Anda di halaman 1dari 34

BAB I

LAPORAN KASUS

1. IDENTITAS

Nama : Ny. MS

Usia : 36 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil (PNS)

Pendidikan : S1

Agama : Kristen Protestan

Alamat : Pemda Atas, Kota Saumlaki

Status : Menikah

2. ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien di IGD RSUD DR. P.P. Magretti
Saumlaki tanggal 12 September 2020 pada pukul 12.00 WIT.

a. Keluhan Utama
Pasien dirujuk oleh puskesmas dengan G1P0A0 Hamil 38-39 minggu dengan PEB

b. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien G1P0A0 hamil 38-39 minggu MRS dengan nyeri perut bawah tembus
belakang seperti ingin melahirkan sejak 1 hari yang lalu. Nyeri perut bawah hilang
timbul. Nyeri perut bawah disertai keluar darah dan lendir dari jalan lahir. Pasien
mengeluh kedua kakinya mulai bengkak sejak 1 bulan terakhir dan terasa nyeri.
Pusing dan penglihatan buram disangkal.

c. Riwayat Penyakit Dahulu


Tidak ada.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien mengatakan dikeluarga tidak ada yang mengalami riwayat hipertensi,
diabetes mellitus, asma dan atau pun penyakit lain pada keluarga disangkal oleh
pasien.

e. Riwayat Kebiasaan
Pasien tidak merokok. Pasien merupakan seorang guru PNS.

f. Riwayat Haid
Menarche : 15 tahun
Siklus haid : 30 hari, teratur
Lamanya : 5-7 hari
Banyaknya : Normal
Riwayat KB : Belum pernah
HPHT : 09 Desember 2019

g. Riwayat Perkawinan
kawin ke: 1

h. Riwayat Obstetri
G1P0A0
Anak ke- Tanggal Umur Jenis Tempat
Penolong Penyulit Ket
Persalinan Kehamilan Persalinan Persalinan
1 Hamil ini

3. PEMERIKSAAN
FISIK
Keadaan Umum : Sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda Vital

- Tekanan Darah : 200/130 mmHg


- Nadi : 86 x/menit
- Suhu : 36,7°C
- Pernafasan :22 x/menit

Antropometri

- Tinggi Badan : 155 cm


- Berat badan sebelumnya : 82 kg
- Berat badan sekarang : 92 kg

Status Generalis

1. Mata
Palpebra : Tidak tampak oedem pada palpebra

Konjungtiva : Tidak tampak konjungtiva anemis

Sklera : Tidak tampak sklera ikterik


2. Mulut
Bibir : Tidak tampak pucat maupun sianosis
3. Leher
a. Kelenjar tiroid : Tidak teraba membesar
b. Kelenjar getah bening leher : Tidak teraba membesar
c. Tekanan vena jugularis : 5 + 2 cmH2O

4. Thorax
a. Paru
Auskultasi : Suara napas vesikuler pada kedua lapang paru, rhonki (-/-), wheezing
(-/-)
b. Jantung
Auskultasi : Bunyi jantung I-II normal, irama reguler, tidak terdengar split,
murmur, maupun gallop.

5. Abdomen
Inspeksi: kuning langsat, datar, asites (-)
Auskultasi: bising usus (+)

Palpasi: supel, nyeri tekan (+), teraba ballottement (+)

Perkusi: timpani pada seluruh region abdomen

Pemeriksaan Leopold :

- Leopold I : bagian teratas janin bokong, TFU 34 cm

- Leopold II : Punggung kiri janin, DJJ 150x/menit

- Leopold III : bagian terbawah janin kepala

- Leopold IV : divergen

6. Ekstremitas
Ekstremitas atas Dekstra Sinistra
Akral Hangat Hangat
Oedema (-) (-)

Ekstremitas bawah Dekstra Sinistra


Akral Hangat Hangat
Oedema (+) (+)

7. Pemeriksaan Vaginal Touche


Pembukaan 2 jari longgar, portio tebal, lunak, ketuban (+), letak kepala, Hodge I.

8. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Darah rutin
No. Hematologi Hasil Satuan Nilai
Rujukan
1. Hemoglobin 9 g/dl 12-16
2. CT 12’ menit 9-15
3. BT 3’ menit 4-5
Urinalisis

Pemeriksaan Hasil

Warna Kuning
BJ 1,030
Ph 6,0
Nitrogen Negatif
Protein Positif 1 (+1)
Glukosa Negatif
Keton Negatif
Urobilinogen Negatif
Bilirubin Negatif
Eritrosit 0-2/LPP
Leukosit 0-5/LPP
Epitel 0-3/LPP
Selinder Negatif
Kristal Negatif
Bakteri Negatif
Blood Negatif

DIAGNOSA KERJA
G1P0A0 Gravid 38-39 minggu, janin tunggal, hidup, dengan Preeklampsia Berat.

9. Penatalaksanaan
- Hemodinamik ibu dan janin stabil:

- Observasi KU, TTV


- Perbaikan umum
Oksigen 2 LPM
MgSO4 20% 20 cc IV pelan 15-20%
Dilanjutkan dengan MgSO4 40% 15 cc via syringe pump atau dalam RL 28tpm
Jika kejang diberikan MgSO4 20% 5cc atau 1-2gr sebanyak3-4x
Nifedipin tablet 10 mg/12 jam/per oral
- Sectio Caesaria CITO

10. RESUME

Pasien G1P0A0 hamil 38-39 minggu MRS dengan nyeri perut bawah tembus belakang seperti ingin
melahirkan sejak 1 hari yang lalu. Nyeri perut bawah hilang timbul. Nyeri perut bawah disertai
keluar darah dan lendir dari jalan lahir. Pasien mengeluh kedua kakinya mulai bengkak sejak 1
bulan terakhir dan terasa nyeri. Pusing dan penglihatan buram disangkal. Tidak ada riwayat DM,
asma, alergi. Pada pemeriksaan fisik pasien tampak compos mentis, keadaan umum baik,
dengan tanda vital yaitu tekanan darah 200/130 mmHg, nadi 82x/m, pernapasan 22x/m, suhu
36,7°C. Status Generalis dalam batas normal. Pada mammae didapatkan papil mammae
menonjol. Pada pemeriksaan abdomen pada pengukuran TFU setinggi 34 cm , bagian teratas
teraba tidak melenting yaitu bokong, punggung berada di kiri dan didapatkan DJJ 150x/menit.
Pemeriksaan VT didapatkan pembukaan 2 jari longgar, portio tebal, lunak, ketuban (+), letak
kepala, Hodge I. Hasil lab menunjukan lab protein urin +1.

11. PROGNOSIS

Pada kehamilan dengan hipertensi ringan dan tidak terjadi komplikasi biasanya berdampak baik.
BBLR, superimposed preeclampsia, solusio plasenta, bayi prematur merupakan komplikasi
tersering. Pada pasien dengan hipertensi berat pada awal kehamilan disertai dengan komplikasi
pada organ memberikan hasil yang buruk. Namun, pada kehamilan dengan hipertensi perlu
diobservasi ketat perkembangan janin

13 September 2020 14 September 2020


Hari Perawatan ke-1 Hari Perawatan ke-1
S Nyeri luka operasi, kedua kaki S Tidak ada keluhan, bengkak kedua
bengkak kaki berkurang

O KU : Baik O KU : Baik
TTV : TTV :
- TD 160/110mmHg - TD 160/110mmHg
- HR 81x/m - HR 82x/m
- RR 20x/m - RR 18x/m
- S 36,2 0C - S 36,1 0C

A P1A0 Post Sectio Caesaria hari 1 + A P1A0 Post Sectio Caesaria hari 1 +
Preeklampsia Berat. Preeklampsia Berat.

P - Perbaikan umum P - Perbaikan umum


- MgSO4 40% 15 cc via syringe pump atau - Jika kejang diberikan MgSO4 20% 5cc
dalam RL 28tpm atau 1-2gr sebanyak3-4x
- Jika kejang diberikan MgSO4 20% 5cc atau - Nifedipin tablet 10 mg/12 jam/per oral
1-2gr sebanyak3-4x - Cefadroxil 3x500mg
- Nifedipin tablet 10 mg/12 jam/per oral - Metronidazole 3x500mg
- Asam mefenamat 3x500mg
- Boleh pulang
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFENISI
Preeklampsia merupakan suatu gangguan multisistem idiopatik yang spesifik pada
kehamilan dan nifas. Pada keadaan khusus, preeklampsia juga didapati pada kelainan
perkembangan plasenta (kehamilan mola komplit). Meskipun patofisiologi preeklampsia
kurang dimengerti, jelas bahwa tanda perkembangan ini tampak pada awal kehamilan. Telah
dinyatakan bahwa pathologic hallmark adalah suatu kegagalan total atau parsial dari fase
kedua invasi trofoblas saat kehamilan 16-20 minggu kehamilan, hal ini pada kehamilan
normal bertanggung jawab dalam invasi trofoblas ke lapisan otot arteri spiralis. Seiring
dengan kemajuan kehamilan, kebutuhan metabolik fetoplasenta makin meningkat.
Bagaimanapun, karena invasi abnormal yang luas dari plasenta, arteri spiralis tidak dapat
berdilatasi untuk mengakomodasi kebutuhan yang makin meningkat tersebut, hasil dari
disfungsi plasenta inilah yang tampak secara klinis sebagai preeklampsia. Meskipun menarik,

