Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH ASUHAN KEPERAWATAN

PASIEN DENGAN VARICELLA

Untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Matra Laut

Disusun oleh:

Ramaidin Simu
Nim:

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
MALUKU HUSADA
BA I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Varicella, yang biasa dikenal di Amerika Serikat sebagai cacar air, disebabkan oleh
virus varicella-zoster. Penyakit ini umumnya dianggap sebagai penyakit virus ringan,
membatasi diri dengan komplikasi sesekali. Before vaccination for varicella became
widespread in the United States, this disease caused as many as 100 deaths annually.
Sebelum vaksinasi varicella menjadi luas di Amerika Serikat, penyakit ini
menyebabkan sebanyak 100 kematian setiap tahunnya. Since the varicella vaccine was
introduced in the United States in 1995, disease incidence has substantially decreased.
Karena vaksin varicella diperkenalkan di Amerika Serikat pada tahun 1995, insiden
penyakit telah secara substansial menurun. Bahkan saat ini, varicella tidak benar-benar
jinak. Satu studi menunjukkan bahwa hampir 1:50 kasus varicella yang terkait dengan
komplikasi. Di antara sebagian besar komplikasi serius varicella pneumonia dan
ensefalitis, keduanya terkait dengan angka kematian yang tinggi.
Selain itu, kekhawatiran telah dikemukakan mengenai hubungan varicella dengan
invasif parah penyakit streptococcus grup A. Untuk alasan yang jelas, anak yang tidak
divaksinasi tetap rentan. Anak dengan varicella mengekspos kontak dewasa di rumah
tangga, sekolah, dan pusat penitipan anak dengan risiko berat, penyakit bahkan fatal.
Varicella adalah umum dan sangat menular dan mempengaruhi hampir semua anak-anak
rentan sebelum remaja. Varicella dikaitkan dengan respon imun humoral dan sel-
dimediasi. Respon ini menginduksi kekebalan yang tahan lama. Ulangi infeksi subklinis
dapat terjadi pada orang-orang ini, namun serangan kedua dari cacar air sangat jarang
terjadi diorang imunokompeten. Reexposure dab infeksi subklinisdapat berfungsi untuk
meningkatkan kekebalan yang diperoleh setelah episode cacar air, ini dapat berubah di era
post vaksin.
1.2 Tujuan

1.2.1 Tujuan Umum


Setelah proses pembelajaran, diharapkan mahasiswa mampu melakukan asuhan
keperawatan sistem integumen pada klien dengan Varicella.

1.2.2 Tujuan Khusus

1.2.2.1 Mahasiswa mampu memahami penyakit varisela (Anatomi Fisiologi Kulit,


definisi, etiologi, patogenesis, pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan, dan
komplikasi.

1.2.2.2 Mahasiswa mampu memahami Asuhan Keperawatan pada pasien Varicella.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Fisiologi Kulit

2.1.1 Anatomi Kulit


Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasinya dari
lingkungan hidup manusia.Luas kulit orang dewasa sekitar 1.5 m2 dengan berat kira-kira
15% berat badan (Wasitaatmadja, 2010).

(sumber : gray’s anatomy :256)

Pembagian kulit secara garis besar tersusun atas tiga lapisan utama yaitu: lapisan
epidermis, lapisan dermis, dan lapisan subkutis. Lapisan epidermis terdiri atas:
1. Stratum korneum (lapisan tanduk) merupakan lapisan kulit yang terluar dan
terdiri atas sel-sel gepeng yang mati, tidak berinti, dan keratin.
2. Stratum lusidum merupakan lapisan sel-sel gepeng tanpa inti dengan
protoplasma yang telah menjadi protein.
3. Stratum granulosum (lapisan keratohialin) yaitu dua atau tiga lapis selsel
gepeng dengan sitoplasma butir kasar dan berinti di antaranya.
4. Stratum spinosum (stratum Malphigi) terdiri atas beberapa lapis sel yang
berbentuk poligonal dengan besar yang berbeda akibat adanya proses mitosis.

5. Stratum basale terbentuk oleh sel-sel berbentuk kubus (kolumnar) yang


tersusun vertikal dan berbaris seperti pagar (palisade).

