Anda di halaman 1dari 80

UNIVERSITAS DIPONEGORO

HALAMAN JUDUL

OPTIMASI PENENTUAN LOKASI TERMINAL BIS


DI KABUPATEN PURWOREJO PADA WILAYAH
PURWOMANGGUNG
Optimation of Determination Bus Terminal Location
in Purworejo Region towards Purwomanggung Area

TUGAS AKHIR
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik

RANI SETYANINGSIH 21010115120028


HARDY NATANAEL SIMATUPANG 21010115130136

PROGRAM SARJANA TEKNIK SIPIL


DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG
NOVEMBER 2020

i
UNIVERSITAS DIPONEGOROHALAMAN

PENGESAHAN

OPTIMASI PENENTUAN LOKASI TERMINAL BIS


DI KABUPATEN PURWOREJO PADA WILAYAH PURWOMANGGUNG
Optimation of Determination Bus Terminal Location
in Purworejo Region towards Purwomanggung Area

RANI SETYANINGSIH 21010115120028


HARDY NATANAEL SIMATUPANG 21010115130136
Semarang, 20 November 2020
Disetujui untuk ujian pedadaran

Pembimbing I Pembimbing II

Kami Hari Basuki, S.T.,M.T. Ir.Djoko Purwanto, M.S.


NIP. 197205312000031001 NIP. 196005261987101001

Mengetahui,
Ketua Program Studi S1 Teknik Sipil
Departemen Teknik Sipil
Fakultas Teknik Universitas Diponegoro

Bagus Hario Setiadji, S.T., M.T.Ph.D


NIP. 197205102001121001

ii
PERNYATAAN ORISINALITAS
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALIT
AS
OPTIMASI PENENTUAN LOKASI TERMINAL BIS
DI KABUPATEN PURWOREJO PADA WILAYAH PURWOMANGGUNG
Optimation of Determination Bus Terminal Location
in Purworejo Region towards Purwomanggung Area

Tugas Akhir ini adalah hasil karya kami sendiri,


dan semua sumber baik yang dikutip maupun yang dirujuk
telah kami nyatakan dengan benar

Nama : Rani Setyaningsih


NIM : 21010115120028

Tanda Tangan :

Tanggal : 20 November 2020

Nama : Hardy Natanael Simatupang


NIM : 21010115130136

Tanda Tangan :

Tanggal : 20 November 2020

iii
HALAMAN PENGESAHAN
HALAMAN PENGESAHAN TUGAS AKHIR
Tugas Akhir ini diajukan oleh :
Nama : Rani Setyaningsih
NIM : 21010115120028
Departemen / Program Studi : Teknik Sipil / S1
Judul Tugas Ahkir : OPTIMASI PENENTUAN LOKASI TERMINAL
BIS DI KABUPATEN PURWOREJO PADA
WILAYAH PURWOMANGGUNG. (Optimation
of Determination Bus Terminal Location in
Purworejo Regional towards Purwomanggung
Area)
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Tim Penguji dan diterima sebagai
bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik
pada Departemen Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro.

TIM PENGUJI

Ketua : Ir. E.P.F Eko Yuli Priyono, M.S. (.......................................)

Sekretaris : Kami Hari Basuki, S.T.,M.T. (.......................................)

Anggota : Ir.Djoko Purwanto, M.S. (.......................................)

Semarang, 20 November 2020


Ketua Program Studi S1 Teknik Sipil
Departemen Teknik Sipil Fakultas
Teknik Universitas Diponegoro

Bagus Hario Setiadji, S.T., M.T. Ph.D


NIP. 197205102001121001

iv
HALAMAN PENGESAHAN

Tugas Akhir ini diajukan oleh:


Nama : Hardy Natanael Simatupang
NIM : 21010115130136
Departemen / Program Studi : Teknik Sipil / S1
Judul Tugas Ahkir : OPTIMASI PENENTUAN LOKASI TERMINAL
BIS DI KABUPATEN PURWOREJO PADA
WILAYAH PURWOMANGGUNG. (Optimation
of Determination Bus Terminal Location in
Purworejo Regional towards Purwomanggung
Area)
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Tim Penguji dan diterima sebagai
bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik pada
Departemen Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro.

TIM PENGUJI

Ketua : Ir. E.P.F Eko Yuli Priyono, M.S. (.......................................)

Sekretaris : Kami Hari Basuki, S.T.,M.T. (.......................................)

Anggota : Ir.Djoko Purwanto, M.S. (.......................................)

Semarang, 20 November 2020


Ketua Program Studi S1 Teknik Sipil
Departemen Teknik Sipil Fakultas
Teknik Universitas Diponegoro

Bagus Hario Setiadji, S.T., M.T. Ph.D


NIP. 197205102001121001

v
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK

Sebagai civitas akademika Universitas Diponegoro, kami yang bertanda tangan di


bawah ini :
Nama : Rani Setyaningsih NIM. 21010115120028
Hardy Natanael Simatupang NIM. 21010115130136
Departemen : Teknik Sipil
Fakultas : Fakultas Teknik
Jenis Karya : Tugas Akhir

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada


Universitas Diponegoro Hak Bebas Royalti Noneksklusif (None-exclusive Royalty Free
Right) atas tugas akhir kami yang berjudul:
OPTIMASI PENENTUAN LOKASI TERMINAL BIS DI KABUPATEN
PURWOREJO PADA WILAYAH PURWOMANGGUNG
Optimation of Determination Bus Terminal Location
in Purworejo Region towards Purwomanggung Area

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti/Non
eksklusif ini Universitas Diponegoro berhak menyimpan, mengalih media/formatkan,
mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan mempublikasikan tugas
akhir kami selama tetap mencantumkan Nama kami sebagai penulis/pencipta dan sebagai
pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini kami buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Semarang
Pada Tanggal : 20 November 2020
Yang menyatakan,

Rani Setyaningsih Hardy Natanael Simatupang


NIM. 21010115120028 NIM. 21010115130136

vi
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
kesempatan yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan
Laporan Tugas Akhir yang berjudul “Optimalisasi Penentuan Lokasi Terminal
Bus di Daerah Purwomanggung”.

Penyusunan Tugas Akhir ini selain merupakan salah satu persyaratan yang
harus dipenuhi untuk menyelesaikan pendidikan Strata I di Fakultas Teknik
Departemen Teknik Sipil Universitas Diponegoro.
Pada kesempatan ini izinkan penulis untuk mengucapkan terima kasih dan
rasa hormat atas segala bantuan yang telah diberikan kepada penulis sehingga
dapat menyelesaikan Laporan Tugas Akhir ini, yaitu kepada:
1. Ilham Nurhuda, S.T.,M.T.,Ph.D selaku Ketua Departemen Teknik Sipil
Fakultas Teknik Universitas Diponegoro.
2. Bagus Hario Setiadji, S.T.,M.T.,Ph.D selaku Ketua Program Studi S1
Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Diponegoro.
3. Ir. Rudi Yuniarto Adi, M.T selaku Sekretaris Program Studi S1 Departemen
Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Diponegoro.
4. Kami Hari Basuki, S.T.,M.T. selaku Dosen Pembimbing I Tugas Akhir yang
telah memberikan bimbingan dan masukan berharga bagi penyusun.
5. Ir. Djoko Purwanto, M.S. selaku Dosen Pembimbing II Tugas Akhir yang
telah banyak memberikan bimbingan dan masukan berharga bagi penyusun.
6. Ir. E.P.F Eko Yuli Priyono, M.S. selaku dosen penguji siding ahkir yang turut
membantu banyak proses bimbingan pada tahap ahkir laporan.
7. Jati Utomo Dwi Hatmoko., ST., MT., MM., M.Sc., Ph.D selaku dosen wali
2232 yang telah memberikan bimbingan rencana studi kepada penulis.
8. Yohannes Inigo Wicaksono, Ir. M.S. selaku dosen wali 2236 yang telah
memberikan bimbingan rencana studi kepada penulis.
9. Seluruh dosen, staf, dan karyawan Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik
Universitas Diponegoro yang telah membantu mengurus surat perizinan dan
kepentingan administrasi.
10. Kedua orang tua dan keluarga yang telah memberikan doa dan dukungan bagi
penulis.
11. Semua teman Teknik Sipil Universitas Diponegoro angkatan 2015 yang telah
memberikan dukungan dan bantuan.
12. Serta semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan laporan ini.

Penyusunan laporan ini tidak luput dari kekurangan dan kesalahan. Oleh
sebab itu penulis memohon maaf atas hal tersebut. Penulis juga mengharapkan
kritik dan saran dari semua pihak demi perbaikan yang bersifat membangun atas
laporan ini.
Akhirnya dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih
dan semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun kita bersama.

Semarang, 20 November
2020

Rani Setyaningsih Hardy Natanael Simatupang


NIM. 21010115120028 NIM. 21010115130146
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..........................................................................................
i
LEMBAR PENGESAHAN................................................................................ ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS............................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN............................................................................ iv
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI..................................................... vi
KATA PENGANTAR........................................................................................ vii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL............................................................................................. xii
DAFTAR GAMBAR xvi
i
BAB I PENDAHULUAN................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang................................................................................... 1
1.2 Tujuan................................................................................................ 2
1.3 Manfaat Penelitian............................................................................. 2
1.4 Ruang Lingkup................................................................................... 3
1.5 Sistematika Penulisan......................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................... 5
2.1 Terminal Bis....................................................................................... 5
2.1.1 Definisi Terminal Bis.......................................................... 5
2.1.2 Terminal Bis Sebagai Simpul Sirkulasi.............................. 5
2.1.3 Klasifikasi Terminal Bis..................................................... 5
2.1.4 Tipe Terminal Bis............................................................... 6
2.1.5 Fasilitas Terminal................................................................ 6
2.1.6 Karakteristik Fisik dan Luas Terminal................................ 7
2.1.7 Pola Kegiatan Penumpang.................................................. 9
2.1.8 Pola Gerak Bus.................................................................... 10
2.1.9 Interaksi Antar Komponen.................................................. 11
2.1.10 Kriteria Penentuan Lokasi Terminal................................... 12
2.2 Transportasi Intermoda...................................................................... 16
2.2.1 Definisi Transportasi Intermoda......................................... 16
2.2.2 Definisi Terminal Intermoda............................................... 16
2.2.3 Kriteria Terminal Multimoda.............................................. 16
2.2.4 Kategori Fasilitas Intermoda............................................... 17
2.2.5 Level Integrasi..................................................................... 18
2.3 Tinjauan Jalan.................................................................................... 19
2.3.1 Penentuan Jenis Jalan Perkotaan atau Jalan Luar Perkotaan 19
2.3.2 Klasifikasi Jalan Raya......................................................... 20
2.3.3 Ruas Jalan............................................................................ 22
2.3.4 Parameter Arus Lalu Lintas................................................ 22
2.3.5 Variabel Analisis Lalu Lintas.............................................. 23
2.3.6 Tingkat Pelayanan/Kinerja Jalan......................................... 30
2.4 Tinjauan Desain Parkir....................................................................... 32
2.4.1 Definisi Parkir..................................................................... 32
2.4.2 Karakteristik Parkir............................................................. 32
2.5 Tinjauan Desain Pergerakan Kendaraan di Terminal........................ 33
2.6 Tinjauan Ekonomi.............................................................................. 34
2.6.1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)......................... 34
2.6.2 Teori Basis Ekonomi........................................................... 35
2.7 Metode Analisis Data......................................................................... 36
2.7.1 Analisis Location Quotient................................................. 36
2.7.2 Analytical Hierarcy Process................................................ 37
2.8 Penelitian Relevan.............................................................................. 46
BAB III METODOLOGI PENELITIAN....................................................... 48
3.1 Pendahuluan....................................................................................... 48
3.2 Kerangka Berpikir.............................................................................. 48
3.3 Tahapan Penelitian............................................................................. 49
3.4 Pelaksanaan Penelitian Tugas Akhir.................................................. 49
3.4.1 Persiapan............................................................................. 50
3.4.2 Identifikasi Tujuan.............................................................. 50
3.4.3 Kajian Pustaka..................................................................... 50
3.4.4 Pengumpulan Data.............................................................. 50
3.5 Analisis Data...................................................................................... 62
3.5.1 Analisis Location Quotient (LQ)........................................ 62
3.5.2 Analytical Hierarchy Process (AHP).................................. 63
3.5.3 Analisis Tingkat Pelayanan Jaringan Jalan......................... 67
3.5.4 Analisis Kebutuhan Ruang Parkir....................................... 67
BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA........................... 68
4.1 Gambaran Umum Wilayah Pengembangan Purwomanggung........... 68
4.1.1 Aspek Geografi................................................................... 68
4.1.2 Aspek Demografi................................................................ 69
4.1.3 Kebijakan Pengembangan WP Purwomanggung................ 72
4.2 Kondisi Transportasi Provinsi Jawa Tengah...................................... 74
4.2.1 Prasarana Transportasi Jalan............................................... 74
4.2.2 Prasarana Simpul Transportasi/ Terminal Tipe B............... 78
4.2.3 Jaringan Pelayanan Angkutan Jalan.................................... 80
4.2.4 Model Perkiraan Permintaan AKDP Jawa Tengah............. 81
4.2.5 Jaringan Pelayanan Angkutan Kereta Api.......................... 83
4.2.6 Rencana Pengembangan Angkutan Kawasan WP
Purwomanggung................................................................. 83
4.2.7 Peta Titik Rencana Pengembangan Terminal di Kabupaten
Purworejo............................................................................ 84
4.3 Kondisi Kinerja Lalu Lintas............................................................... 85
4.3.1 Data Geometris Ruas........................................................... 85
4.3.2 Arus Lalu Lintas.................................................................. 91
4.4 Citra Satelit Lokasi Alternatif Terminal............................................ 96
4.5 Data Trayek Angkutan Perdesaan di Kabupaten Purworejo.............. 99
4.6 Data Jarak dan Waktu Tempuh dari Lokasi Alternatif Menuju Stasiun
99
4.7 Data Jarak dan Waktu Tempuh dari Lokasi Alternatif Menuju Pasar ..............
102
4.8 Peta Tata Guna Lahan Kabupaten Purworejo.................................... 104
4.9 Data Jumlah Kendaraan Parkir di Terminal Eksisting....................... 111
4.10Peta Kejadian Banjir di Kabupaten Purworejo.................................. 111
BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN..................................................... 113
5.1 Analisis Kinerja Ruas Jalan............................................................... 113
5.1.1 Perhitungan Volume Lalu Lintas Jalan............................... 113
5.1.2 Perhitungan Kapasitas Ruang Jalan.................................... 113
5.1.3 Tingkat Pelayanan Jalan (LoS)........................................... 115
5.2 Analisis Indeks LQ (Location Quotient)............................................ 116
5.3 Analisis AHP (Analytical Hierarchy Processs)................................. 118
5.3.1 Analisis AHP Penentuan Lokasi Terminal Lingkup Makro 118
5.3.2 Analisis AHP Penentuan Lokasi Terminal Lingkup Mikro 128
5.4 Perancangan Desain Pola Parkir........................................................ 141
5.4.1 Kondisi Umum Lokasi Tapak............................................. 141
5.4.2 Alternatif Desain Layout Parkir Optimal............................ 142
5.4.3 Evaluasi Layout................................................................... 145
5.4.4 Layout Terpilih.................................................................... 146
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN.......................................................... 147
6.1 Kesimpulan........................................................................................ 147
6.2 Saran................................................................................................... 148
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... xv
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Hubungan Terminal dengan Pelayanan Angkutan Penumpang...............6


