SKRIPSI
Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh:
160200373
FAKULTAS HUKUM
2020
TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PRINSIP NON INTERVENSI DALAM
TINDAKAN MELANESIAN SPEARHEAD GROUP (MSG) TERHADAP
KEANGGOTAAN UNITED LIBERATION MOVEMENT FOR WEST PAPUA
(ULMWP)
*) Solind Ruta Siregar
**) Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, SH., MLI
***) Dr. Sutiarnoto, SH., M.Hum
ABSTRAKSI
ABSTRACT
In establishing relations within the international community, the United Nations Charter
emphasizes respect for one another and the prohibition of intervention on the sovereignty of a
country. Indonesia as an entity fulfills all the criteria to be declared as a country which is a
subject in international law. Based on that, the Indonesian government has the right to
manage and protect the sovereignty included in it, including in Papua province and West
Papua provinice. The Melanesian Spearhead Group as an international organization is known
to have accepted a separatist grup of West Papua. Through this following research, the
Author examines whether the Melanesian Spearhead Group’s actions meet all the standards
of non intervention principle that is applied in the international law.
This research uses a normative judicial approach. The writing method in this study uses
libarry research through an inventory of materials such as books, journals, articles, and
dictionaries. Along with that, international legal instruments and its preparation documents
are also in the study of this research.
Based on the mapping of regulations and the development of state practices related to
the principle of non intervention in international law, the action of the Melanesian Spearhead
Group which accepts the United Liberation Movement for West Papua is more appropriate to
be categorized as interference rather than an of prohibited intervention. Nevertheless, the
Melanesian Spearhead Group’s actions did not necessarily become right and true, considering
that it has disrupted the sovereignty of an independent state, namely Indonesia.
SKRIPSI
Oleh:
160200373
Disetujui oleh:
CURICCULUM VITAE
A. Biodata Diri
Email Solindsiregar1@gmail.com
B. Pendidikan Formal
C. Data Orangtua
hukum yang digunakan untuk mengatur beragam persoalan dan hubungan yang melintasi
batas-batas negara. Karena hukum merupakan hukum yang diterapkan melintasi batas-batas
negara, maka disini hukum internasional mengatur hubungan dan persoalan, baik antara
negara dengan negara atau negara dengan subjek hukum bukan negara, atau bahkan antara
sesama subjek hukum bukan negara. J.G. Starke mendefinisikan hukum internasional sebagai
keseluruhan hukum yang sebagian besar terdiri dari atas sendi-sendi dan aturan-aturan
dalam keadaan transisi.2 Malcolm N. Shaw dengan pemandangan yang serupa menjelaskan
hukum internasional harus kerap menentukan kapan dan bagaimana caranya mempersatukan
standar perilaku baru dan realita hidup yang baru dalam satu kerangka. 3 Jadi, hukum
3. Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab, dan
yang berkenaan dengan beragam hak, kewajiban, dan kepentingan negara-negara yang harus
mereka taati. Akan tetapi, hal ini tidak menutup fakta bahwa bagian dari masyarakat
internasional, yang adalah subjek dari hukum internasional, tidak hanya terdiri atas negara
saja.5 Subjek hukum adalah para pihak yang segala aktivitas, tindakan, dan kegiatannya
diatur, sehingga memunculkan kewenangan dalam bentuk hak dan kewajiban guna
Pada hukum internasional yang dapat dikategorikan sebagai subjek hukum menurut
Martin Dixon merupakan a body or entity which is capable of possessing and excercising
rights and duties under international law.7 Dalam hukum internasional sendiri, yang
dimaksudkan sebagai subjek hadir dalam jenis state actor dan non actor state, yang terdiri
dari:8
i. Negara
5
J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, edisi kesepuluh, terjemahan Bambang Iriana
Djajaatmadja, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hal. 77.
6
Mochtar, Kusumaatmadja, B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum Suatu Pengenalan Pertama
Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, (Bandung: Penerbit Alumni, 2000), hal. 8.
7
Martin Dixon, Textbook on International Law 4th Edition, (London: Blackstone Press Limited, 2000),
hal. 104.
8
I made Pasek Diantha, dkk, Buku Ajar Hukum Internasional, diakses dari
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_pendidikan_dir/96cf501a1391c79b52c219d79df67933.pdf pada 13 Mei
2020.
iv. Palang Merah Internasional
v. Kaum Pemberontak
Negara yang merupakan suatu subjek hukum diketahui sebagai subjek asli,9 utama,10
dan paling penting11 pada hukum internasional. Oleh Black’s Law Dictionary, negara
diartikan sebagai the system of rules by which jurisdiction and authority are exercised over
such a body of people12 (suatu sistem peraturan yang dimana yurisdiksi dan otoritas terhadap
entitas dapat diakui sebagai negara bilamana entitas tersebut memiliki karakteristik berikut:
Kedaulatan merupakan salah satu konsep fundamental pada hukum internasional. Hal
ini merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari prinsip-prinsip kesetaraan negara
dan integritas teritorial dan kemerdekaan politik sebagaimana dimaksud dalam pasal 2
Piagam PBB.14 Walau demikian, J. G. Starke menuturkan bahwa kedaulatan lebih merupakan
suatu istilah sasta (art) daripada suatu pengertian hukum yang dapat didefinisikan secara
tepat.15
9
Georg Schwarzenberger, A Manual of International Law, (London: The London Institute of World
Affairs, 1952), hal. 28.
