Anda di halaman 1dari 29

i

REFERAT

KONSTIPASI

Disusun Oleh :

CHARLES KURNIAWAN

07120080019

Pembimbing :

dr. RUSWHANDI, Sp. PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

RUMAH SAKIT PUSAT ANGKATAN DARAT GATOT SOEBROTO

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN

PERIODE 6 AGUSTUS – 20 OKTOBER 2012

JAKARTA

2012
i

LEMBAR PENGESAHAN REFERAT

KONSTIPASI

Disusun oleh :

CHARLES KURNIAWAN

07120080019

Telah disetujui pada tanggal :

Dipresentasikan pada tanggal :

Pembimbing

dr. RUSWHANDI, Sp.PD


ii

KATA PENGANTAR

Masalah kesehatan di Indonesia terutama masalah konstipasi

merupakan keluhan yang sering dirasakan pasien saat berobat ke dokter

maupun pada pasien rawat inap di rumah sakit. Kebanyakan pasien

dengan gangguan konstipasi mengeluh tidak nyaman dan mayoritas

masyarakat juga menunggu sampai gangguan konstiipasi menjadi sangat

berat baru memeriksakan diri ke dokter.

Penderita konstipasi memang tidak beresiko tinggi untuk

meninggal namun penyakit ini sangat mengganggu aktivitas sehari-hari

dan menimbulkan kesakitan yang hebat bagi penderitanya. Oleh karena

itu penting bagi kita semua untuk memahami tentang penyakit ini. Referat

ini menjelaskan mengenai tiroiditis dari berbagai sumber.

Akhir kata, penyusun mengucapkan terima kasih dan puji syukur

pada Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu, penyusun juga mengucapkan

terima kasih juga kepada seluruh pembimbing di Departemen Penyakit

Dalam Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto, atas ilmu dan

bimbingannya selama ini, khususnya kepada dr. Ruswandi, SpPD FS,

selaku pembimbing dalam penyusunan referat ini. Semoga referat ini

bermanfaat bagi kita semua.

Jakarta, 23 Agustus 2012

Penyusun
iii

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN REFERAT............................................................................i


KATA PENGANTAR.....................................................................................................ii
DAFTAR ISI..................................................................................................................iii
PENDAHULUAN...........................................................................................................1
Latar Belakang......................................................................................................1
Epidemiologi..........................................................................................................1
TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................................3
Definisi. ...............................................................................................................3
Anatomi Saluran Cerna.......................................................................................4
Fisiologi Defekasi.................................................................................................6

Etiologi.........................................................................................................................7
Patofisiologi Konstipasi......................................................................................10
Manifestasi Klinik...............................................................................................12

Penatalaksanaan.......................................................................................................18

Prognosis...................................................................................................................23
KESIMPULAN............................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................iv
1

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Konstipasi merupakan salah satu keluhan yang paling sering dalam gangguan

pencernaan. Konstipasi lebih cocok digolongkan menjadi gejala daripada penyakit.

Selain dari frekuensi buang air besar yang jarang, gangguan konstipasi sering tidak

terdeteksi hingga terbentuk gangguan anorektal atau gangguan diverticular yang

menyebabkan spasme otot pada kolon (usus besar) dan adanya divertikula yang
1
menyebabkan nyeri abdomen dan gangguan pada kolon.

Selain itu, pada gangguan konstipasi tentu terjadi hambatan pengeluaran tinja

melalui kolon dan rektum disertai kesulitan pada defekasi. Normalnya, setiap 24 jam

kolon dikosongkan secara teratur, namun ada pula orang normal yang melakukan

defekasi 2-3 kali per hari, bahkan ada pula kelompok orang yang melakukan defekasi

tiap 2 hari sekali. 1

EPIDEMIOLOGI

Prevalensi gangguan konstipasi cukup tinggi di Amerika Serikat dan melibatkan

15% dari jumlah penduduk. Pada 2006, kasus konstipasi yang ditemukan pada

kunjungan dokter ke rumah mencapai angka 5,7 juta penderita, dan 2,7 juta diantaraya

terdiagnosis konstipasi sebagai diagnosis primer. 2% dari populasi tersebut


1,2
mengeluhkan gangguan konstipasi yang terjadi secara konstan dan sering.

Kasus konstipasi di seluruh dunia mencapai 12% dari total penduduk dunia yang

diketahui oleh penderita itu sendiri. Penduduk Amerika dan Asia Pasifik memiliki angka
1,2
prevalensi dua kali lebih banyak daripada penduduk Eropa.
2

Konstipasi dapat terjadi dalam semua kalangan umur, dari bayi baru lahir

maupun orang-orang tua. Seiring berjalannya usia, insiden dari gangguan konstipasi

mulai meningkat, bahkan 30-40% dari populasi berusia 65 tahun mengeluhkan

gangguan konstipasi. Insiden yang meninggi tersebut berkaitan dengan kombinasi dari

faktor perubahan pola makan, penurunan tonus otot, penurunan dalam aktifitas fisik /

olahraga, dan penggunaan obat-obat yang menyebabkan dehidrasi relatif atau

dismotilitas kolon. Beberapa penelitain juga mengemukakan adanya eksposur dari


1
“neurotoxin” pada lingkungan.

Faktor jenis kelamin juga mempengaruhi terjadinya insiden gangguan konstipasi.