Tabel 2.2 Kebutuhan Luas Terminal........................................................................8
Tabel 2.3 Kumpulan Kajian Teoritis Kriteria Penentuan Lokasi Terminal...........12
Tabel 2.4 Klasifikasi Operasional..........................................................................22
Tabel 2.5 Ekivalensi Kendaran Ringan (ekr) untuk Jalan 2/2 TT.........................24
Tabel 2.6 Kelas Hambatan Samping......................................................................25
Tabel 2.7 Kecepatan Arus Bebas Dasar VBD Untuk Jalan Luar Kota
dengan Tipe Jalan Dua Lajur Tak Terbagi pada Alinemen Biasa.........26
Tabel 2.8 Kelas Jarak Pandang (KJP)....................................................................26
Tabel 2.9 Faktor Penyesuaian Hambatan Samping dan Lebar Bahu Terhadap
Kecepatan Arus Bebas Kr (FVB-HS) Untuk Tipe Jalan 2/2TT...............27
Tabel 2.10 Faktor Penyesuaian Akibat Kelas Fungsi Jalan dan Tata Guna
Lahan (FVB,KFJ) Terhadap Kecepatan Arus Bebas KR Untuk
Tipe Jalan 2/2TT....................................................................................27
Tabel 2.11 Kapasitas Dasar Tipe Jalan 2/2TT.......................................................28
Tabel 2.12 Kapasitas Dasar Tipe Jalan 2/2TT.......................................................28
Tabel 2.13 Faktor Penyesuaian Kapasitas Akibat Pemisahan Arah (FCPA).........29
Tabel 2.14 Faktor Penyesuaian Kapasitas Akibat Hambatan Samping (FCPA)......29
Tabel 2.15 Karakteristik Tingkat Pelayanan..........................................................30
Tabel 2.16 Kriteria Desain Pergerakan Kendaraan Umum....................................33
Tabel 2.17 Matriks Perbadingan Berpasangan......................................................42
Tabel 2.18 Skala Penilaian Perbandingan Berpasangan........................................42
Tabel 2.19 Contoh Matriks Perbandingan Berpasangan........................................43
Tabel 2.20 Nilai Indeks Random (RI)....................................................................45
YTabel 3.1 Kebutuhan Data Penelitian..................................................................53
YTabel 4.1 Data Administratif WP Purwomanggung...........................................68
Tabel 4.2 Data Demografi WP Purwomanggung..................................................70
Tabel 4.3 Pertumbuhan Ekonomi di WP Purwomanggung Tahun 2016-2018......70
Tabel 4.4 Laju Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar.........71
Tabel 4.5 Rute Jalur Arteri di Provinsi Jawa Tengah............................................74
Tabel 4.6 Panjang Jalan Menurut Kabupaten/Kota dan Tingkat
Kewenangan Pemerintahan(km) di WP Purwomanggung
Tahun 2019............................................................................................78
Tabel 4.7 Kondisi Infrastruktur Simpul Terminal Tipe B......................................79
Tabel 4.8 Rasio Naik Turun Penumpang Menurut Aktivitas Transit....................82
Tabel 4.9 Rencana Jaringan Pengembangan Angkutan Kawasan
Purwomanggung....................................................................................84
Tabel 4.10 Data Jaringan Jalan yang Melintasi Lokasi Alternatif Terminal.........89
Tabel 4.11 Data Geometri Ruas Jalan....................................................................91
Tabel 4.12 Fluktuasi Lalu Lintas Jln. Pangeran Diponegero Barat
Jam Non-Puncak Siang Arah DIY.......................................................92
Tabel 4.13 Fluktuasi Lalu Lintas Jln. Pangeran Diponegero Barat
Jam Non-Puncak Siang Arah Kabupaten Kebumen..........................93
Tabel 4.14 Fluktuasi Lalu Lintas Jln. Pangeran Diponegero Barat
Jam Puncak Sore Arah Menuju DIY..................................................94
Tabel 4.15 Fluktuasi Lalu Lintas Jln. Pangeran Diponegero Barat
Jam Puncak Sore Arah Menuju Kabupaten Kebumen........................95
Tabel 4.16 Luas Lahan Tiap Lokasi Alternatif......................................................98
Tabel 4.17 Jumlah Trayek Angkudes yang Melintasi Tiap Lokasi Alternatif.......99
Tabel 4.18 Rekapitulasi Jarak dan Waktu Terpendek Menuju Stasiun
Terdekat..............................................................................................102
Tabel 4.19 Rekapitulasi Jarak dan Waktu Terpendek Menuju Pusat Pasar
Terdekat..............................................................................................104
Tabel 4.20 Rencana Struktur Peruntukan Lahan Kawasan Kecamatan
Kutoarjo 110
YTabel 5.1 Perhitungan Arus Lalu Lintas
Siang………………………………..113
Tabel 5.2 Perhitungan Arus Lalu Lintas Sore....................................................113
Tabel 5.3 Perhitungan Kondisi Hambatan Samping pada Jam Siang................114
Tabel 5.4 Perhitungan Kondisi Hambatan Samping pada Jam Sore..................114
Tabel 5.5 Hasil Perhitungan Kinerja Jalan.........................................................116
Tabel 5.6 Hasil Perhitungan Location Quotient (LQ)........................................116
Tabel 5.7 Perbandingan Berpasangan antar Kriteria..........................................119
Tabel 5.8 Perbandingan Berpasangan Antiar Subkriteria dalam Kriteria
Kelayakan Teknis..............................................................................120
Tabel 5.9 Kondisi Eksising Jaringan Jalan di WP Purwomanggung................121
Tabel 5.10 Perbandingan Berpasangan antar Alternatif pada..............................121
Tabel 5.11 Rasio Naik Turun Penumpang..........................................................122
Tabel 5.12 Perbandingan Berpasangan Antar Alternatif pada.............................123
Tabel 5.13 Ketersediaan Stasiun KA di WP Purwomanggung............................124
Tabel 5.14 Perbandingan Berpasangan Antar Alternatif pada.............................124
Tabel 5.15 Kondisi Regulasi tiap Kabupaten di WP Purwomanggung...............125
Tabel 5.16 Perbandingan Berpasangan Antar Alternatif pada.............................126
Tabel 5.17 Perbandingan Berpasangan Antar Alternatif pada.............................127
Tabel 5.18 Hasil Perhitungan Akhir dalam Penentuan Lokasi Terminal Lingkup
Makro................................................................................................128
Tabel 5.19 Perbandingan Berpasangan antar Kriteria dalam Penentuan Lokasi
Terminal Lingkup Mikro...................................................................129
Tabel 5.20 Perbandingan Berpasangan Antar Subkriteria Kemudahan
Aksesibilitas......................................................................................130
Tabel 5.21 Perbandingan Berpasangan Antar Subkriteria Kesesuaian Lahan
dengan Rencana Pengembangan/Kinerja Jalan.................................131
Tabel 5.22 Perbandingan Berpasangan Antar Alternatif pada Subkriteria
Ketersediaan Pelayanan Angkutan....................................................132
Tabel 5.23 Perbandingan Berpasangan Antar Alternatif pada.............................133
Tabel 5.24 Perbandingan Berpasangan Antar Alternatif pada Subkriteria
Kemudahan Berpindah Moda...........................................................134
Tabel 5.25 Rekapitulasi Kinerja Jalan yang Melintasi Lokasi Alternatif............135
Tabel 5.26 Perbandingan Berpasangan Antar Alternatif pada Subkriteria
Keterhubungan dengan Jaringan Jalan..............................................135
Tabel 5.27 Perbandingan Berpasangan Antar Alternatif pada Subkriteria
Terletak dengan Jaringan Trayek Angkutan Dalam Provinsi...........136
Tabel 5.28 Perbandingan Berpasangan Antar Alternatif pada Kriteria
Ketersediaan Lahan...........................................................................137
Tabel 5.29 Perbandingan Berpasangan Antar Alternatif pada Kriteria
Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan..................................138
Tabel 5.30 Perbandingan Berpasangan Antar Alternatif pada Kriteria
Kesesuaian dengan RTRW...............................................................139
Tabel 5.31 Hasil Perhitungan Akhir dalam Penentuan Lokasi Terminal
Lingkup Mikro..................................................................................140
Tabel 5.32 Perbandingan Tiap Alternatif Menurut Kapasitas.............................145
Tabel 5.33 Perbandingan Tiap Alternatif Desain.................................................146
DAFTAR Gambar

YGambar 2.1 Mekanisme Pergerakan di Terminal Bus…………………………...


11
Gambar 2.2 Bagan Alir Proses Terminal Umum………………………………...
12
Gambar 2.3 Parkir kendaraan membentuk sudut 900…………………………….
32
Gambar 2.4 Parkir kendaraan membentuk sudut 300, 450 dan 600……………….
33
Gambar 2.5 Gambar Struktur Hirarki AHP……………………………………...
40Y
Gambar 3.1 Kerangka Berpikir Penelitian.............................................................48
Gambar 3.2 Diagram Alir Penelitian.....................................................................49
Gambar 3.3 Masa Waktu Produksi Vaksin COVID-19 dengan Asumsi
Peneliti telah Memahami COVID......................................................55
Gambar 3.4 Masa Waktu Produksi Vaksin COVID-19 dengan Asumsi
Peneliti telah Melalukan Uji Coba dengan Kecepatan Penyebaran
COVID-19..........................................................................................55
Gambar 3.5 Masa Waktu Produksi Vaksin COVID-19 dengan Asumsi
Peneliti telah Melakukan Uji Coba dengan Kecepatan Penyebaran
COVID-19..........................................................................................56
Gambar 3.6 Lokasi Titik Survei 1 di Jalan Pangeran Diponegoro Barat
di Depan Jalan Akses Terminal Purworejo........................................59
Gambar 3.7 Formulir Kuesioner Perbandingan Antara Kriteria K1
dengan Kriteria K2 dan Kriteria K3...................................................62
Gambar 3.8 Formulir Kuesioner Perbandingan Antara Kriteria K2
dengan Kriteria K3.............................................................................62
Gambar 3.9 Struktur Hirarki Penentuan Lokasi Terminal Bus|
Lingkup Makro..................................................................................63
Gambar 3.10 Struktur Hirarki Penentuan Lokasi Terminal Bus
Lingkup Makro...................................................................................64
Gambar 3.11 Diagram Alir dari Analisis AHP......................................................67
YGambar 4.1 Peta Administratif Kawasan Purwomanggung……………………..
69
Gambar 4.2 Arah Pengembangan Wilayah Purwomanggung…………………...
73
Gambar 4.3 Peta Pengelompokkan Jalan Berdasarkan Fungsi Jalan di Provinsi
Jawa Tengah……………………………………………………….. 75
Gambar 4.4 Jaringan Jalan Raya di Wilayah Kabupaten Banjarnegara,
Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Temanggung……………… 76
Gambar 4.5 Jaringan Jalan Raya di Wilayah Kabupaten Magelang, Kabupaten
Kebumen dan Kabupaten Purworejo………………………………. 77
Gambar 4.6 Peta Jaringan Trayek Bus AKDP di Provinsi Jawa Tengah………...
IV-80
Gambar 4.7 Jaringan Trayek AKDP Purwomanggung…………………………..
81
Gambar 4.8 Model Perkiraan Permintaan AKDP di WP Purwomanggung
Tahun 2016………………………………………………………… 82
Gambar 4.9 Peta Jaringan Stasiun Provinsi Jawa Tengah………………………..
83
Gambar 4.10 Rencana Lokasi Terminal Menurut Dishub Purworejo……………
85
Gambar 4.11 Letak Lokasi Alternatif Terminal Terhadap Jaringan Jalan……….
86
Gambar 4.12 Letak Lokasi 1, 2 dan 3 Terhadap Jaringan Jalan
(Ukuran Diperbesar)............................................................................86
Gambar 4.13 Letak Lokasi 4 Terhadap Jaringan Jalan (Ukuran Diperbesar)........87
Gambar 4.14 Street View Jalan Pangeran Diponegoro Barat……………………
87
Gambar 4.15 Street View Jalan Bayem………………………………………….
88
Gambar 4.16 Street View Jalan Maron – Purworejo…………………………….
88
Gambar 4.17 Potongan Melintang Jln. Pangeran Diponegoro Barat……………
90
Gambar 4.18 Potongan Melintang Jln. Maron – Purworejo……………………
90
Gambar 4.19 Potongan Melintang Jln. Bayem…………………………………
91
Gambar 4.20 Diagram Pie Komposisi Lalu Lintas Jam Non-Puncak Siang
Arah Provinsi DIY……………………………………………….. 93
Gambar 4.21 Diagram Pie Komposisi Lalu Lintas Jam Non-Puncak Siang
Arah Kabupaten Kebumen……………………………………….. 94
Gambar 4.22 Diagram Pie Komposisi Lalu Lintas Jam Puncak Sore Arah
Provinsi DIY……………………………………………………... 95
Gambar 4.23 Diagram Pie Komposisi Lalu Lintas Jam Puncak Sore Arah
Kabupaten Kebumen……………………………………………... 96
Gambar 4.24 Citra Satelit Lokasi 1…………………………………………….. 96
Gambar 4.25 Citra Satelit Lokasi 2……………………………………………. 97
Gambar 4.26 Citra Satelit Lokasi 3……………………………………………. 97
Gambar 4.27 Citra Satelit Lokasi 4……………………………………………. 98
Gambar 4.28 Rute Perjalanan dari Lokasi 1 Menuju Stasiun Kutoarjo..............100
Gambar 4.29 Rute Perjalanan dari Lokasi 2 Menuju Stasiun Kutoarjo..............100
Gambar 4.30 Rute Perjalanan dari Lokasi 3 Terhadap Stasiun Kutoarjo...........101
Gambar 4.31 Rute Perjalanan dari Lokasi 4 Terhadap Stasiun Purworejo.........101
Gambar 4.32 Rute Perjalanan dari Lokasi 1 Menuju Pasar Kutoarjo.................102
Gambar 4.33 Rute Perjalanan dari Lokasi 2 Menuju Pasar Kutoarjo.................103
Gambar 4.34 Rute Perjalanan dari Lokasi 3 Menuju Pasar Kutoarjo.................103
Gambar 4.35 Rute Perjalanan dari Lokasi 4 Menuju Pasar Baledono
Purworejo........................................................................................104
Gambar 4.36 Peta Tata Guna Lahan Kecamatan Purworejo................................105
Gambar 4.37 Peta Penggunaan Lahan di Kecamatan Kutoarjo (Blok II-A)........107
Gambar 4.38 Konsep Komponen Perancangan Kawasan Kecamatan Kutoarjo
(Mikro)............................................................................................108
Gambar 4.39 Peta Kejadian Bencana Banjir Kabupaten Purworejo...................111
ABSTRAK

Pembangunan infrastruktur terminal dapat menjadi solusi penguatan


daya dukung transportasi. Agar terminal dapat tepat guna, maka
dibutuhkan analisis penentuan lokasi dengan menggunakan metode
Analytic Hierarchy Process dan analisis ruang parkir. Metode ini
bertujuan untuk menentukan prioritas lokasi terbaik dalam lingkup makro
dan mikro berdasarkan kriteria dan keputusan yang mempengaruhi
pembobotan. Pengambilan keputusan diperoleh dari hasil survei kuisioner
yang diberikan kepada pihak Bappeda, Dinas Perhubungan, dan ahli
transportasi. Adapun kriteria yang digunakan mengacu pada hasil
gabungan dari aspek normatif, aspek perencanaan wilayah dan aspek
ekonomis. Hasil pembobotan penentuan lokasi terminal lingkup makro
menunjukkan bahwa Kabupaten Purworejo mendapatkan prioritas pertama
(28.2%), Kota Magelang dengan prioritas kedua (23.3%), Kabupaten
Magelang dengan prioritas ketiga (19.1%), Kabupaten Temanggung
dengan prioritas keempat (17.2%) dan Kabupaten Wonosobo dengan
prioritas kelima (12.2%). Sedangkan hasil pembobotan penentuan lokasi
terminal dalam lingkup mikro menunjukkan bahwa lokasi alternatif 2 di
Kecamatan Kutoarjo mendapat prioritas tertinggi (26.7%), lokasi alternatif
4 dengan prioritas kedua (26.3%), lokasi alternatif 1 dengan prioritas
ketiga (25.5%) dan lokasi alternatif 3 dengan prioritas keempat (21,5%).
Layout parkir terpilih adalah layout dengan tiga keunggulan yaitu
kemudahan untuk mengakses jalan masuk dan jalan keluar bagi kendaraan
umum, kelancaran sirkulasi kendaraan, jalur masuk yang dibedakan antara
kendaraan umum dan pribadi. Desain ini dapat mengakomodasi kebutuhan
parkir untuk 20 bus, 60 motor dan 34 mobil dengan luas sebesar 1365 m2.

