Anda di halaman 1dari 13

RESUME MATERI PERKULIAHAN TINDAK PIDANA KHUSUS

Nama : Putra Perdana Situmorang

N.I.M : 180200314

Grup :C

 PERTEMUAN 1

TINDAK PIDANA SUAP


PERBEDAAN UNSUR PASAL 5 DAN PASAL 12 UNDANG-UNDANG TIPIKOR

Pasal 5 ayat (1) yang dikenal sebagai suap aktif, yang mana unsurnya adalah sebagai
berikut;

 Memberi atau menjanjikan sesuatu Kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat
atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya Bertentangan dengan kewajbannya.
 Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau
berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban dilakukan atau
tidak dilakukan dalam jabatannya .

Perbedaan antara Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b yaitu terletak pada unsur
perbuatan materil. Pada huruf b tidak terdapat unsur “menjanjikan”. Kemudian pada huruf a
disebutkan “Berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya”, sedangkan pada huruf b
“dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya” ; maksudnya yaitu perbuatan tersebut
dapat tergolong pada ommissie delict; berupa pelanggaran terhadap keharusan di dalam
undang-undang yang sifatnya aktif atau commissie delict; berupa pelanggaran terhadap
larangan di dalam undang-undang yang bersifat pasif. Pasal 5 ayat (2) biasa disebut dengan
suap pasif, yang mana unsur-unsurnya adalah sebagai berikut :

 Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara menerima pemberian atau janji
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau b dipidana dengan pidana sama
dengan dimaksud dalam ayat (1)
Apabila dilihat dari unsur pasalnya, pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
menerima sesuatu atau janji sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a atau
b tersebut juga dikenakan pidana yang sama.

Unsur Pasal 12 dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat empat tahun dan paling lama dua puluh tahun dan denda paling sedikit Rp.
200.000.000,- dan paling banyak Rp. 1.000.000.000. Pegawai negeri atau penyelenggara
negara menerima hadiah atau janji dan diketahui atau patut diduganya hadiah atau janji
tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam
jabatannya bertentangan dengan kewajibannya . Dan Pegawai negeri atau penyelenggara
negara menerima hadiah dan diketahui atau patut diduganya bahwa hadiah tersebut diberikan
sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam
jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya .

Banyaknya kasus suap yang melibatkan pengusaha dengan kepala daerah, dalam proses
dakwaannya pengusaha di kenakan Pasal 5 sedangkan kepala daerah dikenakan Pasal 12
huruf a. Permasalahannya yaitu di dalam Pasal 5 ayat (1) atau (2), sebagaimana yang telah di
uraikan di atas, ancaman hukumannya lebih ringan apabila dibandingkan dengan Pasal 12
huruf a atau b.

 PERTEMUAN 2
NIAT JAHAT DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

Mens Rea merupakan suatu istilah yang digunakan oleh negara-negara common law
untuk menandakan kesalahan pada perbuatan seseorang. “Niat Jahat (Mens Rea) dalam
hukum pidana merupakan masuk dalam kajian “pertanggungjawaban pidana”. Ketika terjadi
dugaan tindak pidana, maka pertama sekali yang perlu dibuktikan adalah ada atau tidaknya
perbuatan melawan hukum. Setelah terbukti perbuatan melawan hukumnya baru dilihat
apakah terdakwa dapat dimintai pertanggungjawaban pidananya atau tidak..
Pertanggungjawaban pidana yang dimasud digunakan untuk menenrukan apakah sitersangka
atau terdakwa dapat dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana yang terjadi. Niat jahat
(Mens rea) yang diartikan sebagai kehendak bebas pada diri manusia, pada hakikatnya
melahirkan dua aliran tujuan pemidanaan yaitu aliran klasik dan aliran positif.
A. Aliran Klasik

Dalam perkembangannya aliran klasik melahirkan dua teori tujuan dari pemidanaan yaitu :

1. Teori Retributif.

Teori ini menitikberatkan tujuan pemidanaan pada alsan bahwa pemidanaan merupakan
“Morally Justified” karena pelaku kejahatan dapat dikatakan layak untuk menerimanya atas
kejahatan yang dilakukannya. Immanuel Kant dan Hegel menitikberatkan ciri khas teori ini
pada keyakinan mutlak akan keniscayaan pidana, sekalipun sebenarnya suatu pidana tersebut
tidak berguna. Kant memandang bahwa dalam pemidanaan terdapat suatu imperatif kategoris
yang merupakan tuntutan mutlak dipidananya seseorang karena telah melakukan kejahatan.
Sementara Hegel memandang bahwa pemidanaan adalah hak dari pelaku kejahatan atas
perbuatan yang dilakukannya berdasarkan kemauannya sendiri.