Di Amerika Serikat, gangguan konstipasi lebih banyak diderita oleh wanita daripada

pria. Rasio perbandingan antara wanita dan pria sekitar 3:1. Insiden pada wanita
1,2
meningkat terutama saat mengandung dan saat setelah persalinan.
3

TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI

Konstipasi tidak dipahami sebagai sebuah penyakit, namun suatu keluhan yang

muncul akibat masalah dari fungsi kolon dan anorektal. Konstipasi merupakan

terhambatnya defekasi dari kebiasaan normal. Definisi dapat memiliki arti yang luas,

seoerti frekuensi buang air besar yang jarang, volum feses yang kurang, konsistensi

feses yang keras dan kering. 1

Definisi konstipasi juga bersifat relatif, bergantung pada konsistensi tinja,

frekuensi buang air besar dan sulitnya pengeluaran tinja. Pada orang yang buang air

besar tiap 2-3 hari dengan tinja yang lunak dan tanpa kesulitan tidak dapat digolongkan

menjadi konstipasi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa konstipasi adalah persepsi

gangguan buang air besar yang berupa berkurangnya frekuensi buang air besar, sensai

yang tidak puas saat buang air besar, adanya rasa sakit, harus mengejan atau feses

yang keras. 1,2

Ada pula penyedia pelayanan medik yang menyebutkan bahwa konstipasi

merupakan berkurangnya frekuensi buang air besar hingga kurang dari 3 kali per

minggu. Berdasarkan kriteria Roma III tentang konstipasi, pasien harus mengalami

paling tidak 2 gejala di bawah ini setidaknya selama 3 bulan, seperti: (1) frekuensi

buang air besar kurang dari 3x per minggu, (2) mengejan saat buang air besar, (3)

perasaan adanya sumbatan oada anorektal, (4) perasaan tidak puas setelah buang air
1,2
besar, (5) penggunaan jari dalah usaha untuk pengeluaran tinja.
4

Pada kriteria Roma III, pasien juga tidak memenuhi kriteria dalam “Irritable Bowel
1,3
Syndrome” dan serta penggunaan obat-obatan laksatif.

ANATOMI SALURAN CERNA:

1. Usus Halus:

Usus halus adalah sebuah saluran yang berlipat-lipat, kompleks, dan dimulai

dari pilorus hingga katup ileocecal. Panjang usus halus pada orang dewasa berkisar

3,6 m. Usus halus mengisi bagian tengah dan bagian bawah rongga abdomen.

Diameter usus halus menyepit dari bagian proksimal ke bagian distal, yaitu ujung

proksimal berdiameter 3,8 cm dan semakin ke distal diameternya berkurang menjadi

sekitar 2,5 cm. 3

Usus Halus dibagi menjadi tiga bagian, yaitu duodenum (usus dua belas jari),

jejenum, dan ileum. Panjang duoderum berkisar 25 cm, jejenum memiliki panjang
3
berkisar 2,4 meter, dan ileum memiliki panjang sekitar 3,3 meter.

Segmen usus dua belas jari atau duodenum dimulai dari pilorus sampai

jejenum. Duodenum adalah bagian dari usus halus yang paling pendek. Usus dua

belas jari merupakan organ retroperitoneal yang tidak terbungkus seluruhnya oleh

selaput peritoneum. Pada duodenum terdapat muara, yaitu yang berasal dari

pankreas dan kantung empedu. Duodenum dan jejenum dipisahkan oleh

ligamentum Treits, yaitu suatu fibromuskular pita otot polos yang berasal pada cruz

dekstra diagragma dekat hiatus esofagus dan berlokasi pada perbatasan duodenum

dan jejenum. Ligamen ini berfungsi sebagai ligamentum suspensorium atau sebagai

penggantung. 3
5

Jejenum adalah bagian kedua dari usus halus, di antara duodenum dan

ileum. berada di regio midabdominalis sinistra. Jejenum dimulai dari pleksura


3
duodenojejunalis dan digantungkan dalam tubuh dengan mesenterium.

Ileum merupakan bagian terminal dari usus halus dan terletak setelah

duodenum dan ileum. Ileum terletak di regio midabdomialis sebelah kanan bawah.
3
Bagian ileum berakhir pada fleksura ileocecalis.

2. Usus Besar (Kolon)

Usus besar atau kolon memiliki diameter 6,3 cm dan panjang sekitar 1,5

meter. Usus besar mengubungkan antara usus halus (ileum) dan anus sebagai

lubang terakhir pengeluaran tinja. Kolon terdiri dari caecum, appendix vermiformis,

kolon asenden, kolon tranversa, dan kolon desenden yang melingkari usus halus,

kolon sigmoid yang membelok ke arah medial dan ke arah bawah rektum dan

kanalis analis. Terdapat katup ileocecal dan appendix yang melekat pada ujung
3
caecum. Panjang caecum adalah dua sampai tiga inci pertama dari kolon.

Kolon membentuk kelokan tajam pada abdomen kanan dan kiri disebut

sebagai fleksura hepatika dan fleksura lienalis. Kolon sigmoid mulai setinggi krista

iliaca dan membentuk lengkungan seperti huruf S. Bagian utama intestinum

crassum yang terakir disebut sebagai rektum yang membentang dari colon sigmoid

hingga anus. Satu inci terakir disebut kanalis ani dan dilindungi oleh muskulus

spingter ani externus et internus. Panjang rectum dan kanalis ani adalah sekitar 15

cm. 3
6

FISIOLOGI DEFEKASI:

Frekuensi defekasi atau buang air besar sangat beranekaragam dari beberapa

kali per hari hingga 2-3 x per minggu. Banyaknya feses / tinja juga bermacam-macam.

Ketika gelombang peristaltik mendorong feses ke kolon sigmoid dan rektum, saraf

sensoris dalam rektum dirangsang dan terjadi keadaan individu menjadi peka untuk
4,5
kebutuhan defekasi.

Reflek defekasi melalui dua tahap, yaitu:

1. Reflek Defekasi Intrinsik

Saat feses masuk ke dalam rektum, pengembangan dinding rektum memberi

suatu sinyal yang menyebar melalui pleksus mesentericus untui memulai gelombang

peristaltik pada kolon desenden, kolon sigmoidm dan rektum. Gelombang ini menekan

feses ke arah anus. Begitu gelombang peristaltik mendekati anus, spingter anal interna
5
tidak menutup dan bila spingter eksterna tenang maka feses akan keluar.