Kata kunci: Transportasi, terminal, Analytic Hierarchy Process,


parkir.
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Kemakmuran suatu bangsa dapat dicapai dengan tiga hal berikut, tanah yang
subur, kerja keras dan kelancaran tranportasi orang dan/atau barang dari suatu
wilayah menuju wilayah yang lain [ CITATION Sch74 \l 1057 ]. Tanah yang
subur hanya dapat berguna bila dikerjakan dan dimanfaatkan secara tepat. Sumber
daya alam dapat dimanfaatkan secara baik bila sumber daya manusianya memiliki
kom-petensi yang baik untuk mengelolanya. Semua potensi tersebut
membutuhkan ker-ja keras sehingga dapat menyejahterakan masyarakat. Tentunya
upaya untuk menyejahterakan masyarakat perlu didukung oleh sistem transportasi
yang baik.
Transportasi merupakan interaksi antara sarana, prasarana dan manusia
sehingga membentuk suatu sistem yang saling bergantung dan terkait dalam
rangka menggerakkan/memindahkan penumpang dan barang dari satu tempat ke
tempat yang lain[ CITATION Muj02 \l 1057 ]. Keharmonisan komponen dalam
sistem transportasi diharapkan mampu mewujudkan sistem transportasi yang
handal, lancar, aman, nyaman dan efisien.
Berdasarkan prinsip studi transportasi mula-mula, pergerakan di tiap
wilayah memiliki karakteristik yang berbeda. Karakteristik pergerakan di wilayah
perkotaan tentunya berbeda dengan wilayah perdesaan. Karakteristik pergerakan
dipengaruhi oleh lokasi, sosial masyarakat, kebutuhan perjalanan yang berkaitan
dengan freku-ensi, jarak dan moda perjalanan, karakteristik jumlah kepemilikan
kendaraan serta penggunaan transportasi dalam perilaku mobilitas (Leinbach,
1983). Pergerakan itu seharusnya diimbangi dengan peningkatan sarana dan
prasarana tranportasi
Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah menyatakan ada empat
komponen yang di-perlukan untuk mendukung pencapaian pengembangan
tersebut. Komponen pertama meliputi peningkatan kapasitas kelembagaan.
Komponen kedua mendorong partisipasi lokal dalam perekonomian sektor wisata.
Komponen ketiga adalah peningkatan lingkungan yang kondusif untuk masuknya
investasi swasta. Komponen terakhir adalahpeningkatan kualitas jalan dan akses
pelayanan dasar.
Pelayanan dasar merupakan pelayanan publik untuk memenuhi kebutuhan
dasar negara. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2018, pelayanan
dasar melingkupi beberapa hal, yakni pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum dan
pena-taan ruang, perumahan rakyat dan kawasan pemukiman, ketentraman dan
sosial. Pada bidang pekerjaan umum dan penataan ruang, kebutuhan infrastruktur
dasar meliputi penyediaan dan pengembangan sarana dan prasarana transportasi
angkutan jalan, sungaidanau dan penyebrangan, angkutan laut, angkutan udara
dan angkutan kereta api.
Sesuai dengan arah pengembangan WP Purwomanggung menurut Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Jawa Tengah Tahun 2018-
2023, salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah pengembangan dalam bidang
trans-portasi darat. Pengembangan prasarana dan sarana transportasi darat lebih
men-dominasi dibandingkan dengan transportasi laut dan udara di daerah
Jawa[CITATION Asi12 \l 1057 ]. Sehingga upaya yang diperlukan untuk
meningkatkan konektivitas wilayah di daerah adalah dengan membangun terminal
tipe B. Dalam membangun terminal, diperlukan suatu analisis yang memadai
sehingga fasilitas itu secara tepat sasaran dapat meningkatkan daya dukung
transportasi dalam pengembangan kepariwisatawan Indonesia.

I.2 Tujuan
Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Menentukan lokasi terminal dalam lingkup makro (WP Purwomanggung)
dan lingkup mikro/regional melalui penilaian kriteria dan subkriteria yang
dipakai.
2. Merencanakan pola (layout) dan sirkulasi kendaraan terminal bis.
3. Mengetahui kebutuhan luas ruang parkir terminal.

I.3 Manfaat Penelitian


Adapun manfaat yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Menambah wawasan dalam penentuan lokasi terminal menggunakan me-


tode Analytical Hierarchy Process.
4. Menjadi bahan pertimbangan untuk penelitian selanjutnya.

I.4 Ruang Lingkup


Secara umum, ruang lingkup penelitian ini meliputi:
1. Ruang Lingkup Wilayah
Ruang lingkup wilayah dalam pemilihan lokasi terminal antara lain
Kabupaten Purworejo, Wonosobo, Magelang, Kota Magelang dan
Kabupa-ten Temanggung.
5. Ruang Lingkup Materi
Ruang lingkup materi penelitian ini meliputi beberapa bagian, yaitu:
a. Penelitian ini mempertimbangkan parameter yang mempengaruhi
lokasi penetapan terminal menurut aspek yang berkaitan dengan hal
tersebut.
b. Perhitungan pembobotan parameter menggunakan metode AHP
dengan bantuan aplikasi Expert Choice.
c. Perhitungan pembobotan alternatif didasarkan atas hasil analisis man-
diri.
I.5 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam laporan penelitian ini adalah sebagai berikut:


BAB I PENDAHULUAN
Bab ini merupakan pendahuluan dalam panyajian laporan tugas akhir. Bab
ini membahas tentang latar belakang, tujuan penelitian, manfaat penelitian, ruang
lingkup dan sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini memuat literatur yang relevan dengan penulisan laporan tugas akhir.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Bab ini menjelaskan tentang proses pemecahan masalah dengan menggu-
nakan teori yang telah diterangkan dalam tinjauan pustaka. Bab ini akan
membahas kerangka dan prosedur dalam penelitian.
BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA
Bab ini membahas tentang pengumpulan dan pengolahan data. Data yang
dikumpulkan adalah data yang berkaitan erat dengan analisis pengambilan kepu-
tusan untuk menentukan lokasi terminal.

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN


Bab ini menguraikan analisis perhitungan dari hasil survei primer berupa
kuesioner dari responden sebagai acuan penentuan bobot dari kriteria penentuan
terminal didukung dengan hasil analisis data yang berhubungan dengan perban-
dingan tiap alternatif. Bagian ini juga membahas tentang analisis perencanaan
layout dan pola sirkulasi kendaraan serta analisis kebutuhan ruang parkir dari ter-
minal.
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini memberikan kesimpulan dan saran yang diperoleh dari hasil
penelitian.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Terminal Bis

II.1.1 Definisi Terminal Bis


Menurut SK Bersama Mentri Perhubungan dan Mentri Dalam Negeri No.
81 Tahun 1976, terminal bis adalah prasarana angkutan jalan yang berfungsi
untuk mengatur kedatangan, keberangkatan, sebagai tempat berpangkalnya bis,
memuat serta menurunkan penumpang dan barang.

II.1.2 Terminal Bis Sebagai Simpul Sirkulasi


Menurut [ CITATION Sul931 \l 1057 ], simpul sirkulasi adalah titik
persinggungan pada sistem transportasi jalan raya antar kota. Terminal bis
berperan baik sebagai simpul sirkulasi antar regional dan juga lokal. Oleh karena
adanya kebutuhan sarana pengendali pada titik kritis antara transportasi lokal dan
regional maka keberadaan terminal bis sangat diperlukan.

II.1.3 Klasifikasi Terminal Bis


Menurut [ CITATION Har761 \l 1057 ], terminal bis dapat diklasifikasikan
menjadi lima jenis, yakni:
1. Halte sebagai tempat bagi penumpang untuk menunggu bis. Halte ditem-
patkan pada sepanjang jalur trayek dengan mempertimbangkan jarak peja-
lan kaki untuk mencapai tempat aktivitas penduduk. Keberadaan halte sa-
ngat diperlukan pada sistem angkutan bis perkotaan.
6. Terminal transit adalah terminal yang terletak di antara terminal asal dan
tujuan perjalanan pada sistem angkutan bis antar kota.
7. Terminal induk adalah terminal yang berfungsi sebagai tempat asal dan
tujuan perjalanan pada sistem angkutan bis.
8. Terminal bis kota adalah terminal yang merupakan tempat asal dan tujuan
perjalanan pada sistem angkutan bis kota.
9. Terminal gabungan adalah terminal yang melayani perpindahan trayek da-
lam kota ke trayek antar kota dan sebaliknya.
II.1.4 Tipe Terminal Bis
Menurut Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia No. 132
Tahun 2015 tentang penyelenggaraan terminal penumpang angkutan jalan,
terminal bis dapat dikelompokkan menjadi beberapa tipe, yakni:
1. Tipe A, merupakan terminal yang memiliki peran utama dalam melayani
kendaraan umum untuk angkutan lalu lintas batas negara dan/atau
angkutan antarkota antarprovinsi yang dipadukan dengan pelayanan
angkutan antar-kota dalam provinsi, angkutan perkotaan dan/atau
angkutan perdesaan.
10. Tipe B, merupakan terminal yang memiliki peran utama dalam melayani
kendaraan umum untuk angkutan antarkota dalam provinsi yang
dipadukan dengan pelayanan angkutan perkotaan dan/atau angkutan
perdesaan
11. Tipe C, merupakan terminal yang memiliki peran utama dalam melayani
kendaraan umum untuk angkutan perkotaan maupun perdesaan.

Secara lebih jelas, hubungan terminal dengan pelayanan angkutan penum-


pang dapat dilihat pada Tabel 2.1
Tabel 2. Hubungan Terminal dengan Pelayanan Angkutan Penumpang

No. Pelayanan Angkutan Tipe Terminal Trayek


A:Pemberangkatan-Persinggahan-
1 Lintas Batas Negara
Tujuan
Antar Kota Antar B:Pemberangkatan-Persinggahan-
2
Provinsi Tujuan
Antar Kota Dalam A&B:Pemberangkatan-
3
Provinsi Persinggahan-Tujuan
Utama
4 Kota Cabang
Ranting
C:Pemberangkatan-Persinggahan-
5 Pedesaan
Tujuan
Sumber: (Departemen Perhubungan, 1996)

II.1.5 Fasilitas Terminal


Berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 31 Tahun 1995
tentang terminal transportasi jalan bagian kedua (pasal 3,4 dan 5), fasilitas
terminal dapat dijabarkan menjadi 2 (dua) yaitu:
1. Fasilitas utama terminal
Fasilitas utama adalah bagian terpenting dalam terminal yang terdiri dari
delapan komponen. Komponen pertama adalah jalur keberangkatan bagi
kendaraan umum yang berguna untuk menaikkan penumpang serta
memulai perjalanan. Komponen kedua adalah jalur kedatangan bagi
kendaraan umum yang berguna untuk menurunkan penumpang serta
mengakhiri perja-lanan. Komponen ketiga adalah tempat tunggu bagi
penumpang dan pe-ngantar yang berfungsi sebagai tempat pelataran bagi
penumpang untuk menunggu dan melanjutkan perjalanan dengan angkutan
penumpang um-um. Komponen selanjutnya adalah area parkir moda
transportasi, menara pengawas, loket penjualan karcis dan rambu serta
papan informasi yang memberikan petunjuk jurusan, tarif dan jadwal
perjalanan.
12. Fasilitas penunjang dalam terminal
Fasilitas ini merupakan pelengkap dari fasilitas utama. Fasilitas ini terdiri
atas toilet, mushola, kios/kantin, ruang pengobatan, ruang informasi termi-
nal, telepon umum, tempat penitipan barang, taman, bengkel, peron dan
ka-wasan parkir kendaraan pribadi.
Di samping kedua jenis fasilitas itu, terdapat fasilitas bagi kaum difabel
yang dikhususkan pada area ruang tunggu, loket penjualan karcis, toilet dan
telepon umum.

II.1.6 Karakteristik Fisik dan Luas Terminal


Menurut Dirjen Perhubungan Darat Tahun 1995, karakteristik fisik dan
pemakai serta kebutuhan luas terminal penumpang berdasarkan tipe dan fungsinya
dapat dilihat pada Tabel 2.2 di halaman selanjutnya.
Tabel 2. Kebutuhan Luas Terminal
Tipe
Tipe B Tipe C Satuan
A
A. Kendaraan
Ruang parkir:
AKAP 1120
AKDP 540 540
ANGKOT 800 800
ADES 900 900 900
Kendaraan Pribadi 600 500 200
Ruang Service 500 500 - M2
Pompa bensin 500 - -
Sirkulasi kendaraan 3960 2740 1110
Bengkel 150 100 -
Ruang Istirahat 50 40 30
Gudang 25 20
Peralatan parkir cadangan 1980 1370 550
B. Pemakai Jasa
Ruang tunggu 2625 2250 480
Sirkulasi kendaraan 1050 900 192
Kamar mandi/WC 72 60 40 M2
Kios/Kantin 1575 1350 288
Mushola/Masjid 72 60 40
C. Operasional
Ruang administrasi 78 59 39
Ruang pengawas 23 23 16
Loket 3 3 2
Peron 4 4 3
M2
Retribusi 6 6 6
Ruang informasi 12 10 8
Ruang pertolongan pertama 45 30 15
Ruang perkantoran 150 100
D. Ruang luar (tidak
efektif)
Luas total 23494 17225 5463
Cadangan perkembangan 23494 17225 5463 M2
Kebutuhan lahan 46988 34510 10926
Kebutuhan lahan untuk desain 4.7 3.5 1.1 Ha
Sumber: (Dirjen Perhubungan Darat, 1994)

II.1.7 Pola Kegiatan Penumpang


Menurut [ CITATION Sul931 \l 1057 ], pola kegiatan penumpang
dipengaruhi oleh jarak tempuh perjalanan dan jumlah bus yang tersedia. Semakin
besar jarak tempuh yang diperlukan penumpang untuk mencapai kota tujuan maka
semakin lama waktu tunggu penumpang. Semakin banyak bis yang tersedia pada
suatu trayek maka semakin pendek waktu tunggu penumpang untuk mendapatkan
armada bis. Pola kegiatan penumpang secara umum dapat dibagi menjadi:
1. Pola kegiatan pendek
Pola ini tidak membuat penumpang menunggu lama di dalam terminal.
Hal ini terjadi karena penumpang hanya melakukan perjalanan jarak dekat
se-hingga penumpang tidak melakukan kegiatan lain selain mencari
angkutan. Rincian dari pola ini adalah sebagai berikut:
a. Penumpang datang
Penumpang yang dari luar kota biasanya tidak melakukan banyak
kegiatan di dalam terminal tujuan. Sesampai mereka di terminal
tujuan, penumpang segera melanjutkan perjalanan ke kota
menggunakan bis kota, kenda-raan umum lainnya atau kendaraan
pribadi.
d. Penumpang berangkat
Penumpang yang datang dari dalam kota segera menuju keluar kota.
Umumnya penumpang mencari bis yang langsung berangkat menuju
kota tujuan sehingga tidak ada kegiatan tambahan yang dilakukan
dalam terminal.
e. Penumpang transit
Penumpang jenis ini beranggapan bahwa terminal yang disinggahi bu-
kan tujuan akhir sehingga penumpang yang transit di terminal hanya
melakukan keperluan kecil di dalam terminal.
f. Penumpang estafet
Penumpang tipe ini adalah penumpang yang mengejar waktu. Penum-
pang ini cenderung untuk beralih kepada bis yang lebih cepat
berangkat di terminal.

13. Pola kegiatan panjang


Pola ini memiliki karakteristik penumpang memiliki masa tunggu yang
lebih lama dibandingkan pola kegiatan pendek. Rincian dari pola ini
adalah sebagai berikut:
a. Penumpang datang
Penumpang sampai di dalam terminal dalam kondisi yang letih dan
sehingga penumpang memerlukan istirahat sejenak, makan, minum
atau ke kamar kecil. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan
mengguna-kan kendaraan angkutan kota.
b. Penumpang berangkat
Umunya penumpang datang setengah jam sebelum keberangkatan se-
hingga mereka cenderung melakukan kegiatan seperti mencari
informa-si, makan, minum dan lainnya
c. Penumpang estafet
Kegiatan yang dilakukan hampir sama dengan penumpang dengan
jarak yang pendek, namun jenis kegiatannya lebih santai.

II.1.8 Pola Gerak Bis


Perbedaan antara pola gerak bis antara angkutan jarak jauh dan pendek tidak
begitu banyak. Pihak pengelola angkutan bis jarak jauh umumnya melakukan
persiapan sebelum berangkat di luar terminal dan saat selesai menurunkan penum-
pang maka mereka langsung keluar dari terminal. Adapun rincian kegiatannya
ada-lah sebagai berikut.
1. Bis datang
Untuk bis jarak dekat, sesaat bis memasuki terminal, bis langsung menuju
peron penurunan, baik untuk bis jarak jauh dan dekat. Setelah menurunkan
penumpang maka bis menuju parkir cadangan atau melakukan perbaikan
ringan. Akan tetapi untuk bis jarak jauh, angkutan tersebut langsung me-
nuju keluar terminal atau diparkirkan di dalam terminal untuk diperbaiki.
14. Bis berangkat
Angkutan bis jarak jauh biasanya sudah dipersiapkan di luar terminal se-
dangkan untuk bis jarak dekat, kendaraan kadang-kadang dipersiapkan di
kawasan parkir cadangan.

II.1.9 Interaksi Antar Komponen


Berdasarkan penjelasan dari tiap komponen bis dan penumpang, maka
mekanisme secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Sumber: [ CITATION Mor88 \l 1057 ]

Gambar 2. Mekanisme Pergerakan di Terminal Bis


Adapun proses yang terinci pada suatu terminal penumpang dapat dilihat
pada Gambar 2.2.
Sumber: [ CITATION Mor88 \l 1057 ]
Gambar 2. Bagan Alir Proses Terminal Umum

II.1.10 Kriteria Penentuan Lokasi Terminal


Kriteria penentuan lokasi terminal yang didasarkan atas aspek normatif,
perencanaan wilayah dan ekonomis dapat dilihat pada Tabel 2.3.
Tabel 2. Kumpulan Kajian Teoritis Kriteria Penentuan Lokasi Terminal
No
Sumber Teori
.
Terminal merupakan elemen dalam sistem trans-
portasi. Terminal berkaitan dengan pola jaringan
jalan dan sistem pergerakan dalam kota.