10
J. G. Starke, Introduction to International Law 9th Edition,(London: Butterworth & Co, 1984), hal. 91.
11
Martin Dixon, Robert McCorquodale, Cases and Materials on International Law, (London: Blackstone
Pres Limited, 1995), hal. 146.
12
Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, edisi kesembilan (Texas: West Group, 2009), hal. 1537.
13
Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933.
14
Martin Dixon, Robert McCorquodale, Op.Cit., hal. 279.
15
J. G. Starke, Op.Cit, hal.132.
Ian Brownlie menyatakan dalam konteks hukum internasional, yang menjadi akibat
a) Yurisdiksi negara, prima facie eksklusif atas suatu teritorial dan populasi permanen
b) Kewajiban non ntervensi pada bidang yursdiksi eksklusif suatu negara lain; serta
merupakan prinsip dasar hukum internasional. Suatu negara merdeka pada sistem
internasional secara penuh dan esklusif berdaulat berhak menjalankan fungsi kenegaraan
pada wilayah teritorialnya. Kedulatan ini pada umunya dikenal dengan istilah kedaulatan
teritorial.17
Prinsip yang berkelanjutan dan tampilan damai terhadap fungsi-fungsi suatu negara
dalam wilayah tertentu merupakan unsur penyusun kedaulatan teritorial yang tidak hanya
didasarkan pada kondisi pembentukan negara merdeka dan batasan-batasannya, namun juga
dengan yurisprudensi internasional dan doktrin yang diterima secara luas. 18 Oppenheim
menegaskan bahwa kepentingan teritorial negara pada faktanya berada pada ruang dimana
negara menjalankan otoritas tertingginya dan tidak ada otoritas asing yang memiliki
16
Ian Brownlie, Principles of Public International Law, (Oxford: Oxford University Press, 1990), hal.
287.
17
The Status of Eastern Carelia, (The Permanent Court of International Justice: 1923).
18
United Nation, Reports of Islands of Palmas Case (The Netherlands v United States) Volume II,
diakses dari https://legal.un.org/riaa/cases/vol_II/829-871.pdf pada 1 Februari 2020.
19
L. Oppenheim, International Law A Treatise Volume One, (London: Longmans, Green and Co Ltd,
1955), hal. 452.
Dengan demikian, dalam rangka menjalankan fungsi negara berdasarkan kedaulatan
yang dimilikinya, secara internal perlu diwujudkan bentuk supremasi dari lembaga-lembaga
pemerintahan dan secara eksternal diwujudkan dalam bentuk supremasi negara sebagai
konsekuensi berupa kewajiban untuk tidak mencampuri urusan negara lain. 20 Georg
interference by other groups in what they consider to be their exclusively domestic affairs 21
(Suatu negara berdaulat berkedudukan cukup kuat untuk menolak campur tangan kelompok
lain terhadap apa yang dianggapnya sebagai urusan domestik mereka yang ekslusif).
Tindakan intervensi dapat terjadi, baik pada urusan internal maupun eksternal suatu negara,
dan cenderung melanggar supremasi personal, teritorial, atau kemerdekaan eksternal suatu
negara.22
Indonesia pada masa kini dapat diakui sebagai salah satu subjek hukum internasional
yang memenuhi kriteria dan karakteristik seperti pemaparan di atas. Namun sebelum
mendeklarasikan kemerdekaannya pada tahun 1945 dan menikmati hak dan kewajibannya
kolonialisme panjang. Berawal dengan dijajah oleh Portugal pada 1511, yang kemudian
diikuti oleh Spanyol dan Inggris. Pada 1595, akhirnya Belanda mulai menguasai wilayah
Januari 1942.
20
J. G. Starke, Op. CIt., hal. 166.
21
Georg Schwarzenberger, Loc.Cit.
22
L. Oppenheim, Op.Cit., hal. 305.
Indonesia sebagai legal successor23 meliputi seluruh wilayah Nusantara eks Hindia Belanda,
yang terdiri atas Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Maluku. 24
Disadari atau tidak, penentuan wilayah kedaulatan ini dilaksanakan sesuai dengan prinsip uti
possidetis juris. Oleh Black’s Law Dictionary didefinisikan bahwa uti possisdetis juris
merupakan the doctrine that old administrative boundaries will become international
batas administratif lama akan menjadi batas internasional baru ketika sebuah subdivisi politik
mencapai kemerdekaan).
wilayah di Papua. Papua yang pada masa itu dikenal dengan nama Nederlands Nieuw
Guinea/NNG merupakan bagian dari Provinsi Maluku. Kedaulatan Indonesia terhadap Papua
yang sempat terguncang kemudian diperkuat dengan cara plebiscite (plebisit). Plebisit
merupakan salah satu cara pemilikan suatu wilayah melalui pilihan penduduknya, setelah
dilaksanakannya pemilihan umum, referendum, atau cara-cara lainnya yang dipilih oleh
penduduk.26 Dalam hal ini, plebisit dilaksanakan dalam bentuk Penentuan Pendapat Rakyat
Pelaksanaan plebisit boleh dinilai telah menutup satu pintu masalah, namun tidak bisa
dinafikan hal ini juga membuka pintu masalah lainnya. Pepera menjadi pemicu kontestasi
penduduk Papua juga merasa kurang puas dikarenakan fakta bahwa mereka masih marginal
23
Legal successor dalam kalimat tersebut berarti sebagai pewaris atau penerus yang sah secara hukum
ketika penguasa sebelumnya dianggap tidak kompeten atau tidak lagi mampu untuk memimpin.