(sumber : gray’s anatomy : 257)


Lapisan dermis berada di bawah lapisan epidermis dan lebih tebal daripada lapisan
epidermis. Lapisan ini terdiri atas lapisan elastik dan fibrosa padat dengan elemen-elemen
selular dan folikel rambut. Secara garis besar dibagi menjadi dua bagian yaitu:

a. Pars papilare, yaitu bagian yang menonjol ke epidermis yang berisi ujung
serabut saraf dan pembuluh darah.

b. Pars retikulare, yaitu bagian yang menonjol ke arah subkutan yang berisi
serabut- serabut penunjang misalnya: serabut kolagen, elastin, dan retikulin.
Lapisan subkutis adalah kelanjutan dermis yang terdiri atas jaringan ikat longgar
berisi sel lemak. Lapisan sel-sel lemak disebut panikulus adiposa yang berfungsi sebagai
cadangan makanan. Di lapisan ini terdapat ujung-ujung saraf tepi, pembuluh darah, dan
getah bening (Wasitaatmadja, 2010).
2.1.2 Adnexa Kulit
Adneksa kulit terdiri atas kelenjar-kelenjar kulit, rambut, dan kuku. Kelenjar kulit di
lapisan dermis terdiri atas:
1. Kelenjar keringat (glandula sudorifera) ada dua jenis yaitu kelenjar ekrin yang
kecil terletak dangkal di dermis dengan sekret yang encer dan kelenjar apokrin
yang lebih besar terletak lebih dalam dengan sekret lebih kental.
2. Kelenjar palit (glandula sebasea) terletak di seluruh permukaan kulit manusia
kecuali telapak tangan dan kaki. Kelenjar ini disebut juga kelenjar holokrin
karena tidak berlumen dan sekretnya berasal dari dekomposisi sel-sel kelenjar.
Kuku adalah bagian terminal lapisan tanduk (stratum korneum) yang menebal.
Bagian kuku yang terbenam dalam kulit jari disebut akar kuku (nail root), bagian yang
terbuka di atas dasar jaringan lunak kulit pada ujung jari disebut badan kuku (nail plate),
dan yang paling ujung adalah bagian kuku yang bebas. Kuku tumbuh dengan kecepatan
sekitar 1mm per minggu.
Rambut memliki bagian yang terbenam dalam kulit (akar rambut) dan bagian yang
berada di luar kulit (batang rambut). Ada dua tipe rambut, yaitu lanugo merupakan rambut
halus tidak berpigmen pada bayi dan terminal merupakan rambut yang lebih kasar dengan
banyak pigmen serta mempunyai medula pada orang dewasa. Rambut tumbuh secara
siklik, fase anagen (pertumbuhan) berlangsung 2-6 tahun dengan kecepatan sekitar
0.35mm per hari. Fase telogen (istirahat) berlangsung beberapa bulan. Di antara kedua fase
tersebut terdapat fase katagen (Wasitaatmadja, 2010).

2.1.3 Fisiologi Kulit

2.1.3.1 Fungsi proteksi, menjaga bagian dalam tubuh terhadap gangguan fisik atau
mekanis, gangguan kimiawi, gangguan yang bersifat panas, dan gangguan infeksi
luar dengan adanya bantalan lemak.Menurut Menurut Lazarus (1999) bahwa stres
adalah keadaan internal yang dapat diakibatkan oleh tuntutan fisik dari tubuh atau
kondisi lingkungan dan sosial yang dinilai potensial membahayakan, tidak
terkendali atau melebihi kemampuan individu untuk mengatasinya.

2.1.3.2 Fungsi absorpsi, kulit yang sehat tidak mudah menyerap air, larutan dan benda
padat dengan permeabilitas terhadap O2, CO2, dan uap air sehingga kulit ikut
ambil bagian dalam fungsi respirasi. Penyerapan berlangsung melalui celah antar
sel, menembus sel epidermis atau melalui muara saluran kelenjar.
2.1.3.3 Fungsi ekskresi, kelenjar-kelenjar kulit mengeluarkan zat-zat yang tidak berguna
lagi atau sisa metabolisme dalam tubuh berupa NaCl, urea, asam urat, dan amonia.

2.1.3.4 Fungsi persepsi, kulit mengandung ujung-ujung saraf sensoris di dermis dan
subkutis. Rangsang panas oleh badan-badan Ruffini di dermis dan subkutis,
rangsang dingin oleh badan-badan Krause di dermis. Badan Meissner di papila
dermis dan badan Merkel Ranvier di epidermis berperan terhadap rabaan.
Sedangkan rangsang tekanan oleh badan Paccini di epidermis.

2.1.3.5 Fungsi pengaturan suhu tubuh, dengan cara mengeluarkan keringat dan
mengerutkan pembuluh darah kulit.

2.1.3.6 Fungsi pembentukan pigmen.

2.1.3.7 Fungsi keratinisasi.

2.1.3.8 Fungsi pembentukan vitamin D, dengan mengubah 7 dihidroksi kolesterol melalui


pertolongan sinar matahari (Wasitaatmadja, 2010).