Lokasi terminal dipengaruhi oleh konsep pelayanan


1. (Edward, 1992).
angkutan umum dalam suatu kota. Hal itu menye-
babkan lokasi terminal dapat ditempatkan pada lo-
kasi akhir trayek angkutan umum, persimpangan
tra-yek atau sepanjang trayek perjalanan

Lokasi terminal dapat ditinjau dengan


(Dirjen Perhubungan menggunakan dua model, yakni model nearside
2.
Darat, 1993). terminating dan model central terminating
Tabel 2.3 Kumpulan Kajian Teoritis Kriteria Penentuan Lokasi Terminal (Lanjutan)
No
Sumber Teori
.
Model central terminating terletak di tengah kota
dan biasanya merupakan terminal terpadu.
Konsep ini memiliki keuntungan di antaranya:
1. Letaknya relatif dekat dengan pusat aktivi-
tas, sehingga berpotensi sebagai titik pem-
bangkit dan penarik perjalanan.
2. Mengurangi transfer, karena distribusi per-
jalanan ke seluruh bagian kota dapat dilaku-
kan langsung dari terminal tersebut.
3. Mudah dicapai oleh penumpang.

Kelemahan model ini adalah ketiadaan pemisah


antara arus lokal dan regional sehingga dapat me-
munculkan konflik dalam lalu lintas.
(Dirjen Perhubungan
2. Model nearside terminating memungkinkan ter-
Darat, 1993).
minal untuk dikembangkan di pinggir kota serta
me-mungkinkan terminal untuk melayani
pergerakan angkutan kota yang berasal dan berakhir
di terminal yang ada.
Model nearside terminating berusaha untuk memi-
sahkan lalu lintas regional dan lokal sehingga itu
dapat memecahkan permasalahan lalu lintas dalam
kota. Model nearside terminating dapat dikem-
bangkan dengan beberapa pertimbangan, yaitu:
1. Ketersediaan lahan yang luas di pinggiran
kota.
2. Tingkat aktivitas di pinggiran kota yang
tidak padat.
3. Pengurangan tumpah tindih perjalanan.

Penentuan lokasi terminal penumpang dilakukan


Menurut Keputusan
dengan memperhatikan rencana kebutuhan lokasi
Menteri
3. simpul yang merupakan bagian dari rencana umum
Perhubungan No. 31
jaringan transportasi.
tahun 1995 Pasal 9,
Lokasi terminal, baik Tipe A, Tipe B, maupun Tipe
Menurut Keputusan C ditetapkan dengan memperhatikan:
Menteri
4. 1. Rencana Umum Tata Ruang
Perhubungan No. 31
tahun 1995 Pasal 10 2. Kepadatan lalu lintas dan kapasitas jalan di
Tabel 2.3 Kumpulan Kajian Teoritis Kriteria Penentuan Lokasi Terminal (Lanjutan)
No
Sumber Teori
.
sekitar terminal.
Menurut Keputusan 3. Keterpaduan moda transportasi baik intra
Menteri maupun antarmoda.
4.
Perhubungan No. 31 4. Kondisi topografi lokasi terminal.
tahun 1995 Pasal 10 5. Kelestarian lingkungan

Pembangunan terminal penumpang harus


Menurut Keputusan dilengkapi dengan:
Menteri
5. Perhubungan No. 31 1. Rancang bangun terminal.
tahun 1995 Pasal 15 2. Analisis dampak lalu lintas.
(1), 3. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.

Rancangan Peraturan Simpul Terminal Penumpang Tipe B


Menteri
Perhubungan 1. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan
Tentang Tata Cara Angkutan Jalan Provinsi;
6. dan Kriteria 2. Rencana Umum Jaringan Trayek;
Penetapan Simpul 3. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi; dan
dan lokasi terminal pengembangan jaringan trayek Angkutan
dalam Pasal 3 ayat 1 Antar Kota Dalam Provinsi
huruf b
Terminal Penumpang Tipe B ditetapkan dengan
kriteria:
1. Berada pada Pusat Kegiatan Wilayah
Rancangan (PKW).
Keputusan Menteri 2. Terdapat pergerakan orang menurut asal tu-
7.
Perhubungan dalam juan antarkota dalam provinsi.
ayat (1) 3. Dapat berada pada lokasi yang memung-
kinkan perpindahan moda transportasi
sesuai dengan kebutuhan.

Kriteria terminal lokasi terminal penumpang


1. Tingkat aksesibilitas pengguna jasa angku-
tan;
2. Kesesuaian lahan dengan rencana tata ruang
Rancangan wilayah nasional, rencana tata ruang wila-
8. Keputusan Menteri yah provinsi, rencana tata ruang wilayah
Perhubungan kabupaten/kota;
3. Kesesuaian lahan dengan rencana pengem-
bangan dan/atau kinerja jaringan jalan dan
jaringan trayek;
4. Kesesuaian dengan rencana pengembangan
Tabel 2.3 Kumpulan Kajian Teoritis Kriteria Penentuan Lokasi Terminal (Lanjutan)
No
Sumber Teori
.
dan/atau pusat kegiatan;
5. Keserasian dan keseimbangan dengan kegi-
atan lain;
Rancangan 6. Permintaan angkutan;
8. Keputusan Menteri 7. Kelayakan teknis, finansial dan ekonomi;
Perhubungan 8. Keamanan dan keselamatan lalu lintas dan
angkutan jalan; dan
9. Kelestarian fungsi lingkungan hidup

Tingkat aksesibilitas pengguna jasa angkutan ditin-


jau dari kriteria:
1. tersedia pelayanan angkutan umum yang
Rancangan me-madai dan memenuhi standar pelayanan
Keputusan Menteri mi-nimal;
9. 2. berada pada pusat kegiatan dan/atau pusat
Perhubungan Pasal
14 (a) bangkitan perjalanan angkutan orang; dan/
atau berada pada lokasi yang
memungkinkan perpindahan moda
transportasi.

Rancangan Kesesuaian lahan pada lokasi terminal tipe B ter-


Keputusan Menteri letak pada lahan yang sesuai dengan: Rencana Tata
10.
Perhubungan Pasal Ruang Wilayah Provinsi; dan Rencana Tata Ruang
14 (b) Wilayah Kabupaten/Kota.
Kesesuaian lahan dengan rencana pengembangan
dan/atau kinerja jaringan jalan dan jaringan trayek
didasarkan atas kriteria untuk Lokasi Terminal Tipe
Rancangan B:
Keputusan Menteri
11. 1. Terhubung dengan jalan arteri atau kolektor;
Perhubungan Pasal
14 (c) dan
2. Terletak dalam jaringan trayek antar kota
dalam provinsi.

Bappeda (Laporan
Evaluasi Penentuan lokasi terminal dari aspek ekonomi
12. Pembangunan didasarkan pada perhitungan indikator kinerja pem-
Bidang Tranpsortasi bangunan transportasi.
di Indonesia)
Tabel 2.3 Kumpulan Kajian Teoritis Kriteria Penentuan Lokasi Terminal (Lanjutan)
No
Sumber Teori
.
Indikator yang termasuk dalam makro ekonomi
adalah nilai
12. World Bank 1. PDRB
2. Penyerapan tenaga kerja. Indikator mikro
ekonomi.

Sumber: (Hasil Sintesis, 2020)

II.2 Transportasi Intermoda

II.2.1 Definisi Transportasi Intermoda


Transportasi intermoda adalah pergerakan barang dalam satu unit di antara
titik awal dan titik tujuan, dimana pergerakan tersebut dipindahkan setidaknya
menggunakan dua moda transportasi[ CITATION Kon08 \l 1033 ].
Transportasi intermoda juga berarti tempat pengangkutan orang atau barang
dari asalnya ke tujuannya dengan menggunakan setidaknya dua moda transportasi
dan pemindahan dari satu moda ke moda berikutnya dilakukan di terminal antar
moda [ CITATION Cra05 \l 1057 ].

II.2.2 Definisi Terminal Intermoda


Terminal intermoda adalah tempat penghubung yang melayani perpindahan
penumpang antar moda dan mampu meningkatkan jumlah penumpang dan kon-
solidasi sistem transpotasi umum. [ CITATION Els14 \l 1033 ].

II.2.3 Kriteria Terminal Multimoda


Menurut Transit Cooperative Research Program (TCRP). Sebuah stasiun
terpadu/ multi-moda/ transportation hub harus memenuhi beberapa kriteria, yaitu:

1. Memberikan kenyamanan, keamanan dan kemudahan akses bagi pengguna


moda transportasi.
15. Mempermudah perpindahan moda transportasi.
16. Akses pejalan kaki menjadi landasan dalam perancangan terminal inter-
moda.
17. Memaksimalkan aksesibilitas bagi pejalan kaki menuju moda transportasi.
18. Menyediakan kebutuhan kawasan, pengguna, termasuk penumpang lanjut
usia dan kaum difabel.
19. Mampu menjadi penghubung antar moda transportasi.
20. Terminal memiliki fasilitas kegiatan penunjang, utama dan servis.

II.2.4 Kategori Fasilitas Intermoda


Bentuk dari fasilitas intermoda bervariasi berdasarkan karakteristik lokasi,
jenis moda transportasi yang dilayani dan juga karakteristik penumpang. Terminal
intermoda berkaitan dengan beberapa faktor seperti: terminal antarkota, pusat
transit komuter, interchange, park and ride dan fasilitas jalan.
Faktor lain yang perlu dipertimbangkan adalah konektivitas angkutan antar
moda. Konektivitas dapat diukur dengan menghitung jumlah penumpang yang
dila-yani dalam beberapa moda transpotasi. Tentunya pelayanan setiap moda
trans-portasi berlangsung secara terpisah. Menurut [ CITATION Gol11 \l 1057 ],
beberapa kriteria yang termasuk dalam fasilitas tersebut antara lain:

1. Semua moda transportasi melayani bangunan terminal yang sama.


21. Melayani fasilitas yang berada dalam blok yang sama.
22. Melayani fasilitas di blok yang berdekatan namun tidak melewati jalan
utama dipersimpangan yang tidak dilindungi.
23. Terletak di bangunan yang terpisah lebih dari satu blok tetapi dihubungkan
oleh struktur tertutup.
Menurut [ CITATION Aru04 \l 1057 ], berikut ini adalah bebe-rapa kategori
fasilitas intermoda.
1. Stasiun antar kota
Melayani penumpang yang melakukan perjalanan antar kota. Karakteristik
utamanya adalah waktu tunggu yang lama dan tidak mengalami fluktuasi
la-lu lintas sepanjang hari.
2. Pusat transit komuter
Pusat transit komuter melayani perjalanan dari pusat kota ke daerah
sekitar-nya dan sebaliknya. Sebagian besar pengguna adalah penumpang
regular yang membutuhkan aksesibilitas tingkat lanjut dan waktu
perjalanan mini-mum. Karakteristik utamanya adalah permintaan yang
bervariasi pada siang hari dan perlunya proses transfer antar moda yang
cepat dan nyaman. Desain difokuskan terhadap fasilitas yang melindungi
dari cuaca (tempat pe-nampungan) dan pada fasilitas yang meningkatkan
jalur pejalan kaki.
3. Interchange
Interchange adalah fasilitas antar moda yang dibangun di titik koneksi
antar moda transportasi dari jaringan transportasi perkotaan. Fasilitas ini
dapat melayani daily travelers. Titik asal tersebut dapat dilayani oleh
angkutan umum dan dapat dihubungkan dengan jaringan transportasi
umum lainnya. Fasilitas ini harus dapat diakses dengan mudah baik
dengan berjalan kaki atau bersepeda.
4. Park and ride
Fasilitas ini dapat menyediakan tempat parkir yang memadai terutama di
stasiun perkotaan. Fasilitas ini biasanya terdapat di kawasan yang memiliki
kepadatan rendah penduduk seperti di pinggiran kota.
5. Fasilitas pejalan kaki
Fasilitas ini merupakan halte angkutan umum yang melayani berbagai rute
jaringan bis atau transfer antar moda yang berbeda. Fasilitas ini dapat
mem-perkuat peran antar moda dari sistem transportasi ketika dilengkapi
dengan ruang yang memadai. Fasilitas ini dilengkapi dengan parkir sepeda
dan infrastruktur pendukung lainnya dengan ketentuan bahwa itu tidak
membuat kemacetan lalu lintas serta tidak menimbulkan masalah
keselamatan saat proses pemidahan penumpang.

II.2.5 Level Integrasi


[ CITATION Luk03 \l 1057 ] berpendapat bahwa integrasi antar moda
melibatkan 5 (lima) kategori umum dengan tolok ukur levelnya, di antaranya:

1. Fisik
Hal ini berarti integrasi secara fisik. Hal ini dianggap baik jika adanya
skema kompleks fasilitas antar moda sementara dianggap buruk jika
sistem transportasi sedikit atau terisolasi antar moda.
2. Konektivitas
Ukuran konektivitas berdasarkan cakupan layanan yang dapat
diintegrasikan dengan stasiun. Lokal berarti integrasi antar kota dan mini-
mal layanan kota. Regional menyiratkan pengoperasian setidaknya 4 (em-
pat) koneksi intra regional.
3. Intermodal
Hal ini dianggap baik jika sistem sudah terintegrasi oleh 2 (dua) atau lebih
moda transportasi dan dianggap lemah jika sarana tidak terintegrasi
dengan moda transportasi lainnya.
4. Administratif
Cakupannya adalah skema kelembagaan untuk merencanakan, mengkoor-
dinasikan, mengelola dan mengendalikan sistem jaringan transportasi. Hal
ini dianggap tidak baik bagi yang berada dibawah administrasi perusahaan
lokal.
5. Tarif struktur.

II.3 Tinjauan Jalan

II.3.1 Penentuan Jenis Jalan Perkotaan atau Jalan Luar Perkotaan


Penentuan jenis jalan perkotaan atau jalan luar perkotaan mengacu kepada
Pedoman Kapasitas Jalan Indonesia (PKJI). PKJI menerangkan bahwa ciri-ciri
dari segmen jalan perkotaan adalah mempunyai perkembangan secara permanen
dan menerus sepanjang seluruh atau hampir seluruh jalan, minimum pada satu sisi
jalan, apakah berupa perkembangan lahan atau bukan. Adapun tentang keberadaan
jalan yang berada dekat pusat perkotaan dengan penduduk lebih dari 100.000
termasuk ke dalam golongan ini. Jalan di daerah perkotaan dengan penduduk
kurang dari 100.000 juga digolongkan dalam kelompok ini jika mempunyai
perkembangan samping jalan yang permanen dan menerus.
Sedangkan ciri-ciri dari segmen jalan luar perkotaan adalah tidak
mempunyai perkembangan yang menerus pada sisi manapun, meskipun terdapat
keberadaan perkembangan permanen yang bersifat sebentar-sebentar terjadi,
seperti rumah makan, pabrik dan perkampungan. Jalan luar perkotaan juga
memiliki segmen yang lebih panjang dibandingkan jalan perkotaan dan semi-
perkotaan.
Tipe jalan luar kota adalah sebagai berikut:
1. Jalan dua lajur satu arah (2/1).
24. Jalan dua lahur dua arah tak terbagi (2/2TT).
25. Jalan empat lajur dua arah tak terbagi (4/2TT).
26. Jalan empat lajur dua arah terbagi (4/2 T).
27. Jalan enam lajur dua arah terbagi (6/2T).

II.3.2 Klasifikasi Jalan Raya


Klasifikasi ruas jalan bertujuan untuk menegaskan aspek pelayanan terhadap
perjalanan. Umumnya perjalanan jarak jauh yang dilakukan oleh pengguna jalan
akan melalui empat tahap gerak perjalanan, yaitu pertama pergerakan perjalanan
pada jalur utama, kedua melewati jalur transisi, ketiga melintasi jalur distri-
busi/pengumpul dan terakhir masuk pada jalan akses ke suatu terminal atau titik
perjalanan terakhir dari pergerakan tersebut. Rincian pergerakan perjalanan jarak
jauh tersebut dapat dijabarkan secara berikut:

1. Pada mulanya pengguna jalan menggunakan ruas jalan utama seperti jalan
bebas hambatan. Jalur jalan tersebut berperan sebagai jalan arteri yang
dapat dilintasi dengan kecepatan tinggi.
28. Setelah melintasi jalur jalan bebas hambatan maka pengguna harus keluar
dari jalur tersebut dan memasuki jalur dengan level pelayanan yang lebih
rendah.
29. Perjalanan pengguna jalan kemudian dilanjutkan dengan keluar dari jalur
transisi kemudian memasuki jalur pengumpul seperti jalan kolektor.
30. Dari jalan kolektor, perjalanan dilanjutkan dengan memasuki jalan lokal
menuju terminal.

