Anda di halaman 1dari 20

KONDISI MATERNAL YANG BERISIKO

KEGAWATDARURATAN
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Kegawatdaruratan
Maternal Neonatal dan Basic Life Support

Dosen Pengampu : Rosita Syaripah, S.SiT.,

Disusun Oleh :
2 B Kebidanan – Kelompok 6

Alivia Turokhmah P17124019044


Dewi Kartika Sari P17124019053
Kintan Aura Fakhriatunisa P17124019062
Mulia Putri Egiana P17124019068

PROGRAM STUDI D-III KEBIDANAN


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES JAKARTA I
2020/2021

1
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang. Kami
panjatkan puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan nikmat sehat
sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah pada mata kuliah
Kegawatdaruratan Maternal Neonatal dan Basic Life Support yang berjudul “Kondisi
Maternal Yang Berisiko Kegawatdaruratan ”.Dalam menyelesaikan makalah ini kami
mendapatkan bantuan dari berbagai sumber, oleh karena itu, kami mengucapkan banyak
terima kasih kepada semua sumber yang turut membantu penyusunan makalah ini.

Materi yang kami sampaikan dalam makalah ini tentunya masih jauh dari
kesempurnaan, karena kami juga masih dalam tahap pembelajaran. Oleh karena itu, arahan,
koreksi, dan saran yang membangun sangat kami harapkan. Semoga makalah ini dapat
memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca.

Jakarta, 18 Januari 2021

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................................................................

DAFTAR ISI.........................................................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................................................................

A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan 3
D. Manfaat 3

BAB II PEMBAHASAN 4

A. Baby Friendly 4
B. Memulai Pemberian Asi Dini dan Ekslusif 5
C. Regulasi Suhu Bayi Baru Lahir dengan Kontak Kulit Ke Kulit 9
D. Perawatan Tali Pusat 13
E. Stimulasi Perkembangan dan Pertumbuhan Bayi dan Balita 14
F. Asuhan Bayi Bru Lahir Terstandar yang Merupakan Wewenang Bidan
G. Asuhan Bayi Baru Lahir Pada Masa Pandemi Covid – 19
H. Asuhan komplementer Bayi Baru Lahir

BAB III PENUTUP 18

A. Kesimpulan 18
B. Saran......... 18

SOAL – SOAL 19

DAFTAR PUSTAKA 23

LEMBAR PERSETUJUAN24

3
Tanda Gejala Pada Persalinan

A. ATONIA UTERI
a. Definisi
Atonia uteri adalah suatu keadaan dimana lemahnya kontraksi rahim yang
menyebabkan uterus tidak dapat menghentikan perdarahan yang terjadi dari
tempat implantasi plasenta setelah bayi dan plasenta lahir.(Sarwono, 2008)
Atonia uteri didefinisikan sebagai suatu kondisi kegagalan berkontraksi
dengan baik setelah persalinan (Saifudin AB, 2002).
Sedangkan dalam sumber lain atonia didefinisikan sebagai hipotonia yang
mencolok setelah kelahiran placenta (Bobak, 2002).
Kesimpulannya bahwa atonia uteri adalah tidak adanya kontraksi segera
setelah plasenta lahir.

4
b. Penyebab/ Etiologi
Atonia uteri merupakan kegagalan miometrium untuk berkontraksi setelah
persalinan sehingga uterus dalam keadaan relaksasi penuh, melebar, lembek dan
tidak mampu menjalankan fungsi oklusi pembuluh darah. Akibat dari atonia uteri
ini adalah terjadinya perdarahan. Perdarahan pada atonia uteri ini berasal dari
pembuluh darah yang terbuka pada bekas menempelnya plasenta yang lepas
sebagian atau lepas keseluruhan. Miometrium terdiri dari tiga lapisan dan lapisan
tengah merupakan bagian yang terpenting dalam hal kontraksi untuk
menghentikan perdarahan pasca persalinan.
Miometrium lapisan tengah tersusun sebagai anyaman dan ditembus oeh
pembuluh darah. Masing-masing serabut mempunyai dua buah lengkungan
sehingga tiap-tiap dua buah serabut kira-kira berbentuk angka delapan. Setelah
partus, dengan adanya susunan otot seperti tersebut diatas, jika otot berkontraksi
akan menjepit pembuluh darah. Ketidakmampuan miometrium untuk
berkontraksi ini akan menyebabkan terjadinya pendarahan pasca persalinan.
Penyebab terjadiya perdarahan pasca persalinan paling banyak adalah atonia
uteri. Atonia uteri adalah penyebab langsung utama morbiditas maternal secara
global. Selain karena sebab di atas atonia uteri juga dapat timbul karena salah
penanganan kala III persalinan, yaitu memijat uterus dan mendorongnya ke
bawah dalam usaha melahirkan plasenta, dimana sebenarnya plasenta belum
terlepas dari dinding uterus