hipotesis ini tetap perlu ditinjau kembali.1


Preeklampsia merupakan suatu diagnosis klinis. Definisi klasik preeklampsia meliputi 3
elemen, yaitu onset baru hipertensi (didefinisikan sebagai suatu tekanan darah yang menetap ≥
140/90 mmHg pada wanita yang sebelumnya normotensif), onset baru proteinuria (didefinisikan
sebagai protein urine > 300 mg/24 jam atau ≥ +1 pada urinalisis bersih tanpa infeksi traktus
urinarius), dan onset baru edema yang bermakna. Pada beberapa konsensus terakhir dilaporkan

bahwa edema tidak lagi dimasukkan sebagai kriteria diagnosis. 1


Preeklamsia berat adalah preeklamsia dengan tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan
tekanan darah diastolik ≥ 110 mmHg disertai proteinuria lebih 5g/24 jam. Preeklamsia adalah
hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan disertai dengan proteinuria. Hipertensi
adalah tekanan darah sistolik dan diastolik ≥ 140/90 mmHg. Pengukuran tekanan darah sekurang-
kurangnya dilakukan 2 kali selang 4 jam. Proteinuria adalah adanya 300 mg protein dalam urin

selama 24 jam atau sama dengan ≥ +1 dipstick. 1,2

B. ETIOLOGI
1. Invasi trofoblastik abnormal
Pada kehamilan normal, rahim dan plasenta mendapat aliran darah dari cabang- cabang
a.uterina dan a.ovarika. Kedua pembuluh darah tersebut menembus miometrium berupa
arteri arkuarta dan arteri arkuarta memberi cabang arteri radialis. Arteri radialis menembus
endometrium menjadi arteri basilaris dan arteri basilaris memberi cabang arteri spiralis. 2,3
Pada hamil normal, dengan sebab yang belum jelas, terjadi invasi trofoblas ke dalam lapisan
otot arteri spiralis, yang menimbulkan degenerasi lapisan otot tersebut sehingga terjadi dilatasi
arteri spiralis. Invasi trofoblas juga memasuki jaringan sekitar arteri spiralis, sehingga
jaringan matriks menjadi gembur dan memudahkan lumen arteri spiralis mengalami distensi
dan dilatasi. Distensi dan vasodilatasi lumen arteri spiralis ingin memberi dampak penuruna
tekanan darah, penurunan resistensi vaskular, dan peningkatan aliran darah pada daerah
uteroplasenta. Akibatnya, aliran darah ke janin cukup banyak dan perfusi jaringan juga
meningkat, sehingga dapat menjamin pertumbuhan janin dengan baik. Proses ini disebut
“remodeling arteri spiralis”.2,3
Pada hipertensi dalam kehamilan tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas pada lapisan otot

arteri spiralis dan jaringan matriks sekitarnya. Lapisan otot arteri spiralis menjadi tetap kaku dan
keras sehingga lumen arteri tidak memungkinkan untuk mengalami distensi dan vasodilatasi.
Akibatnya arteri spiralis mengalami vasokontriksi, dan terjadi kegagalan remodelling arteri
spiralis, sehingga aliran darah uteroplasenta menurun, dan terjadilah hipoksia dan iskemia
plasenta.2,3
Plasenta yang mengalami iskemia dan hipoksia akan mengalami oksidan (disebut
juga radikal bebas). Salah satu oksidan yang dihasilkan plasenta iskemia adalah radikal
hidroksil yang sangat toksis, khusunya terhadap membran sel endotel pembuluh darah. Radikal
hidroksil akan merusak membran sel, yang mengandung banyak asam lemak tidak jenuh
menjadi peroksida lemak. Peroksida lemak selain akan merusak membran sel, juga akan
merusak nukleus, dan protein sel endotel. 2,3
Akibat sel endotel terpapar terhadap peroksida lemak, maka terjadi kerusakan sel
endotel yang mengakibatkan disfungsi sel endotel, maka akan terjadi : 2,3
- Gangguan metabolisme prostaglandin, karena salah satu fungsi sel endotel, adalah
memproduksi prostaglandin, yaitu menurunnya produksi prostasiklin suatu
vasodilator kuat.
- Agregasi sel-sel trombosit pada daerah endotel yang mengalami kerusakan. Agregasi
trombosit memproduksi tromboxan suatu vasokonstriktor kuat. Pada preeklamsia
kadar tromboxan lebih tinggi dari kadar prostasiklin sehingga terjadi vasokontriksi,
dengan terjadi kenaikan tekanan darah.
- Perubahan khas pada sel endotel kapiler glomerulus

- Peningkatan permeabilitas kapiler

- Peningkatan faktor koagulasi

- Peningkatan produksi endolin sementara kadar NO menurun .

C. EPIDEMIOLOGI

Kejadian preeklampsia di Amerika Serikat berkisar antara 2-6% dari ibu hamil

nulipara yang sehat. Di negara berkembang, kejadian preeklampsia berkisar antara 4-18%.
Penyakit preeklampsia ringan terjadi 75% dan preeklampsia berat terjadi 25%. Dari seluruh
kejadian preeklampsia, sekitar 10% kehamilan umurnya kurang dari 34 minggu. Kejadian
preeklampsia meningkat pada wanita dengan riwayat preeklampsia, kehamilan ganda, hipertensi
kronis dan penyakit ginjal.4

Tiga penyebab utama kematian ibu adalah perdarahan (30%), hipertensi dalam kehamilan

(25%), dan infeksi (12%). WHO memperkirakan kasus preeklampsia tujuh kali lebih

tinggi di negara berkembang daripada di negara maju. Prevalensi preeklampsia di Negara


maju adalah 1,3% - 6%, sedangkan di Negara berkembang adalah 1,8% - 18%. Insiden
preeklampsia di Indonesia sendiri adalah 128.273/tahun atau sekitar 5,3%. Kecenderungan
yang ada dalam dua dekade terakhir ini tidak terlihat adanya penurunan yang nyata
terhadap insiden preeklampsia, berbeda dengan insiden infeksi yang semakin menurun
sesuai dengan perkembangan temuan antibiotik.5,6,7

D. KLASIFIKASI

Klasifikasi menurut NHBPEP (2000) menjadi 4 jenis :

a) Hipertensi Gestasional

Hipertensi yang timbul pada kehamilan tanpa disertai proteinuria dan hipertensi
menghilang setelah 3 bulan pascapersalinan atau kehamilan dengan tannda-tanda
preeklamsia tetapi tanpa proteinuria.8
b) Preeklamsia

Hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan disertai dengan proteinuria. 8


c) Eklamsia

Preeklamsia yang disertai dengan kejang-kejang dan/atau koma. 8

d) Preeklamsia yang bertumpang tindih pada hipertensi kronis

- Proteniuria awitan baru ≥300 mg/24 jam pada perempuan hipertensif, tetapi
tidak ditemukan proteinuria sebelum kehamilan 20 minggu.

- Peningkatan mendadak proteinuria atau tekanan darah atau hitung trombosit <
100.000/µL pada perempuan yang mengalami hipertensi dan proteinuria
sebelum kehamilan 20 minggu. 8

e) Hipertensi kronis

- Hipertensi yang timbul sebelum umur kehamilan 20 minggu atau hipertensi


yang pertama kali didiagnosis setelah umur kehamilan 20 minggu dan
hipertensi menetap sampai 12 minggu pascapersalinan.
- Tekanan darah ≥ 140/90 mmHg sebelum kehamilan atau terdiagnosis
sebelum kehamilan 20 minggu, tidak disebabkan penyakit trofoblastik
gestasional
- Hipertensi pertama kali terdiagnosis setelah kehamilan 20 minggu dan
menetap setelah 12 minggu pascapartum. 8

E. PATOGENESIS
Patogenesis terjadinya Preeklamsia dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Penurunan kadar angiotensin II dan peningkatan kepekaan vaskuler
Pada preeklamsia terjadi penurunan kadar angiotensin II yang menyebabkan pembuluh
darah menjadi sangat peka terhadap bahan-bahan vasoaktif (vasopresor), sehingga
pemberian vasoaktif dalam jumlah sedikit saja sudah dapat menimbulkan vasokonstriksi
pembuluh darah yang menimbulkan hipertensi. Pada ke hamilan normal kadar
angiotensin II cukup tinggi. Pada preeklamsia terjadi penurunan kadar prostacyclin dengan
akibat meningkatnya thromboksan yang mengakibatkan menurunnya sintesis angiotensin II
sehingga peka terhadap rangsangan bahan vasoaktif dan akhirnya terjadi hipertensi.2

2. Hipovolemia Intravaskuler
Pada kehamilan normal terjadi kenaikan volume plasma hingga mencapai 45%,
sebaliknya pada preeklamsia terjadi penyusutan volume plasma hingga mencapai 30-40%
kehamilan normal. Menurunnya volume plasma menimbulkan hemokonsentrasi dan
peningkatan viskositas darah. Akibatnya perfusi pada jaringan atau organ penting menjadi
menurun (hipoperfusi) sehingga terjadi gangguan pada pertukaran bahan-bahan metabolik
dan oksigenasi jaringan. Penurunan perfusi ke dalam jaringan utero-plasenta
mengakibatkan oksigenasi janin menurun sehingga sering terjadi pertumbuhan janin yang
terhambat (Intrauterine growth retardation), gawat janin, bahkan kematian janin
intrauterin.2

