Anda di halaman 1dari 2

KATA takwa dengan segala variasi bentuknya, tidak kurang dari 53 kali disebutkan dalam

Alquran. Begitu pentingnya takwa, sehingga setiap Jumat para khatib selalu mengingatkan para
jamaah Jumat dengan kalimat ittaqullaha haqqa tuqatih, wala tamutunna illa wa antum muslimun.
Demikian pula halnya di bulan suci Ramadhan ini, para da’i selalu mengingatkan umat Islam dengan
kewajiban puasa, sebagaimana firman Allah Swt dalam Alquran: la’allakum tattaqun (mudah-
mudahan --dengan puasa itu-- kamu menjadi orang yang takwa). (QS. al-Baqarah: 183).

Takwa itu sendiri diartikan melaksanakan semua perintah Allah dan menjauhi laranganNya
baik lahir maupun batin, disertai rasa mengagungkan dan taqarrub kepadaNya. Dalam suatu riwayat
disebutkan bahwa “Umar bin Khattab pernah bertanya kepada Ubai bin Ka’ab tentang takwa, lalu
Ubai menjawab: Apakah anda pernah melewati jalan yang penuh berduri? Umar menjawab: Ya
pernah. Ubai bertanya: Apa yang anda lakukan saat itu? Umar menjawab: Saya bersiap-siap dan
berjalan dengan sangat hati-hati. Lalu Ubai menegaskan: itulah takwa.”

Berpijak dari jawaban Ubai bin Ka’ab atas pertanyaan Umar bin Khattab tersebut, Sayyid
Quthub berkata dalam tafsirnya fi Zilalil Qur’an: “Itulah takwa, kepekaan batin, kelembutan
perasaan, rasa takut terus menerus, selalu waspada dan hati-hati jangan sampai kena duri jalanan,
karena jalan kehidupan yang selalu ditaburi duri-duri godaan dan syahwat, kerakusan dan angan-
angan kekhawatiran dan keraguan, serta harapan semu terhadap segala sesuatu yang tak dapat
diharapkan realisasinya, ketakutan palsu yang tidak pantas untuk ditakuti, dan masih banyak duri
jalan yang lainnya.”

 Dimensi takwa
‘Afif Abdul Fattah Tabbarah, memberi makna takwa: “Seseorang menjaga diri terhadap sesuatu yang
menyebabkan Rabb-Nya tidak marah, baik yang membahayakan diri sendiri, maupun
membahayakan orang lain.” Dari batasan pengertian tersebut setidaknya ada tiga dimensi yang
harus ada pada setiap orang muttaqin, yaitu menjaga dengan sebaik-baiknya hubungannya dengan
Allah Swt, hubungannya dengan diri sendiri dan hubungannya dengan orang lain.

Pertama, menjaga hubungan dengan Allah. Hendaknya manusia menjaga diri terhadap hal-hal
yang menyebabkan Allah swt marah kepadanya. Hubungan antara hamba dengan Allah ini seperti
jawaban nabi kepada Mu’adz bin Jabal: “...Hak Allah atas hamba ialah hendaklah hamba-hamba itu
beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan sesuatupun dengan-Nya...” (HR. Bukhari Muslim).
Jadi untuk menjaga hubungan baik dengan Allah ialah dengan jalan beribadah kepada-Nya dengan
sebaik-baiknya, sebagaimana firmannya: “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. az-Zariyat: 56).

Ibadah itu sendiri menurut Ibn Taimiyah: “Segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah baik
berupa perkataan maupun perbuatan, baik yang batin maupun yang lahir.” Jadi ibadah itu luas sekali
cakupannya, tidak hanya terbatas pada ibadah mahdhah tetapi juga meliputi ibadah-ibadah ghair
mahdhah. Tidak hanya yang fardhu/wajib tetapi juga termasuk hal-hal yang sunat.

Kedua, menjaga hubungan dengan diri sendiri. Dimensi takwa yang kedua adalah menjaga
hubungan baik terhadap diri sendiri, jangan sampai bersikap dan bertindak yang akan menimbulkan
dharar kepada diri sendiri, baik di dunia maupun di akhirat (QS. at-Tahrim: 6); (QS. az-Zumar: 15).
Allah Swt berfirman: “Dan janganlah kamu campakkan dirimu ke dalam kebinasaan.” (QS. al-
Baqarah: 195). Malahan orang muttaqin, apabila terlanjur melakukan fahisyah atau mendhalimi diri
sendiri segera ingat Allah dan meminta ampun atas segala dosa kepada-Nya (QS. Ali Imran: 134).