5
c. Tanda & Gejala

Tanda & Gejala Penyulit


Uterus tidak berkontraksi dan lembek. Syok.
Pendarahan segera setelah anak lahir. Bekuan darah pada serviks atau posisi
telentang akan menghambat aliran
darah keluar

Faktor predisposisinya:
1) Regangan rahim berlebihan yang diakibatkan kehamilan gemeli,
polihidramnion, atau bayi terlalu besar.
2) Kehamilan grande multipara
3) Kelelahan persalinan lama
4) Ibu dengan anemis atau menderita penyakit menahun
5) Infeksi intrauterine ( korioamnionitis)
6) Mioma uteri yang menggangu kontraksi rahim
7) Ada riwayat atonia uteri sebelumnya

(Sarwono, 2008)

d. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan bila setelah bayi dan plasenta lahir, ternyata
perdarahan masih aktif dan banyak, bergumpal dan pada saat dipalpasi
didapatkan fundus uteri masih setinggi pusat atau lebih dengan kontraksi yang
lembek. Perlu diperhatikan bahwa pada saat atonia uteri terdiagnosis, maka pada
saat itu juga masih ada darah sebanyak 500-1000 cc yang sudah keluar dari
pembuluh darah, tetapi masih terperangkap dalam uterus dan harus
diperhitungkan dalam kalkulasi pemberian darah pengganti. (Sarwono,2008)
e. Penanganan/tindakan

6
Pada umumnya dilakukan Secara simultan (bila pasien syok) hal-hal sebagai
berikut:
1) Sikap Trendelenburg, memasang venous line, dan memberikan oksigen.
2) Sekaligus merangsang kontraksi uterus dengan cara
a) Masase uterus dan merangsang putting susu
b) Pemberian oksitosin dan turunan ergot melalui suntikan IM, IV atau SC
c) Memberikan derivate prostaglandin F2α (carboprost tromethamine)
yang kadang memberikan efek samping berupa dieare, hipertensi, mua
muntah, febris, dan takikardia
d) Pemberian misoprostol 800-1000 μg per-rektal
e) Kompresi bimanual eksternal atau internal
f) Kompresi aorta abdominalis
g) Pemasangan “tampon kondom”, kondom dalam kavum uteri disambung
dengan kateter, difiksasi dengan karet gelang dan diisi cairan infus 200
ml yang akan mengurangi pendarahan dan menghindari tindakan
operatif
h) Catatan :tindakan memasangtampom lasa utero-vaginal tidak
dianjurkan dan hanya bersifat temporer sebelum tindakan bedah ke
rumah sakit rujukan
3) Bila semua tindakan itu gagal, maka dipersiapkan untuk dilakukan tindakan
operatif laparoomi dengan pilihan bedah konservtaif (mempertahankan
uterus) atau melakukan histerektomi. Alternatifnya berupa :
a) Ligase arteria uterina / arteria ovarika
b) Operasi ransel B Lynch
c) Histerektomi supravaginal
d) Histerektomi total abdominal

(Sarwono, 2008)

7
B. PERLUKAAN JALAN LAHIR
1. Definisi

Perlukaan jalan lahir ialah perdarahan yang berasal dari jalan lahir.
Perlukaan ini dievaluasi dari sumber dan jumlah perdarahan yang terjadi untuk
menentukan tindakan yang akan dilakukan.