3. Vasokonstriksi pembuluh darah


Pada kehamilan normal tekanan darah dapat diatur tetap meskipun cardiac output

meningkat, karena terjadinya penurunan tahanan perifer. Pada kehamilan dengan


hipertensi terjadi peningkatan kepekaan terhadap bahan-bahan vasokonstriktor sehingga
keluarnya bahan- bahan vasoaktif dalam tubuh dengan cepat menimbulkan
vasokonstriksi. Adanya vasokonstriksi menyeluruh pada sistem pembuluh darah arteriole dan
pra kapiler pada hakekatnya merupakan suatu sistem kompensasi terhadap terjadinya
hipovolemik. Sebab bila tidak terjadi vasokonstriksi, ibu hamil dengan hipertensi akan
berada dalam syok kronik. Perjalanan klinis dan temuan anatomis memberikan bukti
presumtif bahwa preeklampsi disebabkan oleh sirkulasi suatu zat beracun dalam darah
yang menyebabkan trombosis di banyak pembuluh darah halus, selanjutnya membuat
nekrosis berbagai organ. Gambaran patologis pada fungsi beberapa organ dan sistem,
yang kemungkinan disebabkan oleh vasospasme dan iskemia, telah ditemukan pada kasus-
kasus preeklampsia dan eklampsia berat. Vasospasme bisa merupakan akibat dari kegagalan
invasi trofoblas ke dalam lapisan otot polos pembuluh darah, reaksi imunologi, maupun
radikal bebas. Semua ini akan menyebabkan terjadinya kerusakan/jejas endotel yang
kemudian akan mengakibatkan gangguan keseimbangan antara kadar vasokonstriktor
(endotelin, tromboksan, angiotensin, dan lain-lain) dengan vasodilatator (nitritoksida,
prostasiklin, dan lain-lain). Selain itu, jejas endotel juga menyebabkan gangguan pada
sistem pembekuan darah akibat kebocoran endotelial berupa konstituen darah termasuk
platelet dan fibrinogen.2
Vasokontriksi yang meluas akan menyebabkan terjadinya gangguan pada fungsi normal
berbagai macam organ dan sistem. Gangguan ini dibedakan atas efek terhadap ibu dan
janin, namun pada dasarnya keduanya berlangsung secara simultan. Gangguan ibu secara
garis besar didasarkan pada analisis terhadap perubahan pada sistem kardiovaskular,
hematologi, endokrin dan metabolisme, serta aliran darah regional. Sedangkan gangguan
pada janin terjadi karena penurunan perfusi uteroplasenta.2

F. DIAGNOSIS
Kriteria Minimal Preeklampsia
- Hipertensi :
Tekanan darah sekurang-kurangnya 140 mmHg sistolik atau 90 mmHg diastolik pada
dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit menggunakan lengan yang sama
Dan
- Protein urin :
Protein urin melebihi 300 mg dalam 24 jam atau tes urin dipstik > positif 1
Jika tidak didapatkan protein urin, hipertensi dapat diikuti salah satu dibawah ini:
- Trombositopeni :
Trombosit < 100.000 / mikroliter
- Gangguan ginjal :
Kreatinin serum diatas 1,1 mg/dL atau didapatkan peningkatan kadar kreatinin serum
dari sebelumnya pada kondisi dimana tidak ada kelainan ginjal lainnya
- Gangguan Liver :
Peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal dan atau adanya nyeri di daerah
epigastrik / regio kanan atas abdomen
- Edema Paru
- Gejala Neurologis :
Stroke, nyeri kepala, gangguan visus
- Gangguan Sirkulasi Uteroplasenta :
Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR) atau didapatkan adanya absent or
reversed end diastolic velocity (ARDV) Preeklamsia berat.9,10,11

Kriteria Preeklampsia berat (diagnosis preeklampsia dipenuhi dan jika didapatkan salah
satu kondisi klinis dibawah ini) :
- Hipertensi :
Tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau 110 mmHg diastolik pada
dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit menggunakan lengan yang sama
- Trombositopeni :
Trombosit < 100.000 / mikroliter
- Gangguan ginjal :
Kreatinin serum diatas 1,1 mg/dL atau didapatkan peningkatan kadar kreatinin serum
dari sebelumnya pada kondisi dimana tidak ada kelainan ginjal lainnya
- Gangguan Liver :
Peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal dan atau adanya nyeri di daerah
epigastrik / regio kanan atas abdomen
- Edema Paru
- Gejala Neurologis :
Stroke, nyeri kepala, gangguan visus
- Gangguan Sirkulasi Uteroplasenta :
Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR) atau didapatkan adanya absent or
reversed end diastolic velocity (ARDV). 9,10,11

G. GEJALA KLINIK
- Gejala klinik Ibu: 10,11
a. Oligouria/anuria
b. Edema pada muka
c. Nyeri kepala dapat disebabkan oleh hiperperfusi otak, sehingga menimbulkan vasogenik
edema.
d. Gangguan visus akibat spasme arteri retina dan edema retina
e. hiperrefleksia

- Gejala klinik pada janin: 10,11


a. IUGR dan oligohidramnion
b. Prematuritas
c. Solusio plasenta

H. TATALAKSANA PREEKLAMPSIA BERAT

Perawatan Ekspektatif Pada Preeklampsia tanpa Gejala Berat

REKOMENDASI:9,10
1. Manajemen ekspektatif direkomendasikan pada kasus preeklampsia tanpa gejala berat
dengan usia kehamilan kurang dari 37 minggu dengan evalu asi maternal dan janin yang
lebih ketat (Level evidence II, Rekomendasi C)
2. Perawatan poliklinis secara ketat dapat dilakukan pada kasus preeklampsia tanpa gejala
berat. (Level evidence IIb, Rekomendasi B)
3. Evaluasi ketat yang dilakukan adalah:
- Evaluasi gejala maternal dan gerakan janin setiap hari oleh pasien
- Evaluasi tekanan darah 2 kali dalam seminggu secara poliklinis
- Evaluasi jumlah trombosit dan fungsi liver setiap minggu (Level evidence II,
Rekomendasi C)
- Evaluasi USG dan kesejahteraan janin secara berkala (dianjurkan 2 kali dalam seminggu)
- Jika didapatkan tanda pertumbuhan janin terhambat, evaluasi menggunakan doppler
velocimetry terhadap arteri umbilikal direkomendasikan (Level evidence II,
Rekomendasi A)

Gambar 1. Manajemen ekspektatif Preeklampsia tanpa gejala berat. 9

Perawatan Ekspektatif Pada Preeklampsia Berat


REKOMENDASI: 9,10
1. Manajemen ekspektatif direkomendasikan pada kasus preeklampsia berat dengan usia
kehamilan kurang dari 34 minggu dengan syarat kondisi ibu dan janin stabil.
2. Manajemen ekspektatif pada preeklampsia berat juga direkomendasikan untuk
melakukan perawatan di fasilitas kesehatan yang adekuat dengan tersedia perawatan
intensif bagi maternal dan neonatal (Level evidence II, Rekomendasi A)
3. Bagi wanita yang melakukan perawatan ekspektatif preekklamsia berat, pemberian
kortikosteroid direkomendasikan untuk membantu pematangan paru janin (Level
evidence I , Rekomendasi A)
4. Pasien dengan preeklampsia berat direkomendasikan untuk melakukan rawat inap
selama melakukan perawatan ekspektatif (Level evidence IIb , Rekomendasi B).

Gambar 2. Manajemen ekspektatif Preeklampsia berat.9

Tabel 1. Kriteria terminasi kehamilan pada preeklampsia berat.10


Medikamentosa
Penderita preeklampsia berat harus segera masuk rumah sakit untuk rawat inap dan dianjurkan
tirah baring miring ke satu sisi (kiri). Perawatan yang penting pada preeklampsia berat ialah
pengelolaan cairan karena penderita preeklampsia mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya edema
paru dan oliguria. Sebab terjadinya kedua keadaan tersebut belum jelas, tetapi faktor yang
sangat menentukan terjadinya edema paru dan oligouria ialah hipovolemia, vasospasme,
kerusakan sel endotel, penurunan gradient tekanan onkotik koloid/pulmonary capillary
wedge pressure. Oleh karena itu monitoring input cairan (melalui oral ataupun infuse) dan
output cairan (melalui urin) menjadi sangat penting. Artinya harus dilakukan pengukuran
secara tepat berapa jumlah cairan yang dimasukkan dan dikeluarkan melalui urin. Bila
terjadi tanda tanda edema paru, segera dilakukan tindakan koreksi. Cairan yang diberikan
dapat berupa a) 5% ringer dextrose atau cairan garam faal jumlah tetesan:<125cc/jam atau b)
infuse dekstrose 5% yang tiap 1 liternya diselingi dengan infuse ringer laktat (60-125 cc/jam)
500 cc.12
Di pasang foley kateter untuk mengukur pengeluaran urin. Oligouria terjadi bila
produksi urin < 30 cc/jam dalam 2-3 jam atau < 500 cc/24 jam. Diberikan antasida untuk
menetralisir asam lambung sehingga bila mendadak kejang, dapat menghindari resiko
aspirasi asam lambung yang sangat asam. Diet yang cukup protein, rendah karbohidrat,
lemak dan garam.12