24
Mangasi Sihombing, Aspek Hukum keberadaan Irian atau Papua dalam Republik Indonesia dan Isu-
Isu Terkait, (Jakarta: Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, 2006), hal. 1.
25
Bryan A. Garner, Op.Cit., hal. 1686.
26
Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, (Bandung: Keni Media, 2011), hal.
16.
27
Nico Gere, Merawat Kedaulatan Indonesia di Papua, (Jakarta: Peruma LKBN Antara, 2017), hal. 98.
dan miskin. Papua yang lebih luas empat kali lipat pulau Jawa dan memiliki sumber daya
alam yang sangat besar seharusnya mampu membuat rakyatnya hidup sejahtera.28
rakyat Papua untuk memerdekakan diri dari Indonesia. Ditambah dengan diadakan Operasi
Militer oleh Pemerintah Pusat untuk mengatasi pemberontakan separatisme di Papua, yang
justru menimbulkan pelanggaran HAM, semakin memperkuat keinginan rakyat Papua untuk
melepaskan diri dari Republik Indonesia.29 Maraknya berbagai aksi dan kampanye terkait
separatis ini bahkan tergaung sampai di dunia internasional, mulai dari lingkungan kawasan
terdekat, yakni Pasifik Selatan, lalu Eropa dan Amerika, hingga PBB sebagai organisasi
global.
Upaya gerakan saparatis dalam menggaungkan isu terkait Papua pada kancah
internasional berjalan dengan baik. Salah satu entitas yang paling menonjol dalam membahas
isu tersebut merupakan Melanesian Spearhead Group (MSG), yang adalah organisasi
regional di kawasan Melanesia yang terdiri dari negara-negara Melanesia di kawasan Pasifik
Selatan. Organisasi tersebut berdiri dengan visi utama yakni dekolonisasi dan kebebasan
seluruh negara dan bangsa Melanesia dengan upaya mengembangkan identitas dan kedekatan
budaya, politik, sosial, dan ekonomi masyarakat Melanesia. Berbagai ikhtiar diupayakan
MSG, dimulai dengan menawarkan posisi bagi United Liberation Movement for West Papua
(ULMWP) hingga melontarkan berbagai tudingan pada saat pertemuan reguler dewan HAM
PBB.30
28
Yan Pieter Rumbiak, Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua, Menyelesaikan Hak Asasi Manusia dan
Membangun Nasionalisme di Daerah Krisis Integrasi, (Jakarta: Papua International Education, 2015), hal. 36.
29
M. Fathoni Hakim, Tesis: Perjanjian Keamanan Indonesia – Australia: Upaya Indonesia Untuk
Mencegah Gerakan Separatisme di Indonesia Timur, (Jakarta: UI, 2010), hal. 1.
30
Muhammad Fadhilah, Inkonsisensi Kebijakan Luar Negeri Melanesian Spearhead Group (MSG)
dalam Isu Papua Barat: Studi Kasus Fiji dan Papua Nugini, Indonesian Perspective, vol. 4 no. 1, 2019, hal. 60.
Dalam Pasal 2 Ayat 4 Piagam PBB, ditekankan ketentuan terkait intervensi yang
menggunakan ancaman atau penggunaan kekerasan. Hal ini secara jelas mengindikasikan
adanya upaya koersif yang dimuat dalam upaya intervensi. Tindakan MSG untuk menerima
ULMWP sebagai anggota organisasinya dapat dikategorikan sebagai upaya yang tidak
melibatkan upaya koersif atau diktatorial, namun telah mengusik urusan internal Republik
Indonesia. Ditambah pula dengan kenyataan bahwa Indonesia telah lebih dulu menjadi
Oleh karena itu, penulis tertarik untuk menganalisis apakah tindakan Melanesian
INTERNASIONAL
Dalam Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tidak ada ditemukan penuturan
eksplisit perihal prinsip non-intervensi sebagai peraturan yang mengatur hubungan antara
anggota PBB. Deskripsi yang paling mendekati hal tersebut dipaparkan pada Pasal 2 yang
sendiri.
Terlepas dari larangan penggunaan kekerasan, Pasal 2 Ayat 4 bukan merupakan prinsip
non-intervensi. Integritas wilayah dan kemerdekaan politik suatu negara tetap bisa terganggu
tanpa adanya ancaman atau penggunaan kekerasan secara langsung. Lebih lanjut, integritas
wilayah - dipertahankan selama tidak ada wilayah negara yang diambil darinya - bukanlah
hal yang sama dengan kekebalan teritorial - hak suatu negara untuk menjalankan yurisdiksi
yang hanya berlaku pada hubungan antara PBB sebagai Organisasi dan beberapa anggotanya,
bukan hubungan antara para anggota sendiri. Analisis akan Ayat 7 menimbulkan beragam
pertanyaan kepada pihak-pihak yang terlibat dalam menganalisis prinsip non-intervensi yang
berlaku untuk hubungan antara negara. Untuk dapat memahami prinsip ini lebih mudah, perlu
dilakukan pengamatan akan definisi dari intervensi dan cakupan yursidiksi domestik. Kedua
hal tersebut tentu berbeda. Bisa saja konsep intervensi yang dijalankan PBB berbeda
penerapannya dalam hubungan antarnegara. Lebih lagi, ada kemungkinan intervensi oleh
31
Leland M. Goodrich, Edvard Hambro, Charter of the United Nations, (Boston: World Peace
Foundation, 1949), hal. 103.