II.3.2.1 Klasifikasi Berdasarkan Fungsional


Jalan dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis menurut fungsinya, yaitu
jalan arteri, kolektor dan lokal. Klasifikasi tersebut berdasarkan perbedaan antara
jarak perjalanan, volume lalu lintas yang dilayani dan kecepatan gerak yang
dibutuhkan. Berdasarkan hal ini maka diperlukan suatu jalan dengan kriteria yang
berbeda antar mobilitas dan jumlah jalan masuk yang dibutuhkan.
1. Jalan arteri
Jalan arteri berfungsi untuk melayani pergerakan jarak jauh dengan
kece-patan tinggi dan dengan jumlah akses masuk yang terbatas. Sistem
jaringan jalan sekunder di perkotaan, yaitu jalan arteri sekunder yang
berfungsi menghubungkan kawasan primer seperti daerah pelabuhan
dengan kawasan sekunder I (pusat busnis seperti pemerintahan,
perdagangan dan industri), menghubungkan kawasan sekunder-1 dengan
kawasan sekunder-1 atau menghubungkan kawasan sekunder-1 dengan
kawasan sekunder-2. Sedang-kan dalam sistem jaringan jalan primer, jalan
arteri primer menghubungkan kota jenjang-1 (Pusat Kegiatan Nasional)
dengan kota jenjang-1 lainnya atau menghubungkan kota jenjang-1 dengan
kota jenjang-2 atau meng-hubungkan kota jenjang-2 dengan kota jenjang-
2.
31. Jalan kolektor
Jalan kolektor merupakan jalan dengan prioritas nomor dua setelah
jalan arteri dalam sistem jaringan jalan. Jalan kolektor berperan sebagai
pengum-pul dan pendistribusi arus lalu lintas dari dan ke jalan arteri atau
dari dan jalan lokal. Jalan lokal berfungsi untuk melayani perjalanan jarak
sedang dengan kecepatan rata-rata sedang dan jumlah akses masuk yang
dibatasi secara efisien. Adapun sistem jaringan jalan sekunder di
perkotaan, yaitu jalan kolektor sekunder menghubungkan kawasan
sekunder-2 dengan ka-wasan sekunder-2 dan kawasan sekunder-3
(kawasan perbelanjaan atau kawasan bisnis yang lebih kecil). Sedangkan
dalam sistem jaringan jalan primer, jalan kolektor primer menghubungkan
antara kota jenjang-2 dengan kota jenjang-3 yang merupakan pusat
kegiatan lokal, seperti daerah kecamatan.
32. Jalan lokal
Jalan lokal merupakan jalan dengan prioritas nomor tiga setelah
jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan. Jalan lokal berfungsi untuk
melayani perjalanan jarak dekat dengan kecepatan rendah dan akses yang
tidak dibatasi. Adapun sistem jaringan jalan sekunder di daerah perkotaan,
yaitu jalan lokal sekunder menghubungkan kawasan sekunder-1, sekunder-
2, sekunder-3 dan perumahan. Sedangkan dalam sistem jaringan jalan
primer, jalan lokal primer menghubungkan kota jenjang 1, jenjang 2,
jenjang 3 dan kota dibawah jenjang-3 dengan persil.

II.3.2.2 Klasfikasi Berdasarkan Operasional


Jalan dapat diklasifikasikan menjadi lima jenis menurut operasionalnya,
yaitu jalan kelas I, jalan kelas II, jalan kelas IIIA, jalan kelas IIIB dan jalan kelas
IIIC. Klasifikasi tersebut berdasarkan dimensi kendaraan, muatan sumbu terberat
(MST) dan peran jalan yang melayaninya. Klasifikasi jalan menurut
operasionalnya dapat dilihat pada Tabel 2.4.
Tabel 2. Klasifikasi Operasional
Kela Dimensi
No Fungsional Beban
s Kendaraan
. Jalan Gandar
Jalan (maksimal)
Lebar 2,5m
1 I Arteri >10 ton
Panjang 18m
Lebar 2,5m
2 II Arteri 10 ton
Panjang 18m
Lebar 2,5m
3 IIIA Arteri/Kolektor 8 ton
Panjang 18m
Lebar 2,5m
4 IIIB Kolektor 8 ton
Panjang 12m
Lebar 2,5m
5 IIIC Lokal 8 ton
Panjang 18m
Sumber: [ CITATION Dir14 \l 1057 ]
II.3.3 Ruas Jalan

Hal yang berkenaan dengan ruas jalan yakni panjang, jumlah lajur,
kecepatan, tipe gangguan hambatan samping, kapasitas, serta hubungan antara
kecepatan dan arus. Ruas jalan yang akan dianalisis perlu dilengkapi dengan
atribut yang menya-takan perilaku, ciri dan kemampuan ruas jalan untuk
mengalirkan lalu lintas. Atribut tersebut antara lain kecepatan ruas (kecepatan arus
bebas dan kecepatan sesaat), panjang ruas dan kapasitas ruas yang dinyatakan
dalam satuan kendaraan ringan (smp) per jam[ CITATION Tam97 \l 1057 ].

II.3.4 Parameter Arus Lalu Lintas


Menurut [ CITATION Mae05 \l 1057 ], parameter yang berhubungan
dengan arus lalu lintas terdiri atas density (jumlah kendaraan per satuan jarak),
rate of flow (jumlah kendaraan per satuan waktu), ocuppancy (tingkat hunian
lajur) dan kecepatan.

1. Density / kepadatan
Kepadatan artinya jumlah kendaraan yang menempati suatu panjang
atau lajur. Kepadatan dinyatakan dengan satuan kendaraan per kilometer
atau kendaraan per kilometer per lajur. Kepadatan sulit diukur secara
langsung di lapangan. Oleh karena itu kepadatan didapatkan dari hasil
perhitungan nilai kecepatan dan arus.
33. Rate of flow / tingkat arus
Tingkat arus artinya jumlah kendaraan yang melalui suatu titik
dalam waktu kurang dari satu jam, tetapi dapat diekuivalenkan menjadi
tingkat rata-rata per jam.
34. Occupancy / tingkat hunian lajur
Tingkat hunian lajur artinya rasio perbandingan antara jumlah
panjang kendaraan dengan panjang bagian jalannya. Jika occupancy dibagi
dengan rerata dari panjang kendaraan maka akan diperoleh perkiraan
kepadatan.
35. Kecepatan
Kecepatan adalah laju dari pergerakan kendaraan yang dihitung
dalam satuan jarak per waktu. Tiap kendaraan berjalan dengan kecepatan
yang berbeda pada pergerakan lalu lintas. Oleh karena itu pada arus lalu-
lintas tidak dikenal dengan kecepatan kendaraan tunggal melainkan
kecepatan rata-rata.

II.3.5 Variabel Analisis Lalu Lintas

II.3.5.1 Arus dan Komposisi Lalu Lintas (Q)


Komposisi lalu lintas menurut PKJI 2014 adalah: Komposisi lalu lintas
menurut PKJI 2014 adalah:

1. Kendaraan ringan (KR) yang terdiri dari mobil penumpang, jeep, sedan,
bis mini, pick up, dll.
2. Kendaraan berat (KB), terdiri dari bus dan truk.
3. Sepeda motor (SM).
Komposisi lalu lintas jelas mempengaruhi hubungan kecepatan – arus.
Hubungan antara arus dan kapasitas yang dinyatakan dalam satuan kend/jam.
Hubungan itu dipengaruhi oleh rasio sepeda motor dan kendaraan berat pada arus
lalu lintas. Sedangkan arus yang dinyatakan dalam satuan mobil penumpang
(smp) tidak dipengaruhi oleh rasio sepeda motor dan kendaraan berat.

Nilai ekr untuk masing-masing tipe kendaraan tergantung pada tipe jalan,
tipe alinemen dan arus lalu lintas total yang dinyatakan dalam kendaraan/jam. Ekr
sepeda motor ada juga dalam masalah jalan 2/2TT, tergantung pada lebar efektif
jalur lalu lintas. Semua nilai ekr kendaraan yang berbeda pada alinemen datar,
bukitdan gunung disajikan dalam Tabel 2.5.
Tabel 2. Ekivalensi Kendaran Ringan (ekr) untuk Jalan 2/2 TT

Arus lalu SM SM Lebar jalur


Tipe Jalan lintas total dua KB Lebar jalur lalu lalu lintas
arah lintas (≤6m) (>6m)
>3700 1.2 1.2 1.8
2/2TT
≥1800 1.8 1.8 2.7
Sumber: [CITATION Dir97 \l 1057 ]

II.3.5.2 Hambatan Samping


Kelas Hambatan Frekuensi Kejadian di
Ciri-ciri Khusus
Samping Kedua Sisi Jalan
Pedesaan: pertanian atau belum
Sangat rendah (SR) <50
berkembang
Pedesaan: beberapa bangunan
Rendah (R) 50-149
dan kegiatan samping jalan
Kampung: kegiatan
Sedang (S) 150-249
permukiman
Kampung: beberapa kegiatan
Tinggi (T) 250-350
pasar
Mendekati perkotaan: banyak
Sangat tinggi (ST) >350
pasar/kegiatan niaga
Hambatan samping menurut PKJI 2014 adalah pengaruh kegiatan di
samping ruas jalan terhadap kinerja lalu lintas. Tabel 2.6 memuat ketentuan
tentang kla-sifikasi hambatan samping.
Tabel 2. Kelas Hambatan Samping
Sumber: [CITATION Dir97 \l 1057 ]
II.3.5.3 Kecepatan Arus Bebas
Kecepatan arus bebas menurut PKJI adalah kecepatan pada tingkat arus
yang mendekati nol (atau kerapatan mendekati nol), sesuai dengan kecepatan yang
akan dipilih pengemudi seandainya mengendarai kendaraan bermotor tanpa
berhalangan dengan kendaraan bermotor lainnya.
Kecepatan arus bebas terdapat dua kondisi, yaitu:

1. Kecepatan rata-rata teoritis dari arus lalu lintas pada waktu kerapatan
mendekati nol atau sama dengan nol yang berarti tidak ada kendaraan di
jalan.
36. Kecepatan suatu kendaraan yang tidak terpengaruh oleh kehadiran
kendaraan lain (yaitu kecepatan dimana pengemudi merasa nyaman untuk
bergerak pada kondisi geometrik, lingkungan dan pengendalian lalu lintas
yang ada pada suatu segmen jalan tanpa lalu lintas lain).

Persamaan untuk penentukan kecepatan arus bebas adalah sebagai berikut:


V B =( V BD +V BL ) x FV BHS x FV BUK
dimana:
VB = kecepatan arus bebas kendaraan ringan pada kondisi lapangan (km/jam)
V BD = kecepatan arus bebas dasar kendaraan (km/jam)
V BL = nilai penyesuaian kecepatan ahkibat lebar jalan (km/jam)
FV BHS = faktor penyesuaian akibat hambatan samping dan lebar bahu, perkalian
FV BUK = faktor penyesuaian kecepatan bebas untuk ukuran kota

1. Kecepatan Arus Bebas Dasar


Kecepatan arus bebas (km/jam) menurut PKJI 2014 adalah kecepatan arus
bebas suatu segmen jalan untuk suatu set kondisi ideal (geometrik, pola arus lalu
lintas dan faktor lingkungan) yang sudah ditentukan sebelumnya. Tabel 2.7
menampilkan ketentuan tentang kecepatan arus bebas dasar (VBD) untuk jalan
luar kota tipe dua lajur tak terbagi pada alinemen biasa.
Tabel 2. Kecepatan Arus Bebas Dasar V BD untuk Jalan Luar Kota dengan
tipe jalan dua lajur tak terbagi pada alinemen biasa

Kecepatan Arus Bebas Dasar (km/jam)


Tipe Jalan
KR KB SM
6/2 T atau 3/1 61 52 57
4/2 T atau 2/1 57 50 55
2/2 TT 44 40 42
Sumber: [CITATION Dir97 \l 1057 ]
Kelas Jarak Pandang (KJP) menurut PKJI 2014 adalah jarak maksimum
dimana pengemudi (dengan tinggi mata 1,2 m) mampu melihat kendaraan lain
atau suatu benda tetap dengan ketinggian tertentu (1,3 m). Kelas jarak pandang
ditentukan berdasarkan persentase dari segmen jalan yang mempunyai jarak
pandang >300 m. Ketentuan KJP ditunjukkan oleh Tabel 2.8.
Tabel 2. Kelas Jarak Pandang (KJP)
Kelas Jarak Pandang % Segmen Jalan dengan
Jarak Padang ≥300m
A >70
B 30-70
C <30
Sumber: [CITATION Dir97 \l 1057 ]

2. Penyesuaian kecepatan akibat hambatan samping


Faktor penyesuaian akibat hambatan samping sebagai fungsi dari lebar bahu
efektif dapat dilihat pada Tabel 2.9.
Tabel 2. Faktor Penyesuaian Hambatan Samping FVBHS untuk Jalan Berbahu dengan
Lebar Efektif (LBE)

Tipe Jalan Kelas Faktor Penyesuaian Akibat Hambatan


Hambatan Samping Dan Lebar Bahu
Samping Lebar bahu efektif LBE (m)
≤ 0.5m 1.0 m 1.5 m ≥2 m
Sangat rendah 1.00 1.01 1.01 1.04
Rendah 0.96 0.98 0.99 1.00
2/2TT Sedang 0.90 0.93 0.96 0.99
Tinggi 0.82 0.86 0.90 0.95
Sangat tinggi 0.73 0.79 0.85 0.91
Sumber: [CITATION Dir97 \l 1057 ]
3. Penyesuaian kecepatan akibat kecepatan arus bebas akibat kelas
fungsional jalan
Faktor penyesuaian akibat kelas fungsi jalan dapat dilihat pada Tabel 2.10.
Tabel 2. Faktor Penyesuaian Akibat Kelas Fungsi Jalan Dan Tata Guna Lahan (FV B,KFJ)
Terhadap Kecepatan Arus Bebas KR Untuk Tipe Jalan 2/2TT

Tipe Jalan Fungsi Jalan FVB,KFJ


Pengembangan Samping Jalan
0% 25% 50% 75%
Arteri 1.00 0.98 0.97 0.96
2/2TT Kolektor 0.94 0.93 0.91 0.90
Lokal 0.90 0.88 0.87 0.86
Sumber: [CITATION Dir97 \l 1057 ]

II.3.5.4 Kapasitas
Menurut PKJI 2014, kapasitas adalah arus lalu lintas maksimum (skr/jam)
yang dapat dipertahankan sepanjang segmen jalan tertentu dalam kondisi tertentu
(sebagai contoh: geometrik, lingkungan, lalu lintas dan lain-lain).
Persamaan dasar untuk penentuan kapasitas menurut PKJI 2014 adalah
sebagai berikut:
C=C 0 x FC LJ x FC PA x FC HS x FC UK
dimana:
C = kapasitas (skr/jam)
C0 = kapasitas dasar (skr/jam)
FC LJ = faktor penyesuaian lebar lajur/jalur lalu lintas
FC PA = faktor penyesuaian pemisahan arah (hanya untuk jalan tak terbagi)
FC HS = faktor penyesuaian hambatan samping dan bahu jalan
FC UK = faktor penyesuaian kapasitas terkait ukuran kota

1. Kapasitas Dasar
Menurut PKJI 2014, kapasitas dasar adalah kapasitas suatu segmen jalan
(skr/jam) untuk suatu set kondisi jalan yang ditentukan sebelumnya (geometrik,
po-la arus lalu lintas dan faktor lingkungan). Adapun nilai tentang kapasitas dasar
tipe jalan 2/2TT dapat dilihat pada Tabel 2.11.
Tabel 2. Kapasitas Dasar Tipe Jalan 2/2TT
Tipe Jalan Catatan Kapasitas Dasar Total
Kedua Arah (skr/jam)
2/2TT Per lajur (dua arah) 2900
Sumber: [CITATION Dir97 \l 1057 ]

2. Faktor Penyesuaian Kapasitas Akibat Lebar Jalan


Faktor penyesuaian akibat lebar jalur lalu lintas dari Tabel 2.12 berdasarkan
pada lebar efektif jalur atau lajur lalu lintas ( FC LJ ).
Tabel 2. Kapasitas Dasar Tipe Jalan 2/2TT
Tipe Jalan Lebar Efektif Jalur Lalu Lintas FCLJ
(LJE )m
5.00 0.56
6.00 0.87
7.00 1.00
2/2TT Total dua arah 8.00 1.14
9.00 1.25
10.00 1.29
11.00 1.34
Sumber: [CITATION Dir97 \l 1057 ]

3. Faktor Koreksi Arah Lalu Lintas (FCPA)


Faktor penyesuaian untuk koreksi akibat pemisahan arah (hanya un-tuk
jalan dua arah tak terbagi). Tabel 2.13 memberikan faktor penyesuaian pemisahan
arah untuk jalan dua-lajur dua-arah (2/2) tak terbagi.
Tabel 2. Faktor Penyesuaian Kapasitas Akibat Pemisahan Arah (FCPA)

