Anda di halaman 1dari 31

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PRINSIP NON INTERVENSI DALAM TINDAKAN

MELANESIAN SPEARHEAD GROUP (MSG) TERHADAP KEANGGOTAAN UNITED


LIBERATION MOVEMENT FOR WEST PAPUA (ULMWP)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh:

SOLIND RUTA SIREGAR

160200373

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

PROGRAM SARJANA ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2020
TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PRINSIP NON INTERVENSI DALAM
TINDAKAN MELANESIAN SPEARHEAD GROUP (MSG) TERHADAP
KEANGGOTAAN UNITED LIBERATION MOVEMENT FOR WEST PAPUA
(ULMWP)
*) Solind Ruta Siregar
**) Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, SH., MLI
***) Dr. Sutiarnoto, SH., M.Hum

ABSTRAKSI

Dalam menjalin hubungan antara masyarakat internasional, Piagam Perserikatan


Bangsa Bangsa menandaskan penghormatan terhadap satu sama lain dan larangan intervensi
terhadap kedaulatan suatu negara. Indonesia sebagai suatu entitas memenuhi seluruh kriteria
untuk dapat dinyatakan sebagai negara yang adalah subjek hukum internasional. Berdasarkan
itu pula, pemerintah Indoesia berhak untuk mengelola dan melindungan kedaulatan yang
tercakup di dalamnya, termasuk di Papua dan Papua Barat. Melanesian Spearhead Group
sebagai suatu organisasi internasional diketahui telah menerima suatu kelompok gerakan
separatis yang terdapat di Papua Barat. Melalui penelitian pada skripsi ini akan ditilik apakah
tindakan Melanesian Spearhead Group memenuhi segala standar prinsip non intervensi yang
berlaku pada hukum internasional atau tidak.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif. Metode penulisan yang
digunakan pada penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan melalui inventarisasi bahan-
bahan dari buku, jurnal, artikel, dan kamus. Dalam penelitian ini juga digunakan instrumen
hukum dan dokumen-dokumen penyusunannya.
Berdasarkan pemetaan peraturan dan perkembangan praktik-praktik negara terkait
prinsip non intervensi pada hukum internasional yang dimuatkan dalam skripsi ini, tindakan
Melanesian Spearhead Group yang menerima United Liberation Movement for West Papua
lebih tepat untuk dikategorikan sebagai campur tangan daripada tindakan intervensi terlarang.
Walaupun demikian, tindakan Melanesian Spearhead Group tidak serta merta menjadi benar
mengingat mereka telah mengusik kedaulatan suatu negara merdeka, yaitu Indonesia.

Kata Kunci: Non Intervensi, Melanesian Spearhead Group, Kedaulatan


JUDICIAL ANALYSIS OF NON INTERVENTION PRINCIPLE ON THE ACTION
OF MELANESIAN SPEARHEAD GROUP (MSG) AGAINST THE MEMBERSHIP
OF UNITED LIBERATION MOVEMENT FOR WEST PAPUA (ULMWP)
*) Solind Ruta Siregar
**) Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, SH., MLI
***) Dr. Sutiarnoto, SH., M.Hum

ABSTRACT

In establishing relations within the international community, the United Nations Charter
emphasizes respect for one another and the prohibition of intervention on the sovereignty of a
country. Indonesia as an entity fulfills all the criteria to be declared as a country which is a
subject in international law. Based on that, the Indonesian government has the right to
manage and protect the sovereignty included in it, including in Papua province and West
Papua provinice. The Melanesian Spearhead Group as an international organization is known
to have accepted a separatist grup of West Papua. Through this following research, the
Author examines whether the Melanesian Spearhead Group’s actions meet all the standards
of non intervention principle that is applied in the international law.
This research uses a normative judicial approach. The writing method in this study uses
libarry research through an inventory of materials such as books, journals, articles, and
dictionaries. Along with that, international legal instruments and its preparation documents
are also in the study of this research.
Based on the mapping of regulations and the development of state practices related to
the principle of non intervention in international law, the action of the Melanesian Spearhead
Group which accepts the United Liberation Movement for West Papua is more appropriate to
be categorized as interference rather than an of prohibited intervention. Nevertheless, the
Melanesian Spearhead Group’s actions did not necessarily become right and true, considering
that it has disrupted the sovereignty of an independent state, namely Indonesia.

Keywords: Non Intervention, Melanesian Spearhead Group, Sovereignty


TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PRINSIP NON INTERVENSI DALAM
TINDAKAN MELANESIAN SPEARHEAD GROUP (MSG) TERHADAP
KEANGGOTAAN UNITED LIBERATION MOVEMENT FOR WEST PAPUA
(ULMWP)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana


Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh:

SOLIND RUTA SIREGAR

160200373

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

Disetujui oleh:
CURICCULUM VITAE

A. Biodata Diri

Nama Lengkap Solind Ruta Siregar


Jenis Kelamin Perempuan
Tempat, Tanggal Lahir Kisaran, 3 November 1998
Kewarganegaraan Indonesia
Status Belum Menikah
Agama Kristen Protestan
Jalan Pembangunan No 112,
Alamat Domisili
Padang Bulan, Medan
Alamat Asal Jalan Kasuari No 19A, Kisaran
No.Telp +6282364885752

Email Solindsiregar1@gmail.com

B. Pendidikan Formal

Tahun Institusi Pendidikan Jurusan IPK


2004 – 2010 SD Taman Kasih Karunia - -
2010 – 2013 SMP Taman Kasih Karunia - -
2013 – 2016 SMA Negeri 2 Kisaran IPA -
2016 – 2020 Universitas Sumatera Utara Ilmu Hukum 3.55

C. Data Orangtua

Nama Ayah/Ibu : Alm. David Pangihutan Siregar / Tateisi Theresa Kabwere


Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Jalan Kasuari No 19A, Kisaran
PENDAHULUAN

Hukum internasional secara umum adalah seperangkat kaidah-kaidah dan azas-azas

hukum yang digunakan untuk mengatur beragam persoalan dan hubungan yang melintasi

batas-batas negara. Karena hukum merupakan hukum yang diterapkan melintasi batas-batas

negara, maka disini hukum internasional mengatur hubungan dan persoalan, baik antara

negara dengan negara atau negara dengan subjek hukum bukan negara, atau bahkan antara

sesama subjek hukum bukan negara. J.G. Starke mendefinisikan hukum internasional sebagai

keseluruhan hukum yang sebagian besar terdiri dari atas sendi-sendi dan aturan-aturan

perilaku terhadap mana negara-negara merasa dirinya terikat untuk menaati.1

Oleh Charles G Fenwick dinyatakan bahwa hukum internasional seyogianya berada

dalam keadaan transisi.2 Malcolm N. Shaw dengan pemandangan yang serupa menjelaskan

hukum internasional harus kerap menentukan kapan dan bagaimana caranya mempersatukan

standar perilaku baru dan realita hidup yang baru dalam satu kerangka. 3 Jadi, hukum

internasional diperlukan oleh masyarakat internasional, karena masyarakat internasional itu

tidak statis sehingga perkembangan hukum internasional harus mampu mengikuti

perkembangan masyarakat hukum internasional.