2. Teori Deterrence

Tujuan pemidanaan sebagai deterrence effect ini, dapat dibagi menjadi pencegahan
umum (general deterrence) dan pencegahan khusus (individual or special deterrence). Tujuan
pemidanaan untuk prevensi (pencegahan) umum diharapkan memberikan peringatan kepada
masyarakat supaya tidak melakukan kejahatan. Prevensi umum ini menurut Van Veen
mempunyai tiga fungsi yaitu;

 Menegakkan wibawah pemerintah,


 Menegakkan norma dan
 Membentuk norma.

Prevensi khusus dimaksudkan bahwa dengan pidana yang dijatuhkan, memberikan


deterrence effect kepada si pelaku sehingga tidak mengulangi perbuatannya kembali.
Sedangkan fungsi perlindungan kepada masyarakat memungkinkan bahwa dengan pidana
pencabutan kebebasan selama beberapa waktu, maka masyarakat akan terhindar dari
kejahatan yang mungkin dilakukan oleh pelaku.

B. Aliran Positif

Aliran positif lahir pada abad ke-19 yang dipelopori oleh Casare Lombroso (1835-
1909), Enrico Ferri (1856-1928), dan Raffaele Garofalo (1852-1934). Mereka menggunakan
pendekatan metode ilmiah untuk mengkaji kejahatan dengan mengkaji karakter pelaku dari
sudut pandang ilmu biologi, psikologi dan sosiologi dan objek analisisnya adalah kepada
pelaku, bukan kejahatannya. Aliran positif melihat kejahatan secara empiris dengan
menggunakan metode ilmiah untuk mengkonfirmasi fakta-fakta di lapangan dalam kaitannya
dengan terjadinya kejahatan. Aliran ini beralaskan paham determinisme yang menyatakan
bahwa seseorang melakukan kejahatan bukan berdasarkan kehendaknya karena manusia
tidak mempunyai kehendak bebas dan dibatasi oleh berbagai faktor, baik watak pribadinya,
faktor biologis, maupun faktor lingkungan. Oleh karena itu pelaku kejahatan tidak dapat
dipersalahkan dan dipidana, melainkan harus diberikan perlakuan (treatment) untuk
resosialisasi dan perbaikan sipelaku.

EKSISTENSI MENS REA SEBAGAI BAGIAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA

Ada dua paham yang berhubungan dengan pertanggungjawaban pidana yang selama
ini dianut, yaitu paham indeterminisme (kehendak bebas) dan paham determinisme (tidak
punya kehendak bebas). Pengaruh aliran klasik yang menganut “kehendak bebas” terkait
“niat jahat (mens rea)” secara eksistensinya dalam pertanggungjawaban pidana dengan
hadirnya asas kesalahan, berupa kesengajaan (dolus) dan kelalaian (culpa) diantara

1. Kesengajaan (Dolus)

Dalam kitab Undang-undang Hukum Pidana (Crimineel Wetboek) Tahun 1809


dicantumkan: “Sengaja ialah kemauan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan
perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang”. Dalam Memorie van
Toelichting (MvT) Menteri Kehakiman sewaktu Pengajuan Criminiel Wetboek 1881 (yang
menjadi Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia Tahun 1915), dijelaskan: “Sengaja”
diartikan: “dengan sadar dan kehendak melakukan suatu kejahatan tertentu”. Ada dua teori
yang berkaitan dengan perngertian “sengaja”, yaitu teori kehendak dan teori pengetahuan
atau membayangkan. Dalam ilmu hukum pidana pada umumnya dibedakan tiga macam
kesengajaan, yaitu :

A. Kesengajaan sebagai maksud (opzet alsoogmerk)

Dalam kesengajaan ini, seseorang melakukan tindak pidana yang dilakukan untuk
mencapai suatu tujuan. Perkataan ”dengan maksud” dalam pasal ini adalah terjemahan dari
perkataan ”met het oogmerk” yang berarti bahwa kesengajaan (opzet) pada pasal ini haruslah
ditafsirkan sebagai opzet dalam arti sempit atau semata-mata sebagai opzet als oogmerk.
Dalam hal ini maksud sipelaku tidak boleh ditafsirkan lain kecuali ”dengan maksud untuk
menguntungkan dirinya sendiri atau orang lain secara melawan hukum.

