan
masyarakat dalam sektor sanitasi dan drainase.
BAB III KONSTELASI WILAYAH DAN GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI
Bab ketiga berisi mengenai profil umum Desa Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung yang
memuat pembahasan mengenai konstelasi wilayah, kondisi fisik, dan kondisi non fisik
wilayah.
BAB IV STRATEGI, METODE DAN TEKNIK FASILITASI COMMUNITY ACTION
PLAN (CAP)
Bab keempat berisi mengenai penjabaran tentang metode survei, metode penyusunan pohon
masalah, strategi fasilitas CAP, serta metode dan teknik fasilitasi CAP.
BAB V SURVEI BERBASIS KOMUNITAS: PERMASALAHAN DAN POTENSI
WILAYAH
Bab kelima berisi mengenai analisis permasalahan, analisis potensi, analisis kebutuhan
infrastrtuktur dan analisis SWOT.
BAB VI PERUMUSAN VISI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN
PENGEMBANGAN SEKTORAL
Bab keenam membahas tentang tindak lanjut terkait analisis yang selanjutnya akan
dirumuskan visi dan strategi pengembangan sektoral.
BAB VII MASTERPLAN PENGEMBANGAN SEKTORAL
Bab ketujuh menjelaskan tentang konsep dan skema pengelolaan sanitasi dan drainase, bentuk
penerapan rencana, dan rencana pengembangan kelembagaan.
BAB VIII USULAN RENCANA TINDAK, RENCANA ANGGARAN DAN MODEL
KELEMBAGAAN KERJASAMA DAN INSTRUMEN MONEV
Bab kedelapan menjelaskan mengenai rencana tindak komunitas dan timeline, rencana
anggaran, model kerjasama kelembagaan, aturan terkait, serta instrumen monitoring dan
evaluasi.
BAB IX PENUTUP

Bab kesembilan membahas mengenai kesimpulan dan rekomendasi sebagai penutup rencana
tindak komunitas.

9
BAB II

STUDI LITERATUR

2.1 Partisipasi dan Pemberdayaan Masyarakat


2.1.1 Partisipasi Masyarakat
Pada keberjalanan pemerintahan dan pembangunan yang ada di Indonesia, partisipasi
masyarakat merupakan salah satu aspek yang penting dan harus ada. Hal tersebut didasari
oleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2017 tentang Partisipasi
Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Dalam hal ini masyarakat
diharapkan berpartisipasi dalam berbagai kegiatan pembangunan dan program yang dimiliki
oleh pemerintah sehingga pemerintah pun mendapatkan banyak input dari masyarakat dan
dapat berjalannya perencanaan yang bersifat partisipatif.
a. Pengertian Partisipasi Masyarakat
Menurut Irene (2015:50), partisipasi masyarakat merupakan keterlibatan mental dan
emosi dari seseorang dalam situasi berkelompok yang mendorong untuk mencapai tujuan
bersama dan memenuhi kebutuhan yang diinginkan oleh masyarakat. Jadi pada dasarnya,
masyarakat berpartisipasi secara langsung maupun tidak langsung terhadap program,
pembangunan atau hal lainnya yang dilakukan oleh pemerintah setempat. Hal ini juga
diharapkan dapat menjawab kebutuhan masyarakat dan masyarakat juga dapat mengawasi
keberjalanan pemerintahan tersebut.
Hal ini dipertegas oleh Koho (2007:126), dimana partisipasi masyarakat dalam
program pemberdayaan selayaknya mencakup keseluruhan proses dari awal sampai tahap
akhir dan Koho membagi partisipasi masyarakat menjadi 3 jenjang, yaitu partisipasi
dalam proses pembuatan keputusan, partisipasi dalam pelaksanaan, dan partisipasi dalam
pemanfaatan hasil.
b. Bentuk Partisipasi Masyarakat
Dalam partisipasi masyarakat, dibagi menjadi beberapa bentuk partisipasi yang
diklasifikasikan oleh Cohen dan Uphoff (dalam Irene, 2015:61) dimana bentuk partisipasi
masyarakat dibagi menjadi 4, yaitu:
1. Partisipasi Dalam Pengambilan Keputusan
Partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan adalah bentuk partisipasi
dimana masyarakat mengajukan alternatif dan gagasannya untuk pengambilan
keputusan dan kepentingan bersama.
2. Partisipasi Dalam Pelaksanaan

10
Pada bentuk partisipasi ini, masyarakat berpartisipasi secara langsung terhadap
implementasi rencana kerja yang sudah ditetapkan sebelumnya dengan keterlibatan
yang nyata.
3. Partisipasi Dalam Pengambilan Manfaat
Partisipasi masyarakat pada bentuk ini adalah dimana masyarakat hanya mengambil
atau menikmati manfaat dari program yang telah direncanakan sebelumnya, tidak ada
keterlibatan secara langsung.
4. Partisipasi Dalam Evaluasi
Partisipasi masyarakat dalam melakukan evaluasi kegiatan yang dilakukan sangatlah
penting dan bertujuan untuk mengetahui apakah kegiatan tersebut sudah sesuai dengan
tujuan dan rencana awal yang disepakati atau belum.

c. Fungsi dan Manfaat Partisipasi Masyarakat


Menurut Carter (dalam Santoso, 2005:2), terdapat banyak fungsi dan manfaat dari
partisipasi masyarakat dalam berbagai kegiatan pembangunan, yaitu:
 Fungsi:
1) Partisipasi masyarakat sebagai suatu kebijakan
2) Partisipasi masyarakat sebagai strategi
3) Partisipasi masyarakat sebagai alat komunikasi
4) Partisipasi masyarakat sebagai alat penyelesaian sengketa
5) Partisipasi masyarakat sebagai terapi
 Manfaat:
1) Membangun masyarakat yang menjadi lebih bertanggung jawab
2) Meningkatkan proses belajar bagi masyarakat
3) Meminimalisir perasaan terasing dalam lingkungannya
4) Menimbulkan dukungan dan penerimaan untuk rencana dari pemerintah
5) Menciptakan kesadaran politik
6) Mencerminkan kebutuhan dan kepentingan masyarakat
7) Sumber informasi yang berguna dan valid bagi pemerintahan