PBB tidak menghasilkan akibat hukum atau moral yang setara dengan intervensi unilateral
Demikian juga batasan pada yurisdiksi domestik lebih mengalami kemunduran ketika
dikaitkan dengan aktivitas PBB daripada ketika dikaitkan dengan konteks hubungan
dipaparkan pada Pasal 2 Ayat 7 cocok dengan tradisi pemikiran yang kuat tentang tujuan
Tahun 1949 dan 1950 melalui Dasar-Dasar Resolusi Perdamaian Majelis Umum
(Essentials of Peace Resolution of the General Assembly) dan Resolusi Perdamaian Melalui
Tindakan (Peace Through Deeds Resolution), non-intervensi yang tersirat pada Piagam PBB
mulai menjadi jelas dalam praktek PBB. Dasar-Dasar Resolusi Perdamaian Majelis Umum
mengajak setiap negara untuk menahan diri dari segala ancaman atau tindakan, baik langsung
maupun tidak langsung, ditujukan untuk merusak kebebasan, kemerdekaan atau integritas
negara mana pun, atau memicu perselisihan sipil dan menumbangkan kehendak orang-orang
Resolusi Perdamaian Melalui Tindakan mengutuk intervensi oleh suatu negara dalam
urusan dalam negeri dari negara lain yang bertujuan mengubah pemerintahan yang didirikan
secara hukum, baik ketika hal tersebut dijalankan dengan ancaman atau penggunaan
terhadap perdamaian dan keamanan di seluruh dunia dapat hadir dalam bentuk penggunaan
senjata apa pun, agresi apa pun, baik yang dilakukan secara terbuka atau dengan memicu
32
Ibid., hal. 105.
33
Resolusi Majelis Umum 290 (IV).
34
Resolusi Majelis Umum 380 (V) dan 381 (V).
Pada 1957, Soviet kembali berhasil membuat Majelis Umum mepertimbangkan sebuah
Deklarasi tentang Koeksistensi Negara yang Damai (Declaration Concerning the Peaceful
Co-existence of States). Rancangan resolusi yang diadopsi Majelis disponsori bersama oleh
India, Swedia, dan Yugoslavia. Hal ini menimbulkan kesadaran untuk mengembangkan
perdamaian dan toleransi hubungan antar negara berdasarkan pada kehormatan dan
kesetaraan dan integritas wilayah dan non-intervensi dalam urusan internal suatu negara, dan
Pada 1965, sekali lagi atas permohonan Uni Soviet, perihal the inadmissibility of
intervention in the domestic affairs of States and the protection of their independence and
sovereignty dipertimbangkan oleh Majelis Umum.36 Rancangan resolusi Soviet tidak diadopsi
oleh Majelis, namun banyak ide-ide dari rancangan tersebut yang dimuatkan dalam
rancangan Deklarasi yang diadopsi oleh Majelis, rancangan yang didukung oleh 57 negara,
universal yang diakibatkan intervensi, baik intervensi bersenjata dengan agresi; anggapan
bahwa intervensi langsung, subversi, dan semua bentuk intervensi tidak langsung sebagai
pelanggaran terhadap Piagam PBB; dan pengakuan bahwa pengamatan penuh terhadap
prinsip non-intervensi merupakan dasar pemenuhan tujuan dan prinsip PBB. Kepentingan
prinsip ini ditekankan bagi negara-negara yang membebaskan diri dari kolonialisme, dan
menyimpang dari jalan yang ditandai oleh doktrin tradisional non-intervensi. Mukadimah itu
35
Resolusi Majelis Umum 1236 (XII).
36
Procedural History of General Assembly’s Resolution 2131 (XX), diakses dari
https://legal.un.org/avl/ha/ga_2131-xx/ga_2131-xx.html pada 10 April 2020.
37
Ibid.
juga menekanan letak dari prinsip penentuan nasib sendiri dalam konstitusi PBB dan
Di tahun 1966, lagi-lagi atas inisiatif dari Uni Soviet, Majelis Umum
Intervention in the Domestic Affairs of States and the Protection of their Independence and
Sovereignity. Resolusi yang lahir dari perdebatan mengenai hal itu, menegaskan ulang
seluruh prinsip dan peraturan yang terkandung pada Deklarasi dari tahun sebelumnya.39
Law concerning Friendly Relations and Co-operation among States in accodance with the
Charter of the United Nations. Prinsip non-intervensi sebagaimana dibentuk pada Deklarasi
1970 tidak jauh berbeda dari Deklarasi 1965 tentang Inadmissibility of Intervention.40
Pengaruh dari hukum antara negara Amerika Serikat (inter-American law) sangat kentara,
kalimat yang diubah sedikit dan paragraf yang menurun merupakan yang meyimpang dari
persetujuan pada prinsip non-intervensi sebagai sebuah hukum sekaligus sebagai prinsip
politik. Walaupun penafsiran prinsip non-intervensi Majelis Umum telah melampaui Piagam,
38
Vincent. R. J., Tesis. Non Intervention and International Order, (Princeton University Press: New
Jersey, 1974), hal. 290.
39
Ibid.