2. Reflek Defekasi Parasimpatis:

Saat serat saraf dalam rektum dirangsang, signal diteruskan ke spinal cord

(sakral 2-4) dan kemudian kembali ke kolon desenden, kolon sigmoid dan rektum.

Sinyal-sinyal parasimpatis meningkatkan gelombang peristaltik, melemaskan spingter

anus internus dan meningkatkan refleks defekasi intrinsik. Spingter anus individu duduk

di toilet, spingter anus eksternus akan tenang dengan sendirinya

Reflek parasimpatis ini melempaskan spingter anus dan meningkatkan refleks

defekasi intrinsik.

Defekasi juga dibantu oleh kontraksi otot-otot perut dan diafragma yang

meningkatkan tekanan intraabdominal. Selain itu proses defekasi juga dibantu oleh
7

kontraksi otot levator ani pada dasar panggul yang menggerakkan tinja ke luar anus.

Proses duduk juga meningkatkan tekanan ke bawah menuju rektum. Bila refleks

defekasi diabaikan secara aktif maka terjadilah kontraksi otot musculus spingter
3,4,5
ekternus sehingga rektum meluas untuk menampung feses.

Feses sendiri tersusun oleh bakteri yang sudah mati, sel epitel dari usus, zat

mucin, kalsium fosfat, sedikit zat besi dari selulosa, sisa makanan yang tidak dicerna

dan air. 3,4,5

Faktor-faktor yang berpengaruh eliminasi feses adalah usia dan perkembangan,

diet, aktifitas fisik, pemasukan cairan, kebiasaan, posisi, nyeri, kehamilan, operasi dan
3,5
anestesi, obat-obatan, kondisi patologis, iritan

Etiologi

Banyak hal yang mencetuskan terjadinya gangguan konstipasi. Etiologi konstipasi


1, 2, 3
dapat dibagi dalam beberapa golongan besar, yaitu:

1. Kelainan Fungsional.

Kelainan fungsional seperti retensi tinja, depresi, latihan defekasi yang salah,

serta fobia toilet dapat menyebabkan konstipasi.

2. Nyeri saat defekasi

Nyeri saat defekasi dapat disebabkan oleh fissura ani, benda asing, pemakaian

pencahar yang berlebihan, proktitis, dan prolaps rektum.

3. Obstruksi Mekanis

Obstruksi atau penyumbatan dapat disebabkan oleh penyakit Hirschprung,

massa di pelvis, obstruksi usus bagian atas, stenosis rektum, atresia ani, an ileus

mekonikum
8

4. Menurunnya motilitas dan sensasi

Turunnya motilitas dan sensasi diakibatkan karena adanya penggunaan obat-

obatan, ileus karena penyakit virus, penyakit neuromuskular (serebral palsi,

hipotoni), kelainan endokrin (Hiperparatiroid, hiperkalsemi), Botulisme infantil,

dan tumor medula spinalis.

5. Kelainan feses

Konstipasi juga dapat disebabkan oleh dehidrasi, diet serat yang kurang dan

malnutrisi.

Selain pembagian etiologi di atas, terdapat pembagian etiologi konstipasi

lainnya sebagai berikut : 1, 2, 3

1. Konstipasi primer:

Konstipasi primer adalah konstipasi fungsional yang tidak ditemukan kelainan

organik maupun biokimiawi di dalam tubuh.

Konstipasi primer (idiopatik, fungsional) dibagi menjadi 3 jenis yaitu

a. “Normal-Transit Constipation” (NTC)

b. “Slow-Transit Constipation” (STC)

c. “Pelvic Floor Dysfunction (Pelvic Floor Dyssynergia)”

Normal-Transit Constipation atau NTC adalah jenis dari konstipasi primer yang

paling sering. Walaupun feses melewati kolon pada jumlah yang normal, pasien merasa

kesulitan untuk mengeluarkan feses tersebut dari anus. Pasien jenis ini kadang-kadang

memenuhi kriteria Irittable Bowel Syndrome dengan konstipasi (IBS-C). Perbedaan

utama anara IBS dengan konstipasi dengan konstipasi adalah adanya nyeri abdomen

pada IBS-C. 1, 2, 3
9

Slow-Transit Constipation atau (STC) ditandai dengan frekuensi defekasi yang

jarang, berkurangnya urgency atau keinginan untuk buang air besar dengan segera,

atau adanya paksaan untuk buang air besar atau mengejan. Pasien dengan STC

memiliki aktifitas motorik pada kolon yang tertanggu. Pada pemeriksaan biasanya
1, 2, 3
ditemukan distensi atau feses yang teraba pada kolon sigmoid.

Pelvic Floor Dysfunction ditandai dengan gangguan pada otot levator ani pada

dasar panggul atau spingter anal. Pasien sering mengeluhkan rasa mengejan yang

berlebihan atau lama, rasa tidak puas atau ada feses yang tertinggal setelah defekasi,

ada penggunaan tekanan perineal atau vagina selama proses defekasi, atau
1, 2, 3
penggunaan jari saat proses defekasi.