2.1.2 Pemberdayaan Masyarakat

a. Pengertian dan Tujuan Pemberdayaan Masyarakat

11
Konsep pemberdayaan (empowerment) dalam konteks pemberdayaan masyarakat
(community development) menurut Ife (2010) adalah suatu proses yang bertujuan memberi
dorongan dan dukungan kepada setiap individu ataupun kelompok dalam tatanan masyarakat
untuk ikut serta berpartisipasi serta berpikir secara kreatif dalam menyelesaikan tugas dan
kepentingannya sendiri dengan melibatkan peran stakeholders lain (pemerintah atau pihak
lainnya) sebagai pihak yang ikut membantu proses tersebut. Pemberdayaan masyarakat ini
juga merupakan suatu alternatif dalam melakukan pembangunan karena lebih menekankan
pada kepentingan masyarakat dengan memberikan suatu hak otonomi sehingga tercipta suatu
pembangunan yang berlandaskan demokrasi, dimana masyarakat dapat berpartisipasi secara
langsung sekaligus belajar dalam menangani suatu masalahnya sendiri yang terjadi di lingkup
sosial masyarakat (Friedman, 1992).
Tujuan dari pemberdayaan masyarakat menurut Payne (dalam Nasdian, 2014) pada
intinya adalah tercapainya keadilan sosial, hal ini dapat diwujudkan dengan adanya
persamaan status dalam sosial-politik dan terciptanya ketentraman dalam tatanan masyarakat.
Tujuan ini dapat terlaksana apabila masyarakat saling membantu, belajar, dan berkemauan
untuk melangkah ke depan guna tercapainya tujuan-tujuan lain di masa mendatang.
b. Aspek dan Indikator Pemberdayaan Masyarakat
Dalam proses pemberdayaan masyarakat, diperlukan adanya beberapa upaya untuk
mewujudkannya agar tercapai keberhasilan dari suatu tujuan yang telah ditentukan. Upaya-
upaya tersebut dapat dinilai berdasarkan aspek dan indikator (Suharto, 2005) sebagai berikut :
Aspek-aspek Pemberdayaan Masyarakat :
(1) Enabling - suasana yang tercipta memiliki kemungkinan untuk mendorong,
memotivasi, dan membangkitkan berkembangnya potensi masyarakat.
(2) Empowering - segala potensi yang dimiliki oleh masyarakat dapat diperkuat dengan
adanya dukungan dalam penyediaan modal awal/masukan agar terbuka peluang bagi
masyarakat untuk dapat lebih berdaya.
(3) Protecting - perlindungan sekaligus pembelaan bagi kepentingan masyarakat secara
umum, khususnya masyarakat yang cenderung lemah dari segi sosial, ekonomi, dan
politik.
Indikator Pemberdayaan Masyarakat :
● Kebebasan mobilitas.
● Kemampuan membeli komoditas kecil.
● Kemampuan membeli komoditas besar.
● Terlibat dalam membuat keputusan-keputusan rumah tangga.
12
● Kebebasan relatif dari dominasi keluarga.
● Kesadaran hukum dan politik.
● Keterlibatan dalam kampanye dan protes-protes.
● Jaminan ekonomi dan kontribusi terhadap keluarga.
c. Proses Pemberdayaan Masyarakat
Menurut Adi (dalam Purbantara dan Mujianto, 2019), tahapan-tahapan yang perlu
dilakukan dalam proses pemberdayaan masyarakat adalah sebagai berikut :
1. Tahap Persiapan (Engagement)
Pada tahap ini dilakukan segala persiapan untuk mendukung kelancaran kegiatan
pemberdayaan masyarakat, yaitu persiapan petugas agar saling selaras dan kemudahan
koordinasi dengan segala pihak di lapangan, serta persiapan lapangan agar wilayah studi yang
dituju dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat sudah tepat dan layak sesuai sasaran.
2. Tahap Pengkajian (Assessment)
Pada tahap ini dilakukan identifikasi masalah dan isu yang akan dijadikan dasar
pembahasan, ketersediaan sumber daya terutama sumber daya manusia, dan kebutuhan
masyarakat berdasarkan permasalahan yang ada.
3. Tahap Perencanaan Kegiatan (Planning)
Pada tahap ini dilakukan penyusunan rencana berupa alternatif-alternatif program dan
kegiatan yang dapat dilakukan sebagai solusi dari permasalahan yang ada. Masyarakat
diharapkan berpartisipasi secara aktif dalam menyampaikan pendapat, ide, dan pemikirannya
dengan dipandu oleh petugas lapangan.
4. Tahap Formulasi Rencana Aksi (Formulation Action Plan)
Pada tahap ini dilakukan perumusan dan penentuan program dan kegiatan untuk
menjawab permasalahan yang ada dengan rincian jangka waktu pendek, menengah, atau
panjang dan tujuan yang ingin dicapai. Masyarakat diminta untuk secara aktif menyalurkan
pemikirannya mengenai cara-cara agar program dan kegiatan tersebut dapat tercapai dengan
bantuan petugas lapangan.
5. Tahap Implementasi Kegiatan (Implementation)
Pada tahap ini dilakukan sesuatu yang paling penting dan menjadi fokus utama dalam
proses pemberdayaan masyarakat, yaitu implementasi kegiatan yang sudah direncanakan
sebelumnya. Diperlukan kerjasama yang baik antara pihak masyarakat dengan bantuan
stakeholders agar kegiatan tersebut dapat terlaksana dengan baik, lancar, dan sesuai dengan
apa yang sudah direncanakan sebelumnya.
6. Tahap Evaluasi (Evaluation)
13
Pada tahap ini dilakukan pengawasan dan penilaian terhadap program dan kegiatan yang
telah terlaksana dan sedang berjalan. Dari pengawasan dan penilaian ini, selanjutnya
dilakukan evaluasi sebagai feedback dan arahan untuk perbaikan program dan kegiatan
kedepannya. Masyarakat diminta untuk selalu berpartisipasi dalam melakukan pengawasan
dan penilaian dalam jangka panjang secara internal di lingkup wilayah yang bermasalah
tersebut guna mewujudkan kelompok masyarakat yang lebih mandiri dan cerdas dalam
menghadapi dan menjawab permasalahan yang suatu saat dapat terjadi kembali di
wilayahnya.
7. Tahap Terminasi (Termination)
Tahap ini merupakan tahap paling akhir, dimana terjadinya perpisahan antara pihak
petugas maupun stakeholders sebagai fasilitator dengan masyarakat sebagai suatu kelompok
yang menjadi sasaran dari proses pemberdayaan masyarakat. Pada tahap ini masyarakat
dianggap sudah lebih mandiri dan cerdas sehingga proyek dapat diberhentikan sesuai dengan
jangka waktu dan anggaran yang telah ditetapkan.

2.2 Community Action Plan (CAP)


Berdasarkan buku panduan Penanganan Lingkungan Perumahan dan Permukiman Kumuh
Berbasis Kawasan (PLP2K-BK), menjelaskan bahwa Community Action Plan (CAP)
merupakan sebuah tindakan masyarakat secara mandiri yang bertujuan untuk merencanakan
dan melaksanakan upaya peningkatan kualitas permukiman mereka (Kementerian Perumahan
Rakyat, 2011:10). Community Action Plan (CAP) ialah suatu metode yang digunakan sebagai
langkah dalam menata daerah kumuh berbasis partisipasi yang bertujuan untuk membangun
kapasitas anggota masyarakat untuk melakukan aksi sebuah tindakan tepat berdasarkan
masalah, kebutuhan dan potensi sumber daya masyarakat (UN Habitat, 2006;1). Selain itu,
Community Action Plan dapat didefinisikan sebagai suatu ajakan yang bertujuan untuk
bertindak membentuk dokumen yang berisi uraian dan dipublikasikan sebagai bentuk
komitmen komunitas bersama dengan tujuan meningkatkan dan menata lingkungan. (TCCO,
1995;2).
Rencana tindak komunitas dapat digambarkan sebagai apa yang ingin dicapai dalam
suatu kegiatan selama jangka waktu tertentu, yang melibatkan berbagai sebagai sumber daya
seperti finansial, orang, dan materi yang diperlukan untuk menjadi sebuah kesuksesan. Fokus
dalam Community Action Plan ialah suatu proses pemahaman dalam mengatasi masalah
sebagai upaya membangun kembali kehidupan masyarakat terdampak daripada hanya sebuah

14
program yang bertujuan untuk pembangunan fisik (sswm.info, 2010). Adapun kelebihan dan
kelemahan dari metode Community Action Plan diantaranya.
 Kelebihan:
1. Menumbuhkan partisipasi dan kontribusi yang kuat dari masyarakat
2. Merupakan sebuah solusi dalam memecahkan masalah yang datang dari suatu
komunitas masyarakat dan masyarakat sendiri yang terlibat dalam mempertimbangkan
kebutuhan dan prioritasnya
3. Menjamin kelompok relevan yang ikut terlibat dalam berpartisipasi seperti kaum
perempuan dan kelompok lain yang sering terlupakan
4. Menjamin penerimaan dan dukungan solusi oleh suatu komunitas local
 Kelemahan:
1. Keputusan yang dihasilkan membutuhkan waktu yang lama dikarenakan seluruh
anggota masyarakat atau suatu komunitas memiliki kepentingan yang beragam
2. Membutuhkan waktu yang cukup alam dikarenakan sumber daya yang perlu
diintegrasikan seluruh stakeholder dalam prosesnya
3. Community Action Plan tidak berkembang tanpa adanya motivasi dan dorongan yang
kuat dari anggota masyarakat setempat

Seiring dengan perkembangan zaman, maka Community Action Plan praktis digunakan
dalam berbagai bentuk, diantaranya seperti Healthy Community Plans, Solid Waste
Management and the Municipal Official plan (TCCO, 1995:2) , Remedial Action Plans,
Green Community Plan.