Dalam memastikan sifat dinamis hukum internasional tersebut, hukum internasional

bergantung pada sejumlah sumber hukum yang terdiri atas:4

1. Perjanjian-perjanjian internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus

yang mengandung ketentuan-ketentuan hukum yang diakui secara tegas oleh

negara-negara yang bersengketa;


1
Bachtiar Hamzah, Diktat Pengantar Hukum Internasional, (Medan: Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, 1998), hal. 3.
2
Charles G. Fenwick, International Law 3rd Edition, (New York: Appleton-Century Company Inc,
1934), hal. 27.
3
Malcolm N. Shaw, International Law 6th Edition, (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), hal.
43.
4
Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional
2. Kebiasaan-kebiasaan internasional sebagai bukti dari pada sesuatu kebiasaan

umum yang telah diterima sebagai hukum;

3. Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab, dan

4. Keputusan-keputusan pengadilan dan ajaran-ajaran sarjana terkemuka dari

berbagai negara, sebagai sumber tambahan dalam menetapkan kaidah hukum.

Melalui sumber tersebut kemudian diperoleh ketentuan hukum internasional, terutama

yang berkenaan dengan beragam hak, kewajiban, dan kepentingan negara-negara yang harus

mereka taati. Akan tetapi, hal ini tidak menutup fakta bahwa bagian dari masyarakat

internasional, yang adalah subjek dari hukum internasional, tidak hanya terdiri atas negara

saja.5 Subjek hukum adalah para pihak yang segala aktivitas, tindakan, dan kegiatannya

diatur, sehingga memunculkan kewenangan dalam bentuk hak dan kewajiban guna

melaksanakan perbuatan berdasarkan hukum positif.6

Pada hukum internasional yang dapat dikategorikan sebagai subjek hukum menurut

Martin Dixon merupakan a body or entity which is capable of possessing and excercising

rights and duties under international law.7 Dalam hukum internasional sendiri, yang

dimaksudkan sebagai subjek hadir dalam jenis state actor dan non actor state, yang terdiri

dari:8

i. Negara

ii. Tahta Suci

iii. Organisasi Internasional

5
J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, edisi kesepuluh, terjemahan Bambang Iriana
Djajaatmadja, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hal. 77.
6
Mochtar, Kusumaatmadja, B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum Suatu Pengenalan Pertama
Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, (Bandung: Penerbit Alumni, 2000), hal. 8.
7
Martin Dixon, Textbook on International Law 4th Edition, (London: Blackstone Press Limited, 2000),
hal. 104.
8
I made Pasek Diantha, dkk, Buku Ajar Hukum Internasional, diakses dari
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_pendidikan_dir/96cf501a1391c79b52c219d79df67933.pdf pada 13 Mei
2020.
iv. Palang Merah Internasional

v. Kaum Pemberontak

vi. Orang Perorangan (dengan syarat tertentu)

vii. Perusahaan Multinasional

Negara yang merupakan suatu subjek hukum diketahui sebagai subjek asli,9 utama,10

dan paling penting11 pada hukum internasional. Oleh Black’s Law Dictionary, negara

diartikan sebagai the system of rules by which jurisdiction and authority are exercised over

such a body of people12 (suatu sistem peraturan yang dimana yurisdiksi dan otoritas terhadap

sekelompok orang dijalankan). Berdasarkan penuturan pada Konvensi Montevideo, suatu

entitas dapat diakui sebagai negara bilamana entitas tersebut memiliki karakteristik berikut:

a) penduduk tetap; b) wilayah yang tertentu; c) pemerintah; dan d) kemampuan untuk

melakukan hubungan-hubungan dengan negara lain.13 Bilamana suatu entitas memliki

keseluruhan karakteristik tersebut, maka ia akan otomatis memiliki kedaulatan, sehingga

dapat dikualifikasikan sebagai subjek hukum internasional.

Kedaulatan merupakan salah satu konsep fundamental pada hukum internasional. Hal

ini merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari prinsip-prinsip kesetaraan negara

dan integritas teritorial dan kemerdekaan politik sebagaimana dimaksud dalam pasal 2

Piagam PBB.14 Walau demikian, J. G. Starke menuturkan bahwa kedaulatan lebih merupakan

suatu istilah sasta (art) daripada suatu pengertian hukum yang dapat didefinisikan secara

tepat.15

9
Georg Schwarzenberger, A Manual of International Law, (London: The London Institute of World
Affairs, 1952), hal. 28.
10
J. G. Starke, Introduction to International Law 9th Edition,(London: Butterworth & Co, 1984), hal. 91.
11
Martin Dixon, Robert McCorquodale, Cases and Materials on International Law, (London: Blackstone
Pres Limited, 1995), hal. 146.
12
Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, edisi kesembilan (Texas: West Group, 2009), hal. 1537.
13
Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933.
14
Martin Dixon, Robert McCorquodale, Op.Cit., hal. 279.
15
J. G. Starke, Op.Cit, hal.132.
Ian Brownlie menyatakan dalam konteks hukum internasional, yang menjadi akibat

wajar kedaulatan dan kesetaraan negara adalah:16

a) Yurisdiksi negara, prima facie eksklusif atas suatu teritorial dan populasi permanen

atas teritorial tersebut;

b) Kewajiban non ntervensi pada bidang yursdiksi eksklusif suatu negara lain; serta

c) Ketergantungan kewajiban yang timbul dari hukum kebiasaan dan perjanjian-

perjanjian atas dasar persetujuan dari obligor.

Berdasarkan pemetaan kedaulatan negara di atas dapat diperhatikan bahwa konsep

kedaulatan diasosiasikan erat dengan kemerdekaan. Prinsip kemerdekaan negara juga

merupakan prinsip dasar hukum internasional. Suatu negara merdeka pada sistem

internasional secara penuh dan esklusif berdaulat berhak menjalankan fungsi kenegaraan

pada wilayah teritorialnya. Kedulatan ini pada umunya dikenal dengan istilah kedaulatan

teritorial.17

Prinsip yang berkelanjutan dan tampilan damai terhadap fungsi-fungsi suatu negara

dalam wilayah tertentu merupakan unsur penyusun kedaulatan teritorial yang tidak hanya

didasarkan pada kondisi pembentukan negara merdeka dan batasan-batasannya, namun juga

dengan yurisprudensi internasional dan doktrin yang diterima secara luas. 18 Oppenheim

menegaskan bahwa kepentingan teritorial negara pada faktanya berada pada ruang dimana

negara menjalankan otoritas tertingginya dan tidak ada otoritas asing yang memiliki

kewenangan atau kuasa pada teritorial tersebut.19

16
Ian Brownlie, Principles of Public International Law, (Oxford: Oxford University Press, 1990), hal.
287.
17
The Status of Eastern Carelia, (The Permanent Court of International Justice: 1923).
18
United Nation, Reports of Islands of Palmas Case (The Netherlands v United States) Volume II,
diakses dari https://legal.un.org/riaa/cases/vol_II/829-871.pdf pada 1 Februari 2020.
19
L. Oppenheim, International Law A Treatise Volume One, (London: Longmans, Green and Co Ltd,
1955), hal. 452.
Dengan demikian, dalam rangka menjalankan fungsi negara berdasarkan kedaulatan

yang dimilikinya, secara internal perlu diwujudkan bentuk supremasi dari lembaga-lembaga

pemerintahan dan secara eksternal diwujudkan dalam bentuk supremasi negara sebagai

subjek internasional. Negara dalam menjalankan kedaulatan pada yurisdiksinya melahirkan

konsekuensi berupa kewajiban untuk tidak mencampuri urusan negara lain. 20 Georg

Schwarzenberger menandaskan bahwa a sovereign state is strong enough to resist

interference by other groups in what they consider to be their exclusively domestic affairs 21

(Suatu negara berdaulat berkedudukan cukup kuat untuk menolak campur tangan kelompok

lain terhadap apa yang dianggapnya sebagai urusan domestik mereka yang ekslusif).