2.2 Varicella

2.2.1 Definisi
Varicella adalah suatu penyakit infeksi virus akut dan menular, yang
disebabkan oleh Varicella Zoster Virus (VZV) dan menyerang kulit serta mukosa, ditandai
oleh adanya vesikel-vesikel. (Rampengan, 2008). Varisela yang mempunyai sinonim cacar
air atau chickenpox adalah infeksi akut primer oleh virus varisela- zoster yang menyerang
kulit dan mukosa yang secara klinis terdapat gejala konstitusi, kelainan kulit polimorfi
terutama dibagian sentral tubuh (Djuanda, 1993).
June M. Thomson mendefinisikan varisela sebagai penyakit yang disebabkan oleh
virus varisela-zoster (V-Z virus) yang sangat menular bersifat akut yang umumnya
menganai anak, yang ditandai oleh demam yang mendadak, malese, dan erupsi kulit
berupa makulopapular untuk beberapa jam yang kemudian berubah menjadi vesikel
selama 3-4 hari dan dapat meninggalkan keropeng (Thomson, 1986)
Varisela atau chickenpox atau yang dikenal dengan cacar air adalah infeksi primer
virus varicella-zoster (VZV) yang umumnya menyerang anak dan merupakan penyakit
yang sangat menular.( Hadinegoro.2010)
Sumber:
(http://www.medicinenet.com/imagecollection/varicella_chicken_pox_picture/picture.htm)

2.2.2 Etiologi
Varicella disebabkan oleh Varicella Zoster Virus (VZV), termasuk kelompok
Herpes Virus dengan diameter kira-kira 150-200 nm. Inti virus disebut Capsid, terdiri dari
protein dan DNA dengan rantai ganda, yaitu rantai pendek (S) dan rantai panjang (L) dan
membentuk suatu garis dengan berat molekl 100 juta yang disusun dari 162 capsomir dan
sangat infeksius.
Varicella Zoster Virus (VZV) dapat ditemukan dalan cairan vesikel dan dalam
darah penderita Varicella sehingga mudah dibiakkan dalam media yang terdiri dari
Fibroblast paru embrio manusia.
Varicella Zoster Virus (VZV) dapat menyebabkan Varicella dan Herpes Zoster.
Kontak pertama dengan penyakit ini akan menyebabkan Varicella, sedangkan bila
terjadi serangan kembali, yang akan muncul adalah Herpes Zoster, sehingga Varicella
sering disebut sebagai infeksi primer virus ini. (Dumasari.2008)

2.2.3 Patogenesis
Masa inkubasi varicella 10 - 21 hari pada anak imunokompeten (rata - rata 14 - 17
hari) dan pada anak yang imunokompromais biasanya lebih singkat yaitu kurang dari 14
hari. VZV masuk ke dalam tubuh manusia dengan cara inhalasi dari sekresi pernafasan
(droplet infection) ataupun kontak langsung dengan lesi kulit. Droplet infection dapat
terjadi 2 hari sebelum hingga 5 hari setelah timbul lesi dikulit.
VZV masuk ke dalam tubuh manusia melalui mukosa saluran pernafasan bagian
atas, orofaring ataupun conjungtiva. Siklus replikasi virus pertama terjadi pada hari ke 2 -
4 yang berlokasi pada lymph nodes regional kemudian diikuti penyebaran virus dalam
jumlah sedikit melalui darah dan kelenjar limfe, yang mengakibatkan terjadinya viremia
primer (biasanya terjadi pada hari ke 4 - 6 setelah infeksi pertama). Pada sebagian besar
penderita yang terinfeksi, replikasi virus tersebut dapat mengalahkan mekanisme
pertahanan tubuh yang belum matang sehingga akan berlanjut dengan siklus replikasi virus
ke dua yang terjadi di hepar dan limpa, yang mengakibatkan terjadinya viremia sekunder.
Pada fase ini, partikel virus akan menyebar ke seluruh tubuh dan mencapai epidermis
pada hari ke 14-16, yang mengakibatkan timbulnya lesi dikulit yang khas. Seorang anak
yang menderita varicella akan dapat menularkan kepada yang lain yaitu 2 hari sebelum
hingga 5 hari setelah timbulnya lesi di kulit. (Dumasari.2008).