B. Kesengajaan dengan kesadaran akan kepastian

Kesengajaan dengan kesadaran akan kepastian adalah kesengajaan bahwa pelaku


dengan perbuatannya itu tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari
delict tetapi si pelaku tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu, kalau
hal itu terjadi.

C. Kesengaan dengan kesadaran kemungkinan

Kesengajaan secara kemungkinan (Opzet met waarschijnlijkheid Bewustzinj) bahwa


pelaku memandang akibat dari apa yang dilakukannya tidak sebagai suatu hal yang niscaya
terjadi, melainkan sekedar sebagai suatu kemungkinan bahwa hal pasti terjadi.

2. Kelalaian (culpa)

Van Hammel membagi culpa menjadi dua jenis, yaitu:

 ∙ Kurang melihat ke depan yang perlu. Hal ini terjadi jika terdakwa tidak
membayangkan secara tepat atau sama sekali tidak membayangkan akibat yang akan
terjadi. Sedangkan yang
 ∙ Kurang hati-hati yang perlu, misalnya seseorang menarik picu pistol karena mengira
tidak ada isinya.

 PERTEMUAN 3

KEJAHATAN KORPORASI (CORPORATE CRIME)

Perkembangan korporasi sebagai subjek hukum pidana merupakan bagian dari akibat
terjadinya perubahan-perubahan dalam masyarakat dalam melakukan aktivitas usahanya.
menurut Rudy Prasetya menyebutkan bahwa timbulnya konsep badan hukum adalah sekedar
konsep dalam hukum perdata sebagai kebutuhan untuk menjalankan kegiatan usaha yang
diharapkan lebih berhasil. Korporasi merupakan suatu ciptaan hukum yaitu merupakan
pemberian status sebagai subjek hukum kepada suatu badan, disamping subjek hukum yang
berwujud manusia alamiah. Dengan demikian badan hukum dianggap dapat menjalankan
atau melakukan suatu tindakan hukum. Pemberian status subjek hukum khusus yang berupa
badan hukum tersebut dalam perkembangannya dapat terjadi karena berbagai macam alasan.
Misalnya yaitu untuk memudahkan penentuan siapa yang harus bertanggungjawab di antara
himpunan tersebut, yang secara yuridis dikonstruksikan dengan menunjuk badan hukum
sebagai subjek yang bertanggungjawab. Oleh karenanya, dalam perkembangan korporasi
sebagai subjek hukum diakui juga dalam bidang hukum pajak, hhukum administrasi negara
maupun hukum pidana. Dengan diakuinya suatu korporasi sebagai subjek subjek hukum,
maka suatu korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban pidananya.

Dalam perkembangannya suatu korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban pidana


dalam hal tindak pidana yang dilakukan oleh para pihak yang berbuat atas nama perusahaan
baik secara pasif maupun secara aktif. Hal ini juga disebabkan karena beberapa alasan yaitu :

 ∙ Korporasi merupakan suatu badan usaha yang keberadaannya dan status hukumnya
disamkan dengan manusia.
 ∙ Korporasi dapat memiliki kekayaan dan utang, mempunyai kewajiban dan hak yang
dapat bertindak menurut hukum, melakukan gugatan dan dapat dituntut dimuka
pengadilan.
 ∙ Suatu korporasi tidak dapat disamakan dengan manusia, namun korporasi
merupakan suatu buatan manusia yang dijalankan oleh manusia dalam
pengelolaannya.
 ∙ Korporasi memiliku organ yang didalamnya terdapat RUPS, Dewan komisaris dan
Dewan Direksi

 PERTEMUAN 4

TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DAN KEKHUSUSAN DALAM TPPU

Tindak pidana pencucian uang (TPPU) adalah segala perbuatan yang memenuh unsur-
unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2010,
yang mana harta kekayaan tersebut bersumber dari tindak pidana sebagaimana yang
disebutkan dalam Pasal 2 UU No. 8 Tahun 2010. Dalam hal korporasi sebagai subyek TPPU
dapat pula dimintai pertanggungjawaban pidananya apabila :

o Dilakukan atau diperintahkan oleh personil pengendali korporasi


o Dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan korporasi
o Dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah ∙ Dilakukan
dengan maksud memberikan manfaat bagi korporasi.