Ketiga, menjaga hubungan dengan orang lain. Manusia sebagai makhluk ijtima’i tidak mungkin
dapat hidup sendirian. Ia membutuhkan orang lain agar kehidupannya bisa berjalan dengan baik,
saling memberi dan menerima. Dalam berinteraksi dengan orang lain tidak boleh saling mengganggu
dan menyakiti, merusak dan membuat kerusuhan, bahkan sebaliknya harus saling berbuat baik,
sopan, santun dan bermanfaat. “Khairunnas anfaahum linnas (sebaik-baik manusia ialah yang paling
bermanfaat bagi orang lain).” (HR. al-Qudha’i). “Orang muslim ialah orang  yang menjaga
keselamatan orang lain dari gangguan lidah dan tangannya.” (HR. Tabrani). Selain itu orang
muttaqin, ia kendali amarahnya (walkaziminal ghaidha), serta mudah memberi maaf atas kesalahan
dan kealpaan saudaranya (wal `afina `aninnas) (QS. Ali Imran: 133).

Menurut Abul A’la al-Maududi, orang takwa pada dirnya melekat lima ciri yaitu: Partama,
melaksanakan kewajiban dengan penuh rasa tanggung jawab; Kedua, merasa bahwa dirinya selalu
dihisab oleh Allah dalam berpikir, berkata dan bertindak; Ketiga, menahan diri dari segala sesuatu
yang dilarang oleh Allah; Keempat, senantiasa siap sedia melaksanakan perintah Allah, dan; Kelima,
mengerti betul tentang batas-batas hukum Allah swt.

Dan untuk menggapai takwa juga harus melalui lima tahapan yaitu: Pertama, mu’ahadah,
yaitu senantiasa mengingat perjanjian dengan Allah, ketika masih berada di alam zurriyat atau
rahim; Kedua, muraqabah, yaitu merasakan kedekatan dan selalu bersama Allah swt; Ketiga,
muhasabah, yaitu introspeksi diri baik perbuatan masa lalu maupun yang akan datang; Keempat,
mu’aqabah, yaitu memberi sanksi terhadap diri sendiri bila melakukan kesalahan/dosa, dan; Kelima,
mujahadah, yaitu melakukannya dengan kesungguhan dan apa yang dilakukan itu adalah benar dan
diridhai Allah swt.

 Pengaruh takwa
Bagi orang takwa akan memperoleh hasilnya, antara lain: barakah (QS. al-A’raf: 96); ilmu (QS. al-
Baqarah: 283); kebaikan pada keluarga dan keturunannya (QS. an-Nisa’: 9); terlepas dari kesusahan
dan memperoleh kelapangan rezeki (QS. at-Thalaq: 2-3); memperoleh kemudahan dalam urusannya
(QS. at-Thalaq: 4); diampuni dosa-dosanya (QS. at-Thalaq: 5); diterima amalnya (QS. al-Maidah: 27);
diselamatkan dari siksa neraka (QS. Maryam: 72); memperoleh derajat dan kedudukan yang tinggi
(QS. az-Zumar: 20); memperoleh taman surga yang indah dengan sungai mengalir di bawahnya (QS.
Ali Imran: 15); dan memperoleh jalan terang dalam kehidupan (QS. al-Anfal: 29).

Takwa merupakan nilai tertinggi yang diberi Allah kepada siapa saja yang dikehendaki di
antara hambaNya, karena itu pula untuk meraihnya harus dengan jihad dan perjuangan yang tinggi.
Mudah-mudahan dengan menjalankan ibadah baik mahdhah dan ghair mahdhah secara benar dan
ikhlas insya Allah semua kita memperoleh dengan izinNya. Mari kita rawat pahalanya sembari terus
meningkatkan internalisasi kualitas ibadah kita dari sehari ke sehari semakin baik dan sempurna.
Amin ya rabbal ‘alamin.

Anda mungkin juga menyukai