Pemisahan Arah PA %-% 50- 55-45 60-40 65-35 70-30


50
FSP Dua lajur: 2/2 TT 1.00 0.97 0.94 0.91 0.88
Sumber: [CITATION Dir97 \l 1057 ]

4. Faktor Penyesuaian Kapasitas Akibat Hambatan Samping (FCHS)


Faktor penyesuaian untuk kapasitas dasar akibat hambatan samping sebagai
fungsi dari lebar bahu. Tabel 2.14 memberikan faktor penyesuaian kapasitas
berda-sarkan lebar efektif bahu dan kelas hambatan samping (KHS).
Tabel 2. Faktor Penyesuaian Kapasitas Akibat Hambatan Samping (FCHS)
Tipe Jalan Kelas Faktor Penyesuaian Akibat Hambatan
Hambatan Samping
Samping Lebar bahu efektif WS (m)
≤ 0.5m 1.0 m 1.5 m ≥2 m
Sangat Rendah 0.94 0.96 0.99 1.01
Rendah 0.92 0.94 0.97 1.00
2/2TT Sedang 0.89 0.92 0.95 0.98
Tinggi 0.82 0.86 0.90 0.95
Sangat tinggi 0.73 0.79 0.85 0.91
Sumber: [CITATION Dir97 \l 1057 ]

II.3.5.5 Derajat Kejenuhan


Derajat kejenuhan menurut PKJI 2014 adalah rasio antara arus lalu lintas
terhadap kapasitas jalan. Persamaan untuk menentukan derajat kejenuhan adalah:
Q
DS=
C
dimana:
DS = Derajat kejenuhan
Q = Arus total (smp/jam)
C = Kapasitas (smp/jam)

II.3.6 Tingkat Pelayanan/Kinerja Jalan


Tingkat pelayanan/kinerja jalan adalah tingkat pelayanan dari suatu jalan
yang menunjukkan kualitas dari suatu jalan dan batas kondisi pengoperasian.
Tingkat pelayanan atau kinerja jalan diukur secara kualitatif. Ukuran ini
menerangkan tentang kondisi operasional lalu lintas dan penilaian oleh pemakai
jalan. Tingkat pelayanan suatu jalan diukur dari beberapa faktor, yaitu kecepatan
dan waktu tempuh, kerapatan (density), tundaan (delay), arus lalu lintas dan arus
jenuh (saturation flow) serta derajat kejenuhan (degree of saturation).
Tingkat pelayanan suatu ruas jalan dapat diklasifikasikan berdasarkan
volume (Q) per kapasitas (C). Kriteria tingkat pelayanan atau “Level of Service”
dapat dilihat pada Tabel 2.15.
Tabel 2. Karakteristik Tingkat Pelayanan
Tingkat
Rasio Q/C Keterangan
Jalan
< 0.60 A Arus lancar, volume rendah, kecepatan Tinggi
Arus stabil, kecepatan terbatas, volume sesuai
0.60 - 0.70 B
untuk jalan luar kota
Arus stabil, kecepatan dipengaruhi oleh lalu lintas,
0.70 - 0.80 C
volume sesuai untuk jalan kota
0.80 - 0.90 D Arus mendekati tidak stabil, kecepatan Rendah
Arus tidak stabil, kecepatan rendah, volume padat
0.90 - 1.00 E
atau mendekati kapasitas
Arus yang terhambat, kecepatan rendah,volume
> 1.00 F
diatas kapasitas, banyak berhenti.
Sumber: (Tamin dan Nahdalina, 1998 dalam Chairunnisa, 2014)
Keterangan:
1. Tingkat pelayanan A:
a. Arus bebas dengan volume lalu lintas rendah dan kecepatan tinggi.
g. Kepadatan lalu lintas sangat rendah dengan kecepatan yang dapat
dikendalikan oleh pengemudi berdasarkan batasan kecepatan maksi-
mum/minimum dan kondisi fisik jalan.
h. Pengemudi dapat mempertahankan kecepatan yang diinginkannya de-
ngan atau tanpa sedikit tundaan.
37. Tingkat pelayanan B :
a. Arus stabil dengan volume lalu lintas sedang dan kecepatan mulai
diba-tasi oleh kondisi lalu lintas.
i. Kepadatan lalu lintas rendah hambatan internal lalu lintas belum
mempengaruhi kecepatan.
j. Pengemudi masih mempunyai cukup kebebasan untuk memilih kece-
patannya dan lajur jalan yang digunakan.
38. Tingkat pelayanan C:
a. Arus stabil tetapi kecepatan dan pergerakan kendaraan dikendalikan
oleh volume lalu lintas yang lebih tinggi.
k. Kepadatan lalu lintas sedang karena hambatan internal meningkat.
l. Pengemudi memiliki keterbatasan untuk memilih kecepatan, pindah
lajur atau mendahului.
39. Tingkat pelayanan D:
a. Arus mendekati tidak stabil dengan volume lalu lintas tinggi dan
kecepatan masih ditolerir namun sangat dipengaruhi oleh perubahan
kondisi arus.
m. Kepadatan lalu lintas sedang namun fluktuasi volume lalu lintas dan
hambatan temporer dapat menyebabkan penurunan kecepatan yang
besar. Pengemudi memiliki kebebasan yang sangat terbatas dalam
men-jalankan kendaraan, kenyamanan rendah, tetapi kondisi ini masih
dapat ditoleransi untuk waktu yang singkat.
40. Tingkat pelayanan E:
a. Arus lebih rendah daripada tingkat pelayanan D dengan volume lalu
lintas mendekati kapasitas jalan dan kecepatan sangat rendah.
n. Kepadatan lalu lintas tinggi karena hambatan internal lalu lintas tinggi.
o. Pengemudi mulai merasakan kemacetan pendek.
41. Tingkat pelayanan F:
a. Arus tertahan dan terjadi antrian kendaraan yang panjang.
p. Kepadatan lalu lintas sangat tinggi dan volume rendah serta terjadi
kemacetan untuk durasi yang cukup lama.
q. Dalam keadaan antrian, kecepatan maupun volume turun sampai 0.

II.4 Tinjauan Desain Parkir

II.4.1 Definisi Parkir


Parkir adalah keadaan tidak bergerak suatu kendaraan yang bersifat
sementara karena ditnggal oleh pengemudinya. Menurut [ CITATION Hob95 \l
1057 ], parkir dimaknai sebagai suatu kegiatan untuk meletakkan atau menyimpan
kendaraan di suatu tempat tertentu yang durasinya tergantung kapan selesainya
keperluan dari pengendaraan tersebut. Menurut PP No. 43 tahun 1993, parkir
didefinisikan sebagai kendaraan yang berhenti pada tempat-tempat tertentu baik
yang dinyatakan dengan rambu atau tidak, serta tidak semata-mata untuk
kepentingan menaikkan atau menurunkan orang dan barang.
II.4.2 Konfigurasi Parkir Kendaraan Universal di Jalan
Konfigurasi parkir adalah pengaturan susunan kendaraan yang parkir.
a. Pola parkir dengan sudut 900 ini mempunyai daya tampung lebih
banyak namun tingkat kemudahan dan kenyamanan pengemudi saat
bermanu-ver masuk dan keluar ruang parkir lebih sulit dibandingkan
dengan pola parkir sudut yang lebih kecil dari 900. Pola parkir jenis ini
dapat dilihat pada Gambar 2.3.

Sumber: [ CITATION Hob95 \l 1033 ]


Gambar 2. Parkir kendaraan membentuk sudut 900

b. Pola parkir dengan sudut 300, 450 dan 600 mempunyai daya tampung
lebih sedikit namun tingkat kemudahan dan kenyamanan pengemudi
saat bermanuver masuk dan keluar ruang parkir lebih mudah diban-
dingkan dengan pola parkir sudut yang lebih kecil dari 900. Pola parkir
ini dapat dilihat pada Gambar 2.4.

Sumber: [ CITATION Hob95 \l 1033 ]


Gambar 2. Parkir kendaraan membentuk sudut 300, 450 dan 600

II.4.3 Konfigurasi Parkir Kendaraan Universal di Luar Jalan


Perparkiran yang ideal adalah parkir di luar jalan berupa fasilitas pelataran
(taman) parkir atau bangunan (gedung) parkir. Fasilitas untuk dijadikan tempat parkir
adalah gedung parkir yang dapat dibangun bertingkat sesuai dengan kebutuhan lihat
gambar 2.5.

Gambar 2. Konfigurasi Parkir Kendaraan Universal


(Sumber: Neufert, 1973)
II.4.4 Dimensi Bis
Dimensi bis merupakan aspek yang penting dalam merencakan layout
terminal. Gambar 2.6 menampilkan radius kendaaran bis, proyeksi pergerakan bis
dengan sudut tertentu.

.
Gambar 2. Dimensi Bis
(Sumber: Neufert, 1973)

II.4.5 Konfigurasi Parkir Kendaraan Bis


Sistem parkir bus pada Terminal ini dibagi menjadi beberapa bagian yaitu,
parkir pada emplasement penurunan penumpang, emplacement pemberangkatan,
dan area parkir. Gambar 2.7 menunjukkan pola parkir bis dengan sudut 45 derajat
terhadap platform keberangkatan.
Adapun jenis konfigurasi parkir bis lainnya dapat dilihat pada gambar 2.8. Dapat
dilihat gambar bagian 1 dan 2 menunjukkan pola parkis bis dengan sudut bis 45 derajat
terhadap jalur akses masuk dan keluar. Sedangkan gambar bagian 3 dan 4 menunjukkan
pola parkir bis terhadap jalur akses masuk dan keluar dengan sudut 90 derajat.
Gambar 2. Macam-macam Konfigurasi Parkir Bis Terhadap Jalan Akses Masuk dan
Keluar
(Sumber: Neufert, 1973)

Gambar 2. Konfigurasi Parkir Interlocking


(Sumber: Neufert, 1973)
Macam-macam pola parkir bis pada area keberangkatan maupun area kedatangan
dapat dilihat pada gambar 2.8. Gambar bagian 5 dan 6 menunjukkan pola parkir bis
dengan posisi sejajar terhadap platform keberangkatan.

Gambar 2. Konfigurasi Parkir Bis di Area Keberangkatan/Kedatangan yang Sejajar


(Sumber: Neufert, 1973)
Adapun gambar 2.9 menunjukkan pola parkir bis di area keberangkatan /
kedatangan dengan sudut dan bentuk variasi yang lain.

Gambar 2. Konfigurasi Parkir Bis di Area Keberangkatan/Kedatangan


dengan bentuk dan sudut variasi yang lain
(Sumber: Neufert, 1973)
Kebutuhan ruang yang diperlukan untuk platfom dan ruang parkir dapat
dilihat pada halaman selanjutnya.
Tabel 2. Kebutuhan Ruang untuk Platform dan Parkir Bis

(Sumber: Neufert, 1973)

II.4.6 Tahapan Analisis Kebutuhan Ruang Parkir


Analisis kebutuhan ruang parkir yang dilakukan, diperuntukkan bagi dua
jenis kendaraan yang akan diparkir yaitu kendaraan roda dua (sepeda motor) dan
kendaraan roda empat (mobil penumpang), angkutan AKDP dan angkutan
perdesaan. Analisis meliputi jenis kendaraan karakteristik parkir serta satuan
ruang parkir. Analisis karakteristik parkir kendaraan dilakukan guna mendapatkan
nilai kebutuhan ruang parkir. Data yang digunakan dalam analisis ini data luasan
areal yang tersedia untuk parkir kendaraan, data karakteristik parkir yang
diperoleh dari hasil penelitian di terminal eksisting dan satuan ruang parkir (SRP)
yang akan digunakan untuk menghitung kebutuhan lahan parkir setiap jenis
kendaraan yang akan diparkir di areal terminal.

II.5 Tinjauan Desain Pergerakan Kendaraan di Terminal

II.5.1 Pola Distribusi Kedatangan dan Pemberangkatan Bis


Pola hubungan antar ruang adalah konsep terminal yang bisa dipergunakan
dalam perencanaan terminal bis, baik yang berdiri sendiri maupun kombinasi.
Layout yang digunakan dalam perencaanan dalam laporan ini menggunakan 2
model yang ditampilkan dalam Gambar 2.10 dan Gambar 2.11.
Gambar 2. Terminal Bis dengan Kawasan Parkir Bis yang Terhubung
(Sumber: Neufert, 1973)

Gambar 2. Terminal Bis dengan Area Keberangkatan dan Kedatangan yang Terpisah
(Sumber: Neufert, 1973)

II.5.2 Kriteria Pola Pergerkana Kendaraan di Terminal


Terminal bis berfungsi untuk mengakomodasi kebutuhan sirkulasi
kendaraan yang akan menjalankan fungsi transportasi. Menurut [ CITATION
Fir15 \l 1057 ], aspek kemudahan dan kenyamanan berpengaruh dalam desain
pola pergerakan kendaraan di terminal. Kriteria yang berhubungan dengan aspek
tersebut ditunjukkan di Tabel 2.16.
Tabel 2. Kriteria Desain Pergerakan Kendaraan Umum
Aspek Kriteria Indikator
Semua kendaraan umum dapat Tidak ada halangan saat
memasuki keluar area terminal memasuki terminal
dengan mudah.
Dirjen Perhubungan Darat
(1994:94)
Kemudahan Parkir platform dan teluk ditata 1. Terbagi atas beberapa
sedemikian rupa sehingga trayek.
memberi rasa mudah dicapai 2. Jenis platform berupa
dan tertib. paralel, tengah, atau
Dirjen Perhubungan Darat keliling.
(1994:94)
Area kedatangan dan Masing-masing jalur
keberangkatan kendaraan kendaraan umum terdapat
umum terpisah. fasilitas peron keberangkatan
Dirjen Perhubungan Darat dan peron kedatangan
(1994:pasal 4)
Jalan masuk dan jalan keluar Disesuaikan dengan dimensi
kendaraan umum harus lancar manuver kendaraan. Mobil
Dirjen Perhubungan Darat dan angkutan 6 meterdan bis
(1994 : 94) 11.2 meter
[ CITATION Neuta \l 1057 ]
Tata cara parkir kendaraan Jenis parkir berupa parkir 90|,
Kenyamanan
umum tidak mengganggu 45|/65|, atau parallel (Neufert,
kelancaran sirkulasi kendaraan 1984)
umum dan keamanan
penumpang
Jalur masuk kendaraan umum Terdapat 3 jenis pemisahan
dibedakan dengan jalur masuk jalur bagi penumpang, yaitu
penumpang. Dirjen sidewalk, elevated bridgedan
Perhubungan Darat (1994 : 94) underground bridge Untuk
Jenis sidewalk, perbedaan
tinggi jalur pejalan kaki-
bermotor minimal 20 cm
Sumber: [ CITATION Fir15 \l 1057 ]

II.6 Tinjauan Ekonomi

II.6.1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)


Salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu
wilayah/provinsi dalam suatu periode tertentu yang ditunjukkan oleh Produk Do-
mestik Regional Bruto (PDRB), baik atas dasar harga yang berlaku atau atas dasar
harga konstan. PDRB didefinisikan sebagai jumlah nilai tambah bruto yang diha-
silkan oleh seluruh unit usaha dalam satu wilayah, atau merupakan jumlah seluruh
nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi di suatu
wilayah.
PDRB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan
jasa yang dihitung menggunakan harga pada setiap tahunnya. Sedangkan PDRB
atas dasar harga konstan menunjukkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung
menggunakan harga pada tahun tertentu sebagai dasar. Dalam penelitian ini, tahun
yang digunakan sebagai tahun dasar adalah tahun 2000. PDRB atas dasar harga
berlaku digunakan untuk melihat pergeseran dan struktur ekonomi. Sedangkan
harga konstan digunakan untuk mengetahui pertambahan ekonomi dari tahun ke
tahun.