Terdapat beberapa kekhususan dalam TPPU yaitu berupa :

o Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaaan di sidang pengadilan serta pelaksanaan


putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini kecuali ditentukan lain dalam
undang-undang ini (Pasal 68)
o Untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan
terhadap tindak pidana pencucian uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak
pidana asalnya (Pasal 69)

Alat Bukti terdiri dari:

o Alat bukti sbagaimana yang dimaksud dalam Hukum acara Pidana


o Alat bukti berupa informasi yang diucapkan, dikiirmkan, diterima atau disimpan
secara elektronik dengan alat optik atau alat yang serupa optik dan dokumen.
Dokumen yang dimaksud ialah data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat,
dibaca dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu
sarana, baik yang tertuang di atas kertas atau benda fisik apa pun selain kertas
maupun yang terekam secara elektronik dan tidak terbatas pada tulisan, surat atau
gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, simbol atau
perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu
membaca ataumemahaminya (Pasal 1 angka 16)

Penyidikan TPPU dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal sesuai dengan ketentuan
hukum acara dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sesuai dengan penjelasan Pasal
74 yang dimaksud degan penidik tindak pidana asal adalah kepilisian Negara RI, kejaksaan,
KPK, Penyidik pada BNN dan Ditjen Pajak serta Ditjen Bea dan Cukai. Dalam hal penyidik
menentukan bukti permulaan yangcukup terjadinya TPPU dan TPA, penyidik
menggabungkan penyidikan TPA dengan penyidikan TPPU serta memberitahukannnya
kepada PPATK.

Dalam Penuntutan Penunt Umum wajib menyerahkan berkas perkara TPPU kepada PN
paling lama 30 hari terhitung sejak tanggal diterimanya berkas perkara yang telah dinyatakan
lengkap. Dalam hal penuntut umum telah menyerahkan berkas perkara kepada PN, ketua PN
wajib membentukm mjelis hakim perkara tersebut paling lama 3 hari terhitung sejak
diterimanya perkara tersebut. Dalam TPPU menganut asa pembuktian terbalik yang mana
beban pembuktian terbalik ini hanya berlaku bagi seorang terdakwa dimuka sidang
pengadilan. Dalam sistem pembuktian terbalik ini, terdakwa harus memiliki minimal dua alat
bukti yang sah untuk membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan berasal dari tindak
pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 UU TPPU. Sistem pembuktian terbalik ini
bertujuan untuk memperoleh kesimpulan tentang terbukti atau tidaknya sesorang melakukan
tindak pidana sebagaimana yang telah didakwakan kepadanya sebelum majelis hakim
menjatuhkan putusan terhadapnya. Beban pembuktian terbalik yang diberika kepada
terdakwa bersifat beribang dan terbatas, yang mana maksudnya ialah terdakwa memiliki hak
untuk membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana yang didakwakan
kepadanya sementara Penuntut Umum wajib untuk membuktikan dakawaannya, dana dalam
pembuktian harta kekayaan terdakwa bukan berasal dari tindak pidana haruslah dibuktikan
dengan alat bukti yang cukup dansecara yakin bahwa harta kekayaannya bukan berasal dari
tindak pidana.

 PERTEMUAN 5

HATE SPEECH DALAM PERSPEKTIF CRIMNAL POLICY

Ujaran kebencian (Hate Speech) adalah tindakan berupa lisan maupun tulisan yang
dilakukan oleh individu atau kelompok dalam bentuk provokasi atau hasutan kepada individu
atau kelompok yang lain dalam berbagai aspek seperti ras, agama, warna kulit, gender, cacat,
orientasi seksual, kewarganegaraan dan lain sebagainya. Dalam arti hukum, Hate Speech
adalah perkataan, perilaku, tulisan ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat memicu
terjadinya tindakan kekerasan dan kegaduhan dalam kehidupan bermasyarakat. Berdasarkan
Surat Edaran Kapolri Nomor SE/06/X/2015 tentang Ujaran Kebencian (Hate Speech)
disebutkan tentang Ujaran Kebencian (Hate Speech) dapat berupa tindak pidana yang di atur
dalam KUHP dan ketentuan-ketentuan pidana lainnya di luar KUHP, yang berbentuk :

o Penghinaan
o Pencemaran nama baik
o Penistaan
o Perbuatan tidak menyenangkan
o Memprovokasi
o Menghasut
o Menyebarkan berita bohong