Pemberian Obat Anti Kejang

Magnesium Sulfat
Sejak tahun 1920-an, magnesium sulfat sudah digunakan untuk eklampsia di Eropa dan
Amerika Serikat. Tujuan utama pemberian magnesium sulfat pada preeklampsia adalah untuk
mencegah dan mengurangi angka kejadian eklampsia, serta mengurangi morbiditas dan
mortalitas maternal serta perinatal.13
Cara kerja magnesium sulfat belum dapat dimengerti sepenuhnya. Salah satu
mekanisme kerjanya adalah menyebabkan vasodilatasi melalui relaksasi dari otot polos,
termasuk pembuluh darah perifer dan uterus, sehingga selain sebagai antikonvulsan,
magnesium sulfat juga berguna sebagai antihipertensi dan tokolitik. Magnesium sulfat juga
berperan dalam menghambat reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA) di otak, yang apabila
teraktivasi akibat asfiksia, dapat menyebabkan masuknya kalsium ke dalam neuron, yang
mengakibatkan kerusakan sel dan dapat terjadi kejang. 13,14
Waktu, durasi, dosis dan rute administrasi
Belum ada kesepakatan dari penelitian yang telah dipublikasi mengenai waktu yang
optimal untuk memulai magnesium sulfat, dosis (loading dan pemeliharaan), rute administrasi
(intramuskular atau intravena) serta lama terapi. 13,14
Guideline RCOG merekomendasikan dosis loading magnesium sulfat 4 g selama 5 – 10
menit, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 1-2 g/jam selama 24 jam post partum atau
setelah kejang terakhir, kecuali terdapat alasan tertentu untuk melanjutkan pemberian
magnesium sulfat. Pemantauan produksi urin, refleks patella, frekuensi napas dan saturasi
oksigen penting dilakukan saat memberikan magnesium sulfat. Pemberian ulang 2 g bolus
dapat dilakukan apabila terjadi kejang berulang. Pada penelitian Magpie, membandingkan
pemberian magnesium sulfat regimen intravena, dosis loading 4-6 g, dan pemeliharaan 1-2
g/jam, dengan dosis loading intravena dan pemeliharaan intramuskular. Dari penelitian
tersebut didapatkan hasil yang lebih tinggi bermakna kejadian efek samping pada pemberian
intramuskular (28% vs 5%) sehingga kebanyakan wanita menghentikan obat lebih awal. Dari
studi tersebut juga didapatkan tidak ada perbedaan yang bermakna dari kedua kelompok
dalam mecegah kejang.13,14
Dayicioglu, dkk mengevaluasi kadar magnesium dalam serum dan efektivitas dosis
standar magnesium sulfat (4,5 g dosis loading dalam 15 menit dilanjutkan dengan 1,8 g/ jam)
pada 183 wanita dengan preeklampsia. Dari penelitian ini tidak didapatkan hubungan antara
kegagalan pengobatan dan indeks massa tubuh atau dengan kadar magnesium. Begitu pula
dengan hubungan antara kadar magnesium serum dengan kreatinin serum, atau bersihan
kreatinin. Dari penelitian ini disimpulkan eklampsia tidak berhubungan dengan indeks massa
tubuh atau kadar magnesium plasma yang bersirkulasi. 14,15
Pemberian magnesium sulfat sebagai antikejang lebih efektif dibanding fenitoin, berdasar
Cochrane review terhadap enam uji klinik yang melibatkan 897 penderita eklampsia.
Magnesium sulfat menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin pada rangsangan serat saraf
dengan menghambat transmisi neuromuskular. Transmisi neuromuskular membutuhkan kalsium pada
sinaps. Pada pemberian magnesium sulfat, magnesium akan menggeser kalsium, sehingga aliran
rangsangan tidak terjadi (terjadi kompetitif inhibition antara ion kalsium dan ion magnesium).
Kadar kalsium yang tinggi dalam darah dapat menghambat kerja magnesium sulfat. Magnesium
sulfat sampai saat ini tetap menjadi pilihan pertama untuk antikejang pada preeklampsia atau
eklampsia. 13,14,15

Cara pemberian MgSO4

- Loading dose : initial dose 4 gram MgSO4: intravena, (40 % dalam 10 cc) selama 15
menit
- Maintenance dose : Diberikan infuse 6 gram dalam larutan ringer/6 jam; atau diberikan
4 atau 5 gram i.m. Selanjutnya maintenance dose diberikan 4 gram im tiap 4-6 jam.15,16

Syarat-syarat pemberian MgSO4

- Harus tersedia antidotum MgSO4, bila terjadi intoksikasi yaitu kalsium glukonas 10% =
1 gram (10% dalam 10 cc) diberikan iv 3 menit
- Refleks patella (+) kuat
- Frekuensi pernafasan > 16x/menit, tidak ada tanda tanda distress nafas. 15,16

Dosis terapeutik dan toksis MgSO4


- Dosis terapeutik : 4-7 mEq/liter atau 4,8-8,4 mg/dl
- Hilangnya reflex tendon 10 mEq/liter atau 12 mg/dl
- Terhentinya pernafasan 15 mEq/liter atau 18 mg/dl
- Terhentinya jantung >30 mEq/liter atau > 36 mg/dl. 15,16

Magnesium sulfat dihentikan bila ada tanda tanda intoksikasi atau setelah 24 jam
pascapersalinan atau 24 jam setelah kejang terakhir. Pemberian magnesium sulfat dapat
menurunkan resiko kematian ibu dan didapatkan 50 % dari pemberiannya menimbulkan
efek flushes (rasa panas).13
Contoh obat-obat lain yang dipakai untuk antikejang yaitu diazepam atau fenitoin
(difenilhidantoin), thiopental sodium dan sodium amobarbital. Fenitoin sodium
mempunyai khasiat stabilisasi membrane neuron, cepat masuk jaringan otak dan efek
antikejang terjadi 3 menit setelah inje ksi intravena. Fenitoin sodium diberikan dalam dosis
15 mg/kg berat badan dengan pemberian intravena 50 mg/menit. Hasilnya tidak lebih baik
dari magnesium sulfat. Pengalaman pemakaian fenitoin di beberapa senter di dunia masih
sedikit.14
Penggunaan magnesium sulfat berhubungan dengan efek samping minor yang lebih
tinggi seperti rasa hangat, flushing, nausea atau muntah, kelemahan otot, ngantuk, dan
iritasi dari lokasi injeksi. Dari uji acak dilaporkan kejadian efek samping terjadi pada 15 –
67% kasus. Efek samping ini merupakan penyebab utama wanita menghentikan
pengobatan. Toksisitas terjadi pada 1% wanita yang mendapat magnesium sulfat
dibandingkan 0,5% pada plasebo, namun tidak ada bukti nyata perbedaan risiko hilangnya
atau berkurangnya refleks tendon ((RR 1,00; 95% CI 0,70 - 1,42). Meskipun depresi napas
dan masalah pernapasan jarang ditemukan, risiko relatif meningkat pada kelompok yang
diberikan magnesium sulfat (RR 1,98; 95% CI 1,24 – 3,15). Seperempat dari wanita yang
mendapat magnesium sulfat memiliki efek samping (RR 5,26; 95% CI 4,59 – 6,03),
dimana yang terbanyak adalah flushing. Jika mengatasi terjadinya toksisitas, kalsium
glukonas 1 g (10 ml) dapat diberikan perlahan selama 10 Menit. 13,14

Diuretikum
Diuretikum tidak diberikan secara rutin, kecuali bila ada edema paru-paru, payah
jantung kongestif atau anasarka. Diuretikum yang dipakai ialah furosemida. Pemberian
diuretikum dapat merugikan, yaitu memperberat hipovolemia, memperburuk perfusi
uteroplasenta, meningkatkan hemokonsentrasi, memnimbulkan dehidrasi pada janin, dan
menurunkan berat janin.17,18

ANTIHIPERTENSI

Calcium Channel Blocker

Calcium channel blocker bekerja pada otot polos arteriolar dan menyebabkan vasodilatasi
dengan menghambat masuknya kalsium ke dalam sel. Berkurangnya resistensi perifer akibat
pemberian calcium channel blocker dapat mengurangi afterload, sedangkan efeknya pada
sirkulasi vena hanya minimal. Pemberian calcium channel blocker dapat memberikan efek
samping maternal, diantaranya takikardia, palpitasi, sakit kepala, flushing, dan edema tungkai
akibat efek lokal mikrovaskular serta retensi cairan. 20,21