40
Saat pembentukan prinsip non-intervensi untuk Deklarasi 1970, Deklarasi 1965 tentang non-intervensi
ditegaskan sebagai acuan. ”The 1966 report stated that … Special Committee would abide by General Assembly
resolution 2131 (XX) of 21 December 1965 … and instructed its Drafting Committe to direct its work on the
principle toweards the consideration of additional proposal, with the aim of widening the area of agreement of
General Assembly resolution 2131 (XX).” Report of the Special Committee, UN. Doc. A/7326, 1968, hal. 4, §
18.
41
Vincent R. J., Op.Cit., hal. 295.
42
Ibid.
Segala tindakan yang dilakukan siapa pun dapat berupa intervensi, selama tindakan
tersebut memiliki pengaruh terhadap pihak lain. Intervensi merupakan sebuah kontinum,
mulai dari kritik hingga paksaan. Suatu tindakan intervensi, yang menghasilkan nilai
legalitas, legitimasi, dan praktis akan bervariasi sesuai dengan dua variabel, yaitu intrusivitas
intervensi yang direnungkan dan lokus yurisdiksi atas targetnya.43 Larangan atas intervensi
umumnya disebabkan kemungkinan akan efek tindakan yang dimaksudkan akan terlalu parah
atau subjek intervensi sejatinya bukan urusan dari pihak yang mengintervensi.
Intervensi langsung merupakan bentuk ikut campur terhadap urusan dalam negeri suatu
negara yang dilakukan pihak asing secara diktator menggunakan kekerasan bersenjata. 44
Intervensi tidak langsung berupa pendiktean terhadap kebijakan dalam negeri suatu negara
yang dilakukan oleh negara atau organisasi yang kedudukannya lebih superior. Intervensi
yang demikian banyak dijumpai menimpa negara-negara berkembang dan terbelakang, yang
powerless, yang mempunyai banyak ketergantungan pada pihak asing. Semakin tinggi
ketergantungan suatu negara pada pihak lain, maka akan semakin rentan pula negara itu
Intervensi internal merupakan bentuk ikut campur tangan terhadap urusan dalam negeri
suatu negara lain secara diktator. Pengiriman pasukan dan logistik untuk membantu
pemerintah yang sah menumpas kelompok separatis yang ada di wilayah negara yang
masalah dalam negeri negara yang diintervensi.45 Independensi eksternal adalah atribut
43
M. N. S. Sellers, Intervention under International Law, Maryland Journal of International, Volume 29,
2014, hal. 6.
44
Sefriani, Peranan Hukum Internasional dalam Hubungan Internasional Kontemporer, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2016), hal. 53.
45
Ibid., hal. 57.
kedaulatan seperti haknya independensi internal dan bentuk-bentuk tertentu dari campur
tangan dalam urusan eksternal negara bisa menjadi sama dengan intervensi pada urusan
3. Intervensi penghukuman
suatu pihak yang bertujuan menimbulkan kerugian pada pihak lain yang bertanggung jawab
4. Intervensi kemanusiaan
urusan dalam negeri suatu negara dengan cara paksa untuk menyelesaikan pelanggaran HAM
berat yang terjadi. Cara paksa yang dimaksudkan umumnya juga melibatkan penggunaan
kekuatan bersenjata, yang dengan kata lain didalamnya terkandung penggunaan kekuatan
militer. Bukannya menafikan kedaulatan negara secara otomatis, perkembangan HAM dan
(pemerintah) memperoleh legitimasi dari warga negaranya. Karena itu, negara tidak dapat
mengingkari hak-hak dasar setiap warga negaranya dan apabila kedaulatan terlibat konflik
dengan HAM warga negara, maka HAM warga negara lah yang dimenangkan.48
46
Report of the Special Committee, UN Doc. A/5746, 1964, hal. 120, § 228.
47
Anthony F. Lang Jr., Punishment, Justice, and International Relations Ethics and Order after the Cold
War, (London: Taylor & Francis Ltd, 2009), hal. 61.
48
Yanyan Mochamad Yani, Ian Montratama, Emil Mahyudin, Pengantar Studi Keamanan, (Malang:
Intrans Publishing, 2017), hal. 92-93.
Gagasan akan penggunaan kekerasan merupakan poin yang paling krusial diantara yang
lainnya. Pasal 2 Ayat 4 memuatkan istilah kekuatan tanpa berhasil mendistribukan bentuk-
bentuk konkret dari kekerasan, selain dari angkatan bersenjata (armed force). Majelis Umum
PBB, melalui Deklarasi 1970, berhasil menginterpretasikan beragam bentuk kekerasan yang
digunakan suatu negara atau kelompok negara terhadap negara lain. Walau sejarah
daripada resolusi itu sendiri, paling tidak pada akhirnya tindakan-tindakan yang dapat
force) atau angkatan bersenjata (armed force), makna kekerasan diperluas juga pada paksaan
(coercion) dengan langkah-langkah ekonomi, politk, dan langkah lainnya. Lebih lagi, melalui
penggunaan bersenjata, baik secara reguler, ireguler, atau bahkan sukarela, terlepas dari
pelaksanaannya yang secara langsung atau pun tidak langsung. Pembalasan bersenjata juga
dicakupkan padanya.49
Pada hukum internasional, ancaman kekerasan merupakan pesan, baik implisit atau
eksplisit, yang diformulasikan berdasarkan keputusan dan ditujukan pada target tertentu,
dengan menunjukkan bahwa kekuatan akan digunakan jika aturan atau permintaan tertentu
tidak dipatuhi. Pesan ini sendiri dapat disampaikan dalam beragam bentuk. Bentuk pertama,
yaitu disampaikan dengan artikulasi yang jelas, baik secara lisan atau tulisan, dan
49
Declaration on Principles of International Law Friendly Relations and Co-Operation among States in
Accordance with the Charter of the United States 1970.