Tindakan –tindakan tersebut memiliki dampak akan terjadinya penghilangan nyawa,


kekerasan, diskriminasi, atau konflik sosial. Tujuan dari ujaran kebencian adalah untuk
menghasut dan menyulut kebencian terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat dalam
berbagai komunitas. Dalam huruf (h) Surat Edaran tersebut, Ujaran Kebencian (Hate Speech)
dapat dilakukan melalui berbagai media, antara lain dalam orasi kegiatan kampanye, spanduk
atau banner, jejaring media sosial, penyampaian pendapat di muka umum (demonstrasi),
ceramah keagamaan, media masa cetak atau elektronik serta Pamflet.

 Hate Speech di dalam KUHP

Didalam KUHP ujaran kebencian diatur dalam Pasal 156 dan Pasal 157 KUHP yang
mana ketntuan tersebut selalu dihubungkan dengan Pasal 154 KUHP karena rumusan
perbuatan yang dilarang adalah sama hanya berbeda pada objeknya saja, dimana objek pada
Pasal 154 adalah pemerintah sedangkan objek pada Pasal 156 adalah masyarakat. Selain
pasal 154, 155, 156 dan 157, Pasal 310 KUHP juga disamakan dengan ujaran kebencian
karena mengandung unsur penghinaan. Berdasarkan rumusan Pasal 310 diketahui bahwa
penistaan adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menyerang nama baik
seseorang dengan cara menuduhkan atau melakukan perbuatan tertantu dengan tujuan yang
nyata dan menyiarkan tuduhan tersebut kepada khalayak ramai atau publik. Tindak Pidana
Menista (smaad) di rumuskan dalam Pasal 310 KUHP.

 Hate Speech dalam UU ITE dan dunia maya

Di dalam UU ITE Hate Speech diatur di dalam Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2).
Dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE, mengancam bagi pelaku yang mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik,
secara tanpa hak atau tanpa justifikasi hukum. “Mendistribusikan” berarti mengirimkan
dan/atau menyebarkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik kepada banyak
orang atau berbagai pihak melalui sistem elektronik. Sedangkan yang dimaksud dengan
“mentransmisikan” yaitu pengiriman informasi elektronik dan atau dokumen lektronik yang
ditujukan kepada satu pihak lain melalui sistem elektronik. Yang dimaksud dengan
“membuat dapat diakses” adalah semua perbuatan lain selain mendistribusikan dan
mentransmisikan melalui Sistem Elektronik yang menyebabkan Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik dapat diketahui pihak lain atau publik. Sedangkan Pasal 28
ayat (2) UU No. 11 tahun 2008, jo Pasal 45A ayat (2) UU No. 19 tahun 2016 tentang ITE.

 PERTEMUAN 6

TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM KAITANNYA DENGAN KEGIATAN BANK BUMN


BERDASARKAN ASAS LEX SPECIALIS SYSTEMATIC

Tindak pidana perbankan terdiri atas perbuatan pelanggaran terhadap ketentuan dalam
UU Perbankan serta peraturan pelaksanaannya, pelanggaran mana dilarang dan diancam
dengan pidana yang dimuat dalam undang-undang itu sendiri. Adapun tindak pidana di
bidang perbankan terdiri atas perbuatan-perbuatan yang melawan hukum dalam ruang
lingkup seluruh kegiatan usaha pokok lembaga keuangan bank, sehingga perbuatan tersebut
biasanya diancam juga dengan ketentuan pidana yang termuat di luar UU Perbankan. H.A.K.
Moch. Anwar membedakan pengertian antara tindak pidana dibidang perbankan dengan
tindak pidana perbankan. Perbedaan tersebut hanya didsarkan pada perbedaan perlakuan
peraturan perundang-undangan terhadap perbuatan-perbuatan melanggar hukum yang
berhubungan dengan kegiatan dalam menjalankan usaha bank. Tindak pidana di bidang
perbankan adalah segala tindak pidana yang terjadi dikalangan perbankan yang diatur
didalam berbagai peraturan perundang-undangan di luar undang undang perbankan.