Robekan jalan lahir ialah perdarahan yang terjadi akibat perlukaan pada
jalan lahir, dengan memastikan plasenta telah lahir lengkap dan kontraksi uterus
baik.1

2. Klasifikasi Ruptur
a. Ruptur Perineum dan Dinding vagina
1) Pengertian
Perineum merupakan bagian permukaan dari bawah pintu panggul
yang terletak dari vulva sampai anus, dengan panjangnya kira – kira 4 cm.
Perineum merupakan dasar pelvis dan struktur sekitarnya yang menempati
pintu bawah panggul, di sebelah anterior dibatasi oleh simpisis pubis, di
sebelah lateral dibatasi oleh tuber iskiadikum, dan di sebelah posterior
dibatasi oleh tulang koksigeus (Wiknjosastro, 2005).
Menurut kamus kebidanan, rupture adalah robekan (Maimunah,
2005). Sedangkan pengertian rupture sesuai dengan kamus kedokteran
adalah robeknya atau koyaknya jaringan. Istilah lain rupture adalah laserasi.
Laserasi adalah robekan tidak teratur pada jaringan, biasanya merujuk pada
robekan di perineum, vagina, atau serviks yang disebabkan oleh proses
persalinan (Bobak, 2005).

1
Widiastini, Luh Putu.2014. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Pada Ibu Bersalin Dan Bayi Baru Lahir. Bogor : In
Media

8
Rupture adalah luka pada perineum yang diakibatkan oleh rusaknya
jaringan secara alamiah karena proses desakan kepala janin atau bahu pada
saat persalinan. Bentuk rupture biasanya tidak teratur sehingga jaringan
yang robek sulit dilakukan penjahitan (Sukrisno, Adi 2010).
Rupture perineum adalah robekan yang terjadi saat bayi lahir baik
secara spontan maupun dengan alat tindakan (Wiknjosastro, 2005, hlm
665).
Robekan perineum adalah robekan obstetrik yang terjadi pada daerah
perineum akibat ketidakmampuan otot dan jaringan lunak pelvic untuk
mengakomodasi lahirnya fetus (Oxom, 2010).
2) Klasifikasi Ruptur Perineum
Rupture perineum menurut Wiknjosastro (2005) diklasifikasikan
menjadi dua, yaitu :
a) Rupture perineum spontan, yaitu luka pada perineum yang terjadi
karena sebab tertentu tanpa dilakukan tindakan perobekan atau
disengaja. Luka ini terjadi pada saat persalinan dan biasanya tidak
teratur.
b) Rupture perineum yang disengaja (episiotomi), yaitu luka perineum
yang terjadi karena dilakukan pengguntingan atau perobekan pada
perineum2

2
Rochmayanti, Shinta Nur. 2019. Pijat Perineum Selama Masa Kehamilan Terhadap Kejadian Rupture
Perineum Spontan. Surabaya : Jakad Publishing

9
Tingkat perlukaan perineum :
a) Derajat pertama : laserasi mengenai mukosa dan kulit perineum,
tidak perlu dijahit
b) Derajat kedua : laserasi mengenai mukosa vagina, kulit, dan
jaringan perineum (perlu dijahit)
c) Derajat tiga : laserasi mengenai mukosa vagina, kulit, jaringan
perineum dan spingter ani
d) Derajat empat : laserasi mengenai mukosa vagina, kulit, jaringan
perineum, dan spingter ani yang meluas hingga ke rektum. Rujuk
segera.3
3) Faktor – Faktor Terjadinya Rupture Perineum
3
Oktarina, Mika. 2016. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Persalinan dan Bayi Baru Lahir. Yogyakarta : Deepublish