Tindakan intervensi dapat terjadi, baik pada urusan internal maupun eksternal suatu negara,

dan cenderung melanggar supremasi personal, teritorial, atau kemerdekaan eksternal suatu

negara.22

Indonesia pada masa kini dapat diakui sebagai salah satu subjek hukum internasional

yang memenuhi kriteria dan karakteristik seperti pemaparan di atas. Namun sebelum

mendeklarasikan kemerdekaannya pada tahun 1945 dan menikmati hak dan kewajibannya

selaku subjek hukum internasional seperti sekarang, Indonesia mengalami sejarah

kolonialisme panjang. Berawal dengan dijajah oleh Portugal pada 1511, yang kemudian

diikuti oleh Spanyol dan Inggris. Pada 1595, akhirnya Belanda mulai menguasai wilayah

Indonesia dan dengan perdagangan rempah-rempahnya ia menjajah Indonesia sampai pada

Januari 1942.

Setelahnya, pada 17 Agustus 1945 ketika di Indonesia terdapat kekosongan kekuasaan

(vacum of power), pihak Indonesia memutuskan untuk mendeklarasikan kemerdekaanya.

20
J. G. Starke, Op. CIt., hal. 166.
21
Georg Schwarzenberger, Loc.Cit.
22
L. Oppenheim, Op.Cit., hal. 305.
Indonesia sebagai legal successor23 meliputi seluruh wilayah Nusantara eks Hindia Belanda,

yang terdiri atas Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Maluku. 24

Disadari atau tidak, penentuan wilayah kedaulatan ini dilaksanakan sesuai dengan prinsip uti

possidetis juris. Oleh Black’s Law Dictionary didefinisikan bahwa uti possisdetis juris

merupakan the doctrine that old administrative boundaries will become international

boundaries when a political subdivision achieves independence 25 (doktrin yang menyatakan

batas administratif lama akan menjadi batas internasional baru ketika sebuah subdivisi politik

mencapai kemerdekaan).

Walau Indonesia telah menyatakan kemerdekaanya, terdapat sengeketa kedaulatan

wilayah di Papua. Papua yang pada masa itu dikenal dengan nama Nederlands Nieuw

Guinea/NNG merupakan bagian dari Provinsi Maluku. Kedaulatan Indonesia terhadap Papua

yang sempat terguncang kemudian diperkuat dengan cara plebiscite (plebisit). Plebisit

merupakan salah satu cara pemilikan suatu wilayah melalui pilihan penduduknya, setelah

dilaksanakannya pemilihan umum, referendum, atau cara-cara lainnya yang dipilih oleh

penduduk.26 Dalam hal ini, plebisit dilaksanakan dalam bentuk Penentuan Pendapat Rakyat

(Pepera) yang berlangsung pada 14 Juli hingga 2 Agustus 1969.27

Pelaksanaan plebisit boleh dinilai telah menutup satu pintu masalah, namun tidak bisa

dinafikan hal ini juga membuka pintu masalah lainnya. Pepera menjadi pemicu kontestasi

antara pemerintah Indonesia dengan kelompok-kelompok perlawanan Papua. Sebagian

penduduk Papua juga merasa kurang puas dikarenakan fakta bahwa mereka masih marginal

23
Legal successor dalam kalimat tersebut berarti sebagai pewaris atau penerus yang sah secara hukum
ketika penguasa sebelumnya dianggap tidak kompeten atau tidak lagi mampu untuk memimpin.
24
Mangasi Sihombing, Aspek Hukum keberadaan Irian atau Papua dalam Republik Indonesia dan Isu-
Isu Terkait, (Jakarta: Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, 2006), hal. 1.
25
Bryan A. Garner, Op.Cit., hal. 1686.
26
Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, (Bandung: Keni Media, 2011), hal.
16.
27
Nico Gere, Merawat Kedaulatan Indonesia di Papua, (Jakarta: Peruma LKBN Antara, 2017), hal. 98.
dan miskin. Papua yang lebih luas empat kali lipat pulau Jawa dan memiliki sumber daya

alam yang sangat besar seharusnya mampu membuat rakyatnya hidup sejahtera.28

Berbagai perselisihan dan ketidakpuasan masyarakat Papua ini memuci semangat

rakyat Papua untuk memerdekakan diri dari Indonesia. Ditambah dengan diadakan Operasi

Militer oleh Pemerintah Pusat untuk mengatasi pemberontakan separatisme di Papua, yang

justru menimbulkan pelanggaran HAM, semakin memperkuat keinginan rakyat Papua untuk

melepaskan diri dari Republik Indonesia.29 Maraknya berbagai aksi dan kampanye terkait

separatis ini bahkan tergaung sampai di dunia internasional, mulai dari lingkungan kawasan

terdekat, yakni Pasifik Selatan, lalu Eropa dan Amerika, hingga PBB sebagai organisasi

global.

Upaya gerakan saparatis dalam menggaungkan isu terkait Papua pada kancah

internasional berjalan dengan baik. Salah satu entitas yang paling menonjol dalam membahas

isu tersebut merupakan Melanesian Spearhead Group (MSG), yang adalah organisasi

regional di kawasan Melanesia yang terdiri dari negara-negara Melanesia di kawasan Pasifik

Selatan. Organisasi tersebut berdiri dengan visi utama yakni dekolonisasi dan kebebasan

seluruh negara dan bangsa Melanesia dengan upaya mengembangkan identitas dan kedekatan

budaya, politik, sosial, dan ekonomi masyarakat Melanesia. Berbagai ikhtiar diupayakan

MSG, dimulai dengan menawarkan posisi bagi United Liberation Movement for West Papua

(ULMWP) hingga melontarkan berbagai tudingan pada saat pertemuan reguler dewan HAM

PBB.30

28
Yan Pieter Rumbiak, Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua, Menyelesaikan Hak Asasi Manusia dan
Membangun Nasionalisme di Daerah Krisis Integrasi, (Jakarta: Papua International Education, 2015), hal. 36.
29
M. Fathoni Hakim, Tesis: Perjanjian Keamanan Indonesia – Australia: Upaya Indonesia Untuk
Mencegah Gerakan Separatisme di Indonesia Timur, (Jakarta: UI, 2010), hal. 1.
30
Muhammad Fadhilah, Inkonsisensi Kebijakan Luar Negeri Melanesian Spearhead Group (MSG)
dalam Isu Papua Barat: Studi Kasus Fiji dan Papua Nugini, Indonesian Perspective, vol. 4 no. 1, 2019, hal. 60.
Dalam Pasal 2 Ayat 4 Piagam PBB, ditekankan ketentuan terkait intervensi yang

menggunakan ancaman atau penggunaan kekerasan. Hal ini secara jelas mengindikasikan

adanya upaya koersif yang dimuat dalam upaya intervensi. Tindakan MSG untuk menerima

ULMWP sebagai anggota organisasinya dapat dikategorikan sebagai upaya yang tidak

melibatkan upaya koersif atau diktatorial, namun telah mengusik urusan internal Republik

Indonesia. Ditambah pula dengan kenyataan bahwa Indonesia telah lebih dulu menjadi

anggota dari MSG daripada ULMWP sendiri.