2.2.1 Konsep Community Action Plan (CAP)


Community Action Plan dapat dikategorikan sebagai suatu program yang melakukan
pengembangan masyarakat (Community development). Konsep ini bertujuan untuk
mengambil tindakan yang tepat kepada masyarakat yang dapat memberi manfaat untuk
pengembangan mereka sendiri. Proses perencanaan dilakukan dalam bentuk lokakarya dan
setiap anggota dituntut untuk turut berpartisipasi (UN-HABITAT, 2008).
Menurut UN-Habitat (2008), terdapat 9 tahapan dalam melakukan Community Action
Plan(CAP) diantaranya.
1. Tahap persiapan (Preparatory phase) dan Sosialisasi Kegiatan. Tahap ini menjelaskan
mengenai hal apa yang harus dilakukan selama tahapan awal penataan kawasan yang
terdiri dari sosialisasi dan pengembangan kelembagaan. Sosialisasi tersebut dapat
dilakukan pada tingkat RT,RW, dan warga. Hal ini bertujuan untuk memperkuat

15
keberadaan dan pengembangan kapasitas dan peran kelembagaan. Sosialisasi ini bertujuan
agar masyarakat memahami maksud dan tujuan kegiatan perencanaan aksi komunitas dan
menyepakati dalam proses penyusunan.
2. Tahap Pemetaan sosial dan lingkungan (Social and Environmental Mapping), berisi
kegiatan awal dalam merumuskan rencana aksi masyarakat yang terdiri dari
mengidentifikasi potensi sumber daya dan masalah. Kegiatan ini bertujuan untuk
mendorong dan memfasilitasi masyarakat secara bersama-sama dalam mengenali kondisi
lingkungannya yang akan dipandu oleh fasilitator
3. Mengidentifikasi Masalah. Kegiatan ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan
menganalisis siapa saja yang menghadapi masalah.
4. Menyusun Prioritas Masalah. Kegiatan ini bertujuan untuk memfasilitasi masyarakat
dalam melakukan penyusunan prioritas masalah dengan memperhatikan faktor
kepentingannya.
5. Mengembangkan Strategi Permasalahan. Kegiatan ini bertujuan untuk memfasilitasi
masyarakat dalam menggali gagasan-gagasan untuk memecahkan masalah tersebut
6. Menetapkan Pilihan Aksi-Aksi. Kegiatan ini bertujuan untuk menetapkan pilihan aksi
tindakan yang paling mungkin dilaksanakan dengan mempertimbangkan berbagai potensi
sumber daya yang ada pada lingkungan, serta mempertimbangkan kesulitan-kesulitan
yang akan dihadapi oleh masyarakat
7. Merencanakan Langkah-Langkah Pelaksanaan Kegiatan. Kegiatan ini bertujuan untuk
merencanakan siapa yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan, tempat pelaksanaan,
waktu pelaksanaan, dan bagaimana pelaksanaan program
8. Merencanakan Monitoring dan Evaluasi Partisipatif. Kegiatan ini bertujuan untuk
melaksanakan evaluasi kegiatan apakah sesuai dengan yang direncanakan.
9. Memaparkan Rencana Aksi Komunitas. Kegiatan yang dilakukan diantaranya
mendiskusikan, menyiapkan dan melakukan pemaparan seluruh hasil rencana aksi
komunitas kepada masyarakat luas.

2.2.2 Peraturan Community Action Plan (CAP)

a. Peraturan terkait CAP di Indonesia


Undang-Undang RI No. 25 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2017
merupakan peraturan yang terkait dengan metode Community Action Planning, yang mana
dalam Undang-Undang RI No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional diharapkan metode Community Action Planning dapat meningkatkan partisipasi

16
masyarakat secara optimal dalam perencanaan pembangunan nasional. Sedangkan dalam
Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2017 tentang Partisipasi Masyarakat dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, masyarakat memiliki hak untuk berpartisipasi terkait
peraturan dan kebijakan daerah terkait dengan rencana tata ruang, pajak daerah, retribusi
daerah, perencanaan dan penganggaran pembangunan daerah, perizinan, peraturan yang
memberi sanksi kepada masyarakat, dan peraturan lain yang berkaitan dengan masyarakat.
Partisipasi masyarakat yang dapat dilakukan untuk perencanaan pembangunan nasional dan
penyelenggaraan pemerintahan daerah yakni dengan konsultasi public, penyampaian aspirasi,
seminar, sosialisasi, rapat dengar pendapat umum, dan diskusi.
b. Peraturan tentang Penyelenggaraan Perumahan Dan Kawasan Permukiman di Indonesia
Pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan
Atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan Dan
Kawasan Permukiman dimana salah satu syarat untuk memenuhi standar Penyelenggaraan
Perumahan Dan Kawasan Permukiman pada Perencanaan Prasarana, Sarana, dan Utilitas
Umum Perumahan yaitu harus tersedianya jaringan jalan, saluran pembuangan air hujan atau
drainase, penyediaan air minum, saluran pembuangan air limbah atau sanitasi dan tempat
pembuangan sampah.
c. Peraturan tentang Sanitasi Total Berbasis Masyarakat
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2014 tentang Sanitasi
Total Berbasis Masyarakat adalah pendekatan untuk mengubah perilaku higienis dan saniter
melalui pemberdayaan masyarakat dengan cara pemicuan. Pilar Sanitasi Total Berbasis
Masyarakat adalah perilaku higienis dan saniter yang digunakan sebagai acuan dalam
penyelenggaraan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat. Pemicuan adalah cara untuk mendorong
perubahan perilaku higiene dan sanitasi individu atau masyarakat atas kesadaran sendiri
dengan menyentuh perasaan, pola pikir, perilaku, dan kebiasaan individu atau masyarakat.
d. Peraturan tentang Penyelenggaraan Sistem Drainase Perkotaan
Pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia Nomor 12 /Prt/M/2014
tentang Penyelenggaraan Sistem Drainase Perkotaan adalah upaya merencanakan,
melaksanakan konstruksi, mengoperasikan, memelihara, memantau, dan mengevaluasi sistem
fisik dan non fisik drainase perkotaan. Dalam hal tersebut masyarakat ikut berperan aktif
dalam hal memperbaiki, menilai, dan ikut serta dalam penyelenggaraan sistem drainase.