2. Konstipasi Sekunder

a. Pola hidup: diet rendah serat, kurang minum atau dehidrasi, kebiasaan

minum kopi, teh, atau alkohol yang berlebihan, kebiasaan buang air besar

yang buruk yang dipengaruhi oleh kebiasaan pola makan yang tidak teratur,

kebiasaan untuk menunda buang air besar, dan kurang olah raga.

b. Kelainan anatomi (struktur): fissura ani, hemoroid, striktur kolon, tumor, abses

perineum, megakolon

c. Kelainan endokrin dan metabolik: hiperkalsemia, hiperparatiroid, hipokalemia,

hipotiroid, Diabetes Melitus, dan kehamilan

d. Kelainan syaraf: stroke, penyakit Hirschprung, penyakit Parkinson, sklerosis

multiple, diabetik neuropati, lesi sumsum tulang belakang, trauma kepala,

penyakit Chagas, disotonomia familier


10

e. Kelainan jaringan ikat: skleroderma, amiloidosis, “mixed connective-tissue

disease”

f. Obat: antidepresan (antidepresan siklik, inhibitor MAO), logam (besi,

bismuth), anti kholinergik, opioid (kodein, morfin), antasida (aluminium,

senyawa kalsium), “calcium channel blockers” (verapamil), Obat Anti

Inflamasi Non-Steroid (ibuprofen, diclofenac), simpatomimetik

(pseudoephidrine), cholestyramine dan laksan stimulans jangka panjang,


1, 2, 3
g. Gangguan psikologi (depresi, cemas, smomatisasi, gangguan makan)

PATOFISIOLOGI KONSTIPASI

Fungsi kolon atau usus bersar adalah menerima zat sisa pencernaan dari ileum,

kemudian mencampur, melakukan fermentasi, dan memilah karbohidrat yang tidak


1
diserap, serta memadatkannya menjadi tinja.

Defekasi berlangsung melalui mekanisme yang kompleks. Kolon normalnya

dikosongkan tiap 24 jam. Proses pergerakan tinja dari bagian proksimal kolon ke

daerah retrosigmoid dilakukan tiap beberapa hari sekali., melalui gelombang yang

memiliki amplitudo tinggi dan berlangsung lama. Gerakan ini dikontrol oleh batang otak

dan sudah terlatih sejak masa anak-anak. Saat terjadi hambatan pasase bolus di kolon

maupun rektum, dapat terjadi konstipasi bahkan obstipasi atau kegagalan total
2, 5
menyeluarkan feses dari rektum.

Konstipasi dapat diakibatkan oleh suatu penyakit maupun gangguan

psikoneurosis. Misalnya gangguan pasase bolus karena infeksi (parasit, bakteri, virus),

kelainan organ, tumor jinak maupun ganas yang dapat menyebabkan obstruksi maupun
11

paska bedah pada gastrektomi atau kolesistektomi. Kolon seharusnya menyerap air

dan membentuk bahan buangan sisa makanan atau tinja dan kontraksi otot pada kolon

akan membawa kotoran ke arah rektum. Begitu mencapai rektum, feses akan menjadi

lebih padat karena adanya proses penyerapan air pada kolon. Apabila kolon menyerap

terlalu banyak air dapat menyebabkan tinja yang menjadi terlalu keras dan kering. Hal

itu terjadi karena kontraksi otot terlalu lama sehingga tinja bergerak ke arah kolon
1, 4, 5
terlalu lama sehingga terjadinya obstruksi yang menyebabkan konstipasi.

Konstipasi juga dapat timbul dari gangguan pengisian dan pengosongan rektum.

Gangguan pengisian rektum dapat disebabkan bila gerakan peristaltik kolon tidak

efektif, misalnya pada kasus hipotiroidisme, penggunaan opium, obstruksi usus besar

karena kelainan struktur atau penyakit Hirschrung. Pada penyakit Hirschprung, tidak

terdapat sel ganglion sehingga meningkatkan persarafan intrinsik dan ekstrinsik. Sistem

adrenergik sebagai excitatory lebih dominan dari sistem kolinergik (inhibitory) sehingga

meningkatkan tonus otot polos. Hal ini memicu ketidakseimbangan dari kontraksi otot
1, 5
polos, gangguan peristaltis, sehingga obstruksi secara fungsional.

Kondisi tinja yang terlalu lama berada di kolon menyebabkan proses

pengeringan tinja yang berlebihan dan kegagalan untuk memulai reflek dari rektum

yang normalnya akan memicu evakuasi. Rektum dikosongkan melalui evakuasi spontan

tergantung pada reflek defekasi yang dipicu oleh perangsangan reseptor tekanan pada

otot-otot rektum, serabut-serabut aferen dan eferen dari tulang belakang bagian sakrum

atau otot-otot perut dan dasar panggul. Kelainan pada relaksasi sfingter ani juga bisa
1, 2
menyebabkan tinja tidak bisa dievakuasi.
12

Selain itu, distensi rektum dapat mengurang sensitifitas refleks defekasi dan

aktifitas peristaltik. 5

Konstipasi juga bisa dijelaskan melalui konsumsi serat yang tidak adekuat.

Padahal konsumsi serat yang cukup menyebabkan serat menarik air dan menstimulasi

otot pencernaandan akhirnya tekanan yang digunakan untuk pengeluaran feses

menjadi berkurang. 1, 2

MANIFESTASI KLINIK

 Anamnesis:

Anamnesis dilakukan secara seksama untuk mengetahui etiologi dari konstipasi.

Dalam melakukan anamnesis perlu ditanyakan tentang lamanya usaha untuk

melakukan defekasi, jumlah defekasi per minggunya, dan ada tidaknya keluhan

mengejan atau tinja yang memiliki konsistensi yang keras. Anamnesis juga diperlukan

untuk mendeteksi adanya penurunan berat badan, perdarahan saluran cerna, riwayat

keluarga kanker, pola buang air besar sebelumnya. Pasien juga perlu ditanyakan

tentang ada riwayat konstipasi paska bedah, tirah baring yang terlalu lama, sisa barium

setelah pemeriksaan barium enema, atau penggunaan obat-obatan yang menimbulkan

konstipasi seperi golongan opioid dan golongan antikolinergik. Pasien juga ditanyakan
1
tentang jumlah konsumsi cairan per hari.