Oleh karena itu, penulis tertarik untuk menganalisis apakah tindakan Melanesian

Spearhead Group seyogianya dapat dikategorikan sebagai tindakan intervensi, sekaligus

menganalisis perkembangan prinsip non intervensi pada hukum internasional.


PENGATURAN PRINSIP NON INTERVENSI PADA HUKUM

INTERNASIONAL

A. Sejarah Keberadaan Prinsip Non Intervensi pada Perserikatan Bangsa Bangsa

Dalam Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tidak ada ditemukan penuturan

eksplisit perihal prinsip non-intervensi sebagai peraturan yang mengatur hubungan antara

anggota PBB. Deskripsi yang paling mendekati hal tersebut dipaparkan pada Pasal 2 yang

menjabarkan prinsip-prinsip sebagai pemandu tindakan dari Organisasi dan anggotanya

sendiri.

Terlepas dari larangan penggunaan kekerasan, Pasal 2 Ayat 4 bukan merupakan prinsip

non-intervensi. Integritas wilayah dan kemerdekaan politik suatu negara tetap bisa terganggu

tanpa adanya ancaman atau penggunaan kekerasan secara langsung. Lebih lanjut, integritas

wilayah - dipertahankan selama tidak ada wilayah negara yang diambil darinya - bukanlah

hal yang sama dengan kekebalan teritorial - hak suatu negara untuk menjalankan yurisdiksi

eksklusif di dalam wilayahnya sendiri.31

Bila diperhatikan Pasal 2 Ayat 7, ada ditemukan pengaturan prinsip non-intervensi

yang hanya berlaku pada hubungan antara PBB sebagai Organisasi dan beberapa anggotanya,

bukan hubungan antara para anggota sendiri. Analisis akan Ayat 7 menimbulkan beragam

pertanyaan kepada pihak-pihak yang terlibat dalam menganalisis prinsip non-intervensi yang

berlaku untuk hubungan antara negara. Untuk dapat memahami prinsip ini lebih mudah, perlu

dilakukan pengamatan akan definisi dari intervensi dan cakupan yursidiksi domestik. Kedua

hal tersebut tentu berbeda. Bisa saja konsep intervensi yang dijalankan PBB berbeda

penerapannya dalam hubungan antarnegara. Lebih lagi, ada kemungkinan intervensi oleh

31
Leland M. Goodrich, Edvard Hambro, Charter of the United Nations, (Boston: World Peace
Foundation, 1949), hal. 103.
PBB tidak menghasilkan akibat hukum atau moral yang setara dengan intervensi unilateral

oleh suatu negara dalam urusan negara lain.32

Demikian juga batasan pada yurisdiksi domestik lebih mengalami kemunduran ketika

dikaitkan dengan aktivitas PBB daripada ketika dikaitkan dengan konteks hubungan

antarbangsa. Terlepas dari pertimbangan-pertimbangan ini, prinsip non-intervensi yang

dipaparkan pada Pasal 2 Ayat 7 cocok dengan tradisi pemikiran yang kuat tentang tujuan

prinsip dalam hubungan internasional.

Tahun 1949 dan 1950 melalui Dasar-Dasar Resolusi Perdamaian Majelis Umum

(Essentials of Peace Resolution of the General Assembly) dan Resolusi Perdamaian Melalui

Tindakan (Peace Through Deeds Resolution), non-intervensi yang tersirat pada Piagam PBB

mulai menjadi jelas dalam praktek PBB. Dasar-Dasar Resolusi Perdamaian Majelis Umum

mengajak setiap negara untuk menahan diri dari segala ancaman atau tindakan, baik langsung

maupun tidak langsung, ditujukan untuk merusak kebebasan, kemerdekaan atau integritas

negara mana pun, atau memicu perselisihan sipil dan menumbangkan kehendak orang-orang

di negara mana pun.33

Resolusi Perdamaian Melalui Tindakan mengutuk intervensi oleh suatu negara dalam

urusan dalam negeri dari negara lain yang bertujuan mengubah pemerintahan yang didirikan

secara hukum, baik ketika hal tersebut dijalankan dengan ancaman atau penggunaan

kekerasan. Resolusi tersebut pun secara sungguh-sungguh menegaskan kembali kejahatan

terhadap perdamaian dan keamanan di seluruh dunia dapat hadir dalam bentuk penggunaan

senjata apa pun, agresi apa pun, baik yang dilakukan secara terbuka atau dengan memicu

perselisihan sipil untuk kepentingan kekuatan asing, atau sebaliknya.34

32
Ibid., hal. 105.
33
Resolusi Majelis Umum 290 (IV).
34
Resolusi Majelis Umum 380 (V) dan 381 (V).
Pada 1957, Soviet kembali berhasil membuat Majelis Umum mepertimbangkan sebuah

Deklarasi tentang Koeksistensi Negara yang Damai (Declaration Concerning the Peaceful

Co-existence of States). Rancangan resolusi yang diadopsi Majelis disponsori bersama oleh

India, Swedia, dan Yugoslavia. Hal ini menimbulkan kesadaran untuk mengembangkan

perdamaian dan toleransi hubungan antar negara berdasarkan pada kehormatan dan

keuntungan timbal-balik, non-agresi, penghormatan terhadap kedaulatan satu sama lain,

kesetaraan dan integritas wilayah dan non-intervensi dalam urusan internal suatu negara, dan

untuk memenuhi tujuan dan prinsip-prinsip dari Piagam.35

Pada 1965, sekali lagi atas permohonan Uni Soviet, perihal the inadmissibility of

intervention in the domestic affairs of States and the protection of their independence and

sovereignty dipertimbangkan oleh Majelis Umum.36 Rancangan resolusi Soviet tidak diadopsi

oleh Majelis, namun banyak ide-ide dari rancangan tersebut yang dimuatkan dalam

rancangan Deklarasi yang diadopsi oleh Majelis, rancangan yang didukung oleh 57 negara,

terutama dari Asia, Afrika, dan Amerika Latin. 37

Mukadimah deklarasi itu menyatakan perhatian Majelis akan ancaman perdamaian

universal yang diakibatkan intervensi, baik intervensi bersenjata dengan agresi; anggapan

bahwa intervensi langsung, subversi, dan semua bentuk intervensi tidak langsung sebagai

pelanggaran terhadap Piagam PBB; dan pengakuan bahwa pengamatan penuh terhadap

prinsip non-intervensi merupakan dasar pemenuhan tujuan dan prinsip PBB. Kepentingan

prinsip ini ditekankan bagi negara-negara yang membebaskan diri dari kolonialisme, dan

menyimpang dari jalan yang ditandai oleh doktrin tradisional non-intervensi. Mukadimah itu