17
2.3 Pengembangan Masyarakat Dalam Sektor Sanitasi dan Drainase
2.3.1 Isu Sanitasi dan Drainase
a. Isu Sanitasi
Prasarana sanitasi merupakan prasarana dasar yang penting dan memerlukan tindakan
khusus dalam pengelolaanya dalam lingkungan permukiman. Dimana diperlukan keadaan
sanitasi yang baik akan menimbulkan rasa kenyamanan dalam beraktivitas dalam
berkehidupan sehari-hari. Sedangkan kondisi sanitasi yang tidak baik akan memberikan
dampak buruk bagi kesehatan masyarakat dan kesehatan lingkungan. Permasalahan sanitasi
dapat terjadi jika kurangnya penanganan air limbah, tinja, sampah, dan kesehatan masyarakat
sehingga akan memicu munculnya wabah penyakit (Winarno dan Alfons, 2020).
Permasalahan sanitasi tidak terlepas dari kurang baiknya penanganan air limbah dan
sistem drainase lingkungan. Penanganan air limbah yang kurang baik seperti tidak adanya
resapan dari tangki septik yang tidak aman, tempat penyaluran akhir tinja pada sungai, lobang
tanah, sawah, saluran irigasi, ataupun saluran drainase.
Penambahan jumlah penduduk juga berbanding lurus dengan perlunya kebutuhan sanitasi.
Dengan demikian akan bertambah pula pada jumlah air limbah yang dihasilkan. Banyaknya
jumlah air limbah akan mempengaruhi pada kualitas air tanah yang digunakan. Hal ini akan
memberikan dampak buruk pada air tanah yang terkontaminasi dengan adanya bakteri
Escherichia coli. Dimana faktor penyebab terjadinya permasalahan ini dikarenakan oleh
keterbatasan kepemilikan jamban keluarga. Permasalahan sanitasi ini dapat terjadi karena
perilaku masyarakat akan kurangnya kesadaran dalam memelihara dan menjaga lingkungan
sekitar permukiman (Safriani dan Silvia, 2017). Masih banyaknya kebiasaan masyarakat yang
membuang air besar pada tempat tidak semestinya seperti sungai dan saluran drainase.
Sedangkan untuk masyarakat yang sudah memiliki jamban, namun masih kurangnya
penanganan yang aman dan layak. Solusi dalam permasalahan sanitasi ini dapat ditanggulangi
dengan cara perencanaan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Komunal untuk
memperbaiki sistem sanitasi, perbaikan tangki septik individual, dan pembangunan MCK
Umum (Nurhidayat dan Hermana, 2009). Sehingga pembuangan air limbah akan lebih aman
jika disalurkan pada ekosistem lingkungan. Diikuti dengan peningkatan kesadaran masyarakat
akan pentingnya kebersihan lingkungan sekitar.
Permasalahan sanitasi ini berkaitan dengan permasalahan sanitasi pada Kabupaten
Pekalongan yang mana masih terdapat masyarakat yang belum memiliki jamban. Serta masih
terjadi pembuangan air tinja pada sungai, sawah, dan kebun. Penanganan sanitasi ini dapat
diselesaikan dengan adanya kontribusi masyarakat di dalamnya. Seperti halnya masyarakat
18
aktif terhadap kendala teknis, kelembagaan, serta pembiayaan pengelolaan air limbah. Untuk
menciptakan prasarana sanitasi yang baik demi menjaga kualitas dan kesehatan lingkungan
sekitar permukiman. Penyelesaian dari permasalahan sanitasi untuk kehidupan keberlanjutan
dapat dilakukan kerjasama antara masyarakat dan pemerintah. Pemerintah sebagai pemuat
kebijakan, kelembagaan, serta memberi dukungan dana dan masyarakat sebagai pemilik dan
pemelihara (Al’Afghani, dkk, 2019).
b. Isu Drainase
Permasalahan drainase erat kaitannya dengan banjir dan genangan. Pada umumnya banjir
disebabkan oleh oleh 2 faktor alam yaitu hujan dan rob. Menurut Trimanah dkk (2021)
terdapat sebab lain selain kedua faktor alam tersebut, salah satunya adalah land subsidence
yang mana dapat disebabkan oleh perilaku warga sendiri yang terkadang masih belum
mengerti bahwa mereka berkontribusi terhadap kejadian land subsidence melalui aktivitas
sehari-hari mereka untuk mengambil air tanah sebagai keperluan rumah tangga. Land
subsidence tersebut dapat berakibat terhadap perubahan dan kerusakan fungsi struktur
bangunan yakni terjadinya pembalikan aliran air yang akan berpengaruh terhadap sistem
drainase, serta perubahan atau penurunan elevasi bangunan pengendali banjir seperti (tanggul,
pintu air, dan pompa air) sehingga memungkinkan terjadinya banjir dan genangan (Hermono
dkk, 2012). Kondisi banjir dan genangan sering diperparah dengan kurang memadainya
penanganan limbah industri dan domestik serta kurangnya kesadaran masyarakat terhadap
lingkungan sekitar, sehingga kumpulan limbah mengakibatkan sedimentasi pada saluran
drainase yang berakibat pada pengurangan kapasitas dalam mengalirkan air. Selain itu, masih
banyak warga yang kurang peduli terhadap aktivitas pembuangan sampah dan limbah secara
sembarangan seperti contoh masih banyak pengrajin batik yang membuang limbah industri
batiknya langsung ke saluran air. Hal tersebut menjadi isu penting drainase di beberapa
daerah khususnya di Kota Pekalongan. Permasalahan drainase merupakan ancaman bagi
suatu lingkungan hunian beserta masyarakat didalamnya. Sehingga ,diperlukan aksi tindakan
untuk mengatasi permasalahan dengan cara memperbaiki saluran yang ada. Perbaikan
drainase menjadi prioritas utama bagi masyarakat yang tinggal seperti di daerah yang
pelayanannya buruk dan masyarakat yang kurang mampu serta kurang peduli terhadap
permasalahan drainase (Few dalam Parkinson, 2006).

2.3.2 Best Practice

a. Perbaikan Drainase di Kota Langsa

19
Lokasi best practice terletak di Provinsi Aceh, tepatnya di Kota Langsa yang meliputi
lima Kecamatan Langsa Kota, Langsa Barat, Langsa Timur, Langsa Baro, dan Langsa Lama.
Kondisi topografi lahan sebagian besar di Kota Langsa merupakan dataran rendah sehingga
berpotensi rawan terhadap bencana banjir. Pada umumnya, banjir yang biasanya terjadi di
perkotaan dikarenakan intensitas hujan yang tinggi, sedangkan drainase tidak berfungsi secara
optimal akibat terbatasnya daya tampung debit air. Selain itu, rendahnya kesadaran
masyarakat dalam menjaga lingkungan seperti membuang sampah sembarangan turut menjadi
penyebab tersumbatnya saluran drainase sehingga air meluap ke jalan dan menggenangi
kawasan permukiman.
Penyelesaian masalah drainase di Kota Langsa dilakukan melalui program Kotaku yang
diselenggarakan oleh Kementerian PUPR. Program ini bertujuan untuk meningkatkan akses
terhadap infrastruktur dan pelayanan dasar pada permukiman kumuh perkotaan serta
mendukung perwujudan permukiman layak huni, produktif, dan berkelanjutan serta
berbasiskan partisipasi aktif dari masyarakat. Penyelesaian masalah ini dilakukan dengan
memperbaiki dan memperlebar dimensi saluran drainase yang pada keberjalanannya selalu
melibatkan partisipasi masyarakat.

Gambar 2. 1 Perbaikan dan Pelebaran Saluran Drainase


Sumber : Google Image, 2021

Pelaksanaan program Kotaku di Kota Langsa dilakukan melalui empat tahap, yang
meliputi:
● Tahap pertama: tahap persiapan yang meliputi dua kegiatan utama, yaitu sosialisasi
Pembentukan/ Penguatan TIPP (Tim Inti Perencana Partisipatif)