Nifedipin merupakan salah satu calcium channel blocker yang sudah digunakan sejak
dekade terakhir untuk mencegah persalinan preterm (tokolisis) dan sebagai antihipertensi.
Berdasarkan RCT, penggunaan nifedipin oral menurunkan tekanan darah lebih cepat
dibandingkan labetalol intravena, kurang lebih 1 jam setelah awal pemberian. Nifedipin selain
berperan sebagai vasodilator arteriolar ginjal yang selektif dan bersifat natriuretik, dan
meningkatkan produksi urin. Dibandingkan dengan labetalol yang tidak berpengaruh pada
indeks kardiak, nifedipin meningkatkan indeks kardiak yang berguna pada preeklampsia berat.
Regimen yang direkomendasikan adalah 10 mg kapsul oral, diulang tiap 15 – 30 menit, dengan
dosis maksimum 30 mg. Penggunaan berlebihan calcium channel blocker dilaporkan dapat
menyebabkan hipoksia janin dan asidosis. Hal ini disebabkan akibat hipotensi relatif setelah
pemberian calcium channel blocker. 20,21

Studi melaporkan efektivitas dan keamanan calcium channel blocker nifedipin 10 mg


tablet dibandingkan dengan kapsul onset cepat dan kerja singkat untuk pengobatan wanita
dengan hipertensi berat akut (>170/110 mmHg) pada pertengahan kehamilan. Nifedipin kapsul
menurunkan tekanan darah lebih besar dibandingkan nifedipin tablet. Dosis kedua nifedipin
dibutuhkan 2x labih sering pada penggunaan nifedipin tablet (P = 0.05), namun lebih sedikit
wanita yang mengalami episode hipotensi dengan tablet (P = 0.001). Gawat janin tidak banyak
dijumpai pada penggunaan nifedipin kapsul ataupun tablet. Kesimpulannya nifedipin tablet
walaupun onsetnya lebih lambat, namun sama efektif dengan kapsul untuk pengobatan cepat
hipertensi berat. 20,21,22

Kombinasi nifedipin dan magnesium sulfat menyebabkan hambatan neuromuskular atau


hipotensi berat, hingga kematian maternal. Nikardipin merupakan calcium channel blocker
parenteral, yang mulai bekerja setelah 10 menit pemberian dan menurunkan tekanan darah
dengan efektif dalam 20 menit (lama kerja 4 -6 jam). Efek samping pemberian nikardipin
tersering yang dilaporkan adalah sakit kepala. Dibandingkan nifedipin, nikardipin bekerja lebih
selektif pada pembuluh darah di miokardium, dengan efek samping takikardia yang lebih ren
dah. Laporan yang ada menunjukkan nikardipin memperbaiki aktivitas ventrikel kiri dan lebih
jarang menyebabkan iskemia jantung. Dosis awal nikardipin yang dianjurkan melalui infus
yaitu 5 mg/jam, dan dapat dititrasi 2.5 mg/jam tiap 5 menit hingga maksimum 10 mg/jam atau
hingga penurunan tekanan arterial rata –rata sebesar 25% tercapai. Kemudian dosis dapat
dikurangi dan disesuaikan sesuai dengan respon. 20,21

Efek penurunan tekanan darah pada hipertensi berat dan efek samping yang ditimbulkan
pada penggunaan nikardipin dan labetalol adalah sama, meskipun penggunaan nikardipin
menyebabkan penurunan tekanan darah sistolik dan diastolik yang lebih besar bermakna. 22
Beta-blocker

Atenolol merupakan beta-blocker kardioselektif (bekerja pada reseptor P1 dibandingkan


P2). Atenolol dapat menyebabkan pertumbuhan janin terhambat, terutama pada digunakan
untuk jangka waktu yang lama selama kehamilan atau diberikan pada trimester pertama,
sehingga penggunaannya dibatasi pada keadaan pemberian anti hipertensi lainnya tidak
efektif.21

Berdasarkan Cochrane database penggunaan beta-blocker oral mengurangi risiko


hipertensi berat (RR 0.37; 95% CI 0.26-0.53;ll studi; n = 1128 wanita) dan kebutuhan
tambahan obat antihipertensi lainnya (RR 0.44; 95% CI 0.31-0.62; 7 studi; n = 856 wanita).
Beta-blocker berhubungan dengan meningkatnya kejadian bayi kecil masa kehamilan (RR
1.36; 95% CI 1.02-1.82; 12 studi; n = 1346 wanita).23

Metildopa

Metildopa, agonis reseptor alfa yang bekerja di sistem saraf pusat, adalah obat
antihipertensi yang paling sering digunakan untuk wanita hamil dengan hipertensi kronis.
Digunakan sejak tahun 1960, metildopa mempunyai safety margin yang luas (paling aman).
Walaupun metildopa bekerja terutama pada sistem saraf pusat, namun juga memiliki sedikit
efek perifer yang akan menurunkan tonus simpatis dan tekanan darah arteri. Frekuensi nadi,
cardiac output, dan aliran darah ginjal relatif tidak terpengaruh. Efek samping pada ibu antara
lain letargi, mulut kering, mengantuk, depresi, hipertensi postural, anemia hemolitik dan drug-
induced hepatitis”.21,23

Metildopa biasanya dimulai pada dosis 250-500 mg per oral 2 atau 3 kali sehari, dengan
dosis maksimum 3 g per hari. Efek obat maksimal dicapai 4-6 jam setelah obat masuk dan
menetap selama 10-12 jam sebelum diekskresikan lewat ginjal. Alternatif lain penggunaan
metildopa adalah intra vena 250-500 mg tiap 6 jam sampai maksimum 1 g tiap 6 jam untuk
krisis hipertensi. Metildopa dapat melalui plasenta pada jumlah tertentu dan disekresikan di
ASI. 21,23

Kortikosteroid
Pada preeklampsia berat dapat terjadi edema paru akibat kardiogenik (payah jantung ventrikel
kiri akibat peningkatan afterload) atau non kardiogenik (akibat kerusakan sel endotel pembuluh
darah paru). Prognosis preeclampsia berat menjadi buruk bila edema paru disertai oligouria.24
Pemberian glukokortikoid untuk pematangan paru janin tidak merugikan ibu. Diberikan
pada kehamilan 32-34 minggu, 2x 24 jam. Obat ini juga diberikan pada sindrom HELLP.24

Sikap terhadap Kehamilan

Berdasar William obstetrics, ditinjau dari umur kehamilan dan perkembangan gejala-gejala
preeclampsia berat selama perawatan, maka sikap terhadap kehamilannya dibagi menjadi:2
1. Aktif : berarti kehamilan segera diakhiri/diterminasi bersamaan dengan pemberian
medikamentosa.
2. Konservatif (ekspektatif): berarti kehamilan tetap dipertahankan bersamaan dengan
pemberian medikamentosa.

Perawatan Konservatif
Indikasi perawatan konservatif ialah bila kehamilan preterm ≤ 37 minggu tanpa
disertai tanda –tanda impending eklampsia dengan keadaan janin baik. Diberi pengobatan
yang sama dengan pengobatan medikamentosa pada pengelolaan secara aktif. Selama
perawatan konservatif, sikap terhadap kehamilannya ialah hanya observasi dan evaluasi
sama seperti perawatan aktif, kehamilan tidak diakhiri. Magnesium sulfat dihentikan bila
ibu sudah mencapai tanda-tanda preeclampsia ringan, selambat-lambatnya dalam waktu 24
jam. Bila setelaah 24 jam tidak ada perbaikan keadaan ini dianggap sebagai kegagalan
pengobatan medikamentosa dan harus diterminasi. Penderita boleh dipulangkan bila
penderita kembali ke gejala-gejala atau tanda tanda preeklampsia ringan.2

Perawatan aktif
Indikasi perawatan aktif bila didapatkan satu atau lebih keadaan di bawah ini, yaitu:2,22
Ibu
1. Umur kehamilan ≥ 37 minggu
2. Adanya tanda-tanda/gejala-gejala impending eklampsia
3. Kegagalan terapi pada perawatan konservatif, yaitu: keadaan klinik dan laboratorik
memburuk
4. Diduga terjadi solusio plasenta
5. Timbul onset persalinan, ketuban pecah atau perdarahan
Janin
1. Adanya tanda-tanda fetal distress
2. Adanya tanda-tanda intra uterine growth restriction