35
Resolusi Majelis Umum 1236 (XII).
36
Procedural History of General Assembly’s Resolution 2131 (XX), diakses dari
https://legal.un.org/avl/ha/ga_2131-xx/ga_2131-xx.html pada 10 April 2020.
37
Ibid.
juga menekanan letak dari prinsip penentuan nasib sendiri dalam konstitusi PBB dan

kemudian pada doktrin Majelis Umum.38

Di tahun 1966, lagi-lagi atas inisiatif dari Uni Soviet, Majelis Umum

mempertimbangkan Status of the implementation of the Declaration on the Inadmissibility of

Intervention in the Domestic Affairs of States and the Protection of their Independence and

Sovereignity. Resolusi yang lahir dari perdebatan mengenai hal itu, menegaskan ulang

seluruh prinsip dan peraturan yang terkandung pada Deklarasi dari tahun sebelumnya.39

Pada sesi ke-25, Majelis Umum mengadopsi Declaration on Principles of International

Law concerning Friendly Relations and Co-operation among States in accodance with the

Charter of the United Nations. Prinsip non-intervensi sebagaimana dibentuk pada Deklarasi

1970 tidak jauh berbeda dari Deklarasi 1965 tentang Inadmissibility of Intervention.40

Pengaruh dari hukum antara negara Amerika Serikat (inter-American law) sangat kentara,

kalimat yang diubah sedikit dan paragraf yang menurun merupakan yang meyimpang dari

sekedar menyatakan aturan non-intervensi.41 Karena itu, Majelis menyatakan tanda

persetujuan pada prinsip non-intervensi sebagai sebuah hukum sekaligus sebagai prinsip

politik. Walaupun penafsiran prinsip non-intervensi Majelis Umum telah melampaui Piagam,

namun Piagam PBB masih merupakan andalan sebagai sumber legitimasinya.42

B. Klasifikasi Tindakan Intervensi

38
Vincent. R. J., Tesis. Non Intervention and International Order, (Princeton University Press: New
Jersey, 1974), hal. 290.
39
Ibid.
40
Saat pembentukan prinsip non-intervensi untuk Deklarasi 1970, Deklarasi 1965 tentang non-intervensi
ditegaskan sebagai acuan. ”The 1966 report stated that … Special Committee would abide by General Assembly
resolution 2131 (XX) of 21 December 1965 … and instructed its Drafting Committe to direct its work on the
principle toweards the consideration of additional proposal, with the aim of widening the area of agreement of
General Assembly resolution 2131 (XX).” Report of the Special Committee, UN. Doc. A/7326, 1968, hal. 4, §
18.
41
Vincent R. J., Op.Cit., hal. 295.
42
Ibid.
Segala tindakan yang dilakukan siapa pun dapat berupa intervensi, selama tindakan

tersebut memiliki pengaruh terhadap pihak lain. Intervensi merupakan sebuah kontinum,

mulai dari kritik hingga paksaan. Suatu tindakan intervensi, yang menghasilkan nilai

legalitas, legitimasi, dan praktis akan bervariasi sesuai dengan dua variabel, yaitu intrusivitas

intervensi yang direnungkan dan lokus yurisdiksi atas targetnya.43 Larangan atas intervensi

umumnya disebabkan kemungkinan akan efek tindakan yang dimaksudkan akan terlalu parah

atau subjek intervensi sejatinya bukan urusan dari pihak yang mengintervensi.

1. Intervensi langsung dan tidak langsung

Intervensi langsung merupakan bentuk ikut campur terhadap urusan dalam negeri suatu

negara yang dilakukan pihak asing secara diktator menggunakan kekerasan bersenjata. 44

Intervensi tidak langsung berupa pendiktean terhadap kebijakan dalam negeri suatu negara

yang dilakukan oleh negara atau organisasi yang kedudukannya lebih superior. Intervensi

yang demikian banyak dijumpai menimpa negara-negara berkembang dan terbelakang, yang

powerless, yang mempunyai banyak ketergantungan pada pihak asing. Semakin tinggi

ketergantungan suatu negara pada pihak lain, maka akan semakin rentan pula negara itu

untuk didikte oleh pihak lain.

2. Intervensi internal dan eksternal

Intervensi internal merupakan bentuk ikut campur tangan terhadap urusan dalam negeri

suatu negara lain secara diktator. Pengiriman pasukan dan logistik untuk membantu

pemerintah yang sah menumpas kelompok separatis yang ada di wilayah negara yang

diintervensi merupakan bentuk intervensi internal karena masalah separatisme merupakan

masalah dalam negeri negara yang diintervensi.45 Independensi eksternal adalah atribut

43
M. N. S. Sellers, Intervention under International Law, Maryland Journal of International, Volume 29,
2014, hal. 6.
44
Sefriani, Peranan Hukum Internasional dalam Hubungan Internasional Kontemporer, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2016), hal. 53.
45
Ibid., hal. 57.
kedaulatan seperti haknya independensi internal dan bentuk-bentuk tertentu dari campur

tangan dalam urusan eksternal negara bisa menjadi sama dengan intervensi pada urusan

domestik negara, atau sebaliknya.46

3. Intervensi penghukuman

Intervensi penghukuman merupakan penggunaan kekuatan lintas batas negara oleh

suatu pihak yang bertujuan menimbulkan kerugian pada pihak lain yang bertanggung jawab

atas pelanggaran aturan atau norma yang mengatur masyarakat internasional.47

4. Intervensi kemanusiaan

Secara umum, intervensi kemanusiaan bermakna adanya campur tangan ke dalam

urusan dalam negeri suatu negara dengan cara paksa untuk menyelesaikan pelanggaran HAM

berat yang terjadi. Cara paksa yang dimaksudkan umumnya juga melibatkan penggunaan

kekuatan bersenjata, yang dengan kata lain didalamnya terkandung penggunaan kekuatan

militer. Bukannya menafikan kedaulatan negara secara otomatis, perkembangan HAM dan

interevensi kemanusiaan justru membuktikan telah terjadinya pergeseran kedaulatan dari

absolute sovereignty menjadi popular sovereignty, yang menyatakan bahwa negara

(pemerintah) memperoleh legitimasi dari warga negaranya. Karena itu, negara tidak dapat

mengingkari hak-hak dasar setiap warga negaranya dan apabila kedaulatan terlibat konflik

dengan HAM warga negara, maka HAM warga negara lah yang dimenangkan.48

C. Unsur Unsur Prinsip Non Intervensi

1. Penggunaan kekerasan (use of force)

46
Report of the Special Committee, UN Doc. A/5746, 1964, hal. 120, § 228.
47
Anthony F. Lang Jr., Punishment, Justice, and International Relations Ethics and Order after the Cold
War, (London: Taylor & Francis Ltd, 2009), hal. 61.
48
Yanyan Mochamad Yani, Ian Montratama, Emil Mahyudin, Pengantar Studi Keamanan, (Malang:
Intrans Publishing, 2017), hal. 92-93.
Gagasan akan penggunaan kekerasan merupakan poin yang paling krusial diantara yang

lainnya. Pasal 2 Ayat 4 memuatkan istilah kekuatan tanpa berhasil mendistribukan bentuk-

bentuk konkret dari kekerasan, selain dari angkatan bersenjata (armed force). Majelis Umum

PBB, melalui Deklarasi 1970, berhasil menginterpretasikan beragam bentuk kekerasan yang

digunakan suatu negara atau kelompok negara terhadap negara lain. Walau sejarah

penyusunan resolusi mengungkapkan lebih banyak ragam pandangan tentang kekerasan

daripada resolusi itu sendiri, paling tidak pada akhirnya tindakan-tindakan yang dapat

dinyatakan sebagai force bisa menjadi spesifik.