20
● Tahap kedua (perencanaan): dimulai dengan melakukan perumusan kondisi permukiman
layak huni pada tingkat desa yang diinginkan masyarakat di masa mendatang, dalam hal
ini menentukan drainase yang layak
● Tahap ketiga: tahap pelaksanaan kegiatan baik berupa kegiatan sosial, ekonomi maupun
infrastruktur (perbaikan dan pelebaran saluran drainase) yang harus sesuai dengan
perencanaan yang telah disusun dalam dokumen RPLP
● Tahap keempat (keberlanjutan): tahapan monitoring dan evaluasi (pasca pelaksanaan
lapangan)
b. Penerapan Sanitasi Lingkungan Berbasis Masyarakat di Beberapa Kota di Indonesia
Sanitasi merupakan suatu kebutuhan dasar manusia agar tetap higienis dengan cara
mencegah terjadinya kontak langsung dari kotoran atau bahan buangan lainnya. Meskipun
demikian, masih terdapat kelompok masyarakat tertentu yang memiliki akses rendah terhadap
sanitasi dan upaya selama 30 tahun masih belum ada peningkatan akses karena setiap daerah
memiliki permasalahannya masing-masing (Ichwanudin, 2016). Salah satu cara untuk
mengatasi permasalahan tersebut yaitu dengan melibatkan masyarakat secara langsung atau
yang sering disebut dengan sanitasi lingkungan berbasis masyarakat (STBM). Dewasa ini
implementasi sanitasi lingkungan berbasis masyarakat sudah mulai diterapkan di berbagai
kota di Indonesia. Dengan melibatkan masyarakat secara langsung maka pembangunan
sanitasi yang dilakukan dapat menyesuaikan dengan keinginan dan karakteristik warga
setempat (Ichwanudin, 2016). Beberapa kota yang telah melakukan implementasi
pembangunan sanitasi berbasis masyarakat akan dijelaskan pada paragraf di bawah ini.
Contoh kota pertama yang menerapkan sanitasi lingkungan berbasis masyarakat yaitu
Kabupaten Wonogiri. Awal mula dicanangkannya gerakan sanitasi di Kabupaten Wonogiri
yaitu karena masih belum terpenuhinya akses 100% terhadap sanitasi. Selain itu upaya
pemenuhan target juga menemukan beberapa kendala sehingga dari tahun 2012-2014 akses
sanitasi mengalami penurunan (Ichwanudin, 2016). Cara yang dilakukan untuk mengatasi hal
tersebut yaitu dengan menerapkan konsep STBM yang terstruktur dari skala kabupaten
hingga tingkat desa. Di tingkat kabupaten terdapat Pokja AMPL, di kecamatan terdapat Pokja
STBM yaitu Camat, dan di tingkat desa diurus oleh Kepala Desa. Berdasarkan kesimpulan
oleh Ichwanudin (2016), realisasi pengelolaan di tingkat kecamatan dan desa dinilai sudah
baik di semua aspek penilaian evaluasi di mana STBM di tingkat kecamatan sebesar 68% dan
desa 25%.
Kabupaten selanjutnya yang sudah menerapkan gerakan sanitasi berbasis masyarakat
adalah Kabupaten Nganjuk yang tepatnya berada di Desa Perning. Berbeda dengan di
21
Wonogiri, gerakan sanitasi di Nganjuk merupakan inisiatif langsung dari Pemerintah Desa
Perning. Dengan adanya peran aktif dan partisipasi masyarakat dalam gerakan sanitasi
berbasis masyarakat mengakibatkan semakin sedikitnya perilaku buang air besar
sembarangan (Aida Fitria Zahrina, Suryadi, 2015). Faktor pendukung sehingga sanitasi
berbasis lingkungan terbilang di Desa Perning antara lain tersedianya sumber daya manusia
yang memiliki kapabilitas, adanya sanksi hukum, dan tingginya kesadaran masyarakat.
Sedangkan faktor yang menjadi penghambat adalah sumber daya finansial dan keterbatasan
waktu dalam realisasi program.
Contoh yang terakhir yaitu Program Sanitasi Lingkungan Berbasis Masyarakat di
Kabupaten Tulungagung. Implementasi kebijakan SLBM dilakukan dengan lebih detail yang
melibatkan banyak stakeholder. Implementasi tersebut dijabarkan oleh Wahyuni et al. (2012)
dalam poin-poin sebagai berikut.
● Tahap Seleksi Lokasi
● Tahap Sosialisasi
● Tahap Seleksi Kampung
● Tahap Pembentukan RKM
● Tahap Penyusunan RKM
● Pelaksanaan Konstruksi
● Operasional dan Pemeliharaan
● Pengawasan

22
BAB III
KONSTELANSI WILAYAH DAN GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI
3.1 Konstelasi Wilayah
Kabupaten Pekalongan merupakan salah satu kabupaten yang berada di Pantai Utara
Provinsi Jawa Tengah. Pekalongan memiliki batas geografis dari 109 28’ 58” hingga 109 47’
o o

52” Bujur Timur dan 6 50’ 19” hingga 7 14’ 40” Lintang Selatan. Luas dari Kabupaten
o o

Pekalongan sendiri sebesar 836,13 km dengan jumlah penduduk pada tahun 2019 sebanyak
2

897.111 jiwa. Pekalongan termasuk salah satu kabupaten yang aksesibilitasnya tinggi karena
terletak di Pantai Utara Jawa sehingga terlewati oleh Jalan Pantura dan Tol Trans Jawa.
Karena aksesibilitas yang mudah tersebut maka di Kabupaten Pekalongan banyak didirikan
industri-industri pengolahan. Sisi positif adanya industri tersebut yaitu banyaknya lapangan
pekerjaan akan tetapi sisi negatifnya masih banyak industri yang membuang limbah tanpa
diolah terlebih dahulu. Adanya limbah tersebut pun dirasakan oleh masyarakat di wilayah
studi yaitu Desa Karangjompo, Kecamatan Tirto.

Gambar 3. 1 Konstelasi Wilayah Studi


Sumber : RTRW Kabupaten Pekalongan, 2020

Berdasarkan peta di atas dapat dilihat bahwa Desa Karangjompo yang terletak di
Kecamatan Tirto terletak di sebelah utara kabupaten. Secara geografis Desa Karangjompo
diapit oleh dua sungai, di sebelah barat desa terdapat Sungai Pencongan dan di sebelah timur
terdapat Sungai Meduri. Beberapa permasalahan yang ada di Desa Karangjompo yaitu terkait
dengan drainase dan sanitasi. Selain itu, masalah yang kerap terjadi di Desa Karangjompo
yaitu banjir akibat air sungai yang meluap. Maka dari itu desa tersebut dipilih sebagai wilayah

23
studi agar permasalahan yang ada dapat diatasi dengan partisipasi masyarakat secara
langsung.

3.2 Kondisi Fisik


3.2.1 Topografi
Kabupaten Pekalongan merupakan wilayah yang memiliki variasi topografi. Bagian
utara Kabupaten Pekalongan merupakan pantai sedangkan bagian selatan merupakan
pegunungan. Kondisi topografi di Kabupaten Pekalongan pun berbeda-beda dari 0-1.294
mdpl. Berikut merupakan rincian kondisi topografi per kecamatannya:
Tabel 3. 1 Kondisi Topografi Kabupaten Pekalongan Per Kecamatan

Tinggi dari Permukaan


No Kecamatan
Laut (Mdpl)
1 Kandangserang 276
2 Paninggaran 850
3 Lebakbarang 691
4 Petungkriyo 1.294
5 Talun 300
6 Doro 381
7 Karanganyar 70
8 Kajen 60
9 Kesesi 40
10 Sragi 9
11 Siwalan 9
12 Bojong 50
13 Wonopringgo 20
14 Kedungwuni 11
15 Karangdadap 11
16 Buaran 8
17 Tirto 4
18 Wiradesa 4
19 Wonokerto 4
Sumber : Kabupaten Pekalongan Dalam Angka Tahun 2012
Berdasarkan tabel tersebut, wilayah studi yang berada di Desa Karangjompo di
Kecamatan Tirto termasuk memiliki kondisi topografi yang rendah. Topografi di Desa
Karangjompo termasuk di kisaran 4 mdpl yang artinya ketinggian wilayah studi sangat dekat
dengan ketinggian permukaan laut. Hal ini dikarenakan wilayah studi yang berada di
Kecamatan Tirto berada di daerah utara dari Kabupaten Pekalongan yang juga cukup dekat
dengan Laut Jawa. Hal ini juga yang menyebabkan sering terjadinya banjir rob dikarenakan
ketinggian wilayah studi sangat dekat dengan ketinggian permukaan laut, hal tersebut juga
diperparah dengan penurunan permukaan tanah atau land subsidence yang terjadi di setiap

24
tahunnya pada daerah utara Pulau Jawa akibat banyaknya pemompaan air tanah, pengerukan
tanah, pembebanan tanah melebihi daya dukung tanahnya, dan penyebab lainnya. 

3.2.2 Kemiringan Lereng


Berdasarkan kondisi topografi yang bervariasi, kemiringan lereng di Kabupaten
Pekalongan pun juga bervariasi. Secara umum, rona kelerengan di Kabupaten Pekalongan
merupakan pegunungan di bagian selatan dan cenderung melandai ke bagian utara karena
terdapat pantai. Desa Karangjompo yang terletak di tengah dari Kecamatan Tirto memiliki
kemiringan lereng 0-2% dikarenakan posisi dari wilayah studi yang sudah landai dan
cenderung mendekati pantai. 