Tipologi kejahatan perbankan yang menyangkut kualifikasi bentuk kejahatan


perbankan ada dua jenis, yaitu kejahatan dan pelanggaran. Bentuk kejahatan dan pelanggaran
yang sering terjadi di bidang perbankan antara lain:

 Penipuan, atau kecurangan di bidang perkreditan (credit fraud);


 Penggelapan dana-dana masyarakat (embezzlement of public funds); 3.
Penyelewengan atau penyalahgunaan dana-dana masyarakat (misappropriation of
publik funds)
 Pelanggaran terhadap peraturan-perauran keuangan (violation of currency regulations)

Penggunaan UU PTPK terhadap kejahatan di dunia perbankan dilihat dari segi


kemudahan prosedural yang tedapat di dalamnya sebenarnya dapat di pahami. Demikian juga
dari segi keluwesan rumusan hukum tentang tindak pidana korupsi, yang memungkinkan
banyak perbuatan yang merugikan keuangan negara untuk dikategorikan sebagai tindak
pidana korupsi. Akan tetapi, jika dilihat dari segi kepastian hukum, maka kecenderungan
seperti itu dapat menimbulkan masalah yuridis dalam kaitanya dengan keberadaan UU
Perbankan yang didalamnya secara eksplisit merumuskan juga perbuatan tersebut sebagai
kejahatan yang diancam dengan pidana. Menurut Sudarto, UU Perbankan dan UU PTPK
memiliki kedudukan yang sama satu sama lain, yakni memenuhi kualifikasi sebagai undang
undang pidana khusus.

Terhadap persoalan penggunakan undang-undang yang khusus terdapat asas “lex


specialis derogate legi generali, yang dalam doktrinnya dapat dibedakan antara kekhususan
yang logis (logische specialiteit) dan kekhususan yang sistematik (systematische specialiteit).
Asas kekhususan yang logis (logische specialiteit) berlaku ketika dalam satu undang-undang
terdapat dua ketentuan delik pidana yang sama (misalnya delik pembunuhan), namun
ketentuan delik yang satu selain memuat unsur lain yang lebih khusus, juga memuat unsur
unsur delik yang bersifat umum. Misalnya delik pembunuhan yang bersifat umum diatur
dalam Pasal 338 KUHP, namun delik pembunuhan umum yang dilakukan secara berencana,
diatur dalam Pasal 340 KUHP. Jadi Pasal 340 KUHP merupkan logische specialiteit dari
Pasal 338 KUHP sebagai Lex generalisnya (Lex Specialis Logis derogat lex generalis).

Asas systematische specialiteit diterapkan ketika ada dua UU Khusus yang saling
berhadapan. Dalam hal ini, suatu ketentuan pidana yang dirumuskan dalam suatu UU Khusus
yang mau diterapkan dalam suatu UU Khusus lainnya, maka yang berlaku adalah UU Khusus
yang secara khusus telah mengatur delik tersebut secara lengkap, meliputi perbuatan
pidananya, pertanggungjawaban pidana dan sanksi pidananya. Misalnya suatu perbuatan
pidana yang terjadi dalam ranah yang telah dirumuskan dalam UU Kepabeanan, UU
Perpajakan, UU Perbankan dan lain sebagainya, namun sisi lain terkait dengan kerugian
keuangan negara yang beririsan dengan delik Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor, maka yang
harus diberlakukan adalah ketentuan UU Kepabeanan, UU Perpajakan, UU Perbankan, bukan
ketentuan Tipikor. Dalam hal ini UU Tipikor sebagai Lex Generalis, sedangkan UU
Kepabeanan, UU Perpajakan, UU Perbankan sebagi Lex specialis systematic, sehingga
berlaku asas Lex Specialis Systematic derogat lex generalis.

Berdasarkan pemahaman tentang asas lex specialis systematic derogate legi generalis
menurut kekhususan yang sistematis, maka maka terhadap tindak pidana perbankan yang
diatur secara khusus dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah dubah
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, tidak dapat berubah atau berkembang
sebagai tindak pidana korupsi, sekalipun terdapat unsur-unsur tindak pidana korupsi di
dalamnya.

