Anda di halaman 1dari 2

Sudah hampir sebulan berlalu hari kelahiran baginda Nabi Muhammad SAW.

Gema zikir, tasbih,


dan tahmid masih menggema dan senandung shalawat tetap didendangkan teruntuk Sang Nabi.

Di berbagai tempat, surau, masjid, dan balai kota umat Muslim seakan larut dalam suasana
perayaan kelahiran Sang Kekasih Allah SWT. Tentu saja itu semua dilakukan sebagai bukti cinta
umat Muslim kepada Nabi yang tidak terbatas hanya pada hari tertentu, tetapi justru kecintaan itu
dibuktikan setiap harinya.

Sebuah ungkapan yang populer dari Syekh al-Imam Abdurahman al-Dailabii menyatakan Walau
anna amilna kulla yaumin li ahmad mauludan qad kana wajiban (seandainya kita melakukan
acara maulid Nabi Muhammad setiap hari maka itu pun adalah yang hal yang wajib).
Ungkapan cinta kepada Nabi diluapkan dengan ekspresi yang beragam di berbagai daerah. Di
negara kita, Indonesia, maulid diselenggarakan dengan beragam kegiatan yang bersentuhan
dengan tradisi dan budaya masyarakat setempat.

Sebut saja misalnya di Madura ada tradisi yang disebut Muludhe, di Yogyakarta ada tradisi
Grebeg Maulud, di Jawa Barat, Garut, ada tradisi Ngelungsur Pusaka, di Sumatra Barat tepatnya
di Padang Pariaman diramaikan dengan tradisi Bungo Lado.

Tidak ketinggalan di Kabupaten Takalar, Sulewesi Selatan, turut meramaikan kelahiran Nabi
dengan tradisi Maudu Lempoa dan masih banyak tradisi unik lainnya yang memiliki ciri khas,
tata cara yang lahir dari sejarahnya masing-masing.

Tentu saja bentuk kegembiraan dan kecintaan yang diekspresikan sedemikian rupa tidak boleh
dilarang, kecuali memang seragam perayaan tersebut terdapat aktivitas yang melanggar tuntunan
agama. Terlebih, diharapkan aktivitas tersebut tidak sekadar formalitas atau seremonial belaka.

Momentum Maulid diharapkan dapat menjadi sarana memahami nilai atau makna yang
terkandung di dalamnya. Paling tidak ada tiga nilai yang dapat kita petik dari hikmah Maulid
Nabi. Pertama, nilai spirutalitas. Spiritual yang dimaksud di sini adalah menghadirkan
perasaan adanya hubungan manusia dan Zat yang Mahatinggi.

Di zaman akhir ini, secara sadar atau tidak, waktu kita banyak tersita dengan urusan duniawi
semata akibatnya banyak waktu yang terlewati tanpa mengingat Sang Pencipta. Kalaupun
beribadah, barangkali hanya menjadi aktivitas gerak semata yang kosong makna.

Zikir dan bacaan Alquran kita sering kali sekadar terluncur dari bibir yang terbiasa, bukan
dikendalikan oleh filosofi dan makna yang terkandung di dalamnya. Nabi Muhammad adalah
orang yang paling mengenal Tuhannya (al-'arif billah). Tidak ada hari yang luput darinya untuk
mengingat Allah.

Salah satu zikir Nabi adalah subhanallah walhamdulillah wa la ilaha illallah wallahu akbar
(Mahasuci Allah, segenap puji bagi Allah, tiada Tuhan melainkan Allah dan Allah adalah
Mahabesar).
Kedua, nilai moral. Maulid Nabi diharapkan dapat memiliki dampak positif pada pembentukan
akhlak umat. Hal yang tercermin dari Nabi seluruhnya adalah akhlak mulia, keelokan
perangainya tidak hanya diakui kalangan Islam, tetapi non-Muslim pun memuji akhlaknya.

Mengutip pernyataan Qurasih Shihab, Bukti nyata yang paling jelas tentang kenabian
Muhammad SAW adalah sosok beliau dengan akhlaknya yang mulia. Ajaran luhur yang
disampaikan serta semua hasil karya besar yang beliau capai semuanya atas bantuan Allah.

Akhlak yang dipraktikkan oleh Nabi rasanya tidak lagi terlihat dalam keseharian kita. Lihat saja
bagaimana umat sekarang mudah sekali mengumbar ujaran kebencian (hate speech), saling
menghasut, provokasi, saling menghina dan memfitnah antarsesama.

Sikap Nabi tentu saja tidak demikian. Tutur kata Nabi lembut dan sopan, kalimatnya jelas dan
mudah dimengerti (balighan). Jika ada perselisihan, Nabi menyelesaikannya dengan cara santun,
jujur, dan amanah, itu mengapa beliau digelari al-Amin.

Dan yang terakhir, momentum maulid hendaknya dapat memberikan penghayatan terhadap
nilai sosial dalam kehidupan. Dalam hal sosial, keteladanan Nabi yang bisa diambil adalah
bagaimana Rasulullah semangat membangun persaudaraan, tidak hanya persaudaran umat
Muslim (ukhuwah Islamiyah), tetapi juga persaudaran sebangsa (ukhuwah wathaniyah), bahkan
persaudaran sesama manusia (ukhuwah insaniyah).

Hal ini telah dipraktikkan Nabi ketika mendeklerasikan Piagam Madinah. Rasulullah selain
sebagai sosok yang paling tekun dalam beribadah ritual beliau juga adalah sosok yang paling
menjunjung tinggi nilai sosial. Jaminan sosial bagi umat yang patut dilestarikan telah
dicontohkan Nabi melalui zakat, infak dan sedekah. Dan masih banyak lagi keteladanan nabi
yang dapat kita tiru agar umat Islam layak menyandang predikat khairu ummah.

Tentu saja kita semua berkeyakinan dengan meneladani Rasulullah negara kita yang diberikan
anugerah berupa kemajemukan masyarakat dan budayanya ini dapat menjadi negara yang bangsa
beradab, makmur, sejahtera dan senantiasa di bawah lindungan Allah. Amin

Anda mungkin juga menyukai