3.2.3 Curah Hujan

Data curah hujan pada Kabupaten Pekalongan berdasarkan kecamatan tidak ditemukan
data yang lengkap dikarenakan tidak adanya pengukuran di setiap kecamatannya. Namun
berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Pekalongan, pada tahun 2020,  secara
keseluruhan Kabupaten Pekalongan memiliki curah hujan 737 mm/tahun dengan rata-rata hari
hujan sebanyak 149 hari. Hal ini menurun dari tahun-tahun sebelumnya dan termasuk
dibawah rata-rarta curah hujan di Indonesia yang berkisar antara 2000-3000 mm/tahunnya.
Berdasarkan data yang ada, curah hujan yang ada di Desa Karangjompo yang terletak di
Kecamatan Tirto dapat di prediksi berada pada kisaran 500-1000mm/tahunnya dan curah
hujan tersebut sudah cukup normal dan cenderung tidak mengakibatkan kekeringan. Akan
tetapi, dengan adanya penurunan curah hujan dari tahun-tahun sebelumnya, membuat
masyarakat diharuskan bersiap-siap saat musim panas agar tidak mengalami kekeringan.

3.2.4 Jenis Tanah


Jenis tanah yang ada di Kecamatan Tirto adalah jenis tanah Aluvial Kelabu, Aluvial
Coklat, dan Aluvial Hidromorf. Namun belum diketahui secara pasti jenis tanah yang berada
di Desa Karangjompo apakah meliputi keseluruhan jenis tanah yang ada di Kecamatan Tirto
atau tidak. Jenis tanah yang ada di Kecamatan Tirto ini termasuk dalam satuan jenis tanah
Aluvial. Tanah Aluvial merupakan tanah endapan yang terbentuk dari lumpur dan pasir halus.
Tanah ini biasa ditemukan di dataran rendah, muara sungai, rawa, maupun lembah.
Karakteristik dari tanah ini cenderung mengandung banyak pasir dan tanah liat dan tidak
mengandung banyak unsur hara. Kadar kesuburan dari Tanah Aluvial adalah dari sedang ke

25
tinggi dan tanah ini merupakan tanah yang cukup baik untuk dimanfaatkan sebagai media
tanam tanaman pangan seperti sawah dan palawija dan juga dapat ditumbuhi tanaman lainnya
dengan baik.

3.3 Kondisi Non Fisik


3.3.1 Kependudukan
Desa Karangjompo merupakan salah satu desa yang ada di Kecamatan Tirto, Kabupaten
Pekalongan. Desa ini memiliki jumlah penduduk sebanyak 4.499 jiwa dengan persentase
penduduk sebesar 6,02% dari jumlah penduduk di Kecamatan Tirto (BPS dalam angka 2021).
Desa Karangjompo memiliki kepadatan penduduk sebesar 5.420 km 2

5000

4900 4915

4800 4815
4747
4700

4600
Jumlah
Pendudu
4500 4499 k
4400

4300

4200
2017 2018 2019 2020
 
Gambar 3. 2 Jumlah Penduduk Desa Karangjompo Tahun 2017-2020
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Pekalongan Tahun (dalam angka 2017-2020)

Berdasarkan grafik tersebut, menunjukkan bahwa jumlah penduduk Desa Karangjompo


mengalami peningkatan di tahun 2019, namun mengalami penurunan jumla penduduk sebesar
2,03% di tahun 2020, hal ini dikarenakan di tahun 2020 telah terjadi pandemi Covid-19 yang
menyebabkan tingginya angka kematian di Desa Karangjompo.

26
70-74
65-69
60-64
55-59
50-54
45-49
40-44
35-39 Laki-laki
30-34 Perempuan
25-29
20-24
15-19
10--14
5--9
0-4
15 10 5 0 5 10 15

Gambar 3. 3 Piramida Penduduk Desa Karangjompo


Sumber: Badan Pusat Statistik dalam angka 2021

Apabila dilihat dari komposisi penduduk berdasarkan usia, piramida penduduk Desa
Karangjompo berbentuk constrictive yang menunjukkan bahwa di Desa Karangjompo
sebagian kecil penduduk berada dalam kelompok umur muda dan memiliki tingkat kelahiran
yang turun dengan cepat, serta memiliki tingkat kematian rendah.

3.3.2 Pendidikan
Tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas sumber
daya manusia di suatu kawasan, begitupula di Desa Karangjompo Kabupaten Pekalongan.
Berikut data terkait tingkat pendidikan di Desa Karangjompo.

27
PERGURUAN PAKET A PAKET B PAKET C M. IBTIDAIYAH
TINGGI 0% 0% 1% 8%
5% M. TSANAWIYAH
1%
M. ALIYAH
0%
SMA/SMK/SMALB
18%

SD/SDLB
SMP/SMPLB 44%
24%

Gambar 3. 4 Jenjang Pendidikan Tertinggi Desa Karangjompo


Sumber: BDT Jawa Tengah 2020

Berdasarkan jenjang pendidikan tertinggi penduduknya, hampir setengah atau sekitar


44% penduduk di Desa Karangjompo merupakan lulusan SD dan setingkatnya.  Pendidikan
SMP dan setingkatnya sebanyak 24% serta SMA dan setingkatnya sebanyak 18%. Sedangkan
penduduk yang menempuh jenjang pendidikan tertinggi berupa perguruan tinggi hanya
sekitar 4%. Dapat dilihat semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin sedikit peminatnya. Hal
tersebut dapat berimplikasi terhadap kualitas sumber daya manusia di Desa Karangjompo
yang kurang baik.

3.3.3 Jenis Pekerjaan


Pada analisis terakit pengembangan masyarakat perlu mempertimbangkan terkait mata
pencaharian pada masyarakat setempat. Berikut mata pencaharian penduduk Desa
Karangjompo.

28
1%
4%4% Rumah Tangga
0%
0%
Dagang
20% Petani
Peternak
50% POLRI, TNI, PNS
Pensiunan
21% Pelajar/Mahasiswa
Tidak/Belum Kerja

Gambar 3. 5 Jenis Pekerjaan di Desa Karangjompo


Sumber: Dispermadesdukcapil Provinsi Jawa Tengah

Berdasarkan diagram diatas, presentase jenis pekerjaan terbesar masyarakat Desa


Karangjompo didominasi oleh masyarakat yang tidak bekerja yakni pelajar/mahasiswa
dengan presentase 50%, sebagai pensiunan dengan presentase 21% dan rumah tangga sebesar
4% serta diikuti masyarakat yang tidak/belum bekerja sebesar 1%. Sedangkan masyarakat
yang bekerja didominasi oleh pekerjaan POLRI, TNI, PNS dengan presentase sebesar 20%
dan diikuti masing-masing dengan pekerjaan sebagai pedagang dengan presentase 4% dan
petani serta peternak yang hanya memiliki presentase kurang dari 1%.

Perbandingan antara masyarakat yang bekerja dan tidak bekerja di Desa Karangjompo
yakni sebesar 76% tidak bekerja dan sebesar 24%. Masyarakat pada Desa Karangjompo
dengan presentase masyarakat yang tidak bekerja lebih banyak dibandingkan dengan yang
bekerja, dapat mempengaruhi terhadap kebutuhan biaya untuk kehidupan sehari-hari.
Masyarakat akan memprioritaskan kebutuhan untuk biya hidup sehari-hari pada posisi
pertama, sedangkan disisi lain kemungkinan pada aspek kesehatan kurang diperhatikan
seperti pada kondisi sanitasi yakni pada fasilitas BAB, sebanyak 262 KK di Desa
Karangjompo belum memiliki fasilitas BAB dan sebagian yang lain menggunakan fasilitas
bersama maupun fasilitas umum.