2.2.4 Pemeriksaan Diagnostik


Untuk pemeriksaan virus varicella zoster (VZV) dapat dilakukan beberapa test yaitu:
2.2.4.1. Tzanck smear

a. Preparat diambil dari discraping dasar vesikel yang masih baru, kemudian diwarnai
dengan pewarnaan yaitu hematoxylin-eosin, Giemsa’s, Wright’s, toluidine blue
ataupun Papanicolaou’s Dengan menggunakan mikroskop cahaya akan dijumpai
multinucleated giant cells.
b. Pemeriksaan ini sensitifitasnya sekitar 84%.

c. Test ini tidak dapat membedakan antara virus varicella zoster dengan herpes simpleks
virus.
2.2.4.2. Direct fluorescent assay (DFA)
a. Preparat diambil dari scraping dasar vesikel tetapi apabila sudah berbentuk krusta
pemeriksaan dengan DFA kurangsensitif.
b. Hasil pemeriksaan cepat.
c. Membutuhkan mikroskop fluorescence.
d. Test ini dapat menemukan antigen virus varicellazoster.
e. Pemeriksaan ini dapat membedakan antara VZV dengan herpes simpleks virus.
2.2.4.3. Polymerase chain reaction (PCR)
a. Pemeriksaan dengan metode ini sangat cepat dan sangat sensitif.
b. Dengan metode ini dapat digunakan berbagai jenis preparat seperti scraping dasar
vesikel dan apabila sudah berbentuk krusta dapat juga digunakan sebagai preparat,
danCSF.
c. Sensitifitasnya berkisar 97 - 100%.
d. Test ini dapat menemukan nucleic acid dari virus varicellazoster
2.2.4.4. Biopsi kulit
Hasil pemeriksaan histopatologis : tampak vesikel intraepidermal dengan degenerasi
sel epidermal dan acantholysis. Pada dermis bagian atas dijumpai adanya lymphocytic
infiltrate. (Dumasari.2008).

2.2.5 Manifestasi Klinis


Perjalanan penyakit ini dibagi menjadi 2 stadium, yaitu:

2.2.5.1 Stadium Prodromal:


24 jam sebelum kelainan kulit timbul, terdapat gejala panas yang tidak terlalu tinggi,
perasaan lemah (malaise), sakit kepala, anoreksia, rasa berat pada punggung dan kadang-
kadang disertai batuk kering diikuti eritema pada kulit dapat berbentuk scarlatina form
atau morbiliform.
Panas biasanya menghilang dalam 4 hari, bilamana panas tubuh menetap perlu
dicurigai adanya komplikasi atau gangguan imunitas.

2.2.5.2 Stadium Erupsi:


Dimulai saat eritema berkembang dengan cepat (dalam beberapa jam) berubah
menjadi macula kecil, kemudian papula yang kemerahan lalu menjadi vesikel. Vesikel ini
biasannya kecil, berisi cairan jernih, tidak umbilicated dengan dasar eritematous, mudah
pecah serta mongering membentuk krusta, bentuk ini sangat khas dan lebih dikenal sebagai
“tetesan embun”/”air mata”.
Lesi kulit mulai nampak di daerah badan dan kemudian menyebar secara sentrifugal
ke bagian perifer seperti muka dan ekstremitas. Dalam perjalanan penyakit ini akan
didapatkan tanda yang khas yaitu terlihat adanya bentuk papula, vesikel, krusta dalam
waktu yang bersamaan, dimana keadaan ini disebut polimorf. Jumlah lesi pada kulit dapat
250-500, namun kadang-kadang dapat hanya 10 bahkan lebih sampai 1500. Lesi baru tetap
timbul selama 3-5 hari, lesi sering menjadi bentuk krusta pada hari ke-6 (hari ke-2 sampai
ke-12) dan sembuh lengkap pada hari ke- 16 (hari ke-7 sampai ke-34).
Erupsi kelamaan atau terlambatnya berubah menjadi krusta dan penyembuhan,
biasanya dijumpai pada penderita dengan gangguan imunitas seluler. Bila terjadi infeksi
sekunder, sekitar lesi akan tampak kemerahan dan bengkak serta cairan vesikel yang
jernih berubah menjadi pus disertai limfadenopati umum. Vesikel tidak hanya
terdapat pada kulit, melainkan juga terdapat pada mukosa mulut, mata, dan faring.
Pada penderita varicella yang disertai dengan difisiensi imunitas (imun defisiensi)
sering menimbulkan gambaran klinik yang khas berupa perdarahan, bersifat progresif dan
menyebar menjadi infeksi sistemik. Demikian pula pada penderita yang sedang mendapat
imunosupresif. Hal ini disebabkan oleh terjadinya limfopenia (Rampengan.2008).