Asas lex specialis derogate legi generali baik dalam pengertian kekhususan yang logis,
maupun kekhususan yang sistematis patut kembali dikedepankan mengingat dalam praktik
penegakan hukum pidana di Indonesia sering mengabaikan dan mengingkari keberadaannya.

 PERTEMUAN 7

KETERANGAN AHLI DALAM UNDANG-UNDANG OTORITAS JASA KEUANGAN

Peran dan fungsi negara dalam rangka criminal policy, khususnya dalam ruang lingkup
penal policy (kebijakan hukum pidana), maka merupakan hak negara untuk “merumuskan
dalam hukum pidana materill, perbuatan yang bertentangan nilai-nilai masyarakat dan
mengancamkan hukumannya (Ius Poenale). Selain itu juga, terdapat hak negara untuk
“menjatuhkan hukuman” yang mekanismenya dirumuskan dalam hukum pidana formil atau
Hukum Acara Pidana(Ius Poeniendi). Ius Poenale bermakna sebagai hak objektif negara
untuk memasukkan atau membuat ancaman hukuman atas suatu perbuatan yang
bertentangan dengan norma-norma dalam masyarakat. Ancaman ini dirumuskan dalam
undang-undang hukum pidana oleh negara sehingga bisa diberlakukan oleh negara melalui
asas legalitas “nullum delictum nulla poena sine prevea lege poenale”, tiada suatu perbuatan
yang dapat dihukum kecuali telah diatur terlebih dahulu dalam peraturan perundang
undangan.

Sedangkan “Ius Puniendi” yaitu hak subjektif negara untuk menjatuhkan hukuman
bagi pelaku kejahatan yang telah melanggar aturan hukum pidana (Ius Poenale). Ius Puniendi
biasa juga disebut hukum pidana formiil (Hukum Acara Pidana). Menurut Jan Remmelink
bahwa “Ius Puniendi” ini sering dikaitkan dengan persoalan kekuasaan yang dimiliki oleh
negara untuk menjatuhkan pidana (strafgewalt) dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan
sebelumnya. Hak ini meliputi hak untuk menyidik, menuntut, penjatuhan pidana dan
eksekusi pidana.
Kemunculan UU di Luar KUHP ini, alas filosofisnya sudah banyak yang mengarah ke
aliran Neo Klasik. Misalnya UU Narkotika, selain penerapan pemidanaan, juga telah
mengatur rehabilitasi terhadap pengguna dan pecandu. UU Tindak Pidana korupsi, selain
penerapan pemidanaan yang ketat, juga telah mengatur treatment berupa rehabilitasi dalam
bentuk pemulihan kerugian keuangan negara, dan lain sebagainya. UU OJK merupakan salah
satu dari UU di luar KUHP yang juga merumuskan administratif penal law. Rumusan tindak
pidananya melingkupi Pasal 52, Pasal 53 dan Pasal 54 UU OJK. Selain itu juga di dalam
Pasal 9 huruf c UU OJK, meletakkan core crime-nya di lembaga jasa keuangan sebagaimana
dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. Tidak hanya OJK,

sebagai contoh, salah satu institusi yang telah menerapkan hal ini adalah Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Sehubungan dengan perkembangan Aliran Neo-Klasik,
maka juga sangat berpengaruh terhadap mekanisme penegakan hukum dalam Sistem
Peradilan Pidana. Komponen Sistem Peradilan Pidana yang dulu secara konvensional terdiri
atas Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan, maka kini telah
mengalami perluasan. Oleh karena itu, banyak muncul Lembaga Negera Independen yang
berfungsi sebagai lembaga pendukung dalam penegakan hukum, misalnya KPK, BNN,
PPATK, KOMNAS HAM, KPAI, KPI, OJK dan lain sebagainya. Tentunya setiap lembaga
ini mempunyai kewenangan masing-masing sesuai dengan lingkup tugas yang diamanahkan
dalam UU, baik untuk fungsi penal polic, maupun fungsi non penal policy. OJK, KPK, BNN
adalah contoh lembaga independen yang mengemban fungsi penal policy, berupa adanya
kewenangan penyidikan. Eksistensi kewenangan penyidikan ini sangat bergantung pada
kebutuhan yang dibawa oleh UU khusus masing-masing.

Anda mungkin juga menyukai