10
a) Paritas
Paritas adalah jumlah anak yang dilahirkan oleh seorang ibu baik
hidup maupun mati. Pada ibu dengan paritas satu atau primipara
memiliki resiko yang lebih besar untuk mengalami robekan
perineum daripada ibu dengan paritas lebih dari satu. Hal ini
dikarenakan jalan lagir yang belum pernah dilalui oleh kepala bayi
sehingga otot – otot perineum belum meregang (Wiknjosastro,
2002).
b) Jarak Kelahiran
Jarak kelahiran adalah rentang waktu antara kelahiran anak sekarang
dengan kelahiran anak sebelumnya. Jarak kelahiran kurang dari dua
tahun tergolong resiko tinggu karena dapat menimbulkan komplikasi
pada persalinan. Jarak kelahiran yang lebih aman bagi ibu dan janin
ialah 2 – 3 tahun. Begitu juga dengan keadaan jalan lahir yang
mungkin pada persalinan terdahulu mengalami robekan perineum
derajat tiga atau empat, sehingga pemulihan belum sempurna dan
perineum dapat terjadi (Depkes, 2004).
c) Berat Badan Bayi
Berat badan janin yang berpotensi mengakibatkan terjadinya rupture
perineum yaitu berat badan janin yang lebih besar dari 3500 gram,
karena resiko trauma partus melalui vagina seperti distosia bahu dan
kerusakan jaringan lunak pada ibu.
d) Cara Meneran
Ibu harus didukung untuk meneran dengan benar pada saat ia
merasakan dorongan dan memang ingin mengejan. Ibu mungkin
dapat meneran secara lebih efektif pada posisi tertentu. Beberapa

11
cara dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya ruptur perineum
dan memimpin ibu bersalin meneran dengan baik dan benar.
e) Kondisi Perineum
Kondisi perineum yang kaku dan tebal membuat perineum kurang
elastis daat persalinan sehingga dapat menghambat persalinan kala II
yang menyebabkan kerusakan atau robekan pada perineum.
f) Partus Presipitatus
Kejadian laserasi akan meningkat jika bayi dilahirkan terlalu cepat
dan tidak terkendali (JNPK – KR, 2008)
4) Risiko Rupture Perineum
Risiko yang ditimbulkan karena robekan perineum adalah
perdarahan. Perdarahan yang hebat dapat menyebabkan kondisi ibu
menjadi tidak berdaya, lemah, tekanan darah turun, anemia, dan berat
badan ibu turun.
5) Penanganan Rupture Perineum
Bila dijumpai robekan perineum segera dilakukan penjahitan luka
dengan baik lapis demi lapis. Tujuan penjahitan robekan perineum
adalah untuk menyatukan kembali jaringan tubuh dan mencegah
kehilangan darah yang tidak perlu.
Penanganan yang dilakukan, antara lain :
a) Melakukan penjahitan dengan cara jelujur menggunakan benang
catgut kromik
b) Memberikan anastesi lokal pada ibu saat penjahitan laserasi, dan
mengulangi pemberian anastesi jika masih terasa sakit
c) Penjahitan dimulai satu cm dari puncak luka
d) Jahit sebelah dalam ke arah luar, dari atas hingga mencapai bawah
laserasi

12
e) Pastikan jarak setiap jahitan sama dan otot yang terluka telah dijahit
f) Ikat benang dengan membuat simpul dalam vagina
g) Potong ujung benang dan sisakan 1,5 cm
h) Melakukan pemeriksaan ulang pada vagina dan anus untuk
mengetahui terabanya jahitan pada rectum karena dapat
menyebabkan fistula dan bahkan infeksi
6) Pengobatan Rupture Perineum
Pengobatan yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan
antibiotik yang cukup. Adapun perawatan luka perineum pada ibu
setelah melahirkan bertujuan untuk mengurangi rasa ketidaknyamanan ;
menjaga kebersihan ; mencegah indeksi ; dan mempercepat
penyembuhan luka.
Hal – hal yang perlu di perhatikan adalah :
a) Mencegah kontaminasi dengan rectum
b) Menangani dengan lembut jaringan luka
c) Membersihkan darah yang menjadi sumber infeksi dan bau
7) Komplikasi Rupture Perineum
Risiko komplikasi yang mungkin terjadi bila rupture perineum tidak
segera diatasi, yaitu :
a) Perdarahan
Ibu dapat meninggal karena perdarahan pasca persalinan dalam
waktu satu jam setelah melahirkan. Menilai kehilangan darah yaitu
dengan cara memantau tanda – tanda vital, mengevaluasi asal
perdarahan, serta memperkirakan jumlah perdarahan lanjutan dan
menilai tonus otot.
b) Fistula