2.2.6 Komplikasi
Beberapa komplikasi dapat terjadi pada infeksi varisela, infeksi yang dapat terjadi
diantaranya adalah:
2.2.6.1 Infeksi sekunder dengan bakteri
Infeksi bakteri sekunder biasanya terjadi akibat stafilokokus. Stafilokokus dapat
muncul sebagai impetigo, selulitis, fasiitis, erisipelas furunkel, abses, scarlet fever, atau
sepsis.
2.2.6.2 Varisela Pneumonia
Varisela Pneumonia terutama terjadi pada penderita immunokompromis, dan
kehamilan. Ditandai dengan panas tinggi, Batuk, sesak napas, takipneu, Ronki basah,
sianosis, dan hemoptoe terjadi beberapa hari setelah timbulnya ruam. Pada pemeriksaan
radiologi didapatkan gambaran noduler yang radio-opak pada kedua paru.
2.2.6.3 Ensefalitis
Komplikasi ini tersering karena adanya gangguan imunitas. Dijumpai 1 pada 1000
kasus varisela dan memberikan gejala ataksia serebelar, biasanya timbul pada hari 3-8
setelah timbulnya ruam.
2.2.6.4 Neurologik
a. Acute postinfeksius cerebellar ataxia
Ataxia sering muncul tiba-tiba, selalu terjadi 2 - 3 minggu setelah timbulnya
varicella. Keadaan ini dapat menetap selama 2 bulan. Manisfestasinya berupa tidak dapat
mempertahankan posisi berdiri hingga tidak mampu untuk berdiri dan tidak adanya
koordinasi dan dysarthria. Insiden berkisar 1 : 4000 kasus varicella
b. Herpes zoster
Komplikasi yang lambat dari varicella yaitu timbulnya herpes zoster, timbul
beberapa bulan hingga tahun setelah terjadinya infeksi primer. Varicella zoster virus
menetap pada ganglion sensoris.
c. Reye syndrome
Ditandai dengan fatty liver dengan encephalophaty. Keadaan ini berhubungan
dengan penggunaan aspirin, tetapi setelah digunakan acetaminophen (antipiretik) secara
luas, kasus reye sindrom mulai jarang ditemukan. (Dumasari.2008).

2.2.7 Penatalaksanaan
Karena umumnya bersifat ringan, kebanyakan penderita tidak memerlukan terapi
khusus selain istirahat dan pemberian asupan cairan yang cukup. Yang justru sering
menjadi masalah adalah rasa gatal yang menyertai erupsi. Bila tidak ditahan-tahan , jari
kita tentu ingin segera menggaruknya. Masalahnya,bila sampai tergaruk hebat, dapat
timbul jaringan parut pada bekas gelembung yang pecah. Penatalaksanaan pasien dengan
Varisela adalah sebagai berikut:

a. Isolasi untuk mencegah penularan.

b. Diet bergizi tinggi (Tinggi Kalori dan Protein).

c. Bila demam tinggi, kompres dengan air hangat.

d. Upayakan agar tidak terjadi infeksi pada kulit, misalnya pemberian antiseptik pada air
mandi

e. Upayakan agar vesikel tidak pecah: Jangan menggaruk vesikel, kuku jangan dibiarkan
panjang, bila hendak mengeringkan badan, cukup tepal-tepalkan handuk pada kulit dan
jangan digosok.

f. Farmakoterapi

1) Antivirus (contoh : Asiklovir, Valasiklovir). Pemberian antivirus dapat mengurangi


lama sakit, keparahan dan waktu penyembuhan akan lebih singkat. Antivirus
sebaiknya dalam jangka waktu kurang dari 48-72 jam setelah erupsi dikulit muncul

2) Antipiretik dan untuk menurunkan demam. Parasetamol atau ibuprofen. Jangan


berikan golongan salisilat (aspirin) untuk menghindari terjadinya sindrom Reye

3) Vesikel yang sudah pecah atau sudah terbentuk krusta, dapat diberikan salep
antibiotik untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder.