3.3.4 Sosial Budaya


Sosial dan budaya merupakan segala hal yang diciptakan oleh manusia dengan
pemikiran dan budi nuraninya dalam kehidupan bermasyarakat. Hubungan antara masyarakat
dan kebudayaan sering disebutkan dengan kehidupan sosial-budaya. Interaksi antar manusia
dalam masyarakat demi memenuhi kebutuhan sehari-hari dapat menimbulkan suatu kebiasaan

29
pada suatu kelompok. Kegiatan-kegiatan tersebut menciptakan aktivitas sosial dan aktivitas
yang dilakukan oleh masyarakat Kebiasaan yang ditanamkan setiap waktu pada lingkungan
tempat tinggal akan membentuk suatu kebudayaan. Kebudayaan terbentuk sesuai dengan
perilaku dan kondisi lingkungan setempat.
Kondisi sosial di Desa Karangjompo ini masih terdapat keluarga yang tercantum
sebagai keluarga miskin. Terdapat 54,36% rumah tangga yang rentan hingga masuk dalam
kategori miskin. Berikut rincian jumlah keluarga yang tergolong mengalami kemiskinan.

0%
5%

13% sangat miskin

miskin
46%
hampir miskin

36% rentan miskin

non kategori

Gambar 3. 6 Grafik Rumah Tangga Miskin Desa Karangjompo


Sumber: BDT Jawa Tengah 2020

Oleh karena itu, masih terdapatnya keluarga yang tergolong kurang mampu, sehingga
dapat mempengaruhi kualitas lingkungan sekitar Desa Karangjompo. Dengan demikian,
Pemerintah memberikan bantuan sosial kepdaa Desa Karangjompo. Bantuan sosial
merupakan pemberian bantuan berupa uang maupun barang kepada individu, keluarga,
kelompok, atau masyarakat dengan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
dan mengurangi terjadinya kesenjangan sosial. Bentuk bantuan sosial yang diberikan oleh
pemerintah terdapat 4 (empat) jenis yaitu PKH (Bantuan Keluarga Harapan), BPJS (Badan
Penyelenggaraan Jaminan Sosial), KIP (Kartu Indonesia Pinta), dan BSP (Bantuan Sosial
Pangan). Bantuan BPJS diberikan kepada 1.606 penduduk di Desa Karangjompo. Selain itu
bantuan lainnya diberika pada setiap rumah tangga. Berikut grafik yang memuat jumlah
penerima bantuan oleh pemerintah di Desa Karangjompo. 

30
24%

57%
19%

PKH KIP BSP


Gambar 3. 7 Bantuan Sosial Desa Karangjompo
Sumber: BDT Jawa Tengah 2020
Kondisi sosial di Desa karangjompo apabila dilihat dari segi permukiman, warga sering
melakukan kegiatan gotong royong. Kegiatan gotong royong yang dilakukan yaitu pada
kegiatan penyedotan genangan air dan peninggian jalan sementara di permukiman sekitar
pesisir. Hal ini dilakukan karena pada Desa Karangjompo yang merupakan permukiman
penduduk padat jika kehadiran air pasang (rob) menyebabkan lingkungan permukiman
menjadi kotor dan kumuh. Selain itu air rob ini akan bercampur dengan limbah rumah tangga
dan industri sekitar permukiman. Tidak jarang permukiman di Desa Karangjompo ini terkena
banjir karena air rob dan hujan lebat pada permukiman pesisir. 

3.4 Analisis Stakeholder


Tahapan keterlibatan stakeholder dapat diketahui melalui tingkat keterlibatan dan tahapan
kegiatan. Setiap stakeholder bertanggung jawab dan terlibat dalam tahapan tertentu dalam
sektor drainase dan sanitasi atau secara makro termasuk ke dalam penataan
lingkungan/tempat tinggal. Stakeholder terkait yang memiliki keterlibatan dalam pelaksanaan
kegiatan ini, antara lain:
1. Masyarakat Desa Karangjompo
2. Karang Taruna Desa Karangjompo
3. Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Desa Karangjompo
4. Perangkat RT dan RW
5. Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) Kecamatan Tirto
6. Pemerintah Desa Karangjompo
7. Pemerintah Kecamatan Tirto
8. Pemerintah Kabupaten Pekalongan
9. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Penelitian Pengembangan
(Bappedalitbang) Kabupaten Pekalongan 
31
10. Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Pekalongan
11. Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman dan Lingkungan Hidup (Perkim
dan LH) Kabupaten Pekalongan
12. Akademisi
13. Fasilitator
14. Press Media
Berdasarkan daftar stakeholder di atas, selanjutnya dilakukan analisis mengenai
karakteristik  dari stakeholder, kebutuhan, potensi, kekurangan, serta manfaat yang dikaitkan
dengan isu drainase dan sanitasi di Desa Karangjompo. Berikut merupakan tabel yang
menjelaskan  analisis stakeholder khususnya masyarakat Desa Karangjompo sebagai aktor
yang memiliki peran besar pada  rencana tindak komunitas  kolaboratif.
Tabel 3. 2 Analisis Stakeholder

Stakeholders Karakteristik Ketertarikan Kesensitifan Potensi dan Implikasi dan


dan terhadap Kekurangan Kesimpulan
Ekspektasi Isu Pelaksanaan
Proyek

Masyarakat  Kualitas  Mendap  Memi  Berpot  Meningkat


Desa SDM relatif atkan akses liki sedikit ensi untuk kan
rendah sanitasi dan kesadaran tidak pengetahuan
Karangjompo dengan drainase yang akan mampu akan
dibuktikan layak dan pentingnya membayar pentingnya
mayoritas baik membuang segala menciptakan
tingkat  Mendap limbah sesuatu lingkungan
pendidikan atkan dengan terkait hunian yang
masyarakat lingkungan cara yang dengan nyaman
lulusan hunian benar perbaikan terutama pada
SD/sederajat nyaman lingkungan sektor drainase
dengan untuk hunian dan sanitasi
persentase ditinggali terutama  Meningkat
44% pada sektor kan kesadaran
drainase dalam ikut
dan sanitasi serta
 Potens berpartisipasi
i dalam
masyarakat melakukan
dalam perencanaan
beradaptasi dan
terhadap pelaksanaan
kondisi program untuk
lingkungan menyelesaikan
permasalahan
yang terdapat
di lingkungan
sekitarnya

Sumber : Hasil Analisis Kelompok 7A, 2021.

Berdasarkan tabel rinci karakteristik stakeholder di atas, kemudian sesuai tahapan


kegiatan dimulai dari identifikasi kebutuhan hingga monitoring dan evaluasi, yang melibatkan

32
stakeholder sesuai dengan bidang dan tanggung jawabnya lebih dispesifikan pada  tabel
analisis tingkat keterlibatan pemangku kepentingan berikut ini:

Tabel 3. 3 Keterlibatan Stakeholder

Tingkat Keterlibatan

Informed Consulted Partners Controlling

Tahapan Identifikasi 1. Masyara 1. Bappedalit 1. BKM 1. Bappedalit


Kebutuhan kat bang Kabupaten 2. PKK bang Kabupaten
2. Perangk Pekalongan 3. Karang Pekalongan
at RT dan RW 2. Dinas Taruna 2. Dinas
3. Pemerint PUPR Kabupaten PUPR Kabupaten
ah Desa Pekalongan Pekalongan
Karangjompo 3. Dinas 3. Dinas
4. Pemerint Perkim dan LH Perkim dan LH
ah Kecamatan Kabupaten Kabupaten
Tirto Pekalongan Pekalongan
5. Pemerint
ah Kabupaten
Pekalongan