3. NST nonreaktif dengan profil biofisik abnormal

4. Terjadinya oligohidramnion

I. KOMPLIKASI PREEKLAMPSIA
Hipertensi gestasional dan preklampsia/eklampsia berhubungan dengan risiko hipertensi
dan penyakit kardiovaskular pada masa yang akan datang. Pada tahun 1995, Nissel
mendapatkan riwayat kehamilan dengan komplikasi hipertensi dibandingkan dengan kelompok
kontrol, berhubungan dengan risiko hipertensi kronik 7 tahun setelahnya. Penelitian yang
dilakukan oleh Jose, dkk menunjukkan kejadian hipertensi 10 tahun setelahnya terdapat pada
43,1% wanita dengan riwayat preeklampsia dibandingkan 17,2% pada kelompok kontrol (OR
3,32; 95% CI 2,26 – 4,87).25,26,27
Shammas dan Maayah menemukan mikroalbuminuria yang nyata dan risiko penyakit
kardiovaskular pada 23 % wanita dengan preeklampsia dibandingkan 3% pada wanita dengan
tekanan darah normal selama kehamilan. 2 Irgens, dkk melakukan studi kohort retrospektif pada
626.272 kelahiran hidup di Norway antara tahun 1967 – 1992. Dari studi tersebut didapatkan
risiko kematian akibat penyakit kardiovaskular pada wanita dengan preeklampsia 8,12 x lebih
tinggi dibandingkan kontrol (wanita tanpa riwayat preeklampsia). 25,26,27
Brenda, dkk melakukan penelitian kohort retrospektif dengan jumlah total subjek 3593,
yang terdiri dari 1197 kontrol, 1197 hipertensi gestasional dan 1199 preeklampsia/eklampsia.
Dibandingkan kelompk kontrol, kelompok dengan hipertensi gestasional menunjukkan risiko
hipertensi yang lebih besar (OR 2,67; 95% CI 1,74 – 3,51, p < 0,001). Pada kedua kelompok
tidak ditemukan perbedaan bermakna pada kejadian stroke (OR 2,23; 95% CI 0,59 – 9,98),
angina (OR 1,11; 95% CI 0,58 – 1,81), infark miokard (OR 0,74; 95% CI 0,32 – 1,63), tombosis
vena dalam (Deep vein thrombosis) (OR 0,74; 95% CI 0,35 – 1,20) dan penyakit ginjal (OR
0,85; 95% CI 0,22 – 1,82). Pada kelompok preeklampsia/eklampsia juga menunjukkan
perbedaan kejadian hipertensi apabila dibandingkan kontrol (OR 3,02; 95% CI 2,82 – 5,61, p<
0,001). Namun, pada kedua kelompok tidak ditemukan perbedaan bermakna pada kejadian
stroke (OR 3,39; 95% CI 0,95 – 12,2), angina (1,59; 95% CI 0,95 – 2,73), infark miokard (0,74;
95% CI 0,35 – 1,63), DVT (OR 0,78; 95% CI 0,42 – 1,34), dan penyakit ginjal (OR 2,17; 95%
CI 1,01-5,65). Kematian akibat sebab apapun (incident rate ratio 1,13; 95% CI 0,84 – 1,65) atau
akibat penyakit jantung iskemik (IRR 1,98; 95% CI 0,90 – 4,21) pada kedua kelompok juga
ditemukan tidak ada perbedaan bermakna. Hal yang berbeda didapatkan pada kematian yang
disebabkan oleh penyakit serebrovaskular ditemukan perbedaan pada kedua kelompok (IRR
2,44; 95% CI 1,04 – 12,4).25,26,27
Leanne, dkk melakukan telaah sistematik dan meta-analisis sejumlah penelitian yang
menilai luaran jangka panjang pasca preeklampsia. Dari telaah dan sistematik tersebut
didapatkan hasil wanita dengan riwayat preeklampsia memiliki risiko relatif menderita
hipertensi sebesar 3,70 (95% CI 2,70 – 5,05) dibandingkan dengan wanita tanpa riwayat
preeklampsia. Dua penelitian (2106 wanita) 47 meneliti hubungan hipertensi dalam kehamilan
dan hipertensi di masa depan; 454 wanita yang menderita hipertensi dalam kehamilan, 300
kejadian hipertensi terjadi dalam waktu 10,8 tahun. Risiko relatif insiden hipertensi pada wanita
dengan hipertensi dalam kehamilan adalah 3,39 (95% CI 0,82 – 13,92; p=0,0006). Risiko
kardiovaskular meningkat sebesar 1,66 (95% CI 0,62 – 4,41). Delapan penelitian menganalisis
kejadian penyakit jantung iskemik; Risiko relatif penyakit jantung iskemik pada wanita dengan
riwayat preeklampsia 2x lebih besar dibandingkan wanita tanpa riwayat preeklampsia (RR 2,16;
95% CI 1,86 – 2,52). Risiko ini tidak berbeda pada primipara (RR 1,89; 95% CI 1,40 – 2,55)
ataupun wanita yang menderita preeklampsia pada tiap kehamilannya (RR 2,23; 95% CI 1,21 –
4,09). Preeklampsia sebelum usia kehamilan 37 minggu juga meningkatkan risiko penyakit
jantung iskemik hampir 8x (RR 7,71; 95% 4,40 – 13,52), dan wanita dengan preeklampsia berat
memiliki risiko yang lebih tinggi (RR 2,86; 95% CI 2,25 – 3,65) dibandingkan preeklampsia
ringan (RR 1,92; 95% CI 1,65 – 2,24). 25,26,27
Dari metaanalisis 4 penelitian menunjukkan wanita dengan preeklampsia memiliki risiko
stroke sebesar 1,81 (95% CI 1,45 – 2,27) dan DVT (RR 1,19; 95% CI 1,37 – 2,33)
dibandingkan kontrol. Empat penelitian menunjukkan risiko relatif menderita kanker payudara
pada wanita dengan riwayat preeklampsia adalah 1,04 (95 % CI 0,78 – 1,39), sedangkan
kejadian kanker lain adalah 0,96 (95% CI 0,73 – 1,27), namun hal ini tidak berbeda bermakna.
25,26,27

Dari empat penelitian menunjukkan wanita dengan preeklampsia memiliki peningkatan


risiko kematian oleh sebab apapun dibandingkan kontrol (RR 1,49; 95% CI 1,05 – 2,14; p< 37
minggu memliki risiko relatif yang lebih tinggi 2,71 (95% CI 1,99 – 3,68). 25,26,27

J. PENCEGAHAN

Pencegahan Primer
Perjalanan penyakit preeklampsia pada awalnya tidak memberi gejala dan tanda, namun
pada suatu ketika dapat memburuk dengan cepat. Pencegahan primer merupakan yang terbaik
namun hanya dapat dilakukan bila penyebabnya telah diketahui dengan jelas sehingga
memungkinkan untuk menghindari atau mengkontrol penyebab-penyebab tersebut, namun
hingga saat ini penyebab pasti terjadinya preeklampsia masih belum diketahui. 28
Sampai saat ini terdapat berbagai temuan biomarker yang dapat digunakan untuk
meramalkan kejadian preeklampsia, namun belum ada satu tes pun yang memiliki sensitivitas
dan spesifitas yang tinggi Butuh serangkaian pemeriksaan yang kompleks agar dapat
meramalkan suatu kejadian preeklampsia dengan lebih baik. Praktisi kesehatan diharapkan
dapat mengidentifikasi faktor risiko preeklampsia dan mengkontrolnya, sehingga
memungkinkan dilakukan pencegahan primer. Dari beberapa studi dikumpulkan ada 17 faktor
yang terbukti meningkatkan risiko preeklampsia.28

Usia
Duckitt melaporkan peningkatan risiko preeklampsia hampir dua kali lipat pada wanita
hamil berusia 40 tahun atau lebih baik pada primipara (RR 1,68 95%CI 1,23 - 2,29), maupun
multipara (RR 1,96 95%CI 1,34 - 2,87). Usia muda tidak meningkatkan risiko preeklampsia
secara bermakna. (Evidence II, 2004). 28
Robillard, dkk melaporkan bahwa risiko preeklampsia pada kehamilan kedua meningkat
dengan usia ibu (1,3 setiap 5 tahun pertambahan umur; p <0,0001). 28
Nulipara
Duckitt melaporkan nulipara memiliki risiko hampir 3 kali lipat (RR 2,91, 95% CI 1,28 -
6,61) (Evidence II, 2004). 28

Kehamilan pertama oleh pasangan baru


Kehamilan pertama oleh pasangan yang baru dianggap sebagai faktor risiko, walaupun
bukan nulipara karena risiko meningkat pada wanita yang memiliki paparan rendah terhadap
sperma. 28

Jarak antar kehamilan


Studi yang melibatkan 760.901 wanita di Norwegia, memperlihatkan bahwa wanita
multipara dengan jarak kehamilan sebelumnya 10 tahun atau lebih memiliki risiko
preeklampsia hampir sama dengan nulipara. Robillard, dkk melaporkan bahwa risiko
preeklampsia semakin meningkat sesuai dengan lamanya interval dengan kehamilan pertama
(1,5 setiap 5 tahun jarak kehamilan pertama dan kedua; p<0,0001). 28

Riwayat preeklampsia sebelumnya


Riwayat preeklampsia pada kehamilan sebelumnya merupakan faktor risiko utama.
Menurut Duckit risiko meningkat hingga 7 kali lipat (RR 7,19 95%CI 5,85 - 8,83). Kehamilan
pada wanita dengan riwayat preeklampsia sebelumnya berkaitan dengan tingginya kejadian
preeklampsia berat, preeklampsia onset dini, dan dampak perinatal yang buruk. 28

Riwayat keluarga preeklampsia


Riwayat preeklampsia pada keluarga juga meningkatkan risiko hampir 3 kali lipat (RR
2,90 95%CI 1,70 – 4,93). Adanya riwayat preeklampsia pada ibu meningkatkan risiko
sebanyak 3.6 kali lipat (RR 3,6 95% CI 1,49 – 8,67). 28,29

Kehamilan multipel
Studi yang melibatkan 53.028 wanita hamil menunjukkan, kehamilan kembar
meningkatkan risiko preeklampsia hampir 3 kali lipat (RR 2.93 95%CI 2,04 – 4,21). Analisa
lebih lanjut menunjukkan kehamilan triplet memiliki risiko hampir 3 kali lipat dibandingkan
kehamilan duplet (RR 2,83; 95%CI 1.25 - 6.40).3 Sibai dkk menyimpulkan bahwa kehamilan
ganda memiliki tingkat risiko yang lebih tinggi untuk menjadi preeklampsia dibandingkan
kehamilan normal (RR 2,62; 95% CI, 2,03 – 3,38). 28,29