4) Bila lesi masih dalam bentuk vesikel, dapat diberikan bedak atau losio pengurang
gatal (misalnya losio kalamin).
2.2.8 Pencegahan

2.2.8.1 Hindari kontak dengan penderita.

2.2.8.2 Tingkatkan daya tahan tubuh.

2.2.8.3 Imunoglobulin Varicella Zoster


Varicella zoster immunoglobulin (VZIG) adalah antibodi IgG terhadap VZV dengan
dosis pemberian satu vial untuk 10 kg berat badan secara intramuskular (IM). VZIG
profilaksis diindikasikan untuk individu beresiko tinggi, termasuk anak-anak
imunodefisiensi, wanita hamil yang pernah mempunyai kontak langsung dengan penderita
varicella, neonatal yang terekspose oleh ibu yang terinfeksi varicella, setidaknya diberikan
dalam waktu tidak lebih dari 96 jam. Antibodi yang diberikan setelah timbulnya gejala
tidak dapat mengurangi keparahan yang terjadi. (Kurniawan. 2009)
Anak yang belum pernah menderita cacar air harus mendapatkan 2 dosis vaksinasi
cacar air pada usia : dosis pertama : 12-15 bulan dan dosis ke-2 : 4-6 tahun (bisa diberikan
lebih cepat jika jarak minimal 3 bulan setelah dosis pertama)
Bagi yang berusia 13 tahun keatas (yang belum pernah menderita cacar air atau
mendapatkan vaksinasi cacar air) arus mendapatkan dua dosis minimal dalam jarak waktu
28 hari. (Centers for Disease Control and Prevention)

2.3 Konsep Asuhan Keperawatan

2.3.1 Pengkajian

2.3.1.1 Anamnesa

a. Identitas Klien
Dapat terjadi pada semua orang di semua umur; sering terjadi pada remaja dan
dewasa muda. Jenis kelamin; dapat terjadi pada pria dan wanita.

b. Keluhan Utama
Gejala yang sering menyebabkan penderita datang ke tempat pelayanan kesehatan
adalah nyeri pada lesi yang timbul dan gatal-gatal pada daerah yang terkena pada fase-fase
awal.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Penderita merasakan nyeri yang hebat, terutama pada area kulit yang mengalami
peradangan berat dan vesikulasi yang hebat, selain itu juga terdapat lesi/vesikel
perkelompok dan penderita juga mengalami demam.

d. Riwayat Kesehatan Lalu


Tanyakan apakah klien pernah mengalami hal yang sama sebelumnya

e. Riwayat Kesehatan Keluarga


Tanyakan kepada penderita ada atau tidak anggota keluarga atau teman dekat yang
terinfeksi virus ini.

f. Riwayat Psikososial
Klien dengan penyakit kulit, terutama yang lesinya berada pada bagian muka atau
yang dapat dilihat oleh orang, biasanya mengalami gangguan konsep diri.hal itu meliputi
perubahan citra tubuh, ideal diri tubuh, ideal diri, harga diri, penampilan peran, atau
identitas diri. Reaksi yang mungkin timbul adalah:

1. Menolak untuk menyentuh atau melihat salah satu bagian tubuh.

2. Menarik diri dari kontak social.

3. Kemampuan untuk mengurus diri berkurang.

2.3.1.2 Pemeriksaan Fisik


Keadaan umum klien bergantung pada luas, lokasi timbulnya lesi, dan daya tahan
tubuh klien. pada kondisi awal/saat proses peradangan , dapat terjadi peningkatan suhu
tubuh atau demam dan perubahan tanda-tanda vital yang lain. Pada pengkajian kulit,
ditemukan adanya vesikel-vesikel berkelompok yang nyeri ,edema di sekitar lesi, dan
dapat pula timbul ulkus pada infeksi sekunder. Pada pemeriksaan genitalia pria, daerah
yang perlu diperhatikan adalah bagian glans penis, batang penis, uretra, dan daerah anus.
Sedangkan pada wanita, daerah yang perlu diperhatikan adalah labia mayor dan minor,
klitoris, introitus vagina, dan serviks. Jika timbul lesi, catat jenis, bentuk, ukuran / luas,
warna, dan keadaan lesi. Palpasi kelenjar limfe regional, periksa adanya pembesaran; pada
beberapa kasus dapat terjadi pembesaran kelenjar limfe regional.
Untuk mengetahui adanya nyeri, kita dapat mengkaji respon individu terhadap nyeri
akut secara fisiologis atau melalui respon perilaku. Secara fisiologis,terjadi diaphoresis,
peningkatan denyut jantung, peningkatan pernapasan, dan peningkatan tekanan darah;
pada perilaku, dapat juga dijumpai menangis, merintih, atau marah. Lakukan pengukuran
nyeri dengan menggunakan skala nyeri 0-10 untuk orang dewasa. Untuk anak-anak, pilih
skala yang sesuai dengan usia perkembangannya kita bisa menggunakan skala wajah untuk
mengkaji nyeri sesuai usia; libatkan anak dalam pemilihan.