Pasien juga ditanyakan apakah menderita penyakit endokrin seperti diabetes

melitus dan hipotiroidisme karena penderita diabetes melitus biasanya menderita kronik

dismotilitas. Selain penyakit endokrin, pasien juga dievaluasi apakah menderita

penyakit yang berhubungan dengan sistem saraf pusat, seperti penyakit Parkinson,
13

Multiple Sklerosis, Stroke, Sifiis pada sistem saraf pusat, trauma pada sumsum tulang

belakang atau adanya tumor. 1,7

Pada pasien geriatri yang melakukan tirah baring, penting untuk menyingkirkan

adanya dehidrasi maupun kelainan elektrolit. Singkirkan dulu setiap komplikasi


1
konstipasi yang dapat mengancam hidup penderita, seperti volvulus.

Gejala yang ditimbulkan pada pasien yang mengalami konstipasi biaanya

keluhan akan proses defekasi yang sulit dan nyeri, tinja keras, mengejan yang

berlebihan saat defekasi, perasaan kurang puas setelah defekasi, defekasi hanya 3x

atau kurang dalam seminggu. Keluhan lain yang biasa timbul adalah perasaan

kembung dan kurang enak. Penderita konstipasi juga bisa tanpa gejala sama sekali

atau memiliki keluhan seperti perdarahan rektum, buang air besar yang sedikit-sedikit,
1, 2, 7
dan nyeri pinggang bagian bawah.

Pasien dengan gangguan konstipasi biasanya juga mengeluh sudah tidak buang

air besar selama beberapa hari atau tinja keluar berwarna kehitaman. Perut dirasakan

penuh, mendesak ke atas, berbunyi, dan perasaan mual. Rasa mulas juga bisa

dirasakan di daerah perut kiri, yaitu pada kolon desenden dan kolon sigmoid. Selain itu

penderita konstipasi juga bisa merasakan mulut yag terasa pahit, lidah yang kering,

kepala pusing, dan nafsu makan yang menurun. Bila keluhan makin parah dapat
7
ditemukan gejala obstruksi intestinal.

Keluhan berikut juga dapat ditanyakan kepada pasien sebagai dugaan bahwa

penderita mengalami kesulitan defekasi, seperti perasaan kurang puas setelah

defekasi, sering dilakukan evakuasi feses dengan jari, tenesmus atau nyeri saat buang

air besar. 1
14

Konstipasi yang ditemukan sejak lahir atau sejak awal usia anak-anak cenderung

bersifat kongenital, sementara apabila awitan yang terjadi kemudian saat dewasa

menunjukkan penyakit yang didapat. Penderita konsipasi juga perlu ditanya adanya
1, 2, 8
riwayat pemakaian laksatif dan durasi penggunaannya

 Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik sering kurang bermanfaat untuk menetapkan penyebab serta

pengobatan konstipasi. Pemeriksaan fisik untuk menilai keadaan sistemik dan lokal,

terutama tanda adanya masa intra abdomen, peristaltik usus dan colok dubur.

Pemeriksaan fisik harus ditujukan pada deteksi penyakit-penyakit non gastrointestinal

yang dapat turut menjadi penyebab timbulnya konstipasi. Perhatian khusus harus
1
diberikan pada pemeriksaan neurologis, termasuk penilaian terhadap fungsi otonom.

Abdomen juga diperiksa untuk mencari tanda-tanda pembedahan sebelumnya,

distensi usus atau feses yang tertahan. Pemeriksaan perineum dan anorektal harus

dilakukan untuk menemukan bukti adanya deformitas, atrofi otot gluteus, prolapsus

rekti, stenosis ani, fissura ani, masa rektum atau fecal impaction. Pasien dapat diminta

untuk mengejan agar bukti yang menunjukan adanya rektokel, atau prolapsus rekti

dapat terlihat. 1, 9

Adanya kedipan atau kontraksi pada anus dinilai duntuk menunjukkan kontraksi

refleks kanalis ani setelah rasa ditusuk benda tajam pada perineum. Pemeriksaan fisik

sering kurang bermanfaat untuk menetapkan penyebab serta pengobatan konstipasi,

kecuali pada kejadian berikut ini: 1, 2, 9

a. Adanya masa yang teraba pada pemeriksaan abdomen.


15

b. Lesi anorektal, yang diduga menjadi penyebab konstipasi, seperti fisura ani,

fistula ani, striktur, kanker, hemoroid yang memgalami trombosis.

c. Intususepsi yang tampak pada saat mengejan

Pemeriksaan colok dubur (RT) sering bermanfaat untuk dipakai

menemukan kelainan berikut ini : 1, 2

1) Masa anorektal

2) Tonus sfingter ani internal.

3) Kekuatan sfingter ani eksternal dan otot puborectalis.

4) Adanya “gross blood” atau “occult bleeding” (Lennard-Jones,1998)

Pada “pelvis outlet dysfunction”, akan ditemukan tinja lebih banyak di daerah

“rectal vault” dari pada pada “colonic inertia” atau “irritable bowel syndrome”, di mana di

antara defekasi biasanya hanya ditemukan sisa tinja dalam jumlah yang lebih sedikit

atau tidak ada sama sekali. Selain itu gejala yang tampak adalah kegagalan untuk

memberi tekanan pada jari pada saat mengejan pada waktu dilakukan pemeriksaan

colok dubur. 1, 2, 4

Anus kaku atau spastik, yang menunjukkan adanya lesi pada anus. Lumen dari

rektum biasanya membesar dan biasanya teraba massa fekal. Jadi bila dijumpai dilatasi

dari rektum dengan proktostasis dan adanya gangguan pengosongan rektum ialah

tanda patognomonis dan dyschezia. 1, 9

 Pemeriksaan laboratorium

Pada pemeriksaan laboratorium perlu diperhatikan warna, bentuk, besarnya dan

konsistensi dari masa fekal. Pemeriksaan kimia darah dapat dipakai untuk

menyingkirkan kelainan metabolik sebagai penyebab konstipasi, seperti hipokalemia


16

dan hiperkalsemia. Pemeriksaan darah lengkap dapat membantu menunjukkan adanya

anemia karena perdarahan per anum (“gross” atau “occult”). Pemeriksaan fecal occult

blood yaitu memeriksa darah pada feses dapat membantu pada kasus geriatri untuk

mencurigai adanya tumor atau karsinoma yang menyebabkan obstruksi sehingga

mengakibatkan konstipasi. Tes fungsi tiroid, seperti TSH (Thyroid Stimulating Hormone)
1, 2
dapat digunakan untuk mendiagnosis adanya hipotiroid.