13
Fistula dapat terjadi tanpa diketahui penyebabnya karena perlukaan
pada vagina menembus kandung kemih atau rectum. Jika kandung
kemih luka, maka air urin akan segera keluar melalui vagina. Fistula
dapat menekan kandung kemih atau rectum yang lama antara kepala
janin dann panggul, sehingga terjadi iskemia.4
b. Ruptura Serviks
c. Rupture Uteri
1) Pengertian
Rupture uteri atau robeknya dinding rahim terjadi akibat terlampauinya
daya regang miometrium. Pada bekas seksio sesarea, risiko terjadinya
rupture uteri lebih tinggi.
2) Diagnosis
a) Perdarahan intraabdominal, dengan atau tanpa perdarahan
pervaginam
b) Nyeri perut hebat (dapat berkurang setelah rupture terjadi)
c) Syok atau takikardia
d) Adanya cairan bebas intraabdominal
e) Hilangnya gerak dan denyut jantung janin
f) Bentuk uterus abnormal atau konturnya tidak jelas
g) Dapat didahului oleh lingkaran konstriksi (Bandi’s ring)
h) Nyeri raba / tekan dinding perut
i) Bagian – bagian janin mudah dipalpasi
3) Penanganan
a) Penanganan Umum
i. Berikan oksigen

4
Rochmayanti, Shinta Nur. 2019. Pijat Perineum Selama Masa Kehamilan Terhadap Kejadian Rupture
Perineum Spontan. Surabaya : Jakad Publishing

14
ii. Perbaiki kehilangan volume darah dengan pemberian infus
cairan intravena (NaCl 0,9 % atau Ringer Laktat) sebelum
tindakan pembedahan
iii. Jika kondisi ibu stabil, lakukan seksio sesarea untuk melahirkan
bayi dan plasenta
b) Penanganan Khusus
i. Jika uterus dapat diperbaiki dengan risiko operasi lebih rendah
daripada histerektomi dan tepi robekan uterus tidak nekrotik,
lakukan reparasi uterus (histerorafi). Tindakan ini
membutuhkan waktu yang lebih singkat dan menyebabkan
kehilangan darah yang lebih sedikit dibanding histerektomi.
ii. Jika uterus tidak dapat diperbaiki, lakukan histerektomi
subtotal. Jika robekan memanjang hingga serviks dan vagina,
histerektomi total mungkin di perlukan.5
3. Penyebab/Etiologi
a. Faktor Maternal :
1) Partus presipitatus yang tidak dikendalikan dan tidak ditolong
2) Partus dengan dorongan fundus yang berlebihan
3) Oedema dan kerapuhan pada perineum
4) Varikositas vulva yang melemahkan jaringan perineum
5) Arcus pubis dan pintu bawah panggul yang sempit sehingga menekan
kepala bayi ke arah posterior
6) episiotomi
b. Faktor Janin :
1) Bayi besar

5
Moegni, Endy M. 2013. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu Di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

15
2) Posisi kepala yang abnormal, misalnya presentasi muka dan occipito os
sacrumposterior
3) Presentasi bokong
4) Distosia bahu
5) Anomali congenital, seperti hydrocephalus6
4. Tanda & Gejala Robekan Jalan Lahir
5. Ciri Khas Robekan Jalan Lahir

6. Diagnosis

7. Penanganan/Tindakan

6
Widiastini, Luh Putu.2014. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Pada Ibu Bersalin Dan Bayi Baru Lahir. Bogor : In
Media

16
D. Retensio Plasenta

1. Pengertian
Retensio plasenta adalah lepas plasenta tidak bersamaan sehingga sebagian masih
melekat pada tempat implantasi menyebabkan terganggunya retraksi dan kontraksi
otot uterus sehingga sebagian pembuluh darah tetap terbuka serta menimbulkan
perdarahan. (Manuaba, 2002)