II.6.2 Teori Basis Ekonomi


Teori ini mengemukakan bahwa suatu wilayah merupakan suatu sistem
sosio-ekonomi yang terpadu. Teori ini mendasari pemikiran teknik Location
Quotient (LQ), yaitu teknik yang membantu dalam menentukan kapasitas ekspor
perekonomian daerah dan derajat keswasembadaan (self-sufficiency) suatu sektor.
Menurut [ CITATION Gla77 \l 1057 ], perekonomian regional dapat dibagi
menjadi dua sektor yaitu kegiatan-kegiatan basis dan kegiatan-kegiatan bukan
basis. Kegiatan-kegiatan basis (basic activities) adalah kegiatan ekonomi yang
menghasilkan barang-barang dan jasa-jasadan menjualnya atau memasarkan
produk-produknya keluar daerah. Sedangkan kegiatan-kegiatan ekonomi bukan
basis (nonbasic activities) adalah usaha ekonomi yang menyediakan barang-
barang dan jasa-jasa untuk kebutuhan masyarakat dalam wilayah ekonomi daerah
yang bersangkutan saja. Artinya, kegiatan-kegiatan ekonomi bukan basis tidak
menghasilkan produk untuk diekspor ke luar daerahnya. Oleh karena itu, luas
lingkup produksi mereka itu dan daerah pemasarannya masih bersifat lokal.
Menurut teori ini, peningkatan jumlah kegiatan ekonomi basis di dalam
suatu daerah akan meningkatkan jumlah pendapatan daerah yang bersangkutan.
Selan-jutnya, itu akan meningkatkan permintaan terhadap barang dan jasa di
daerah tersebut dan akan mendorong kenaikan volume kegiatan ekonomi bukan
basis. Se-baliknya, apabila terjadi penurunan jumlah kegiatan basis akan berakibat
ber-kurangnya pendapatan yang mengalir masuk ke dalam daerah yang
bersangkutan, sehingga akan terjadi penurunan permintaan terhadap barangbarang
yang dipro-duksi oleh kegiatan bukan basis.
Dalam hubungan ini kegiatan ekonomi suatu daerah dibagi dalam dua
golongan, yaitu: [ CITATION Kad \l 1057 ]
1. Kegiatan ekonomi (industri) yang melayani pasar di daerah itu sendiri ma-
upun pasar di luar daerah itu, industri ini disebut industri basis.
42. Kegiatan ekonomi (industri) yang hanya melayani pasar di daerah itu sen-
diri, industri ini disebut industri nonbasis atau industri lokal.
Teori basis ekonomi digunakan sebagai dasar pemikiran teknik Location
Quotient (LQ) yang pada intinya adalah industri basis menghasilkan barang dan
jasa baik untuk pasar di daerah maupun untuk pasar di luar daerah yang
bersangkutan, maka penjualan hasil ke luar daerah itu mendatangkan arus pen-
dapatan ke dalam daerah tersebut. Arus pendapatan menyebabkan kenaikan
konsumsi maupun kenaikan investasidan pada akhirnya akan meningkatkan
pendapatan dan kesempatan kerja. Kenaikan pendapatan di daerah tidak hanya
menaikkan permintaan terhadap hasil industri basis melainkan juga akan
meningkatkan permintaan terhadap hasil industri lokal (nonbasic), sehingga pada
akhirnya akan menaikkan investasi di daerah tersebut. Oleh karena itu, menurut
teori basis ekonomi, ekspor daerah merupakan faktor penting dalam pembangunan
daerah [ CITATION Azi94 \l 1057 ]. Berdasarkan gagasan ini maka orang
berpendapat bahwa industri-industri basislah yang patut dikembangkan di daerah.

II.7 Metode Analisis Data

II.7.1 Analisis Location Quotient


Analisis ini bertujuan untuk mengidentifikasi sektor unggulan menggunakan
analisis Location Quotient.

vi
vt
LQ=
Vi
Vt

Keterangan:
LQ = Location Quotient
vi = Nilai sektor i di Kabupaten/kota
vt = Total nilai PDRB Kabupaten/kota
Vi = Nilai sektor i PDRB provinsi
Vt = Total nilai PDRB provinsi
Interpretasi nilai LQ dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Jika nilai LQ > 1, itu menunjukkan bahwa sektor bersangkutan merupakan


sektor basis yang menjadi kekuatan kabupaten untuk mengekspor pro-
duknya keluar kabupaten.
43. Jika nilai LQ = 1 menunjukan bahwa kecenderungan sektor bersangkutan
bersifat tertutup karena tidak melakukan transaksi ke dan dari luar kabu-
paten.
44. Jika nilai LQ < 1, itu menunjukan bahwa sektor bersangkutan menjadi
pengimpor atau pangsa sektor bersangkutan lebih kecil dibandingkan
dengan pangsa sektor bersangkutan di tingkat provinsi.

II.7.1.1 Tahapan Analisis Location Quotient (LQ)


Analisis Location Quotient (LQ) merupakan suatu perbandingan tentang
besarnya suatu sektor di daerah terhadap besarnya peranan sektor tersebut secara
nasional. Perkembangan LQ ini dapat dilihat untuk suatu sektor tertentu dalam
kurun waktu yang berbeda, apakah terjadi kenaikan atau penurunan melalui
PDRB.

II.7.2 Analytical Hierarcy Process

II.7.2.1 Umum
Pengambilan keputusan adalah aktivitas manusia yang paling sentral dan
dan dilakukan secara sadar dan tidak sadar. Setiap orang membuat keputusan
sepanjang waktu, tua dan muda, berpendidikan atau tidak, dengan mudah atau
dengan ke-sulitan. Membuat keputusan bukan hanya soal memilih alternatif
terbaik. Seringkali perlu memprioritaskan semua alternatif untuk alokasi sumber
daya atau untuk menggabungkan kekuatan preferensi individu untuk membentuk
preferensi ko-lektif.
Menerapkan matematika untuk pengambilan keputusan membutuhkan cara
untuk mengukur atau memprioritaskan hasil penilaian pribadi atau kelompok pe-
nilaian yang sebagian besar tidak berwujud dan subjektif. Pengambilan keputusan
membutuhkan melakukan apa yang tradisional dan dianggap mustahil, seperti
membandingkan apel dan jeruk. Tapi kita bisa membandingkan apel dan jeruk
kemudian menguraikan preferensi kita menjadi banyak properti yang dimiliki apel
dan jeruk, Hal ini penting untuk membandingkan dan mendapatkan preferensi
relatif dari apel dan jeruk sehubungan dengan setiap properti dan mensintesis hasil
untuk mendapatkan preferensi keseluruhan.
Memecahkan masalah menjadi bagian atau komponen penyusunnya, dalam
kerangka hierarki dan menetapkan kepentingan atau prioritas untuk menentukan
peringkat alternatif adalah komprehensif dan dengan cara umum untuk melihat
masalah secara matematis. Hal ini sering disebut pengambilan keputusan multi-
kriteria. Dalam riset operasi dan ilmu manajemen saat ini, pengambilan keputusan
pada dasarnya dipertimbangkan pada bidang penelitian yang berkaitan dengan
tujuan dan kriteria serta bagaimana mengukur dan memberi peringkatnya
[ CITATION Saa16 \l 1057 ]

II.7.2.2 Definisi Analytical Hierarcy Process


Metode Analytical Hierarcy Process (AHP) adalah metode untuk
mengambil keputusan dengan melakukan pengukuran. Skala pengukuran yang
digunakan secara umum antara lain skala nominal, ordinal, interval dan rasio.
Skala yang lebih tinggi (rasio dan interval) dapat dikategorikan menjadi skala
yang lebih rendah (nominal dan ordinal), namun tidak dapat sebaliknya. Oleh
karena keterbatasan ska-la pengambilan keputusan, maka metode AHP dapat
mengatasi keterbatasan itu.
Metode AHP digunakan untuk menurunkan skala rasio dari beberapa per-
bandingan berpasangan yang bersifat diskrit maupun berkelanjutan. Perbandingan
berpasangan diperoleh melalui pengukuran aktual dan relatif dari derajat kesukaan
dan kepentingan. Oleh sebab itu, metode AHP berguna untuk memperoleh skala
rasio dari hal yang bersifat abstrak seperti pendapat, perasaan, perilaku dan
kepercayaan [CITATION Saa08 \t \l 1033 ]. Metode AHP dimulai dengan
membuat struktur hierarki atau dapat disebut masalah yang ingin diteliti. Hierarki
merangkum tujuan utama, kriteria, sub-kriteria dan alternatif yang dibahas.
Perbandingan berpasangan dilakukan untuk membentuk hubungan di dalam
struktur itu. Hasil dari perbandingan itu adlaah matriks yang berupa penurunan
skala rasio dalam bentuk eigen factor utama atau fungsi eigen. Ciri matriks itu
adalah positif dan berkebalikan [CITATION Saa08 \t \l 1033 ].
Landasan Analytical Hierarcy Process (AHP) terdiri dari:

1. Reciprocal Comparison, yaitu mengandung arti bahwa matriks


perbandingan berpasangan harus bersifat berkebalikan. Misalnya, jika A
adalah f kali lebih penting dari pada B maka B adalah 1/f lebih penting
dari A.
45. Homogenity, yaitu mengandung arti kesamaan dalam melakukan per-
bandingan. Misalnya, tidak dimungkinkan membandingkan durian dengan
semangka dalam hal rasa, akan tetapi lebih relevan jika dibandingkan
dalam hal berat.
46. Dependence, yaitu mengandung arti setiap level mempunyai kaitan
walaupun mungkin saja terjadi hubungan yang tidak sempurna.
47. Expectation, yang berarti menonjolkan penilaian yang bersifat ekspektasi
dan preferensi dalam pengambilan keputusan. Penilaian dapat berupa data
kuantitafif dan bersifat kualitatif.

Tahapan dalam pengambilan keputusan dalam metode AHP adalah sebagai


berikut:

1. Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi yang diinginkan;


48. Membuat struktur hierarki yang diawali dengan tujuan umum, dilanjutkan
dengan kriteria serta alternatif pilihan yang ingin diberi penilaian.
49. Membuat matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan
kontribusi pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan atau
kri-teria yang setingkan di atasnya. Perbandingan dilakukan berdasarkan
pili-han dari pembuat keputusan.
50. Menormalkan data dengan cara membagi nilai dari setiap elemen dengan
nilai total dari setiap kolom.
51. Menghitung nilai eigen vector dan menguji konsistensinya, jika tidak
konsisten maka pengambilan data perlu diulangi. Nilai eigen vector yang
dimaksud adalah nilai eigen vector yang diperoleh melalui aplikasi atau
secara manual.
52. Mengulangi langkah 3,4 dan 5 untuk seluruh tingkat hierarki.
53. Menghitung nilai eigen vector dari setiap matriks perbandingan berpa-
sangan.
54. Menguji konsistensi hierarki. Jika tidak memenuhi dengan CR < 0,100
maka penilaian harus diulangi kembali.

II.7.2.3 Prinsip Dasar Analytical Hierarcy Process


Pengambilan keputusan menggunakan metode AHP menggunakan prinsip
dasar, yakni:

1. Decomposition
Decomposition adalah memecah persoalan yang utuh menjadi unsur-
unsurnya ke dalam bentuk hierarki, dimana setiap unsur mempunyai keter-
kaitan. Hasil yang lebih akurat dapat dilakukan jika pemecahannya dila-
kukan sampai tiap unsurnya tidak dapat dipecahkan lagi. Tingkatan yang
diperoleh tersebut dinamakan hierarki. Struktur hierarki dapat
dikategorikan menjadi dua jenis, yaitu hierarki penuh dan hierarki
setengah. Hierarki penuh artinya semua elemen pada suatu tingkat
memiliki hubungan terhadap semua elemen pada tingkat berikutnya.
Sementara hierarki sete-ngah memiliki pengertian bahwa tidak semua
elemen pada suatu tingkat berhubungan dengan elemen tingkat berikutnya.
Gambar 2.5 berikut menampilkan bentuk struktur dekomposisi.

a. Tingkat pertama : Tujuan keputusan


b. Tingkat kedua : Kriteria
c. Tingkat ketiga : Alternatif
Sumber: (Saaty, 2004) dengan modifikasi
Gambar 2. Gambar Struktur Hierarki AHP
Penyusunan hierarki masalah itu dapat digunakan untuk membantu
mengam-bil keputusan dengan mempertimbangkan setiap elemen kepu-
tusan yang diambil.
55. Comparative Judgement
Comparative Judgement adalah penilaian menurut kepentingan yang
relatif pada tingkat tertentu. Comparative judgement adalah inti dari
metode AHP karena berpengaruh terhadap urutan prioritas dari setiap
elemen. Penilaian ini menghasilkan matriks perbandingan berpasangan
yang menampilkan tingkat preferensi beberapa alternatif pada tiap kriteria.
Pertanyaan yang dapat digunakan untuk menyusun skala kepentingan ada-
lah: (a) elemen mana yang lebih (penting/disukai/mungkin/..) dan (b)
berapa kali lebih (penting/disukai/mungkin). Skala preferensi yang
diberikan dimulai dari skala yang paling rendah yaitu skala 1 sampai skala
yang paling tinggi yaitu skala 9. Untuk mendapatkan skala yang
bermanfaat ketika membandingkan dua elemen, maka seseorang yang
memberikan tanggapan perlu diberikan pengertian yang menyeluruh
mengenai elemen yang diban-dingkan dan relevansinya terhadap tujuan
yang dipelajari.
56. Synthesis of Priority
Synthesis of Priority merupakan penggunaan eigen vector method yang
bertujuan untuk mendapatkan local priority. Karena matriks perbandingan
berpasangan dilakukan pada setiap tingkat, maka untuk memperoleh
global priority perlu melakukan sintesis di antara local priority,
57. Logical Consistency
Konsistensi memiliki makna ganda. Pertama adalah bahwa obyek yang
serupa dapat dikelompokkan sesuai dengan keseragaman dan relevansi.
Contohnya buah anggur dan buah naga dapat dikelompokkan sebagai
him-punan seragam jika berat adalah kriterianya tetapi tak dapat jika
warna se-bagai kriterianya. Makna kedua adalah tingkat hubungan antar
obyek yang didasarkan pada kriteria tertentu. Contohnya, jika massa jenis
merupakan kriteria dan emas dinilai 20 kali lebih besar daripada airdan air
dinilai 10 kali lebih kecil dari perak, maka seharusnya emas dinilai 2 kali
lebih besar dibanding perak. Jika emas dinilai 2 kali lebih kecil
dibandingkan perak maka penilaian menjadi tidak konsisten dan proses
harus diulang jika ingin memperoleh penilaian yang lebih tepat. Oleh
sebab itu Logical Consistency adalah proses mengagregasikan seluruh
eigen vector yang diperoleh dari tiap tingkatan hierarki dan dalam proses
itu menghasilkan vektorcomposite tertimbang.

II.7.2.4 Prosedur Analytical Hierarcy Process


Prosedur dalam menggunakan metode AHP terdiri atas 3 langkah, yakni
penyusunan prioritas, perhitungan eigen value dan eigen vector serta pengujian
konsitensi index random dan rasio konsitensi.
1. Penyusunan prioritas
Langkah ini bertujuan untuk mengetahui bobot relatif suatu elemen
terhadap yang lain. Hal ini bertujuan untuk mengetahui tingkat preferensi
dari suatu unsur terhadap kriteria dan struktur hierarki.
Proses penentuan prioritas kriteria dilakukan dengan menyusun per-
bandingan berpasangan. Setelah itu, perbandingan itu diubah ke dalam
ben-tuk matriks perbandingan berpasangan yang digunakan untuk analisis
se-cara numerik. Sebagai contoh, terdapat kriteria Z dengan sejumlah
alternatif di bawahnya. Ai sampai An. Perbandingan antar alternatif dapat
dibuat dalam matrik, seperti pada Tabel 2.17.
Tabel 2. Matriks Perbadingan Berpasangan

Sumber: [CITATION Saa08 \t \l 1033 ]


Nilai a11 , a22 , …. amn adalah nilai perbandingan elemen baris A1 terhadap
kolom A1 yang menyatakan hubungan:
a. Seberapa besar tingkat kepentingan baris A terhadap kriteria Z diban-
dingkan dengan kolom A1.
d. Seberapa besar dominasi baris A1 terhadap kolom A1.
e. Seberapa banyak sifat kriteria Z yang terdapat pada baris A1 diban-
dingkan dengan kolom A1.
Nilai numerik yang dikenakan pada perbandingan itu diperoleh dari skala
perbandingan yang telah ditetapkan oleh Saaty, seperti ditunjukkan di
Tabel 2.18.
Tabel 2. Skala Penilaian Perbandingan Berpasangan
Tingkat
Kepentinga Definisi Keterangan
n
1 Sama pentingnya Kedua elemen mempunyai
pengaruh yang sama.
3 Sedikit lebih penting Penilaian sangat memihak
pada satu elemen
dibandingkan pasangannya.
Satu elemen sangat disukai
dan se-cara praktis
Lebih penting dominasinya sangat nyata
dibandingkan elemen
pasangannya.
Satu elemen terbukti sangat
disukai dan secara praktis
7 Sangat penting
dominasinya dibandingkan
dengan elemen pasangannya
9 Mutlak lebih penting Satu elemen mutlak lebih
disukai di-bandingkan
dengan elemen pasang-
annya.
Tabel 2.18 Skala Penilaian Perbandingan Berpasangan (Lanjutan)
Tingkat
Kepentinga Definisi Keterangan
n
2,4,6,8 Nilai-nilai tengah di an- Nilai nilai ini diperlukan
tara dua pendapat yang suatu kom-promi.
berdampingan
Kebalikan Jika elemen I memiliki salah satu angka di atas ketika
disban-dingkan dengan elemen j, maka j memiliki
kebalikannya ketika dibanding elemen i
Sumber: [CITATION Saa081 \t \l 1033 ]
Seorang pengambil keputusan akan memberikan penilaian dengan mem-
persepsikan atau memperkirakan kemungkinan sesuatu hal/peristiwa yang
dihadapi. Penilaian akan dibuat dalam bentuk matriks berpasangan pada
se-tiap level hierarki. Contoh Pair Wise Comparison Matrix pada suatu
level hierarki ditunjukkan oleh Tabel 2.19.
Tabel 2. Contoh Matriks Perbandingan Berpasangan