Perencanaan 1. Masyara 1. Bappedalit 1. BKM 1. Pemerintah


kat bang Kabupaten 2. PKK Kecamatan Tirto
2. Fasilitat Pekalongan 3. Karang 2. Pemerintah
or 2. Dinas Taruna Kabupaten
3. Perangk PUPR Kabupaten Pekalongan
at RT dan RW Pekalongan 3. Bappedalit
4. Pemerint 3. Dinas bang Kabupaten
ah Desa Perkim dan LH Pekalongan
Kabupaten 4. Dinas
Pekalongan PUPR Kabupaten
4. Akademisi Pekalongan
5. Dinas
Perkim dan LH
Kabupaten
Pekalongan

Penerapan 1. Masyara 1. Masyarakat 1. Press 1. Pemerintah


kat 2. Akademisi Media Desa
2. Karang 3. Dinas 2. PKK Karangjompo
Taruna PUPR Kabupaten 2. Pemerintah
3. PKK Pekalongan Kecamatan Tirto
4. BKM 3. Pemerintah
Kabupaten
Pekalongan
4. Bappedalit
bang Kabupaten
Pekalongan
5. Dinas
PUPR Kabupaten
Pekalongan
6. Dinas
Perkim dan LH
Kabupaten
Pekalongan

Monitoring 1. Perangk 1. Bappedalit 1. Masyara 1. Pemerintah


dan Evaluasi at RT dan RW bang Kabupaten kat Kabupaten
2. Pemerint Pekalongan 2. Perangk Pekalongan

33
ah Desa 2. Dinas at RT dan RW 2. Bappedalit
Karangjompo PUPR Kabupaten 3. Pemerin bang Kabupaten
3. Pemerint Pekalongan tah Desa Pekalongan
ah Kecamatan 3. Dinas Karangjompo 3. Dinas
Tirto Perkim dan LH PUPR Kabupaten
4. Pemerint Kabupaten Pekalongan
ah Kabupaten Pekalongan 4. Dinas
Pekalongan 4. Akademisi Perkim dan LH
Kabupaten
Pekalongan

Sumber : Hasil Analisis Kelompok 7A, 2021.

34
DAFTAR PUSTAKA

Aida Fitria Zahrina, Suryadi, S. (2015). Implementasi Program Gerakan Sanitasi Berbasis
Masyarakat Dalam Pengendalian Lingkungan (Studi Kasus pada Desa Perning,
Kecamatan Jatikalen, Kabupaten Nganjuk). Jurnal Administrasi Publik (JAP), 3(11),
1832–1836.

Al’Afghani, M. M., Kohlitz, J., & Willetts, J. (2019). Not built to last: Improving legal and
institutional arrangements for community-based water and sanitation service delivery in
Indonesia. Water Altern, 12(1), 285-303.

Budinetro, H. S., Rahayu, S., Praja, T. A., Taufiq, A., & Junarsa, D. (2012). Semarang City
Flood Control Strategy. Jurnal Sumber Daya Air , 8(2), 141–156.

Budiman, Hikman. (2020). Sudah Senja di Jakarta: Ideologi, Kebijakan Publik, Politik, dan
Ruang Ibukota. Yayasan Pustaka Obor Indonesia: Jakarta

Ichwanudin. (2016). Kajian Dampak Sanitasi Total Berbasis Masyarakat Terhadap Akses
Sanitasi di Kabupaten Wonogiri. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia, 15(2), 46–49.

Dwiningsi, S. (2015). Desentralisasi dan Partisipasi Masyarakat dalam Pendidikan.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Friedmann, J. (1992). Empowerment: The politics of alternative development. Blackwell.

Ife, J. (2010). Capacity building and community development. In Challenging capacity


building (pp. 67-84). Palgrave Macmillan, London.

Kaehe, D., Ruru, J., & Rompas, W. (2019). Partisipasi Masyarakat Dalam Perencanaan
Pembangunan Di Kampung Pintareng Kecamatan Tabukan Selatan Tenggara.

Muslim, A., & Kurniawan, T. (2020). Community Action Plan (Cap) Dalam Penataan
Kawasan Kumuh Dari Perspektif Good Urban Governance: Sebuah Tinjauan Literatur. J-
3P (Jurnal Pembangunan Pemberdayaan Pemerintahan), 33–50.
https://doi.org/10.33701/j-3p.v5i1.1023

Nasdian, F. T. (2014). Pengembangan masyarakat. Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Nurhidayat, A., & Hermana, J. (2009). Strategi Pengelolaan Air Limbah Domestik Dengan
Sistem Sanitasi Skala Lingkungan Berbasis Masyarakat Di Kota Batu Jawa Timur. In
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi X Program Studi MMT-ITS.

Parkinson, J., Tayler, K., & Mark, O. (2007). Planning and design of urban drainage systems
in informal settlements in developing countries. Urban Water Journal, 4(3), 137–149.
https://doi.org/10.1080/15730620701464224
Purbantara, A. & Mujianto. (2019). Modul KKN Tematik Desa : Membangun Pemberdayaan
Masyarakat Desa. Jakarta: Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan
Transmigrasi Republik Indonesia.

Safriani, M., & Silvia, C. S. (2017). Desain IPAL Komunal untuk Mengatasi Permasalahan
Sanitasi Di Desa Luengbaro, Kabupaten Nagan Raya, Aceh. Prosiding Konferensi
Nasional Teknik Sipil, 11.

Safrizal, S., Safuridar, S., & Fuad, M. (2021). Mengevaluasi efektivitas pelaksanaan program
kota tanpa kumuh (Studi kasus pada wilayah Kota Langsa). Jurnal Samudra Ekonomi dan
Bisnis, 12(2), 200-213. doi: 10.33059/jseb.v12i2.3242.

Santoso. (2005). Partisipasi, Komunikasi, Persuasi, dan Disiplin dalam Pembangunan


Nasional. Bandung: Alumni.

Trimanah, T., Mubarok, M., & Maghvira, G. (2021). Kampanye Komunikasi Lingkungan
melalui Media Tanaman di Desa Karangjompo Kecamatan Tirto Kabupaten Pekalongan.
Indonesian Journal of Community Services, 3(1), 65.
https://doi.org/10.30659/ijocs.3.1.65-72

Undang-Undang RI No.25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional

Undang-Undang RI No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2014 tentang Sanitasi Total
Berbasis Masyarakat.

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia Nomor 12 /Prt/M/2014 tentang


Penyelenggaraan Sistem Drainase Perkotaan.

Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2017 tentang Partisipasi Masyarakat dalam


Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan Dan
Kawasan Permukiman.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2017 tentang Partisipasi


Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pemerintah Daerah

Qanun Kota Langsa Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Daerah Kota Langsa Tahun 2017-2022.

Suharto, E. (2005). Membangun masyarakat memberdayakan rakyat kajian strategis


pembangunan kesejahteraan sosial dan pekerjaan sosial. PT Refika Aditama.

Undang-Undang RI No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.


Wahyuni, S., Setiani, O., & Suharyanto, S. (2012). Implementasi Kebijakan Pembangunan
Dan Penataan Sanitasi Perkotaan Melalui Program Sanitasi Lingkungan Berbasis
Masyarakat Di Kabupaten Tulungagung. Jurnal Ilmu Lingkungan, 10(2), 111.
https://doi.org/10.14710/jil.10.2.111-122

Winarno, T., & Alfons, A. B. (2020). Identifikasi Permasalahan Sanitasi Lingkungan di


DIstrik Sentani, Kabupaten Jayapura. Dinamis, 17(1. Juli), 1-8.

United Nations Human Settlements Programme, (UN-HABITAT). (2008) . Penyusunan


Rencanan Aksi Komunitas

Badan Pusat Statistik Kabupaten Pekalongan , 2021. Kabupaten Pekalongan dalam Angka
2021. Pekalongan : Badan Pusat Statistik

Badan Pusat Statistik Kabupaten Pekalongan , 2020. Kabupaten Pekalongan dalam Angka
2020. Pekalongan : Badan Pusat Statistik

Rencana Terpadu dan Program Investasi Infrastruktur Jangka Menengah Kabupaten


Pekalongan Tahun 2014-2019

Anda mungkin juga menyukai