Retensio plasenta adalah tertaha atau belum lahirnya plasenta hingga melebihi 30
menit setelah bayi lahir. (Sarwanto, 2002)

Retensio plasenta yaitu plasenta dianggap retensi bila belum dilahirkan dalam batas
waktu tertentu setelah bayi lahir (dalam waktu 30 menit setelah penatallaksanaan
aktif.7
2. Penyebab / Etiologi
a. Fungsional :
1) His kurang kuat

7
Rahyani, Ni Komang Yuni, dkk. 2020. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Patologi Bagi Bidan. Yogyakarta : ANDI

17
2) Plasenta sukar lepas karena tempatnya ( insersi di sudut tuba); bentuknya
( plasenta membranasea, plasenta anularis); dan ukurannya (plasenta yang
sangat kecil).
Plasenta yang sukar lepas karena penyebab di atas disebut plasenta adhesiva
b. Patologi – anatomi :
1) Plasenta akreta
2) Plasenta inkreta
3) Plasenta perkreta8
c. Faktor ibu :
1) Grandmultipara
2) Kehamilan ganda, sehingga memerlukan implantasi plasenta yang agak luas
3) Kasus infertilitas, karena lapisan endometriumnya tipis
4) Bekas operasi pada uterus9
2.Gejala & Tanda – Tanda
a. Plasenta belum lahir dalam 30 menit
b. Adanya perdarahan segera
c. Tali pusat putus akibat traksi berlebihan
d. Inversi uteri akibat tarikan
e. Perdarahan lanjutan
f. Plasenta atau sebagian selaput plasenta lahir tidak lengkap
g. Kontraksi uterus baik namun tidak terjadi penurunan tinggi fundus10
3.Diagnosis
a. Plasenta tidak lahir spontan
Interval : maksimum 30 menit

8
Sastrawinata, Sulaiman. 2005. Ilmu Kesehatan Reproduksi : Obstetri Patologi Edisi 2. Jakarta : Buku
Kedokteran EGC
9
Manuaba, I.B.G, dkk. 2007. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta : Buku Kedokteran EGC
10
Rahyani, Ni Komang Yuni, dkk. 2020. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Patologi Bagi Bidan. Yogyakarta : ANDI

18
b. Jumlah plasenta yang lahir spontan setelah 30 menit adalah minimum.
Sedangkaan bahaya perdarahan meningkat hebat
c. Adanya ketidakyakinan apakah plasenta lengkap
d. Ibu mengalami kerusakan jaringan dan ruptura11

4.Penanganan / Tindakan
1) Regangkan tali pusat dan minta pasien untuk meneran. Bila ekspulsi tidak
terjadi, coba traksi terkontrol tali pusat
2) Pasang infuse dan masukkan oksitosin 20 unit dalam 500 cc NC/RL dengan
40 tetes per menit. Bila perlu, dikombinasikan dengan misoprostol 400 mg
rectal sebaiknya tidak menggunakan ergometrin karena kontraksi tonik yang
timbul dapat mengakibatkan plasenta terperangkap dalam kavum uteri.
3) Bila traksi terkontrol gagal untuk melahirkan plasenta, lakukan manual
plasenta secara hati – hati dan halus ( melahirkan plasenta yang melekat
secara paksa dapat menyebabkan perdarahan atau perforasi)
4) Restorasi cairan untuk mengatasi hipovolemia
5) Lakukan transfusi darah bila perlu
6) Beri antibiotik profilaksis (ampicillin 2 g IV / peroral + metronidazole 1 g
peroral)
7) Segera atasi bila terjadi komplikasi perdarahan hebat, infeksi, dan syok
neurogenik

11
Dharma, Adji, dkk. 1997. Gawat Darurat Ginekologi dan Obstetri. Jakarta : Buku Kedokteran EGC

19
DAFTAR PUSTAKA

Prawirohardjo, Sarwono.2008. Ilmu Kebidanan. Jakarta: KDT


Ika, Didie. 2016. Asuhan Kebidanan Kegawatdaruratan Maternal Neonatal . Jakarta :
Pusdik SDM Kesehatan

20

Anda mungkin juga menyukai