2.3.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN


1. Nyeri akut berhubungan dengan lesi kulit (chicken pox)
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anorexia
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi kulit
4. Hipertermi berhubungan dengan proses infoksi
5. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan malaise
6. Kurang pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan paparan

2.3.3 INTERVENSI
DX I : Nyeri akut berhubungan dengan lesi kulit (chicken pox)
NOC : Control nyeri
Tujuan : Nyeri berkurang/hilang
Kriteria hasil :
1. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan teknik non
farmakologi untuk mengurangi nyeri)
2. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri
3. Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi, nyeri)
4. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
5. Tanda vital dalam rentang normal
Skala :
1 = Tidak pernah menunjukkan
2 = jarang menunjukkan
3 = kadang menunjukkan
4 = sering menunjukkan
5 = selalu menunjukkan

NIC : Manajemen Nyeri


1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
2. Observasi reaksi non verbal dari ketidaknyamanan
3. Ajarkan tentang teknik non farmakologi (relaksasi, distraksi)
4. Tingkatkan istirahat
5. Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri
6. Control lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan,
pencahayaan.

DX II : Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia


NOC : Status nutrisi
Tujuan : Status nutrisi terpenuhi
Kriteria hasil
1. Mempertahankan pemasukan nutrisi
2. Mempertahankan BB
3. Melaporkan keadekuatan tingkat energy
Keterangan Skala :
1 = tidak pernah menunjukkan
2 = jarang menunjukkan
3 = kadang menunjukkan
4 = sering menunjukkan
5 = selalu

DX III : Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi kulit


NOC : Integritas jaringan, kulit dan membran mukosa
Tujuan : Kerusakan integritas kulit tidak terjadi
Kriteria hasil
1. Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan (sensasi, elastisitas, temperatur, hidrasi,
pigmentasi)
2. Tidak ada luka pada kulit
3. Perfusi jaringan baik
4. Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban kulit
Skala :
1 = ekstrem
2 = berat
3 = sedang
4 = ringan
5 = tidak ada gangguan

NIC : Presure Management


1. Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar
2. Hindari kerutan pada tempat tidur
3. Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering
4. Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap 2 jam sekali
5. Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien
6. Monitor status nutrisi pasien

DX IV : Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi


NOC : Termoregulation
Tujuan : Tidak terjadi peningkatan suhu tubuh
Kriteria hasil
1. Suhu tubuh dalam batas normal
2. Nadi dan RR dalam rentang normal
3. Tidak ada perubahan warna kulit dan tidak ada pusing, merasa nyaman
Skala :
1 = tidak normal
2 = jauh dari normal
3 = hampir normal
4 = cukup normal
5 = normal
NIC : Regyulasi Suhu
1. Observasi TTV
2. Berikan minuman per oral
3. Kompres dengan air hangat
4. Kolaborasi pemberian antipiretik

DX V : Intoleransi aktifitas berhubungan dengan Malaise


NOC : Penghematan energy
Tujuan : Dapat melakukan aktifitas secara mandiri
Kriteria hasil
1. Melaporkan peningkatan toleransi terhadap aktifitas
2. TTV dalam batas normal
3. Suhu normal

Skala :
1. = tidak normal
2. = jauh dari normal
3. = hampir normal
4. = cukup normal
5. = normal

NIC : Pengelolaan Energi


1. Evaluasi respon pasien terhadap aktifitas
2. Berikan lingkungan yang tenang dan batasi pengunjung
3. Bantu pasien memilih posisi nyaman untuk istirahat
4. Jelaskan pentingnya istirahat dan perlunya keseimbangan antara istirahat dan aktifitas
5. Bantu aktifitas perawatan diri yang diperlukan

DX VI : Kurang pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan paparan


NOC : Pengetahuan prosedur perawatan
Tujuan : Diharapkan tingkat pengetahuan pasien berhubungan dengan penyakitnya dapat
meningkat
Kriteria hasil
1. Mendeskripsikan prosedur
2. Menjelaskan tujuan dari prosedur
3. Mendeskripsikan tahap dari prosedur
4. Mendeskripsikan hubungan pencegahan dengan prosedur
5. Mendeskripsikan perawatan mandiri dengan alat
6. Menunjukkan prosedur perawatan
7. Mendeskripsikan potensial efek seimbang
Keterangan Skala :
1 = tidak ada
2 = terbatas
3 = sedang
4 = berat
5 = estensif