50
Romana Sadurska, Threats of Force, Volime 82, Nomor 2, 1988, hal. 242-243.
Bentuk berikutnya hadir dalam wujud ancaman yang eskplisit, yang dapat dimuatkan
dalam perjanjian aliansi defensi (defensive alliance treaty) atau perjanjian bilateral mengenai
bantuan militer. Bentuk ancaman yang ketiga merupakan serangkaian komunikasi yang
urutannya membentuk pesan aktual. Selanjutnya, ancaman dapat disimpulkan dari tindakan
positif tertentu, seperti terlibat dalam manuver militer atau meningkatkan anggaran militer.
Bentuk terakhir, yang tidak begitu sering ditemukan pada komunitas internasional,
merupakan ancaman tidak langsung yang ditujukan pada target utama, namun dilaksanakan
melalui perwakilan.51
Frasa hubungan internasional ini menerangkan bahwa pengaturan hanya berlaku dalam
kawasan lintas batas negara, bukan di dalam masing-masing negara. Oleh karena itu, masing-
tatanan dalam yurisdiksinya, demikian pula negara berhak untuk menggunakan kekerasan
Walaupun begitu, ketentuan ini dapat menjadi tidak ekslusif sebagai urusan internal
negara bila oleh Dewan Keamanan, penggunaan kekerasan ditetapkan telah melampaui batas
yang ditentukan hukum internasional dan menimbulkan ancaman bagi perdamaian dan
ketertiban dunia. Sehubungan dengan itu, maka apa yang menjadi urusan domestik pun akan
digunakan pada berbagai kesempatan untuk melambangkan hak hukum suatu negara. 53
51
Ibid.
52
Declaration 1970 on Principles of International Law Friendly Relations and Co-operation Among
State in Accordance with the Charter of the United Nations.
53
Alina Kaczorowska, Public International Law 4th Edition, (New York: Abingdon, 2010), hal. 702.
Kemandirian politik selain mengacu pada upaya untuk mempertahankan pemerintahan
negara, juga mencakup luas pada integritas, martabat, dan kedaulatan politik suatu negara
untuk mengelola urusan internal dan eksternal sendiri tanpa campur tangan asing. Kebebasan
demikian hanya tunduk pada hukum internasional dan kewajiban lain yang telah disetujui
melalui perjanjian atau kebiasaan. Demikian pula halnya dengan integritas teritorial, yang
tidak dapat dikerucutkan hanya kepada definisi hak yang tidak dapat dicabut (inalienability
right) atas wilayahnya. Sebaliknya, terminologi tersebut mengacu pada kedaulatan wilayah,
5. Yurisdiksi domestik
"if the dispute between the parties is claimed by one of them, and is found by the
Council, to arise out of a matter which by international law is solely within the
domestic jurisdiction of that party, the Council shall so report, and shall make no
recommendation as to its settlement."55
Pada penyusunan Piagam PBB, upaya akan ketentuan akan yurisdiksi domestik tersebut
dapat ditemukan pada Pasal 2 Ayat 7. Piagam yang mengubah frasa solely within the
domestic jurisdiction menjadi essentially within the domestic jurisdiction menuai kontroversi.
Para akademisi berpendapat bahwa pergantian frasa tersebut dimaksudkan untuk membatasi
yurisdiksi PBB dalam kaitannya dengan negara. Sehubungan dengan ini, Vincent R. J.
menyatakan bahwa prinsip non-intervensi yang dimuatkan pada Pasal 2 Ayat 7 bertujuan
untuk mempertahankan kedaulatan negara terhadap bahaya negara adidaya.56 Akademisi lain
54
Jianming Shen, “The Non-Intervention Principle and Humanitarian Interventions Under International
Law”, dalam International Legal Theory, American Society of International Law, Volume 7, nomor 1, 2001.
55
Pasal 15 ayat 8 Konvensi Liga Bangsa Bangsa.
56
Vincent R. J., Op.Cit., hal. 287.
mengamati bahwa pasal tersebut merupakan intsari dari kecenderungan dogma kedaulatan
57
Ibid.
MELANESIAN SPEARHEAD GROUP DAN UNITED LIBERATION
berbeda dengan Polinesia, Australia, dan Selandia Baru. Ekspresi ini kemudian direalisasikan
dalam bentuk Melanesian Spearhead Group (selanjutnya akan disebutkan MSG). Walau
berawal dengan pembentukan informal pada Juli 1986 di Goroka, Papua Nugini, pertemuan
antara perwakilan dari Papua Nugini, Kepulauan Solomon, Vanuatu, dan FLNKS ini tetap
Pada Maret 1988, Papua Nugini, Vanuatu, dan Kepulauan Solomon, menandatangani
Melanesia yang menyatakan komitmen negara mereka terhadap konsultasi dan kerjasama
akan isu-isu regional maupun internasional. MSG baru diakui sebagai entitas formal di dunia
Group ke PBB pada tahun 2007. Ditahun berikutnya, MSG mendirikan sekretariatnya, yang
Stephanie Lawson, Melanesia: The History and Politics of an Idea, Op.Cit., hal. 19.