Donor oosit, donor sperma dan donor embrio


Kehamilan setelah inseminasi donor sperma, donor oosit atau donor embrio juga
dikatakan sebagai faktor risiko. Satu hipotesis yang populer penyebab preeklampsia adalah
maladaptasi imun. Mekanisme dibalik efek protektif dari paparan sperma masih belum
diketahui. Data menunjukkan adanya peningkatan frekuensi preeklampsia setelah inseminasi
donor sperma dan oosit, frekuensi preeklampsia yang tinggi pada kehamilan remaja, serta
makin mengecilnya kemungkinan terjadinya preeklampsia pada wanita hamil dari pasangan
yang sama dalam jangka waktu yang lebih lama. Walaupun preeklampsia dipertimbangkan
sebagai penyakit pada kehamilan pertama, frekuensi preeklampsia menurun drastis pada
kehamilan berikutnya apabila kehamilan pertama tidak mengalami preeklampsia. Namun, efek
protektif dari multiparitas menurun apabila berganti pasangan. Robillard dkk melaporkan
adanya peningkatan risiko preeklampsia sebanyak 2 (dua) kali pada wanita dengan pasangan
yang pernah memiliki istri dengan riwayat preeklampsia (OR 1,8; 95 % CI 95%, 2-2,6). 28,29

Obesitas sebelum hamil dan Indeks Massa Tubuh (IMT) saat pertama kali ANC
Obesitas merupakan faktor risiko preeklampsia dan risiko semakin besar dengan
semakin besarnya IMT. Obesitas sangat berhubungan dengan resistensi insulin, yang juga
merupakan faktor risiko preeklampsia. Obesitas meningkatkan risiko preeklampsia sebanyak 2,
47 kali lipat (95% CI, 1,66 – 3,67), sedangkan wanita dengan IMT sebelum hamil > 35
dibandingkan dengan IMT 19-27 memiliki risiko preeklampsia 4 kali lipat (95% CI, 3,52-
5,49). 28,29
Pada studi kohort yang dilakukan oleh Conde-Agudelo dan Belizan pada 878.680 kehamilan,
ditemukan fakta bahwa frekuensi preeklampsia pada kehamilan di populasi wanita yang kurus
(BMI < 19,8) adalah 2,6% dibandingkan 10,1% pada populasi wanita yang gemuk (BMI >
29,0).28,29

DMTI (Diabetes Mellitus Tergantung Insulin)


Kemungkinan preeklampsia meningkat hampir 4 kali lipat bila diabetes terjadi sebelum
hamil (RR 3.56; 95% CI 2,54 - 4,99) (n=56.968). 28,29

Penyakit Ginjal
Semua studi yang diulas oleh Duckitt risiko preeklampsia meningkat sebanding dengan
keparahan penyakit pada wanita dengan penyakit ginjal. Sindrom antifosfolipid Dari 2 studi
kasus kontrol yang diulas oleh Duckitt menunjukkan adanya antibodi antifosfolipid (antibodi
antikardiolipin, antikoagulan lupus atau keduanya) meningkatkan risiko preeklampsia hampir
10 kali lipat (RR 9,72 ; 95% CI 4,34 - 21,75). 28,29

Hipertensi kronik
Chappell dkk meneliti 861 wanita dengan hipertensi kronik, didapatkan insiden
preeklampsia superimposed sebesar 22% (n=180) dan hampir setengahnya adalah
preeklampsia onset dini (< 34 minggu) dengan keluaran maternal dan perinatal yang lebih
buruk. 28,29

Pencegahan Sekunder
Istirahat
Berdasarkan telaah 2 studi kecil yang didapat dari Cochrane, istirahat di rumah 4
jam/hari bermakna menurunkan risiko preeklampsia dibandingkan tanpa pembatasan aktivitas
(RR 0,05; 95% CI 0,00 – 0,83). Istirahat dirumah 15 menit 2x/hari ditambah suplementasi
nutrisi juga menurunkan risiko preeklampsia (( 0,12; 95% CI 0,03 – 0,51). Dari 3 studi yang
dilakukan telaah, didapatkan hasil tidak ada perbedaan kejadian eklampsia (RR 0,33; 95% CI
0,01 – 7,85), kematian perinatal (RR 1,07; 95% CI 0,52 – 2,19), perawatan intensif (RR 0,75;
95% CI 0,49 – 1,17) pada kelompok yang melakukan tirah baring di rumah dibandingkan
istirahat di rumah sakit pada pasien preeklampsia. 28,29

Restriksi Garam
Dari telaah sistematik 2 penelitian yang melibatkan 603 wanita pada 2 RCT
menunjukkan restriksi garam (20 – 50 mmol/hari) dibandingkan diet normal tidak ada
perbedaan dalam mencegah preeklampsia (RR 1,11; 95% CI 0,49 – 1,94), kematian perinatal
(RR 1,92; 95% CI 0,18 – 21,03), perawatan unit intensif (RR 0,98; 95% CI 0,69 – 1,40) dan
skor apgar < 7 pada menit kelima (RR 1,37; 95% CI 0,53 – 3,53). 28,29

Aspirin dosis rendah


Berbagai Randomized Controlled Trial (RCT) menyelidiki efek penggunaan aspirin
dosis rendah (60-80 mg) dalam mencegah terjadinya preeklampsia. Beberapa studi
menunjukkan hasil penurunan kejadian preeklampsia pada kelompok yang mendapat aspirin.
28,29
Penggunaan aspirin dosis rendah untuk pencegahan primer berhubungan dengan
penurunan risiko preeklampsia, persalinan preterm, kematian janin atau neonatus dan bayi
kecil masa kehamilan, sedangkan untuk pencegahan sekunder berhubungan dengan penurunan
risiko preeklampsia, persalinan preterm < 37 minggu dan berat badan lahir < 2500 g. Efek
preventif aspirin lebih nyata didapatkan pada kelompok risiko tinggi. Belum ada data yang
menunjukkan perbedaan pemberian aspirin sebelum dan setelah 20 minggu. Pemberian aspirin
dosis tinggi lebih baik untuk menurunkan risiko preeklampsia, namun risiko yang
diakibatkannya lebih tinggi. 28,29

Suplementasi kalsium
Suplementasi kalsium berhubungan dengan penurunan kejadian hipertensi dan
preeklampsia, terutama pada populasi dengan risiko tinggi untuk mengalami preeklampsia dan
yang memiliki diet asupan rendah kalsium. Suplementasi ini tidak memberikan perbedaan
yang signifikan pada populasi yang memiliki diet kalsium yang adekuat. Tidak ada efek
samping yang tercatat dari suplementasi ini. 28,29
Suplementasi kalsium minimal 1 g/hari direkomendasikan terutama pada wanita dengan
asupan kalsium yang rendah Penggunaan aspirin dosis rendah dan suplemen kalsium (minimal
1g/hari) direkomendasikan sebagai prevensi preeklampsia pada wanita dengan risiko tinggi
terjadinya preeklampsia. 28,29

K. PROGNOSIS

Pada kehamilan dengan hipertensi ringan dan tidak terjadi komplikasi biasanya
berdampak baik. BBLR , superimposed preeclampsia, solusio plasenta, bayi prematur merupakan
komplikasi tersering. Pada pasien dengan hipertensi berat pada awalkehamilan disertai dengan
komplikasi pada organ memberikan hasil yang buruk. Namun, pada kehamilan dengan hipertensi
perlu diobservasi ketat perkembangan janin.2

BAB III

PEMBAHASAN KASUS

Penegakkan diagnosis pasien berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan


obstetrik dan pemeriksaan penunjang. Pasien G1P0A0 hamil 38-39 minggu MRS dengan nyeri perut
bawah tembus belakang seperti ingin melahirkan sejak 1 hari yang lalu. Nyeri perut bawah hilang
timbul. Nyeri perut bawah disertai keluar darah dan lendir dari jalan lahir. Pasien mengeluh kedua
kakinya mulai bengkak sejak 1 bulan terakhir dan terasa nyeri. Pusing dan penglihatan buram disangkal.
Tidak ada riwayat DM, asma, alergi. Dari pemeriksaan fisik pasien tampak compos mentis, keadaan
umum baik, dengan tanda vital yaitu tekanan darah 200/130 mmHg, nadi 82x/m, pernapasan 22x/m,
suhu 36,7°C. Status Generalis dalam batas normal. Pada mammae didapatkan papil mammae
menonjol, edema pretibial (+/+), status obstetri didapatkan dari pemeriksaan luar pada pengukuran TFU
setinggi 34 cm, teraba 3jari, bagian teratas teraba tidak melenting yaitu bokong, punggung berada
di kiri dan didapatkan DJJ 150x/menit, his his (+) 2x/10’/25”, kepala, penurunan 4/5, dengan TBJ
±3.565 gram. Pemeriksaan VT didapatkan pembukaan 2 jari longgar, portio tebal,lunak, ketuban (+),
letak kepala, Hodge I. Hasil lab menunjukan lab protein urin +1. Pemeriksaan penunjang didapatkan
darah rutin dan kimia darah: Hb: 9 gr/dl, CT 12’, BT 3’, Proteinuria +1. Dari hasil anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan penunjang yang telah dilakukan pada Ny. MS mengarah pada diagnosis
preeklampsia berat jadi diagnosis Ny. FIC ini sudah tepat yaitu G1P0A0 hamil aterm inpartu kala
I fase laten dengan preeklampsia berat.