Tidak hanya sekedar menginterpretasikan kekerasan pada kekuatan militer (military

force) atau angkatan bersenjata (armed force), makna kekerasan diperluas juga pada paksaan

(coercion) dengan langkah-langkah ekonomi, politk, dan langkah lainnya. Lebih lagi, melalui

Deklarasi tersebut substansi penggunaan kekerasan semakin diperjelas dengan mencakupkan

penggunaan bersenjata, baik secara reguler, ireguler, atau bahkan sukarela, terlepas dari

pelaksanaannya yang secara langsung atau pun tidak langsung. Pembalasan bersenjata juga

dicakupkan padanya.49

2. Ancaman kekerasan (threat of force)

Pada hukum internasional, ancaman kekerasan merupakan pesan, baik implisit atau

eksplisit, yang diformulasikan berdasarkan keputusan dan ditujukan pada target tertentu,

dengan menunjukkan bahwa kekuatan akan digunakan jika aturan atau permintaan tertentu

tidak dipatuhi. Pesan ini sendiri dapat disampaikan dalam beragam bentuk. Bentuk pertama,

yaitu disampaikan dengan artikulasi yang jelas, baik secara lisan atau tulisan, dan

menyampaikan pernyataan tertentu dan konsekuensi bilamana gagal memenuhi pernyataan. 50

49
Declaration on Principles of International Law Friendly Relations and Co-Operation among States in
Accordance with the Charter of the United States 1970.
50
Romana Sadurska, Threats of Force, Volime 82, Nomor 2, 1988, hal. 242-243.
Bentuk berikutnya hadir dalam wujud ancaman yang eskplisit, yang dapat dimuatkan

dalam perjanjian aliansi defensi (defensive alliance treaty) atau perjanjian bilateral mengenai

bantuan militer. Bentuk ancaman yang ketiga merupakan serangkaian komunikasi yang

urutannya membentuk pesan aktual. Selanjutnya, ancaman dapat disimpulkan dari tindakan

positif tertentu, seperti terlibat dalam manuver militer atau meningkatkan anggaran militer.

Bentuk terakhir, yang tidak begitu sering ditemukan pada komunitas internasional,

merupakan ancaman tidak langsung yang ditujukan pada target utama, namun dilaksanakan

melalui perwakilan.51

3. Hubungan internasional (international relations)

Frasa hubungan internasional ini menerangkan bahwa pengaturan hanya berlaku dalam

kawasan lintas batas negara, bukan di dalam masing-masing negara. Oleh karena itu, masing-

masing negara berhak mengambil langkah-langkah yang dikehendaki untuk mempertahankan

tatanan dalam yurisdiksinya, demikian pula negara berhak untuk menggunakan kekerasan

dalam upayanya mengatasi kerusuhan dan pemberontakan.

Walaupun begitu, ketentuan ini dapat menjadi tidak ekslusif sebagai urusan internal

negara bila oleh Dewan Keamanan, penggunaan kekerasan ditetapkan telah melampaui batas

yang ditentukan hukum internasional dan menimbulkan ancaman bagi perdamaian dan

ketertiban dunia. Sehubungan dengan itu, maka apa yang menjadi urusan domestik pun akan

berubah menjadi permasalahan internasional.52

4. Integritas teritorial dan kemerdekaan politik

Integritas teritorial dan kemerdekaan politik merupakan terminologi yang umum

digunakan pada berbagai kesempatan untuk melambangkan hak hukum suatu negara. 53
51
Ibid.
52
Declaration 1970 on Principles of International Law Friendly Relations and Co-operation Among
State in Accordance with the Charter of the United Nations.
53
Alina Kaczorowska, Public International Law 4th Edition, (New York: Abingdon, 2010), hal. 702.
Kemandirian politik selain mengacu pada upaya untuk mempertahankan pemerintahan

negara, juga mencakup luas pada integritas, martabat, dan kedaulatan politik suatu negara

untuk mengelola urusan internal dan eksternal sendiri tanpa campur tangan asing. Kebebasan

demikian hanya tunduk pada hukum internasional dan kewajiban lain yang telah disetujui

melalui perjanjian atau kebiasaan. Demikian pula halnya dengan integritas teritorial, yang

tidak dapat dikerucutkan hanya kepada definisi hak yang tidak dapat dicabut (inalienability

right) atas wilayahnya. Sebaliknya, terminologi tersebut mengacu pada kedaulatan wilayah,

martabat dan kekebalan teritorial.54

5. Yurisdiksi domestik

Liga Bangsa-Bangsa, yang melibatkan anggota negara dan Dewannya untuk

menentukan cakupan yurisdiksi domestik, menyatakan:

"if the dispute between the parties is claimed by one of them, and is found by the
Council, to arise out of a matter which by international law is solely within the
domestic jurisdiction of that party, the Council shall so report, and shall make no
recommendation as to its settlement."55

Pada penyusunan Piagam PBB, upaya akan ketentuan akan yurisdiksi domestik tersebut

dapat ditemukan pada Pasal 2 Ayat 7. Piagam yang mengubah frasa solely within the

domestic jurisdiction menjadi essentially within the domestic jurisdiction menuai kontroversi.

Para akademisi berpendapat bahwa pergantian frasa tersebut dimaksudkan untuk membatasi

yurisdiksi PBB dalam kaitannya dengan negara. Sehubungan dengan ini, Vincent R. J.

menyatakan bahwa prinsip non-intervensi yang dimuatkan pada Pasal 2 Ayat 7 bertujuan

untuk mempertahankan kedaulatan negara terhadap bahaya negara adidaya.56 Akademisi lain

54
Jianming Shen, “The Non-Intervention Principle and Humanitarian Interventions Under International
Law”, dalam International Legal Theory, American Society of International Law, Volume 7, nomor 1, 2001.
55
Pasal 15 ayat 8 Konvensi Liga Bangsa Bangsa.
56
Vincent R. J., Op.Cit., hal. 287.
mengamati bahwa pasal tersebut merupakan intsari dari kecenderungan dogma kedaulatan

untuk menolak kemajuan.57

57
Ibid.
MELANESIAN SPEARHEAD GROUP DAN UNITED LIBERATION

MOVEMENT FOR WEST PAPUA

A. Melanesian Spearhead Group (MSG)

1. Sejarah Keberadaan Melanesian Spearhead Group

Terkait perkembangan formulasi identitas Melanesia, politik regional yang berkembang

di wilayah Pasifik memberikan kesempatan untuk mengekspresikan identitas lain yang

berbeda dengan Polinesia, Australia, dan Selandia Baru. Ekspresi ini kemudian direalisasikan

dalam bentuk Melanesian Spearhead Group (selanjutnya akan disebutkan MSG). Walau

berawal dengan pembentukan informal pada Juli 1986 di Goroka, Papua Nugini, pertemuan

antara perwakilan dari Papua Nugini, Kepulauan Solomon, Vanuatu, dan FLNKS ini tetap

menjadi manifestasi praktis penting Melanesia dalam politik regional.58

Pada Maret 1988, Papua Nugini, Vanuatu, dan Kepulauan Solomon, menandatangani

sebuah perjanjian Agreed Principles of Coorperation among the independent States in