58
Cain Tess Newton, “The Renaisaance of the Melanesian Spearhead Group”, dalam The New Pacific
59
Melalui pertemuan yang dilaksanakan perwakilan dari anggota negara MSG pada saat
itu, tahun 1993, dibentuk sebuah kesepakatan atas prinsip-prinsip untuk menetapkan
perjanjian perdagangan terbatas yang dituangkan pada Melanesian Spearhead Group Trade
Agreement dan mulai berlaku pada 1994.60 Perjanjian perdagangan ini kemudian
menghasilkan sebuah pasar bebas yang dikenal dengan nama Melanesian Spearhead Group –
Dalam mengoperasikan pasar bebasnya, MSG memiliki Rule of Origin (ROO) yang
harmonis dengan melakukan persaingan secara sehat. Muatan dari ROO ini adalah kriteria
60
Ian Kiloe, “Free Trade in the South Pacific: An Overview”, dalam Proceedings of Pacific and Maori
Legal Issues Conference, volume 13, nomor 1, 2009, hal. 48.
61
Melanesian Spearhead Group Trade Agreement, diakses dari https://www.mitt.gov.fj/divisions/trade-
unit/programmes/international-trade-agreements/trade-agreements/melanesia-spearhead-group-trade-agreement-
msgta/ pada 20 April 2020.
barang, aturan pengiriman, aturan administrasi dalam kegiatan impor ataupun ekspor,
Pada tahun 2013, MSG merayakan 25 tahun pembentukannya. Pada tahun tersebut
juga, sekelompok warga negara terkemuka dari anggota organisasi, yang disebut Eminent
Persons Group, melakukan peninjauan startegi MSG dan sekretariatnya sejak awal berdiri
dengan pelaksanaan analasis, konsultasi, dan tes, yang kemudian digunakan untuk
mewartakan visi, arah, dan rencana MSG untuk 25 tahun mendatang dengan menuangkannya
ke dalam 12 pilar.63
(OPM), yang telah terbentuk bahkan sebelum aneksasi wilayah dilaksanakan pada tahun
1969. Per tahun 2011, diketahui ada 4 kelompok aktivis pro-kemerdekaan utama, yaitu
Negara Republik Federal Papua Barat (NRFPB), West Papua National Coalition for
Liberation (WPNCL), The Free West Papua Campaign, Komite Nasional Papua Barat
Pada 2013, WPNCL mengajukan keanggotaan penuh kepada MSG, yang kemudian
diragukan perwakilannya. Tahun 2014 setelah dilakukan misi kementrian MSG, pengajuan
62
Melanesian Spearhead Group Trade Agreement Rules of Origin Handbook, diakses dari
https://www.msgsec.info/wp-content/uploads/MSGTrade/MSGTA-ROO-Handbook-Revised-26-July-2013.pdf
pada 20 April 2020.
63
MSG 2038 Prosperity Plan for All, diakses dari https://www.msgsec.info/publications/ pada 21 April
2020.
64
Dunia internasional acap kali menggunakan terminologi Papua Barat yang mengacu pada keseluruhan
wilayah Papua, baik Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.
65
Institute for Policy Analysis of Conflict, Policy Miscalculations on Papua Report, (Jakarta: Institute
for Policy Analysis of Conflict, 2017), hal. 3, diakses dari
http://file.understandingconflict.org/file/2017/10/IPAC_Report_40.pdf pada 23 April 2020.
keanggotaan tersebut ditolak, namun memberikan keempatan untuk membentuk kelompok
yang inklusif dan terpadu yang berperan sebagai organisasi payung.66 PemerintahanVanutatu
pada Desember 2014 terjadi unifikasi yang terdiri atas koalisi antara NRFPB, KNPB, dan
WPNCL.67
keanggotan penuh langsung ke tangan Direktur Jendral MSG saat itu, Peter Forau.68 Juni
2015 pada saat Konfrensi Tingkat Tinggi MSG yang ke 20, ULMWP disambut oleh MSG
pengamat sejak 2011, diterima sebagai anggota asosiasi dengan mewakili 5 provinsi dengan
ras melanesia, yaitu Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur, Papua, dan Papua Barat.70
66
Special Leaders Meeting on the Question of West Papuan – Communique, 26th June 2014.
67
Jason Macleod, Rosa Moiwend, Jasmine Pilbrow, A Historic Choice: West Papua, Human Rights, and
Pacific Diplomacy at the Pacific Island Forum and Melanesian Spearhead Group, 23 September 2016, hal. 14,
diakses dari
https://www.tapol.org/sites/default/files/sites/default/files/pdfs/WP_PIF_MSG_Report_Online_RLR.pdf pada
23 April 2020.
68
West Papua Resubmits Application for MSG Membership, 4 Februari 2015, diakses dari
https://www.ulmwp.org/west-papua-resubmits-application-msg-membership pada 23 April 2020.
69
West Papua Makes History with Political Recognition, 26 Juni 2015, diakses dari
https://www.ulmwp.org/west-papua-makes-history-political-recognition pada 23 April 2020.
70
Jason Macleod, Rosa Moiwend, Jasmine Pilbrow, Op.Cit., hal. 15.