 Pemeriksaan radiologi

Foto polos abdomen baik secara berdiri maupun berbaring dapat menunjukkan

jumlah feses pada kolon penderita. Foto polos dapat membantu pemeriksa untuk

menyingkirkan diagnosis banding antara “fecal impaction”, obstruksi usus, dan

“fecalith”. Diagnosis adanya “fecalith” penting untuk dipastikan karena kemungkinan

terjadinya komplikasi “stercoral ulcers” yang dapat menimbulkan perforasi kolon.

Gastropati diabetik, seperti halnya “fecal impaction”, dapat timbul pada penderita

neuropati diabetik. Sisa barium (sesudah pemeriksaan barium enema) dapat juga

tampak pada foto polos abdomen. Skleroderma dan penyakit jaringan ikat yang lain,

dapat disertai gangguan motorik yang dapat menutupi gejala-gejala obstruksi kolon

pada pemeriksaan foto polos abdomen “Myxedema ileus” dapat terjadi akibat penyakit

hipotiroid. 1, 2

 Pemeriksaan lain-lain

a. Rektosigmoidoskopi

Pemeriksaan rektosigmoudoskopi dilakukan untuk memeriksa membran mukosa,

untuk memperhatikan ada tidaknya tanda-tanda kataral proktosigmoiditis dan melanosis

koli. Pada penderita yang biasa mempergunakan laksatif atau terlalu sering melakukan
17

lavement, maka terlihat tanda-tanda inflamasi yang ringan yaitu mukosa membran

terlihat kuning kecoklat-coklatan. Sering terlihat bahwa kolon sigmoid mengalami

pelebaran sehingga alat instrumen dapat dengan mudah masuk ke sigmoid. 1

Pemeriksaan ekstensif yang lebih teliti pada penderita konstipasi dapat dilakukan

secara poliklinik, biasanya baru dikerjakan bila keluhan berlangsung lebih dari 3 – 6

bulan, dan pengobatan medik tidak ada hasilnya. Pemeriksaan ini dapat dilakukan

untuk melihat baik anatomi (barium enema, proktosigmoidoskopi, kolonoskopi) maupun

fisiologi (“colonic transit study”, “defecography”, “manometry”, “electromyography”).

Kolonoskopi atau sigmoidoskopi fleksibel dapat memeperlihatkan melanosis koli

sebagai bercak berwarna hitam coklat pada mukosa usus yang terjadi akibat
1, 2, 4
penggunaan preparat laksatif antrakuinon secara kronik.

Pada pemeriksaan endoskopi atau barium enema, tidak adanya haustra

menunjukkan “kolon katartik” akibat penyalahgunaan preparat laksatif. Barium enema

juga dapat memperlihatkan lesi obstruktif kolon, penyakit mega kolon atau mega

rektum, dan pada penyakit hirschsprung akan menunjukkan segmen usus yang

mengalami denervasi serta memperlihatkan gambaran yang khas dengan dilatasi

segmen kolon bagian proksimal. Pada kasus-kasus seperti ini, biopsi rektum dapat
1, 2, 4
dilakukan untuk menunjukkan tidak adanya neuron.

b. Anuskopi/Proctoscopi

Pada pemeriksaan anoskopi dapat dilakukan untuk melihat adanya fisura ani,
1
tukak, hemoroid, dan keganasan lokal anorektal
18

PENATALAKSANAAN:

Pengobatan utama adalah pemberian diet tinggi serat. Hindari pemakaian iritan

atau perangsang peristaltik. Penggunaan obat-obat ini dalam jangka panjang pernah

dapat menimbulkan kerusakan pada plexus mientericus, yang akan mengganggu

gerakan usus. Prinsip penatalaksanaan gangguan konstipasi adalah: 1, 2

1. Penyelusuran etiologi dari konstipasi.

2. Memberikan pengertian kepada pasien gangguan konstipasi agar dapat

melakukan defekasi secara alami.

3. Menghentikan kebiasaan pemakaian obat-obatan laksatif.

Penatalaksanaan konstipasi untuk tiap penderita tidak selalu sama, dan harus

dicari penyebabnya. Memberi penjelasan kepada penderita, agar melakukan defekasi

yang rutin dan pada waktu-waktu yang tertentu. Perhatian terhadap pengobatan lebih

ditujukan pada evakuasi dari tinja, dibanding meningkatkan gerakan usus. Konsultasi

dengan departemen bedah dilakukan bila ada kecurigaan obstruksi intestinal atau

volvulus. Penanganan konstipasi harus disesuaikan menurut keadaan masing-masing

pasien dengan memperhitungkan lama dan intensitas konstipasi, faktor-faktor yang


1, 2, 3
berkontribusi, usia pasien dan harapan pasien, antara lain:

1. Terapi Non-Farmakologis

a. Diet

Asupan makanan yang mengandung serat, baik yang mudah larut maupun yang

sulit larut, seperti buah-buahan, sayuran dapat membantu keluhan pasien penderita

konstipasi. Makanan berserat yang mudah larut dalam air akan membentuk bahan

seperti gel dalam usus. Sebaliknya makanan berserat yang tidak larut dalam air akan
19

melewati usus tanpa mengalami perubahan. Bahan serat yang berbentuk besar dan

lunak ini akan mencegah adanya konsistensi feses yang keras dan kering yang sulit

melintasi usus. Konsumsi serat bermanfaat karena serat memiliki kandunga selulosa

yang sulit dicerna, sebab didalam badan kita tidak mempunyai enzim selulosa sehingga

serat dapat memperlancar defekasi. 1, 2

Menurut “American Dietetic Association”, konsumsi serat per hari sebainya 20 –

35 gram. Terapi awal dilakukan dengan peningkatan asupan serat makanan. Penderita

gangguan konstipasi menunjukkan respon yang baik dengan peningkatan asupan serat

makanan. Suplementasi serat dapat meningkatkan berat tinja serta frekuensi defekasi
1, 2, 3
dan menurunkan waktu transit gastrointestinal.

Bagi pasien yang dicurigai memiliki gangguan konstipasi karena obstruktif,

seperti penyakit megakolon atau megarektum, suplementasi serat bukan terapi yang

tepat. 1

b. Meningkatkan Asupan Cairan dan Olah Raga

Meningkatkan asupan cairan dapat meningkatkan volum cairan dalam usus

sehingga membantu pergerakan usus. Penderita gangguan konstipasi dianjurkan untuk

minum cukup air setiap harinya, sekitar 8 gelas perhari.

Kurangnya olah raga dapat menimbulkan gangguan konstipasi, tanpa diketahui

penyebabnya. Pada pasien tirah baring yang memiliki aktifitas fisik yang kurang sering

terjadi gangguan konstipasi. 1, 2, 3

2. Terapi Farmakologis

Walaupun terapi utama pada penderita konstipasi adalah meningkatkan

konsumsi serat, penggunaan obat-obatan merupakan terapi lini berikutnya. Pemberian


20

obat-obatan dapat dikerjakan untuk membantu melakukan evakuasi tinja. Namun perlu

diperhatikan untuk menghindari pemakaian iritan atau perangsang perisltatik.

Pemakaian obat-obat ini dalam jangka panjang pernah dilaporkan dapat menimbulkan

kerusakan pada “myenteric plexus”, yang selanjutnya justru akan mengganggu gerakan

usus. 1, 2, 10

Penggunakan obat-obatan pencahar (laksatif) dapat membantu untuk

menghilangkan konstipasi. Ada jenis obat aman digunakan dalam jangka waktu lama,

ada pula jenis obat lainnya yang hanya boleh digunakan sesekali. Beberapa obat

digunakan untuk mencegah konstipasi, obat lainnya digunakan untuk mengobati

konstipasi. Jenis-jenis penggolongan obat-obat tersebut, antara lain: 1, 2

1. Bulk-forming Agents

Bulk-forming agents (derivat plantain, isphagula, celandrin, gandum, psilium,

kalsium polikarbofil dan metilselulosa) bisa menambahkan serat pada tinja.

Penambahan serat ini akan merangsang kontraksi alami usus dan tinja yang berserat

lebih lunak dan lebih mudah dikeluarkan. Bulking agents bekerja perlahan dan

merupakan obat yang paling aman untuk merangsang buang air besar yang teratur.

Pada mulanya diberikan dalam jumlah kecil. Dosisnya ditingkatkan secara bertahap,

sampai dicapai keteraturan dalam buang air besar. Orang yang menggunakan bahan-

bahan ini harus disertai konsumsi cairan minimal 250 cc. Obat jenis ini perlu dihindari

pada pasien yang mengalami gangguan konstipasi karena masalah obstruksi pada

usus dan digunakan secara hati-hati pada penderita hipertensi yang membatasi
21

masuknya konsumsi natrium. Efek samping yang paling umum dari pengobatan jenis ini

adalah perut terasa kembung. 2, 10

2. Pelunak Tinja

Obat-obatan pelunak tinja, seperti dokusat dan poloxalkol akan meningkatkan

jumlah air yang dapat diserap oleh tinja. Bahan ini adalah sejenis detergen yang

menurunkan tegangan permukaan dari tinja, sehingga memungkinkan air menembus

tinja dengan mudah dan menjadikannya lebih lunak. Jenis obat ini juga bekerja untuk

mencampur bahan-bahan mengandung air dan lemak pada feses. Mekanisme tersebut

membantu melunakkan tinja sehingga lebih mudah dikeluarkan dari tubuh. Efek

samping dari jenis obat ini adalah kurangnya kemampuan untuk mengontrol keluarnya

tinja bahkan terjadinya diare. 1, 2, 10

3. Bahan-bahan Osmotik

Bahan-bahan laksatif dengan cara kerja proses osmotik mendorong sejumlah

besar air ke dalam usus besar, sehingga tinja menjadi lunak dan mudah dilepaskan.

Cairan yang berlebihan juga meregangkan dinding usus besar dan merangsang

kontraksi. Pencahar ini mengandung garam-garam (fosfat, sulfat dan magnesium) atau

gula (laktulosa dan sorbitol). Beberapa bahan osmotik mengandung natrium,

menyebabkan retensi cairan pada penderita penyakit ginjal atau gagal jantung,
1, 2, 10
terutama jika diberikan dalam jumlah besar.