Melanesia yang menyatakan komitmen negara mereka terhadap konsultasi dan kerjasama

akan isu-isu regional maupun internasional. MSG baru diakui sebagai entitas formal di dunia

internasional setelah menyerahkan The Agreement Establishing the Melanesian Spearhead

Group ke PBB pada tahun 2007. Ditahun berikutnya, MSG mendirikan sekretariatnya, yang

disponsori Cina, di Port Vila, Vanuatu.59

2. Struktur Melanesian Spearhead Group

Stephanie Lawson, Melanesia: The History and Politics of an Idea, Op.Cit., hal. 19.
58

Cain Tess Newton, “The Renaisaance of the Melanesian Spearhead Group”, dalam The New Pacific
59

Diplomacy, (Canberra: Australian National Press, 2015), hal. 153.


Sumber: Ronald May, The Melanesian Spearhead Group: Testing Pacific Island Solidarity

3. Melanesian Spearhead Group Trade Agreement

Melalui pertemuan yang dilaksanakan perwakilan dari anggota negara MSG pada saat

itu, tahun 1993, dibentuk sebuah kesepakatan atas prinsip-prinsip untuk menetapkan

perjanjian perdagangan terbatas yang dituangkan pada Melanesian Spearhead Group Trade

Agreement dan mulai berlaku pada 1994.60 Perjanjian perdagangan ini kemudian

menghasilkan sebuah pasar bebas yang dikenal dengan nama Melanesian Spearhead Group –

Free Trade Area (MSG-FTA) yang beroperasi pada 2013.61

Dalam mengoperasikan pasar bebasnya, MSG memiliki Rule of Origin (ROO) yang

menghendaki para pihak untuk berkontribusi pada perkembangan perdagangan yang

harmonis dengan melakukan persaingan secara sehat. Muatan dari ROO ini adalah kriteria

60
Ian Kiloe, “Free Trade in the South Pacific: An Overview”, dalam Proceedings of Pacific and Maori
Legal Issues Conference, volume 13, nomor 1, 2009, hal. 48.
61
Melanesian Spearhead Group Trade Agreement, diakses dari https://www.mitt.gov.fj/divisions/trade-
unit/programmes/international-trade-agreements/trade-agreements/melanesia-spearhead-group-trade-agreement-
msgta/ pada 20 April 2020.
barang, aturan pengiriman, aturan administrasi dalam kegiatan impor ataupun ekspor,

mekanisme penyelesain sengketa, serta penyimpanan dokumen.62

4. Prosperity for All Plan

Pada tahun 2013, MSG merayakan 25 tahun pembentukannya. Pada tahun tersebut

juga, sekelompok warga negara terkemuka dari anggota organisasi, yang disebut Eminent

Persons Group, melakukan peninjauan startegi MSG dan sekretariatnya sejak awal berdiri

dengan pelaksanaan analasis, konsultasi, dan tes, yang kemudian digunakan untuk

mewartakan visi, arah, dan rencana MSG untuk 25 tahun mendatang dengan menuangkannya

ke dalam 12 pilar.63

B. United Liberation Movement for West Papua

A. Sejarah Keberadaan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP)

Kehendak nasionalistik di Papua Barat64 bermula dari Organisasi Papua Merdeka

(OPM), yang telah terbentuk bahkan sebelum aneksasi wilayah dilaksanakan pada tahun

1969. Per tahun 2011, diketahui ada 4 kelompok aktivis pro-kemerdekaan utama, yaitu

Negara Republik Federal Papua Barat (NRFPB), West Papua National Coalition for

Liberation (WPNCL), The Free West Papua Campaign, Komite Nasional Papua Barat

(KNPB) dan Parlemen Nasional Papua Barat (PNWP).65

Pada 2013, WPNCL mengajukan keanggotaan penuh kepada MSG, yang kemudian

diragukan perwakilannya. Tahun 2014 setelah dilakukan misi kementrian MSG, pengajuan

62
Melanesian Spearhead Group Trade Agreement Rules of Origin Handbook, diakses dari
https://www.msgsec.info/wp-content/uploads/MSGTrade/MSGTA-ROO-Handbook-Revised-26-July-2013.pdf
pada 20 April 2020.
63
MSG 2038 Prosperity Plan for All, diakses dari https://www.msgsec.info/publications/ pada 21 April
2020.
64
Dunia internasional acap kali menggunakan terminologi Papua Barat yang mengacu pada keseluruhan
wilayah Papua, baik Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.
65
Institute for Policy Analysis of Conflict, Policy Miscalculations on Papua Report, (Jakarta: Institute
for Policy Analysis of Conflict, 2017), hal. 3, diakses dari
http://file.understandingconflict.org/file/2017/10/IPAC_Report_40.pdf pada 23 April 2020.
keanggotaan tersebut ditolak, namun memberikan keempatan untuk membentuk kelompok

yang inklusif dan terpadu yang berperan sebagai organisasi payung.66 PemerintahanVanutatu

memberikan dukungan terhadap pertemuan rekonsiliasi dan penyatuan tersebut, sehingga

pada Desember 2014 terjadi unifikasi yang terdiri atas koalisi antara NRFPB, KNPB, dan

WPNCL.67

Pada Februari 2015, perwakilan dari ULMWP mengajukan proposal permohonan

keanggotan penuh langsung ke tangan Direktur Jendral MSG saat itu, Peter Forau.68 Juni

2015 pada saat Konfrensi Tingkat Tinggi MSG yang ke 20, ULMWP disambut oleh MSG

sebagai anggota pengamat (observer).69 Indonesia, yang sebelumnya merupakan anggota

pengamat sejak 2011, diterima sebagai anggota asosiasi dengan mewakili 5 provinsi dengan

ras melanesia, yaitu Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur, Papua, dan Papua Barat.70

66
Special Leaders Meeting on the Question of West Papuan – Communique, 26th June 2014.
67
Jason Macleod, Rosa Moiwend, Jasmine Pilbrow, A Historic Choice: West Papua, Human Rights, and
Pacific Diplomacy at the Pacific Island Forum and Melanesian Spearhead Group, 23 September 2016, hal. 14,
diakses dari
https://www.tapol.org/sites/default/files/sites/default/files/pdfs/WP_PIF_MSG_Report_Online_RLR.pdf pada
23 April 2020.
68
West Papua Resubmits Application for MSG Membership, 4 Februari 2015, diakses dari
https://www.ulmwp.org/west-papua-resubmits-application-msg-membership pada 23 April 2020.
69
West Papua Makes History with Political Recognition, 26 Juni 2015, diakses dari
https://www.ulmwp.org/west-papua-makes-history-political-recognition pada 23 April 2020.
70
Jason Macleod, Rosa Moiwend, Jasmine Pilbrow, Op.Cit., hal. 15.
TINDAKAN MELANESIAN SPEARHEAD GROUP BERDASARKAN PRINSIP

NON INTERVENSI

A. Keanggotaan pada Melanesian Spearhead Group

Anggota semula yang terdiri atas Papua Nugini, Kepulauan Solomon, dan Vanuatu

memberikan MSG kerpibadian inter-governmental organization. Bergabungnya FLNKS,

yang adalah entitas non negara, pada 1989 menciptakan transfigurasi pada sifat antar-

pemerintahan MSG. Terkait hal ini kemudian MSG menegaskan bahwa konfigurasi MSG

dapat dipandang sebagai organsiasi antar-pemerintah dalam masa transisi.