TINDAKAN MELANESIAN SPEARHEAD GROUP BERDASARKAN PRINSIP
NON INTERVENSI
Anggota semula yang terdiri atas Papua Nugini, Kepulauan Solomon, dan Vanuatu
yang adalah entitas non negara, pada 1989 menciptakan transfigurasi pada sifat antar-
pemerintahan MSG. Terkait hal ini kemudian MSG menegaskan bahwa konfigurasi MSG
jika proses Noumea Accord menghasilkan status independen bagi Kaledonia Baru. Bila hak
tersebut tercapai, maka akan ada transformasi FLNKS dalam konteks negara baru yang akan
mengambil posisi selayaknya dalam organisasi. Pun bila hasilnya adalah sebaliknya, FLNKS
akan tetap menjadi anggota MSG.71 Probabilitas hasil negatif dari FLNKS ini dipandang pula
MSG. Konfigurasi ini dinilai sebagai upaya memperluas representasi dalam organisasi
subregional dengan memberikan kesempatan bagi LSM untuk memperluas legitmasi dan
Dalam penerimaan calon anggota, MSG memiliki ketentuan bahwa sebelum menerima
anggota baru harus terlebih dulu mengadakan konsolidasi. Bagi negara calon anggota, perlu
dimuatkan batas formal negara dengan tujuan menghindari kemungkinan konflik perbatasan
dimasa depan. Sumber daya dan keterjangkauan juga menjadi bahan pertimbangan dalam
71
Prosperity for All Plan, § 13.2 § 13.3.
72
Ibid.
73
Prosperity for All Plan, § 14.2.1
B. Analisis Hukum Terhadap Melanesian Spearhead Group Berdasarkan Prinsip Non
Intervensi
Pada kasus Corfu Channel dinyatakan bahwa dugaan atas hak intervensi sebagai
perwujudan kebijakan kekuatan, seperti dimasa lalu, telah memberikan celah terhadap
pelanggaran yang paling serius. Sehingga dengan itu, suatu tindakan intervensi tidak dapat
diterima dalam bentuk tertentu dan tidak dapat ditempatkan dalam hukum internasional.74
principle of non-intervention invlolves the right of every sovereign State to conduct its affairs
without outside interference. Selanjutnya dalam kasus ini ditemukan intervensi hadir dalam
bentuk serangan senjata oleh Amerika terhadap Nicaragua. Serta adanya penyerbuan di
perairan teritorial Nikaragua, pelanggaran udara di wilayah udara Nikaragua, serta intimidasi
Pada kasus DRC v Uganda, Mahkamah menegaskan kembali bahwa suatu negara
dengan alasan apapun dilarang mengintervensi, baik secara langsung maupun tidak langsung,
baik dengan atau tanpa melibatkan angkatan bersenjata, pada urusan internal negara lain.
Dalam kasus ini pula yang dimaksudkan sebagai tindakan intervensi merupakan okupasi
wilayah oleh Uganda pada salah satu provinsi Kongo, yaitu Ituri. Selanjutnya intervensi hadir
dalam bentuk partisipasi aktif terhadap ekspansi militer kelompok pemberontak di Uganda.
Ekspansi ini direalisasikan melalui pemberian bantuan logistik, ekonomi, dan finansial.76
Terkait pengajuan keanggotaan oleh gerakan Papua Barat, baik yang pengajuan oleh
WPNCL dan ULMWP, MSG juga meletakkan perhatiannya pada hal lain. Salah satunya
ialah kekhawatiran organisasi tersebut terhadap pelanggaran hak asasi manusia dan
74
ICJ Report of The Corfu Channel Case, 9 April 1949, hal. 35.
75
Judgement of Military and Paramilitary Activities in and against Nicaragua, 27 Juni 1986.
76
Summary of the Judgement on Armed Conflicts on the Territory of the Congo, 19 Desember 2005.
kekejaman yang terjadi di wilayah-wilayah Papua. Pun mereka menyatakan kehendak untuk
membangun ruang dialog bagi pemerintah Indonesia dengan gerakan Papua Barat tersebut.
daerah mereka. Kapasitas tersebut menurut Pasal 33 Ayat 1 hadir dalam bentuk upaya
penyelesaian sengketa dengan cara damai menggunakan pacific settlement, seperti negosiasi,
penyelidikan, mediasi, konsiliasi, arbitrasi, penyelesaian peradilan, atau cara lainnya sesuai
dengan pilihan pihak-pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa dengan cara ini
tersebut.77
intervensi dalam hukum internasional, penerimaan ULMWP sebagai anggota pengamat oleh
MSG tidak dikategorikan sebagai tindakan intervensi yang terlarang dalam hukum
internasional. Pun berdasarkan ketentuan dan aturan yang dianut oleh MSG, penerimaan
entitas non-negara untuk menjadi bagian dari anggotanya tidak juga dapat disalahkan
sebagaimana mereka sendiri memang mengikutsertakan hal tersebut, dilihat dari FLNKS
sebagai presedennya.
Namun apa yang diperbuat MSG terhadap ULMWP tidak serta merta menjadi benar.
Mengingat Indonesia merupakan suatu negara berdaulat, di mana wilayah Papua dan Papua
Barat tercakup di dalam kedaulatannya, tindakan MSG sejatinya telah mengusik kedaulatan
77
Pasal 54 Piagam PBB.
Bila memang benar kehendaknya didasarkan pada keinginan menyelesaikan
pelanggaran hak asasi manusia di wilayah Papua dan Papua Barat dengan cara damai, maka
tindakan MSG dapat dibenarkan. Lebih lagi, berdasarkan ketentuan penyelesaian dengan cara
damai yang terdapat pada Piagam PBB dan tujuan PBB untuk memelihara perdamaian dan