Bahan osmotik yang mengandung magnesium dan fosfat sebagian diserap ke

dalam aliran darah dan berbahaya untuk penderita gagal ginjal. Pencahar ini pada
22

umumnya bekerja secara cepat mulai 30 menit hingga 3 jam setelah pemberiannya dan

lebih baik digunakan sebagai pengobatan daripada pencegahan. Bahan ini juga

digunakan untuk mengosongkan usus sebelum pemeriksaan rontgen pada saluran


1,
pencernaan dan sebelum kolonoskopi, atau kadang digunakan untuk konstipasi akut.
10

4. Pencahar Perangsang.

Pencahar perangsang dapat bekerja dengan merangsang fungsi motorik usus

dan merangsang dinding usus besar untuk berkontraksi dan mengeluarkan isinya. Obat

ini mengandung substansi yang dapat mengiritasi seperti senna, kaskara, fenolftalein,

bisakodil atau minyak kastor. Obat dengan jenis oral bekerja setelah 6-12 jam dan

menghasilkan tinja setengah padat, tapi sering menyebabkan kram perut yang parah.

Dalam bentuk supositoria (obat yang dimasukkan melalui lubang dubur), akan bekerja

setelah 15-60 menit. Penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan kerusakan pada

usus besar, juga seseorang bisa menjadi tergantung pada obat ini sehingga usus

menjadi malas berkontraksi (Lazy Bowel Syndromes). Jenis obat-obatan pencahar

perangsang ini sering digunakan untuk mengosongkan usus besar sebelum proses

diagnostik dan untuk mencegah atau mengobati konstipasi yang disebabkan karena

obat yang memperlambat kontraksi usus besar ,misalnya narkotik dan kondisi

konstipasi akut. 1, 2, 3, 10
23

3. Tindakan Pembedahan

Tindakan pembedahan dilakukan pada pasien yang telah dievaluasi dengan

pengujian fisiologis dan terbukti memiliki manfaat sembelit transit kolon yang lambat

dari operasi. Sebuah kolektomi subtotal dengan ileorectostomy adalah prosedur pilihan

untuk pasien dengan konstipasi transit lambat. Komplikasi setelah operasi mungkin

termasuk obstruksi usus kecil, sembelit berulang atau persisten, diare, dan

inkontinensia. Bedah umumnya tidak dianjurkan untuk sembelit disebabkan oleh

anorectal dysfunction. Hubungan antara rectocele dan sembelit tidak sepenuhnya jelas.

Koreksi bedah dicadangkan untuk pasien dengan rectocele besar yang mengubah

fungsi usus. 1

Prognosis

Sebagian besar penderita konstipasi, menunjukkan respon yang baik dengan

pemberian obat. Pada penderita yang harus tirah baring lama, konstipasi akan menjadi

masalah. 1, 4
24

KESIMPULAN

Konstipasi bukanlah suatu penyakit, melainkan suatu keluhan yang muncul

akibat dari kelainan fungsi kolon dan anorektal. Konstipasi dpat diartikan sebagai buang

air besar yang jarang, jumlah feses yang kurang, konsistensi feses yang keras dan

kering.

Penyebab konstipasi sendiri dapat digolongkan menjadi kelainan fungsional,

keadaan yang nyeri sat defekasi, obstruksi mekanis, penurunan motilitas dan sensasi,

kelainan tinja, konstipasi primer dan konstipasi sekunder.

Diagnosis konstipasi ditegakkan dari klinis, yaitu meliputi tanda dan gejala,

termasuk ada atau tidak adanya keluhan defekasi sulit dan nyeri, perasaan kurang puas

setelah defekasi, defekasi hanya 3 kali atau kurang dalam seminggu, perut kembung,

dan riwayat mengejan. Selain itu perlu ditanyakan riwayat tirah baring, paskaoperasi,

dan onset dari konstipasi itu sendiri. Pemeriksaan fisik dengan palpasi maupun colok

dubur dapat membantu menegakkan diagnosis, demikian pula pemeriksaan penunjang,

seperti pemeriksaan laboratorium, radiologi, rektosigmoidoskopi, dan anuskopi.

Pengobatan terutama ditujukan pada mengurangi gejala-gejala konstipasi,

dimulai dengan perubahan pola hidup, aktifitas fisik, dan perubahan pola makan dan

asupan makanan hingga penggunaan obat-obatan farmakologi untuk menanggulangi

konstipasi.
25

DAFTAR PUSTAKA

1. Marc D Basson. Constipation. [Online]. 2011. Available at:


http://emedicine.medscape.com/article/184704-overview (Accessed: 20 Agustus
2012).
2. Marcellus Simandibrata K. Konsensus Nasional Penatalaksanaan Konstipasi di
Indonesia. Jakarta: Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia, 2010.
3. Susan L. Folden, PHD. Practice Guidelines for the Management of Constipation
in Adults. [Online]. 2011. Available at: www.rehabnurse.org (Accessed: 20
Agustus 2012).
4. Fauci, Anthony S, et al. Harrison's Principles of Internal Medicine. USA : The
McGraw-Hill Companies, 2008.
5. Sherwood L. Human Physiology From Cell to System 5th ed. New York:
Thompson Learning-Brooksdale Cole. 2004.
6. Harari D, Gurwitz JH, Avorn J, et al. How do older persons define constipation?
Implications for therapeutic management. J Gen Intern Med. 2007.12(1): 63-66
7. Ramkumar DP and Rao SSC. 2001. Functional anorectal disorders. In: EJ Irvine
and RH Hunt. 2001. Evidence-Based Gastroenterology. London: BC Decker Inc.
pp: 207-222.
8. World Gastroenterology Organisation. Constipation. 2007. Available at:
www.worldgastroenterology.org (Accessed: 20 Agustus 2012).
9. Lennard-Jones JE. Constipation. In: M Feldman, et al. 1998. Sleisenger and
Fordtrans’s Gastrointestinal and Liver Disease. Pathophysiology / Diagnosis /
management. Vol 1, 6th Ed. Philadelphia: WB Saunders Co. pp: 174-197
10. Christine H. Treatment of Constipation in Older Adults. Am Fam Physician. 
2005. 1;72(11):2277-2284

Anda mungkin juga menyukai