NIC : Mengajarkan proses penyakit


1. Tingkatkan tingkat pengetahuan pasien yang berhubungan dengan proses
penyakit yang spesifik
2. Deskripsikan tanda dan gejala umum dari penyakit
3. Identifikasi penyebab yang mungkin
4. Diskusikan terapi/perawatan
5. Instruksikan kepada pasien untuk meminimalkan efek samping

2.3.4 EVALUASI
DX I : Nyeri akut berhubungan dengan lesi kulit (chicken pox)
Kriteria Hasil
Skala
1. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan teknik non
farmakologi untuk mengurangi nyeri)
2. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri
3. Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi, nyeri)
4. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
5. Tanda vital dalam rentang normal

DX II : Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia


Kriteria Hasil
Kriteria Hasil
Skala
1. Mempertahankan pemasukan nutrisi
2. Mempertahankan BB
3. Melaporkan keadekuatan tingkat energi
DX III : Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi kulit
Kriteria Hasil :
Kriteria Hasil
Skala
1. Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan (sensasi, elastisitas, temperatur, hidrasi,
pigmentasi)
2. Tidak ada luka / lesi pada kulit4
3. Perfusi jaringan baik
4. Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban kulit4

DX IV : Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi


Kriteria Hasil :
Kriteria Hasil
Skala
1. Suhu tubuh dalam batas normal
2. Nadi dan RR dalam rentang normal
3. Tidak ada perubahan warna kulit dan tidak ada pusing, merasa nyaman

DX V : Intoleransi aktifitas berhubungan dengan Malaise


Kriteria Hasil :
Kriteria Hasil
Skala
1. Melaporkan peningkatan toleransi terhadap aktifitas
2. TTV dalam batas normal
3. Suhu normal

DX VI : Kurang pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan paparan


Kriteria Hasil :
Kriteria Hasil
Skala
1. Mendeskripsikan prosedur
2. Menjelaskan tujuan dari prosedur
3. Mendeskripsikan tahap dari prosedur
4. Mendeskripsikan hubungan pencegahan dengan prosedur
5. Mendeskripsikan perawatan mandiri dengan alat
6. Menunjukkan prosedur perawatan
7. Mendeskripsikan potensial efek seimbang
DAFTAR PUSTAKA
1. Centers for Disease Control and Prevention. 2008. Vaksinasi Cacar Air.
http://www.immunize.org/vis/in_var.pdf
2. Djuanda, Adhi (1993). Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin, Edisi Kedua, FK
Universitas Indonesia, Jakarta, 1993.
3. Dumasari, Ramona.2008. Varicella Dan Herpes Zozter. Departemen Ilmu Kesehatan
Kulit Dan Kelamin. Universitas Sumatra Utara.
4. Finn, Adam 2005. Hot Topics In Infection And Immunity In Children II. New York:
Spinger
5. Hadinegoro , dkk. 2010. Terapi Asiklovir Pada Anak Dengan Varisela Tanpa
Penyulit . Departemen Ilmu Kesehatan Anak, RS Dr Cipto Mangunkusumo, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Sari Pediatri, Vol. 11, No. 6, April 2010
6. Joanne M. McCloskey Dochterman. 2013. Nursing Interventions Classification (NIC).
Elsevier. Mosby
7. Katsambas, Andreas. 2015. European Handbook of Dermatological Treatments. New
York: Spinger
8. Kurniawan, dkk. 2009. Varicela Zoster Pada Anak. Medicinus · Vol. 3 No. 1 Februari
2009 – Mei 2009
9. Mansjoer Arif dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Media Aescula plus.
Jakarta.
10. Mehta. 2006. Pyoderma gangrenosum on varicella lesions. Clinical and Experimental
Dermatology.Volume 32, pages 215–217, 27 November 2006
11. NANDA.2014. Nursing Diagnoses definitions and clasification 2015-2017 10th
edition.
12. Wiley Blackwell Prabhu, Smitha. 2009. Chilhood Herpes Zoster : A Clustering Of Ten
Cases. Indian Journal Of Dermatology.Vol : 54 Page 62-64
13. Rampengan, T.H. 2008. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak, Edisi 2, jakarta: EGC.
Richard,E.Berhman,dkk.2012. Ilmu Kesehatan Anak Nelson.Jakarta:EGC.
14. Siregar., 2005. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta ; EGC. Sue Moorhead.
2013. NOC. Elsevier. Mosby
15. Thomson ,June M., et. al. 1986. Clinical Nursing Practice, The C.V. Mosby Company,
Toronto
16. Wasitaatmadja,S,M. 2010 Anatomi Kulit dan Faal Kulit. ed. 6 Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Anda mungkin juga menyukai