Pasien merupakan seorang wanita yang baru hamil pertama kalinya, hal ini sesuai dengan
teori Duckitt melaporkan nulipara memiliki risiko hampir 3 kali lipat (RR 2,91, 95% CI 1,28 -
6,61) (Evidence II, 2004). Kehamilan ini juga merupakan kehamilan pertama oleh pasangan yang
baru, sesuai dengan teori, hal ini dianggap sebagai faktor risiko, walaupun bukan nulipara karena
risiko meningkat pada wanita yang memiliki paparan rendah terhadap sperma. 28,29

Tekanan darah pasien 200/130 mmHg, pasien tidak kejang dan tidak ada gejala neurologis
sehingga pasien termasuk dalam kriteria preeklampsia berat. Kriteria preeklampsia berat adalah
hipertensi dengan tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau 110 mmHg diastolik
pada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit menggunakan lengan yang sama.9,10,11

Pasien hamil 38-39 minggu sehingga termasuk dalam kehamilan aterm, pasien juga sedang
dalam kala I fase laten atau inpartu, sesuai dengan tatalaksana pada PNPK maka harus dilakukan
terminasi kehamilan segera. 9

Pada kasus, pasien diberikan tatalaksana berupa informed consent terkait keadaan ibu dan
rencana penanganannya, dilakukan stabilisasi selama 6 jam, oksigenasi 2 liter/menit, injeksi
magnesium sulfat 20% 4 gram intravena diikuti 6g dalam infus, nifedipin per oral 2x10 mg dan
dilakukan terminasi kehamilan dengan seksio sesaria. Prinsip dasar dalam pengelolaan eklampsia
antara lain terapi suportif untuk stabilisasi penderita, selalu diingat masalah airway, breathing,
circulation, monitoring kesadaran dan dalamnya koma dengan “Glasgow-Pittsburg Coma Scale”.
Kontrol kejang dengan pemberian magnesium sulfat intravena dipilih karena kerjanya di perifer
tidak menimbulkan depresi pusat pernapasan diberikan sampai 24 jam paska persalinan atau 24
jam bebas kejang. 14,15

Pasien diberikan obat antihipertensi secara intermitten yaitu nifedipin, hal ini sesuai dengan
teori bahwa nifedipin merupakan salah satu calcium channel blocker yang sudah digunakan sejak
dekade terakhir untuk mencegah persalinan preterm (tokolisis) dan sebagai antihipertensi.
Berdasarkan RCT, penggunaan nifedipin oral menurunkan tekanan darah lebih cepat dibandingkan
labetalol intravena, kurang lebih 1 jam setelah awal pemberian. Nifedipin selain berperan sebagai
vasodilator arteriolar ginjal yang selektif dan bersifat natriuretik, dan meningkatkan produksi
urin.20,21

DAFTAR PUSTAKA

1. Prawirohardjo S. Hipertensi dalam kehamilan, dalam Ilmu Kebidanan. Ed. 4. Wiknjosastro


H, Saifuddin A, Rachimhadhi T, editors. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo;2005. Hal. 281-301.
2. Hypertensive Disorders in Pregnancy. In: Cunningham F, Leveno K, Bloom S, Hauth J,
Gilstrap L, Wenstrom K, editor. William Obstetrics. Ed. 22. New York: McGraw-Hill;
2005. Hal. 761-808.
3. Hypertention in pregnancy. In” Beckmann CRB, Ling FW, Barzansky BM, Herbet WNP,
Laube DW, Smith RP, editors. Obstetrics and gynecology. Sixth editions. Philadelphia:
Lippincot Williams & Wilkins; 2010.p.175-181.
4. American Collage of Obstetricans and Gynecologist. Hypertension in pregnancy. USA;
2013.
5. Osungbade KO, Ige OK. Public Health Perspectives of Preeclampsia in Developing
Countries: Implication for Health System Strengthening. Journal of Pregnancy. 2011.
(Diakses pada 8 Agustus 2011). Diunduh dari:
http://www.hindawi.com/journals/jp/2011/481095.
6. Villar J, Betran AP, Gulmezoglu M. Epidemiological basis for the planning of maternal
health services. WHO. 2001.
7. Statistics by country for preeclampsia. (Diakses pada 8 Agustus 2011). Diunduh dari:
http://www.wrongdiagnosis.com/p/preeclampsia/stats-country.htm
8. Himpunan Kedokteran Feto Maternal, Perkumpulan Obsteri dan Ginekologi Indonesia.
Pedoman nasional peayanan kedokteran : diagnosis dan tatalaksana pre-eklamsia; 2016.
9. Task Force on Hypertension in Pregnancy, American College of Obstetricians and
Gynecologist. Hypertension in Pregnancy. Washington: ACOG. 2013
10. Canadian Hypertensive Disorders of Pregnancy Working Group, Diagnosis, Evaluation, and
Management of the Hypertensive Disorders of Pregnancy: Executive Summary. Journal of
Obstetrics Gynecology Canada. 2014: 36(5); 416-438
11. Tranquilli AL, Dekker G, Magee L, Roberts J, Sibai BM, Steyn W, Zeeman GG, Brown
MA. The classification, diagnosis and management of the hypertensive disorders of
pregnancy: a revised statement from the ISSHP. Pregnancy Hypertension: An International
Journal of Women;s Cardiovascular Health 2014: 4(2):99-104.
12. Anderson NR, Undeberg M, Bastianelli KMS. Pregnancy-Induced Hypertension and
Preeclampsia: A Review of Current Antihypertensive Pharmacologic Treatment Options.
Austin Journal of Pharmacology and Therapeutics. 2013; 1 (1): p. 1-8.
13. Duley L. Evidence and practice: the magnesium sulphate story. Clinical Obstetrics and
Gynaecology. 2005;19(1):57-74.
14. Sibai BM. Magnesium Supfate Prophylaxis in Preeclampsia: Evidence From Randomized
Trials Clinical Obstetrics and Gynecology. 2005;48 478-88.
15. Witlin AG SB. Magnesium sulphate therapy in preeclampsia and eclampsia. Clinical
Obstetrics and Gynecology. 1998;92(5):883-9.
16. Group TMtC. Do women with pre-eclampsia, and their babies, benefit from magnesium
sulphate? The Magpie Trial: a randomised placebocontrolled trial. Lancet. 2002;359(1877-
90).
17. Eger R. Hypertensive Disorders during Pregnancy. In: Practice. Ling F, Duff P, editors.
Obstetrics&Gynecology Principles. New York : McGraw-Hill; 2001. Hal. 224-252
18. Branch D, Porter T. Hypertensive Disorders of Pregnancy. In: Scott J, Saia P, Hammond C,
Spellacy W, editors. Danforth’s Obstetrics&Gynecology. Ed. 8. Philadelphia: Lippincott
Williams&Wilkins; 1999. Hal. 309-326
19. Montan S. Drugs used in hypertensive diseases in pregnancy. Curr Opin Obstet Gynecol.
2004;16:111-5.
20. LA Magee MO, P von Dadelszen. Management of hypertension in pregnancy. BMJ.
1999;318:1332-6.
21. Alex C. Vidaeff; Mary A. Carroll SMR. Acute hypertensive emergencies in pregnancy. Crit
Care Med. 2005;33:S307-S12.
22. Meyeon Park UCB. Management of preeclampsia. Hospital Physician. 2007:25-32.
23. P. SCOTT BARRILLEAUX JNM. Hypertension therapy during pregnancy. Clinical
Obstetrics and Gynecology. 2002;45:22-34.
24. D Robert, S Dalziel. Antenatal corticosteroids for accelerating fetal lung maturation for
women at risk of preterm birth (review). Cochrane database of systematic review. 2006(3).
25. Brenda J Wilson MSW, Gordon J Prescott, Sarah Sunderland, Doris M Campbell, et al.
Hypertensive diseases of preganancy and risk of hypertension and stroke in later life: results
from cohort study. bmjcom. 2003;326(845).
26. Marielle G. Van Pampus JGA. Long term outcomes after preeclampsia. Clin Obstet and
Gynecol. 2005;48(2):489-94.
27. Leanne Bellamy JPC, Aroon D Hingorani, David J Williams. Preeclampsia and risk of
cardiovascular disease and cancer in later life: systematic review and meta-analysis.
bmjcom.
28. O’Brien TE, Ray JG, Chan WS. Maternal body mass index and the risk of preeclampsia: a
systematic overview. Epidemiology. 2003;14:368–74.
29. Wolf M, Sandler L, Munoz K, Hsu K, Ecker JL, Thadhani R. First trimester insulin
resistance and subsequent preeclampsia: a prospective study. J Clin Endocrinol Metab.

Anda mungkin juga menyukai