D E F G
D 1 5 7 9
E 1/5 1 ¼ 1/9
F 1/7 4 1 5
G 1/9 9 1/5 1
Sumber: [CITATION Saa081 \t \l 1033 ] dengan modifikasi
Baris 1 kolom 2: Jika D dibandingkan dengan E, maka D lebih penting
daripada E, yaitu sebesar 5. Angka 5 bukan berarti bahwa D lima kali
lebih besar dari E, melainkan D lebih penting daripada E, sedangkan nilai
pada baris ke 2 kolom kolom 1 diisi dengan kebalikan dari 5 yaitu 1/5.
58. Eigen value dan eigen vector
Apabila pengambil keputusan sudah menilai setiap perbandingan antara
kriteria pada satu level maka diperlukan sebuah matriks perbandingan di
setiap tingkatan untuk mengetahui kriteria mana yang paling penting.
Dalam hal membahas tentang eigen value dan eigen vector, maka berikut
adalah definisi mengenai matriks dan vektor.
a. Matriks
Matriks adalah sekumpulan humpunan objek (bilangan riil atau
kompleks, variabel) yang terdiri dari kolom dan baris dan disusun
dalam bentuk persegi panjang. Matriks terdiri dari m baris dan n kolom
sehingga matriks itu memiliki ordo m x n. Matriks disebut persegi bila
m=n dan skalanya berada di baris ke-i dan kolom ke-j yang disebut
matriks entri.
r. Vektor dari n dimensi
Adalah susunan elemen yang teratur, berupa angka sebanyak n, yang
disusun secara baik berdasarkan baris dari kiri hingga ke kanan
(disebut vektor baris atau Row Vector dengan ordo 1 x n) maupun
menurut kolom, dari atas ke bawah (disebut vektor kolom atau Colom
Vector dengan ordo n x 1). Himpunan semua vektor dengan n
komponen dengan entri riil dinotasikan dengan R’.
59. Prioritas, Eigen value dan eigen vector
Nilai total matriks dalam masing kolom dibandingkan dengan nilai
matriks dan dijumlahkan pada tiap baris. Hal ini bertujuan nuntuk
menentukan nilai dari masing-masing matriks m x n. Kemudian nilai baris
dari matriks hasil perhitungan ditotalkan. Dalam menentukan nilai
prioritas, maka perlu membandingkan nilai total baris dalam matriks
dengan nilai total dari kolom hasil perhitungan. Nilai eigen value
didapatkan dengan menjum-lahkan perkalian nilai prioritas dalam matris
engan nilai prioritas itu. Nilai eigen value merupakan total dari nilai eigen
dibagi dengan ordo matriks atau n.
60. Uji konsitensi indeks random dan rasio konsitensi
Hal yang membedakan antara AHP dengan model pengambilan keputusan
yang lainnya adalah ketiadaan syarat konsistensi mutlak. Ketidak-
konsistenan terjadi karena disebabkan keterbatasan manusia dalam menya-
takan persepsinya secara konsisten. Oleh karena metode AHP dalam
mewa-dahi ketidakkonsitenan yang terjadi, maka pengambil keputusan
dapat menyatakan persepsinya secara bebas tanpa harus berpikir apakah
persep-sinya konsisten atau tidak. Penentuan konsistensi dari matriks itu
sendiri didasarkan atas eigen value maksimum. Yang diperoleh dengan
rumus berikut:

CI = λ max – nn – 1

Keterangan:
CI = deviasi konsistensi (consistency index)
λ max = nilai eigen terbesar dari matriks berordo n
nn = orde matriks
Jika nilai CI sama dengan nol, maka matriks pairwise comparison tersebut
konsisten. Batas ketidak konsistenan (inconsistency) yang telah ditetapkan
oleh Thomas L. Saaty ditentukan dengan menggunakan Rasio Konsistensi
(CR), yaitu perbandingan indeks konsistensi dengan nilai random indeks
(RI). Rasio Konsistensi dapat dirumuskan pada rumus sebagai berikut:

CI = CR x RI
Keterangan:
CR = Rasio konsistensi
RI = Indeks Random
Nilai indeks random dapat diperoleh melalui Tabel 2.20.
Tabel 2. Nilai Indeks Random (RI)

N 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
RI 0,00 0,00 0,58 0,90 1.12 1,24 1,32 1,41 1,45 1,48
Sumber: [ CITATION Saa08 \l 1033 ]
Jika matriks perbandingan berpasangan (pair wise comparison) dengan
nilai CR lebih kecil dari 0,1 maka ketidak konsistenan pendapat pengambil
keputusan masih dapat diterima dan jika tidak maka penilaian perlu dikaji
ulang.

II.7.2.5 Tahapan Analytical Hierarchy Process (AHP)


Proses ini bertujuan mengimplementasikan metode AHP sehingga
mendukung keputusan dalam menentukan lokasi terminal bis sesuai dengan
kriteria dari hasil studi pustaka. Tahapan pertama proses ini adalah pembuatan
struktur hirarki yang digunakan untuk menggambarkan persoalan atau tujuan yang
akan dicapai. Tujuan yang dicapai dalam analisis AHP ini adalah penentuan lokasi
terminal bis lingkup makro dan mikro. Struktur hirarki masing-masing tujuan
dapat dilihat pada Gambar 3.9 dan Gambar 3.10.

Gambar 3. Struktur Hirarki Penentuan Lokasi Terminal Bis Lingkup Makro


Dasar pemberian nilai kriteria untuk menentukan lokasi terminal lingkup
makro berdasarkan hasil kajian pustaka adalah sebagai berikut:

1. Kelayakan teknis (K1), pada kriteria ini penilaian diukur atas hasil
sintesis dari ketiga subkriteria di bawahnya.
61. Kesesuaian regulasi (K2), pada kriteria ini penilaian diukur berdasarkan
kesesuaian lokasi dengan rencana pengembangan berdasarkan Rencana
Strategi Dinas Perhubungan dan/atau Rencana Tata Ruang Wilayah.
62. Kelayakan ekonomi (K3), pada kriteria ini penilaian diukur ber-dasarkan
kesesuaian lokasi dengan pertimbangan pertumbuhan ekonomi dan
perkembangan sosial. Kelayakan ekonomi memperhatikan Produk
Domestik Regional Bruto yang kemudian dianalisis dengan indeks LQ.
Dasar pemberian nilai subkriteria pada kriteria kelayakan teknis berdasarkan
hasil kajian pustaka adalah sebagai berikut:

1. Kesesuaian dengan jaringan jalan (L1), pada subkriteria ini penilaian


diukur berdasarkan pertimbangan kesesuaian lokasi ter-minal dengan pola
jaringan jalan raya dan kereta api yang terbentuk.
2. Permintaan angkutan (L2), pada subkriteria ini penilaian diukur
berdasarkan pertimbangan potensi permintaan perjalanan penum-pang
yang melakukan transit dan transfer.
3. Kemudahan integrasi antar moda (L3), pada subkriteria ini penilaian
diukur berdasarkan konektivitas antar moda transportasi jalan raya dengan
moda transportasi jalan rel. Semakin dekat jarak stasiun dengan sistem
jaringan transportasi jalan semakin baik maka penilaian semakin besar.

Gambar 3. Struktur Hirarki Penentuan Lokasi Terminal Bis Lingkup Mikro


Dasar pemberian nilai kriteria untuk menentukan lokasi terminal lingkup
mikro berdasarkan hasil kajian pustaka adalah sebagai berikut:

1. Kemudahan aksesibilitas (M1), ukuran yang digunakan pada kriteria ini


adalah hasil sintesis dari penilaian subkriteria ketersediaan pelayanan
angkutan, berada pada pusat kegiatan dan kemudahan untuk berpindah
moda.
63. Kesesuaian lahan dengan rencana pengembangan dan/atau ki-nerja
jaringan jalan (M2), ukuran yang digunakan pada kriteria ini adalah hasil
sintesis dari penilaian subkriteria terhubung dengan jalan arteri dengan ki-
nerja jaringan jalan yang sesuai dan terletak dengan jaringan trayek
angkutan Antar Kota Dalam Provinsi.
64. Ketersediaan lahan (M3), ukuran yang digunakan pada subkriteria ini
adalah luas lahan yang dimiliki suatu alternatif pilihan. Jika luas yang
dimiliki su-atu alternatif memenuhi persyaratan luas minimal maka
semakin tinggi poinnya.
65. Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (M4), pada kriteria ini
yang menjadi pertimbangan adalah kemampuan suatu lokasi
meminimalkan dam-pak terhadap bencana alam yang mempengaruhi
aspek keselamatan operasi angkutan jalan. Jika suatu kawasan ternyata
pada kawasan rentan terdampak bencana banjir, maka terminal harus
mengintegrasikan desain bangunan dengan rencana mitigasi banjir.
66. Kesesuaian dengan RTRW (M5), persyaratan penetapan lokasi terminal
juga harus sesuai dengan RTRW maupun daerah, sehingga diperoleh
gambaran hierarki fungsi kawasan yang berkaitan dengan fungsinya
sebagai Pusat Ke-giatan Nasional (PKN), Pusat Kegiatan Wilayah (PKW)
dan Pusat Kegiatan Lokal (PKL). Ukuran yang digunakan dalam kriteria
ini adalah kesesuaian lokasi terminal dengan pola ruang suatu kawasan.
Dasar pemberian nilai subkriteria pada kriteria kemudahan aksesibilitas
adalah sebagai berikut:

1. Ketersediaan pelayanan angkutan (N1), subkriteria ini


mempertimbangkan ketersediaan moda angkutan dalam jumlah cukup dan
memadai dengan tingkat layanan yang memenuhi standar pelayanan.
Ukuran yang digunakan adalah jumlah trayek yang melintasi suatu
kawasan, semakin banyak trayek yang melintasinya, maka semakin tinggi
poinnya.
67. Berada pada pusat kegiatan (N2), artinya lokasi terminal
mempertimbangkan kedekatan jarak terhadap pusat kegiatan dengan
aktivitas perekonomian, perdagangan dan ekonomi. Semakin dekat
jaraknya maka semakin tinggi peluang terminal tersebut berkembang
karena adanya mobilitas naik turun penumpang,
68. Kemudahan untuk berpindah moda (N3), aksesibilitas dari terminal
menuju ke stasiun. Semakin dekat jarak stasiun dan ter-minal maka
semakin mudah penumpang untuk berpindah moda.
Dasar pemberian nilai subkriteria pada kriteria kesesuaian lahan dengan
rencana pengembangan dan/atau kinerja jaringan jalan adalah sebagai berikut:
1. Terhubung dengan jalan arteri dengan kinerja jaringan jalan yang
sesuai (O1), terdapatnya integrasi antara terminal dengan jaringan jalan
yang memenuhi kualitas pelayanan yang diper-syaratkan tentunya akan
memudahkan bagi pengguna jasa/ masya-rakat yang memanfaatkan
fasilitas terminal. Tingkat pelayanan jalan dapat diketahui dengan
melakukan analisis pada jalan yang berada di dekat lokasi terminal
rencana.
69. Terletak dengan Jaringan Trayek Angkutan Dalam Provinsi (O2),
ukuran yang digunakan dalam subkriteria ini adalaha kesesuaian antara
lokasi terminal dengan jalur trayek eksisting.

II.8 Penelitian Relevan


Penelitian yang relevan dengan tema metode AHP dalam penentuan lokasi
optimal terminal telah diteliti oleh beberapa peneliti terdahulu. Ghadirifaraz
(2015), yang menggunakan metode AHP dalam menentukan lokasi optimum
terminal bis antar kota pada studi kasus Esfahan di Iran. Dalam penelitiannya,
Ghadirifaraz mengevaluasi rencana lokasi terminal dengan mempertimbangkan
faktor-faktor yang berkaitan dengan hal itu. Faktor tersebut antara lain tata guna
lahan, penumpang dan juga kendaraan. Kriteria yang digunakan antara lain: akses
menuju jalan arteri, akses menuju layanan transportasi publik, kecocokan dengan
tata guna lahan, akses menuju infrastruktur kota, kecocokan dengan rencana ruang
dan kemungkinan pengembangan pada masa mendatang. Kriteria tersebut
dievaluasi dengan menggunakan software ArcGis dan model AHP. Lokasi
terminal yang optimal adalah lokasi terminal yang memiliki bobot terbesar dari
beberapa kriteria tersebut.
[ CITATION Pah19 \l 1057 ] mengenai penerapan AHP dalam penentuan
prioritas alternatif lokasi terminal Tipe B di Provinsi Gorontalo. AHP digunakan
dalam menganalisis perbedaan masing-masing alternatif lokasi terminal, kriteria
dan sub kriteria serta menentukan lokasi rekomendasi terminal. Penelitian tersebut
menganalisis masing-masing variabel secara independen. Sebagai tambahan,
Sebayang menggabungkan antara data primer lokasi dan data sekunder yang
berasal dari studi literatur dan diskusi dengan pemangku kepentingan dalam
penelianan dan penentuan lokasi.
[ CITATION Nov12 \l 1057 ] mengevaluasi kriteria penentapan lokasi
terminal tipe A dengan menggunakana analisis kuantitatif menggunakan metode
AHP dari lokasi Terminal Leuwipanjang dan Giwangan sebagai lokasi survei.
Berdasarkan hal itu dihasilkan kesimpulan bahwa kriteria dengan bobot tertinggi
dari terendah adalah sebagai berikut: demand terminal (0,39), kepadatan lalu
lintas dan kapasitas jalan (0,17), kelestarian jalan (0,13), keterpaduan antar moda
(0,19), RUTR (0,09), kondisi topografi (0,07) dan keamanan dan keselamatan
(0,14). Tiap kriteria memiliki subkriteria yaitu untuk demand terminal adalah
jumlah trayek, simpul transportasi, penyebaran perjalanandan asal tujuan
perjalanan. Kriteria Kepadatan lalu lintas dan kepadatan jalan memiliki empat
subkriteria yaitu hambatan samping yang rendah, derajat jenuh 0,7, terdapat pada
jalan arteri minimal kelas IIIA dan memiliki akses masuk minimal 100m. Untuk
kriteria kelestarian lingkungan memiliki tiga subkriteria yaitu dokumen AMDAL,
nilai emisi yang rendah dan kebusingan <74 dB. Urutan subkriteria untuk
keterpaduan antar moda yaitu adanya fasilitas transfer, lima rute jalur angkot dan
terdapat halte angkot di terminal. Kriteria RUTR memiliki empat subkriteria yaitu
terletak di ibukota provinsi, terletak pada jaringan trayek AKAP, terletak di
pinggir kota dan jarak antar terminal 20 km. Kriteria topografi memiliki dua
subkriteria yaitu akses yang mudah untuk lalu lintas AKAP dan memiliki luas
lahan minimal 5 Ha di Pulau Jawa. Dan terakhir kriteria keamanan dan
keselamatan memiliki tiga subkriteria yaitu fatalitas rendah. aman dari gangguan
keselamatan dan akses petugas mudah.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

III.1 Kerangka Berpikir


Setelah melakukan kegiatan mencari, membaca dan menelaah laporan
penelitian sebelumnya dan bahan pustaka yang memuat teori relevan dengan pe-
nelitian yang dilakukan, maka pada bab ini akan dijelaskan tahapan prosen pene-
litian untuk bisa mencapai tujuan penelitian. Tahapan ini meliputi penyusunan ke-
rangka berpikir, tahapan penelitian, pelaksanaan penelitian, penentuan variabel
pe-nelitian, penjelasan dari skala yang digunakan, pengumpulan data yang
diperlukan serta terakhir penjelasan mengenai metode analisis.
Penentuan lokasi terminal menjadi salah satu fokus dalam penelitian ini.
Langkah pertama yang dilakukan adalah mengidentifikasi kriteria dan subkriteria
apa yang berpengarhu dalam penilaian lokasi terminal serta mendapatkan kondisi
aktual dari beberapa alternatif. Langkah selanjutnya adalah menentukan prioritas
lokasi pembangunan dan terakhir adalah mengetahui luas parkir terminal yang
dibu-tuhkan menurut rencana layout terminal yang diajukan. Tahapan tersebut
dapat dili-hat di Gambar 3.1.

Gambar 3. Kerangka Berpikir Penelitian


III.2 Tahapan Penelitian
Tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.2.
BAB I

Anda mungkin juga menyukai