FLNKS sendiri pada dasarnya merupakan sebuah government-in-waiting, yang mana

jika proses Noumea Accord menghasilkan status independen bagi Kaledonia Baru. Bila hak

tersebut tercapai, maka akan ada transformasi FLNKS dalam konteks negara baru yang akan

mengambil posisi selayaknya dalam organisasi. Pun bila hasilnya adalah sebaliknya, FLNKS

akan tetap menjadi anggota MSG.71 Probabilitas hasil negatif dari FLNKS ini dipandang pula

menjadi solusi yang menghormati keanggotaan antar-pemerintahan plus suatu entitas di

MSG. Konfigurasi ini dinilai sebagai upaya memperluas representasi dalam organisasi

subregional dengan memberikan kesempatan bagi LSM untuk memperluas legitmasi dan

menambah variasi pendanaan.72

Dalam penerimaan calon anggota, MSG memiliki ketentuan bahwa sebelum menerima

anggota baru harus terlebih dulu mengadakan konsolidasi. Bagi negara calon anggota, perlu

dimuatkan batas formal negara dengan tujuan menghindari kemungkinan konflik perbatasan

dimasa depan. Sumber daya dan keterjangkauan juga menjadi bahan pertimbangan dalam

menentukan penerimaan anggota baru.73

71
Prosperity for All Plan, § 13.2 § 13.3.
72
Ibid.
73
Prosperity for All Plan, § 14.2.1
B. Analisis Hukum Terhadap Melanesian Spearhead Group Berdasarkan Prinsip Non

Intervensi

Pada kasus Corfu Channel dinyatakan bahwa dugaan atas hak intervensi sebagai

perwujudan kebijakan kekuatan, seperti dimasa lalu, telah memberikan celah terhadap

pelanggaran yang paling serius. Sehingga dengan itu, suatu tindakan intervensi tidak dapat

diterima dalam bentuk tertentu dan tidak dapat ditempatkan dalam hukum internasional.74

Melalui kasus Nicaragua v. USA, Mahkamah Internasional menyatakan bahwa

principle of non-intervention invlolves the right of every sovereign State to conduct its affairs

without outside interference. Selanjutnya dalam kasus ini ditemukan intervensi hadir dalam

bentuk serangan senjata oleh Amerika terhadap Nicaragua. Serta adanya penyerbuan di

perairan teritorial Nikaragua, pelanggaran udara di wilayah udara Nikaragua, serta intimidasi

oleh Amerika terhadap pemerintahan Nikaragua.75

Pada kasus DRC v Uganda, Mahkamah menegaskan kembali bahwa suatu negara

dengan alasan apapun dilarang mengintervensi, baik secara langsung maupun tidak langsung,

baik dengan atau tanpa melibatkan angkatan bersenjata, pada urusan internal negara lain.

Dalam kasus ini pula yang dimaksudkan sebagai tindakan intervensi merupakan okupasi

wilayah oleh Uganda pada salah satu provinsi Kongo, yaitu Ituri. Selanjutnya intervensi hadir

dalam bentuk partisipasi aktif terhadap ekspansi militer kelompok pemberontak di Uganda.

Ekspansi ini direalisasikan melalui pemberian bantuan logistik, ekonomi, dan finansial.76

Terkait pengajuan keanggotaan oleh gerakan Papua Barat, baik yang pengajuan oleh

WPNCL dan ULMWP, MSG juga meletakkan perhatiannya pada hal lain. Salah satunya

ialah kekhawatiran organisasi tersebut terhadap pelanggaran hak asasi manusia dan

74
ICJ Report of The Corfu Channel Case, 9 April 1949, hal. 35.
75
Judgement of Military and Paramilitary Activities in and against Nicaragua, 27 Juni 1986.
76
Summary of the Judgement on Armed Conflicts on the Territory of the Congo, 19 Desember 2005.
kekejaman yang terjadi di wilayah-wilayah Papua. Pun mereka menyatakan kehendak untuk

membangun ruang dialog bagi pemerintah Indonesia dengan gerakan Papua Barat tersebut.

Berdasarkan Pasal 52 Ayat 1 Bab VI Piagam PBB, organisasi regional maupun

subregional diberikan kapasistas untuk mempertahankan perdamaian dan keamanan di sekitar

daerah mereka. Kapasitas tersebut menurut Pasal 33 Ayat 1 hadir dalam bentuk upaya

penyelesaian sengketa dengan cara damai menggunakan pacific settlement, seperti negosiasi,

penyelidikan, mediasi, konsiliasi, arbitrasi, penyelesaian peradilan, atau cara lainnya sesuai

dengan pilihan pihak-pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa dengan cara ini

ditekankan Piagam untuk ditempuh sebelum membawa perkara ke hadapan Dewan

Keamanan, namun dengan tetap memberikan informasi perkembangan penyelesaian sengketa

tersebut.77

Berdasarkan pemetaan dan perkembangan praktik-praktik negara terkait prinsip non

intervensi dalam hukum internasional, penerimaan ULMWP sebagai anggota pengamat oleh

MSG tidak dikategorikan sebagai tindakan intervensi yang terlarang dalam hukum

internasional. Pun berdasarkan ketentuan dan aturan yang dianut oleh MSG, penerimaan

entitas non-negara untuk menjadi bagian dari anggotanya tidak juga dapat disalahkan

sebagaimana mereka sendiri memang mengikutsertakan hal tersebut, dilihat dari FLNKS

sebagai presedennya.

Namun apa yang diperbuat MSG terhadap ULMWP tidak serta merta menjadi benar.

Mengingat Indonesia merupakan suatu negara berdaulat, di mana wilayah Papua dan Papua

Barat tercakup di dalam kedaulatannya, tindakan MSG sejatinya telah mengusik kedaulatan

Indonesia. Terlebih lagi Indonesia merupakan anggota asosiasi di MSG sendiri.

77
Pasal 54 Piagam PBB.
Bila memang benar kehendaknya didasarkan pada keinginan menyelesaikan

pelanggaran hak asasi manusia di wilayah Papua dan Papua Barat dengan cara damai, maka

tindakan MSG dapat dibenarkan. Lebih lagi, berdasarkan ketentuan penyelesaian dengan cara

damai yang terdapat pada Piagam PBB dan tujuan PBB untuk memelihara perdamaian dan

keamanan dunia, MSG dalam merelaisasikan niat tersebut mendapatkan dukungan.

Anda mungkin juga menyukai